perencanaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan

advertisement
PERENCANAAN DAN PEMBIAYAAN
PELAYANAN KESEHATAN BAGI PENDUDUK MISKIN
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Deputi Bidang Sumberdaya Manusia dan Kebudayaan
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan menghasilkan informasi dan masukan, guna menyempurnakan
kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan bagi penduduk miskin. Kajian
dilakukan di sembilan propinsi, yaitu Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, Sulawesi
Selatan, Bali, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Banten; mencakup
18 kabupaten/kota. Pemilihan propinsi didasarkan kepada kekayaan sumberdaya alam,
sumberdaya manusia kesehatan, dan kesulitan geografis. Metode yang digunakan adalah
deskriptif analitis, dengan menggunakan desain cross sectional study. Data primer dan
sekunder dikumpulkan dari DPRD, Dinas Kesehatan, BKKBN, Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD), Puskesmas, bidan di desa, pasien, serta berbagai literatur dan data
terbitan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penentuan keluarga miskin (Gakin) yang umum
dipergunakan selama ini di banyak daerah, ternyata cukup baik dan efektif. Paket
pelayanan kesehatan dasar untuk penduduk miskin, sudah sesuai dengan rekomendasi
pertemuan regional di Tokyo tahun 1998. Sistem penyaluran dana yang berlaku saat ini
masih bersifat “supply side approach”, sementara sistem “demand side approach”
seperti memberi kupon berobat gratis kepada Gakin, belum bisa diterapkan. Kajian ini
juga menunjukkan bahwa potensi daerah untuk membantu pendanaan pada pelayanan
kesehatan bagi Gakin ternyata cukup besar.
Rekomendasi yang dapat disajikan antara lain: (1) diperlukan studi untuk
menemukan kriteria operasional yang lebih sensitif dan spesifik dalam menentukan
kriteria Gakin; (2) pemberian makanan tambahan agar tetap dilaksanakan dalam paket
pelayanan kesehatan Gakin, khususnya untuk ibu dan bayi Gakin, karena sangat potensial
meningkatkan daya tahan ibu dan anak; (3) revitalisasi Posyandu harus tetap dilakukan,
karena Posyandu merupakan bagian dari pengembangan sistem kesehatan daerah dan
terbukti efektif dalam beberapa program kesehatan dan partisipasi masyarakat; (4)
pencairan dana operasional untuk Puskesmas dan rumah sakit, sebaiknya melalui sistem
klaim dengan bukti-bukti pelayanan, karena pencairan dengan bukti pelayanan lebih
menjamin akuntabilitas; (5) pengintegrasian dana kesehatan penduduk miskin
memerlukan perhitungan aktuarial yang teliti diperkirakan jumlahnya jauh lebih besar
dari yang tersedia sekarang ini; (6) perlu dilakukan pemetaan kemampuan fiskal daerah
untuk menetapkan kontribusi daerah; (7) penerapan kontribusi hendaknya dilakukan
dengan sistem “matching grant”, yaitu keharusan daerah untuk memberikan kontribusi
sebagai syarat alokasi dana dari pusat.
1
1. LATAR BELAKANG
Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah lama diterapkan di
Indonesia. Pelayanan gratis bagi penduduk yang membawa surat miskin dari Rukun
Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), desa dan pembagian kartu sehat, adalah contoh
kebijakan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan strategi “individual
targeting”. Berbagai program Instruksi Presiden (Inpres), secara tidak langsung juga
mempunyai aspek kebijakan membantu penduduk miskin, misalnya Inpres Obat dan
Inpres Samijaga, merupakan contoh kebijakan dengan strategi “geographic targeting”.
Sebetulnya, kebijakan subsidi tarif
pelayanan kesehatan pemerintah, juga
merupakan program melayanani kesehatan penduduk miskin. Tarif Rp 500 – Rp 1.000
untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp 2.000 – Rp 5.000 untuk rawat inap kelas III di
Rumah Sakit Umum (RSU), membantu penduduk yang kemampuannya terbatas. Contoh
lainnya program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), yaitu
pemberian suplemen gizi bagi anak sekolah yang berada di daerah miskin.
Sejak 1998 muncul kebijakan lebih sistematis dan berskala nasional untuk
melayani kebutuhan kesehatan penduduk miskin, yakni program Jaringan Pengamanan
Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Tahun 2003, pemerintah menyediakan biaya untuk
rujukan ke rumah sakit (RS) bagi penduduk miskin. Dana ini berasal dari pemotongan
subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang disebut dana Penanggulangan Dampak
Pemotongan Subsidi Energi (PDPSE), kemudian diubah namanya menjadi Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Dana PDPSE
langsung diberikan kepada RSU. Baik JPSBK dan PDPSE adalah contoh “supply side
approah” dalam memberikan subsidi bagi penduduk miskin.
Seluruh pendanaan program-program di atas bersumber dari pemerintah dan
bersifat proyek, karena itu tidak ada jaminan kesinambungannya. Sumber dana dari
pemerintah daerah belum dipadukan untuk program pengentasan kemiskinan umumnya
dan pembiayaan kesehatan khususnya. Sementara itu, sulit bagi penduduk miskin jika tidak
lagi mendapat jaminan seperti yang pernah diperolehnya. Dana masyarakat selama ini juga
telah tersedia melalui berbagai lembaga keagamaan yang memiliki potensi cukup besar.
Tanpa suatu program berkelanjutan, akan sulit mengangkat penduduk miskin dari
lingkaran kemiskinan.
2. TUJUAN
Tujuan studi ini adalah menghasilkan informasi dan masukan untuk
menyempurnakan kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin. Dari masukan tersebut diharapkan muncul kebijakan yang lebih
sustainable dan efektif untuk pemerataan dan perbaikan mutu pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin
Sasaran studi ini adalah sebagai berikut:
1. Mencari instrumen yang sensitif untuk mengidentifikasi penduduk miskin.
2. Menggambarkan efektifitas program JPSBK/PDPSE dalam mencapai target program
tersebut serta dalam memberi pelayanan bermutu.
3. Merumuskan jenis-jenis pelayanan kesehatan dan gizi yang esensial bagi penduduk
miskin.
2
4. Menggambarkan kapasitas sistem pelayanan kesehatan yang sekarang berlaku untuk
meningkatkan akses penduduk miskin dan memberikan pelayanan bermutu.
5. Mengetahui bobot (magnitude) peran biaya transport sebagai rintangan bagi penduduk
miskin.
6. Memperkirakan biaya yang diperlukan, atas dasar pengalaman empiris di sejumlah
pelayanan kesehatan, dan menilai kecukupan biaya yang dialokasikan selama ini secara
relatif terhadap perhitungan tersebut.
7. Mendapatkan gambaran tentang prospek mengintegrasikan dana JPS-BK/PKPS-BBM
ke dalam sistem asuransi kesehatan.
8. Mendapatkan gambaran tentang potensi daerah untuk “berbagi” tanggung jawab
pembiayaan bersama pemerintah pusat.
3. METODOLOGI
3.1 KERANGKA ANALISIS
Sejumlah studi untuk menilai efektifitas berbagai program pemeliharaan kesehatan
bagi penduduk miskin sudah dilakukan. Beberapa diskusi terbuka dan diskusi di media
masa, sudah dilaksanakan untuk menilai kebijakan dan program-program tersebut. Dari
kegiatan tersebut, diidentifikasi beberapa masalah kebijakan tentang pelayanan dan
pembiayaan kesehatan bagi peduduk miskin. Masalah itu dikelompokkan menjadi enam
masalah kebijakan pokok yang bersifat normatif, yaitu: efektifitas, efisiensi,
kesinambungan pembiayaan, alternatif sistem pembiayaan, pelayanan kesehatan dan gizi
yang esensial untuk penduduk miskin, serta pembagian tanggung jawab antara Pemerintah
Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat.
Atas dasar kajian literatur dan tinjauan pelaksanaan JPS-BK di Indonesia, maka
untuk keperluan teknis studi ini, isu-isu kebijakan normatif tersebut diuraikan lebih lanjut
menjadi tujuh masalah kebijakan operasional.
3.1.1 Targeting the Poor
Secara umum jumlah penduduk miskin sudah diketahui. Namun pada tingkat
operasional, masih terdapat masalah teknis untuk menentukan siapa yang disebut sebagai
penduduk miskin. Kriteria Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
yakni Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera yang selama ini dipakai, memang
mendapat kritik. Namun kenyataannya, hanya data itulah yang tersedia. Mencari kriteria
alternatif mungkin memerlukan upaya yang besar, karena sistem pemetaan tingkat
kesejahteraan keluarga sudah terlembaga di tingkat desa. Masalahnya adalah, bagaimana
mempertajam penggunaan kriteria tersebut, sehingga “mis-targeting” bisa dikurangi.
Masalah berikutnya adalah kekuatan dan kekurangan “supply side approach” dibanding
dengan “demand side approach”.
3.1.2. Health Need dan Pelayanan Kesehatan Dasar Penduduk Miskin
Dalam program JPS-BK dan PKPS-BBM, pelayanan yang disediakan umumnya
seperti yang dirumuskan dalam pertemuan regional di Tokyo tahun 1998, yaitu Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB); immunisasi; pengobatan penyakit
menular, khususnya Tuberkolosis (TB), malaria, demam berdarah dengue (DBD);
3
peningkatan gizi; promosi kesehatan; dan pelayanan rujukan di RSU (untuk kasus
KIA/persalinan dan penyakit menular). Data utilisasi pelayanan kesehatan oleh penduduk
miskin selama pelaksanaan program JPS-BK dan PKPS-BBM cukup baik untuk
mengetahui apa kebutuhan utama pelayanan kesehatan penduduk miskin. Dari informasi
tersebut juga dapat dianalisis untuk memilah pelayanan kesehatan yang betul-betul
dibutuhkan (esensial) bagi penduduk miskin, yang “at all cost” harus disediakan.
3.1.3 Sistem Pelayanan Kesehatan (Delivery System): Mutu dan Akses
Terdapat dua isu berkaitan dengan sistem pelayanan kesehatan (delivery system):
mutu dan akses. Setelah berdiskusi dengan penyedia pelayanan kesehatan, dapat
terungkap sejauh mana mutu pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin dan faktor yang
berkaitan dengan mutu pelayanan. Mengenai isu akses, secara teoritis sebetulnya “barrier
to utilize health services” bagi penduduk miskin bukan hanya biaya atau tarif pelayanan,
tetapi juga biaya transportasi. Apalagi untuk pelayanan RS yang umumnya terletak di kota.
Informasi tentang beratnya barrier akses ini berguna untuk mencari sistem pendamping,
yang dapat menggerakkan sistem masyarakat untuk membantu transportasi pasien miskin
menuju fasilitas pelayanan kesehatan.
3.1.4 Sistem Pembiayaan dan Manajemen Dana
Mekanisme pembayaran (payment mechanism), yang dilakukan selama ini adalah
provider payment melalui sistem budget, kecuali untuk pelayanan persalinan yang oleh
bidan di klaim ke Puskesmas atau Kantor Pos terdekat. Alternatif lain adalah “users
empowerment” melalui sistem kupon. Kekuatan dan kelemahan alternatif-alternatif
tersebut perlu ditelaah dengan melibatkan para pelaku di tingkat pelayanan. Informasi
tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing cara tersebut juga merupakan masukan
penting untuk melengkapi kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan
penduduk miskin.
3.1.5 Kebutuhan Biaya
Beberapa RSU mengeluhkan kecilnya dana yang mereka terima, sehingga harus
menyediakan subsidi tambahan dari pendapatan RS yang bersangkutan. Untuk kebijakan
alokasi anggaran, perlu diketahui berapa besar sebenarnya kebutuhan tersebut. Perhitungan
yang didasarkan pengalaman empiris dimasa lalu akan lebih meyakinkan para pengambil
keputusan, ketika mereka merancang alokasi anggaran. Estimasi kebutuhan biaya ini bisa
dilakukan pada tingkat Puskesmas dan RSU.
3.1.6 Alternatif Sumber Pembiayaan: Prospek Asuransi Kesehatan
Dalam penyaluran dana JPS-BK tahun 2001, dicoba dikembangkan JPKM
(Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) sebagai wadah penyaluran dana JPS-BK.
Upaya tersebut umumnya tidak berhasil, karena dalam praktik yang dilakukan hanyalah
pemberian jasa administrasi keuangan yang dikenal sebagai TPA (Third Party
Administration). Berdasarkan pengalaman tersebut diketahui bahwa salah satu prinsip
pokok asuransi tidak bisa diterapkan, yaitu “pooling of risk”. Dalam prinsip ini risiko
ditanggung peserta dari berbagai tingkatan, tidak hanya oleh penduduk miskin. Selain itu,
4
pemberian ”premi” sebesar Rp 10.000/Gakin (dan dipotong 8% oleh Badam Pelaksana
JPKM) tidak didasarkan pada perhitungan risiko finansial mengikuti prinsip-prinsip
aktuarial yang profesional.
3.1.7 Alternatif Sumber Pembiayaan: Prospek “Matching Grant”
Secara tidak langsung bisa dilakukan perhitungan kasar tentang kebutuhan
pembiayaan kesehatan untuk penduduk miskin, kemudian dibandingkanya dengan total
anggaran pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Daerah). Pembiayaan pelayanan
kesehatan untuk penduduk miskin selama ini menjadi tanggungan pemerintah pusat.
Dengan adanya kebijakan desentralisasi yang diterapkan tahun 2000, perlu diketahui
sejauh mana daerah juga diberi tanggung jawab untuk membiayai pelayanan kesehatan
penduduk miskin. Tahun 2001 muncul gagasan menerapkan sistem “matching grant”
untuk membiayai penduduk miskin. Dalam hal ini daerah diberi sebagian tanggung jawab
sesuai dengan kemampuan fiskalnya. Analisis awal perlu dilakukan untuk melihat sejauh
mana kapasitas daerah untuk “berbagi” pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk
miskin di daerahnya.
3.2 METODE PELAKSANAAN KAJIAN
Studi ini memakai metode analisis deskriptif, dengan menggunakan data primer dan
sekunder yang diperoleh melalui wawancara, survai pasien, dan angket.
Studi ini dilakukan di sembilan propinsi dan 18 kabupaten/kota. Pemilihan propinsi
berdasarkan pada kemampuan fiskal propinsi, yaitu tiga propinsi dengan kemampuan
fiskal diatas rata-rata nasional, tiga propinsi sama dengan rata-rata nasional, dan tiga
propinsi di bawah rata-rata nasional. Secara normatif pembiayaan kesehatan dipengaruhi
kemampuan fiskal daerah. Kenyataannya status kesehatan masyarakat belum tentu
berkorelasi positif dengan kemampuan fiskal ini.
Tabel 1
Lokasi Studi
KEMAMPUAN FISKAL PROPINSI
Di atas rata- rata nasional Sama dengan rata-rata nasional Di bawah rata-rata nasional
1. Kalimantan Timur
4. Sulawesi Selatan
7. Nusa Tenggara Timur
a. Balikpapan
a. Makassar
a. Kupang
b. Kutai
b. Jeneponto
b. Timor Tengah Utara
2. DKI Jakarta
5. Bali
8. Jawa Tengah
a. Jakarta Utara
a. Klungkung
a. Salatiga
b. Jakarta Selatan
b. Tabanan
b. Jepara
3. Riau
6. Jawa Timur
9. Banten
a. Indragiri Hulu
a. Kota Malang
a. Serang
b. Pekanbaru
b. Probolinggo
b. Pandeglang
Adapun propinsi dan kabupaten/kota yang menjadi lokasi studi ini adalah,
Kalimantan Timur (Balikapapan, Kutai), DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Selatan), Riau
5
(Indragiri Hulu, Kota Pekanbaru), Sulawesi Selatan (Kota Makassar, Jeneponto), Bali
(Klungkung, Tabanan), Jawa Timur (Kota Malang, Probolinggo), Nusa Tenggara Timur
(Kupang, Timor Tengah Utara), Jawa Tengah (Salatiga, Jepara), dan Banten (Serang,
Pandeglang)
3.3 DATA
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer dan sekunder yang
dikumpulkan dari 11 sumber informasi, yaitu: Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/kota, DPRD, Bappeda, BKKBN, RSUD, tiga Puskesmas terpilih di setiap
kabupaten/kota, tiga bidan di desa (satu bidan di setiap Puskesmas), pasien rawat jalan
Puskesmas (sampel 12 pasien per Puskesmas), pasien rawat inap RSUD (sampel 22 pasien
kasus rawat inap di RS yang bersangkutan), dan data sekunder dari buku Profil Kesehatan
Kabupaten dan Kabupaten dalam Angka. Pengumpulan data dilakukan dengan
mengunjungi semua sumber data di atas. Periode program JPS-BK/PKPS-BBM yang
diteliti mencakup kegiatan tahun 2001, 2002 dan 2003
4. HASIL KAJIAN
4.1 IDENTIFIKASI DAN PENENTUAN KELUARGA MISKIN (TARGETING THE
POOR)
Dua isu penting dalam identifikasi ini menyangkut kriteria yang dipakai dan
pelaksanaan kriteria tersebut di lapangan.
4.1.1 Kriteria Operasional Penentuan Gakin
Untuk menentukan keluarga miskin, hampir semua responden menggunakan kriteria
standar sesuai dengan pedoman JPS-BK, yaitu berdasar pada kriteria penentuan peringkat
kesejahteraan keluarga dari BKKBN, ditambah beberapa kriteria lain, seperti: tidak
mempunyai pekerjaan tetap atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK); tidak bisa
makan dua kali sehari; memiliki pakaian hanya dua pasang; ada anak yang gagal
melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi; ada anggota keluarga yang sakit dan tidak
bisa berobat karena alasan ekonomi.
Semua responden menganggap kriteria tersebut cukup baik, kendati belum sempurna.
Alasannya adalah up dating data dilakukan secara teratur setahun sekali oleh Pelaksana
Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dan petugas di lapangan terbiasa dengan kriteria
tersebut. Namun dinilai beberapa responden belum sempurna karena pendapatan keluarga
belum terwakili dalam kriteria tersebut dan orang yang mempunyai pekerjaan tetap bisa
saja miskin.
4.1.2 Aplikasi Kriteria di Lapangan
Petugas yang melakukan identifikasi keluarga miskin, bervariasi antar daerah.
Umumnya cara identifikasi seperti disampaikan di atas dianggap sudah cukup baik oleh
para responden. Namun ada yang mengungkapkan beberapa kelemahan, yaitu
subyektifitas anggota Tim Desa, intervensi aparat desa, tidak selalu aparat desa terlibat,
terjadi perbedaan persepsi antara anggota Tim Desa, serta kesulitan menilai dan
memverifikasi pendapatan.
6
Kriteria BKKBN-plus yang dipergunakan di sebagian besar daerah sudah cukup
baik dan bisa dilanjutkan sebelum ditemukan kriteria/instrumen lebih baik. Yang perlu
ditingkatkan adalah disiplin keterlibatan anggota Tim Desa, terutama keterlibatan unsur
masyarakat, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi non pemerintah Ini
penting untuk mencegah intervensi subjektif dari unsur yang ingin memanfaatkan
keuntungan dari kartu sehat.
4.1.3 Perkembangan Jumlah Gakin
Kecenderungan perkembangan jumlah Gakin di tingkat kabupaten/kota lokasi
penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2.
Perkembangan Gakin Menurut Kabupaten/Kota Diurutkan
Berdasar Data Tahun 2003
dari yang Terendah hingga yang Tertinggi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Kab/Kota
Jakarta Selatan
Jakarta Utara
Balikpapan
Salatiga
Tabanan
Malang
Makassar
Pekanbaru
Klungkung
Serang
Jepara
Kutai
Indragiri Hulu
Probolinggo
Kupang
Jeneponto
Timor Tengah Selatan
Pandeglang
2001
%
2,9
5,0
8,9
38,3
9,0
11,9
9,4
9,4
13,6
26,3
26,0
29,2
32,8
45,1
38,1
21,2
36,9
47,4
Persentase Gakin
2002
%
2,6
5,0
7,1
11,5
8,9
11,9
27,0
9,2
17,6
25,6
25,7
20,4
32,2
37,7
40,5
23,1
31,8
42,7
2003
%
2,4
4,3
6,5
8,0
8,6
11,7
11,9
16,5
17,6
19,5
26,2
28,5
33,6
36,6
37,6
41,8
44,9
46,9
Sumber: Sumber: Laporan Sekretariat JPS-BK, DepKes RI
Pada tingkat kabupaten/kota, pada tabel di atas tampak variasi daerah dalam
persentase keluarga miskin. Di antara 18 kabupaten/kota lokasi penelitian, terdapat sebaran
yang cukup merata antara daerah dengan persentase Gakin rendah, sedang, hingga tinggi.
7
Perubahan persentase Gakin di lokasi penelitian bervariasi: ada yang naik, turun atau
berfluktuasi. Tetapi secara umum urutan persentase Gakin di antara 18 kabupaten/kota
lokasi penelitian tidak banyak berubah dari tahun 2001 hingga tahun 2002.
4.2 KINERJA PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN DASAR UNTUK GAKIN
4.2.1 Utilisasi Pelayanan Kesehatan oleh Gakin
Kunjungan Gakin merupakan salah satu sasaran utama dalam program pelayanan
penduduk miskin dengan tujuan mempertahankan, atau bila mungkin, meningkatkan akses
masyarakat miskin kepada pelayanan kesehatan
Tabel 3.
Utilisasi Pelayanan Kesehatan oleh Gakin di Sembilan Propinsi
Tahun 2002
No
(1)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Propinsi
(2)
Riau
Banten
DKI Jakarta
Jateng
Jatim
Bali
NTT
Kaltim
Sulsel
Rata-rata
Jumlah gakin
pemegang KS
yang
Jumlah gakin
mengunjungi
Persen
pemegang Kartu
fasilitas
kunjungan gakin Jumlah Total
Sehat (KS)
kesehatan
KS*
kunjungan
(3)
(4)
(5)
(6)
138,029
49,164
35.6
85,782
411,521
201,682
49.1
352,464
135,986
38,350
28.2
111,739
1,798,433
546,093
30.4
1,233,646
1,773,346
388,564
21.9
1,069,406
74,090
25,274
34.1
50,007
330,733
147,281
44.5
311,206
68,518
27,415
40.0
54,646
412,651
195,749
47.4
568,592
36,8
Intensitas
kunjungan (**)
(7)
1.74
1.75
2.91
2.26
2.75
1.96
2.11
1.99
2.90
2,26
Sumber: Laporan Sekretariat JPS-BK, DepKes RI
Catatan: (*) persentase jumlah gakin pemegang kartu sehat yang mengunjungi fasilitas kesehatan (4)
terhadap jumlah gakin pemegang katu sehat (3)
(**) jumlah kunjungan per gakin per tahun yaitu (6)/(4)
Dari tabel di atas terlihat bahwa intensitas kunjungan Gakin ke fasilitas kesehatan
berkisar antara 1.74 sampai 2.91 kunjungan per Gakin per tahun. Adapun rata-rata
intensitas kunjungan di sembilan propinsi tersebut adalah 2,26 kunjungan/Gakin/tahun.
Jika di asumsikan rata-rata jumlah anggota setiap keluarga Gakin adalah 4,5 orang, maka
“contact rate” per penduduk miskin adalah 2,26/4,5 = 0,5 kunjungan per orang per tahun.
Angka ini kurang lebih sama dengan “contact rate” penduduk secara umum (atas dasar
analisis data Susenas). Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa program
JPS-BK/PKPS-BBM paling tidak bisa mempertahankan akses penduduk miskin kepada
pelayanan kesehatan, sama dengan akses penduduk secara umum.
8
4.2.2 Paket Pelayanan dalam Program JPS-BK/PKPS-BBM
Program PKPS BBM tahun 2003 merupakan kelanjutan JPS-BK. Di sini terlihat
perbedaan antara paket menurut Pedoman tahun 2002 dengan Pedoman tahun 2003, yaitu
dihilangkannya paket Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Kemudian pada pedoman
2003 ada tambahan pelayanan yang disebut secara spesifik, yaitu imunisasi Hb dan
pelayanan kesehatan mata.
Walaupun daerah masih menggunakan pedoman 2002, yang memberi pelayanan gizi,
khususnya makanan pelengkap air susu ibu (MP-ASI), perlu dikaji lebih lanjut apakah
pelayanan tersebut memang tepat dihilangkan seperti tercantum pada pedoman 2003.
Balita dan bayi yang kurang gizi sangat rentan terhadap berbagai penyakit, terutama
penyakit infeksi. Selain itu, kurang gizi pada bayi dan balita bisa berdampak jangka
panjang terhadap mutu SDM. Jika dilihat dari dari jumlah target (beneficiaries) yang
memerlukannya, pelayanan PMT tersebut ternyata sangat dibutuhkan.
4.2.3 Gambaran Utilisasi Dana dan Pola Penyakit
Data tentang utilisasi atau penggunaan dana untuk penduduk miskin di Puskesmas
dan RS dapat membantu menunjukkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan Gakin. Pada
tabel berikut disampaikan pola utilisasi dana Gakin di Puskesmas dan RS di daerah studi.
Tabel 4
Gambaran Utilisasi Dana Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin
di Daerah Kajian Tahun 2002
Kota Makassar
Kabupaten
Jene-ponto
Kota Ma-lang
Kotamad-ya
Ja-karta Utara
7,9
67,7
25,4
100,0
44,0
100,0
99.9
98.5
-
-
59,7
-
84,0
-
33.9
22.4
60.0
-
69.7
-
-
-
31,9
20,4
26,6
88,2
95,0
94,5
99.1
48.9
102.8
100.0
80.0
-
110.0
57.42
-
57.7
62.1
58.75
82.58
99.08
100.0
-
-
90.0
20.0
100.0
-
-
-
-
113.2
20.0
100.0
-
-
55,5
41,8
88,5
93,9
61.2
6.8
100.0
10.0
100.0
100.0
15.6
38.0
82.22
12.8
Kota
Pekanbaru
Persentase Gakin
Gakin yang mendapat Kartu
Sehat
Jumlah Gakin ke Puskesmas
Jumlah anggota Gakin ke
Puskesmas
Bumil mendapat ANC
Bulin ditolong Bidan
Bufas dan bayi mendapat
yankes
Rujukan bumil oleh bidan ke
Puskesmas
Rujukan Bumil oleh
Puskesmas ke RS
Mendapat PMT
Bumil/bufas KEK
Bayi 6-11 bulan
Kabupaten
Pan-deg-lang
Jenis Pelayanan
Kabupaten
Indragiri Hulu
Cakupan (Tahun 2002)
(dalam persen dari target)
9
Bayi 12-23 bulan
Bayi 24-59 bulan
Posyandu Aktif
Dana yang disalurkan
42,1
27,8
100
100
90,5
98,5
100,0
100
5.6
3.7
83.8
80.2
100.0
100.0
100.0
98.0
100.0
100.0
100.0
100.0
9.7
52.8
85.0
85.0
Kabupaten
Jene-ponto
Kota Makassar
Kota Ma-lang
Kotamad-ya
Ja-karta Utara
Kabupaten
Pan-deg-lang
Kota
Pekanbaru
Jenis Pelayanan
Kabupaten
Indragiri Hulu
Cakupan (Tahun 2002)
(dalam persen dari target)
62.7
4.95
100.0
100.0
Sumber: Laporan Sekretariat JPS-BK, DepKes RI
Keterangan:
ANC: Antenatal Care
Bufas: Ibu Nifas
Bulin: Ibu Bersalin
Bumil: Ibu Hamil
KEK: Kurang Energi Kronik
PNC: Posnatal Care
Yankes: Pelayanan Kesehatan
Utilisasi pelayanan KIA dan KB menunjukkan tingginya kebutuhan Gakin akan
pelayanan KIA (ANC, PNC) dan persalinan, termasuk pelayanan KB. Sementara itu
pelayanan gizi, khususnya PMT untuk bayi (MP-ASI) dan ibu hamil (bumil) juga
kebutuhan esensial penduduk miskin
Data pola penyakit di Puskesmas dan RS di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa 10
penyakit terbesar yang diderita pasien rawat jalan adalah demam, ISPA, penyakit kulit,
diare, demam typoid, infeksi gigi dan mulut, TBC, malaria, diabetes, hipertensi dan
kecelakaan. Sedangkan untuk pasien rawat inap meliputi demam berdarah dengue, diare,
TBC, Typoid dan appendisitis akut.
10
4.3 SISTEM PELAYANAN DAN KAPASITAS PELAYANAN KESEHATAN
4.3.1 Kelengkapan Jaringan pelayanan
Pada tabel di bawah ini digambarkan kelengkapan jaringan pelayanan di beberapa
kabupaten/kota.
Tabel 5
Proporsi Tenaga Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan di Daerah Studi
Tahun 2003
Kab/Kota
Kota Pekanbaru
Indragiri Hulu
Serang
Pandeglang
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Salatiga
Jepara
Kota Malang
Probolinggo
Klungkung
Tabanan
Kupang
Timor Tengah Utara
Balikpapan
Kutai
Kota Makasar
Jeneponto
Rata-Rata
Dokter
Bidan di Desa
per Puskesmas
per desa
3,54
1,85
0,31
0,83
4,40
1,31
0,83
2,25
3,60
1,30
1,46
1,32
2,33
0,42
1,60
1,00
2,23
6,4
2,1
1,12
0.39
0.93
0.29
1,21
1,25
0,91
0,62
0,47
1,03
1,16
0,52
0,88
0,26
0,70
0,78
Posyandu
per desa
9,2
2,1
0,1
2,7
14,7
16,4
13,4
5,2
11,0
3,8
4,8
6,6
4,6
2,7
47,0
2,8
6,1
3,1
8,7
Sumber: Kabupaten Dalam Angka
Dengan menggunakan angka rata-rata 6,3 Posyandu per desa sebagai dasar,
terdapat 11 dari 18 daerah yang secara relatif memiliki Posyandu di bawah rata-rata.
Dengan demikian penyebaran Posyandu kurang merata. Empat daerah yaitu Serang, TTU,
Kutai dan Jeneponto mengalami kekurangan sangat parah (kurang dari 50 persen rata-rata
seluruh daerah).
Angka ini menunjukkan bahwa peranan Posyandu memang sudah menurun drastis
di sebagian besar daerah. Angka ini menunjukkan bahwa peranan Posyandu memang
menurun drastis di sebagian besar daerah. Kalau dipercayai bahwa Posyandu cukup sukses
11
di masa lalu dalam mencapai target beberapa jenis pelayanan dasar, maka temuan ini
menunjukkan betapa pentingnya untuk melakukan revitalisasi Posyandu.
4.3.2 Kepuasan Pasien Gakin terhadap Pelayanan
Dalam studi ini juga disurvai kepuasan pasien Gakin yang berobat ke unit-unit
pelayanan kesehatan, yaitu RSUD dan Puskesmas. Yang ditanyakan adalah kepuasan
terhadap keramahan dokter, keramahan perawat, kemudahan administratif, waktu tunggu,
dan pemberian informasi kepada pasien.
Untuk RSUD, hasil survai menunjukkan bahwa pasien yang menganggap dokter
sangat ramah (8,5%), ramah (89,1%) dan tidak ramah (2,4%). Yang menganggap perawat
sangat ramah (7,0%), ramah (89,1%) dan tidak ramah (4,0%). Tetapi rata-rata pasien
menganggap keramahan dokter dan perawat di DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, dan
Kalimantan Timur masih menjadi masalah yang cukup tinggi. Sekalipun demikian, secara
umum sebagian besar pasien Gakin menyatakan bahwa dokter dan perawat cukup ramah.
Pasien Gakin yang menganggap kecepatan pelayanan administrasi di RSUD sangat
cepat (3,6%), cepat (86,3%) dan tidak cepat (10%). Namun sebagian besar pasien Gakin
menganggap administrasi penerimaan terasa lambat dan rumit di DKI Jakarta, Jawa Timur
dan Sulawesi Selatan. Sementara itu waktu tunggu pasien dianggap masih lama. Hal ini
hampir secara merata terjadi di semua propinsi (rata-rata 12,2%). Di propinsi Jawa Timur,
proporsi ini sangat tinggi yaitu mencapai 40%, diikuti DKI Jakarta dan Nusa Tenggara
Timur sebesar 22,7%.
Salah satu hak pasien adalah mendapatkan informasi tentang penyakit yang
diderita. Dalam kajian ini terungkap bahwa masih banyak pasien Gakin (10%) yang
menganggap bahwa pihak rumah sakit tidak menginformasikan penyakitnya dengan jelas.
Proporsi yang relatif cukup besar terjadi di Jawa Timur, Banten dan Jawa Tengah.
Sementara itu 7,13 % pasien gakin yang berobat ke Puskesmas menganggap informasi
penyakit mereka tidak jelas.
Di tingkat Puskesmas, prosentase pasien Gakin menganggap pelayanan dokter tidak
ramah sangat tinggi: rata-rata 22,78%. Proporsi ini lebih tinggi dibanding ketidakramahan
dokter di rumah sakit. Proporsi ini cukup merata di sembilan propinsi studi.
Kurang primanya pelayanan di Puskesmas juga terjadi terhadap waktu tunggu dan
informasi penyakit. Rata-rata 9,74% pasien Gakin mengangap bahwa waktu tunggu tidak
cepat, dengan proporsi yang merata di delapan propinsi. Proporsi di Puskesmas ini juga
lebih tinggi dibanding proporsi pasien Gakin yang merasa waktu tunggu yang tidak cepat
di Rumah sakit.
4.4 PENYALURAN DAN MANAJEMEN DANA
4.4.1 Penyaluran Dana
Terdapat kelemahan sistem penyaluran dana dari Depkes menuju ke empat
rekening, atas nama Rumah sakit, Sekretariat PKPS-BBM Dinas Kesehatan, Puskesmas
dan bidan di desa; yaitu tidak ada mekanisme kontrol pencairan dana. Dari segi manajemen
keuangan hal ini membuka peluang terjadinya “mismanagement”. Sungguhpun demikian,
mekanisme ini memiliki kekuatan, yakni mencegah proses administrasi yang rumit dan
panjang, yang bisa merugikan unit pelayanan. Jika diberlakukan sistem klaim sesuai
12
dengan bukti pelayanan, seorang bidan bisa menghabiskan ongkos transportasi yang lebih
besar dari pada jumlah dana yang akan diklaimnya dari kantor pos. Kasus ini terjadi kalau
jumlah persalinan yang ditanganinya dalam sebulan hanya sedikit.
4.4.2 Ketepatan Waktu Realisasi
Sudah diketahui bahwa turunnya anggaran PKPS-BBM sangat terlambat. Dana
yang digunakan untuk kegiatan 2003 adalah sisa anggaran 2002. Namun hal ini tidak
banyak mempengaruhi unit-unit pelayanan seperti RSUD, Puskesmas dan bidan di desa,
kepada penduduk miskin. Unit-unit pelayanan tersebut berupaya menggunakan dana dari
sumber lain untuk sementara waktu.
4.5 KEBUTUHAN BIAYA
4.5.1 Kebutuhan Dana JPS-BK/PKPS-BBM
Salah satu pendekatan lain untuk mengukur kecukupan adalah melakukan evaluasi
dari pengalaman empiris setelah program JPS-BK/PKPS-BBM berjalan beberapa tahun.
Pertama, dalam kajian ini ditanyakan kesan kualitatif responden tentang kecukupan dana
tersebut atas dasar pengalaman mereka. Hasilnya menunjukkan semua RS mengeluh
bahwa alokasi dana tidak cukup, sedangkan responden dari Puskesmas dan bidan yang
menyatakan tidak cukup masing-masing hanya 11,1% dan 11,8%.
Untuk mengetahui sejauh mana “magnitude” kekurangan dana tersebut di rumah
sakit, ditanyakan berapa seharusnya dana yang disediakan dibanding dengan dana yang ada
sekarang. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk RS, kenaikan dana yang disarankan
berkisar dari 100% (dua kali lipat) sampai 300% (empat kali lipat).
4.5.2 Masalah Biaya Transportasi
Dalam studi demand terhadap pelayanan kesehatan, barier financial yang dihadapi
users, temasuk biaya transportasi dan biaya pelayanan. Di Indonesia, biaya pelayanan
rawat jalan di Puskesmas mendapat subsidi besar dari pemerintah. Di beberapa daerah,
tarif Puskesmas berkisar antara Rp 1.000 sampai Rp 5.000. Tarif tersebut relatif kecil
dibanding biaya transportasi. Misalnya, dari hasil wawancara dengan pasien terungkap
bahwa biaya transportasi rata-rata antara Rp 5.000 – Rp 15.000 (Pandeglang), Rp 5.000 –
Rp 30.000 (Kutai dan Balikpapan), dan Rp 10.000 – Rp 20.000 (Klungkung). Dengan
demikian, pemberian pelayanan gratis di Puskesmas bagi penduduk miskin belum
menghilangkan seluruh hambatan finansial.
Dari segi provider, banyak Bidan mengeluh kekurangan biaya transportasi untuk
melakukan ANC dan PNC, karena harus mengunjungi rumah pasien yang jaraknya cukup
jauh. Sekarang biaya transportasi yang tersedia adalah antara Rp 5.000 sampai Rp 10.000.
Banyak Bidan yang diwawancarai mengusulkan agar biaya transportasi tersebut dinaikkan
menjadi antara Rp 10.000-Rp 20.000/kunjungan.
4.6 PROSPEK PENGEMBANGAN SISTEM ASURANSI KESEHATAN
Salah satu indikator potensi pengembangan sistem asuransi kesehatan adalah
jumlah atau proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor formal; lebih-lebih kalau asuransi
kesehatan sosial akan dikembangkan mencakup seluruh penduduk. Dari 18 daerah kajian,
13
Pekanbaru, Makasar, Malang dan Balikpapan mempunyai porsi tenaga kerja sektor formal
agak tinggi, yaitu di atas 70% dari semua tenaga kerja. Di daerah lain, angka tersebut
bervariasi di bawah 50%. Sedikitnya penduduk yang bekerja di sektor formal akan
menyulitkan pengembangan sistem asuransi, khususnya dalam pengumpulan premi.
Dengan demikian pada masa sekarang, mengintegrasikan dana JPS-BK/PKPS-BBM ke
dalam sistem asuransi kesehatan belum memungkinkan, karena asuransi kesehatan belum
berkembang.
4.7 Sharing antara Pusat dan Daerah
Kemampuan fiskal daerah menunjukkan bahwa total anggaran kesehatan untuk
gakin tahun 2003 relatif kecil bila dibanding total APBD daerah. Di Kutai besarnya
berkisar 0,2 %, sementara di Probolinggo 3,6%. Pihak daerah sebetulnya bisa memberi
kontribusi dari APBD tanpa menimbulkan “kegoncangan” fiskal yang berdampak pada
kegiatan pembangunan secara umum. Perbandingan besarnya dana kesehatan gakin dengan
APBD menunjukkan bahwa potensi daerah cukup besar untuk mendukung JPS-BK/PKPSBBM.
Berdasar informasi responden dari Bappeda, Dinas Kesehatan, dan DPRD,
umumnya menyatakan daerah perlu memberi komitmen untuk kesehatan penduduk miskin
yang diwujudkan dalam alokasi APBD. Bahkan untuk daerah tertentu, disebutkan besarnya
“sharing” tersebut relatif terhadap APBD atau Pendapatan Asli Daerah (PAD). Besar
“sharing” yang disarankan bervariasi antara antar 5% dari PAD di Serang hingga 40% dari
dana Gakin di Kutai.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
1. Identifikasi Penduduk Miskin
Menentukan Gakin dengan kriteria dari BKKBN plus, ternyata cukup baik dan
cukup efektif di banyak daerah. Walaupun mengandung beberapa kelemahan, disarankan
tetap menggunakan kriteria “BKKBN-plus”, sebelum ada kriteria/instrumen lain yang
lebih baik. Pertimbangannya adalah pendataan “BKKBN-plus” di lapangan dilakukan
secara teratur, sudah memasyarakat, dan sudah terbukti “implementable”.
2. Pelayanan Kesehatan Esensial untuk Penduduk Miskin
Paket pelayanan JPS-BK seperti ditentukan dalam pedoman JPS-BK tahun 2000
dan 2002 sudah mencakup kebutuhan esensial penduduk miskin. Pola penyakit Gakin yang
dirawat di Puskesmas dan RS juga bisa dicakup oleh paket pelayanan menurut pedoman
2002 tersebut.
3. Sistem Pelayanan Kesehatan
Secara umum kapasitas RSUD dan Puskesmas sudah cukup untuk melayani
penduduk miskin. Berkaitan dengan pelayanan oleh bidan, masalah utama yang perlu
diperhatikan adalah menjamin penempatan bidan di semua desa dan mencukupi kebutuhan
biaya operasional bidan, khususnya biaya transportasi untuk melakukan ANC dan PNC di
rumah peduduk miskin. Revitalisasi Posyandu tetap harus dilakukan lebih terencana dan
14
terarah, mengingat perannya sangat penting (dan terbukti efektif) dalam program
immunisasi, diare, peningkatan gizi dan KIA/KB, serta mobilisasi peran serta masyarakat.
4. Sistem Pembiayaan dan Manajemen Dana
Sistem penyaluran dana yang berlaku sekarang adalah penyaluran bersifat “supply
side approach”, belum bisa diterapkan “demand side approach”; misalnya memberi
sejumlah kupon berobat gratis kepada Gakin. Potensi “mis-targeting” dan penyalahgunaan
kupon tersebut sangat besar (misalnya memperjual belikan kupon).
5. Kebutuhan Dana
Kekurangan dana terutama dihadapi Rumah Sakit. Atas dasar pengalaman empiris,
pihak RS menyarankan untuk menaikkan alokasi dana, dua sampai tiga kali lipat dari
alokasi dana tahun 2003. Untuk Puskesmas, dana yang dialokasikan selama ini sudah
cukup untuk membiayai pelayanan langsung. Akan tetapi ada keluhan dari bidan tentang
kurangnya dana kegiatan non-pelayanan, yaitu biaya transportasi kegiatan di lapangan.
6. Prospek Mengitegrasikan Dana Gakin dalam Asuransi Kesehatan
Pada masa sekarang, di daerah yang diteliti, belum memungkinkan
mengintegrasikan dana JPS-BK/PKPS-BBM ke dalam suatu badan asuransi, kecuali di
DKI Jakarta. Di Jakarta, ternyata kemampuan daerah mengalokasikan dana untuk
kesehatan penduduk miskin cukup besar. Disamping itu proporsi tenaga di sektor formal
cukup tinggi.
7. Prospek ”Matching Grant”
Potensi daerah memberi kontribusi pendanaan untuk kesehatan penduduk miskin
cukup besar. Ini terlihat dari kecilnya persentase total dana JPS-BK/PKPS-BBM yang
dialokasikan terhadap APBD. Penerapan kontribusi tersebut hendaknya dilakukan dengan
sistem “matching grant”, yaitu keharusan daerah memberikan kontribusi sebagai syarat
alokasi dana pusat.
5.2 REKOMENDASI
1. Perlu dilakukan studi untuk menemukan kriteria operasional yang lebih sensitif dan
spesifik. Studi tersebut dilakukan di berbagai kelompok masyarakat miskin yang
berbeda. Prioritas hendaknya diberikan pada masyarakat industri, petani, nelayan, dan
masyarakat di daerah perkotaan.
2. Untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan bagi penduduk miskin, pelayanan
pelayanan berikut bisa dianggap esensial, yaitu, pertama, pelayanan KIA dan KB
termasuk pelayanan KB, ANC, PNC, Pertolongan Persalinan, Rujukan pelayanan
kebidanan ke RS, dan immunisasi bumil, bayi dan balita (dan immunisasi Hb jika dana
tersedia.Kedua, Gizi, yaitu MP ASI anak 6-11 bulan selama 180 hari, PMT Anak 12 –
23 bulan, selama 90 hari, PMT Anak 25-59 bulan selama 52 minggu, dan PMT
bumil/bufas selama 90 hari. Ketiga, pelayanan Kesehatan Dasar, khususnya pengobatan.
Keempat, rujukan ke rumah sakit
15
3. Revitalisasi Posyandu harus tetap dilakukan, karena merupakan bagian dari
pengembangan sistem kesehatan daerah dan terbukti efektif dalam beberapa program
kesehatan dan partisipasi masyarakat.
4. Penyaluran dana langsung ke rekening bidan perlu tetap dipertahankan dan bidan
diberikan kemudahan mencairkannya. Untuk Puskesmas dan RS, pencairan akan lebih
baik melalui sistem klaim dengan bukti-bukti pelayanan.
5. Penetapan biaya pertolongan persalinan sebesar Rp 50.000 dan biaya ANC/PNC
sebesar Rp 5.000 ditetapkan pada tahun 2000. Banyak yang menyarankan agar biaya
tersebut dinaikkan, paling tidak menjadi Rp 100.000 untuk persalinan dan Rp 10.000
untuk ANC/PNC.
6. Perlu dilakukan pemetaan kemampuan fiskal daerah dan kemudian membagi daerah
(400 kabupaten/kota) menjadi beberapa strata. Informasi tersebut, ditambah dengan
informasi jumlah Gakin dan kebutuhan dana kesehatan Gakin, dipergunakan untuk
menetapkan persentase kontribusi daerah.
7. Penerapan kontribusi hendaknya diakukan dengan sistem “matching grant”, yaitu
daerah harus memberi kontribusi sebagai syarat alokasi dana dari pusat.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bennet, S dan Gilson, L. Health Financing: Designing and Implementing Pro-poor
Policies. Health System Resource Center. London, 2001.
BPS. Data Dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002. Buku-1: Propinsi. Jakarta 2002.
BPS. Data Dan Informasi Kemiskinan Tahun 2002. Buku-2. Kabupaten. Jakarta 2002.
BPS. Metodologi Penentuan Rumah Tangga Miskin 2000. Jakarta, Desember 2000.
Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan PKPS-BBM Bidang Kesehatan. Jakarta 2003.
Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Program JPS-BK. Jakarta, Agustus 1999.
Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Program PD-PSE Bidang Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial. Jakarta, 2001.
Dirjen Yanmedik, Depkes. Bulletin Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM
Bidang Kesehatan di Rumah Sakit. Edisi April 2003. Ditjen Yanmedik, Depkes RI,
2003.
Gani, Ascobat, Analisis Biaya Pelayanan Gakin, RSUD Cianjur. Dirjen Yanmedik Depkes
RI, 2001
Gani, Ascobat, Proposed Health Sector Adjustment to Protect the Health Status of the
Poor and the Vulnerable. Policy Workshop: Health Sector Reform to Minimize the
Impact of the Economic Crisis, National Institute of Health Research, Department
of Health, Indonesia, Jakarta July 15, 1998.
Gani, Ascobat, The Effect of Economic Crisis on Health. The 4th Asia-Pacific Social
Science and Medicine Conference. Yogyakarta, Indonesia, 7-11 December, 1998.
Gwatkin, Davidson R., Free Government Health Services: Are They The Best Way to
Reach The Poor? March 2003.
IBI (Ikatan Bidan Indonesia). Disampaikan pada Kongres IBI XII. September 2003
WHO, Indonesia. 2002. Thee Millenium Development Goals for Health: A Review of the
Indicator
Download