bab v penutup

advertisement
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Fakta tidak adanya lagi negara kekhalifahan Islam (daulah khilafah Islamiyah) yang eksis di muka bumi, ditambah keterpurukan umat Islam di pelbagai belahan dunia menghadapi dominasi dan hegemoni Barat nyaris di segala bidang, telah menimbulkan kerinduan di benak sebagian umat Islam akan hadirnya kembali zaman keemasan kekhalifahan Islam seperti yang pernah tercatat dalam lembaran sejarah. Spirit romantisme masa lalu, ditambah semangat perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni Barat tersebut, telah membangkitkan elan revivalis sebagian umat Islam untuk mendirikan dan atau bergabung di dalam Hizbut Tahrir; sebuah partai politik ekstraparlementer berskala global, yang mencita-­‐citakan berdirinya kembali negara Islam supranasional, daulah khilafah Islamiyah. Sebagai langkah awal menuju cita-­‐cita besar itu, Hizbut Tahrir meyakini bahwa yang harus dilakukan pertama-­‐tama adalah membangkitkan kesadaran di kalangan umat Islam akan pentingnya kembali kepada mabda atau ideologi Islam yang bersifat syumul (sempurna) dan meliputi segala aspek kehidupan (all-­‐
embracing). Bagi mereka, hanya ideologi Islamlah satu-­‐satunya solusi untuk mengatasi kontaminasi ideologi Barat yang sesat dan kafir, yang telah puluhan tahun meracuni pemikiran umat Islam di seluruh dunia. Dengan ideologi Islam, maka semua gagasan politik, ekonomi, dan kebudayaan Hizbut Tahrir bersumber dari prinsip atau doktrin pokok bahwa hanya Allah-­‐lah satu-­‐satunya yang berhak membuat hukum (musyarri’). Hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut sebagaimana termaktub di dalam kitab suci Al Quran dan sabda utusan atau rasul-­‐
Nya, Muhammad SAW, yang lazim disebut hadis atau sunnah Nabi. Manusia, umat, atau rakyat oleh karena itu, dalam pandangan Hizbut Tahrir, tidak memiliki hak atau haram untuk membuat hukum sendiri. Manusia atau rakyat hanya boleh mengadopsi atau –istilah hukum Islamnya— melakukan “istimbat” (menderivikasikan) hukum dari apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-­‐Nya tersebut. Dengan demikian, ajaran Islam seperti termaktub dalam Al Quran dan Hadis Nabi, menempati posisi sentral sebagai sumber dari segala sumber hukum. Walhasil, di sini Islam dipahami bukan sekadar sebagai agama atau tuntunan ritual dan moral, melainkan sekaligus menjadi satu-­‐satunya ideologi yang tidak ada bandingannya dan tidak diragukan kebenarannya. Sebagai konsekuensi dari pandangan yang demikian itu, maka dalam pemahaman Hizbut Tahrir, segala hukum dan atau peraturan perundangan yang bukan bersumber dari Allah, atau tidak diderivikasikan dari kehendak Allah dan Rasul-­‐Nya, dengan sendirinya akan dikategorikan sebagai kafir atau sesat. Demikian pula segala bentuk ideologi, sistem politik, atau aliran pemikiran yang tidak diadopsi dari kehendak atau firman Allah, harus ditolak karena tidak sesuai dengan karakter sistem Islam yang sempurna dan serba mencakup segala persoalan yang dihadapi manusia tadi. Dengan demikian, posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, menurut Hizbut Tahrir, hanya tinggal melaksanakan apa pun yang telah menjadi ketentuan atau ditetapkan Penciptanya, yakni Allah, sebagaimana digambarkan dalam bagan di bawah ini: Allah (Al Quran) Muhammad (Hadis Nabi) Sistem Politik Islam Sistem Ekonomi Islam Sistem Sosial Budaya Islam Dalam konteks itulah jika sejak awal Hizbut Tahrir secara tegas menolak masuk ke dalam sistem politik NKRI yang mereka pandang sebagai sistem kufur, sesat, dan tidak Islami. Sebagai organisasi politik, Hizbut Tahrir bukan saja menolak ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum dan aktivitas politik di parlemen, lebih dari itu justru mengkritik sistem demokrasi –yang diterapkan di Indonesia selepas menangnya Gerakan Reformasi melengserkan diktator Soeharto—, sebagai sistem yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Akidah Islam, dalam pemahaman Hizbut Tahrir, menempatkan hukum Allah (syara’) sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan rakyat atau umat hanyalah pemilik kekuasaan yang berhak memilih dan membaiat seorang khalifah atau kepala negara Islam. Sementara demokrasi menempatkan manusia atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, Hizbut Tahrir menilai demokrasi telah menempatkan manusia, yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan, dalam posisi sebagai Pembuat Hukum (musyarri’) yang seharusnya merupakan hak dan wewenang Allah sebagai Maha Pencipta. Bagi Hizbut Tahrir, tidak ada ideologi apa pun di dunia ini yang benar kecuali ideologi Islam. Tidak ada sistem politik apa pun yang dipandang sesuai dengan ajaran Islam kecuali hanya sistem khilafah Islamiyah. Tidak ada sistem ekonomi yang bisa diterima kecuali sistem ekonomi Islam yang merupakan sistem perekonomian berbasis syariah. Demikian pula tidak ada sistem pergaulan hidup yang benar kecuali sistem sosial budaya yang merupakan aplikasi dari sistem atau ideologi Islam secara total (kaffah). Karena itu, dalam logika Hizbut Tahrir, Indonesia pun hanyalah dianggap sebagai bagian kecil dari gagasan negara supranasional kekhilafahan Islam yang bersifat tunggal dan mondial. Negara khilafah ini meliputi seluruh negeri-­‐negeri Muslim atau negeri-­‐negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang ada di segala penjuru dunia, seperti pernah terjadi pada masa kejayaan kekhalifahan Turki Utsmani. Adapun kenyataan bahwa negeri-­‐negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sekarang ini terbagi-­‐bagi ke dalam banyak negara-­‐bangsa (nation-­‐state), dalam pandangan Hizbut Tahrir, justru menggambarkan adanya kemerosotan politik umat Islam, menyusul ambruknya kekhilafahan terakhir Islam, Turki Utsmani, pada tahun 1924. Kemerosotan politik umat Islam tersebut, menurut Hizbut Tahrir, semula dimulai dengan lemahnya aspek pemikiran (fikrah) umat Islam itu sendiri. Lemahnya pemikiran di negara Islam (daulah Islamiyah) ini muncul pertama kali sejak abad ke-­‐5 Hijriah. Pemikiran Islam ini diturunkan dari akidah (doktrin) Islam, dan akidah Islam ini dipandang sebagai akidah politik sekaligus akidah spiritual. Hal inilah yang, menurut Hizbut Tahrir, telah membedakan akidah Islam dengan akidah atau ideologi lainnya. Bagi Hizbut Tahrir, akidah politik Islam selain merupakan ideologi yang lengkap dan menyeluruh, yang mengatur semua urusan dan aspek kehidupan, juga diyakini merupakan satu-­‐satunya ideologi yang sanggup memberikan solusi terhadap semua realitas kehidupan secara akurat. Untuk merealisasikan cita-­‐citanya itu, yakni mengembalikan kehidupan Islami sesuai dengan ideologi Islam di bawah naungan daulah khilafah Islamiyah, Hizbut Tahrir melakukan aktivitas kaderisasi dan pendidikan politik kepada umat Islam. Kaderisasi (tatsqif) secara intensif ini tujuannya membentuk struktur inti hizb atau partai, yang selanjutnya akan menjadi penggerak pendidikan politik secara luas dan terbuka kepada seluruh umat Islam (tafa’ul). Sementara pendidikan politik kepada publik bertujuan agar umat Islam memiliki kesadaran untuk menjadikan politik –dalam hal ini politik dalam arti melanjutkan kehidupan Islami di bawah khilafah Islamiyah— sebagai masalah atau agenda utama kehidupannya. Apabila mayoritas umat Islam telah memiliki kesadaran akan pentingnya menegakkan kembali sistem Islam di bawah negara kekhalifahan Islam ini, maka Hizbut Tahrir meyakini bahwa dengan sendirinya akan muncul tuntutan atau aspirasi publik untuk kembali menerapkan hukum Islam di bawah naungan khilafah Islamiyah. Tatkala hukum atau sistem Islam berdasarkan Al Quran dan Sunnah Nabi telah kembali dilaksanakan secara kaffah oleh umat Islam di bawah kepemimpinan khalifah, maka saat itulah dengan sendirinya akan terjadi revolusi atau tahap pengambilalihan kekuasaan (istilamul hukmi). Akan tetapi, karena revolusi itu diasumsikan telah didahului adanya kesadaran umat Islam secara umum, maka Hizbut Tahrir meyakini bahwa tahap puncak perjuangannya ini tidak akan dilalui dengan pertumpahan darah. Justru sebaliknya, revolusi atau pengambilaihan kekuasaan tersebut akan bisa berjalan secara damai, seperti peristiwa pengambilalihan kota Mekah oleh Nabi Muhammad SAW dari tangan orang-­‐orang kafir Quraisy (fathul Makkah). Pandangan Hizbut Tahrir mengenai strategi perjuangannya, khususnya ihwal revolusi yang akan berlangsung secara damai dan dengan sendirinya, inilah yang kerap dituduh para pengkritiknya sebagai utopis. Secara singkat metode perjuangan Hizbut Tahir tersebut dapat digambarkan melalui bagan di bawah ini: Kaderisasi Interaksi Publik Revolusi Tentu saja apabila cita-­‐cita Hizbut Tahrir menegakkan kembali khilfah Islamiyah berskala global itu tercapai, otomatis tidak akan ada lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab Indonesia kemudian hanya akan menjadi provinsi atau sebagian wilayah daulah khilafah Islamiyah. Demikian pula sistem negara kebangsaan (nation-­‐state) dan dasar negara Pancasila tentu juga akan diganti dengan sistem negara Islam dan dengan dasar negara Islam. Bagi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, justru menjanjikan peluang atau potensi sebagai tempat dimulainya kebangkitan kembali kekhilafahan Islam. Terlebih situasi kebebasan politik di Indonesia –pasca menangnya Gerakan Reformasi pada tahun 1998— memungkinkan HTI menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) yang legal karena terdaftar secara resmi di Kementerian Dalam Negeri. Sementara nyaris di seluruh negeri-­‐negeri mayoritas Muslim di Timur Tengah, keberadaan Hizbut Tahrir justru dianggap sebagai organisasi atau partai terlarang. Dengan legalitas organisasi yang diakui negara ini, Hizbut Tahrir semakin percaya diri melakukan aktivitasnya secara terbuka, seperti demonstrasi maupun menyelenggarakan muktamar khilafah internasional di Jakarta. Legalitas ini juga memungkinkan Hizbut Tahrir lebih leluasa melakukan strategi pendekatan (thalabun nushroh) kepada pihak-­‐pihak yang dekat kekuasaan, baik aparat perorangan maupun kelembagaan. Dapat dikuasainya pengelolaan beberapa masjid di lingkungan instansi pemerintah di berbagai daerah oleh Hizbut Tahrir dan disiarkannya secara eksklusif acara muktamar khilafah internasional –yang diadakan Hizbut Tahrir di Jakarta baru-­‐baru ini (pertengahan 2013)— oleh stasiun TVRI menunjukkan mulai efektifnya langkah thalabun nushroh yang ditempuh partai politik bentukan Syaikh Taqiyuddin An-­‐Nabhani ini. Sementara ribuan massa yang tumpah ruah ke jalanan di pelbagai daerah tiapkali Hizbut Tahrir mengadakan aksi demonstrasi juga menjadi sinyal semakin berpengaruhnya partai politik yang memilih memboikot pemilu atau golput tiapkali pemilu digelar di Indonesia ini. Sejalan dengan perkembangan itu, Hizbut Tahrir terus menyebarkan gagasannya ke benak publik, melalui beragam media cetak, audio visual, online, maupun pertemuan-­‐pertemuan secara langsung (face to face). Majalah atau jurnal khusus yang membahas masalah-­‐masalah politik sesuai visi dan misi mereka, Al-­‐
Wa-­‐ie, telah diterbitkan dan terus berkembang. Brosur-­‐brosur berisi tata cara hidup Islami sekaligus melawan tren budaya permisivisme dan liberalisme ala Barat didistribusikan melalui jaringan unit kerohanian Islam (rohis) di sekolah-­‐sekolah menengah pertama dan atas. Media online mereka pun, www.hizbut-­‐tahrir.co.id, dikelola secara sangat serius dan profesional, yang dalam beberapa aspek pengelolaannya justru lebih baik daripada web partai politik konvensional. Perguruan tinggi yang menawarkan sistem perekonomian alternatif, ekonomi Islam atau ekonomi syariah, mereka dirikan di pelbagai daerah. Aktivitas pembentukan basis massa ideologis (tatsqif atau tarbiyah tsaqafah) pun tetap dilakukan seiring dengan meningkatnya aksi perang pemikiran (ghazwul fikri atau shira’ul fikri) di pelbagai lini dan melalui beragam media tadi. Bahkan ormas payung (onderbouw) pun telah dibentuk dan melaksanakan peranannya masing-­‐masing secara serius, yakni antara lain Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan) dan Muslimah Hizbut Tahrir. Walhasil, dapat disimpulkan, bahwa dari tiga tahap perjuangan atau strategi Hizbut Tahrir (kaderisasi, interaksi publik, dan revolusi), hanya tahap kifah siyasi atau tahap penggunaan kekuatan berupa revolusilah yang hingga saat ini belum tercapai atau belum dilaksanakan. Hal ini tentu dapat dimengerti karena dalam pemahaman Hizbut Tahrir, tahap revolusi itu haruslah terjadi secara alamiah dan non-­‐kekerasan, yakni sebagai buah atau konsekuensi logis dari beragam aktivitas dakwah yang telah mereka lakukan –sejak Hizbut Tahrir pertama kali berdiri pada tahun 1953 di Al-­‐Quds atau Yerusalem (wilayah otoritas Palestina yang kini dikuasai Israel) hingga sekarang ini. Jadi, sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini, memang belum pernah tahap ketiga tersebut dilaksanakan oleh Hizbut Tahrir. Karena jika sudah pernah berhasil dilaksanakan, tentunya saat ini sudah berdiri kembali daulah khilafah Islamiyah yang menjadi obsesi menahun para aktivis Hizbut Tahrir di seluruh dunia. Sepanjang kekhilafahan Islam belum berdiri tegak kembali, akhirnya tak dapat dipungkiri, ide dan obsesi mengenai pendirian kembali khilafah Islamiyah akan tetap merupakan jantung dari ide dan aksi politik Hizbut Tahrir. Bahkan saking sentralnya ide revitalisasi sistem kekhilafahan itu, seolah-­‐olah bagi Hizbut Tahrir, khilafah Islamiyah adalah satu-­‐satunya solusi alias obat mujarab yang bakal dapat menuntaskan apa pun problema umat Islam di mana pun mereka berada di seluruh pelosok dunia ini. B. Rekomendasi Perlu dikembangkan studi mendalam dengan pendekatan simpatik dan terlibat untuk mengkaji lebih jauh gagasan sosial politik masing-­‐masing kelompok Islam khas yang ada di Indonesia, seperti halnya Hizbut Tahrir. Betapapun kelompok tersebut merupakan sebuah kelompok transnasional, akan tetapi interaksinya dengan publik dan sistem sosial politik yang ada di Indonesia tentu menghasilkan respons khas yang besar kemungkinan berbeda dengan apa yang terjadi di negara asalnya atau di negara-­‐negara lain yang lebih dulu ada perwakilannya. Penelitian terlibat ini akan menghasilkan kesimpulan yang selain lebih adil juga lebih bisa menghindari bias atau stigma negatif ala orientalis seperti kategori fundamentalis, radikalis, dan sebagainya yang besar kemungkinan akan menimbulkan resistensi dari obyek studi. Ada setidaknya dua disertasi yang mendapatkan penolakan dari obyek penelitian Islam di Indonesia. Pertama disertasi Yusril Ihza Mahendra mengenai Masyumi yang menggunakan pendekatan fundamentalis vs modernis dalam menjelaskan fenomena Masyumi di Indonesia dan Jamaat Islami di Pakistan. Disertasi Yusril ini kemudian dibukukan dengan judul Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1999). Penelitian Yusril ini pernah mendapatkan kritik tajam dari mantan tokoh-­‐tokoh Masyumi yang tergabung dalam Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Yang kedua, penelitian tentang Hizbut Tahrir yang kemudian dibukukan dengan judul yang provokatif oleh peneliti muda dari kalangan NU, Ainur Rofiq Al-­‐Amin, Membongkar Proyek Khilafah ala HTI di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2012). Buku Ainur Rofiq Al-­‐Amin menjadi sasaran serangan Hizbut Tahrir di web-­‐nya, bahkan disebut sebagai buku atau disertasi milik seorang “doktor gagal”. 
Download