ib 63 ok print

advertisement
KOLOM
Tantangan Peningkatan Mutu Guru
Oleh : Bahrul Hayat, PhD
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama
Guru berfungsi sebagai generator dalam kegiatan pembelajaran yang
menggerakkan seluruh komponen input. Guru merupakan leading sector. Bahkan
guru bisa mengalahkan ketiadaan komponen-komponen input lain, seperti buku
sebagi bagian dari komponen sarana.
Guru Madrasah sedang memberikan pelajaran di depan siswa-siswi, pada salah satu Madrasah Aliyah di Jakarta.
D
alam dunia pendidikan dewasa ini
berkembang sebuah paradigma bahwa
proses pendidikan berbeda dengan proses
produksi. Sekilas, lembaga pendidikan memang
mirip pabrik atau lembaga produksi. Akan tetapi,
sesungguhnya terdapat perbedaan yang sangat
mendasar. Pada pabrik, terjadi hubungan kausal
yang mutlak antara input (masukan), proses, dan
output (keluaran). Komponen-komponen itu
bergerak secara linier, dan bisa dikalkulasi dengan
tepat. Begitu input dan prosesnya distandardisasi
atau standar operasional prosedur (SOP) diterapkan,
maka output-nya juga akan terstandar. Yang
dibutuhkan adalah checking dan quality control.
Sedangkan pada pendidikan tidak seperti itu,
karena pendidikan bersifat dinamis, tidak statis.
Kita tidak bisa menjadikan seluruh siswa sebagai
input yang memiliki standar yang sama seperti
barang. Pada proses pun, juga sangat dinamis,
karena di proses ini ada wilayah yang disebut
dengan black box (kotak hitam), yang tidak bisa
dilihat dengan kasat mata. Karena kedinamisan itu,
maka output yang dihasilkan dalam pendidikan juga
tidak akan sama persis antara siswa yang satu
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
49
KOLOM
DAE
R AUTAMA
H
LAPORAN
dengan yang lain. Selain tiga hal itu, yakni input,
proses, dan output, yang juga membedakan dalam
pendidikan adalah adanya konteks (context). Baik
input, proses, maupun output berinteraksi dengan
konteks. Di pabrik atau lembaga produksi, tidak ada
komponen konteks.
Peran guru sangat penting sebagai penggerak
terhadap proses pendidikan. Guru merupakan
komponen paling dominan dalam proses interaksi
itu. Guru adalah pusat dari pergerakan input
supaya mengarah ke proses yang baik. Oleh karena
itu, guru memegang peran sentral (the central role)
dari proses pendidikan. Guru adalah ruh atau jiwa
dari pendidikan.
Guru berfungsi sebagai generator dalam kegiatan
pembelajaran yang menggerakkan seluruh
komponen input. Guru merupakan leading sector.
Bahkan guru bisa mengalahkan ketiadaan
komponen-komponen input lain, seperti buku
sebagai bagian dari komponen sarana. Walaupun
ada media atau sumber belajar yang lain, misalnya
buku, internet, alat peraga, dan lain-lain, namun
peran guru tetap tidak tergantikan. Saat kita masih
belajar di SD dulu pada tahun 1960-an, tidak ada
buku yang memadai, tidak ada laboratorium, toh
pendidikan masih jalan karena ada guru.
Melihat begitu pentingnya posisi guru, maka
kebijakan peningkatan mutu guru harus mencakup
dua hal. Pertama, harus mendorong kemampuan
guru yang sangat profesional untuk menggerakkan
sebuah sistem pembelajaran. Ini yang disebut
dengan profesionalitas guru. Walaupun pemerintah
berusaha keras meningkatkan mutu pendidikan,
misalnya buku diperbaiki, sarana dilengkapi,
kurikulum dirubah, tapi kalau guru sebagai
penggeraknya tidak diperbaiki, tidak akan ada
gunanya juga. Oleh karena itu, profesionalitas guru
menjadi hal yang mutlak.
Kedua, untuk menunjang agar guru memiliki
profesionalitas yang tinggi, maka harus didukung
dengan penghargaan yang memadai. Ini adalah
keniscayaan. Itulah mengapa kesejahteraan
menjadi nomor dua dari kesatuan nafas peningkatan mutu guru. Dalam upaya meningkatkan mutu
guru, kita harus berpikir bahwa profesionalitas
harus melekat dengan penghargaan terhadap
profesi guru, apakah berupa penghargaan
renumerasi (sistem penggajian), penghargaan sosial,
dan lain-lain. Bisa jadi renumerasi tidak menjadi
satu-satunya yang membuat guru profesional. Oleh
karena itu, juga harus didukung oleh penghargaan
sosial yang juga kuat.
Di beberapa negara, tidak otomatis guru yang
hidupnya sejahtera dan bergaji tinggi, melahirkan
profesionalitas. Mengapa? Karena dukungan sosial
50
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
atau penghargaan lain terhadap guru tidak kuat.
Misalnya di Kuwait, gaji guru sangat tinggi. Tapi
tidak otomatis guru di sana profesional, karena daya
dukung maupun pengakuan (recognition) terhadap
profesi guru tidak muncul kuat. Walaupun gajinya
sangat tinggi, tetap saja guru dipandang sebagai
profesi yang kurang prestise.
Kondisi di Kuwait itu berbeda dengan Indonesia.
Sebelum era Orde Baru, gaji guru kita saat itu
sebenarnya tidak begitu tinggi. Namun pengakuan
sosialnya tinggi. Guru saat itu dipandang sebagai
profesi terhormat dan disegani di masyarakat. Jadi
makna aspek kesejahteraan guru itu tidak selalu
terkait dengan uang.
Dengan kata lain, saya memandang kesejahteraan guru itu tidak hanya bermakna kesejahteraan terhadap finansial (gaji), tetapi juga kesejahteraan batiniah berupa penghargaan dan pengakuan sosial maupun perlindungan terhadap profesi
guru. Kesejahteraan batiniah itu juga harus ditumbuhkan melalui regulasi. Kita harus merancang
sistematika yang baik untuk perlindungan dan
penghargaan status sosial guru. Regulasi-regulasi
yang kita buat harus menuntun masyarakat agar
menghargai guru. Inilah konstruksi yang harus kita
bangun.
Kualifikasi, Distribusi, dan Kompetensi Guru
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, merupakan solusi
terhadap dua persoalan besar yang dihadapi guru,
yakni rendahnya profesionalitas dan penghargaan/
kesejahteraan. Oleh karena itu, UU harus dimaknai
sebagai UU tentang profesionalitas dan kesejahteraan guru dan dosen, karena intinya memang itu.
Dua kata itu, yakni profesionalitas dan kesejahteraan, adalah bagaikan dua sisi mata uang
yang tidak bisa dipisahkan. Kalau menyebut
profesionalitas, harus meniscayakan adanya
kesejahteraan.
Walaupun UU Guru dan Dosen telah memuat
aspek-aspek yang reformatif, namun implementasinya tidak gampang karena persoalan-persoalan
yang terkait dengan guru-guru kita sangat pelik.
Pertama, percepatan kebutuhan kualifikasi guru
yang tidak sebanding dengan penyediannya. Pada
masa lalu, kebutuhan guru berkualifikasi tidak
secepat dengan penyediaannya. Tuntutan terhadap
kualifikasi guru sudah harus tinggi, tapi waktu itu
kita tidak pernah mampu dan secara konsisten
melakukan penyiapan agar kebutuhan kualifikasi
tersebut bisa terpenuhi.
Peninggalan sejak zaman Belanda, Jepang, Orde
Lama, sampai Orde Baru yang saat itu guru lulusan
SLTA mengajar SD, mestinya dulu disikapi dengan
KOLOM
D A E LAPORAN
RAH
UTAMA
sangat cepat karena perkembangan dunia
menuntut kualifikasi guru harus naik. Namun
waktu itu kita lambat meresponnya, dan belum ada
political will yang menjadikan peningkatan
kualifikasi guru ini sebagai program utama
penyelenggaraan pendidikan kita. Nah, kelahiran
UU Guru dan Dosen ini memaksa gap (kesenjangan)
antara kebutuhan guru berkualifikasi dengan
penyediaannya dibatasi bahwa pada tahun 2015
semua guru sudah harus di-upgrade berkualifikasi
guru SD diwajibkan berijazah D-II, tidak diangkat
sebagai political will pada tingkat UU. Sehingga program tersebut dibiarkan berjalan alamiah saja.
Tidak menjelma sebagai gerakan besar. Akibatnya,
walaupun sejak awal tahun 1990-an guru SD
diwajibkan berijazah D-II, namun sampai tahun
2009 mungkin baru sekitar 60% yang mencapai
kualifikasi tersebut. Sisanya yang 40% masih
berkualifikasi setingkat SLTA. Kelonggaran ini
mestinya tidak perlu waktu sekian lama.
Seorang guru sedang mengawasi pelaksanaan Ujian tingkat Nasional di salah satu MadrasahTsanawiyah di Jakarta.
S1 atau D-IV.
Dengan kata lain, UU Guru dan Dosen
merupakan daya paksa agar pengalaman
sebelumnya selama puluhan tahun masalah
kualifikasi guru yang dibiarkan berjalan apa
adanya, tidak terulang lagi. Kita harus memenuhi
tuntutan itu, yang menurut perkembangan
pendidikan di dunia manapun, sudah harus mengupgrade kualifikasi guru minimal S1 atau D-IV. Pada
masa lalu, kita tidak memaksa diri untuk melakukan
hal tersebut.
Kita dulu lama tidak melakukan upgrade
kualifikasi guru karena terlalu mengandalkan
mekanisme alamiah. Kita tidak menjadikannya
sebagai program terobosan yang prioritas. Ketika
Hal yang sama juga terjadi pada dosen. Dulu kita
punya peninggalan sistem pendidikan, dosen
lulusan S-1 mengajar mahasiswa program S1. Saat
itu kita tidak punya political will yang memaksa
semua pihak agar kondisi tersebut secepatnya
diperbaiki, kualifikasi dosennya harus secepatnya
ditingkatkan. Sekarang dengan adanya UU Guru
dan Dosen, hal-hal seperti itu tidak boleh terulang
lagi.
UU Guru dan Dosen harus kita jadikan sebagai
pendorong yang kuat, pemaksa agar pemerintah dan
semua pihak menyadari bahwa gap kualifikasi guru
jangan dibiarkan terus tanpa terobosan. Kalau
kesenjangan kualifikasi itu terus dibiarkan, maka
pengalaman yang lalu akan diulang. Padahal di era
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
51
KOLOM
DAE
R AUTAMA
H
LAPORAN
globalisasi, di negara-negara maju tidak ada guru- guru, sebaliknya semakin ke desa semakin tidak
guru SD yang kualifikasi pendidikannya tidak ada guru. Persoalan ini sangat mengganggu
setingkat S1.
distribusi guru kita. Kalau terus dibiarkan, bukan
Kedua, distribusi guru yang tidak merata. hanya berdampak terhadap lebarnya kesenjangan
Penyebaran guru yang merata secara nasional mutu pendidikan. Lebih dari itu, hal tersebut juga
masih mengalami kesulitan karena lokasi yang akan berdampak pada kesenjangan sosial dan
sangat terpencar dan cukup banyaknya kepulauan ekonomi. Ini tentu sangat berbahaya bagi keutuhan
kecil di daerah terpencil. Hal ini menyebabkan negara kita. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah
sulitnya menyediakan guru yang secara permanen untuk menyediakan guru di daerah pedesaan atau
mau mengabdi di daerah-daerah tersebut. Secara terpencil wajib diprioritaskan. Hal ini karena di
nasional, rasio guru dengan siswa pada tingkat SD daerah pedesaan/terpencil, kalau tidak ada buku
sebenarnya sudah ideal, bahkan sudah surplus. mungkin tidak masalah. Tapi begitu tidak ada guru,
Rasio Indonesia sekitar 1:20, bandingkan dengan pasti bermasalah.
Jepang yang 1:25. Jadi rasio guru dengan siswa
Ketiga, lemahnya kompetensi guru. Beberapa
SD kita sebenarnya sudah melebihi rata-rata dari pengamat menyatakan bahwa walaupun kualifikasi
negara maju. Tapi kenyataannya di daerah guru naik, namun dirasakan kemampuannya dalam
pedalaman, bahkan di pinggiran Provinsi Banten, berbagai aspek masih lemah. Kelemahan itu
masih banyak dijumpai ketidaktersediaan guru.
mencakup empat kompetensi dasar guru, yaitu
Untuk mengatasi problema distribusi guru yang kompetensi profesional (penguasaan terhadap
begitu berat ini, UU Guru memberikan terobosan bidang/materi yang diajarkan), kompetensi
berupa tunjangan khusus bagi guru yang bertugas pedagogik (kemampuan metodologis untuk
di daerah khusus. Ketentuan ini adalah untuk menyampaikan materi dengan baik), kompetensi
memaksa agar negara memberikan perhatian kepribadian, dan kompetensi sosial.
khusus terhadap pemerataan ketersediaan guru.
Menurunnya kompetensi guru sebagaimana
Adanya tunjangan khusus bagi guru yang diklaim oleh sejumlah pengamat itu, bisa jadi salah
bertugas di daerah khusus itu dimaksudkan untuk satu penyebabnya adalah proses massal dalam
mendorong agar guru mau mengabdi di daerah penyediaan guru yang terjadi pada tahun 1970-an
khusus. Mereka juga merasa aman, nyaman, dan hingga 1980-an yang disebut dengan kebijakan
tercukupi kesejahteraannya. Tanpa afirmasi seperti Guru Inpres. Akibat adanya gerakan massal dalam
itu, tentu sulit mendorong mereka bekerja di daerah penyediaan guru, maka pilihan pekerjaan guru
terpencil. Afirmasi bagi guru yang
bertugas di daerah khusus ini juga
untuk mengurangi kesenjangan sosial
ekonomi antara daerah perkotaan
dengan daerah pedalaman.
Memang benar bahwa, semakin
tersedia sumber-sumber belajar yang
lain, maka siswa relatif tidak
membutuhkan cukup banyak waktu
guru. Fungsi guru yang dibutuhkan
adalah sebagai fasilitator. Misalnya di
sekolah-sekolah perkotaan, guru
cukup hanya memberikan arahan
karena siswa bisa belajar sendiri
dengan memanfaatkan berbagai
sumber belajar yang tersedia.
Semakin mengarah ke daerah
pedesaan, kehadiran guru dalam
proses
pendidikan
semakin
dibutuhkan. Peran guru bagi daerah
pedesaan dan terpencil menjadi
sangat mutlak, bahkan segalagalanya.
Padahal data kita menunjukkan,
semakin ke kota semakin banyak Penguatan kemampuan penguasaan teknologi informasi mendorong peningkatan kualitas
guru.
52
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
KOLOM
D A E LAPORAN
RAH
UTAMA
menjadi makin tidak menarik. Apalagi ketika dua hal
penting tidak mendukung, yaitu kesejahteraan yang
memadai, dan munculnya pilihan profesi lain yang
lebih terbuka dan menarik. Kelemahan kompetensi
ini sebenarnya sudah lama dirasakan, namun waktu
itu tidak segera di-upgrade. Kalau UU Guru lahir pada
tahun 1980-an, mungkin akan lain ceritanya.
Untuk mengatasi tiga persoalan utama guru di
atas, yakni kesenjangan kualifikasi dengan kebutuhan, distribusi yang tidak merata, dan rendahnya
kompetensi, maka lahirnya UU Guru merupakan
terobosan sekaligus alat yang secara politis memaksa
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
untuk melakukan tindakan mengatasi tiga persoalan
tersebut. Jadi kelahiran UU Guru harus dilihat
sebagai sebuah gerakan agar terjadi suatu daya
dorong tinggi untuk memajukan pendidikan melalui
penyediaan guru yang memiliki kualifikasi memadai,
terdistribusi merata di semua layanan pendidikan,
dan memiliki kompetensi yang baik.
Mismatch, Kelangkaan Guru Bidang Tertentu, dan
Sistem Penggajian
Selain tiga persoalan utama di atas, juga ada
sekurang-kurangnya tiga persoalan tambahan yang
terkait dengan masalah guru, yakni mismatch, suplai
bidang-bidang tertentu yang tidak memadai, dan
sistem penggajian yang kurang baik. Mismatch
adalah ketidaksesuaian antara kompetensi dan latar
pendidikan guru dengan bidang yang diajarkannya.
Problema ini terjadi karena munculnya bidang-bidang
baru di kurikulum tidak cepat disuplai oleh lembaga
penyedia guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK). Dengan kata lain, adjusment
(penyesuaian diri) dari LPTK tidak cepat dalam
merespon perubahan kurikulum.
Sebagai contoh, meskipun matapelajaran di SD dan
SMP untuk rumpun ilmu-ilmu sosial secara
terintegrasi dinamakan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
dan untuk rumpun ilmu-ilmu alam dinamakan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), namun sampai sekarang
program studi yang dikembangkan di LPTK masih
belum menggambarkan sebagai sebuah program studi
IPS atau IPA yang terintegrasi. Program studi yang
dikembangkan di LPTK masih terpisah sendiri-sendiri,
misalnya Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia,
Pendidikan Biologi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan
Geograsi, Pendidikan Sejarah, dan lain-lain. Belum
lagi kalau kita bicara kebutuhan baru tentang
teknologi komunikasi dan informasi (TIK), juga
kebutuhan terhadap kemampuan bahasa Inggris di
tingkat pendidikan dasar. Jadi ada gap yang mencolok
antara suplai dengan demand. Tuntutan
perkembangan yang dicerminkan oleh kurikulum
tampak semakin beragam, namun LPTK tidak mampu
memberikan suplai dengan cepat.
Khusus di pendidikan madrasah, kondisi mismatch ini lebih berat dibanding pendidikan umum
(sekolah). Hal ini karena pendidikan di madrasah
dulu selalu diidentikkan dengan pendidikan agama.
Oleh karena itu, kebanyakan guru yang direkrut
madrasah adalah lulusan pendidikan agama Islam. Ketika masuk dalam sistem pendidikan
nasional yang memasukkan matapelajaran umum,
maka madrasah tersebut memanfaatkan guru
berlatar belakang pendidikan agama Islam yang
dimilikinya untuk mengajar matapelajaranmatapelajaran lain, walaupun bukan keahliannya.
Dengan kata lain, ada dua penyebab terjadinya
mismatch guru. Pertama, tuntutan perubahan
kurikulum yang sangat cepat berkembang, yang
tidak diimbangi oleh suplai tenaga guru dari LPTK.
Kedua, khusus pada madrasah, pergerakan
perubahan dari posisi madrasah yang awalnya
murni sebagai pendidikan keagamaan kemudian
ditambahkan matapelajaran umum, tidak
dibarengi dengan ketersediaan guru bidang studi
tersebut.
Dengan adanya UU Guru yang menegaskan
bahwa guru harus bersertifikat profesi pendidik,
maka masalah mismatch ini harus dicari
terobosan untuk mengatasinya. Khusus untuk
mengatasi masalah mismatch guru-guru
madrasah, Kementerian Agama (Kemenag)
menggulirkan program yang disebut dengan dual
competencies (kompetensi ganda). Kompetensi
pertama sebagai sarjana pendidikan agama tetap
mereka miliki, lalu kita perkuat kompetensi kedua
yakni kemampuan menguasai matapelajaran
umum yang diajarkan. Caranya, mereka
dikuliahkan kembali selama beberapa semester
khusus untuk memperoleh sertifikat kompetensi
kedua. Jadi mereka nanti secara resmi punya
kemampuan mengajar bidang kedua. Ini bentuk
kuliah tambahan. Mereka kita sertakan ke
sejumlah perguruan tinggi yang bagus.
Problem tambahan berikutnya adalah tidak
pernah terpenuhinya suplai guru untuk bidangbidang tertentu, terutama fisika, seni, dan
olahraga. Padahal tiga matapelajaran itu
diwajibkan. Untuk tiga bidang itu, sampai saat ini
negara kita masih belum bisa memenuhi. Mengapa
hal ini sampai terjadi? Karena peminat tiga bidang
itu tidak banyak, dan bukan hal mudah
mendorong orang untuk memasuki bidang-bidang
tersebut. Oleh karena itu, mesti ada terobosan
untuk menstimulasi agar anak-anak mau menjadi
guru tiga bidang tersebut, misalnya memberikan
beasiswa, mengambil anak-anak yang berasal dari
keluarga tidak mampu secara ekonomi tetapi
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
53
KOLOM
mereka memiliki potensi dalam tiga bidang itu untuk
diberi fasilitas studinya sampai menjadi guru.
Problema tambahan yang terakhir adalah sistem
penggajian. Sampai sebelum keluarnya UU Guru,
sistem penggajian guru ini merupakan persoalan
serius. Namun setelah berlakunya UU Guru,
masalah penggajian ini relatif sudah teratasi. Guru
yang sudah bersertifikat bukan hanya menerima gaji
pokok, tetapi juga menerima tunjangan profesi yang
besarnya sama dengan satu kali gaji pokok. Bahkan
guru yang bertugas di daerah khusus, mendapat
tambahan tunjangan khusus yang besarnya juga
satu kali gaji pokok.
Pengembangan Profesional Mandiri
Perkembangan IT yang sangat cepat memang
Siswa Madrasah sedang praktek Biologi di ruang laboratorium.
memberatkan bagi guru ketika sumber belajar
(learning resources) tersedia lebih banyak dan lebih
mudah bagi siswa. Di kota, misalnya, banyak guru
masih terbiasa menggunakan buku teks,
sementara anak-anaknya sudah menjelajah dunia
maya. Padahal buku-buku teks pelajaran maupun
kurikulum kita selalu terlambat lima sampai
sepuluh tahun dari perkembangan sains. Oleh
karena itu, peran guru harus sedikit ditambah.
Kalau sebelumnya peran guru bersifat
konvensional, yakni mentransfer pengetahuan
secara tatap muka, sekarang harus ditambah fungsi
fasilitasi dan pendampingan dalam proses belajar.
Kehadiran guru harus dirasakan oleh anak,
walaupun proses pembelajarannya bisa melalui
berbagai cara, misalnya melalui media online.
Peran tambahan guru berupa fasilitasi dan
pendampingan itu merupakan tantangan untuk
mencapai profesionalitas. Namun, pencapaian
54
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 63 Tahun XIII Juni 2010
profesionalitas guru itu kini tidak bisa lagi dilakukan hanya dengan training atau pendikan dan
pelatihan (diklat) konvensional seperti yang
dilakukan selama ini. Kita harus menciptakan
beberapa modus baru. Modus yang paling penting
yang harus dikembangkan adalah apa yang disebut
dengan self professional development atau
pengembangan profesional mandiri.
Inilah paradigma baru yang harus dikembangkan
untuk menggenjot profesionalitas guru ke depan.
Para guru harus didorong agar memiliki kapasitas
untuk mengembangkan dirinya sendiri, tidak lagi
bergantung pada pihak lain. Mereka tidak boleh lagi
mengandalkan pada program-program pengembangan yang dilakukan pihak luar (external development).
Pengembangan profesional
mandiri ini harus menjadi bagian
dari kebutuhan mutlak para guru
untuk meningkatkan kompetensinya. Apalagi, pemerintah tidak
mungkin melakukan pendekatan
konvensional berupa training
kepada 2,7 juta guru secara
bertahap. Diputar dengan cara
apapun, pelatihan kepada guru
sebanyak itu tidak akan teratasi
dalam jangka lima tahun. Oleh
karena itu, ke depan kita harus
melahirkan satu kondisi yang
mendukung terhadap self professional development. Kalau pada
masa lalu pengembangan profesional mandiri itu dianggap
sebagai beban, maka setelah
peningkatan kualifikasi dan
kesejahteraan self professional development harus dipandang sebagai kebutuhan
untuk meningkatkan kompetensi guru.
Kalau gaji guru naik dan mereka mendapat
tunjangan profesi, tidak lantas habis untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kenaikan
kesejahteraan itu harus dimaknai sebagai
instrumen untuk meningkatkan profesionalitas,
misalnya dengan membeli buku baru, men-download bahan-bahan dari internet, langganan koran
dan majalah, dan lain-lain.
Ke depan, self professional development itu pada
gilirannya berdampak pada perubahan mindset
guru dalam meningkatkan profesionalitasnya. Kalau
dulu menunggu dan berharap pada pihak lain,
sekarang harus menjadi kebutuhan mereka sendiri.
Namun, syaratnya adalah kualifikasi dan
kesejahteraannya harus ditingkatkan. ***
*) Tulisan ini disarikan dari wawancara Saiful Anam dengan
Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, PhD
Download