bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada lima jenis kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap orang, yaitu
kebutuhan fisiologis; kebutuhan keamanan; kebutuhan cinta, sayang, dan
kepemilikan; kebutuhan esteem; serta kebutuhan aktualisasi diri. Begitu lah lima
jenis kebutuhan manusia yang dipaparkan oleh Abraham Maslow. Dalam
hierarchy of needs, Maslow (1943) menyebutkan bahwa manusia memiliki
tingkatan-tingkatan kebutuhan hidup yang akan terus berusaha dipenuhi sepanjang
hidupnya. Lima kebutuhan tersebut kemudian ia gambarkan dalam sebuah
piramida yang menjelaskan tingkatan kebutuhan manusia.
Salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi adalah kebutuhan cinta, sayang,
dan kepemilikan. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan seseorang menjadi bagian
dari kelompok atau masyarakat. Seseorang butuh untuk merasa dimiliki dan
memiliki sehingga tidak membuatnya merasa sendirian. Apabila kebutuhan ini
tidak dipenuhi, maka seseorang akan merasa kesepian, terasing, dan tidak dapat
berkembang. Dengan demikian, tingkatan ini perlu dipenuhi terlebih dahulu
sebelum meningkat ke kebutuhan selanjutnya. Sejalan dengan pendapat Fromm
(1941) bahwa perasaan kesepian manusia dapat diobati dengan semangat cinta
dan kerjasama antarmanusia. Dari sini seseorang dapat merasa saling memiliki
dan memberikan konstribusi satu sama lain. Oleh sebab itu, interaksi kita dengan
orang lain penting adanya untuk mengatasi kesepian dan keterasingan.
Hubungan antarmanusia diawali dengan komunikasi, yakni aktivitas
pertukaran pesan antara dua orang. Satu orang berperan sebagai komunikator
(pengirim pesan), sedangkan satunya berperan sebagai komunikan (penerima
pesan). Komunikasi seperti ini dinamakan komunikasi interpersonal. Melalui
komunikasi interpersonal akan menghasilkan interaksi dan pertukaran pesan, baik
secara verbal maupun non verbal. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Giffin
dan Patton (1971) bahwa komunikasi interpersonal adalah proses yang melibatkan
pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang.
1
Komunikasi interpersonal adalah jenis komunikasi yang paling mudah kita
temui karena aktivitas ini dilakukan setiap hari. Keterlibatan dua orang dalam
komunikasi interpersonal membuat komunikasi menjadi faktor utama dalam
terciptanya sebuah hubungan (relationships). Melalui komunikasi, kita dapat
saling berinteraksi, saling memahami, dan ketika kenyaman datang maka kita
kerap melakukan hal-hal untuk memelihara hubungan tersebut.
Menurut Sternberg (2009), keterbukaan diri (self disclosure) antara dua
orang merupakan awal dari sebuah keintiman (intimacy). L. B. Rubin (1985)
berpendapat jika keintiman bisa dibentuk melalui persahabatan, meliputi
kepercayaan, kejujuran, respek, komitmen, rasa aman, dukungan, kedermawanan,
loyalitas, kekonstanan, pemahaman, dan penerimaan. Erikson (dalam Kroger,
2001) mendefinisikan keintiman sebagai perasaan saling percaya, terbuka, dan
berbagi dalam suatu hubungan. Menurutnya, setiap orang, khususnya yang berusia
30-an, akan mencoba membangun keintiman dengan orang-orang sekitarnya
sehingga tercipta sebuah hubungan (keluarga, pertemanan, pasangan romantis).
Apabila keintiman berhasil dibangun, maka ia akan bersedia untuk berkorban
demi menjaga hubungan tersebut. Namun, apabila seseorang mengalami
penolakan, maka ia akan mengisolasi dirinya.
Keintiman tidak tercipta begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup
panjang. Salah satu prosesnya dilakukan melalui komunikasi interpersonal. Di
tengah pesatnya perkembangan teknologi
komunikasi, pola komunikasi
interpersonal mulai bergeser. Pada awalnya komunikasi interpersonal dipahami
sebagai komunikasi face-to-face, yakni komunikasi tatap muka antara
komunikator dan komunikan. Dewasa ini fleksibilitas media dan kemudahan
akses internet membuat setiap orang dapat terkoneksi dan berkomunikasi satu
dengan lainnya tanpa harus bertatap muka, dimana pun, dan kapan pun. Perbedaan
ruang dan waktu tidak lagi menjadi alasan penghambat komunikasi antarmanusia.
Ketika komunikasi antarmanusia dapat dilakukan melalui media, maka
begitu pun dengan keintiman. Bergesernya pola komunikasi antarmanusia diiringi
pula dengan bergesernya bentuk keintiman. Berdasarkan penelitian pada tahun
2005, di AS terdapat 3,5 juta pasangan menikah yang berhubungan jarak jauh.
2
Jumlah ini meningkat 30% dari tahun 2000, yakni hanya 2,63%. Penelitian
lainnya menyebutkan jika ada sekitar 4,4 juta pasangan mahasiswa (20%-40%
mahasiswa dari jurusan yang beragam) yang belum menikah yang sedang
menjalani hubungan jarak jauh.
Membicarakan new media (media baru) tidak dapat dipisahkan dari
internet. Memahami komunikasi interpersonal melalui internet harus disesuaikan
dengan konteksnya. Konteks penting untuk diperhatikan karena akan membentuk
sudut pandang terhadap fenomena yang akan dipahami. Konteks adalah tempat
atau situasi selama komunikasi tersebut berlangsung. Konteks dapat berupa
lingkungan fisik, latar belakang hubungan komunikator dan komunikan, budaya,
peran gender, bahkan nilai dan norma yang ada di masyarakat (Shedletsky &
Aitken, 2004).
Konteks penelitian ini adalah keintiman yang terjalin diantara pasangan
homoseksual melalui new media. Adapun homoseksual adalah orang-orang yang
mendapatkan kepuasan seksual dari pasangan yang berjenis kelamin sama dengan
mereka. Homoseksual dibagi menjadi dua, yaitu lesbian dan gay. Lesbian
ditujukan bagi homoseksual perempuan, sedangkan gay sebutan untuk
homoseksual laki-laki. Fenomena ini menarik untuk diteliti karena berdasarkan
nilai dan norma yang ada di masyarakat Indonesia membuat mereka
termarginalkan. Orientasi seksual mereka dinilai tidak sejalan dengan aspek
sosial, budaya, dan agama. Oleh sebab itu, di tengah masyarakat yang masih
memegang teguh nilai-nilai sosial, budaya, serta keagamaan pasangan
homoseksual masih mendapat stigma negatif. Menurut survey yang dilakukan
oleh Lingkaran Survey Indonesia, 65% masyarakat Indonesia merasa tidak
nyaman bertetangga dengan kaum homoseksual. Hal ini diutarakan oleh Hartoyo,
Sekretaris Jendral Ourvoice, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang
advokasi hak kelompok LGBT pada Minggu (28/10/2012) di salah satu media
online.
Tidak mudah bagi pasangan homoseksual hidup di tengah masyarakat
Indonesia. Hal ini lah yang membuat mereka memiliki cara komunikasi tersendiri
dibandingkan pasangan heteroseksual yang mana jenis pasangan dominan di
3
masyarakat Indonesia. Orbe (1998) menjelaskan bahwa di masyarakat terdapat
hierarki sosial yang mengelompokkan orang-orang ke dalam sejumlah grup. Grup
yang dominan memiliki andil kual dalam seluruh sistem sosial, salah satunya
adalah sistem komunikasi. Secara sadar atau pun tidak sadar, kelompok dominan
akan memformulasikan sistem komunikasi yang mencerminkan pola pikir
mereka. Bagi grup yang tidak dominan, mereka cenderung akan menciptakan pola
komunikasi sendiri. Adapun Orbe mengelompokkan pasangan gay dan lesbian ke
dalam co-cultural groups, yakni kelompok yang tidak dominan namun ada di
tengah masyarakat.
Pada dasarnya, permasalahan orientasi seksual bukan lah permasalahan
sosial. Tidak ada yang salah untuk menjadi seorang homoseksual. Benar atau
salahnya identitas seseorang di masyarakat hanyalah parameter sosial yang
digunakan di masyarakat (Fromm, 2009). Buktinya, sejak tahun 2005, Inggris
telah melegalkan pernikahan sesama jenis (lesbian dan gay). Namun, secara
hukum mereka tidak dinamai “marriage”, tetapi “civil partnership”. Keduanya
mempunyai hak yang sama layaknya pasangan “marriage”, misalnya hak harta
gono-gini (property rights), jaminan pensiun (pension benefit), dan sebagainya.
Sebelumnya, pemerintah Inggris melakukan sensus kepada warganya yang
mengaku lesbian dan gay. Data yang diperoleh cukup mencengangkan, yakni 6%
dari warga negara Inggris adalah seorang lesbian atau gay. Angka tersebut setara
dengan jumlah 3,6 juta jiwa orang. Jumlah ini jauh dari perkiraan sebelumnya
yang mungkin hanya 1%.
Di
Indonesia pertumbuhan pasangan homoseksual
dinilai cukup
signifikan. Meski pertambahannya tidak cepat, mereka terus berkembang dan hal
ini terjadi secara underground (tidak kasat mata) sehingga belum ada jumlah yang
pasti mengenai pasangan homoseksual di Indonesia. Di Medan, data yang
diperoleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) kota Medan menunjukkan bahwa
jumlah kaum gay di sana mencapai 1.699 orang, sedangkan jumlah waria adalah
664 orang. Di Yogyakarta, jumlah pasangan lesbian terus bertambah karena
didukung oleh faktor sosial dan ekonomi. Yogyakarta merupakan kota yang
4
masyarakatnya memiliki toleransi tinggi, selain itu biaya hidupnya cukup murah
(Sulandari, 2004).
Tak hanya itu, pekembangan komunitas homoseksual di dunia maya, baik
lesbian maupun gay, kini kian berkembang dan terang-terangan. Belum ada angka
rigid yang menunjukkan jumlah keberadaan mereka, namun dikutip dari
detikINET (15/7/2010), Bob Witeck dari Witeck-Combs Communication
menyebutkan bahwa jejaring sosial dan blog kini menjadi komunitas virtual bagi
gay dan lesbian. Di Indonesia, telah banyak komunitas virtual lesbian dan gay.
Misalnya, situs “ourvoice.or.id” sebagai media penampung aspirasi bagi keluarga
LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender). Ada pula “sepocikopi.com”, sebuah
website yang mengajak para lesbian Indonesia untuk terbuka dan melakukan
perjuangan, atau “lgbtindonesia.org” yang berisi segala informasi tentang dunia
LGBT Indonesia dan perkembangannya. Di sana pun terdapat forum yang diikuti
oleh beberapa konsultan, seperti konsultan hukum, konsultan psikologi, dan
konsultan kesehatan.
Selayaknya
pasangan
heteroseksual,
pasangan
homoseksual
pun
memanfaatkan new media dalam membangun keintiman hingga menjalin suatu
hubungan. Melalui media ini, pasangan homoseksual menjadi lebih leluasa karena
tidak ada nilai dan norma khusus yang berlaku dalam dunia online. Mereka tidak
harus berhadapan dengan orang-orang yang menganggap hubungan mereka tabu.
Kebebasan gerak di new media membuat mereka lebih bisa berekspresi dalam
menyampaikan pesan. Tak hanya berbentuk teks, tetapi pesan-pesan dapat
diterjemahkan ke dalam bentuk gambar, video, dan audio.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa di Surabaya
menemukan bahwa adanya proses keterbukaan diri dalam komunikasi
interpersonal pasangan gay melalui Facebook. Di sana ditemukan adanya cara
khusus pada pasangan gay untuk membuka dirinya. Penelitian tersebut
menemukan empat alur self-disclosure yang dilakukan oleh pasangan gay lewat
Facebook, yaitu clicks, feelings, opinions, dan facts. Tahapan “clicks”
menunjukkan langkah perkenalan, biasanya ditempuh melalui pesan di “wall”.
Tahapan “feelings” terjadi ketika mereka melakukan pertemuan di dunia nyata, di
5
sana masing-masing pihak mengutarakan perasaannya dan lanjut ke tingkat
hubungan yang lebih dalam. Pada tahap “opinions”, perasaan-perasaan negatif
mulai muncul. Di sini pasangan gay mulai bertengkar dan biasanya disebabkan
oleh pesan-pesan yang ada di dalam Facebook. Sedangkan tahap “facts” ditandai
dengan turunnya frekuensi interaksi pasangan di Facebook. Dalam tahap ini
masing-masing pihak mulai mempertanyakan apakah hubungan yang dimulai
melalui dunia maya tersebut layak diperjuangkan atau tidak. Pihak ketiga, baik
keluarga maupun teman, sudah mengambil peran di sini karena dalam tahap ini
pasangan gay telah secara terang-terangan menyatakan dirinya dalam suatu
hubungan (relationships).
Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk membangun keintiman,
sedangkan self-disclosure hanya lah salah satunya. Dengan demikian, penelitian
ini mencoba untuk memahami bagaimana pasangan homoseksual memanfaatkan
berbagai macam new media untuk membangun keintiman. Penelitian komunikasi
interpersonal pasangan homoseksual ini diarahkan ke pemanfaatan new media
bukan hanya karena bergesernya tren komunikasi antarmanusia, tetapi juga karena
dalam dunia virtual tidak terdapat nilai dan norma yang mengikat. Adapun new
media tidak terbatas pada jejaring sosial, melainkan seluruh media yang
terkoneksi dengan internet. Dari sana akan tercipta sebuah komunikasi virtual,
yakni proses penyampaian dan penerimaan pesan melalui ruang maya yang
bersifat interaktif. Berangkat dari aktivitas komunikasi interpersonal yang virtual,
maka keintiman yang terbentuk pun bersifat virtual (maya).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kaum homoseksual (lesbian dan gay) membentuk keintiman
melalui komunikasi interpersonal dengan pasangannya lewat new media?
6
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keintiman yang terbentuk melalui komunikasi
interpersonal lewat new media diantara kaum homoseksual dengan
pasangannya.
2. Untuk mengetahui motif atau tujuan pemilihan new media yang digunakan
oleh
kaum
homoseksual
dalam
membangun
keintiman
dengan
pasangannya.
3. Untuk memahami jenis pesan yang disampaikan oleh kaum homoseksual
melalui new media dalam membangun keintiman dengan pasangannya.
4. Untuk mengetahui jenis new media yang dimanfaatkan oleh kaum
homoseksual dalam membangun keintiman dengan pasangannya.
D. Batasan Penelitian
Peneliti menyadari bahwa fenomena homoseksual dapat dieksplorasi ke
dalam beberapa ranah penelitian. Oleh sebab itu, guna memfokuskan penelitian,
maka peneliti membuat batasan penelitian. Adapun batasan tersebut merupakan
fokus permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada adalah
keintiman yang terbentuk diantara pasangan homoseksual (lesbian dan gay)
sebagai hasil dari komunikasi interpersonal melalui new media. New media
dikategorikan sebagai segala bentuk media yang terkoneksi dengan internet dan
menciptakan interaktivitas. Konsep interaktivitas diambil dari sejumlah teori dan
pemahaman yang peneliti jelaskan di bagian kerangka teori dan Bab 2. Peneliti
tidak
mengaitkan
permasalahan
homoseksual
keluar
topik
komunikasi
interpersonal dan keintiman yang termediasi karena penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji fenomena komunikasi. Adanya unsur psikologi di dalam penelitian ini
hanya digunakan sebagai perspektif sekunder guna memahami informan dalam
memandang keintimannya dengan pasangan melalui new media.
Titik tolak analisis data dilihat dari empat aspek, yaitu latar belakang
kebutuhan sosial-psikologis informan, new media yang digunakan, motif
pemilihan media, dan pesan yang disampaikan. Latar belakang sosial-psikologis
menggali tentang bagaimana informan memandang dirinya sebagai homoseksual,
7
baik secara personal maupun sosial. Dengan demikian, peneliti memahami
kebutuhan personal dan sosial dari informan. Kemudian, peneliti pun mencari
tahu new media yang digunakan informan untuk berkomunikasi dengan
pasangannya serta alasan pemilihannya dihadapkan dengan kebutuhan sosialpsikologis informan. Kedua hal tersebut tidak terlepas dari pesan-pesan yang
disampaikan, pada akhirnya peneliti dapat mengetahui keintiman yang terbentuk
antara informan dengan pasangannya melalui new media karena adanya
kebutuhan sosial-psikologis dari diri setiap pasangan.
E. Kerangka Teori
1. Komunikasi Interpersonal melalui New Media
Komunikasi interpersonal sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya hal ini terjadi dalam suasana informal dan tatap muka (face-to-face),
misalnya tegur sapa dengan teman atau ucapan yang bersifat spontan dan tidak
menggunakan tata bahasa baku. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses
yang melibatkan pengiriman dan penerimaan pesan (Giffin dan Patton, 1971).
Dalam komunikasi interpersonal, terdapat proses penyampaian berita yang
dilakukan oleh seseorang kemudian berita tersebut diterima oleh orang lain atau
sekelompok kecil orang guna mendapatkan umpan balik (DeVito, 2002).
Adapun Little John (2008) menyebutkan lima kriteria komunikasi
interpersonal, yakni harus ada dua orang yang saling menyadari keberadaannya,
masing-masing
saling
ketergantungan
dan
mempengaruhi,
pesan-pesan
merupakan hasil dari hubungan timbal balik (feedback), pesan-pesan dituangkan
dalam bentuk verbal dan non-verbal, serta komunikasi interpersonal bersifat
informal dan fleksibel. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa komunikasi
interpersonal merupakan proses pertukaran pesan verbal dan non-verbal antara
dua orang, salah satunya bertindak sebagai pengirim pesan (sender) dan lainnya
sebagai penerima pesan (receiver), guna memperoleh hubungan timbal balik
(feedback).
Keterlibatan dua orang di dalamnya membentuk komunikasi interpersonal
menjadi
interaksi
yang
bersifat
diadik.
Komunikasi
diadik
(dyadic
8
communication) adalah pondasi dari komunikasi interpersonal. Tak hanya
membicarakan jumlah orang yang terlibat di dalamnya, tetapi komunikasi diadik
juga memperhatikan kemampuan masing-masing orang dalam memproses
informasi. Interaksi one-to-one ini memperhatikan cara seorang sender dan
receiver memproduksi, mengolah, dan menerima pesan, dengan demikian tercipta
lah hubungan timbal balik (feedback).
Ada dua jenis komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi secara langsung
(face-to-face) dan komunikasi termediasi (mediated communication). Perbedaan
mendasar keduanya adalah kehadiran pihak sender dan receiver. Pada komunikasi
langsung, ada pertemuan fisik secara nyata antara sender dan receiver. Sedangkan
komunikasi termediasi dilakukan jika ada beberapa hambatan, seperti jarak,
waktu, biaya, dan lainnya. Media menjadi penghubung antara satu orang dengan
orang yang lainnya. Selain itu, media pun menerjemahkan pesan ke dalam bentuk
yang difasilitasinya, misalnya teks, foto, suara, video, dan sebagainya.
Di era globalisasi dan perkembangan teknologi, komunikasi interpersonal
tidak hanya terjadi saat tatap muka (face-to-face) atau lewat media konvensional
(surat, telefon, dan sebagainya), tetapi juga melalui new media.
“Interpersonal communication is one-to-one communication, and some
communication scholars the term synonymus with interpersonal
relationship. We believe interpersonal communication can be face-to-face
(f2f or FtF) or between two people online” (Shedletsky & Aitken, 2004:
143).
New media (media baru) lahir pada abad ke-20. Media ini mampu
mentransfer informasi secara digital, sistem komputer, atau jaringan data. Pada
saat itu, informasi dapat dimanipulasi melalui berbagai cara dan bersifat interaktif.
Oleh sebab itu, ciri khas bentuk komunikasi lewat media ini adalah interaktivitas.
Dalam bukunya yang berjudul “Communication Technology: The New
Media in Society”, Rogers (1986) menyebutkan bahwa interaktivitas adalah,
9
“When two or more individuals exchange messages via a computer-based
communication system, with each message being determined in part by the
previous messages in the sequence, the human participants will tend to
move more closely together (or, in contrast, to diverge) in the meanings
that they attach to the topic of communication” (Rogers, 1986: 212-213).
Jenis new media dapat dinilai dari dua aspek, yaitu berbasis internet atau
berupa digital. New media yang berbasis internet, misalnya adalah website,
sedangkan yang berwujud digital, misalnya adalah CD-ROM atau DVD. Namun
demikian, dalam penelitian ini new media difokuskan ke arah media yang berbasis
internet, baik yang diakses melalui komputer maupun telepon selular. Dalam
www.wisegeek.com, disebutkan bahwa di abad 20 orang-orang banyak memiliki
koneksi internet. Hal ini menyadarkan mereka bahwa new media telah mencakup
jejaring sosial, blog, bahkan situs video lainnya. Di samping itu, perkembangan
ini menuju aplikasi dalam telepon selular sehingga menciptakan platform
komunikasi yang berbasis jaringan internet.
Computer-mediated communication (CMC) adalah interaksi manusia yang
dilakukan melalui komputer (Shedletsky & Aitken, 2004). Spitzberg (2006)
mendefinisikan CMC sebagai interaksi simbolik secara tekstual antarmanusia
melalui teknologi digital. Teknologi yang dimaksud adalah internet, baik melalui
telepon selular, instant messaging (IM), ataupun multi-user interactions (MUDs
& MOOs). Adapun December (1997) berpendapat bahwa CMC adalah proses
komunikasi manusia yang melibatkan orang-orang dan situasi tertentu sehingga
menentukan pemilihan media untuk tujuan yang beragam.
Berdasarkan sejumlah pendapat di atas, maka dapat disimpulkan jika CMC
adalah komunikasi yang membutuhkan dua komponen, yaitu komputer dan
jaringan internet. Sebenarnya kedua hal ini tidak lah cukup karena dalam
komputer harus terdapat aplikasi yang memungkinkan seseorang dapat
berkomunikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, aplikasi-aplikasi
tersebut dapat dioperasikan melalui smart phone, personal digital assistant,
komputer tablet, dan teknologi komunikasi lainnya. Oleh sebab itu, kajian
terhadap CMC tidak terletak pada wujud komputernya, tetapi secara fungsional,
yakni produksi pesan untuk tujuan tertentu, pemanfaatan internet untuk
10
pemeliharaan hubungan, keterbukaan diri dalam dunia maya mempengaruhi
hubungan interpersonal, dinamika hubungan, dan sebagainya (Walther, 2011).
Ketika internet difungsikan secara maksimal untuk berkomunikasi, maka
komunikasi melalui internet tidak ada bedanya dengan komunikasi tatap muka
(Bernes, 2002). CMC mengubah pola komunikasi interpersonal secara langsung
(direct
communication)
menjadi
komunikasi
termediasi
(mediated
communication). Selain itu, kini hubungan manusia secara tatap muka dapat
dipengaruhi oleh komunikasi secara online (Wolak, Mitchell & Finkelhor, 2003).
Komunikasi interpersonal virtual (virtual interpersonal communication)
adalah aktivitas pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang yang
dilakukan lewat ruang maya (cyberspace) dan bersifat interaktif. Aspek interaktif
antara dua orang di sini harus ada karena apabila tidak mendapatkan respon dan
bukan dilakukan oleh dua orang, maka akan termasuk ke dalam komunikasi
massa.
Dalam komunikasi interpersonal virtual, dua orang saling berinteraksi
layaknya tatap muka, hanya saja mereka tidak secara wujud nyata di tempat itu.
Ada dua jenis komunikasi ini, yaitu asynchronous communication dan
synchronous communication. Asynchronous communication terjadi apabila dua
orang tidak dalam waktu dan tempat yang sama, namun pesan tetap sampai ke
orang yang dituju. Sedangkan synchronous communication terjadi ketika si
pengirim dan penerima pesan berada dalam waktu yang sama sehingga tidak
membutuhkan waktu lama untuk saling merespon.
Joseph Walther dan Malcolm Parks (dalam Thurlow, Lengel & Tomic,
2004) mengkategorikan teknologi internet dalam CMC menjadi e-mail, listserve,
dan mailing list; newsgroup, bulletin board, dan blog; internet relay chat dan
instant messaging; metaworld dan visual chat; serta personal homepage dan
webcam. Ada pula pendapat lain yang membedakan komunikasi virtual menjadi
tiga model, yaitu e-mail, chatting, dan web.
E-mail merupakan singkatan dari electronic mail, fasilitas dalam internet
yang memudahkan kita dalam berkirim surat. Kita tidak perlu membuang waktu,
tenaga, dan biaya. Dalam hal ini, e-mail, listserve dan mailing list termasuk ke
11
dalam asynchronuos communication karena feedback yang kita peroleh harus
melalui rentang waktu. Newsgroup, bulletin board dan blog dapat disejajarkan
dengan web, yakni laman yang berisi sejumlah informasi dengan link tanpa batas.
Saat ini web mampu menciptakan komunikasi interaktif sehingga orang-orang
tidak hanya menerima informasi, tetapi juga dapat berbagi informasi (sharring).
Internet relay chat dan visual chat adalah fasilitas media online yang dapat
digunakan untuk berkomunikasi secara interaktif, baik interpersonal atau pun
dengan banyak orang. Berbeda dengan jenis media online sebelumnya, media ini
termasuk ke dalam synchronous communication karena kita memperoleh respon
saat itu juga. Dua orang atau lebih terlibat dalam waktu yang sama saat
berkomunikasi. Sedangkan metawrold dan visual chat hampir sama dengan
instant messaging, hanya saja user divisualkan secara grafis. Kemudian, personal
homepage adalah laman berisi informasi diri seseorang, dan yang terakhir adalah
webcam, yaitu fasilitas chatting yang serupa dengan instant messanging dan
visual chat namun masing-masing user dapat saling melihat wujudnya melalui
video.
Seiring dengan perkembangan teknologi, dilakukan beberapa inovasi
dalam media online sehingga tersedia fasilitas-fasilitas baru sebagai sarana
komunikasi interpersonal virtual. Salah satu inovasi itu adalah jejaring sosial atau
lebih akrab disebut dengan social media. Media ini merupakan gabungan dari email, chatting, newsgroup, blog, hingga webcam. Facebook dan Twitter adalah
contoh jejaring sosial yang banyak diminati. Dalam Facebook terdapat lama
“about” yang menyediakan sejumlah informasi mengenai diri si user. Ada juga
“note” yang memungkinkan si user berbagi informasi. Begitupun fungsi “wall”
dan “message” yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi.
Kemudian Twitter, yang kerap disebut juga sebagai mini blog. Social
media ini mampu menghubungkan orang-orang dari seluruh dunia karena
kemudahannya dalam mengakses orang lain. Komunikasi yang dilakukan melalui
Twitter dapat digolongkan ke dalam komunikasi interpersonal, tetapi dapat pula
komunikasi massa. Apabila pesan dikirimkan melalui “mention” (istilah untuk
menunjuk langsung orang yang diajak berkomunikasi melalui Twitter), maka
12
dapat dinamakan komunikasi interpersonal karena langsung ke orang yang dituju.
Sama halnya melalui ”direct message”. Namun jika informasi hanya diketik dan
di-“tweet” (istilah untuk mem-posting sebuah tweet), maka dapat menciptakan
komunikasi massa. Hal ini dikarenakan informasi dilempar ke banyak audiens dan
mereka bebas untuk merespon atau meneruskannya ke pihak lain.
Berubahnya pola komunikasi interpersonal mendorong inovasi-inovasi di
bidang media online. Maka tak heran jika kini semakin banyak media online yang
memfasilitasi komunikasi interpersonal, mulai dari aplikasi smart phone hingga
instant messaging, seperti BlackBerry Messanger, Whats App, Line, dan
sebagainya. Masing-masing pihak, baik sender maupun receiver, memaksimalkan
fungsi media online agar tetap bisa berinteraksi satu sama lain sesuai dengan
tujuannya.
Katz, Blumler, dan Gurevitch (1974) menyebutkan bahwa pengguna
media berperan aktif dalam memilih dan menggunakan media. Lewat teori “uses
and gratification” mereka menganggap kalau orang secara aktif mencari lalu
memilih media tertentu untuk menghasilkan kepuasan dalam dirinya. Seseorang
tahu apa yang diinginkannya dari media dan ia pun tahu bagaimana memuaskan
kebutuhannya.
Pada awalnya, teori ini digunakan untuk mengkaji konsumsi media massa.
Motif-motif tersebut berangkat dari pemuasan kebutuhan manusia, yakni
cognitive, sebuah kebutuhan akan informasi, pengetahuan, dan hal – hal yang
aktual; affective, sebuah kebutuhan yang berkaitan dengan pengalaman
emosional, hal – hal yang menyenangkan, atau estetis; personal integrative,
sebuah kebutuhan terhadap peningkatan kredibilitas atau kepercayaan diri
seseorang; social integrative, sebuah kebutuhan yang terjadi ketika seseorang
ingin berhubungan dengan keluarga, teman, dan lainnya; dan tension release,
sebuah kebutuhan akan hiburan guna membuat diri rileks sejenak dari masalah.
Namun dalam perkembangannya, sejumlah peneliti memanfaatkan teori
ini sebagai alat untuk menganalisis motif seseorang memilih media untuk
berkomunikasi secara interpersonal. Dengan begitu, motif pemilihan media
internet untuk berkomunikasi interpersonal tidak lagi sama seperti yang
13
disebutkan di atas, melainkan motif-motif tersebut menjadi perolehan informasi
(information seeking), interaksi interpersonal (interpersonal utility), kenyamanan
dalam bermedia (convenience), hiburan (entertainment), dan menghabiskan
waktu (passing time) (Papacharissi dan Rubin, 2000).
Setiap orang kini bebas memilih jenis-jenis media online sesuai dengan
orientasi tujuannya, termasuk untuk memelihara hubungan dengan pasangannya.
Masing-masing jenis media online memliki kelebihan dan kekurangannya
tersendiri, ditambah pula dengan kebutuhan dan kepuasan manusia yang tidak
pernah terhenti, oleh sebab itu media online terus berkembang dan menjadi lebih
beragam.
2. Keintiman dalam Sebuah Hubungan
Melalui “The Triangular Theory of Love”, Sternberg (1986, 1988)
menjelaskan bahwa keintiman adalah perasaan yang menciptakan kehangatan dan
ikatan dalam hubungan cinta, seperti saling berbagi, memberikan dukungan
emosional, dan berkomunikasi. Erikson (dalam Kroger, 2001) mendefinisikan
keintiman sebagai perasaan saling percaya, terbuka, dan saling berbagi dalam
sebuah hubungan. Olforsky (dalam Marcia, dkk., 1993) berpendapat bahwa
keintiman merupakan kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan
hubungan yang akrab. Keakraban ini terlihat dari kedekatan, penghargaan,
keterbukaan, komunikasi, tanggung jawab, hubungan timbal balik, komitmen, dan
seksualitas. Adapun seksualitas di sini tidak mengacu kepada hubungan seks,
melainkan kepuasan yang dirasakan seseorang ketika berinteraksi dengan orang
lain. Adapun Fieldman (1995) menyebutkan keintiman adalah proses seseorang
mengkomunikasikan perasaan-perasaannya serta informasi diri kepada orang lain
melalui proses keterbukaan diri (self-disclosure).
Berdasarkan sejumlah pemahaman di atas, maka dapat kita simpulkan jika
keintiman merupakan perilaku afeksi seseorang kepada orang lain, termasuk di
dalamnya adalah komitmen, saling percaya, keterbukaan diri, hubungan timbal
balik, dan saling ketergantungan. Adapun keintiman tidak bisa terjadi pada satu
orang, melainkan harus dua orang. Oleh sebab itu, keintiman erat kaitannya
14
dengan hubungan antarmanusia. Keintiman dapat dicirikan dengan ikatan dan
intensitas interaksi yang tinggi dalam berbagai bentuk.
“According to Cheal (1987), an intimate relationship consist of a private
world of significant others, which needs to be continuously maintained. In
intimate relationships the significant other is often reminded that “they
are indeed significant”. People remind each other through gestures,
actions and gifts, some of which may be routine and unremarkable”.
(Kjeldskov, dkk., 2004: 103).
Keintiman diterjemahkan ke dalam beberapa perilaku (Kjeldskov, dkk.,
2005,), sebagai berikut:

Self-disclosure; keintiman menunjukkan seberapa terbuka seseorang
kepada orang lain yang sesungguhnya membuat dirinya rentan.

Communicate emotion; keintiman kadang tak terucap dan minim
informasi, namun sangat berarti dan kuat secara emosional. Seiring dengan
perkembangan jaman, keintiman tersebut dapat dikomunikasikan melalui
media (telefon dan e-mail).

Presence in absence; keintiman kuat akan perasaan kehadiran orang lain,
meskipun sebenarnya keberadaan orang tersebut di tempat yang berbeda.

Ambiguous and incomplete; keintiman bersifat tersirat dan muncul pada
konteks perilaku tertentu. Keintiman membagi dan mengisyaratkan dunia
masing-masing individu.

Private; keintiman biasanya sengaja dibangun oleh pasangan dan tidak
terlihat oleh orang lain.

Strong mutuality; keintiman merupakan ikatan timbal balik dalam pesan
dan tindakan.
Keintiman adalah sebuah kesatuan perasaan. Oleh sebab itu, kita tidak
dapat memisahkan satu bentuk keintiman dengan bentuk keintiman yang lain.
Biasanya satu bentuk keintiman diikuti dengan bentuk keintiman lainnya.
Keintiman pun tercipta tanpa kita sadari, dengan demikian keintiman terbentuk
seiring berjalannya waktu. Keintiman merupakan hasil dari kepercayaan dan
15
kenyamanan. Dengan begitu, hubungan antarmanusia tidak lagi berada di tahap
strangers, tetapi masuk ke tahap relationships.
“A relationship becomes more personal, more developed when: (i) its
participants become more independent, (ii) interaction increases in depth
or intimacy, (iii) interaction increases in breadth or variety, (iv)
participants become more commited to maintaining the relationship, (v)
participants feel better understood and interaction is more predictable,
(vi) personalized ways of communicating emerge, and (vii) the
participants’ social networks converge.” (Parks and Roberts, 2005: 278).
Menurut Altman & Taylor (1973), self-disclosure merupakan dasar untuk
menjalin keintiman. Keintiman berkembang melalui penyingkapan informasi,
pikiran, dan perasaan kepada pasangan. Self-disclosure adalah sebuah proses di
mana kita menginformasikan hal-hal tentang diri kita yang sebenarnya tidak patut
diketahui oleh orang lain (Gamble & Gamble, 2005: 70). DeVito (1986)
menjelaskan bahwa informasi yang diberikan ketika seseorang melakukan selfdisclosure adalah hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Selain itu, self-disclosure
tidak dapat dilakukan sendiri (komunikasi intrapersonal). Sebuah komunikasi
dapat dikatakan self-disclosure apabila sedikitnya melibatkan satu orang lain
karena informasi tersebut harus diterima dan dimengerti oleh selain diri kita.
Dari respon yang diberikan orang lain, kita dapat memahami sejauh mana
understanding (pemahaman terhadap perasaan dan kebutuhan), validating
(pemahaman terhadap topik dan konteks pembicaraan), serta caring (afeksi yang
ditunjukkan). Proses tersebut terangkum dalam alur berikut: tahap orientasi,
pertukaran penjajakan afeksi (exploratory affective exchanges), pertukaran afeksi
(affective axchanges), dan pertukaran stabil (stable exchanges). Dengan demikian,
dapat kita pahami bahwa keintiman tidak dapat terbentuk begitu saja, tetapi
membutuhkan waktu hingga mencapai kedekatan hubungan sampai tahap tertentu.
Sternberg (1986) membedakan dua jenis hubungan, yaitu friendship
(hubungan yang didominasi keintiman) dan romantic relationships (hubungan
yang didominasi hasrat, namun dikombinasikan dengan keintiman dan
komitmen). Williams, dkk. (2006) mengelompokkan “soulmate” ke dalam tiga
kategori, yaitu best friend, confidant, dan romantic partner. Menurutnya,
16
romantic partner tidak selalu dihubungkan dengan hasrat seksual, tetapi dapat
diarahkan menjadi companionate love, yakni hubungan yang menekankan
keintiman (afeksi dan komitmen) dengan orang lain.
Dalam “Wheel Theory”, Reiss (1960) menggambarkan perkembangan
cinta seperti sebuah roda yang melalui empat tahap, yaitu rapport, self-revelation,
mutual depedency, dan intimacy need fulfillment. Rapport adalah tahap di mana
kita mendapatkan kenyaman dengan orang lain karena beberapa kesamaan, seperti
sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dari sini kita mulai mengembangkan
komunikasi menjadi lebih baik dan mendalam, misalnya bertukar ide. Selfrevelation merupakan tahap seseorang mulai terbuka dengan perasaannya.
Masing-masing mulai berani mengutarakan ketakutan, harapan, dan ambisi,
bahkan terkadang mulai melakukan hubungan seksual secara fisik. Pada tahap
mutual depedency, dua orang mulai menjadi pasangan (couple). Mereka semakin
intens melakukan berbagai hal bersama-sama, misalnya berolahraga, pergi ke
bioskop, sampai tidur bersama. Di tahap ini pun perbedaan usia, budaya, nilainilai, dan prinsip mulai dikesampingkan. Sampai akhirnya pada tahap intimacy
need fulfillment, hubungan menjadi lebih konsisten, masing-masing saling
ketergantungan, dan mengisi kebutuhan. Mereka saling mendukung dan
memperdalam cintanya. Meskipun demikian, keempat tahap tersebut layaknya
roda, ia terus berputar dan melewati tahap-tahap itu berkali-kali hingga akhirnya
menjadi semakin dalam atau berhenti menjadi hubungan yang singkat.
3. Keintiman yang Termediasi
Internet menyediakan ruang baru bagi manusia untuk menciptakan
kehidupan dan memenuhi kebutuhan afeksinya. Terlebih perkembangan jejaring
sosial membuat kita semakin mudah bertemu dengan orang-orang. Meskipun
internet tampak seperti media massa karena audiensnya banyak, tetapi CMC
memandang internet sebagai media komunikasi interpersonal dibandingkan
bentuk komunikasi lainnya (Walther, 1996; Walther, Anderson & Park, 1994).
Keintiman yang terjalin melalui new media memang bukan keintiman
secara fisik. Bentuknya bukan berupa kedekatan jarak ataupun sentuhan-sentuhan,
17
tetapi sebuah pemenuhan rasa cinta dari seseorang. Seperti yang dijelaskan oleh
Model (1989), pada tahun 1950-an cinta dideskripsikan sebagai hasrat pertemuan
secara fisik, kini cinta dikategorikan sebagai pemenuhan kebutuhan melalui
interaksi, komitmen, afeksi, dan perilaku tidak mengekang. Ketergantungan
kepada pasangan bukan lagi jaminan untuk hidup bersama, tetapi negosiasi
diantara keduanya sehingga masing-masing dapat menempatkan diri.
Bertambahnya jumlah “internet dating” mengindikasikan bahwa pola pikir
masyarakat terhadap keintiman telah berubah. Kehadiran fisik pasangan bukan
lagi faktor utama penentu kedekatan mereka dengan pasangan. Orang-orang kini
mengedepankan kepercayaan, komitmen, dan sikap saling menghormati untuk
memelihara hubungannya. Kehadiran new media di tengah masyarakat telah
mampu menggantikan keberadaan fisik seseorang. Salah satu penelitian yang
dilakukan oleh Lüders pada tahun 2009 membuktikan bahwa komunikasi secara
online dapat dijadikan cara untuk memelihara hubungan.
“To Stine, the computer is a practical tool for effectively keeping in touch
with friends when she does not have time or occasion to meet then face-toface, and similary important as a tool for planning offline social meetings
when she has time off. Her social life is lagerly shaped by how she
manages to integrate online and offline social practices, enabling her to
navigate between school, homework, ballet, and friends”. (Lüders, 2009:
205).
Kualitas hubungan pasangan melalui new media dapat dilihat dari kualitas
interaksinya. Sejumlah penelitian sebelumnya membuktikan bahwa keintiman
pasangan melalui new media kini dinilai dari kualitas interaksi atau seberapa besar
motivasi yang diberikan oleh masing-masing pihak. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kedekatan, kenyamanan, dan komunikasi diantara keduanya (Sullivan,
1953, dalam Rau, dkk., 2008). Meskipun beberapa kajian mengonsepkan
keintiman dalam bentuk yang berbeda, tetapi self-disclosure dan dukungan
emosional tetap menjadi landasan yang utama.
Keintiman yang dibangun melalui new media adalah hasil dari dinamika
CMC, yakni proses keterbukaan diri seseorang dalam memberikan informasi,
penerimaan respon dari pasangannya, serta interpretasi pesan-pesan sebagai tahap
18
understanding, validating,
dan caring. Keterbukaan diri (self-disclosure)
dicirikan sebagai komunikasi verbal (verbal exchange) sebagai faktor utama
penentu keintiman tersebut. Adapun dukungan emosional (emotional support)
merefleksikan keintiman secara afektif (affective intimacy), seperti ekspresi
perasaan dekat, dukungan moral, toleransi, dan sebagainya.
Dalam penelitiannya, Kjeldskov, dkk (2005) merumuskan sepuluh bentuk
keintiman termediasi yang dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:

Antecedent, tindakan awal keintiman yang dilakukan untuk menciptakan
bentuk keintiman lainnya.

Contituents, bentuk keintiman selanjutnya.

Yield, bentuk keintiman yang lebih mendalam sebagai hasil pertukaran
keintiman-keintiman sebelumnya.
Adapun kesepuluh bentuk keintiman itu adalah, sebagai berikut:
a. Self-disclosure adalah sebuah tindakan pemberian informasi pribadi,
seperti perasaan kita terhadap orang lain (Kjeldskov, 2004). Selfdisclosure menekankan kepada keterbukaan (openness) dan pengertian
(receptive) seseorang kepada orang lain sehingga tidak adanya dinding
pemisah dalam sebuah hubungan. Dua orang yang melakukan selfdisclosure dengan baik, maka mampu menciptakan keintiman lainnya.
Begitu pun sebaliknya, apabila mereka gagal dalam hal ini, maka tidak
dapat membentuk keintiman lainnya.
b. Trust adalah kepercayaan atau keyakinan terhadap pasangan bahwa ia
tidak akan merusak hubungan. Tingginya tingkat kepercayaan berbanding
lurus dengan toleransi masing-masing pihak. Begitu pun dengan
keintiman, semakin tinggi kepercayaan, maka dialog-dialog keintiman
akan semakin berkembang. Keintiman ini bersifat kenyamanan dan privat.
c. Commitment adalah sekumpulan tindakan yang dilakukan untuk
meningkatkan atau memeliharan keintiman. Kesalahpahaman komitmen
dapat mengubah bentuk hubungan, dengan demikian komitmen menjadi
salah satu dasar dari bentuk sebuah hubungan. Komitmen bukan hanya
janji tidak berselingkuh, tetapi juga konsistensi menjalankan tanggung
19
jawab dalam sebuah hubungan, melibatkan pasangan dalam kehidupan
dibanding berperilaku individualis, termasuk juga “cost and reward” saat
hidup bersama.
d. Emotional adalah perasaan yang dikomunikasikan melalui tindakan atau
simbol tertentu. Biasanya hal ini hanya dapat dirasakan oleh orang yang
dituju dan melalui bentuk pesan yang sederhana.
e. Reciprocity adalah hubungan timbal balik atau respon yang diberikan oleh
pasangan. Hal ini sering kita temukan ketika seseorang mengucapkan “I
love you” atau pesan selamat malam sebelum tidur. Dari respon yang
diberikan kita dapat menilai seberapa dalam keintiman yang terjalin dalam
sebuah hubungan. Apabila pesan-pesan yang dikomunikasikan tidak
mendapatkan respon (diabaikan), maka dalam hubungan tersebut masih
ada dinding pemisah.
f. Expressive adalah keintiman non-verbal yang tak jarang bersifat ambigu.
Meski dua orang telah lama menjalani hubungan masih ada kemungkinan
terjadi kesalahpahaman. Hal tersebut dikarenakan keintiman jenis ini
bergantung pada kreativitas manusia. Bentuk pesan dapat berubah sesuai
dengan media dan perasaan yang ingin disampaikannya.
g. Physical adalah pertemuan fisik, mulai dari kedekatan secara fisik hingga
hubungan seksual (Moss & Schwebel, 1993). Dalam konteks keintiman
termediasi, kedekatan fisik diekspresikan secara verbal dan non-verbal,
misalnya bertukar foto, webcam, atau mengirim hadiah. Meskipun
demikian, tak jarang orientasi keintiman ini mengekspresikan keinginan
kedekatan secara fisik nyata atau aktivitas seksual.
h. Public & Private adalah keintiman yang dilakukan pasangan, baik di
depan publik atau pun tidak. Setiap pasangan memiliki caranya sendiri
untuk menunjukkan komitmen dan rasa sayangnya. Oleh sebab itu, tak
jarang keintiman ini dihubungkan dengan public display affection, yakni
pengekspresian kasih sayang terhadap pasangan di depan publik secara
verbal dan non-verbal, misalnya ciuman, kata-kata mesra, dan sebagainya.
20
Adapun pesan yang dikomunikasikan dapat secara terang-terangan atau
simbol-simbol yang hanya dimengerti beberapa pihak.
i. Presence-in-absence adalah perasaan subjektif terhadap keberadaan orang
lain, baik secara fisik maupun non-fisik (Register & Henley, 1992).
Perasaan ini dapat muncul disebabkan hal-hal yang bersifat simbolik.
Beberapa peneliti menyatakan bentuk keintiman ini bersifat irrational
(tidak masuk akal), namun sangat mampu untuk menciptakan dan
memelihara keintiman.
j. Strong yet vulnerable adalah perasaan tidak aman pada masing-masing
pihak. Keintiman memang menguatkan hubungan, namun keintiman pun
dapat menumbuhkan kekhawatiran dari masing-masing pihak akan
keberlanjutan hubungan mereka ke depannya.
21
Self-disclosure
Openness
Receptive
Trust
Commitment
Work-in-Progress
Shared-Past
Shared-Future
Common world-view
Antecedents
(or conditions for
intimacy)
Comfortable
Private
Emotional
Physical
Stroking & Patting
Expressive
Non-verbal
Multi-layered
Flirting & Playful
Ambiguous
Reciprocity
Serendipity
Fragile
Temporality
Constituents
Public &
Private
(or themes of
intimate acts)
Factual
Verbal
Routine & Duty
Secret Codes
Yields
Presence-inabsence
Strong yet
vulnerable
(or result of
intimate acts)
Gambar 1 Antecedents, Constituents, and Yields of Intimacy based on Kjeldskov,
dkk (2005)
22
4. Homoseksual dan Masyarakat
Menurut Masland (2010), identitas seksual merupakan sekumpulan faktor
yang sangat kompleks. Di dalamnya terdapat kombinasi bentuk perasaan diri
seseorang secara internal dan eksternal, meliputi jasmaniah, emosional,
psikologis, keturunan, dan lingkungan. Adapun akhirnya identitas seksual tersebut
mengarahkan seseorang kepada orientasi seksualnya, yakni homoseksual atau
heteroseksual. LeVay (1993) mendefinisikan orientasi seksual sebagai,
“The direction of sexual feelings or behavior toward individuals of the
opposite sex (heterosexuality), the same sex (homosexuality), or some
combination of the two (bisexuality)”. (dalam Abramson & Pinkerton,
2002: 94-95).
Homoseksual merupakan sebutan bagi laki-laki atau perempuan yang
secara seksual memiliki ketertarikan dengan jenis kelamin sama dengan dirinya.
Hampir seluruh kaum homoseksual tidak memiliki ketertarikan pada seseorang
yang berbeda jenis kelamin. Gay adalah istilah yang kerap digunakan bagi kaum
homoseksual laki-laki, sedangkan kaum homoseksual perempuan dinamakan
lesbian. Tidak ada ciri fisik khusus seseorang dikatakan gay atau lesbian,
termasuk juga karakteristik secara penampilan.
Penelitian Tully (1992) membuktikan bahwa hampir semua pasiennya
percaya bahwa peralihan orientasi seksual mereka dipengaruhi oleh keyakinan
kuat bahwa mereka memang menyukai sejenis. Beberapa mengaku bahwa
physical sex itu berbeda dengan psychological sex. Physical sex sama halnya
dengan sesuatu yang bersifat biological, artinya sesuatu yang dibawa sejak lahir
dan dapat dianalisis oleh seorang dokter. Namun psychological sex adalah bagianbagian yang tidak dapat dijamah oleh seorang dokter, ini merupkan bagian yang
hanya dapat dirasakan.
Dalam studinya, Tully juga menemukan beberapa penyebab pergeseran
orientasi
seksual.
Hasil
yang
diperoleh
merupakan
pendapat-pendapat
respondennya mengapa mereka menjadi homoseksual. Secara biologis, mayoritas
respondennya mengutarakan bahwa orientasi seksual mereka dipengaruhi oleh
gen, otak, dan hormon.
23
Namun tidak semua orang homoseksual menyetujui hal tersebut. Lainnya
menyebutkan bahwa homoseksual berasal dari lingkungan (budaya) atau dari
dalam diri mereka sendiri.
“Transsexualism is when men’s innermost feminime feelings are forced
outward to the surface where the become concrete. This is part of
witchcraft theory (MF 14)” (Tully, 1992: 109).
Bagaimana pun, fenomena homoseksual didominasi oleh bergesernya
peran gender seseorang (maskulin/feminim) daripada sekedar permasalahan
orientasi seksual atau perilakunya (dalam Abramson & Pinkerton, 2002: 96).
Secara budaya, maskulinitas dan feminitas didefinisikan sebagai perilaku khusus
dan peran-peran tertentu. Sedangkan secara psikologis, keduanya termasuk ke
dalam personal character.
Permasalahan orientasi seksual adalah sesuatu yang tabu untuk
dibicarakan. Beberapa orang masih merasa enggan untuk mendiskusikannya
secara terbuka, terlebih topik homoseksual di Indonesia. Secara kultural Indonesia
masih sulit untuk menerima keberadaan mereka. Nilai dan norma yang ada di
Indonesia belum mampu mengubah perspektif masyarakat terhadap kaum
homoseksual. Ketabuan ini disebabkan oleh masyarakat yang menjadikan
homoseksual sebagai entitas budaya, bukan kondisi seksual seseorang. Mereka
memarginalkan kaum homoseksual sehingga secara umum perilaku kaum
homoseksual dianggap menyimpang (tidak sesuai nilai dan norma).
Sayangnya, bentuk penolakan bukan hanya terjadi di Indonesia dan secara
nyata. Clark (1998) menyebutkan bahwa penerimaan terhadap kaum gay dan
lesbian di dunia maya pun masih kurang. Beberapa informan penelitiannya
mengaku jika hal yang paling buruk adalah ketika mereka terlibat dalam gay atau
lesbian chatroom (lounge). Alasan mereka adalah hal tersebut merupakan ranah
terlarang dan bukan tempat yang tepat untuk mencari teman atau pasangan.
Adapun beban kelompok homoseksual yang tinggal di lingkungan
individualis (perkotaan) berbeda dengan di lingkungan kolektivis (pedesaan atau
kota kecil). Di lingkungan individualis, terutama di kota-kota besar, pilihan hidup
dan berperilaku bukan masalah besar. Kaum homoseksual di lingkungan ini tidak
24
merasa dilema yang hebat, meski bagaimana pun mereka tetap terbebani tanggung
jawab secara sosial. Lain halnya dengan pasangan homoseksual yang hidup di
lingkungan kolektivis. Di sini mereka harus menerima resiko dikucilkan, meski
pada kenyataannya mereka tidak melakukan tidak kriminal atau pun asusila.
“Dua orang perempuan homoseksual terbuka boleh hidup bersama dalam
keintiman yang penuh, dalam beragam komunitas tanpa penolakan sosial
jika mereka tidak memamerkan penyimpangan-penyimpangan secara
berlebihan. Misalnya, berpakaian maskulin atau salah satu dari mereka
bertingkah laku seperti laki-laki. Kadang-kadang, bahkan jika mereka
melakukan ekstrem ini,, mereka lebih dianggap aneh daripada dianggap
tabu. Di sisi lain, dua laki-laki yang mencoba melakukan hal yang sama
mungkin akan menjumpai permusuhan yang terang-terangan”. (Fromm,
2007: 189).
Terbatasnya ruang gerak kaum homoseksual tidak menyurutkan tekadnya
untuk mempertahankan eksistensi. Meski mengalami beberapa penolakan dari
berbagai pihak, kini komunitas homoseksual mulai bertambah dan terus
berkembang, baik secara nyata maupun virtual. Masing-masing komunitas
membawa garis perjuangannya sendiri namun tetap bermuara pada satu hal, yakni
untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari masyarakat.
Salah satu penyebab kesan negatif kaum homoseksual adalah pemberitaan
di media. Tak sedikit ditemukan aktivitas-aktivitas homoseksual dekat dengan
dunia malam, HIV AIDS, atau penculikan hingga pembunuhan. Padahal
kenyataan di lapangan, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
komunitas homoseksual banyak melakukan aktivitas positif, seperti edukasi
kesehatan hingga kegiatan bakti sosial.
Sayangnya, berita yang ada di media lebih banyak menginformasikan sisi
gelap dari kehidupan homoseksual. Tak hanya berita yang disiarkan, pesan-pesan
yang tersebar pun lebih banyak komentar miring terkait kehidupan homoseksual.
Hal ini wajar adanya mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah
heteroseksual. Sesuai dengan pendapat Orbe (1998) bahwa kaum mayoritas dalam
sebuah masyarakat mampu mengendalikan sistem komunikasi sosial. Komunikasi
menjadi proses di mana realitas dibangun, dipelihara, dibenarkan, dan diubah.
Melihat fenomena ini, selama kaum homoseksual masih tergolong kelompok
25
minoritas, maka status keberadaannya di masyarkat akan bergantung kepada pola
pikir dan tindakan kelompok mayoritas.
F. Kerangka Konsep
Berkembangnya dunia teknologi komunikasi serta kemudahan akses
internet membuat pola komunikasi antarmanusia bergeser. Kini, sulitnya
pertemuan fisik dapat diatasi dengan komunikasi melalui new media. Media ini
cenderung dimanfaatkan oleh mereka yang terpisah secara ruang dan waktu.
Namun, berbeda bagi kaum homoseksual, pemanfaatannya bukan hanya didasari
oleh tren dan fleksibilitas, tetapi juga mengantisipasi sikap penolakan dari
masyarakat. Adanya anggapan tertentu terhadap mereka, membuat pasangan
homoseksual membutuhkan ruang sendiri untuk mampu terbuka dan merasa dekat
dengan pasangannya.
Melihat kenyataan yang ada, bahwa tren komunikasi antarmanusia
bergeser dan kebutuhan ruang privat antara pasangan homoseksual, maka
komunikasi interpersonal yang tercipta adalah komunikasi virtual, yakni
komunikasi yang terhubung oleh jaringan internet. Komunikasi ini bersifat maya
karena dua orang yang terlibat seolah-olah berada dalam ruang yang sama,
padahal kenyataannya ruangan tersebut tidak berwujud nyata (maya). Lewat
komunikasi seperti ini, pasangan homoseksual memiliki ruang yang lebih aman,
nyaman, dan ekspresif, dibandingkan secara terang-terangan di depan publik. Hal
ini disebabkan oleh tidak adanya bentuk penolakan secara nyata karena dalam
dunia maya tidak ada satu nilai dan norma tertentu.
Dewasa ini, manusia tidak lagi dianggap sebagai pihak pasif dalam
berkomunikasi. Alih-alih seperti itu, manusia kini menjadi pihak yang aktif,
artinya bebas memilih media apa yang akan digunakan hingga menciptakan pesan
ke dalam bentuk apapun. Pesan tidak hanya berbentuk verbal, tetapi juga nonverbal yang beragam dan dapat dikombinasikan semuanya. Dengan demikian, dari
sini kita dapat melihat banyaknya ragam pesan yang dapat diproduksi kemudian
dikomunikasikan melalui new media tertentu, sesuai dengan kemampuan media
tersebut dan kebutuhan si pengirim pesan.
26
E-mail, chatting, dan social media adalah sejumlah new media yang dapat
dipilih guna berkomunikasi dengan pasangan. Di dalamnya terdapat sejumlah
fasilitas yang juga mendukung interaksi kita dengan pasangan. Lambat laun,
seiring dengan berjalannya waktu, intensitas komunikasi dapat menciptakan
sebuah keintiman. Adapun keintiman dapat terbentuk sesuai dengan pesan yang
disampaikan melalui media. Begitu lah terbentuknya sebuah keintiman yang
termediasi akibat komunikasi yang dilakukan melalui media.
Di sisi lain, perbedaan pemanfaatan media tergantung pada kebutuhan
setiap pasangan. Hal ini tidak hanya didorong perbedaan fasilitas media, tetapi
juga fungsi media yang tidak seluruhnya sama. Oleh sebab itu, manusia adalah
makhluk aktif yang bebas memilih media serta memproduksi pesan guna
memenuhi kebutuhannya, yakni kebutuhan berkomunikasi dan kebutuhan
afeksinya.
Komunikator
Pesan
Media
Komunikan
Keintiman
Skema 1 Alur berpikir penelitian
27
Motif Pemilihan Media
Keintiman
Jenis New Media
Self-disclosure
Commitment
Trust
Information Seeking
Emotional
Interpersonal Utiliy
Latar Belakang Kebutuhan
Sosial-Psikologis
Asynchronous
communication
Reciprocity
Physical
Convenience
Entertainment
Synchronous
communication
Passing Time
Expressive
Public & Private
Presence-inabsence
Strong yet
vulnerable
Skema 2 Konsep Penelitian
28
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Melihat pesatnya perkembangan internet, kini dunia virtual tak kalah kaya
akan fenomena dibandingkan dengan dunia nyata. Teknologi menghapus
keterbatasan komunikasi sehingga interaksi dunia offline bergeser menjadi online
atau sebaliknya (Gajjala, 2000; Garcia, Standlee, Bechkoff and Cui, 2009). Hal ini
lah yang mendorong pengembangan-pengembangan metode penelitian, salah satu
diantaranya adalah etnografi di ranah komunikasi interpersonal.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian etnografi
observasi partisipasi (participant observation). Metode ini dipilih karena dianggap
sesuai dengan tujuan peneliti, yaitu memahami keintiman yang terbentuk dari
komunikasi interpersonal pasangan homoseksual melalui new media. Adapun
keintiman adalah sesuatu yang subjektif sehingga bentuk dari keintiman tersebut
sesuai dengan perspektif masing-masing informan. Seperti yang dijelaskan dalam
www.sociology.org.uk (2003), bahwa
“Participant observation, however, is sometimes called a form of
subjective sociology, not because the researcher aims to impose their
beliefs on the respondent (this would simply produce invalid data), but
because the aim is to understand the social world from the subject's pointof-view. This method involves the researcher "getting to know" the people
they're studying by entering their world and participating - either openly
or secretly - in that world. This means you put yourself "in the shoes" of
the people you're studying in an attempt to experience events in the way
they experience them.” (www.sociology.org.uk, 2003, diakses pada
Februari 2013).
Prinsip etnografi adalah memahami fenomena sosial melalui kehidupan
sehari-hari manusia (Emerson, Fretz and Shaw, 2008) dan analisis bentuk
kebudayaannya serta perspektif dari lingkungannya (Gay, Mills and Airasian,
2006). Ada dua jenis cara yang dapat ditempuh dalam penelitian etnografi
observasi partisipasi, yaitu overt dan covert. Metode overt memposisikan peneliti
terbuka terhadap informannya, artinya ia memberitahu informan mengenai
penelitian, jangka waktu, dan sebagainya. Sedangkan, metode covert adalah
sebaliknya. Metode ini membuat peneliti terlibat penuh dalam grup dan
29
lingkungan yang ditelitinya tanpa menginformasikan apapun kepada mereka.
Untuk penelitian ini, peneliti memilih metode overt dengan alasan sebagai
berikut:
1. Guna mendapatkan akses yang lebih mudah ke dalam dunia
homoseksual.
2. Agar dapat merekam wawancara dengan leluasa sehingga pertanyaanpertanyaan yang diajukan mendalam.
3. Dapat menempatkan peneliti sebagai partisipan sekaligus pengamat
fenomena di lapangan.
Penelitian ini pun bersifat deskriptif kualitatif, artinya hasil analisis data
nantinya akan dituangkan dalam bentuk penjabaran fakta – fakta sehingga
memperoleh penggambaran realitas yang utuh. Denzin dan Lincoln (dalam
Moleong, 2008) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi
dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sedangkan
menurut Lindolf dan Taylor (2002) peran peneliti dalam penelitian kuaitatif
adalah “qualitative researchers seek to preserve and analyze the situated form,
content, and experience of social action, rather than subject it to mathematical or
other formal transformations”.
2. Informan Penelitian
Subjek penelitian ini adalah dua orang gay dan dua orang lesbian. Subjek
dipilih secara acak. Hal ini dilakukan guna mendapatkan latar belakang yang
beragam dan kemudahan akses peneliti. Meskipun demikian, ada beberapa kriteria
yang telah peneliti tentukan, yaitu:
a. Subjek adalah seorang homoseksual (lesbian atau gay),
b. di awal penelitian, subjek sedang menjalin hubungan dengan
sejenisnya. Apabila subjek putus atau mengalami kerenggangan
hubungan, maka dianggap sebagai dinamika dalam hubungan tersebut,
dan
30
c. subjek menggunakan new media untuk berkomunikasi dengan
pasangannya.
3. Sumber Data
Ada dua sumber data yang digunakan, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Data primer merupakan sumber data utama yang akan
digunakan sebagai acuan untuk menganalisis data lainnya. Dalam penelitian ini
sumber data primer berasal dari interview (wawancara) dan recording (rekaman
percakapan). Jenis data keduanya dipilih guna menyelaraskan hasil wawancara
dengan fenomena online yang diteliti. Hal ini dipelukan karena keabsahan hasil
penelitian computer mediated communication (CMC) adalah keselarasan data dan
dari yang diucapkan oleh informan dengan kenyataannya secara online.
“Researchers focus on the unique and dynamic relationships that exsist
between different “species” of users in CMC contexts (e.g., between
students, faculty, and reference librarians in university libraries). Users
are bellieved to alternately collaborate and compete in defining
technologies, establishing their relationships, and managing their use”.
(Lindlof dan Taylor, 2002: 263)
Wawancara mendalam (in depth interview) adalah jenis wawancara yang
dipilih. Wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh data secara lengkap
dan mendalam dari informan. Wawancara dapat dilakukan secara tatap muka (face
to face) atau pun melalui chatting. Namun, untuk mempertahankan validitas
penelitian, wawancara melalui media dilakukan apabila dibutuhkan konfirmasi
lebih lanjut dari informan. Sedangkan perangkan fisik adalah foto, rekaman
percakapan, maupun bukti fisik lainnya yang merujuk pada aktivitas komunikasi
interpesonal subjek dengan pasangannya melalui dunia maya. Data sekunder
merupakan data tambahan yang digunakan untuk mendukung dan menambah
analisis data primer. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari dokumen,
berupa literatur, artikel, publikasi nasional maupun internasional.
31
4. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua cara yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Interview (Wawancara)
Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan interview guide, namun
adanya interview guide tidak membatasi peneliti dalam menggali
informasi. Interview guide hanya digunakan sebagai panduan sehingga
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun tidak harus urut sesuai susunan
pertanyaan dalam interview guide. Wawancara pun dilakuakan dalam dua
jenis, yakni bertemu langsung (face-to-face) dan secara online. Saat
melakukan online interview, peneliti memanfaatkan instant message (IM)
sebagai media wawancara.
b. Recording
Teknik ini merupakan pengambilan data berdasarkan rekaman percakapan
informan. Dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan transkrip
komunikasi setiap pasangan melalui new media sebagai data komunikasi
interpersonal virtual subjek penelitian. Transkrip komunikasi tidak sebatas
obrolannya melalui media komunikasi interpersonal online saja, apabila
terdapat interaksi di media sosial maka akan memungkinkan peneliti
jadikan sebagai data.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, peneliti kualitatif melakukan tiga tahapan, yaitu
data management, data reduction, dan conceptual development (Lindolf dan
Taylor, 2002). Data management adalah tahap pengelompokkan data. Peneliti
mulai mengkategorikan data-data berdasarkan new media yang digunakan, motif
pemilihan dan penggunaan new media, hingga pesan yang ada di dalamnya.
Beberapa data yang dianggap belum cukup mampu membedah permasalahan
kembali dikaji dari informan.
Tahap data reduction adalah identifikasi dan pemilahan data. Pada tahap
ini peneliti memilah mana data yang diperlukan untuk kemudian dikelompokkan
dan dikaji, serta mana data yang tidak memiliki urgensi dan disimpan. Kemudian,
32
pada tahap conceptual development peneliti menghubungkan konsep, teori, dan
data yang diperolehnya. Peneliti menginterpretasikan data – data sehingga
melahirkan temuan – temuan terhadap realita yang dikaji.
Strategi analisis data yang digunakan adalah triangulasi data. Menurut
Stainback (dalam Sugiono, 2007; Bachri, 2010), triangulasi bukan bertujuan untuk
menemukan kebenaran tetapi meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data
dan fakta yang dimilikinya. Peneliti akan menggunakan data dari berbagai sumber
kemudian mengeceknya dari berbagai sudut pandang berbeda.
33
Download