ETIKA PROFESI DALAM PERADABAN MANUSIA Oleh Drs. Said

advertisement
ETIKA PROFESI DALAM PERADABAN MANUSIA
Oleh Drs. Said Suhil Achmad, M.Pd
I. Pengantar
Menurut pengalaman sejarah bahwa perkembangan peradaban manusia yang maju
selalu dimulai teknologi, finansial dan administrasi. Kemampuan untuk mengembangkan
administrasi yang baik adalah suatu prestasi yang sangat menentukan keberlangsungan
peradaban itu sendiri.
Tak dapat dibayangkan, betapa kacaunya suatu negara yang maju teknologinya,
tapi kacau administrasinya. Misalnya, sebuah senjata yang dibuat begitu janggih, tapi
akhirnya jadi "pembunuh" diri sendiri, atau bangsanya sendiri, atau bangsa manusia lain
yang tidak berdosa.
Demikian pula dengan bidang finansial sebuah negara -- yang bisa saja maju
ekonominya, tapi akan menjadi bangkrut kalau tidak diikuti oleh kemampuan membina
administrasi keuangannya secara baik. Seperti contoh kasus Bank Bali.
Contoh di atas menunjukan bahwa salah satu kemajuan negara-negara maju adalah
meletakkan manusia atas segalanya dalam pembangunan administrasi, ingat saja prinsif
"the men behind the gun" , dan "the right men on the right plece". Demikian pula dengan
Jepang. Mereka memiliki sikap hidup yang mereka namanya dengan "Makoto", yaitu suatu
sikap yang menjunjung tinggi kemurnian dalam batin, dan motivasi dan menolak adanya
tujuan yang semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri. Sikap ini sangat menjunjung
tinggi kejujuran dan kesungguhan.
Dalam admnisitrasi Jepang, perinsip "the right men on the right plece",
disepadankana dengan istilah "Wa", yang artinya keselarasan, yaitu suatu filsafat
kebudayaan nasional, yang dalam bahasa Indonesia artinya menempatkan orang sesuai
dengan keahliannya.
Kedudukan manusia apalagi seorang pemimpin bagi negara-negara Barat -- yang
kita nilai kurang agamis, ternyata patut dicontoh, tetutama dalam pemilihan presiden.
Mereka akan memeriksa calon mereka terutama dari perilaku moral, misalnya apakah ia
penjudi, pemabuk atau pernah tak bayar pajak. Demikian pula Jepang, mereka sanggup
melakukan hara kiri (bunuh diri ala Jepang) apabila melakukan kesalahan atau gagal.
Sehingga proses administrasi mereka menjadi lancar.
1
Paparan di atas, dalam ajaran Islam sebenarnya sudah jauh lebih tua, sejumlah ayat
jelas mendudukkan peranan manusia atas segaranya, terutama akhlaknya (etika), apalagi
bagi seorang pemimpin, misalnya peringatan untuk tidak menyerahkan pekerjaan kepada
bukan ahlinya, karena itu akan membuat kehancuran.
Banyak riwayat dalam sejarah pemimpin besar yang hancur kerena moralnya raja
jelek, terutama dalam kasus harta dan wanita. Termasuk akhlak rayatnya. Sehingga
seorang Syeckh dari Mesir mengatakan:
Hidup dan bangunnya suatu bangsa, tergantung kepada akhlaknya, jika
mereka tidak berpegang teguh kepada norma-normanya, maka bangsa itu
akan mengalami kemusnahan. (Tanthowi, 1993: 12)
Berdasarkan uraian berarti terdapat hubungan yang erat antara administrasi dengan
etika atau moral suatu profesi atau suatu bangsa.
Dalam sejarah Eropa, sekitar abad ke 17 perkembangan filsafat Rasionalisme
melahirkan istilah modern -- yang intinya tidak boleh memasukkan kepentingan pribadi dan
keluarga dalam urusan organisasi. Paham ini ternyata memerlukan hampir dua abad
untuk dapat masuk ke Asia. Hal ini untung saja banyak pelajar Asia belajar di sana, tapi
negeri pertama yang mendapat pengaruh ini adalah Jepang, yaitu setelah Teluk Tokyo
didobrak oleh Kommandor Perry (1853) dan disusul oleh masuknya bangsa-bangsa Barat
lainnya . Dan diperbolehnya putra-putra Indonesia masuk sekolah Belanda ELS (europese
Lagere School), HBS (Hogere Burgerschool) dan diperbolehkan studi ke Belanda.
II. Pengertian Etika
Istilah etika juga sering disebut etik, yaitu berasal dari kata ethics dalam Bahasa
Inggeris. Secara etimologi etika berasal dari Bahasa Latin “ethicus” sedangkan dalam
Bahasa Yunani “ethicos” yang berarti kebiasaan. (Wusanto: 1987).
Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam pengertian:
1.
Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan,
tentang penilaian dari perbuatan seseorang.
2
2.
3.
Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya
seseorang dikatakan etis apabila orang itu berbuat kebajikan.
Etika sebagai filsafat, yaitu yang mempelajari pandangan-pandangan,
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dikenal dua istilah etika, yaitu etika
pribadi, dan etika sosial. Etika pribadi berhubungan dengan perbuatan baik atau buruk
seseorang terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika sosial adalah perbuatan baik-buruk
seseorang terhadap orang banyak, baik terhadap organisasi sosial, organisasi profesi,
organisasi pemerintah dan lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, selain istilah etika, juga ada istilah moral. Moral adalah
pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradap. Moral juga berarti
ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak). Moral berasal dari kata
mores yang berasal dari Bahasa Latin ( Wursanto, 1987), yang dapat terjemahkan menjadi
“aturan kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari yang dimaksud dengan kesusilaaan bukan
pula mores tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun, dan tidak cabul. Jadi
moral adalah aturan kesusilaan, yang meluputi semua norma untuk kelakukan, perbuatan
untuk tingkah laku yang baik. Selain itu dikenal juga istilah susila yang berasal dari Bahasa
Sansekerta, su artinya lebih baik, sila artinya berarti dasar-dasar dan perinsip-perinsip atau
peraturan-peraturan hidup. Jadi susila berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.
Kemudian ada istilah kode etik dan etika jabatan . Kode etik adalah aturan-aturan
kesusilaan, atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para
anggota, yang tergabung dalam suatu organisasi (Wursanto, 1987).
Dengan demikian kode etik merupakan suatu suatu bentuk persetujuan bersama
tentang etika perilaku anggota suatu kelompok organisasi yang sifatnya dapat dikatakan
informal karena berlaku interen. Kode etik setiap organisasi hanya mengikat orang yang
menjadi anggotanya, dan sanksi pelanggaran anggota terhadap kode etik hanya boleh
3
dilakukan oleh organisasi yang bersangkutan, tidak boleh dari organisasi lain, kecuali
pelanggaran di luar aturan kode etik, seperi pelanggaran terhadap Hukum Pidana dan
Perdata, serta ketetapan hukum lainya.
III. Pengertian Profesi
Profesi diartikan macam-macam, namun secara substansinya tidak begitu banyak
berbeda. Menurut Piet, 1994: 26 Profesi adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka
(to profess artinya menyatakan) yang menyatakan bahwa seseorang itu mengabdikan
dirinya pada suatu jabatan atau pelayanan kerena orang tersebut merasa terpanggil untuk
menjabat pekerjaan itu. Sementara Everet Hugher (dalam Piet, 1994: 26) mengatakan
bahwa profesi merupakan simbol dari suatu pekerjaan dan selanjutnya menjadi pekerjaaan
itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1996: 789) bahwa
profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan keahlian (keterampilan,
kejuruan, dsb) tertentu.
Sedangkan Webster`s New Wold Dictionery (dalam Oteng: 1983) menyebutkan
bahwa profesi sebagai suatu pekerjaan yang meminta pendidikan tingggi dalam liberal arts
atau sains, dan biasanya meliputi pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual atau
pekerjaan kasar, seperti mengajar, keinsinyuran, mengarang dan seterusnya.
Di dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 036/U/1993
Tanggal 9 Februari tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan tinggi ternyata hanya
terdapat delapan sebutan profesi, yaitu dokter (kedoktoran), apoteker (Farmasi), Akuntan
(Ekomoni), Dokter hewan (Kedoktoran hewan), Dokter gigi (Kedoktoran gigi) Psikolog
(Psikologi), notaris (Hukum), dan Arsitek (arsitektur).
Kalau profesi di atas kita anggap sebagai profesi moderen, bagaimana kedudukan
profesi klasik sepeti akupuntur, tabib dan pendeta, dan bagaimana pula jabatan guru,
konselor, polisi, teknisi, programmer komputer dan lainnya?.
4
Untuk menjawab semua persoalan ini sebaiknya kita kutip hasil kesepakatan
sejumlah ahli/profesional dalam bidang kedoktoran, kekonsultanan, kemilitiran, notaris,
wartawan, pendidikan, konseling, dan pengelola pendidikan pada bulan Juni - Oktober
1990 di FPS IKIP Bandung, yang berisikan tengang ciri-ciri utama profesi, yaitu:
a.
b
c.
d.
e.
f.
g.
h.
I.
j.
Memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang crusial,
Adanya tuntutan penguasaan keahlian/keterampilan sampai pada tingkatan tertentu.
d
Pemerolehan keahlian/keterampilan pada butir b, bukan hanya dilakukan secara
rutin, tetapi melalui pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis melalui
metode ilmiah..
Suatu profesi memiliki batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistimatis, dan eskplisit.
Penguasaan profesi membutuhkan masa pendidikan yang relatif lama, pada jenjang
perguruan tinggi. Menurut Encyclopedia Americana Nomor 28, suatu jabatan atau
pekerjaan profesional, minimal mendapatkan pendidikan 4 tahun setelah SLTA.
Proses pendidikan yang ditempuh juga merupakan wahana bagi sosialisasi nilai-nilai
profesional di kalangan siswa/ mahasiswa yang mengikutinya.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat./klien, seorang profesional
berpegang teguh kepada kode etik, yang pelaksanaannya dikontrol oleh organisasi
profesi, dan setiap pelanggaran kode etik dapat dikenakan sanksi.
Anggota suatu profesi mempunyai kebebasan untuk menetapkan judgementnya
sendiri dalam menghadapi atau memecahkan sesuatu dalam lingkup kerjannya.
Tanggung jawab profesional adalah komitmen kepada profesi berupa pelayanan
sebaik-baiknya kepada masyarakat/klien (pelaksanaan profesi sebaik-baiknya), dan
praktik profesional ini otonom dari campur tangan pihak luar.
Sebagai imbalan dari proses pendidikan dan latihannya yang lama dan komitmen
kepada seluruh jasa/pekerjaannya, seorang profesional mempunyai prestise yang
tinggi di masyarakat dan karenanya berhak mendapatkan imbalan yang layak.
(Jurnal Pendidikan, Nomor 7, Mei 1992).
Menurut saya kata kunci dari ciri-ciri profesi di atas adalah butir e.
Yaitu
penguasaan profesi membutuhkan masa pendidikan yang relatif lama, pada jenjang
perguruan tinggi. Menurut Encyclopedia Americana Nomor 28, suatu jabatan atau
pekerjaan profesional, minimal mendapatkan pendidikan 4 tahun setelah SLTA.
Sebagai perbandingan berikut saya tuliskan kriteria profesi dari pendapat Vollmer
& Mills (dalam Oteng, 1981: 37) yang terdiri atas 10 kriteria yang dibadi dalam tiga
kelompok:
Pertama:
memiliki spesialisasi dengan latar belakang teiru yang luas mencakup:
1.
Pengetahuan umum yang luas;
5
Kedua:
Ketiga:
2.
Pengetahuan khusus yang dalam.
merupakan karir yang dibina secara organisatoris, mencakup
3.
Keteritakan dalam suatu organisasi profesional
4.
Memiliki otonomi jabatan;
5.
Mempunyai kode etik jabatan;
6.
Merupakan karya bakti seumur hidup;
diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional,
mencakup:
7.
Meperoleh dukungan dari masyarakat;
8.
Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum;
9.
Mempunyai persyaratan kerja yang sehat;
10.
Mempunyai jaminan hidup yang layak.
IV. Kebudayaan dan Kesatuan Profesi
Diakui sebagian besar hidup manusia dihabiskan dalam kehidupan organisasi, baik
organisasi formal maupun informal, namun demikian sebagian besar berlangsung dalam
organisasi formal. (March dan Simon, 1958). Kebudayaan profesi adalah suatu
kebudayaan organisasi formal yang mempunyai nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol dan
konsep karir.
Suatu profesi memiliki suatu ikatan profesi yang kuat dan berpengaruh, yang perlu
untuk membantu dan menjamin terpenuhinya kriteria yang diauraikan di muka.
Menurut Oteng (1983: 52) suatu profesi mempunyai keharusan tindakan bersama
yang teratur sering dipandang sifat status profesi yang paling menonjol. Dengan demikian,
suatu profesi adalah lebih dari sekelompok individu yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo, Prajudi S. (1970). Beberapa pandangan umum: Pengambilan keputusan
(Descision Making). Cetakan Pertama Juli. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
--------, (1985). Dasar-dasar ilmu administrasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Gibson, J. M., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1985). Organisasi dan manajemen.
Perilaku, struktur, proses. (Diterjemahkan oleh Nunuk Adiarni MM, Editor: Lydon
Saputra). Jakarta: PT. Bina Aksara.
Gibson, J. M., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1996). Organisasi dan manajemen.
Perilaku, struktur, proses. Edisi kedelapan (Diterjemahkan oleh Djoerban Wahid).
Jakarta: Erlangga. (New York, 1985).
6
7
Handayaningrat, Soewarno. (1989). Pengantar studi ilmu administrasi dan manajemen.
Jakarta: CV. Haji Masagung.
Kamars, Dachnel. (1989). Sistem pendidikan dasar, menengah, dan tinggi suatu studi
perbandingan antarbeberapa negara. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Kanwil Depdikbud Propinsi Riau. (1991). Petunjuk operasional peningkatan mutu
pendidikan. Pekanbaru: Kanwil Depdikbud Riau.
Kartono, Kartini (1981), Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: CV. Rajawali
Kneller, G, F. (1989). Antropologi pendidikan. (Diterjemahkan oleh Imran Manan).
Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud. (New York, 1965).
Koentjaraningrat. (1982). Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Koontz, H., O'Donnell, C., & Weihrich, H. (1990). Manajemen. Jilid I dan II. (Diterjemahkan
oleh Gunawan Hutauruk). Jakarta: Erlangga. (New York, 1984).
Lateiner, A, R. (1985). Teknik memimpin pegawai dan pekerja. (Diterjemahkan oleh
Imam Soedjono. Jakarta: CV. Aksara Baru. (London, 1954)
Marbun, B.N. (1993). Manajemen Jepang. Jakarta: Pustakan Binaman Presindo.
March, J. G., & Simon, H. A. (1958). Organizations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Nawawi, Hadari & Martini Hadari.(1994). Kebijakan pendidikan Indonesia: Ditinjau dari
sudut hukum. Yokyakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Pidarta, Made. (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Bandung: PT> Bina Aksana.
Sahertian. A Piet. (1994). Profil Pendidik Profesional. Yokyakarta: Adni Offset
Saaty. T. L. (1991). Pengambilan keputusan bagi para pimpinan: Proses hirarki
analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Jakarta:
PT. Dharma Aksara Perkasa.
Said, Chatlinas. (1988). Pengantar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen
Dikti, Depdikbud.
Samana, A. (1994). Profesionalisme keguruan. Yokyakarta: Kanisius.
Schatz, K., & Schatz, L. (1986). Managing by influence. Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, Inc.
Schein, E. H. (1983). Psikologi organisasi. (Diterjemahkan oleh Nurul Iman). Jakarta: PT.
8
Pustaka Binaman Pressindo. (NJ, 1980)
Siagian, S.P. (1982a). Filsafat administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1981). Sistem Informasi dalam Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT. Gunung
Agung.
-------. (1982b). Organisasi kepemimpinan dan perilaku administrasi. Jakarta: PT.
Gunung Agung.
-------. (1990). Teori dan praktek pengambilan keputusan. Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Soedijarto. (1993). Memantapkan sistem pendidikan nasional. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Soedjadi. (1989). O & M (Organization and methods) penunjang berhasilnya proses
manajemen. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Soepardi. (1988). Dasar-dasar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti,
Depdikbud.
Soetopo, Hendiyat, & Soemanto, Wasty. (1984). Kepemimpinan dan supervisi
pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sudjak, Abi. (1990). Kepemimpinan manajer, eksistensinya dalam perilaku organisasi.
Jakarta: Pusdiklat Depdikbud.
Sugandha, Dann. (1981). Organisasi, komunikasi, dan teknik memberi perintah.
Bandung: CV. Sinar Baru.
-------, (1982). Manajemen administrasi: Suatu pendekatan sistem dalam manajemen
perkantoran. Bandung: CV. Sinar Baru.
Sugiyono. (1994). Metode penelitian administrasi. Bandung: Alfabeta.
Syaifullah, Ali. (1981). Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan: Pendidikan sebagai
gejala kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Sutisna, Oteng. (1983). Administrasi pendidikan: Dasar teori untuk praktek
profesional. Bandung: Angkasa.
Tanthowi, Jawahir. ((1983). Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Quran. Jakarta:
Pustaka Al Husna.
Usman, Uzer. (1989). Menjadi guru profesional. Bandung: PT. Remadja Rosdakarya.
Ya'qub, Hamzah. (1984). Menuju keberhasilan manajemen dan kepemimpinan.
Bandung: CV. Diponogoro.
Wates, Dan. (1995). Manajemen Abad 21. Jakarta: Spektrum.
Wursanto. (1987). Etika Komunikasi Kantor. Jakarta: Kanisius.
Download