tinjauan fikih terhadap bentuk pemaksaan hubungan seksual suami

advertisement
TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN
HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)
Oleh :
Veratih Iskadi Putri
NIM : 107043101798
PROGRAM STUDY PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN
SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI
Skripsi
Oleh:
Veratih Iskadi Putri
NIM : 107043101798
Dibawah Bimbingan
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF
NIP. 150050917
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
yang
berjudul
“TINJAUAN
FIKIH
TERHADAP
BENTUK
PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI,” telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 September 2011. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu
Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum
dengan Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh.
Jakarta, 27 September 2011
Dekan, Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP : 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
: DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.,
NIP : 196511191998031002
Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si
NIP : 197412132003121002
Pembimbing : Prof. Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF
NIP. 150050917
Penguji I
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A.
NIP : 195703121985031003
Penguji II
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si
NIP : 197412132003121002
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN
SEKSUAL SUAMI KEPADA ISTRI
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya otomatis batal demi hukum.
Jakarta, 06 September 2011
Penulis
Veratih Iskadi Putri
NIM. 107043101798
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta : 06 September 2011
Penulis
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan,
kesehatan serta telah melimpahkan Hidayah serta Inayah-Nya sehingga penulis
mampu melangkah kepada hal yang lebih positif serta mampu menyelesaikan skripsi
dengan judul “Tinjauan Fikih Terhadap Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual
Suami Kepada Istri” sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
pada Program Studi Perbandingan Madzhab Fikih (PMF) Jurusan Perbandingan
Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawatullah Wasalamuhu, semoga senantiasa terlimpahkan kepada revolusioner
penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Rasulullah
SAW.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari beberapa pihak
terkait yang telah banyak memberikan motivasi serta kritikan yang kostruktif. Untuk
itu penulis mempersembahkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta dan pembantu Dekan I, II, III yang telah membimbing dan
memberikan ilmu kepada penulis.
i
2. Bapak DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada
penulis disela-sela kesibukan beliau.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga
membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktifitas yang
berkenaan dengan jurusan.
4. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin, AF. MA., selaku pembimbing, atas segala
nasehat, petunjuk serta jerih payah yang dengan sabar dan telaten
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan staf perpustakaan yang
telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. Yang sangat penulis cintai dan hormati Ibu (Diah Utami) dan Ayah (H.
Muhammad Ishak), adik (Dwi Elda, Yus Rizal, Muhammad Ali Ridho) yang
selalu memberikan motivasi serta do’a yang tiada henti kepada Allah SWT.
Terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada keluarga yang selalu
memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
perkuliahan (skripsi) dengan baik.
ii
7. Kepada semua pihak yang telah ikut membantu terselesainya skripsi ini
dengan baik, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Semoga atas bantuan dan dorongan yang dicurahkan kepada penulis akan menjadi
amal ibadah yang diterima di sisi Allah SWT. Dan semoga mendapatkan balasan
yang setimpal dari-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh
dari kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan pengetahuan serta ketajaman
analisis yang penulis miliki. Harapan penulis mudah-mudahan karya tulis ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Jakarta, 16 Agustus 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I :
BAB II :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................
5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................
6
E. Metode Penelitian .......................................................................
7
F. Sistematika Pembahasan ............................................................
9
TINJAUAN UMUM
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang
P-KDRT ..................................................................................... 11
B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No.23 Tahun
2004 ............................................................................................ 16
C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang PKDRT ......................................................................................... 28
D. Relasi Suami Istri Menurut Islam .............................................. 31
BAB III :
PENYAJIAN BAHAN HUKUM PENELITIAN
A. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Isteri
Dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih ..................................... 43
B. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Seksual Suami Terhadap Istri
Dalam Rumah Tangga Perspektif Undang-undang No. 23
Tahun 2004 ................................................................................ 51
iv
C. Hukum Melakukan Pemaksaan Hubungan Seksual Antara
Suami Terhadap Istri Menurut Fikih .......................................... 63
BAB IV:
PANDANGAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
SALINAN
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
TENTANG KEKERASAN SEKSUAL
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang NO.23 Tahun
2004 Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan
Seksual Suami Kepada Istri ........................................................ 74
B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai
Masalah Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada
Istri .............................................................................................. 78
C. Analisis Hukum Islam Dalam Pemaksaan Hubungan Seksual
Antara Suami Kepada Istri ........................................................... 82
BAB V :
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 85
B. Saran-Saran ................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 88
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri serta hidup damai
dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat diidamkan oleh setiap
pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan berubah menjadi
kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai dengan adanya
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam bukunya, Zainuddin Ali
menyebutkan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara
seorang pria dengan seorang wanita (suami-istri) yang mengandung nilai ibadah
kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan
yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri.1 Perkawinan merupakan
suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika keduanya
saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.2
Sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.51.
2
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta : Pustaka AlKautsar), Cet kelima, 2006, h.159-160.
1
2
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda : Orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik kepada istrinya”. (HR. Tirmidzi)3
Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual suami dan istri memiliki hak
yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri). Idealnya adalah
persetubuhan yang yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan
nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang
dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami,
sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi
ketika datang bulan.
Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri (marital
rape) sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang
memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh
istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah
satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki
mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa
berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum
laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya
terhadap kaum perempuan.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya
secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap
3
h.387.
Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Ibn Saurah, Sunnah at-Turmudzi, (Beirut : Dar al Fikr, 1994),
3
perempuan. Akan tetapi, sangat ironis pelaku kekerasan seksual terhadap istri
yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang
penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan ke dalam delik
pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh
perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ fisik tapi juga
psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar
hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh
pemaksaan menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang
istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang
baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan.
Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya
dengan penindasan.
Dalam undang-undang KDRT pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psilokogis, dan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan
menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara
lain: Pertama, inferior (merasa rendah diri) dan tidak percaya diri. Kedua, kerap
dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami „kalap”. Ketiga, menderita
gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stress, seperti infertilitas
(kurang mampu menghasilkan keturunan) dan kacaunya siklus haid.
4
Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi
bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap
isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu
berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal
ini dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat
penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang
memperhatikan
bentuk-bentuk
kekerasan
seksual
suami
terhadap
istri.
Sebagaimana di dalam Hukum Islam, KDRT sama halnya dengan penganiayaan,
dimana hal ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan cedera atau
cacat pada seseorang, 4 sehingga pelaku KDRT dapat dikenakan sanksi tanpa
melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah
pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar
hukum Allah SWT atau tidak.
Dalam Hukum Islam, orang yang melakukan tindakan kekerasan atau
penganiayaan seperti lebam akibat pemukulan dengan benda keras, tidak dapat
diganti dengan diyat karena sulit menetapkan ukuran diyatnya. Dalam hal ini
hukuman penggantinya adalah ta‟zir yang ditetapkan oleh imam atau Negara
melalui badan legislatifnya.5 Tapi hukuman ta‟zir bisa menjadi hukuman qishas,
apabila dengan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dengan sengaja. Allah
h.273
4
Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, (Jakarta : CV. Amalia), 1986, h.35
5
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor : Prenada Media Kencana), Cet.1, 2003,
5
memerintahkan kepada hamba-hambanya. Apabila terjadi pertengkaran antara
suami dengan istri, maka diselesaikan dengan cara damai. Istri memaafkan suami
dengan tidak meminta imbalan atau istri memaafkan suami dengan menuntut
diyat yaitu denda ganti rugi yang dibayar suami kepada istri dengan proses
pengadilan karena perbuatan yg membuat istri cedera.6
Upaya penggalian bentuk kekerasan tersebut, penulis ingin mengetahui
lebih dalam dengan mengangkat judul penelitian yaitu: “TINJAUAN FIKIH
TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI
KEPADA ISTRI ”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada problematika sosial di atas, maka mendapatkan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam
rumah tangga perspektif Fikih?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap istri dalam
rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT?
3. Bagaimana hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami
terhadap istri menurut fikih?
6
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, (Jakarta :
Darul Haq), 2001, h.126-127.
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap
isteri dalam rumah tangga perspektif Fikih.
2. Untuk menggambarkan bentuk-bentuk pemaksaan seksual suami terhadap
isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tentang P-KDRT.
3. Untuk mengetahui hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara
suami terhadap istri menurut fikih.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian
terutama bagi pengembangan ilmu atau pembangunan dalam arti luas, dengan arti
lain, uraian dalam sub bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas
masalah yang diteliti. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Teoritis: sebagai bentuk usaha dalam mengembangkan khazanah keilmuan,
baik penulis maupun mahasiswa fakultas syariah.
2. Praktis: dapat menghindari pola pikir sempit dan menyimpang tentang hukum
islam yang mengindahkan bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri.
7
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif, dikatakan penelitian
deskriptif karena akan memberikan penjelasan atau pemaparan. Hasil
penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang menyeluruh dan
sistematis serta memberikan data yang seteliti mungkin. 7 Dikatakan penelitian
deskriptif karena di dalam penjelasan menggunakan metode yuridis normatif.
Dikatakan penelitian yuridis normatif, karena bertujuan untuk menjelaskan
dan menerangkan suatu produk hukum. Penelitian ini juga dapat dikatakan
sebagai penelitian hukum positif, karena penelitian ini akan membahas norma
hukum yang akan diterapkan di dalam masyarakat.
Adapun secara spesifik, maka penelitian ini akan membahas tentang
Pemaksaan hubungan seksual suami terhadap isteri perspektif UU No. 23
tahun 2004 dan beberapa kitab fiqh.
2. Bahan Hukum Penelitian
Adapun bahan hukum di dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
kategori
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum yang isinya mengikat.
Dikatakan mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah. Adapun yang
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press),
2008, Cet ke 3, h.10.
8
menjadi data primer di dalam penelitian ini adalah Pemaksaan hubungan
seksual suami terhadap istri perspektif UU No. 23 tahun 2004 dan
beberapa kitab fiqh.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan
hukum primer. Adapun yang menjadi bahan hukum sekunder di dalam
penelitian ini adalah buku-buku, atau rujukan semisalnya yang secara
langsung maupun tidak membahas permasalahan yang menjadi rumusan
masalah di dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian
Dalam rangka pengumpulan bahan hukum untuk penelitian ini,
dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan sistematis. Studi
kepustakaan
sistematis
khusus
untuk
undang-undang
yang
dilacak
berdasarkan sumber yang berupa himpunan peraturan perundang-undangan
yang ada. Dengan demikian, tehnik pengumpulan bahan hukum dalam
penelitian ini adalah:
a. Penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan yang
berkaitan dengan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.
b. Penelusuran bahan kepustakaan yang membahas masalah kekerasan suami
istri terutama yang berkaitan dengan seksual.
9
4. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian
Analisis terhadap bahan hukum dalam penelitian ini ditujukan untuk
menghasilkan gambaran atau keadaan yang sebenarnya mengenai dasar
hukum tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami atas istri dalam
perundang-undangan dan peraturan hukum yang sedang berlaku. Kemudian
bahan yang didapat atau yang sudah terkumpul tersebut dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif, yaitu dengan cara
mengumpulkan bahan yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan teori
atau ketentuan hukum yang diperoleh dalam studi kepustakaan.8
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan merupakan rangkaian urutan dari beberapa uraian
suatu sistem pembahasan dalam suatu karangan ilmiah. Dalam kaitannya dengan
penulisan ini secara keseluruhan terdiri empat bab, yang disusun secara sistematis
sebagai berikut :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya memuat tentang
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : Merupakan tinjauan umum tentang KDRT. Dalam bab ini akan
dijelaskan beberapa hal yang ada kaitannya dengan sejarah lahirnya Undang-
8
Arief Furchan, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Usaha Nasional), 1992,
cet pertama, h.112.
10
Undang No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT, Pengertian KDRT menurut
Undang-Undang No.23 Tahun 2004, Pasal-Pasal kekerasan seksual dalam
Undang-Undang P-KDRT, Relasi suami istri menurut Fikih.
BAB III : Merupakan penyajian data yang memuat (1) bentuk-bentuk
tindakan kekerasan seksual seorang suami terhadap isteri dalam rumah tangga
perspektif fikih. (2) bentuk-bentuk tindakan kekerasan seksual suami terhadap
isteri dalam rumah tangga perspektif Undang-Undang No.23 Tahun 2004 (3)
Hukum melakukan pemaksaan hubungan seksual antara suami terhadap istri
menurut fikih.
BAB IV : Merupakan pandangan hukum islam terhadap salinan putusan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang kekerasaan seksual yang memuat (1)
Pandangan Hukum Islam terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT mengenai bentuk pemaksaan hubungan seksual suami kepada istri (2)
Relevansi Hukum Islam dengan Hukum Positif (3) Analisis Hukum Islam dalam
pemaksaan hubungan seksual antara suami kepada istri.
BAB V : Penutup, penulis akan mengakhiri seluruh penelitian ini dengan
suatu kesimpulan dan tidak lupa untuk menyertakan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT
Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasaan
Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh kementrian Pemberdayaan
Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan
Bersama (SKB) antara Mentri Pemberdayaan Perempuan RI, Mentri Kesehatan
RI, Mentri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasaan terhadap
perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan
dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum.1
Di tingkat daerah, Gubenur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat
Keputusan (SK) No.751 Tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan
terpadu bagi Perempuan dan Anak korban kekerasan. SK yang ditandatangani
pada tanggal 10 Desember 2003 ini pada intinya membentuk Tim Penanganan
Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang mempunyai cakupan
kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan dan
1
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan
dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17.
11
12
advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM
dan Lembaga profesional lainnya.2
Di tingkat Regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN
menandatangani Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan, di
Jakarta pada tanggal 13 juni 2004. Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama
regional dalam mengumpulkan dan mendeseminasikan data untuk memerangi
kekerasan terhadap perempuan, promosi pendekar holistik dan terintegrasi dalam
mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan
pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik
untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.3
Adapun
yang
menjadi
gagasan
dan
latar
belakang
pentingnya
pembentukkan sebuah UU PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan
korban kekerasan terjadi di ranah domestik rumah tangga ataupun keluarga. Di
mana kekerasan rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang signifikan
dari hari ke-hari, baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, maupun
kekerasan seksual dalam kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut
sudah menjurus dalam bentuk tindakan pidana penganiyaan dan ancaman kepada
korban yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan, atau
penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang.
2
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan
kebun, h.17.
3
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan
kebun, h.17.
13
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan
2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat.
Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang
dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 –
2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Data kekerasan
3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004,
20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan
terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun
2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka
KtP berkisar antara 9% – 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007
11%.
KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun
2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP
pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus,
dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111
pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak
berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di
Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur).
Tahun 2002, RUU diajukan ke Komisi VII DPR RI dan diseminarkan di
DPR. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR. Lalu
memutuskan membahas RUU KDRT. Puncaknya pada tanggal 13 Mei 2003,
14
melalui sidang Paripurna di DPR, RUU anti KDRT yang diusulkan kelompok
perempuan secara resmi menjadi RUU inisiatif DPR. 4 Pembahasan RUU anti
KDRT di DPR (Pansus Komisi VII) yang dimulai pada tanggal 22 Agustus 2004
berlangsung cepat, namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa
anggota dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya RUU,
seperti ruang lingkup, bentuk/jenis KDRT yang mencakup marital rape, hukum
acara tentang pembuktian dan peran-peran aparat. Selesai sidang pleno, kemudian
RUU tersebut segera dibawa ke sidang paripurna melalui pandangan umum
fraksi-fraksi dalam rangka keputusan akhir DPR apakah menolak atau mensahkan
RUU menjadi Undang-Undang.
Tahun 2004 adalah tahun yang bersejarah bagi perempuan Indonesia, dan
khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
karena pada tahun inilah lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam
Rumah Tangga, setelah diperjuangkan selama 8 tahun oleh berbagai organisasi
perempuan. 5 Pada tanggal 14 September 2004 dinyatakan sah dalam sidang
paripurna DPR, UU yang semula dinamai UU KDRT ini kemudian pada tanggal
pada 22 September 2004, Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga.
Pada hari yang sama, pihak Sekretariat Negara mengundangkannya ke dalam
4
Ratna Batara Munti, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga
“sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. (LBH-APIK Jakarta,
2005) Edisi ke-2. h.5
5
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan
dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17
15
Lembaran Negara Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga atau lebih dikenal dengan UU P-KDRT.6
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini
menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan
khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan
kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT
yang dialaminya, pada khususnya. Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya
dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban
gender perempuan korban yang seringkali harus ditanggung sendiri, kuatnya
budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban
kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar
kekerasan
yang dialaminya,
cenderung ragu untuk mengungkap fakta
kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun
komunitas. Keyakinan ‟berdosa‟ jika menceritakan ‟kejelekan, keburukan, atau
aib‟ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.
Dalam UU. No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT aturan marital
rape diatur dalam pasal yang diistilahkan dengan pemaksaan hubungan seksual,
yang secara tegas diatur pada pasal 8 ayat 1. Dalam penelitian tersebut yang
menjadi pembahasanya yaitu bagaimana tanggapan hukum dalam UU. No. 23
6
Beberapa Pakar hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, R. Dyatmiko
Soemodihardjo, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Perpustakaan Nasional), Cet
1, Mei, 2006, h.19.
16
tahun 2004 dan hukum islam tentang pemaksaan hubungan seksual seorang suami
terhadap istri (Marital rape), sedangkan dalam penelitian yang akan saya tulis,
lebih fokus pada bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan suami terhadap istri dalam
perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam.
B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis,
seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi
dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri
diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional,
ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri.
Dalam Undang-Undang No.23 tahun 2004, yang dimaksud dengan KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.7
Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004, yang dimaksud
dengan kekerasn seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
7
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT, pasal 1 ayat 1.
17
wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Berbagai bentuk kekerasan
terhadap perempuan masih sering kita jumpai dimana-mana, di dalam rumah
tangga, di lingkungan kerja, dalam lingkungan sosial, dan dalam kehidupan
bernegara.8 Kekerasan dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan :9
1. Perihal yang bersifat, berciri khas
2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain
3. Paksaan
Kekerasan adalah perilaku yang bersifat menyerang atau bertahan yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik yang bersifat terbuka atau
tertutup. 10 Sedangkan kekerasan dalam konteks perempuan adalah tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis
termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam
8
Abdul Muqsit Ghozali, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan (Bunga
Rampai Pemikiran Ulama Muda), Jakarta : Rahima, 2002, Cet.1, h.105.
9
Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka),
2005, Cet.3, h.550.
10
Siti Musdah Mulia, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal manusia : Modul Pelatihan Untuk
Pelatih Hak-Hak Reproduksi Dalam Perspektif Pluralisme, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan
Jender), 2003, Cet.1, h.104.
18
kehidupan pribadi.11 Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan suami terhadap istri tanpa memperdulikan keadaan istri yang mungkin
dalam kondisi lemah, baik fisik maupun non-fisik. Melakukan hubungan seksual
berkali-kali dalam waktu yang sama sementara istri tidak menyanggupi
melakukan hubungan seksual dengan ancaman paksaan.
Hubungan seksual yang dilakukan suami dan istri, yang lebih banyak
menikmati hubungan tersebut adalah suami. Sementara itu, istri hanya bersikap
pasif, hanya melayani. Tidak pernah mengungkapkan perasaan puas atau tidaknya
dalam hubungan seksual itu.12 Hal seperti ini terjadi disebabkan oleh salah satu
pihak melaksanakan kehendak seksual sendiri terhadap pasangannya. Dan
menganggap bahwa hal itu kewajiban perempuan, sehingga para suami
mengabaikan hak istri untuk menikmati hubungan seks.
Banyak pihak berpendapat bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) perlu diatur tersendiri di luar KUHP, bahkan RUU KUHP yang baru dan
merupakan revisi KUHP yang lama dianggap tidak cukup untuk dapat
mengakomodir keseluruhan masalah KDRT. Karena masalah KDRT mencangkup
beberapa aspek, kepentingan perempuan, sudut pandang yang berbeda khususnya
dalam hal penyidikan dan pembuktiannya. Hingga akhirnya pada tanggal 14
september 2004, DPR akhirnya menyetujui RUU penghapusan kekerasan dalam
11
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung :
Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.154.
12
Sri Suhandjati Sukri, dkk, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta : Gama
Media), 2002, h.158.
19
rumah tangga (KDRT) untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat
paripurna DPR setelah tertunda kurang lebih enam tahun. Dibandingkan
Malaysia, Indonesia terkesan lamban merespon permintaan kaum perempuan
mengenai perlunya payung hukum bagi perempuan agar terhindar dari pelaku
tindak kekerasan.13 Meskipun pada dasarnya UU ini ditujukan untuk melindungi
siapapun, baik laki-laki maupun perempuan khususnya mereka yang berada
dalam posisi subordinat, dan rentan terhadap KDRT akibat adanya relasi sosial
yang timpang di masyarakat, apakah karena jender, jenis kelaminnya, usianya,
status social atau kelas sosial. Nilai strategis UU ini adalah menggeser isu KDRT
dari isu privat menjadi isu public. Karena dulunya masalah kekerasan dalam
rumah tangga dianggap sebagai masalah hubungan suami istri atau masalah
pribadi yang tidak bisa diintervensi orang lain. Bahkan KUHP tidak menganggap
masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah kejahatan. UU
penghapusan KDRT ini memberi ruang kepada Negara untuk melakukan
intervensi terhadap kejahatan yang terjadi dalam rumah tangga. Adapun asas yang
melandasi UU ini adalah penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia
merdeka, kesetaraan dan keadilan gender, diskriminasi dan juga perlindungan
terhadap korban. Sedangkan kata kunci dalam UU KDRT adalah pergaulan yang
baik antara suami dan istri (muasyarah bil ma‟ruf). Sedangkan tujuan UU KDRT
yang terdapat dalam naskah akademik peraturan perundang-undangan tentang
kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :
13
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung :
Penerbit Mizan), 2005, Cet.1, h.177.
20
1. Mencegah kejahatan KDRT
2. Melindungi korban dan saksi kasus KDRT secara maksimal
3. Memberikan kemudahan bagi korban maupun saksi kasus KDRT untuk
melaporkan ataupun memperoleh bantuan
4. Menciptakan upaya pemulihan terutama bagi korban, namun tidak menutup
kemungkinan bagi pelaku kasus KDRT
5. Menciptakan sistem penegakkan hukum yang tepatguna oleh aparat hukum
6. Bahwa KDRT merupakan masalah publik, bukan masalah domestik
Dalam pembahasan mengenai UU ini terjadi perdebatan yang cukup
panjang. Kelompok yang tidak setuju pada konsep RUU menghendaki agar UU
nantinya tidak akan semakin menimbulkan perpecahan dalam rumah keluarga,
tidak akan menambah tingginya angka perceraian dimasyarakat. Sebab,
kebanyakan masyarakat beranggapan jika pihak istri diberikan wewenang atau
kebebasan, dikhawatirkan akan menyalahgunakan hak kebebasannya tersebut. UU
kekerasan dalam rumah tangga membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat
macam, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan
kekerasan ekonomi. Kekerasan seksual dibagi menjadi dua yaitu kekerasan
seksual berat yang terdiri :
1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang
menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
21
2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban
tidak menghendaki.
3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan
atau menyakitkan.
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan
atau tujuan tertentu.
5. Terjadinya
hubungan
seksual
dimana
pelaku
memanfaatkan
posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka atau cedera.
Sedangkan yang termasuk dalam kategori kekerasan seksual ringan berupa
pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, siulan, ejekan, dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat
melecehkan dan atau menghina korban. UU No 23 Tahun 2004 membagi criteria
kekerasan sebagaimana terdapat pada bab III pasal 5 yang berisi : Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara:
1. kekerasan fisik
2. kekerasan psikis
3. kekerasan seksual, atau
4. penelantaran rumah tangga
22
Sedangkan mengenai kekerasan seksual diatur dalam pasal 8 yang
berbunyi : kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c
meliputi:
1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
Secara jelas UU tersebut tidak menyertakan kata-kata perkosaan, akan
tetapi hanya menyertakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan yang dimaksud
dengan lingkup rumah tangga diatur dalam pasal 2 yang meliputi :
1. Suami, istri, dan anak
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga
3. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut
Selain mendefinisikan perkosaan dalam perkawinan UU No 23 tahun 2004
juga mengatur mengenai bukti dan saksi yang diatur dalam pasal 55. Pasal ini
merupakan titik terang untuk para korban marital rape karena pasal ini
meringankan korban dalam hal bukti dan saksi. Selain itu UU ini juga mengatur
mengenai hak-hak korban yang diantaranya ialah :
23
1. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari individu, kelompok, atau
lembaga baik pemerintah ataupun swasta.
2. Korban berhak mendapatkan pelayanan darurat dan pelayanan lainya.
3. Korban mendapatkan pelayanan secara rahasia.
4. Korban berhak atas informasi dan terlibat dalam setiap proses pengambilan
keputusan berkaitan dengan pendampingan dan penanganan khusus lainnya.
5. Korban berhak mendapatkan jaminan atas haknya yang berkaitan dengan
statusnya sebagai istri, ibu, anak dan anggota rumah tangga lainnya.
6. Korban berhak mendapatkan pendampingan secara psikologis oleh pekerja
sosial dan bantuan hukum yang dilakukan advokad pada setiap tingkat proses
peradilan.
7. Korban berhak mendapatkan bimbingan rohani.
Pelayanan darurat yang dimaksud mencangkup pelayanan medis,
konseling, informasi hukum, sarana transportasi ke rumah sakit atau ke tempat
penampungan yang aman. Sehingga korban bisa menenangkan diri dan merasa
aman untuk sementara waktu sebelum kasus tersebut ditangani lebih lanjut oleh
pihak kepolisian. Perlindungan merupakan hal baru dalam hukum pidana
Indonesia. Karena selama ini memang belum ada aturan tentang ha-hal tersebut,
sehingga tidak heran kalau dalam UU ini masalah perlindungan diatur sangat
terperinci. Alasannya ialah karena dalam kasus perkosaan dalam perkawinan,
diperlukan untuk menghentikan berlanjutnya tindakan tersebut. Memisahkan
pelaku dari korban sangat penting, karena tinggal bersama dalam satu tempat
24
tinggal atau paling tidak keduanya mempunyai kesempatan untuk dengan mudah
dapat bertemu atau berhubungan. Dalam kerangka perlindungan ini, UU memuat
sejumlah kewajiban pemerintah untuk menjamin terciptanya perlindungan yang
dimaksud, diantaranya ialah memfasilitasi tersedianya pendampingan, pelayanan
darurat, tersedianya pendamping, tersedianya ruang pemeriksaan khusus disetiap
kantor polisi tingkat kabupaten dan kota, dan memberikan perlindungan terhadap
pendamping, saksi-saksi keluarga, anggota komunitas, dan teman korban.
Pemerintah juga memfasilitasi tersedianya aparat, termasuk konselor, pekerja
medis dan pekerja social, dan kesehatan. Masyarakat juga diwajibkan untuk
menyediakan perlindungan yang dimaksud, apabila menyaksikan atau mendengar
terjadinya kasus pemaksaan hubungan seksual suami tehadap istri (marital rape).
Dalam hal ini aparat kepolisian sangat berperan penting, karena kepolisian
diwajibkan
memberikan
perlindungan
sementara
kepada
korban
tanpa
diskriminasi. Kekerasan adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri
sendiri atau terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi
terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu:
1. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan sering kali yang
mendasari tindak kekerasan ini bukan suatu yang dihadapi secara nyata. Hal
ini dibuktikan dengan realitas dilapangan yang menunjukkan bahwa pelaku
telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang
mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan
pada asumsi dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan
25
tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat.
Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan
sebagai perbuatan mesum atau perkosaan. Sehingga ketika dihadapkan jasa
dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan.
2. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan bisa gender.
Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban
kekerasan. Ketidak berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan subtansi
hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau sikorban,
bahkan justru belum adanya subtansi hukum yang mengatur nasib bagi korban
kekerasan, yang umumnya dialami perempuan. Secara umum ada beberapa
bentuk kekerasan gender terhadap kaum perempuan. Pertama, kekerasan
terhadap pribadi (personal violence). Sering kali kaum perempuan secara
personal menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Akan tetapi, tidak terdokumentasi secara resmi
dan baik. Hanya beberapa Negara saja yang memiliki angka resmi, seperti
diamerika dan peru. Di amerika serikat misalnya tercatat, pemukulan terhadap
istri adalah penyebab tertinggi kecelakaan perempuan. Di peru juga
menyebutkan, 70 persen kejahatan yang dilaporkan polisi adalah pemukulan
suami terhadap pasangan mereka. Sementara WHO memperkirakan lebih dari
90 juta perempuan afrika menjadi korban penyunatan (genital mutilation).
Padahal, kekerasan terhadap perempuan tersebut mempengaruhi kesehatan
mental, menghancurkan kepercayaan diri serta menyulitkan perkembangan
26
kepribadian perempuan. Kekerasan yang paling besar adalah dalam bentuk
perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam rumah tangga.
Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan
seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidak relaan ini sering kali tidak
bisa terekspresikan disebabkan oleh factor, misalnya ketakutan, malu,
keterpaksaan baik ekonomi, social maupun cultural, atau karena tidak ada
pilihan dan sebagainya.14
Salah satu segi dalam perjuangan keadilan, khususnya bagi perempuan,
adalah mengungkap tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah mengungkap
tindak kekerasan terhadap perempuan. Pembicaraan tindak kekerasan terhadap
perempuan secara eksplisit, berarti mengungkap sejumlah perilaku dan praktikpraktik terhadap perempuan yang selama ini telah menjadi kebiasaan dan
dianggap biasa oleh masyarakat. Kekerasan ini berupa perilaku yang diwujudkan,
seperti penyalahgunaan seks, pelecehan, ancaman, penindasan, intimidasi,
pemerkosaan, dan sejenisnya. Kekerasan yang halus adalah menguasai, mengikat,
mengontrol, dan tidak menghargai. Dalam situasi ini, hampir selalu pelakunya
adalah laki-laki, dengan korbannya dipihak perempuan. Semua itu adalah bukti
dari pranata-pranata yang mengkondisikan laki-laki dominant di masyarakat.
Dalam budaya patriarkhi, dominasi laki-laki dianggap wajar atas perempuan,
sehingga dianggap wajar pula segala perilaku laki-laki atas perempuan, sungguh
pun perilaku tersebut mengakibatkan pihak perempuan teraniaya, terlukai.
14
Ahmad Suaedy, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren (PT Grasindo, Jakarta), h.78-79.
27
Berangkat dari konsep ketidakadilan, tentu sulit diharap melahirkan keadilan.
Konstruksi social yang bisa gender telah memberikan keleluasan pada laki-laki
untuk memposisikan perempuan sedemikian rupa berada dalam penindasan.
Berbagai bentuk praktik pelecehan terhadap perempuan, juga lebih dikarenakan
praktik-praktik itu mendapatkan berbagai legalitas dari kebudayaan, peradaban,
tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Semuanya itu, seharusnya dikritisi dan dicermati
karena tidak sedikit dari praktik-praktik dimasyarakat hanya merupakan kedok,
mitos-mitos yang diciptakan sebagai benteng untuk pengesahan berlangsungnya
kekuasaan laki-laki. Dalam kesadaran akan bentuk relasi baru yang menuntut
kesetaraan, keadilan, dan saling menumbuhkan, maka harus dilakukan
reposisioning mengenai berbagai bentuk kebiasaan itu, kemudian dinilai mana
yang merugikan, menindas, menyakiti, dan merampas hak-hak perempuan dan
laki-laki. Perempuan beriman akan merefleksikan keadaan hidupnya yang luka itu
kepada kehendak sang pencipta. Kebebasan menggiring umat manusia untuk bisa
maju dan berjejak pada kebahagiaan. Kebebasan dianggap sebagai salah satu hak
manusia
yang paling berharga oleh bangsa
yang
memahami
rahasia
kesuksesannya.15
Kekerasan dalam rumah tangga hingga saat ini tampak kurang mendapat
perhatian serius di kalangan masyarakat. Beberapa alasan bisa dikemukakan.
Pertama, kekerasan dalam rumah tangga cenderung tak kentara dan ditutupi
15
Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan “Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat
Perempuan Baru”, (Yogyakarta : IRCiSoD), Cet.1, Mei 2003, h.49.
28
karena rumah tangga adalah area ”privat”. Kedua, kekerasan dalam rumah tangga
sering dianggap wajar karena memperlakukan istri sekehendak suami masih saja
dianggap bahkan diyakini sebagai hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah
tangga. Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi dalam sebuah lembaga
yang sah (legal), yaitu perkawinan. Kenyataan ini selanjutnya membuat
masyarakat abai dan tak sadar, bahkan muncul pandangan yang keliru bahwa
suami sebisanya harus mengendalikan istri.16
C. Pasal-Pasal Kekerasan Seksual Dalam Undang-Undang P-KDRT
Ketentuan Pasal 5 UU-PKDRT menegaskan bahwa “Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara: a.kekerasan fisik; b.kekerasan psikis;
c.kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga.”
Kekerasan fisik, psikis, seksual, semakin menegaskan bahwa cakupan
diskriminasi adalah berupa bentuk-bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan
ancaman-ancaman lain serupa. “Ancaman lain” yang dimaksud dalam ketentuan
Pasal 1 UU-PKDRT disebut dengan istilah “penelantaran rumah tangga”. Bahkan
UU-PKDRT pun telah menegaskan dalam pengaturan normatifnya sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 5 mengenai larangan kekerasan dalam rumah
tangga dengan cara kekerasan: fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah
16
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.4.
29
tangga, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 6 mengenai apa yang dimaksud
kekerasan fisik, Pasal 7 tentang kekerasan psikis, Pasal 8 tentang kekerasan
seksual, dan Pasal 9 tentang penelantaran dalam rumah tangga.
a. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
b. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak. Rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan seksual yaitu
(1) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
(2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan
hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
d. Penelantaran rumah tangga yaitu
(1) tindakan/perbuatan seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
30
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud diatas juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Substansi pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44Pasal 49 UU-PKDRT menghambat penghapusan KDRT, karena terdakwa dengan
ekonomi mapan cenderung memilih hukuman denda ketimbang hukuman penjara.
Pada hemat penulis bahwa hal ini sebetulnya akan sangat ditentukan oleh peran
hakim yang akan menentukan berat atau ringannya putusan pidana terhadap
pelaku dalam perkara KDRT. Untuk hal itu sangat diperlukan adanya pelatihan
untuk peningkatan sensitisasi gender di kalangan para hakim termasuk sensitisasi
untuk keberpihakan pada keadilan korban, hal mana korban lebih sering pada
perempuan dan/atau anak.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut secara tegas dilarang dan dikenai sanksi
pidana, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Hal
yang lebih memperkuat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu
bentuk diskriminasi adalah sebagaimana dilandaskan pada ketentuan Pasal 28G
ayat (1) dan Pasal 18H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sehingga bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender juga
telah dijamin perlindungannya dalam Konstitusi Indonesia.
31
D. Relasi Suami Isteri Menurut Fikih
Salah satu fungsi keluarga adalah untuk mengembangkan keturunan
dengan cara legal dan bertanggung jawab secara sosial maupun moral. Kebutuhan
biologis merupakan kebutuhan dasar terdapat pada manusia laki-laki maupun
perempuan. Merupakan hal yang alami atau sunnatullah jika suami istri satu sama
lain saling membutuhkan, dan saling memenuhi kebutuhan ini. Keinginan untuk
memenuhi kebutuhan biologis merupakan karunia Allah yang diberikan kepada
laki-laki maupun perempuan yang perlu disalurkan sesuai dengan petunjuknya.
Seks bukanlah sesuatu yang tabu dalam islam, tetapi dianggap sebagai aktifitas
yang sah dalam perkawinan. Tidak ada konsep dosa yang dilekatkan kepadanya.
Seks dianggap kebutuhan prokreasi, dan penciptaan manusia adalah melalui
aktifitas seksual. Karena prokreasi perlu bagi kelangsungan hidup manusia, maka
perkawinan dalam islam menjadi penting sekalipun belum tentu wajib
hukumnya.
17
Laki-laki dan perempuan memang berbeda struktur alat
reproduksinya, tetapi secara psikologis. Allah memberikan perasaan yang sama
dalam hal kebutuhan reproduksi ini. Oleh karena itu suami maupun istri tidak
diperbolehkan bersifat egois, mengikuti kemauan sendiri dengan mengabaikan
kebutuhan pasangannya. Sebab perkawinan memiliki tujuan yang agung, dan
merupakan suatu hubungan cinta kasih dan saling menghormati. Al Qur‟an suratal
Baqarah: 187 menegaskan:
17
Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta:
Yayasan Benteng Budaya), 1994, h.139.
32
              
           
            
             
        
     
)187:2/‫ )البقرة‬     
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamu
pun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu
tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf
dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah/2:187)
Suami istri digambarkan seperti baju. Baju berfungsi untuk menutup aurat,
melindungi badan dari teriknya matahari dan dinginnya udara, dan juga untuk
menghias diri. Dalam konteks suami istri memiliki hak untuk melakukan
hubungan seksual pasangannya secara ma‟ruf dalam arti setara, adil dan
demokratis. Aktifitas seksual suami istri diharapkan dapat menumbuhkan
perasaan indah, mengokohkan rasa kasih sayang dan juga melahirkan rasa syukur
33
kepada dzat yang memberi keindahan dan kasih sayang pada manusia. Dalam Q.S
al Baqarah: 223
            
           
             
)223:2/‫ )البقرة‬ 
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
)Q.S. Al-Baqarah/2:223)
Dalam ayat ini istri diibaratkan seperti ladang atau kebun, suami sebagai
petani pemilik ladang yang bertugas untuk mengelola ladangnya. Secara tekstual
suami seakan-akan memiliki hak dan kewajiban secara aktif dan pemegang peran
dalam mengendalikan kebutuhan seksual untuk dirinya dan istrinya. Pemahaman
tekstual ini berakibat pada cara pandang masyarakat muslim tentang seksualitas,
bahwa laki-lakilah yang memiliki inisiatif, mengatur dan menentukan masalah
hubungan seks, termasuk implikasi lainnya diseputar seksualitas dan hak-hak
reproduksi istri. Lain halnya jika ayat tersebut dipahami dengan memperhatikan
konteks masyarakat pada waktu ayat ini diturunkan. Ayat ini turun pada
masyarakat mengambil latar kehidupan masyarakat arab dengan kondisi
geografisnya yang sangat tandus. Kebun atau taman merupakan sesuatu yang
34
indah dan hanya berada dalam imajinasi mereka. Perempuan (istri) diibaratkan
seperti ladang/ taman/ kebun yang menurut mereka merupakan barang mewah.
Memiliki istri seperti halnya seseorang yang memiliki kekayaan barang berharga
yang sangat diharapkan pada saat itu. Sebagai petani yang baik, ia akan
memperlakukan ladangnya dengan baik, memilih benih yang unggul, menanami,
membersihkan rumput dan memberantas hama, mengairi, dan memupuknya
dengan rutin. Semua aktifitas pertanian ini dilakukan secara bertahap dan pada
saat yang tepat. Demikian pula suami yang diibaratkan sebagai petani yang baik,
dia akan memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik. Sebagaimana
Rasulullah saw bersabda :
Artinya: „‟Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap
keluarganya (istrinya), dan aku adalah orang yang terbaik di antara
kalian terhadap keluargaku”. (HR. Ibnu Majah).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa relasi seksual suami istri
merupakan pahala jika dilakukan dengan cara-cara yang ma‟ruf, karena masingmasing suami atau istri mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan relasi
seksual ini diharapkan dapat memelihara komunikasi lahir batin dalam
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah. Hanya saja ditekankan
bahwa semua itu harus dilakukan dengan memperhatikan etika, tanpa merugikan
satu pihak atas pihak lainnya. Mengingat pentingya mengelola relasi seksual
suami istri dalam rumah tangga, maka diharapkan suami atau istri berpenampilan
yang menyenangkan bagi pasangannya. Mengenali selera pasangan merupakan
35
cara yang tepat. Hubungan seks bukan merupakan hal yang tabu dibicarakan
diantara suami istri. Karena itu penting untuk mendiskusikan tema ini demi
kemaslahatan bersama, seperti apa yang disukai dan yang tidak disukai. Apa yang
kurang dari pasangannya yang dapat mengganggu hubungan baik dan sebagainya.
Sebaliknya membicarakan masalah kekurangan atau ketidakpuasan dalam
hubungan suami istri kepada orang lain merupakan tindakan yang tidak
semestinya dilakukan, bahkan akan dapat membuka aib sendiri. Satu hal yang
perlu diperhatikan dalam membangun relasi seksual suami dan istri dalam islam
menghindari adanya kekerasan seksual terhadap istri. Masalah ini menjadi
persoalan serius tetapi banyak orang yang mengabaikannya. Sebagian masyarakat
masih menganggap bahwa laki-laki (suami) lah yang memegang kendali
kebutuhan seksual istrinya. Suami terhadap istri memiliki hak penuh untuk
mengatur dan memperlakukan istri karena konsep nikah yang digunakan masih
berparadigma lama, dimana nikah dipahami sebagai akan tamlik, sehingga istri
berada dibawah kepemilikan suami. Masalah sekspun ditentukan oleh suami,
salah satu bentuknya adalah pemaksaan hubungan seksual pada saat istri tidak
siap untuk melayani. Relasi suami istri yang benar juga berdasar pada
prinsip”muasyarah bi al ma‟ruf” (pergaulan suami istri yang baik).
Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat islam,
menuju ridho Allah SWT. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja
sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa.
Allah SWT berfirman :
36
  
        
        
)71 :9/‫ )التوبت‬        
Artinya: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah/9:71).
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri dan
tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hakhaknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban
untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan
memperlakukan mereka dengan cara yang makruf. Allah berfirman :
              
  
              
:4 /‫ )النساء‬           
)19
Artinya: „‟Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.‟‟ )Q.S. An Nisa/4:19(
37
Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli
istri-istri mereka secara ma‟ruf. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan
keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri istrinya, selain zina dan
nusyus, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab,
bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan. Jika masingmasing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan
kewajiban sesuai syariat islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam
menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga
dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat
islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman.
Yang dimaksud dengan kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah
kaum laki-laki memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga, mengayomi,
berjuang sekaligus mencukupi segala kebutuhan kaum perempuan. Makna
„‟kepemimpinan” disini merupakan sebuah tanggung jawab besar yang harus
dipikul oleh kaum laki-laki.18
Ayat ini memberikan pengertian bahwa Allah menghendaki dalam sebuah
perkawinan harus dibangun relasi suami istri dalam pola interaksi positif,
harmonis, dengan suasana hati yang damai, yang ditandai pula oleh keseimbangan
hak dan kewajiban keduanya. Keluarga sakinah mawadah warahmah akan
terwujud jika keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis yang
mengatur relasi suami dan istri dalam pergaulan sehari-hari. Untuk itu diperlukan
18
Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan,
Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, (Jakarta : Sinar Grafika), Cet 1 Sep 2003, Cet
2 Jan 2005, h.35.
38
individu-individu sebagai anggota keluarga yang baik sebagai subyek pengelola
kehidupan keluarga menuju keluarga ideal.
Maksud dari ayat di atas juga, adalah menggauli istri harus dilakukan
dengan baik. Ini mencakup menjaga kata-kata, harta, dan perbuatan. Terkait
dengan pergaulan suami kepada istri dan sebaliknya istri kepada suami, harus
dilakukan dengan baik dalam perkataan, perbuatan, maupun materi. Hubungan
badan termasuk mempergauli istri dengan baik, merupakan puncak dari
kenikmatan. Banyak wanita yang tidak menikah kecuali untuk menikmati hal itu.
Maka dari itu suami harus memberikannya kenikmatan berhubungan badan
secukupnya selama dia masih kuat. Adapun jika membahayakan badannya, maka
ini bukan sebagai kewajiban baginya.19
Seorang perempuan muslimah berhak untuk menikmati kebebasan dalam
berfikir dan berakidah. Tugas utama perempuan adalah membuat kaum adam
merasa tenang dan damai ketika berada disamping mereka. Keutamaan laki-laki
adalah mampu untuk bekerja keras melawan rasa lelah dan mengadu nasib dengan
kehidupan di dunia. Menuntut laki-laki untuk menjalankan tugasnya dan
perempuan sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Allah telah meletakan
kemampuan memberikan kasih sayang yang luar biasa dalam diri perempuan.
Tujuannya agar dapat mendidik anak. Sedangkan laki-laki memenuhi semua
kebutuhan keluarga dan menjaganya.20
19
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, (Jakarta : Akbar Media), Cet.1, Januari 2009, Cet.2, Desember 2009, h.333.
20
Syaikh Mutawalli As-Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan,
Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, h.167.
39
An-Nur : 31
         
             
         
            
           
              
)31 :24 /‫ (النور‬         
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau puteraputera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudarasaudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anakanak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.‟‟
(Q.S. An-Nur/24:31)
40
Allah memberikan perintah kepada Rasulnya untuk menyampaikan
kepada laki-laki dan wanita mukmin untuk selalu menurunkan pandangan mata
dan menjaga kemaluan dari zina.21
An-Nisa : 34
           
           
        
:4/‫ )النساء‬           
 
)34
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena
Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.‟‟ (Q.S. An-Nisa/4:34)
Menurut Quraish Shihab, kepemimpinan menurut Al-Qur‟an dibebankan
kepada suami. Pembebanan itu disebabkan 2 hal. Pertama, adanya sifat-sifat fisik
21
Asy Syaikh Al „Allaamah Abdul Azizi bin Baaz, Fatwa-Fatwa Islamiyah Untuk Ukhti
Muslimah, (Solo : At –Tibyan), h.29.
41
dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan
rumah tangga. Jika dibandingkan dengan istri. Kedua, adanya kewajiban memberi
nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.22
Seorang wanita yang mati dan suaminya rela kepadanya, maka surgalah
ganjarannya. Tak mungkin seorang istri dapat menjalankan kewajibannya kepada
Allah kecuali terlebih dahulu menjalankan kewajibannya terhadap suami. 23
Antara suami dan istri seringkali berbeda pandangan mengenai cara mengatur
keluarga secara umum. Namun semua itu akan terselesaikan bila di antara
keduanya terjalin saling pengertian. Tidaklah pantas apabila salah seorang dari
keduanya memaksa pihak yang lain untuk memenhi keinginannya, lebih-lebih
dengan menggunakan kekerasan. Laki-laki seringkali memperihatkan sikap kasar
dan melontarkan kata-kata cemohan yang tidak senonoh, bahkan sampai memaki
dan memukul apabila istrinya tidak mengikuti perintah serta aturannya.24
Islam melihat pernikahan sebagai stabilisator aspek mental dan berbagai
peribadatan. Islam juga memandang pernikahan sebagai sarana pengampunan
dosa dan ketinggian martabat, serta sarana untuk hidup istiqomah dan bertobat.
Pernikahan mengandung perjuangan melawan nafsu dan pelatihan manajemen.
22
Hj. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya‟rawi, (Jakarta :
Teraju), Cet 1 Sep 2004, h.110.
23
Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri, (Jakarta : Cet 1 April 2008), h.27.
24
Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri , h.200-201.
42
Islam memandang pernikahan sebagai sarana memantapkan aspek moral, politik,
stabilitas sosial, dan aspek kesehatan terapi berbagai penyakit kronis.25
Semua berkenaan dengan etika dan akhlak dalam pergaulan suami istri
yang didasarkan pada dalil-dalil yang jelas dan kongkret. Selain itu, penyajian
masalah ini dimaksudkan untuk mengetahui perhatian Islam terhadap kehidupan
rumah tangga dan pergaulan suami istri untuk mencapai kehidupan yang bahagia,
baik dan penuh kemuliaan. Sebuah rumah tangga yang ditinggali oleh anak-anak
shalih dan shalihat yang penuh dengan dinamika dan keakraban. Dari rumah
tangga itu lahir masyarakat yang dinamis, penuh kedamaian yang dihiasi dengan
akhlak mulia dan didalamnya nilai-nilai kemanusiaan dan agama yang sangat
dijunjung tinggi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa perkawinan itu
merupakan suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan. Dari sinilah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa berawal yang
jika kehidupan rumah tangga itu baik, maka akan lahir pula kehidupan
masyarakat yang baik. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya
hubungan yang erat antara pasangan suami istri serta pergaulan yang baik antara
keduanya. Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika
keduanya saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.26
25
Thariq Ismail Kakhya, Nikah dan Seks Menurut Islam, (Jakarta : Dar Al-Mathbu‟ah AlHaditsah), Cet 1 April 2001, Cet 4 Juli 2005, h.23.
26
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006, h.159.
BAB III
PENYAJIAN BAHAN HUKUM PENELITIAN
A. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Dalam
Rumah Tangga Perspektif Fikih
Berdasarkan pada beberapa pengertian secara teoritis yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya, bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami
terhadap istrinya dapat dirumuskan ke dalam kategori marital rape. Adapun
bentuk-bentuk marital rape sebagai berikut:
1. hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri
dalam bentuk fisik dan psikis.
2. hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri misalnya dengan oral atau anal.
3. hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang
mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat.1
Terkait dengan masalah seksualitas suami istri, ada beberapa statemen alQur‟an yang bisa dikemukakan diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 187
yaitu:
              
)187 :2/‫)البقراة‬
1
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.13.
43
44
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu. Mereka (para istrimu) adalah pakaianmu dan kamu
adalah pakaian bagi istri-istrimu.2(Q.S. Al-Baqarah/2:187)
Ayat lain juga menyatakan bahwa suami harus menggauli istrinya dengan
ma‟ruf ini tentunya tidak diperbolehkan adanya kekerasan baik pemukulan,
penganiayaan dan lain sebagainya. Meskipun pada dasarnya istri wajib melayani
permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya,
ia boleh menawarnya atau menangguhkannya, dan bagi istri yang sedang sakit
atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami
sampai sakitnya hilang. Jika suami tetap memaksa pada hakekatnya ia telah
melanggar prinsip muasyaroh bil ma‟ruf dengan berbuat aniaya kepada pihak
yang justru seharusnya ia lindungi. 3 Ulama‟ Madzhab memandang „azl (coitus
interruptus) yakni menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat
mau keluar mani merupakan bagian dari kekerasan seksual yang kemudian dapat
mengarah kepada pemaksaan seksual jika itu tetap dilakukan. Tiga dari empat
madzhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa „azl
tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan
dapat merusak kenikmatan istri. Umar berkata:
2
3
Depag. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h.45.
Masdar F. Mas‟udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (PT. Mizan Hazanah Ilmuilmu Islam, Bandung), Cet. II, 1997, h.113.
45
Artinya: „Rasulullah saw melarang mengeluarkan mani di luar farj istri yang
merdeka tanpa izinnya.‟ (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah ; Al-Muntaqa II :
564)4
Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati hubungan
seksnya. Dengan merujuk pada hadits di atas jelas bagi kita bahwa dalam
hubungan seks dan justru pada detik-detik kenikmatannya istri sama sekali bukan
hanya objek tapi juga menjadi subjek. 5 Dari sini jelaslah perspektif al-Qur‟an
melarang adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap
istri, ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam
perkawinan. Dalam perspektif agama secara makro, maka pemaksaan seksual
merupakan suatu pelanggaran kemanusian. Suami istri ini harus menyatu
membangun diri mereka supaya lebih koordinatif, berbicara untuk menyelesaikan
masalah mereka secara adil dan berdasarkan konsensus, tidak atas dasar
kepentingan sesaat. Ayat-ayat di atas adalah sumber betapa secara teologis Islam
telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan hubungan itu
adalah menyangkut bagaimana laki-laki dihadapkan masalah dengan istrinya.
Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama, sehingga menganggap laki-laki
boleh menguasai perempuan. Dalam hal diatas, biasanya yang dibuat rujukan
adalah QS Al-Nisa‟; 34 yang berbunyi:
5
‫ نيل االوطار الجزء‬4
5
Masdar F. Mas‟udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, h.117.
46
         
)34 :4/‫ )النساء‬      
  
Artinya: “Perempuan yang kamu khawatirkan nusyusnya (pembangkangan),
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah ranjang dari tempat tidur dan
pukullah. Kemudian jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari
jalan untuk menyusahkan mereka."6 (Q.S. An-Nisa/4:34)
Artinya: Rasulullah saw bersabda : „Apabila salah seorang kamu menganggil
istrinya ke tempat tidur, namun istrinya menolak. Kemudian suami tidur
dalam keadaan hati dongkol kepadanya, maka malaikat melaknat
istrinya hingga waktu subuh tiba. (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Dari beberapa teks di atas, baik al-Qur‟an maupun hadis kalau dimaknai
secara tekstual, menunjukkan bahwa suami memiliki kekuasaan mutlak terhadap
istri terutama dalam hubungan seksual sehingga istri tidak memiliki hak
sedikitpun dalam hal tersebut diatas. Seperti kata dlarb atau pemukulan, seringkali
dimaknai secara eksplisit, sehingga sangat wajar hal tersebut seakan-akan
dilegitimasi agama. Dan hadis-hadis di ataslah yang sering dijadikan pengesahan
oleh suami melakukan apa saja ketika ia akan meminta jatah hubungan seksual
terhadap istri. Tingginya egoisme laki-laki untuk menaklukkan perempuan
menyebabkan terjadinya pemaksaan. Pertama dalam fiqh ada yang mengatakan
bahwa perempuan adalah kelemahan dan aurat, maka tutuplah kelemahan dan
6
Depag, Al-Qur‟an dan Terjemahannya h.123.
)120/‫) و مسلم (النكاح‬5193( ‫البخارى‬
7
47
aurat itu dengan diam dan tanpa banyak bicara. tutuplah kelemahan dan aurat itu
dengan tinggal dirumah saja. Kedua ada ajaran fiqh yang menyatakan barang
siapa yang tunduk pada perempuan maka Allah akan menyusupkan mukanya
kedalam api. Istrilah yang harus tunduk pada suami, tidak menentang perintah
tidak memberikan sesuatu dan tidak keluar rumah kecuali atas izin suami. Jika
keluar tanpa izin suami maka malaikat rahmat dan murkanya akan mengutuk
sampai kembali pulang. Ketiga ada ajaran yang menyatakan “suami boleh
memukul istri karena tidak mau bersolek sementara suami menghendakinya atau
karena menolak ajakan tidur bersama atau karena bicara sama laki-laki lain.
Usamah ibn Zaid r.a. menerangkan :
Artinya: „Seorang lelaki datang kepada Nabi saw, lalu berkata : „Sesungguhnya
saya mengeluarkan mani di luar farj istriku.‟ Maka berkatalah
Rasulullah saw, kepadanya : „Mengapa engkau lakukan yang demikian/‟
Orang itu menjawab : Saya sayang kepada anaknya atau kepada anakanaknya. „Maka bersabdalah Rasul saw : „Sekiranya yang demikian itu
memberi mudarat, tentulah telah memberi mudarat kepada orang-orang
Persia dan orang-orang Romawi.‟ (H.R. Ahmad dan Muslim ; AlMuntaqa II : 563)
48
Hadis ini menyatakan, bahwa menumpahkan mani didalam rahim,
tidaklah mengganggu istri yang sedang menyusui dan memberi pengertian bahwa
mengeluarkan mani di luar rahim, adalah salah satu cara mengurangi kelahiran.8
Umar ibnul Khatab .r.a. menerangkan :
Artinya: “Rasulullah saw melarang mengeluarkan mani di luar farj istri yang
merdeka tanpa izinnya.‟ (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah ; Al-Muntaqa II :
564)9
Hadis ini menyatakan, bahwa adzal terhadap istri merdeka dibolehkan asal
mendapat izin dari sang istri. Para ulama berselisihan paham dalam masalah adzal
ini. Ibnul Qaiyim dalam Zadul Ma‟ad, setelah menyebut hadis-hadis dan mazhabmazhab ulama yang berpautan dengan masalah ini berkata : „Ulama yang
membolehkan adzal secara mutlak berhujjah dengan hadis-hadis ini dan dengan
alasan bahwasannya istri hanya berhak merasakan kenikmatan persetubuhan,
tidak berhak menuntut inzal (tumpahnya mani) ke dalam farjnya. Jumhur ulama
membolehkan adzal. Ibnu Hazm mengharamkannya. Adapun mempergunakan
obat untuk menggugurkan nuthfah sebelum ditiup ruh, maka hukumnya sama
dengan adzal. Golongan yang membolehkan adzal, membolehkan ini. Demikian
pula hukum istri menggunakan obat yang menghilangkan daya hamil sama sekali.
8
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, (Semarang : PT
Pustaka Rizki Putra), Cet 3, 2001, h.198-199.
5 ‫ نيل االوطار الجزء‬9
49
Hukum adzal, walaupun dibolehkan namun dia adalah perbuatan yang tidak
disukai (makruh).10
Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap
perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai
menghilangkan nyawanya. Menurut Wahbah Zuhaili bahwa tindak pidana atas
selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik
berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, pencekikan, pemotongan,
penempelengan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya
masih tetap tidak terganggu.11
Diharamkan bagi istri menggunakan obat anti hamil tanpa mendapat
persetujuan dari suami karena keturunan adalah hak suami dan istri, maka para
ulama berpendapat bahwa tidak boleh suami melakukan „azel sementara istrinya
tidak setuju. Azel adalah menumpahkan mani di luar rahim agar tidak terjadi
kehamilan. Akan tetapi jika kedua belah pihak setuju, maka hal tersebut
dibolehkan.12
Dalam kitab Fiqhus-sunnah, Sayyid Sabiq mengatakan : Diperbolehkan
membatasi keturunan jika keadaan suami banyak mempunyai anggota keluarga,
sehingga dikhawatirkan tidak mampu memberikan pendidikan kepada putra
putrinya secara baik. Dengan demikian pula jika istri dalam keadaan lemah atau
10
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8, (Semarang :
PT Pustaka Rizki Putra), Cet 3, 2001, h.200-201.
11
H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika), Cet 1, Maret,
2005, h.179.
12
Amin bin Yahya Al-Wazan, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, (Jakarta : Darul Haq), Cet.V,
Maret, 2008.
50
secara terus menerus hamil, sementara suami dalam keadaan miskin. Pada kondisi
seperti ini pembatasan kelahiran diperbolehkan. Bahkan sebagian ulama
berpendapat, bahwa pembatasan kelahiran pada kondisi seperti ini bukan hanya
dibolehkan akan tetapi disunnahkan. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa beberapa
orang sahabat Rasulullah, dimana mereka memberikan keringanan dalam azl dan
mereka mengganggapnya boleh-boleh saja. Adapun imam Ghazali mengatakan :
Ada beberapa hadis shahih yang membolehkan azl. Sedangkan sabda Rasulullah,
yang menyatakan bahwa azl merupakan tindak pembunuhan secara tersembunyi.
Atau sabdanya, bahwa azl merupakan syirik tersembunyi hanya menunjukkan
kemakruhannya dan tidak berarti haram.13
Menurut Al-Bukhari, Al-Hafizh ibnu Hajar berkata Azl adalah mencabut
zakar setelah masuk ke dalam faraj untuk menumpahkan sperma diluar faraj. Abu
Isa At-Tirmidzi berkata segolongan kaum ahli ilmu dari kalangan shabat Nabi dan
lainnya memperbolehkan azl. Ibnu Taimiyah berkata azl itu diharamkan oleh
segolongan ulama tetapi madzhab imam empat memperbolehkannya dengan
seizin wanita.14
13
Syaikh Kamil Muhammad ‟Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), Cet.1,
1998, Cet.24, April, 2007.
14
h.142.
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta : Gema Insani Press), Cet 1 1998,
51
B. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Dalam
Rumah Tangga Perspektif UU No.23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT
Marital rape adalah kosakata Inggris, gabungan dari kata marital yang
berarti ”segala hal yang terkait perkawinan” dan rape yang berarti
”pemerkosaan”. Marital rape merupakan tindak kekerasaan atau pemaksaan yang
diakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan aktifitas seksual tanpa
mempertimbangkan kondisi istri. Elli N. Hasbianto mendefinisikan marital rape
sebagai pemaksaan hubungan seksual atau serela seksual tanpa memperhatikan
kepuasaan istri. Farha Ciciek mengelompokkan marital rape ke dalam 3 bagian,
yaitu : pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak siap, hubungan seksual
yang diiringi penyiksaan dan pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang
tidak dikehendaki istri. Nurul Ilmi Idrus mendefinisikan marital rape sebagai
hubungan seksual yang disertai paksaan, ancaman, pemaksaan selera sendiri dan
penggunaan obat alkohol terlarang atau minuman berakohol.15
Pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri merupakan
bagian dari kekerasan seksual sebagaimana yang diakomodir oleh UU No. 23
tahun 2004. Berbicara mengenai kekerasan seksual seorang suami terhadap istri
tidak terlepas dari perbincangan mengenai definisi kekerasan seperti yang telah
dipaparkan pada bahasan sebelumnya yakni setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar terhadap orang lain.
15
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, (Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara), Cet.1, Januari 2007, h.11-13.
52
1. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar,
menghambat, meniadakan kenikmatan, dan pengabaian hak asasi perempuan
atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan penderitaan
terhadap perempuan dalam hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun
seksual. Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu,
berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara.
2. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan
pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan
perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,
baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi
3. Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah tindakan sosial, dimana
pelakunya harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat
4. Kekerasan terhadap perempuan adalah pelaku yang muncul sebagai akibat
adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin, dan
berkaitan dengan bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya. 16
Kekerasan terdiri atas tindakan memaksakan kekuatan fisik dan kekuasaan
kepada pihak lain. Biasanya diikuti dengan tujuan untuk mengontrol,
memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Tindak kekerasan terhadap
16
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.18.
53
perempuan meliputi berbagai fenomena, baik hukum, etika, kesehatan, budaya,
politik, maupun moral. 17 Tindak kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya
dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kekerasan yang bersifat fisik dan
nonfisik. Kekerasan fisik antara lain berupa pelecehan seksual, seperti perabaan,
colekan yang tidak diinginkan, pemukulan, penganiayaan, serta perkosaan.
Termasuk dalam kategori ini adalah teror dan intimidasi, kawin paksa, kawin
dibawah tangan, pelacuran paksa, stigma negatif, eksploitasi tenaga kerja, dan
pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi. Sedangkan kekersan nonfisik antara lain
berupa pelecehan seksual, seperti sapaan, siulan, colekan, atau bentuk perhatian
yang tidak diinginkan, direndahkan, dianggap selalu tidak mampu, dan (istri
yang) ditinggal suami tanpa kabar berita. Kekerasan terdiri dari tindakan
memaksakan kekuatan fisik dan kekuasan kepada pihak lain. Biasanya perilaku
ini bertujuan untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain.
Meski tindak kekerasan, baik berbentuk fisik maupun nonfisik, keduanya
menyebabkan implikasi yang serius bagi kesehatan dan mental seseorang, namun
perlu diingat bahwa fenomena ini bukanlah semata persoalan keilmuan medis,
melainkan melingkupi segala aspek kehidupan.18
Demikian juga tindak kekerasan bukanlah fenomena kriminal semata,
melainkan terkait dengan persoalan hukum, etika-moral, kesehatan, serta sosial
17
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (PT. LKiS Pelangi Aksara,
Yogyakarta), h.6-7.
18
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.19.
54
budaya, politik, dan latar belakang seseorang. Tindak kekerasan juga bisa dialami
oleh anak perempuan, sebagaimana dengan anak laki-laki, dimana mereka
merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan orang dewasa, baik
dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan badan hukum. Dalam berbagai
bentuk tindak kekerasan, anak perempuan lebih banyak menjadi korban, baik fisik
maupun nonfisik. Tindak kekerasan ini bisa muncul dalam bentuk perdagangan
dan pelacuran perempuan atau anak perempuan, pemerkosaan, dan lain
sebagainya. Untuk mengetahui secara jelas tentang bentuk pemaksaan seksual
yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam perspektif UU no. 23 tahun 2004,
dapat diidentifikasi sebagaimana uraian berikut ini: UU kekerasan dalam rumah
tangga membagi bentuk kekerasan dalam kategori empat macam, yaitu: kekerasan
fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Sedangkan
Kekerasan seksual sendiri dibagi menjadi dua yaitu:
1. kekerasan seksual berat yang terdiri :
a. pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang
menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b. pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
c. pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan
atau menyakitkan.
55
d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran
dan atau tujuan tertentu.
e. terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f. tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka atau cedera.
2. kekerasan seksual ringan ialah
Berupa pelecehan seksual secara verbal seperti: gurauan porno, siulan,
ejekan, dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah,
gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual
yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina
korban. Seperti yang disinggung sebelumnya, perkosaan dalam perkawinan
adalah hal yang masih kontroversial sampai saat ini. Rancanagan KUHP yang
ingin memasukkan perkosaan dalam perkawinan sebagai perbuatan pidana,
telah memunculkan banyak pertentangan. Sejumlah kalangan menilai kalau
hal tersebut dianggap bertentangan dengan nilai, agama, dan adat istiadat
bangsa Indonesia atau dianggap bertentangan dengan pancasila. Hingga saat
ini kontroversi tentang masalah pemaksaan hubungan seksual suami terhadap
istri tak kunjung berakhir. Meski rumusan tersebut sama sekali tidak
menyebut istilah perkosaan dalam perkawinan, namun karena RUU tersebut
telah menghilangkan kata “bukan istrinya” pada rumusan lama maka segera
terbentuk opini bahwa RUU KUHP mencantumkan delik baru yakni
56
perkosaan dalam perkawinan. Walaupun pada dasarnya rumusan baru tersebut
sebenarnya melarang semua bentuk hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan yang tidak didasarkan persetujuan atau konsen kedua belah
pihak. 19 Pada akhirnya, pasal pemaksaan hubungan seksual suami terhadap
istri (marital rape) dalam RUU KUHP baru tidak jadi diundangkan, karena
pakar hukum yang tergabung dalam panitia khusus RUU KUHP telah sepakat
untuk menghilangkan penjelasan pasal mengenai marital rape dengan alasan
karena masyarakat kita belum siap menerima pasal yang kontroversial.
Berbeda dengan KUHP, UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga mempunyai bentuk hukum acara yang berbeda,
sehingga walaupun didalam UU tersebut tidak ada kata-kata yang menyinggung
perkosaan dalam perkawinan, namun dalam UU tersebut ada kata-kata untuk
kekerasan seksual yang tidak hanya terbatas pada pelaku diluar rumah tangga,
namun juga pada pelaku didalam rumah tangga. UU No 23 tahun 2004 mengakui
bahwa realitas pemaksaan hubungan seksual (pemerkosaan) tidak hanya terjadi di
luar perkawinan, bahkan dalam sebuah perkawinan realitas pemaksaan hubungan
seksual malah sering terjadi.
Namun harus disadari pula bahwa setiap korban mau melaporkan tindakan
pemaksaan hubungan seksual (marital rape) yang dialaminya. Banyak sebab yang
membuat para korban enggan untuk melapor. Sebagian dari mereka menganggap
19
Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Malang: LBH APIK dan Pusat Pengembangan Hukum Dan Gender Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya), 2000, h.22-23.
57
bahwa persoalan seksual dalam sebuah keluarga adalah persoalan domestik, yang
publik tidak berhak untuk ikut campur. Menurut penilaian Apri Danarto, kaum
pria lebih cenderung mengekspresikan kemarahan dan frustasi dalam bentukbentuk kekerasan sehingga mereka lebih dipandang sebagai pasien “akut”. Kaum
wanita lebih banyak didiagnosa menderita depresi. Karena bentuk-bentuk emosi
relative dapat dilampiaskan lebih cepat melalui ngamuk, maka penurunan tingkat
ngamuk dapat dipandang sebagai tanda “kesembuhan”, sehingga pria dipulangkan
lebih cepat. Ini hanya spekulasi saya. Namun mungkin juga pihak keluarga
menginginkan kepulangan mereka karena alasan financial, karena kaum pria lebih
dipandang sebagai pencari nafkah dibanding wanita. 20 Dalam sisi lain, bentukbentuk kekerasan terhadap perempuan yang tertuang dalam deklarasi penghapusan
kekerasan terhadap perempuan, yang di adopsi majelis PBB tahun 1993, pada
pasal 2 adalah:
1. Tindak kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam
keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-anak
perempuan
dalam
keluarga,
kekerasan
yang
berhubungan
dengan
maskawin(mahar), perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin
perempuan, dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap
perempuan diluar hubungan suami-istri, serta kekerasan yang berhubungan
dengan eksploitasi
20
Apri Danarto, Lanskap Hasrat Dan Kekerasan, (Yogyakarta : Jendela), h.273.
58
2. kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat
luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan, dan ancaman
seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya.
3. kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau
dibenarkan oleh negara.21
Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencangkup pelecehan
seksual, memaksa istri baik secara fisik untuk melakukan hubungan seksual dan
atau melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan dan disaat istri tidak
menghendaki, melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar
atau tidak disukai istri, maupun menjauhkan atau tidak memenuhi kebutuhan
seksual istri. Seks merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan
dasar dari sebuah perkawinan. Seks menjadi sarana untuk memperoleh keturunan,
kenikmatan seksual, dan kepuasan seksual. Namun bila salah satu seorang dari
dua insan yang sedang melakukan hubungan seksual tidak menikmatinya, maka
hubungan seksual dapat merupakan sesuatu yang ingin dihindari, bahkan dibenci.
Banyak pasangan suami istri yang tidak menikmati hubungan seksual yang
mereka lakukan. Seks bagi mereka dapat menjadi beban, bahkan dapat dipandang
sebagai sesuatu yang harus dihindari. Hal ini terjadi karena salah satu merasa
tidak diperlakukan selayaknya. Satu pihak memaksakan kehendak seksualnya
tanpa memperhatikan keinginan pihak lain. Pemaksaan dan ketidakacuhan
terhadap hasrat dan kepuasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan
21
Fathul Djannah.dkk, Kekerasan Terhadap Istri, (LKiS, Yogyakarta.) h.12-13.
59
seksual. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering dialami antara lain:
dilecehkan setelah melakukan hubungan seksual, melakukan hubungan seksual
tanpa persetujuan istri, dan tidak memenuhi kebutuhan seks istri karena suami
punya istri lain, serta perselingkuhan atau hubungan suami dengan perempuan
lain diluar nikah.22
Pemaksaan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri seolah
dianggap bukanlah kejahatan. Kekerasan seolah sebuah perlakuan yang biasa saja,
sangat keseharian, dan tidak istimewa. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk
mempermasalahkan dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, berlebihan, dan
terlalu
dicari-cari.
Setiap
upaya
untuk
mempertanyakan,
apalagi
mempermasalahkan dan menggugat kebiasaan, tentu saja akan memunculkan
kontroversi. Namun, upaya itu harus tetap dilakukan karena berbagai bentuk
perlakuan dianggap biasa dan kebiasaan itu telah menimbulkan efek luka pada
pihak korban. Istilah korban selama ini hanya dikenakan pada pihak yang secara
fisik terlukai, karena pemahaman atas manusia hanyalah pada aspek fisik semata.
Unsur-unsur lain yang ada dibalik tubuh manusia sering terabaikan.
Seolah-olah tidak ada hati yang terluka dan tidak ada jiwa yang tergores akibat
perlakuan tidak adil konstruk sosial kepada perempuan. Pelecehan seks adalah
penyalahgunaan hubungan perempuan dan laki-laki yang merugikan salah satu
pihak. Tetapi, pemahaman ini sering ditolak oleh masyarakat karena pemahaman
itu dianggap mengada-ada, terlalu berlebihan. Masyarakat menganggap apa yang
22
Fathul Djannah.dkk, Kekerasan Terhadap Istri, h.45.
60
dilakukan dalam “peristiwa pelecehan seks” itu adalah sesuatu yang biasa saja,
sudah selumrahnya dan tidak perlu diperdebatkan, karena tidak ada yang
berkurang akibat pelecehan itu. Pelecehan perempuan berarti pelecehan seks yang
lebih khusus dikaitkan dengan perempuan, yaitu praktik menguasai perempuan,
dengan merapas hak-hak asasi perempuan sebagai pribadi manusia.
Namun pemahaman atas pelecehan ini, juga dianggap berlebihan, karena
sama seperti pelecehan seks, tidak ada yang berkurang dalam pelecehan itu pada
tubuh perempuan. Semua penilaian itu menunjukkan bahwa aspek-aspek manusia
hanyalah dilihat pada sisi fisik lahiriahnya semata. Sama sekali tidak dilihat
bahwa dibalik tubuh masing-masing manusia itu, terdapat jiwa, perasaan, hati dan
pikiran, dan lebih lagi kehormatan, harga diri. Sisi diluar fisik lahiriah itu sama
sekali dinisbikan, tidak diperhatikan, karena pemahaman dan penghormatan atas
manusia memang semakin merosot. Oleh karena itu, masih banyak lagi praktikpraktik pelecehan perempuan yang belum atau kurang disadari, bahkan oleh kaum
perempuan sendiri. Kondisi ini disebabkan oleh begitu kuatnya pranata sosial
dalam masyarakat, sehingga manusia menjadi tidak sadar bahwa semuanya itu
perlu untuk ditinjau kembali demi keadilan bagi seluruh anggota masyarakat.
Kekerasan seksual dalam rumah tangga terjadi sebagai superioritas suami
terhadap istri. Selanjutnya disebutkan bahwa kekerasan seksual ibarat fenomena
gunung es, 23 dimana masih tersembunyi dan sulit terdeteksi yang muncul dan
23
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung :
Penerbit Mizan), 2004, Cet.1, h.154.
61
kelihatan di permukaan hanya sedikit. Persepsi istri tentang kekerasaan seksual
berkaitan erat dengan kondisi dan situasi dan pengalaman yang dialami istri
dalam melakukan hubungan intim dengan suami. Meskipun persepsi setiap iatri
tentang kekerasan seksual berbeda tapi secara umum bentuk kekerasan seksual
sebagai berikut :
1. Hubungan seksual dengan paksaan24
Memaksa istri untuk berhubungan badan pada istri sedang tidak
bergairah, kelelahan sesuadah beraktifitas seharian, baik di dalam rumah
ataupun di luar rumah. Memukul atau menghempaskan istri ke tempat tidur
bila menolak hubungan suami istri. Suami menuntut istri melayani nafsu
seksualnya, kapan pun, dimana pun, tanpa memperhatikan kondisi istri.
2. Hubungan seksual dengan ancaman
Melakukan ancaman saati istri menolak ajakan suami untuk
berhubungan badan, misal ancaman dengan senjata tajam. Meskipun tidak
sampai melukai fisik istri, akan tetapi kekerasan seksual dengan ancaman ini
dapat menghancurkan kepribadian istri.
3. Hubungan seksual dengan memaksakan selera sendiri
Memaksa istri untuk berhubungan suami istri dengan cara dan gaya
yang di inginkan suami, sementara istri tidak menyukai. Seperti melakukan
24
Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan, (Yogyakarta :
Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada dengan Ford Foundation), 1999,
Cet.1, h.25.
62
hubungan badan dengan gaya yang aneh bagi istri, berhubungan badan saat
istri sedang haid.
4. Hubungan seksual dengan menggunakan obat terlarang atau minuman
berakohol
Bentuk lain dari kekerasan seksual adalah hubungan suami istri yang
dimaksudkan untuk menyakiti istri. Dengan cara memakai obat terlarang,
mabuk, yang menyebabkan istri tersiksa saat berhubungan badan karena bau
alkohol yang menyengat hidung istri. Hal ini dimaksudkan agar suami dapat
melakukan hubungan intim selama mungkin saat pengaruh obat menguasai
dirinya.
Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, suami, istri,
anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga, ataupun orang yang membantu
rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Bahkan perempuan
lebih banyak mengalami tindak kekerasan didalam rumah tangganya sendiri.
Pelaku kekerasan adalah orang yang justru dicintai dan dipercayai untuk
menjaganya : seperti, ayah, suami, paman, kerabat, dan oran-orang di dalam
rumah sendiri.25
25
LBH APIK Jakarta, Undang-Undang, h.3
63
C. Hukum Melakukan Pemaksaan Hubungan Seksual Antara Suami Terhadap
Istri Menurut Fikih
Secara umum, pemaksaan tidak akan ada tanpa adanya penolakan terlebih
dahulu. Pemaksaan hubungan seksual muncul dari akibat sikap penolakan. Untuk
penolakan istri melayani suami, al-Qur‟an maupun hadis mengambil sikap tegas
dalam pelarangannya. Dan sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw :
Artinya: ”Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, sedangkan
istrinya tidak memenuhinya, lantas semalaman suami merasa kecewa
terhadapnya, maka dia dilaknat malaikat hingga pagi”. (HR. Bukhari
dan Muslim)27
Pada hadis di atas, para istri diwajibkan untuk memenuhi ajakan para
suaminya ke tempat tidur. Pemahaman tentang adanya perintah wajib tersebut
adalah laknat para malaikat yang ditimpakan kepada istri yang menolak terhadap
ajakan suami. Logikanya, para malaikat tidak mungkin akan melaknati seorang
hamba yang tidak melakukan maksiat. Dan setiap perbuatan maksiat adalah
dilarang. Dengan ditolaknya keinginan seksual suami, maka timbul beberapa
persoalan baru. Pertama, kewenangan suami untuk memaksa istrinya melayani
hasrat seksualnya.
26
)120/‫) و مسلم (النكاح‬5193( ‫البخارى‬
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Shahih
al-Bukhari, Darul Maktaby As-Sya‟by, juz III, h.260.
27
64
Oleh karena tidak adanya penolakan maka sebaiknya dalam perkawinan
tidak perlu ada kekerasaan seksual. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surat alNisa ayat 34 :
)344 :4/‫ ) النساء‬        
Artinya: ”Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). (Q.S. An-Nisa/4:34)
Maksud memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. Dalam ayat
tersebut adalah istri dapat menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada dan tidak
berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri sendiri maupun harta bendanya.
Inilah merupakan kewajiban tertinggi bagi seorang istri terhadap suami. 28
Kewajiban taat kepada suami ini berlaku dalam segala hal yang tidak
bertentangan dengan syara‟, dan selama perintah suami tidak membawa kepada
maksiat.
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan melakukan
hubungan seksual jika hal itu dapat mendatangkan bahaya bagi istrinya. Dalil
yang dipakai sebagai dasar pendapat beliau ialah firman Allah surat al-Nisa ayat
19 :
)19 :4/‫ )النساء‬ 
   
Artinya: ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. (Q.S. An-Nisa/4:19)
28
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta :
Rajawali, 2009, h.160.
65
Keharusan mempergauli istri dengan cara yang makruf ini berlaku bagi
suami pada setiap keadaan. Ini dapat dipahami dari kelanjutan ayat di atas :
”Maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu.
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Memaksakan persenggamaan dengan cara kekerasan adalah perbuatan
yang sangat tidak terpuji. Perbuatan itu hanya akan menyebabkan penderitaan
batin dan fisik istri. Ketidaksiapan istri melayani hubungan seksual yang
dipaksakan hanya akan mendatangkan berbagai gejala gangguan kesehatan baru
pada organ reproduksinya. Penolakan istri bersumber pada dua faktor, yaitu fisik
dan psikis. Sedangkan pemaksaan suami dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu libido
seksual dan sikap perilaku seksual.
Al-Qur‟an surat al-Baqarah : 233
             
               
              
             
              
)233 :2/‫ )البقراة‬ 
Artinya: ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
66
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”(Q.S.
Al-Baqarah/2:233)
Ayat di atas sering di salah pahami dan digunakan sebagai alasan suami
untuk menang sendiri. Suami memposisikan istri sebagai objek yang harus
menuruti kemauan suami, khususnya masalah seks. Sementara itu, di pihak istri
sering memandang bahwa ini adalah bentuk sebuah pengorbanan, bukan hanya
untuk suami saja, melainkan juga untuk menjaga keutuhan keluarga. Salah satu
tujuan Allah memberikan wadah pernikahan bagi umatnya adalah untuk
menghalalkan hubungan seksual diantara setiap pasangan. Suami halal menikmati
tubuh istrinya, dan begitu juga dengan istri halal untuk menikmati tubuh
suaminya. Persetubuhan yang dilakukan diluar pernikahan disebut zina.
Persetubuhan
yang halal
menjadikan
tentram
di
hati
pasangan
yang
melakukannya. Tidak terbesit rasa khawatir, cemas di dada mereka terhadap
perkataan fitnah dari orang lain saat berhubungan badan dengan pasangannya.
Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual, suami dan istri memiliki hak
yang sama (keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri) Idealnya adalah
persetubuhan yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu
“birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang
67
dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami,
sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi
ketika datang bulan. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah
melanggar hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang
didasari oleh pemaksaan (pemerkosaan) menyebabkan hanya pihak suami saja
yang dapat menikmati, sedang istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa
kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi
keselarasan akses kepuasaan. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan
atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.
Di dalam islam persetubuhan yang akan dilakukan oleh kedua pasangan
haruslah dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dimulai dengan cumbu rayu
dan ciuman. Idealnya suami yang akan menggauli istrinya menghindari cara-cara
kekerasan. Suami yang menggauli istrinya dengan kekerasan akan menyebabkan
banyak penderitaan bagi istri.29
             
              
              
)228 :2/‫ )البقراة‬  
29
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007.
68
Artinya: ”Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” )AlBaqarah/2:228(
Ayat ini menerangkan tentang hak laki-laki yang menjadi kewajiban
perempuan dan hak perempuan menjadi kewajiban laki-laki. Dalam ayat ini telah
diberikan pengutamaan kepada hak istri yang menjadi kewajiban suami,
kemudian baru hak suami yang menjadi kewajiban istri. Maka hak-hak
perempuan ada sebagian diterangkan Allah SWT dalam Al-Qur‟an dan ada pula
sebagian diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya. Perempuan telah
dipandang enteng dalam banyak masyarakat, namun hal yang aneh adalah bahwa
kesalahan ini sering dislaahkan pada ajaran islam, yang telah memperlihatkan
respek sepenuhnya dan rasa keadilan kepada perempuan.
Allah berfirman : ”perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada istrinya (dalam bentuk tenggungjawab keuangan), di
sini tampak dengan jelas ketentuan hak dan kewajiban yang sama antara suami
dan istri. Meskipun demikian satu catatan, pada masyarakat tertentu masa lalu,
bahwa perempuan cenderung memberikan lebih ketimbang hak yang mereka
69
terima, tau bahwa mereka diperlakukan dengan kekerasan yang tidak semestinya
dan diremehkan.30
Telah diterangkan dalam surat al-Baqarah bagaimana kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam rumah tangga, dan Allah telah menaikan kedudukan lakilaki satu tingkat daripada perempuan yaitu hak mengatur dan hak mengetuai yang
keduanya berada di tangan pihak laki-laki, oleh karena dua sebab. Pertama, pada
umumnya laki-laki mempunyai kelebihan watak dari perempuan. Kedua, laki-laki
mempunyai kewajiban untuk membelanjai perempuan, mengeluarkan nafkah
untuk istri dan anak-anaknya. Dan dalam surat al-Baqarah juga telah diterangkan
apa kewajiban istri terhadap suaminya dan sebaliknya sebagai suami istri. Jika
pihak suami berkehendak melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan suami
istri, maka perempuan tidak boleh membantah kalau bukan karena ada halangan
atau udzur. Adalah satu kesalahan yang masuk daftar dosa besar, jika pihak istri
menolak selapik seketiduran (bersetubuh).31
Mempergauli suami dengan baik merupakan akhlak yang mulia dan amal
yang baik. Seorang istri yang melakukan hal tersebut akan mendapatkan pahala
besar dari Allah.32
30
Syeikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta : Gaya Media
Pratama), 2004, h.18.
31
Syekh H. Abdul Halim Hasam Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h.261.
32
Ali Yusuf As-Subky, Membangun Surga Dalam Keluarga, (Jakarta : Senayan Abadi
Publishing), Cet 1 April 2005, h.147.
70
  
         
    
             
)222 :2/‫ )البقراة‬   
Artinya: ”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.” )Al-Baqarah/2:222(
Suami tidak diperbolehkan mengumpuli istri sehingga mandi setelah
haidnya berhenti. Apabila melakukannya dengan sengaja, maka dia berhak
membayar kafarat. 1 dinar atau ½ dinar, 4,25 gr.33
Menurut bahasa kata isyrah adalah berkumpul atau bercampur. Sangat
dianjurkan kepada pasangan suami istri agar bergaul dengan etika yang baik,
lemah lembut dan bersama-sama menaggung beban hidup.34
33
Syamsuddin TU, Dosa-dosa yang Diremehkan, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar), Cet 1 Nov
1995, Cet 2 Feb 2005, h.58-59.
34
Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, (Jakarta : Gema Insani Press), Cet 1 2005, h.682.
71
Artinya: Dari Abu Sa‟id Al Khudri ra, dia berkata, ”Seseorang mengucapkan ‟Azl
di hadapan Nabi saw, lalu beliau bertanya, ‟Apa yang kalian
maksudkan?‟ Para sahabat berkata, ‟Seorang laki-laki mempunyai istri
yang sedang menyusui, lalu laki-laki itu menyetubuhinya tetapi tidak
menginginkan istrinya hamil (maka ia melakukan azl). Juga seorang
laki-laki yang memiliki budak perempuan, lalu laki-laki tersebut
menyetubuhinya tetapi ia tidak ingin budak perempuannya hamil (maka
ia melakukan azl).‟ Rasulullah saw bersabda, ‟Jangan kalian melakukan
hal itu, karena kehamilan itu adalah takdir. Kata Ibnu Aun, “Aku
ceritakan hal itu kepada Al Hasan, Lalu ia berkata,‟Demi Allah ! Hal
seperti ini adalah sebagai peringatan keras.‟”35
Artinya: ”Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami
mengajak istrinya bercampur, lalu sang istri menolaknya melainkan
Allah yang ada di langit murka kepadanya sehingga suami
meridhainya.” (HR. Muslim)
Dalam islam, pernikahan bertujuan untuk melindungi kali-laki dan
perempuan dari perbuatan zina. Dan hal itu akan terwujud jika tiap-tiap pihak,
baik suami dan istri saling menunaikan kewajibannya. Oelh karena itu, banyak
hadis yang menganjurkan kaum wanita agar segera memenuhi keinginan
suaminya sedapat mungkin meski banyak kesibukan, kecuali jika ada alasan yang
tidak dapat dihindari.36
Sabda Rasulullah saw,
35
Al-Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim Buku 1, Beirut : Al Maktab
Al-Islami, h.582.
36
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006, h.171.
72
Artinya: ”Yang demikian itu adalah pembunuhan terhadap anak secara
sembunyi.” (HR. Muslim)
Azl yaitu seorang suami mencabut kemauan dari kemaluan istrinya pada
saat akan orgasme agar air maninya keluar diluar kemaluan istrinya, baik
dilakukan terhadap budak dengan tujuan agar tidak hamil dan melahirkan anak
atau terhadap wanita merdeka karena adanya kekhawatiran akan dampak yang
kurang baik terhadap istri yang sedang menyusui atau karena tidak menghendaki
kehamilan terlebih dahulu. Dari hadis di atas menunjukkan pengharaman terhadap
tindakan tersebut. Karena al-wa‟du berarti mengubur anak dalam keadaan hidup.
Ibnu Hazm berpegang pada hadis tersebut. Jumhur ulama mengemukakan, ”Azl
itu dibolehkan terhadap wanita merdeka dengan seizinnya dan juga terhadap
budak wanita tanpa harus ada izin darinya. Namun mereka masih berbeda
pendapat tentang seorang wanita mereka yang bercampur dengan budak”.38
Dari Abu Daud dan An-Nasai dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah
bersabda,
Artinya: ”Allah tidak akan melihat seorang yang mendatangi laki-laki atau
perempuan lewat dubur”. (Sanad hadis ini shahih)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda,
)141
/‫ مسلم (النكاح‬37
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006, h.172.
‫ صححه االلباني اداب الزفاف سحيخ الجامع الصغير‬39
38
73
Artinya: ”Dilaknat orang yang mencampuri istri dari duburnya”. (HR. Abu
Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Tirmidzi)41
Segala macam obat-obatan untuk membatasi kelahiran harus dihindarkan
penggunaannya, kecuali dalam kondisi darurat, seperti wanita mempunyai
gangguan rahim atau penyakit lainnya yang mengganggu kehamilan. Dan obatobatan tersebut hanya boleh digunakan oleh wanita yang mempunyai anak lagi
yang seandainya dia mengandung lagi. Dia merasa berat dan tidak mampu
mendidik anak-anaknya dengan baik. Sangat tidak dibenarkan bagi wanita yang
mengkonsumsi
obat-obatan
anti
hamil
hanya
agar
bisa
bekerja
atau
memperlancarkan karir bisnisnya.42
Seorang istri dalam sebuah bangunan rumah tangga memegang peranan
penting yang tidak kalah dibandingkan dengan peranan suami untuk mewujudkan
sebuah keluarga yang surgawi dan penuh taburan rahmat dari Allah SWT. Tidak
sedikit kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang istri. Kewajiban yang paling
penting yang harus dijalankan dengan baik oleh seorang istri adalah melayani dan
mematuhi suaminya dalam hal berhubungan dengan sebuah kedekatan keluarga
antara suami dan istri, sehingga suami benar-benar terhibur dan hatinya selalu
)2162
( ‫ ابوداود‬40
Muhammad ‟Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, Cet1
1998, Cet24, April, 2007, h.420.
42
Alu Asy-Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jakarta :
Darul Haq, 2001, h.98.
41
74
bahagia
memiliki
istrinya
selalu
bahagia
memiliki
istri
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.43
43
Asmawi, Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta :
Darussalam, Cet.1, Maret 2004, h.208.
BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SALINAN PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
TENTANG KEKERASAN SEKSUAL
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004
Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami
Kepada Istri
Pada salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang cerai
gugat, dimana didalamnya membahas masalah KDRT. Dijelaskan mengenai
duduk perkara, bahwa istri menggugat cerai suaminya. Karena keharmonisan
keluarga sudah tidak didapati lagi. Dalam masalah tersebut, suami melakukan
kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran keluarga sebagaimana yang
terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004. Akan tetapi, pihak
pengadilan tidak menghiraukan masalah tersebut. Pengadilan hanya menyetujui
permintaan istri untuk menggugat cerai suaminya.
Menurut pendapat saya, kurangnya perhatian dan kepedulian pihak yang
berwajib dalam menangani masalah KDRT. Seharusnya mereka harus
memperhatikan hukuman bagi orang yang melakukan KDRT dan penanganan
bagi korban. Dalam salinan putusan tersebut, suami memukul istri beberapa kali
74
75
terjadi. Suami juga tidak memberi nafkah lahir dan bathin kepada istri dan anakanaknya selama lebih dari 7-8 bulan.1
Hukum islam tampaknya belum mengakomodir masalah pemerkosaan
dalam rumah tangga, salah satunya karena tidak ada nash yang secara khusus
memberikan penjelasan tentangnya. Hadits yang berbunyi :
Artinya: ”Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, sedangkan
istrinya tidak memenuhinya, lantas semalaman suami merasa kecewa
terhadapnya, maka dia dilaknat malaikat hingga pagi”. (HR. Bukhari
dan Muslim)3
Secara tekstual, hadits di atas terkesan tidak mencerminkan keadilan,
kesetaraan hak, dan mu’asyarah bi al-ma’ruf. Banyak ulama menyarankan agar
hadits di atas tidak dipahami secara harfiah. Musthafa Muhammad Imarah
mengatakan bahwa laknat malaikat itu muncul bila penolakan istri dilakukan
tanpa alasan. Sedang Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa laknat itu terjadi
apabila istri menolak senggama, padahal ia sedang longgar dan tidak takut
disakiti.
Alhasil, pada prinsipnya seorang suami itu tidak boleh memaksakan
kehendak kepada istrinya, khususnya terkait perkara seksualitas. Memaksa
berarti memperlakukan pasangan secara tidak manusiawi dan memandangnya
1
Lampiran Salinan Putusan Nomor 809/Pdt.G/2010/PAJS
2
)120/‫) و مسلم (النكاح‬5193( ‫البخارى‬
3
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Shahih
al-Bukhari, Darul Maktaby As-Sya’by, juz III, h.260.
76
tidak lebih sekadar objek pemenuhan nafsu seks, dan ini adalah tindak pidana
pemerkosaan, yakni pemerkosaan dalam ikatan perkawinan.
Di Indonesia, persoalan marital rape masih menjadi perdebatan. KUHP
sendiri tidak menyebutkan status dan sanksi hukumannya, hingga masyarakat
pun kurang meresponnya. Padahal, bila masalah ini dibiarkan dan tidak
ditangani, kaum
perempuan terus akan dirugikan dan dilukai fisik maupun
psikisnya.
Marital rape hingga saat ini belum mendapat perhatian serius dari aparat
penegak hukum maupun pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan terhadap
hak-hak korban dan memberi hukuman setimpal bagi pelaku. Walaupun UndangUndang No.23 Tahun 2004 tentang P-KDRT telah disahkan, namun dalam Pasal
46 yang mengatur soal sanksi tidak menyebutkan hukuman minimal, sehingga
hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku cenderung masih jauh dari rasa
keadilan.
Sudah saatnya Hukum Islam dan Hukum Pidana merespons masalah ini.
Hukum Islam, secara khusus harus bisa menangkap sisi normatif Al-Qur’an dan
hadits sekaligus sisi sosiologis dan psikologis dalam memandang kasus marital
rape. Demikian pula, Hukum Pidana sudah semestinya membuka diri bagi usahausaha menjaring kasus marital rape dengan pasal-pasal yang ada dan berlaku.4
4
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.9.
77
Reproduksi merupakan salah satu karakteristik makhluk hidup. Reproduksi
manusia diawali dengan pertemuan sperma dan ovum dalam sebuah aktivitas
persetubuhan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dalam kehidupan
berumah tangga, tidak hanya suami yang membutuhkan seks, istri pun tidak bisa
membunuh naluri dasariah tersebut.
Sungguhpun kekerasan seksual suami terhadap istri dalam perkawinan
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, namun persoalan ini jarang sekali
diselesaikan secara hukum, bahkan dibahas secara terbuka pun masih tabu.
Mungkin dikarenakan perangkat hukumnya belum memadai dan kurangnya
perhatian pihak yang berwenang. Kenyataan itu didukung pula budaya yang
masih menganggap tabu menceritakan aib rumah tangga dan korbannya dalam
hali ini istri lebih memilih diam dengan alasan menjaga keutuhan keluarga. Di
dalam perkawinan, marital rape masih dianggap persoalan internal keluarga.
Penerapan pasal-pasal delik kesusilaan KUHP, khususnya pasal 285,
kurang memenuhi rasa keadilan. Vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku
tindak pidananya tidak mencapai setengah dari besarnya sanksi. Padahal
penderitaan yang dialami korban pemerkosaan tak dapat diukur. Korban
mengalami stress, depresi, trauma dan bahkan kegilaan.
Menurut Zakiyah Drajat, seorang psikolog dan ustadzah berpendapat dalam
Islam, jelas seorang istri tidak boleh menolak bila suami ingin dilayani bathiniah.
Seharusnya seorang perempuan sadar akan fitrahnya sebagai istri yang tugasnya
78
melayani suami. Marital rape lebih baik ditangani psikolog atau pemuka agama,
jangan diatur KUHP.5
Menurut Quraish Shihab, seorang ahli tafsir Indonesia yang terkenal
berpendapat pemerkosaan itu haram hukumnya dalam islam, walaupun dilakukan
terhadap istrinya. Dalam agama islam, istri memang berkewajiban turut pada
perintah suami. Tapi kalau permintaan dan perintah suami itu melanggar norma
agama seperti meminta hubungan seksual ketika masa nifas, terlarang hukumnya
atas nama agama bagi sang istri untuk menuruti perintah suaminya. Istri
mempunyai hak untuk mengadukan pada hakim atas perbuatan suaminya itu.
B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai Masalah Bentuk
Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri
Berdasarkan penelitian bahwa Islam tidak mengenal istilah atau definisi
kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Kekerasan dalam rumah tangga
menurut Islam termasuk ke dalam kategori kejahatan (kriminalitas) secara
umum. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
5
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS
Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.64.
79
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
Cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam
yaitu melalui pemberian sanksi/hukuman dimana hukuman tersebut diterapkan
sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara penyelesaian
kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari empat bagian
yaitu Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat; Hak-Hak Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga; Pemulihan Korban; dan Penyelesaian Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Melalui Penerapan Sanksi Hukum.
Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga menurut hukum Islam yaitu Perjanjian suami atas istri ketika akad nikah
(Sighat Ta’liq Talaq) dan Hak perempuan atas suami untuk meminta cerai
(Khulu’). Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah Perlindungan Sementara; Penetapan
Perintah Perlindungan Oleh Pengadilan; Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus
(RPK) di kantor kepolisian; Penyediaan rumah aman atau tempat tinggal
alternatif; Pemberian konsultasi hukum oleh advokat mengenai informasi hakhak korban dan proses peradilan; Pendampingan advokat terhadap korban pada
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
80
Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pembentukan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga diharapkan nantinya akan membuat
kinerja Pemerintah Indonesia semakin optimal dan efektif dalam mengatasi
tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Implikasi praktis penelitian ini
adalah adanya penghargaan dan penghormatan terhadap kaum perempuan
sehingga mereka tidak menjadi korban tindak pidana kekerasan di dalam rumah
tangga.
Implikasi
teoritis
dan
praktis
ini
harus
dilaksanakan
secara
berkesinambungan agar cita-cita Pemerintah Indonesia menghapus tindak pidana
kekerasan di dalam rumah tangga dapat segera terwujud.
Istilah perkosaan terhadap istri merupakan istilah baru yang belum dikenal
luas oleh masyarakat, sebab selama ini pengertian perkosaan lebih dikhususkan
pada perkosaan terhadap perempuan yang terjadi diluar perkawinan. Pandangan
sebagian masyarakat selama ini, apabila seseorang telah menjadi suami istri,
maka seorang suami memiliki hak penuh atas istrinya, termasuk kepemilikian
penuh atas organ reproduksi perempuan. Pandangan demikian banyak
dipengaruhi pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an maupun Hadits Nabi yang
terkait dengan persoalan relasi suami istri. Selain itu, pengertian perkawinan
yang diungkapkan oleh sebagian besar ahli fiqh yang mengartikan perkawinan
sebagai ‘aqd tamlik (hak kepemilikan) telah menempatkan seorang suami sebagai
pemilik penuh terhadap perempuan yang menjadi istrinya.
81
Berdasarkan uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkosaan dalam
rumah tangga merupakan perbuatan yang dilarang, karena bertentangan dengan
firman Alllah dalam QS. ALBaqarah /2:187). Dengan demikian, suami maupun
istri tidak boleh memaksa melakukan hubungan seksual, sebab memaksa itu
sama halnya dengan memperlakukan pasangannya tidak manusiawi, memandang
pasangannya sebagai obyek pelampiasan nafsu, serta menempatkan pasangannya
seperti layaknya orang yang dijajah. Sedangkan dalam kajian hukum pidana
Islam, perkosaan terhadap istri dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang
termasuk jarimah ta’zir.
Padahal larangan pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga telah
ditegaskan di dalam pasal 8 huruf a UU Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2003,
yaitu : "Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut".
Pengertian Undang-undang di atas bisa jadi sangat bias, sehingga seorang
isteri tidak dapat menolak keinginan seks suami walau dengan alasan yang dapat
diterima. Karena kalimat 'pemaksaan hubungan seksual' tidak dijelaskan secara
rinci dalam penjelasan UU penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004. Belum
adanya hukum yang ditetapkan secara tegas terhadap pelaku kekerasan seksual
terhadap istri dalam hukum pidana Islam, mengakibatkan kerancuan dan
kesewenangan itu senantiasa lestari.
82
Kesimpulannya pasal 8 Undang undang penghapusan KDRT No. 23 tahun
2004 tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam bahwa istri harus patuh pada
suami, khususnya dalam melayani hubungan seksual, akan tetapi akan sebaliknya
apabila ada kekerasan dalam melakukan hubungan seksual. Justru Undang
undang penghapusan KDRT pasal 8 ini ingin mengcounter pandangan yang
menempatkan istri sebagai sex provider atas nama institusi perkawinan.
Prinsipnya bahwa setiap orang berhak memiliki control atas integritas tubuhnya
dan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Tidak ada satu institusipun
yang berwenang merenggut hak-haknya ini.
C. Analisis Hukum Islam Dalam Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada
Istri
Menurut penulis, azl dengan marital rape itu berbeda. Azl adalah
mengeluarkan sperma diluar vagina istri. Jadi, pada mulanya suami istri
melakukan hubungan suami istri. Akan tetapi, pada saat sperma ingin keluar,
suami tidak mengeluarkan dalam ovum. Suami mengeluarkan sperma diluar
vagina istri. Akibatnya, istri tidak merasakan kenikmatan saat berhubungan.
Menurut pendapat para ulama, azl termasuk salah satu bentuk pemaksaan
hubungan seksual. Sedangkan marital rape, adalah melakukan pemerkosaan atau
kekerasaan yang dilakukan suami kepada istri untuk melakukan hubungan
seksual. Pada mulanya istri tidak mau atau tidak siap melayani hubungan seksual
dengan suaminya. Akan tetapi, suami memaksa dan tidak mau mengerti. Menurut
83
Undang-Undang No.23 Tahun 2004, marital rape termasuk bentuk pemaksaan
hubungan seksual.
Menurut hukum islam melarang adanya pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan suami terhadap istri atau marital rape. Marital rape bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar islam tentang seksualitas dalam perkawinan. Terkait
dengan soal relasi suami istri, islam setidaknya menggariskan 2 prinsip ajaran
yaitu persamaan hak suami istri dan relasi yang baik atau mu’asyarah bi al
ma’ruf.
Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku orang atau
kelompok terhadap orang atau kelompok lain, verbal maupun nonverbal yang
menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis. Kekerasan
didalam rumah tangga bisa berupa kekerasaan fisik, kekerasaan emosional,
kekerasaan ekonomi dan juga kekerasaan seksual. Pemerkosaan merupakan
bentuk kekerasaan seksual yang dialami laki-laki maupun perempuan. Kekerasaan
seksual bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Akan tetapi,
pada umumnya terjadi dengan pelaku laki-laki dan korban perempuan.
Di dalam hukum islam, salah satu unsur penting dalam penetapan hukum
adalah maqasid asy-syari’ah. Prinsip maqasid asy-syari’ah (perlindungan
maslahah primer, kepentingan umum, dan hak-hak dasar manusia), sexual
equality (persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan) dan mu’asyarah bi alma’ruf (relasi suami istri yang baik dan patut) sebagaimana yang diajarkan hukum
islam. Menurut penulis, harus dikampayekan dalam rangka menyikapi marital
84
rape, baik sebagai bentuk kekerasaan terhadap perempuan maupun sebagai
masalah hukum dan perundang-undangan. Suami, dalam pandangan hukum islam
tidak memiliki hak monopoli seksual atas istrinya. Hubungan seksual suami istri
harus dilakukan di atas kerelaan dan kesetaran dua pihak.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerkosaan adalah sebuah penghinaan paling serius terhadap integritas
perempuan. Ia merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terberat
karena tidak hanya membawa dampak buruk yang sifatnya fisik tapi juga psikis.
Oleh karena itu, sudah semestinya diperjuangkan sistem yang lebih adil dan lebih
melindungi hak-hak seksual perempuan. Islam sangat mengecam tindak pidana
pemerkosaan, juga pemerkosaan yang dilakukan suami atas istri. Islam datang
dengan misi pokonya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh makhluk,
laki-laki maupun perempuan. Islam mengajarkan relasi seksual suami istri yang
sejajar dan setara. Kesejajaran dan kesetaraan ini tertuang dalam ajaran islam
tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan dan reasi yang baik dan patut
antara suami dan istri (mu’asyarah bi al-ma’ruf).
1. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri
Perspektif Fiqh. Ulama’ Madzhab memandang ‘azl (coitus interruptus) yakni
menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat mau keluar
mani merupakan kekerasan seksual. Tiga dari empat madzhab yaitu: Imam
Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali sepakat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan
begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak
kenikmatan istri.
85
86
2. Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri
Perspektif UU NO. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT antara lain ialah
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban
tidak menghendaki, Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan, Pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu, Terjadinya
hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban
yang seharusnya dilindungi, Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan
atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka atau cedera.
3. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, penolakan dan
pemaksaan sering kali mengambil dua macam bentuk. Bentuk pertama ialah
”pemaksaan” yang timbul akibat dari sikap batin istri yang menolak seluruh
gagasan tentang hubungan seksual itu sendiri. Sikap batin tersebut dapat
berupa trauma, rasa takut atau anggapan jijik terhadap perilaku seksual dan
sebagainya yang dapat menimbulkan berbagai gangguan seksual. Apabila
gangguan-gangguan seksual di atas de derita seorang istri, maka hubungan
seksual hampir tidak mungkin dapat dinikmati dengan normal. Bentuk kedua
ialah penolakan dan pemaksaan murni. Yaitu setiap bentuk pemaksaan yang
dilakukan oleh sebab penolakan istri secara frontal untuk melayani permintaan
suami. Seperti, adanya unsur penganiayaan yang dilakukan oleh suami.
87
B. Saran-Saran
1. Masih banyak praktik-praktik pelecehan perempuan terutama yang dilakukan
oleh suami terhadap isterinya yang belum atau kurang disadari, bahkan oleh
kaum perempuan sendiri. Kondisi ini disebabkan oleh begitu kuatnya pranata
social dalam masyarakat, sehingga manusia menjadi tidak sadar bahwa
semuanya itu perlu untuk ditinjau kembali demi keadilan bagi seluruh anggota
masyarakat
2. Islam mengajarkan nilai-nilai persamaan hak dan kewajiban antara suami dan
istri dalam rumah tangga sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masingmasing. Islam senantiasa menempatkan segala sesuatu secara proporsional
dan seimbang. Pola relasi yang harmonis dan seimbang antara suami dan istri
dalam rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah adalah sangat
diharapkan oleh Islam. Oleh karena itu, hendaknya setiap Muslim, mampu
meningkatkan pemahaman dan pengamalan agamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahannya.
Abdul Azizi bin Baaz, Asy Syaikh Al „Allaamah, Fatwa-Fatwa Islamiyah Untuk
Ukhti Muslimah, Solo : At –Tibyan.
Abu Syuqqah, Abdul Halim, Kebebasan Wanita, Jakarta : Gema Insani Press, Cet 1
1998.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Alu Asy-Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita,
Jakarta : Darul Haq, 2001.
Al-Albani, Muhammad Nashirudin, Ringkasan Shahih Muslim Buku 1, Beirut : Al
Maktab Al-Islami.
Al-Fauzan, Saleh, Fikih Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Press, Cet 1 2005.
Al-Wazan, Amin bin Yahya, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, Jakarta : Darul Haq,
Cet V, Maret, 2008.
Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan “Menggugat Islam Laki-Laki,
Menggurat Perempuan Baru”, Yogyakarta : IRCiSoD, Cet.1, Mei 2003.
Amini, Ibrahim, Hak-hak Suami dan Istri, Jakarta : Cahaya, Cet 1 April 2008.
Asmawi, Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta :
Darussalam, Cet.1, Maret 2004.
As-Subky, Ali Yusuf, Membangun Surga Dalam Keluarga, Jakarta : Senayan Abadi
Publishing, Cet 1 April 2005.
As-Sya‟rawi, Syaikh Mutawalli, Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan
Perhiasan, Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Jakarta :
Sinar Grafika, Cet 1 Sep 2003, Cet 2 Jan 2005.
Asy-Syarif, Isham bin Muhammad, Meneladani Kehidupan Rasulullah dan Para
Istrinya, Jakarta : Cendikia, Cet.1, Juni 2007.
88
89
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, Cet.kelima, 2006.
Beberapa Pakar hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, R.
Dyatmiko Soemodihardjo, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia,
Jakarta : Perpustakaan Nasional, Cet 1, Mei, 2006.
Djannah,Fathul, dkk, Kekerasan Terhadap Istri, Yogyakarta : LKiS.
F. Mas‟udi, Masdar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung : PT.
Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam, Cet. II, 1997.
Furchan, Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional,
Cet pertama, 1992.
Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an,
Media Pratama, 2004.
Jakarta : Gaya
Ghozali, Abdul Muqsit, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan “Bunga
Rampai Pemikiran Ulama Muda”, Jakarta : Rahima, Cet.1, 2002.
Hasam Binjai, Syekh H. Abdul Halim, Tafsir Al-Ahkam.
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 8,
Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, Cet 3, 2001.
Ibn Saurah, Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Sunnah at-Turmudzi, Beirut : Dar al Fikr,
1994.
Idrus, Nurul Ilmi, Marital Rape, Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan, Yogyakarta
: Kerjasama Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada
dengan Ford Foundation, Cet.1, 1999.
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi, Jakarta :
Teraju, Cet 1 Sep 2004.
Kakhya, Thariq Ismail, Nikah dan Seks Menurut Islam, Jakarta : Dar Al-Mathbu‟ah
Al-Haditsah, Cet 1 April 2001, Cet 4 Juli 2005.
Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah,
pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap
Perempuan 2005.
Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, Jakarta : CV. Amalia, 1986.
90
Marlia, Milda, Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT.
LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007.
Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Abu Abdullah,
Shahih al-Bukhari, Darul Maktaby As-Sya‟by, Juz III, hal.260.
Muhammad ‟Uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
Cet1 1998, Cet24, April, 2007.
Mulia, Siti Musdah, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal manusia : Modul Pelatihan
Untuk Pelatih Hak-Hak Reproduksi Dalam Perspektif Pluralisme, Jakarta :
Lembaga Kajian Agama dan Jender, Cet.1, 2003.
____________, Muslimah Reformasi : Perempuan Pembaru Keagamaan, Bandung :
Penerbit Mizan, Cet.1, 2005.
Munti, Ratna Batara, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga
“sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum
nasional”. LBH-APIK Jakarta, 2005.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Cet 1, Maret,
2005.
Nailul Authar, Juz 5.
Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Malang: LBH APIK dan Pusat Pengembangan Hukum Dan
Gender Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2000.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia
Press, Cet ke 3, 2008.
Suaedy, Ahmad, Kekerasan Dalam Perspektif Pesantren Jakarta : PT Grasindo.
Subhan, Zaitunah, Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi
Aksara.
Subulus Salam, Juz 3.
Sukri, Sri Suhandjati, dkk, Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta :
Gama Media, 2002.
91
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut AlQur’an dan As-Sunnah, Jakarta : Akbar Media, Cet.1, Januari 2009, Cet.2,
Desember 2009.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor : Prenada Media Kencana, Cet.1,
2003.
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta :
Rajawali, 2009.
Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, Cet.3, 2005.
TU, Syamsuddin, Dosa-dosa yang Diremehkan, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, Cet 1
Nov 1995, Cet 2 Feb 2005.
Wajidi, Farid, dan Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam,
Yogyakarta : Yayasan Benteng Budaya, 1994.
Peraturan Perundang-undangan :
Surat Mohon Data/Wawancara Kepada Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Lampiran Salinan Putusan Nomor 809/Pdt.G/2010/PAJS
Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (P-KDRT)
LAMPIRAN-LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman
dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang
kebanyakan
adalah
perlindungan
dari
perempuan,
negara
dan/atau
harus
mendapat
masyarakat
agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa
dalam
kenyataannya
kasus kekerasan dalam
rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di
Indonesia
belum menjamin perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
2
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H,
Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah
tangga
termasuk
ancaman
untuk
melakukan
perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
3.
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
3
korban kekerasan dalam rumah tangga.
4.
Korban adalah orang
yang mengalami kekerasan
dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
5.
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan
oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7.
Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
b. suami, isteri, dan anak;
c.
orang-orang
yang
mempunyai hubungan
keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
d. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam
rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c
dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
4
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
b.
penghormatan hak asasi manusia;
c.
keadilan dan kesetaraan gender;
d.
nondiskriminasi; dan
e.
perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
b.
mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
c.
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
d.
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
e.
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
b.
kekerasan fisik;
c.
kekerasan psikis;
d.
kekerasan seksual; atau
e.
penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
5
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a.
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b.
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau
tujuan tertentu.
Pasal 9
(1)
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)
Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
a.
perlindungan dari pihak keluarga,
advokat, lembaga sosial, atau
kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b.
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap
6
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.
pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
pemerintah:
a.
merumuskan kebijakan tentang
penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b.
menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c.
menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
d.
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk
penyelenggaraan
pelayanan
terhadap
korban,
pemerintah
dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat
melakukan upaya:
7
b.
penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
c.
penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
d.
pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
e.
memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga
sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk:
b.
mencegah berlangsungnya tindak pidana;
c.
memberikan perlindungan kepada korban;
d.
memberikan pertolongan darurat; dan
e.
membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(2)
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
8
korban.
(3)
Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(4)
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan
setelah mengetahui
atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
b.
identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
c.
kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan; dan
d.
kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1)
Dalam
memberikan
pelayanan
kesehatan
kepada
korban,
tenaga
kesehatan harus:
a.
memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b.
membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
9
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a.
melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi korban;
b.
memberikan
informasi
mengenai
hak-hak
korban
untuk
mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
c.
mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d.
melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang dibutuhkan korban.
(2)
Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
b.
menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping;
c.
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
d.
mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
e.
memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
10
korban.
Pasal 24
Dalam
memberikan
pelayanan,
pembimbing
rohani
harus
memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan
taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c.
melakukan
pendamping,
koordinasi
dan
dengan
pekerja
sesama
sosial
agar
penegak
proses
hukum,
relawan
peradilan
berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(2) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
(3) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik
di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
11
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan
oleh:
b.
korban atau keluarga korban;
c.
teman korban;
d.
kepolisian;
e.
relawan pendamping; atau
f.
pembimbing rohani.
Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri
setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan
diajukan oleh keluarga,
teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani
maka korban harus memberikan persetujuannya.
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban.
Pasal 31
(1)
Atas
permohonan
korban
atau
kuasanya,
pengadilan
dapat
mempertimbangkan untuk:
a.
menetapkan suatu kondisi khusus;
b.
mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah
perlindungan.
(2)
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
12
bersama-sama
dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 32
(1)
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(2)
Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3)
Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari
sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1)
Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
perintah
perlindungan.
(2)
Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1)
Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan
dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah
perlindungan.
(2)
Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani.
Pasal 35
(2) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar
perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di
tempat polisi itu bertugas.
13
(3) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam.
(4) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1) Untuk
memberikan
perlindungan
kepada
korban,
kepolisian
dapat
menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah
melanggar perintah perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan
dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu
1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
(2) Dalam hal
pengadilan
mendapatkan laporan tertulis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis
yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
14
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis
tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan
pelaku paling lama 30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
b.
tenaga kesehatan;
c.
pekerja sosial;
d.
relawan pendamping; dan/atau
e.
pembimbing rohani.
Pasal 40
(2)
Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya.
(3)
Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani
wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling
untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja
sama.
Pasal 43
15
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja
sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2)
Dalam
hal
perbuatan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3)
Dalam
hal
perbuatan
sebagaimana
mengakibatkan matinya korban,
dimaksud
pada
ayat
(2)
dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
(4)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap
isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal 45
(1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2)
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
16
oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan seksual
sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp12.000.000,00
(dua
belas
juta
rupiah)
atau
denda
paling
banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban
mendapat luka
yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut,
gugur
atau
matinya
janin
dalam
kandungan,
atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
17
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
b. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
c. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:
b. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
c. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
18
dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
19
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
20
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 95
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I.
UMUM
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,
tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang
dalam
lingkup
kewajibannya
rumah
harus
tangga
didasari
dalam
oleh
melaksanakan
agama.
Hal
ini
hak
perlu
dan
terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah
tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama
kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika
kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat
terjadi
kekerasan
dalam
rumah
tangga
sehingga
timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku
21
kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
kekerasan,
terutama
kekerasan
dalam
rumah
tangga,
adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
beserta
perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2)
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan
secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut
diperlukan karena
undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan
hukum
pengaturan tentang
masyarakat.
Oleh
karena
itu,
diperlukan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
22
penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu
diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundangundangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),
dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan
perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga, juga mengatur
secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal
kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi
korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan
rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga,
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan
perempuan
melaksanakan
menyelenggarakan
tindakan
komunikasi,
pencegahan,
informasi,
dan
antara
edukasi
lain,
tentang
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk UndangUndang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan
23
berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak
kekerasan
dalam
rumah
tangga
merupakan kejahatan
terhadap
martabat kemanusiaan.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini
adalah termasuk anak angkat dan anak tiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hubungan perkawinan”
dalam ketentuan ini, misalnya mertua, menantu,
ipar, dan besan.
Huruf c.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu
keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
24
mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya
bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
proporsional.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini
adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga
25
atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah
kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembagalembaga bantuan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang
yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan
sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau
pengalaman
praktik
di
bidang
pekerjaan
sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh
pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan
sosial.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan
26
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “kerja sama” adalah sebagai wujud peran
serta masyarakat.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “relawan pendamping” dalam ketentuan
ini adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan
diri korban kekerasan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
27
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rumah aman” dalam
ketentuan ini adalah tempat tinggal sementara yang
digunakan
untuk
memberikan
perlindungan
terhadap korban sesuai dengan standar
yang
ditentukan. Misalnya, trauma center di Departemen
Sosial.
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif”
dalam ketentuan ini adalah tempat tinggal korban
yang
terpaksa
ditempatkan
dan/atau dijauhkan dari pelaku.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
untuk
dipisahkan
28
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud
dengan
”keadaan
tertentu”
dalam
ketentuan ini, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
29
Yang dimaksud “kondisi khusus” dalam ketentuan
ini adalah pembatasan gerak pelaku, larangan
memasuki
membuntuti,
korban.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
tempat
tinggal
mengawasi,
bersama,
atau
larangan
mengintimidasi
30
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
31
Pasal 50
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud
dengan
“lembaga
tertentu”
adalah
lembaga yang sudah terakreditasi menyediakan konseling
layanan
kelompok
bagi
pelaku.
konselor,
Misalnya
atau
yang
rumah
sakit,
mempunyai
klinik,
keahlian
memberikan konseling bagi pelaku selama jangka waktu
tertentu.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan
maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan
menjaga keutuhan rumah tangga
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual
yang
dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa.
Pasal 56
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4419
32
Download