upaya peningkatan efektivitas sistem resi gudang

advertisement
MEMO KEBIJAKAN
UPAYA PENINGKATAN EFEKTIVITAS SISTEM RESI GUDANG RUMPUT LAUT
DI DAERAH TERTINGGAL
Isu Kebijakan
1. Dewasa ini pengembangan budidaya rumput laut dapat dikatakan belum optimal karena
pemanfaatan lahannya hanya mencapai 222.180 ha atau 20% dari total potensi area (1.110.900
ha). Demikian pula produksi rumput laut, dimana pada tahun 2011 produksinya hanya mencapai 4,3
juta ton, padahal apabila seluruh potensi dimanfaatkan, produksi dapat mencapai sekitar 17,774 juta
ton per tahun (DKP, 2012).
2. Dari hasil pengamatan di sentra produksi rumput laut, usaha budidaya rumput laut memiliki daya
saing. Daya saing tersebut tercermin pada penggunaan sumberdaya ekonomi yang efisien, aspek
finansial yang menguntungkan serta memiliki keunggulan komparatif.
3. Berdasarkan dua hal di atas, upaya pengembangan usaha budidaya rumput laut diyakini mampu
menggerakkan ekonomi lokal, regional, dan nasional serta mampu menyentuh peran pemberdayaan
masyarakat, khususnya masyarakat di daerah tertinggal. Oleh karena itu, salah satu upaya yang
dilakukan untuk mengakselerasi dan mensinergikan pengembangan rumput laut khususnya di daerah
tertinggal, telah dibuat Nota Kesepakatan Bersama antara 6 Kementerian (Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi dan UKM) dan 1 Badan (Badan Koordinasi
Penanaman Modal). Nota Kesepakatan tersebut difokuskan untuk mengembangkan rumput laut di 7
Provinsi yakni Provinsi NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan
Sulawesi Selatan.
4. Dalam konteks kesepakatan tersebut, aspek pemasaran rumput laut di daerah tertinggal telah
menjadi perhatian utama dari Kementerian Perdagangan karena selama ini harga yang diterima oleh
pembudidaya rumput laut cenderung lebih rendah dari harga yang seharusnya. Akibatnya,
pendapatan yang diterima oleh pembudidaya rumput laut masih rendah sehingga tingkat
kehidupannya dominan kurang baik. Permasalahan tersebut sangat berkaitan dengan kinerja
pemasaran rumput laut di daerah teringgal.
Permasalahan: Kebijakan Pengembangan Budidaya dan Pemasaran Rumput Laut
5. Keterlibatan pemerintah selama ini belum mampu sepenuhnya mempengaruhi penyediaan input
untuk pengembangan budidaya rumput laut dan harga output yang lebih menguntungkan. Saat ini,
harga domestik rumput laut lebih rendah dari harga dunia. Hal ini berarti bahwa kebijakan
pemerintah belum mampu mengatasi distorsi harga rumput laut yang terjadi selama ini di pasar
domestik. Permasalahan yang dihadapi dalam pemasaran rumput laut antara lain:
a. Masih adanya ikatan modal baik berupa sarana produksi maupun finansial kepada pembudidaya
rumput laut oleh pedagang. Hal ini berpangkal pada masalah keterbatasan akses permodalan
oleh pembudidaya rumput laut dari lembaga keuangan formal. Permodalan dapat dikatakan
sebagai salah satu faktor kunci pengembangan rumput laut di daerah tertinggal, selain mampu
meningkatkan posisi pembudidaya rumput laut, juga dapat meningkatkan kontinuitas produksi
dan meningkatkkan produktivitas.
b. Beberapa saluran pemasaran rumput laut yang digunakan cukup panjang. Hal ini terjadi karena
masalah akses menuju lokasi pemasaran yang biasanya berada di ibu kota provinsi (dekat
pelabuhan), sehingga rumput laut dari pembudidaya harus melewati simpul pedagang-pedagang
pengumpul baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten.
Walaupun demikian, dari beberapa saluran tersebut terdapat saluran pemasaran yang dinilai
paling efisien baik dari sisi teknis maupun ekonomis. Biasanya saluran pemasaran tersebut
terbentuk karena sudah terjalin kerjasama yang cukup lama (langganan), kesadaran
pembudidaya dan pedagang pengumpul desa terhadap potensi keuntungan yang bisa
dioptimalkan, serta akses informasi. Saluran pemasaran tersebut yang efisien baik secara teknis
maupun ekonomis adalah sebagai berikut:
1) Provinsi NTB: Petani - Pedagang Pengumpul (Desa) - Pedagang Besar (Provinsi) - Eksportir
(Surabaya)
2) Provinsi NTT: Petani - Pedagang Pengumpul (Desa) - Pedagang Besar (Provinsi) - Eksportir
(Surabaya)
3) Provinsi Sulawesi Selatan: Petani - Pedagang Pengumpul (Desa) - Eksportir (Makassar)
4) Provinsi Sulawesi Tengah: Petani - Pedagang Pengumpul (Desa) - Pedagang Besar
(Kabupaten) - Eksportir (Surabaya)
5) Provinsi Sulawesi Tenggara: Petani - Pedagang Besar (Provinsi) - Eksportir (Surabaya)
6) Provinsi Maluku: Petani - Pedagang Pengumpul (Desa) - Pedagang Pengumpul (Kecamatan) Eksportir (Surabaya)
7) Provinsi Maluku Utara: Petani - Pedagang Pengumpul (Desa)  Pedagang Besar (Kabupaten)
- Eksportir (Surabaya/Makassar)
c. Adanya informasi pasar yang tidak simetris antara petani dengan pedagang maupun pedagang
dengan eksportir. Informasi yang dimaksud tidak hanya terkait dengan harga, tetapi juga dengan
kualitas rumput laut kering yang produksinya.
Evaluasi Implementasi Kebijakan Sistem Resi Gudang (SRG)
6. Sejak kebijakan SRG diberlakukan pada tahun 2006, implementasi SRG masih belum optimal, baik itu
terkait dengan kelengkapan lembaga dalam SRG, penentuan komoditas yang dapat diresigudangkan,
peran pemerintah darah maupun pelaksanaan skema subsidi untuk Resi Gudang. Salah satu indikator
yang paling sederhana dalam menilai implementasi SRG saat ini adalah masih terbatasnya komoditas
yang secara ril sudah diresigudangkan yaitu gabah/beras dan jagung (Provinsi Gorontalo).
7. Khusus untuk Resi Gudang komoditas rumput laut, hingga kini belum terimplementasikan karena
terdapat beberapa kendala, antara lain karena terbatasnya pemahaman terhadap SRG, infrastruktur
fasilitas gudang masih terbatas, kurangnya peran Pemerintah Daerah, serta fasilitas pembiayaan yang
masih terbatas untuk mendukung implementasi SRG. Selain itu, tren harga rumput laut umumnya
tidak menunjukkan pola yang jelas sehingga apabila komoditas tersebut diresigudangkan penuh
dengan resiko bagi pemilik komoditas.
8. Aspek regulasi juga menjadi salah satu penyebab implementasi SRG rumput laut belum berjalan. Hal
ini terlihat dari hasil analisis Regulatory Mapping (RegMAP) terhadap peraturan yang terkait dengan
SRG, dimana skornya relatif rendah: (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang SRG dengan total
skor 60%, (2) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan SRG dengan total skor
50%, (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 171 Tahun 2009 tentang Skema Subsidi Resi Gudang
dengan total skor 70%, dan (4) Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/11/2011 Tahun
2011 tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang Dalam Penyelengaraan SRG dengan total skor
50%. Rendahnya skor regulasi tersebut karena: (i) Dilihat dari aspek sasaran, regulasi ini
menimbulkan beban bagi stakeholders yang melebihi beban minimumnya; dan (ii) Dari aspek
alternatif non regulasi, tujuan dari SRG dapat juga dicapai dengan mengoptimalkan kebijakan yang
sudah ada. Misalnya mengenai skema subsidi resi gudang, dapat diintegrasikan dengan skema subsidi
yang sudah ada.
Implikasi Kebijakan
9.
Melihat pentingnya peranan komoditas rumput laut dalam mendorong perekonomian khususnya di
daerah tertinggal, diperlukan beberapa kebijakan, yaitu: (i) Permerintah daerah perlu menginisiasi
pembangunan kebun bibit dan pabrik pengolahan rumput laut kering di sekitar produsen, paling
tidak menjadi chip; (ii) Perbaikan infrastruktur jalan di daerah tertinggal; (iii) Pelatihan kepada
petani tentang budidaya rumput laut yang baik.
10. Diperlukan pembentukan kemitraan yang saling menguntungkan antara petani/pedagang desa
dengan pedagang besar provinsi/eksportir, melalui: (i) Salah satu yang dapat dilakukan oleh
Pemerintah Daerah cq. dinas yang membidangi perdagangan adalah inisiatif mengudang
petani/koperasi petani/pedagang desa rumput laut dan pedagang besar provinsi/eksportir dalam
program pasar lelang forward agro. Inisiatif ini akan bermanfaat dalam mewujudkan symetric
information dan memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk membangun jaringan yang lebih
efisien; dan (ii) Memfasilitasi petani untuk membentuk suatu koperasi petani rumput laut yang
mampu berperan dalam advokasi antara petani dengan pedagang besar/ekportir.
11. Penerapan Sistem Resi Gudang pada rumput laut perlu difokuskan pada aspek fasilitas pembiayaan
dan peningkatan efisiensi pemasaran rumput laut. Sementara, untuk aspek stabilisasi harga rumput
laut tidak mudah untuk dilakukan karena terkait dengan pergerakan harga yang berfluktuatif dan
tidak berpola. Karena itu, untuk mengimplementasikan SRG pada rumput laut masih memerlukan
revisi peraturan terutama yang terkait dengan penyediaan dan pemanfaatan skema subsidi
kredit (pembiayaan). Diharapkan dari revisi tersebut fasilitas pembiayaan dalam SRG dapat
terintegrasi dengan skema-skema kredit yang sudah ada, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan
Kredit Pembiayaan Pangan dan Energi (KPPE). Agar skema KUR dapat menerima Resi Gudang
sebagai agunan, maka persyaratan mengakes KUR juga perlu disesuaikan.
12. Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/11/2011 Tahun 2011 tentang Barang Yang
Dapat Disimpan di Gudang Dalam Penyelengaraan SRG perlu dilakukan revisi. Hal yang perlu
direvisi dititikberatkan pada isi peraturan, dimana peraturan tersebut tidak perlu menetapkan
komoditas secara spesifik, tetapi lebih mengarah pada pembatasan kriteria atau persyaratan
barang-barang yang dapat diresigudangkan.
Download