hubungan antara kadar d-dimer dan derajat infeksi virus dengue

advertisement
TESIS
HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER
DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE
SABRINA CHARMAINE SMIT
NIM 0914048105
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER
DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
SABRINA C. SMIT
NIM 0914048105
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 4 Desember 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr. Tuti Parwati M, SpPD-KPTI
NIP : 19481228 197903 2 001
Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM
NIP : 19570406 198312 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And. FAACS Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K)
NIP 194612131971071001
NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 4 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK
Nomor: 3194/UN14.4/HK/2013
Tanggal 15 November 2013
Ketua : Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI
Anggota :
1.
Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM
2.
Dr. Tjok Gede Dharmayuda, SpPD-KHOM
3.
Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH
4.
Prof.dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat dan karunia-Nya karya tulis ini dapat saya selesaikan. Karya tulis
ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Program Magister pada Program Magister, Program Studi Bio-Medik, Kekhususan
Kedokteran Klinik (Combined Degree) Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa penelitian karya akhir ini terlaksana dengan
baik berkat adanya bimbingan, arahan, dorongan semangat, sumbangan pikiran serta
bantuan lain yang sangat berharga dari semua pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini saya menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggitingginya serta terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof Dr.dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS selaku ketua Program Studi
Ilmu Kedokteran Biomedik Universitas Udayana yang telah memberikan
banyak masukan
2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI selaku pembimbing I, yang
dengan penuh kesabaran telah begitu banyak memberikan bimbingan serta
dorongan moril yang sangat berharga
3. Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku pembimbing II, yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis
4. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH, yang telah memberikan
bimbingan statistik kepada penulis
5. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, selaku Rektor Universitas
Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti
pendidikan di Universitas Udayana
6. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) M.Kes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengikuti pendidikan PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam di FK
Universitas Udayana.
7. Prof. Dr. dr. Tjokorda Raka Putra, SpPD-KR, selaku Kepala Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan
kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal pendidikan
8. dr. Wayan Sutarga, MPHM selaku Direktur RSUP Sanglah Denpasar yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di
RSUP Sanglah Denpasar.
9. Prof. Dr. dr N. Adiputra, MOH, selaku penguji yang telah memberikan
masukan dan saran yang sangat berguna bagi penyusunan tesis ini
10. Prof. Dr. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph. D , selaku penguji yang telah
memberikan masukan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini
11. Dr. Tjok Gede Dharmayuda, SpPD-KHOM, selaku penguji yang telah
memberikan masukan dan saran yang berguna bagi penyusunan tesis ini
12. Prof. Dr.dr. Alex Pangkahila, M.Sc, SpAnd selaku dosen metodologi
penelitian yang telah memberikan ilmu yang sangat berguna bagi
penyusunan tesis ini
13. Prof. Dr.dr. Ketut Suwitra, SpPD-KGH, selaku Ketua Program Studi PPDS I
Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan
petunjuk, bimbingan dan arahan sejak awal pendidikan
14. Dr. Susila Utama, SpPD-KPTI, dr. Agus Somia, SpPD-KPTI, dr. AAA Yuli
Gayatri, SpPD dan dr. Dewi Dian Sukmawati, SpPD selaku staf divisi tropik
infeksi, atas bimbingan dan dorongan yang diberikan pada penulis
15. Dr. IGNB Artana, SpPD atas masukan, dorongan semangat dan kebaikan
yang diberikan kepada penulis
16. Suami tersayang dr. Basilius Beni, atas semua pengorbanan dan pengertian
selama penulis menjalani pendidikan
17. dr. Wayan Nariata, SpPD, dr. Siswadi Semadi, dr. Linda FDPH, dr. Putu
Prathiwi, SpPD, dan dr. Bayu Setia yang telah memberikan bantuan,
kesabaran dan dorongan semangat dalam penyusunan tesis ini; serta sejawat
peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam atas semua bantuan kepada penulis
18. Teman-teman dan semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah membantu penyelesaian tesis ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan bagi umat manusia secara keseluruhan.
Denpasar, Desember 2014
Penulis,
Sabrina Smit
HUBUNGAN ANTARA KADAR D-DIMER
DAN DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE
ABSTRAK
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah
kasus meningkat dan daerah penyebaran bertambah luas. Peningkatan kadar Ddimer pada fase awal infeksi VD mengindikasikan bahwa aktivasi sistem fibrinolisis
terjadi lebih awal pada pasien-pasien dengan infeksi ringan secara kinis. Penelitian
ini bertujuan mencari hubungan antara kadar d-dimer dan derajat infeksi dengue,
sehingga diharapkan d-dimer dapat dijadikan sebagai indikator yang berguna dalam
meningkatkan kewaspadaan terhadap luaran buruk pada infeksi dengue.
Rancangan potong lintang analitik dilakukan terhadap penderita infeksi VD
yang dirawat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar bulan
Agustus 2011-April 2013. Diagnosis berdasarkan kriteria WHO 2009, dikonfirmasi
serologi dengue. Sampel dipilih dengan metode konsekutif. Darah lengkap dan ddimer diperiksa hari ke-tiga, empat atau lima demam saat MRS, serologi dengue hari
ke-tujuh demam.
Dari 89 sampel didapatkan rerata umur 26,6 ± 10,05 tahun, mayoritas lakilaki 58 orang (65,2%). Didapatkan 67 orang (75,3%) dengan IgG positif, 46 orang
(51,7%) IgM positif, 56 orang (62,9%) dengan IgG dan IgM positif. Menurut
derajatnya didapatkan dengue without warning sign 59 orang (66,3%), dengue with
warning sign 24 orang (27%), severe dengue 6 orang (6,7%). Rerata d-dimer 0,99 ±
0,93 µg/ml, d-dimer rendah (<0,5 µg/ml) 31 orang (34,8%), d-dimer sedang 53
orang (59,6%), dan d-dimer tinggi (>4 µg/ml) 5 orang (5,6%). Analisis bivariat
Spearman menunjukkan hubungan bermakna antara kadar d-dimer dan derajat
infeksi VD (p=0,007, r=0,284). Analisis regresi multinominal menunjukkan bahwa
pada kelompok dengue without warning sign, untuk kategori d-dimer rendah,
didapatkan OR=50, p=0,014 (95% CI 2,2-1136,4); untuk kategori d-dimer sedang
didapatkan OR=22, p=0,024 (95% CI 1,5-319,5). Severe dengue sebagai kategori
pembanding. Pada kelompok dengue with warning sign, untuk kategori d-dimer
rendah didapatkan p=0,27 (95% CI 0,27-91,5); untuk kategori d-dimer sedang
p=0,14 (95% CI 0.56-57,2).
Hasil analisis mengindikasikan hubungan antara kadar d-dimer dengan
derajat infeksi dengue. Apabila didapatkan kadar d-dimer rendah kemungkinan
infeksi dengue ringan, apabila kadar d-dimer tinggi dapat diperkirakan infeksi
dengue akan menjadi berat. Perbedaan tidak bermakna antara d-dimer pada dengue
with warning sign dengan severe dengue menunjukkan aktivasi koagulasi dan
fibrinolisis yang tidak berbeda bermakna. Oleh karena itu warning sign penting
untuk diantisipasi, dan ditunjang dengan d-dimer dapat menjadi indikator bahwa
infeksi akan menjadi berat.
Kata Kunci: d-dimer, derajat infeksi virus dengue, warning sign
RELATIONSHIP BETWEEN THE LEVEL OF D-DIMER
AND THE DEGREE OF DENGUE VIRUS INFECTION
ABSTRACT
Dengue virus infection has become a major public health concern, with
increasing incidence and area of expansion. Increase d-dimer level in early phase of
infection indicates that activation of fibrinolysis occurs early in patients with mild
clinical infection. The aim of this research is to determine relationship between the
level of d-dimer and the degree of dengue infection, so d-dimer can be used as an
indicator to increase awareness to poor outcome.
A cross sectional study was conducted to dengue patients that was admittedin
Internal Medicine Department of Sanglah Hospital, Denpasar between August 2011
until April 2013. Diagnosis was confirmed according WHO 2009 criteria, confirmed
with dengue serology. Sample was recruited consecutively. Complete blood count
and d-dimer were collected on the third, fourth or fifth day of fever on admission,
dengue serology on the seventh day.
Out of 89 samples, mean age 26,6 ± 10,05 years, majority 58 male patients
(65.2%). We found 67 patients (75.3%) with positive IgG, 46 (51.7%) with positive
IgM, 56 (62.9%) with positive IgG and IgM. According to severity, we found
dengue without warning sign 59 patients (66.3%), dengue with warning sign 24
patients (27%), severe dengue 6 patients (6.7%). Mean d-dimer 0.99 ± 0,93 µg/ml,
low d-dimer (<0.5 µg/ml) 31 patients (34.8%), moderate d-dimer 53 patients
(59.6%), and high d-dimer (>4 µg/ml) 5 patients (5.6%). Spearman analysis showed
significant correlation between the level of d-dimer and the degree of dengue
infection (p=0.007, r=0.284). Multinominal regression analysis showed that in
dengue without warning sign group, for low d-dimer OR=50, p=0.014 (95% CI 2.21136.4); for moderate d-dimer OR=22, p=0.024 (95% CI 1.5-319.5). Severe dengue
was used as comparative category. In dengue with warning sign group, for low ddimer p=0.27 (95% CI 0.27-91.5); for moderate d-dimer p=0.14 (95% CI 0.5657.2).
Analysis results indicate a relationships between the level of d-dimer and the
degree of dengue infection. If d-dimer level is low, the probability of dengue
infection is mild, if d-dimer is high the infection can be predicted to be severe. The
not statistically significant difference between d-dimer level in dengue with warning
sign compare to severe dengue shows no significant difference between coagulationfibrinolysis activation in both groups. Therefore, warning sign are important to
anticipate, and with d-dimer can be an indicator that infection will be severe.
Keywords: d-dimer, degree of dengue virus infection, warning sign
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR..................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .............................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH..........................................................................
v
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
ABSTRACT ...................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN........................... ...................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................
1.4.1 Manfaat Akademik.................................................................................
1.4.2 Manfaat Praktis ......................................................................................
1
1
4
4
4
4
4
4
4
BA B II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................
2.1 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue .......................................................
2.2 Virus Dengue .........................................................................................
5
5
6
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
Transmisi Virus Dengue.........................................................................
Diagnosis Infeksi Virus Dengue .............................................................
Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue .......................................
Patogenesis Infeksi Virus Dengue ..........................................................
Mekanisme Kebocoran Plasma Pada Infeksi Virus Dengue ....................
Hubungan antara Inflamasi dan Koagulasi..................................................
7
8
13
15
26
27
2.8.1. Pengaruh Inflamasi pada Koagulasi.............................................................
2.8.2 Pengaruh Koagulasi pada Inflamasi.............................................................
2.9
Perubahan Hematologi pada Infeksi Virus Dengue ................................
2.10 Gangguan Hemostasis pada Infeksi Virus Dengue.................................
2.10.1 Trombositopenia dan Trombositopati ...................................................
2.10.2 Vaskulopati ..........................................................................................
2.10.3 Koagulopati .........................................................................................
2.11 D-Dimer...............................................................................................
28
30
32
33
33
35
37
44
BAB III KERANGKA BERPIKIR KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ................................................................................................
3.1 Kerangka Berpikir ..................................................................................
3.2 Kerangka Konsep ..................................................................................
3.3 Hipotesis Penelitian ...............................................................................
48
48
49
49
BAB IV METODE PENELITIAN ...............................................................
4.1 Rancangan Penelitian .............................................................................
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................
4.3 Penentuan Sumber Data .........................................................................
4.3.1 Populasi Penelitian......................................................................................
4.3.2 Sampel dan Besar Sampel .....................................................................
4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................
4.4 Variabel Penelitian ................................................................................
4.5 Definisi Operasional Variabel ................................................................
4.6 Bahan Penelitian ....................................................................................
4.7 Instrumen Penelitian ..............................................................................
4.8 Alur Penelitian……………………………………………….……..……
4.9 Prosedur Penelitian…………………………………………..…….…….
4.10 Analisis Data .........................................................................................
50
50
50
50
50
50
51
52
52
54
54
55
56
56
BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................
5.1 Karakteristik Sampel..................................................................................
5.2 Derajat Infeksi Virus Dengue .....................................................................
5.3 Kadar D-dimer Serum ................................................................................
5.5 Normalitas Data ........................................................................................
5.6 Analisis Data .............................................................................................
5.6.1 Hubungan antara Kadar D-dimer dengan Derajat Infeksi Virus Dengue .
58
58
58
60
61
61
61
5.6.2 Analisis Regresi Multinominal antara Kadar D-dimer dengan Derajat
Infeksi Virus Dengue .......................................................................................
62
BAB VI PEMBAHASAN ..............................................................................
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................................
6.2 Hubungan antara Kadar D-dimer dengan Derajat Infeksi Virus Dengue .....
6.3 Keterbatasan Penelitian ..............................................................................
64
64
66
71
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................
7.1 Simpulan ...................................................................................................
7.2 Saran .........................................................................................................
72
72
72
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................
73
79
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1 Karakteristik Penderita Infeksi Virus Dengue................................................ 59
5.2 Karakteristik kategori d-dimer dan kategori derajat infeksi virus dengue (N=89)
........................................................................................................................... 61
5.3 Korelasi antara d-dimer dan derajat infeksi dengue ....................................... 62
5.4 Hasil Analisis Regresi Multinominal antara kadar d-dimer (variabel bebas)
dan derajat infeksi dengue (variabel tergantung) ................................................ 63
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Poliprotein Virus Dengue...........................................................................
7
2.2 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue .......................................................
9
2.3 Fase-fase Infeksi Virus Dengue..................................................................
10
2.4 Klasifikasi dan Derajat Infeksi Virus Dengue, UNICEF, WHO 2009 .........
13
2.5 Patogenesis DBD dari CDC .......................................................................
17
2.6 Teori Antibody Dependent Enhancement (ADE) .......................................
20
2.7 Kerangka Teori Peningkatan D-dimer melalui Aktivasi Koagulasi .............
43
5.1 Derajat Infeksi Virus Dengue .....................................................................
60
5.2 Klasifikasi D-dimer....................................................................................
60
DAFTAR SINGKATAN
ADE : Antibody Dependent Enhancement
ADP : Adenosine Diphosphate
ALT : Alanine Aminotransferase
APTT : Activated Partial Thromboplastin Time
AST : Aspartate Aminotransferase
APC : Antigen Presenting Cell
CI : Complemen Fixation
CDC : Centers for Disease Control
DBD: Demam Berdarah Dengue
DD : Demam Dengue
DVT : Deep Vein Thrombosis
ELISA : Enzime Linked Immunosorbent Assay
EPCR : Endothelial Protein C Receptor
Fc : Fragment Crystallizable
HI : Hemaglutinin Inhibition
ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule 1
IFN-α : Interferon alpha
IL : Interleukin
KID : Koagulasi Intravaskular Diseminata
MAC-ELISA : Immunoglobulin M Capture Enzyme Linked Immunosorbent
Essay
NPV : Negative Predictive Value
NS: Non structural
NT : Neutralization Test
OR : Odds Ratio
PAF : Platelet Activating Factor
PAI-1: Plasminogen Activator Inhibitor-1
PAR : Protease Activated Receptors
PCR : Polymerase Chain Reaction
PDF : Produk Degradasi Fibrin
PPV : Positive Predictive Value
RT-PCR : Real – Time Polymerase Chain Reaction
SEARO : South-East Asia Regional Office
SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome
SSD : Sindrom Syok Dengue
TAFI : Thrombin-Activatable Fibrinolysis Inhibitor
TF : Tissue Factor
TFPI : Tissue Factor Plasminogen Inhibitor
TNF-α : Tumor Necrosis Factor alpha
t-PA : tissue Plasminogen Activator
WHO : World Health Organization
WPRO : Western Pasific Regional Office
UNICEF : The United Nations Children's Fund
u-PA : urokinase Plasminogen Activator
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Informed Consent ........................................................................
79
Lampiran 2. Formulir Persetujuan Tertulis .......................................................
81
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian ....................................................................
82
Lampiran 4. Prosedur Pemeriksaan D-dimer ....................................................
84
Lampiran 5. Prosedur Pemeriksaan Serologi Dengue .......................................
85
Lampiran 6. Output Analisis Data SPSS ..........................................................
87
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi virus dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung
meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Demam berdarah dengue ditemukan
di daerah tropis dan sub-tropis di dunia, terutama di area perkotaan. Indonesia merupakan
daerah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden infeksi virus dengue
telah meningkat secara bermakna dalam beberapa dekade terakhir. Kurang lebih dua perlima
dari populasi dunia saat ini berisiko untuk terkena infeksi dengue. WHO memperkirakan 50100 juta infeksi dengue terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya (WHO, 2013). Menurut data
yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah kasus infeksi dengue di seluruh
Indonesia selama tahun 2012 sebanyak 37 kasus per 100.000 penduduk dengan angka
kematian 0,90% (Muhadir, 2013).
Virus dengue memiliki presentasi klinis dengan spektrum yang luas, seringkali
dengan evolusi klinis dan luaran yang tidak dapat diprediksi. Sebagian besar pasien sembuh
dengan sendirinya, sebagian kecil mengalami progresivitas ke infeksi yang berat. Perjalanan
dari penyakit yang tidak berat ke penyakit berat sulit didefinisikan, namun merupakan hal
yang sangat penting karena terapi yang tepat dapat mencegah pasien-pasien tersebut
mengalami kondisi klinis yang lebih berat. Klasifikasi WHO tahun 1997 dianggap sulit
untuk diaplikasikan secara klinis, terutama dengan meningkatnya kasus-kasus dengue berat
yang tidak dapat memenuhi kriteria tahun 1997 secara tegas. Pada tahun 2009, WHO
memperbaharui klasifikasi infeksi dengue, dengan membagi derajat infeksi menjadi dengue
without warning sign, dengue with warning sign, dan severe dengue.
Gambaran karakteristik yang membedakan Demam berdarah dengue (DBD) dari
demam dengue (DD) dan penyakit viral lainnya adalah peningkatan permeabilitas kapiler
dan gangguan hemostasis, yang mengarah pada kebocoran plasma luas pada rongga-rongga
serosa. Penumpukan cairan di rongga serosa seperti efusi pleura, asites, dan penebalan pada
dinding kandung empedu merupakan tanda-tanda dari kebocoran plasma (WHO, 2009; Sai
et al., 2005).
Patogenesis dari DBD tidak sepenuhnya dipahami. Selama beberapa dekade
terakhir, sejumlah besar penelitian mengemukakan kemungkinan peran respon imun pejamu
sebagai salah satu patogenesis yang mendasari DBD. Pada percobaan invitro dengan kultur
sel endotel, dijumpai bahwa sel endotel mengalami aktivasi setelah terpapar dengan monosit
yang terinfeksi virus dengue. Monosit yang terinfeksi akan memproduksi sitokin dan
menyebabkan aktivasi sel endotel (Dharma et al., 2006). Hipotesis Halstead menyatakan
infeksi sekunder oleh strain dengue yang berbeda akan menghasilkan peningkatan infeksi
mononuklear yang bergantung pada antibodi. Mediator inflamasi yang dihasilkan oleh
monosit akan menginduksi disfungsi sel endotel vaskular, yang pada akhirnya akan
mengganggu keseimbangan hemostasis (Maldonado, 2010). Perubahan hemostatik pada
penderita DBD meliputi tiga faktor utama, yaitu kelainan vaskular, trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit, serta defek multipel pada sistem koagulasi-fibrinolisis.
Keseimbangan hemostasis dipertahankan antara aktivasi koagulasi dan fibrinolisis (Azizan,
2008).
Terdapatnya D-dimer dalam darah mengindikasikan aktivasi sistem koagulasi dan
fibrinolisis, yang dihasilkan dari destruksi fibrin, dan merefleksikan pembentukan dan lisis
bekuan (Ohnishi dan Kato, 2002). Peningkatan kadar D-dimer pada pasien yang terinfeksi
virus dengue (VD) memberi kesan bahwa aktivasi dari sistem fibrinolisis memerankan
peran penting dalam patogenesis DBD (Tseng et al., 2006). Kadar D-dimer ditemukan lebih
tinggi pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien DD, dengan hasil sensitivitas 90%.
Selain itu, D-dimer juga didapatkan berkorelasi positif dengan derajat infeksi dengue di
semua fase penyakit, yaitu fase febril, kritis, dan konvalesens (P-value <0.05), (Setrkraising,
et al. 2007). Peningkatan kadar D-dimer dalam plasma secara signifikan juga ditemukan
pada dua kelompok pasien dengan infeksi dengue (DD vs. kontrol: P= 0.04 ; DBD vs.
kontrol: P= 0.01 ), (Tseng et al., 2006).
Pada infeksi dengue, deteksi adanya D-dimer pada fase febril dapat menjadi suatu
penanda prediksi perjalanan klinis penyakit infeksi dengue (Bongsebandhu et al.,2008).
Terdeteksinya D-dimer secara dini mengindikasikan bahwa Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID) dan aktivasi sistem fibrinolisis terjadi lebih awal, sebelum terjadinya
manifestasi perdarahan (Setrkraising et al., 2007). Aktivasi koagulasi pada infeksi dengue
dapat dimulai pada berbagai kondisi, mulai dari aktivasi subklinis, yang ditandai dengan
peningkatan trombin dan fibrin, sampai KID dengan pembentukan trombus mikrovaskular
di berbagai organ, yang dikorelasikan dengan derajat infeksi dengue. Walaupun demikian,
beberapa penelitian tidak menemukan hubungan yang bermakna antara peningkatan aktivasi
koagulasi sejalan dengan peningkatan derajat infeksi VD. Penelitian yang dilakukan di
Filipina tahun 2005 oleh Carlos et al. hanya menemukan peningkatan ringan d-dimer pada
kelompok DD dan DBD.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari hubungan
antara derajat infeksi dengue dan kadar D-dimer, sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai
indikator yang berguna dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap luaran yang buruk pada
infeksi dengue.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kadar D-dimer berhubungan dengan derajat infeksi virus dengue?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara kadar D-dimer dan derajat infeksi virus dengue.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penelitian pendahuluan untuk acuan
bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut demi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam mengetahui mekanisme patogenesis infeksi virus dengue.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan D-dimer dapat menjadi salah satu parameter yang dapat diperiksa pada
pasien-pasien dengan infeksi dengue terutama DD atau DBD derajat ringan yang belum
mengalami kebocoran plasma nyata secara klinis, yang memberi sumbangan dalam
antisipasi terjadinya perburukan derajat infeksi dengue, sehingga para klinisi dapat
meningkatkan kewaspadaannya dalam menangani kasus-kasus infeksi dengue.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Infeksi Virus Dengue
Insiden dengue telah berkembang secara drastis di seluruh dunia selama beberapa
dekade terakhir. Kurang lebih dua per lima dari populasi dunia memiliki risiko untuk
mengalami infeksi virus dengue. World Health Organization (WHO) memperkirakan
terdapat kurang lebih 50-100 juta infeksi dengue di dunia setiap tahunnya. Penyakit ini
endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania, Asia Tenggara dan
Pasifik Barat. Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan dua regio dengan infeksi dengue
terbanyak. Tidak hanya jumlah kasus infeksi dengue yang meningkat sejalan dengan
penyebarannya ke daerah-daerah baru, namun ledakan-ledakan wabah infeksi dengue
banyak terjadi. Lebih dari lima ratus ribu penderita infeksi DBD memerlukan perawatan di
rumah sakit setiap tahunnya, dan sebagian besar adalah anak-anak. Sekitar 2,5% di
antaranya meninggal. Kasus-kasus di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat
telah melebihi 1,2 juta kasus pada tahun 2008 dan lebih dari 2,3 juta kasus pada tahun 2010.
Akhir-akhir ini jumlah kasus dilaporkan meningkat. Tanpa terapi yang tepat, laju mortalitas
infeksi VD dapat melebihi 20% (Permpalung, et al. 2009).
Salah satu faktor yang meningkatkan penyebaran infeksi dengue adalah perluasan
distribusi geografik dari ke-empat serotipe virus dengue dan nyamuk sebagai vektornya,
yang terpenting adalah spesies Aedes aegypti. Peningkatan yang cepat dari populasi nyamuk
di perkotaan semakin meningkatkan jumlah manusia yang berkontak dengan vektor ini,
terutama di daerah dengan banyak tempat penyimpanan air dan di daerah dengan
pengolahan pembuangan limbah air tidak adekuat. Krisis pemanasan global yang sedang
terjadi merupakan suatu tantangan, karena perubahan iklim dapat meningkatkan dinamika
kontak antara nyamuk dan manusia. Dapat diprediksi, dengan pemanasan global laju infeksi
VD akan meningkat. Lebih jauh lagi, infeksi dengue akan ditemukan di daerah-daerah tanpa
risiko infeksi sebelumnnya (Permpalung et al., 2009).
Selama tahun 2013 di Indonesia insiden infeksi VD sebanyak 37 kasus per 100.000
penduduk dengan angka kematian 0,90%, menurut data yang didapatkan dari Kementerian
Kesehatan RI. Insiden terbanyak didapatkan di Sulawesi Tengah, Bangka Belitung,
Kalimantan Timur, Lampung dan DKI Jakarta, dengan angka kematian tertinggi di Papua
Barat dan Maluku (Muhadir, 2013).
Jumlah kasus infeksi VD di RS Sanglah Denpasar selama tahun 2008 sebesar 3023
kasus, 2709 di antaranya dengan DBD dan 314 orang dengan DD. Jika dilihat dari
kelompok umur, 778 orang berumur antara 0-14 tahun dan 2254 orang di atas 14 tahun,
1678 orang laki-laki dan 1345 orang perempuan, disertai jumlah kematian sebanyak 22
orang ( 0,72 % ). Jumlah kasus yang dirawat di ruang perawatan intensif selama tahun 2008
sebesar 54 kasus, 9 orang berumur kurang dari 12 tahun dan 45 orang berumur lebih atau
sama dengan 12 tahun.
2.2 Virus Dengue
Infeksi dengue disebabkan oleh salah satu dari ke-empat serotipe virus dengue,
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus,
famili Flaviviridae.
Flavivirus membawa genom 11kb RNA rantai tunggal dengan
pengaturan yang sederhana. Setelah infeksi, genom virus secara langsung ditranslasi
menjadi poliprotein tunggal oleh protein sel pejamu. Poliprotein tersebut kemudian
mengalami pembelahan post-translasional oleh virus dan enzim protease untuk membentuk
3 protein struktural (inti/core (C), membran (M) dan selaput/envelope (E)) dan 7 protein
nonstruktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5). Protein nonstruktural
dibutuhkan untuk replikasi virus (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2005). Terminal-N
dari NS3 mengkode serin protease yang esensial untuk replikasi virus.
Gambar 2.1 Poliprotein Virus Dengue
2.3. Transmisi Virus Dengue
Transmisi virus dengue nampaknya berhubungan erat dengan perubahan
demografik dan sosial selama lebih dari 50 tahun terakhir. Faktor-faktor yang bertanggung
jawab atas meningkatnya transmisi virus dengue ini antara lain peningkatan cepat dari
populasi dunia, urbanisasi yang tidak terkontrol, terutama di daerah-daerah tropis yang
sedang berkembang, kurang efektifnya metode pengendalian vektor, peningkatan perjalanan
melalui udara, dan perubahan kebijakan kesehatan masyarakat yang lebih menekankan pada
metode pengendalian nyamuk dengan teknologi tinggi daripada dengan mengurangi sumber
larva nyamuk (Ping-Chang Lai et al., 2004).
Penyakit karena infeksi dari empat serotipe virus dengue merupakan penyakit yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina. Nyamuk mendapatkan VD saat
menghisap darah orang yang terinfeksi. Aktivitas nyamuk menggigit dominan pada dua
waktu, yaitu pagi hari 2-3 jam setelah matahari terbit dan siang hari beberapa jam sebelum
gelap. Walaupun demikian, nyamuk ini akan menghisap darah sepanjang hari bila ada di
dalam rumah dan pada musim hujan. Setelah masa inkubasi virus selama 8 sampai 10 hari,
nyamuk yang terinfeksi mampu mentransmisikan virus saat menggigit dan menghisap
darah, sepanjang masa hidupnya (Rothman, 2010). Nyamuk betina yang terinfeksi juga
mampu mentransmisikan virus pada keturunannya secara transovarial. Manusia yang
terinfeksi merupakan karier utama VD, yang juga berperan sebagai sumber virus bagi
nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus dengue beredar di sirkulasi darah orang yang terinfeksi
selama 2 sampai 7 hari, sama dengan masa demam yang dialami.
2.4. Diagnosis Infeksi Virus Dengue
Manifestasi klinis infeksi dengue bervariasi dari infeksi asimtomatik sampai
simtomatik. WHO mengklasifikasikan gejala infeksi virus dengue simtomatik ke dalam 3
kategori : undifferentiated fever, DD, dan DBD (Permpalung et al., 2009). Demam berdarah
dengue merupakan bentuk infeksi dengue yang lebih berat yang disebabkan oleh satu dari
keempat serotipe virus dengue. Gambaran klinis DBD menyerupai DD pada awal fase febris
dalam berbagai aspek. Gambaran yang prominen dari DBD adalah potensinya untuk
berkembang menjadi menjadi SSD. Ciri khas patofisiologi yang menentukan derajat
penyakit dan membedakan DBD dengan DD dan penyakit viral hemoragik lainnya adalah
adanya kebocoran plasma yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular dan
hemostasis yang abnormal. Bukti yang menunjang adanya kebocoran plasma meliputi efusi
pleura dan asites, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia (Auyeung et al., 2003;
Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2005). Syok hipovolemik terjadi sebagai konsekuensi
dari kehilangan volume plasma yang kritikal.
Gambar 2.2 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue, WHO 1997
Presentasi klinis infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase, yang disebut febril, kritis dan
konvalesen (WHO, 2009). Pasien pada awalnya menderita demam mendadak tinggi dengan
malaise, sakit kepala, mual muntah, mialgia dan kadang nyeri perut. Fase febris akut ini
berlangsung selama 2-7 hari. Penurunan cepat suhu tubuh ke level normal atau subnormal,
dengan berkembangnya berbagai derajat gangguan sirkulasi dikenal dengan masa
defervesen, dan menandakan pasien masuk dalam fase kritis. Fase kritis ini umumnya
berlangsung selama 24-48 jam. Pada akhirnya, sebagian besar pasien mengalami pemulihan
tanpa sekuele pada fase konvalesen (Chuansumrit & Tangnararatchakit, 2005).
Gambar 2.3 Fase-fase Infeksi Virus Dengue, WHO 2009
Diagnosis penyakit DD dan DBD didasarkan pada kriteria WHO 1997 (Sutaryo,
1999) :
1. Diagnosis penyakit DD adalah adanya demam akut selama 2-7 hari, dengan
sekurang-kurangnya dua manifestasi klinis seperti nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, atau leukopenia,
ditunjang pemeriksaan serologi dengue positif atau adanya kasus lain yang
terbukti demam dengue di sekitarnya.
2. Diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini dipenuhi :
- Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
- Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut :
- uji bendung positif,
- petekie, ekimosis, purpura,
- perdarahan mukosa, atau perdarahan dari tempat lain,
- hematemesis melena,
- trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul)
- terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma seperti,
- peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur
dan jenis kelamin,
- penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya
- tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama dan satu kriteria laboratoris cukup untuk menegakkan
diagnosa klinis demam berdarah dengue.
Terdapat 4 klasifikasi derajat penyakit DBD sesuai kriteria WHO 1997, yaitu :
1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet yang positif
2. Derajat II : seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan
lain
3. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, takanan
nadi menurun ( 20 mmHg atau kurang ) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah
4. Derajat IV : syok berat, nadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak terukur.
Menurut kriteria WHO tahun 1997, SSD didefinisikan sebagai DBD dengan tandatanda kegagalan sirkulasi, meliputi tekanan nadi kecil (20mmHg) dan hipotensi (DBD
derajat III) atau syok yang nyata (DBD derajat IV).
Tahun 2009, UNICEF mengeluarkan sistem klasifikasi terbaru untuk infeksi dengue
dengan membagi derajat infeksi menjadi 3 kelompok (WHO, 2009):
(1) dengue without warning sign, apabila penderita yang tinggal di/bepergian ke daerah
endemik dengue menderita demam dengan 2 atau lebih kriteria:
-
mual muntah,
-
ruam,
-
nyeri sendi,
-
tes Tourniquet positif,
-
leukopenia,
-
laboratorium untuk mengkonfirmasi dengue
(2) dengue with warning sign, apabila didapatkan:
-
nyeri perut,
-
muntah persisten,
-
akumulasi cairan secara klinis,
-
perdarahan mukosa,
-
letargi dan gelisah,
-
hepatomegali >2cm, dan
-
peningkatan hematokrit dibarengi dengan penurunan trombosit yang cepat;
(3) dengue berat, apabila didapatkan:
-
kebocoran plasma berat yang mengarah pada syok (SSD) atau akumulasi cairan
dengan distress pernapasan,
-
perdarahan berat,
-
keterlibatan organ berat seperti hepar yaitu AST dan ALT >=1000, susunan saraf
pusat yaitu gangguan kesadaran, jantung dan organ lain.
Infeksi oleh satu dari keempat serotipe menyebabkan gejala klinis yang serupa, yang
dapat bervariasi dalam hal derajat infeksi, bergantung pada beberapa faktor risiko yaitu
virulensi virus, viral load, dan respon pejamu. Perbedaan genotip virus dengue nampaknya
berhubungan dengan perbedaan virulensi. Kebocoran plasma dan perdarahan merupakan
dua perubahan patofisiologi mayor pada DBD/SSD, yang juga menentukan derajat penyakit.
Gambar 2.4 Klasifikasi dan Derajat Infeksi Virus Dengue, UNICEF, WHO 2009
2.5 Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue
Metode diagnostik yang saat ini digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi
virus dengue meliputi deteksi virus, deteksi asam nukleat virus (RT-PCR, Real time RTPCR, isothermal amplification methods), deteksi antigen atau tes serologi (MAC ELISA,
IgG ELISA, IgM/IgG rasio, IgA, HI test), atau kombinasi dari teknik-teknik tersebut. Tes
serologi merupakan tes yang paling sering dilakukan. Setelah onset penyakit, virus dapat
dideteksi di plasma, serum, sel darah di sirkulasi dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama
stadium awal penyakit, isolasi virus atau deteksi antigen dapat digunakan untuk
mendiagnosis infeksi. Pada akhir fase akut, serologi merupakan metode terpilih untuk
diagnosis. Pada infeksi primer, antibodi IgM adalah imunoglobulin pertama yang muncul.
Antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien pada hari 3-5 setelah onset penyakit, meningkat
80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10. Kadar IgM mencapai puncak kurang lebih 2
minggu setelah onset penyakit dan menurun sampai tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti
dengue IgG terdeteksi dengan titer rendah saat akhir minggu pertama, meningkat perlahan
dan masih terdeteksi setelah beberapa bulan, dan mungkin seumur hidup. Pada infeksi
sekunder, imunoglobulin dominan adalah IgG yang terdeteksi dengan kadar tinggi, bahkan
pada fase akut, dan menetap selama periode 10 bulan sampai seumur hidup. Kadar IgM
terdeteksi pada awal fase konvalesen dengan kadar rendah, bahkan dapat tidak terdeteksi
pada beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder, saat ini lebih
banyak digunakan rasio IgM/IgG dibandingkan dengan tes HI (HaemagglutinationInhibition). Infeksi dengue dinyatakan positif dari tes diagnotik apabila didapatkan PCR
positif, atau kultur virus positif, atau terjadi serokonversi IgM pada 2 pengukuran (fase akut
dan konvalesen), atau serokonversi IgG pada 2 pengukuran, atau kenaikan 4 kali lipat titer
IgG pada 2 pengukuran. Pada beberapa laboratorium, infeksi dengue didefinisikan sebagai
primer apabila rasio IgM/IgG > 1,2 (menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/100) atau >
1,4 (menggunakan serum pasien dengan dilusi 1/20). Infeksi dikatakan sekunder apabila
rasio kurang dari 1,2 atau 1,4. Walaupun demikian, rasio dapat bervariasi pada laboratorium
yang berbeda (WHO, 2009).
Sebelum hari ke-5, pada fase febris, infeksi dengue dapat didiagnosis dengan isolasi
virus pad kultur sel, dengan deteksi RNA virus menggunakan tes amplifikasi asam nuklet,
atau dengan deteksi antigen virus dengan ELISA atau rapid test. Isolasi virus umumnya
membutuhkan beberapa hari. Deteksi asam nukleat dapat mengidentifikasi RNA virus
dengue dalam 24-48 jam, namun membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan teknisi yang
lebih berpengalaman. Saat ini alat deteksi antigen NS1 tersedia secara komersil dan dapat
digunakan di berbagai laboratorium dengan peralatan terbatas. Setelah hari ke-5, virus
dengue dan antigen menghilang dari darah bersamaan dengan munculnya antibodi spesifik.
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada beberapa pasien sampai beberapa hari setelah
deverfesen. Untuk tes serologi, pengambilan sampel lebih fleksibel karena respon antibodi
dapat diukur dengan membandingkan sampel pada fase akut dengan sampel yang diambil
berminggu-minggu kemudian (WHO, 2009).
Diagnosis awal infeksi DBD secara klinis sulit ditegakkan, karena kriteria klinis dan
laboratoris DBD dari WHO dapat bermanifestasi pada fase akhir dari infeksi akut.
Walaupun banyak laporan sebelumnya mengemukakan karakteristik klinis dari DD dan
DBD, perbedaan antara keduanya yang meliputi abnormalitas hematologi tidak pernah
didefinisikan secara jelas.
2.6 Patogenesis Infeksi Virus Dengue
Patogenesis infeksi virus dengue sangat sedikit dimengerti. Demam berdarah
dengue yang disebabkan oleh infeksi dengue primer atau sekunder disebabkan oleh
terjadinya abnormalitas respon imun melibatkan produksi sitokin dan kemokin, aktivasi
limfosit T dan gangguan dari sistem hemostatik. Dari beberapa hipotesis yang diajukan
untuk menjelaskan patogenesis infeksi dengue, dua teori yang banyak dianut adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan hipotesis immune
enhancement atau antibody dependent enhancement (ADE) (Soegijanto, 2006).
Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi
primer dari serotipe dengue tertentu memberikan imunitas jangka panjang terhadap serotipe
tersebut (imunitas homotipik) (Auyeung et al., 2003; Hemungkorn et al., 2007). Imunitas
terhadap serotipe dengue yang berbeda (imunitas heterotipik) bertahan selama beberapa
bulan, dan setelah itu pasien kembali rentan terhadap terjadinya infeksi heterotipik. Jadi
apabila seseorang mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka
akan terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: pada infeksi yang
kedua, antibodi heterolog yang telah terbentuk dari infeksi yang primer akan membentuk
kompleks dengan infeksi VD baru dari serotipe yang berbeda, namun virus baru tersebut
tidak dapat dinetralisir dan bahkan membentuk kompleks yang infeksius. Akibat infeksi
sekunder oleh virus yang heterolog tersebut dan karena terdapat antibodi non-neutralising
maka partikel VD dan molekul antibodi IgG akan membentuk kompleks virus-antibodi.
Kompleks virus-antibodi tersebut kemudian akan berikatan dengan sel makrofag melalui
reseptor Fc dan menimbulkan peningkatan infeksi virus dengue. Kompleks virus-antibodi
akan meliputi sel makrofag, dan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga makrofag
mudah terinfeksi. Setelah teraktivasi makrofag akan memproduksi sitokin-sitokin inflamasi
dan Platelet Activating Factor (PAF). Kompleks tersebut beserta sitokin yang dilepaskan
juga akan merangsang aktivasi komplemen, melepaskan C3a dan C5a, yang juga akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma. Efek sinergistik
dari IFN-γ, TNF-α dan komplemen yang teraktivasi memicu terjadinya kebocoran plasma
infeksi VD sekunder (Huan-Yao Lei et al., 2008). Kebocoran plasma berkembang cepat
dalam hitungan jam, dekat dengan atau saat akhir dari fase febris saat gejala klasik demam
dengue menghilang. Telah diajukan bahwa terikatnya antibodi pada NS1 yang diekspresikan
pada sel yang terinfeksi dapat menyebabkan aktivasi komplemen. Sebagai tambahan, NS1
yang dilepaskan dari sel terinfeksi dapat secara langsung mengaktivasi komplemen (Martina
et al., 2009).
Gambar 2.5 Patogenesis DBD dari CDC, Soegijanto 2006
Teori ADE menyebutkan bahwa terbentuk antibodi dari infeksi dengue yang
pertama yang tidak dapat menetralisir virus, namun malah meningkatkan infeksi pada
infeksi yang kedua. Antibodi heterolog ini diduga meningkatkan uptake/ambilan virus dan
replikasi dari sel yang membawa reseptor Fc
(Permpalung, et al. 2009). Aktivitas
enhancing pada umumnya dapat dilihat pada pengenceran yang cukup banyak sehingga
antibodi di situ tidak mempunyai sifat netralisasi. Kejadian tersebut dapat diamati misalnya
pada kera yang disuntik dengan antibodi terhadap dengue 2 yang telah diencerkan dibanding
dengan kera yang tidak mendapatkan hal serupa. Setelah diinfeksi dengan dengue virus 2,
ternyata titer viremia lebih tinggi pada kelompok yang pertama. Di dalam kultur sel
mononuklear darah tepi terjadi juga kejadian serupa. Suatu kultur mononuklear sel yang
diberi imunoglobulin non netralisasi dan yang tidak diberi apa-apa, ternyata titer viremianya
lebih tinggi pada kelompok yang pertama. Teori ADE berdasarkan pada peran sel fagosit
mononuklear dan terbentuknya antibodi non netralisasi. Virus mempunyai target serangan
yaitu sel fagosit seperti makrofag, monosit, dan sel Kupfer. Menurut penelitian antigen
dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang beredar dibanding dengan sel
makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Kemungkinan antibodi non netralisasi itu yang
berperan, yaitu melingkupi sel makrofag yang beredar dan tidak melingkupi sel makrofag
yang menetap di jaringan (Sutaryo, 1999). Walaupun ADE dari infeksi virus dengue telah
secara jelas terlihat secara in vitro, akan tetapi tidak terdapat bukti definitif bahwa
mekanisme tersebut terjadi secara in vivo pada manusia (Juffrie et al., 2000). Bukti yang
menunjang teori ADE ini adalah pada autopsi yang dilakukan pada penderita demam
berdarah dengue, tidak dijumpai adanya virus dengue pada sel endotel kapiler. Pada
percobaan kultur sel endotel secara invitro, didapatkan bahwa sel endotel akan teraktivasi
jika terpapar dengan monosit yang terinfeksi virus dengue (Halstead, 1989). Diduga setelah
virus dengue berikatan dengan antibodi maka kompleks ini akan menempel pada monosit
melalui Fc reseptornya. Kompleks virus antibodi melekat melalui bagian Fc gamma antibodi
IgG pada sel yang mempunyai Fc gammaR, seperti monosit. Virus kemudian tidak
dinetralkan karena antibodi bersifat heterolog sehingga virus bebas bereplikasi di dalam
monosit. Mobilitas monosit menyebabkan infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Monosit yang terinfeksi tersebut kemudian menjadi target respon eliminasi imun, sebagian
besar diperantarai limfosit T sitotoksik. Alternatif lain, monosit yang terinfeksi virus dengue
bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) menginduksi pelepasan sitokin dari sel T
yang teraktivasi. Monosit yang terinfeksi menstimulasi limfosit sehingga teraktivasi
menghasilkan sitokin yang berperan dalam peningkatan regulasi reseptor Fc gamma
permukaan monosit, berakibat peningkatan jumlah sel yang terinfeksi dan menimbulkan
keadaan sakit yang berat. Monosit akan menghasilkan sitokin dan akan mengaktivasi sel
endotel. Sitokin yang dihasilkan akan menyebabkan perubahan pada fungsi sel endotel,
yaitu peningkatan faktor von Willebrand, faktor jaringan, PAF, plasminogen activator
inhibitor, prostasiklin dan nitrit oksida serta penurunan tPA dan trombomodulin. Karena itu,
pada disfungsi endotel, terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi kaskade
koagulasi.
Gambar 2.6 Teori Antibody Dependent Enhancement (ADE)
Teori lain yang mencoba menjelaskan mengenai patogenesis infeksi dengue adalah
teori virulensi virus. Teori ini menekankan pada kemampuan atau kapasitas virus untuk
menimbulkan penyakit pada pejamu. Perbedaan manifestasi pada DD, DBD, dan SSD
dikatakan dapat disebabkan oleh varian dari virus dengue dengan derajat virulensi yang
berbeda-beda (Hemungkorn et al. 2007). Risiko untuk terjadinya DBD/SSD lebih besar
pada infeksi oleh virus dengue serotipe 2 dibandingkan dengan serotipe yang lainnya
(Onlamoon et al., 2010). Lebih jauh lagi dikatakan bahwa titer viremia dengue yang tinggi
berhubungan dengan peningkatan derajat penyakit. Titer virus dengue yang diperiksa pada
pasien anak-anak di Thailand ditemukan 10 sampai 100 kali lebih tinggi pada infeksi DBD
dibandingkan pada infeksi DD (Huan-Yao Lei et al., 2008). Namun, orang yang terinfeksi
dengan virus dengue yang sama dapat memberikan manifestasi klinis yang berbeda, hal ini
memberikan perkiraan bahwa faktor pejamu juga memiliki peran penting dalam
perkembangan penyakit dengue.
Teori antigen-antibodi didasarkan pada menurunnya kadar komplemen terutama C3,
C3 proaktivator, C4 dan C5. Semakin berat penyakit semakin rendah kadar komplemen
tersebut. Secara radioaktif dibuktikan penurunan bukan disebabkan oleh produksi yang
menurun atau ekstravasasi. Kadar anafilatoksin meningkat, lalu menurun pada masa
penyembuhan. Dari kejadian itu diperkirakan ada suatu mekanisme sebagai berikut, virus
dengue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi, kemudian
mengaktivasi komplemen, aktivasi ini akan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang
merupakan mediator kuat peningkatan permeabilitas vaskular, kemudian terjadi kebocoran
plasma (Hemungkorn et al. 2007).
Teori mediator dikemukakan sebagai kelanjutan dari teori ADE. Makrofag yang
terinfeksi virus mengeluarkan mediator atau sitokin, seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,
TNFα, dan lain-lain. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas
terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Telah dibuktikan
bahwa endotoksin dari bakteri Gram negatif berhubungan erat dengan kejadian syok pada
DBD. Endotoksin tersebut akan mengaktivasi kaskade sitokin terutama IL-1 dan TNFα.
TNFα meningkat sejak awal perjalanan penyakit dan akan turun setelah infeksi reda.
Interleukin 6 juga ditemukan meningkat pada DBD dengan syok. Pada infeksi virus dengue,
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, akan tetapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian melainkan lebih
disebabkan oleh gangguan metabolik. Diketahui juga bahwa akibat replikasi virus di dalam
sel, terjadi stres sampai kematian sel apoptotik, baik in vitro maupun in vivo. Mekanisme
pertahanan tubuh melalui apoptosis dan aktivasi sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas
jaringan lokal atau ketidakseimbangan homeostasis dan selanjutnya memicu efek yang lain.
Sebagai tambahan, Kurane dan Ennis juga mengajukan hipotesis bahwa aktivasi
limfosit juga memegang peranan penting. Aktivasi sel T dan monosit menginduksi produksi
sitokin dan mediator-mediator kimia. Peningkatan cepat dari kadar mediator potensial
seperti TNF, IL-2, IL-6, IFN, PAF, C3a, dan C5a serta histamin dan efek sinergis dari
mediator-mediator ini menginduksi malfungsi dari sel endotel vaskular, yang akhirnya
mengarah pada kebocoran plasma, syok, dan kekacauan sistem koagulasi.
Teori trombosit endotel menyatakan bahwa trombosit dan endotel diduga
mempunyai peran penting dalam patogenesis DBD, berdasarkan kenyataan bahwa pada
DBD terjadi trombositopenia dan peningkatan permeabilitas kapiler yang berarti terdapat
pengaruh terhadap integritas sel endotel. Dua komponen ini sudah diketahui sejak lama
merupakan satu kesatuan fungsi dalam mempertahankan homeostasis, salah satu cedera
akan berakibat pada yang lain. Trombosit dapat dipandang sebagai sel sekretorik yang
memiliki granula-granula yang mengandung berbagai mediator. Endotel mempunyai
bermacam reseptor, disamping dapat mengeluarkan bahan-bahan vasoaktif kuat seperti
prostasiklin, PAF, faktor plasminogen dan IL-1. Gangguan pada endotel akan menimbulkan
agregasi trombosit serta aktivasi koagulasi (Sutaryo, 1999).
Teori apoptosis mengemukakan bahwa limfosit sitotoksik mengkode protease yang
menginduksi apoptosis sel target. Selain itu limfosit yang teraktivasi guna merespon infeksi
virus menunjukkan ekspresi Fas dalam kadar tinggi dan sangat rentan terhadap apoptosis.
Pada kasus DBD yang berat terdapat kerusakan hepar, terdapat Councilman bodies, yang
diduga merupakan proses apoptosis pada sel hepar. Saat terjadi apoptosis, virus dan sel yang
berserakan dimakan oleh sel makrofag atau fagositosis. Jadi bukan virus yang bereplikasi di
dalam sel makrofag (Sutaryo, 1999).
Imunopatogenesis alternatif untuk infeksi virus dengue yang menyebutkan bahwa
terjadi respon imun aberan telah diajukan. Respon imun aberan ini tidak hanya mengganggu
respon imun untuk membersihkan virus, menyebabkan overproduksi sitokin dan produksi
abnormal dari autoantibodi. Pembentukan aberan dari antibodi anti-NS1 yang bereaksi
silang dengan trombosit atau sel endotel menginisiasi berkembangnya infeksi dengue.
Disebutkan juga keterlibatan dari autoantibodi anti-platelet dan anti-sel endotel dalam
manifestasi disfungsi platelet dan sel endotel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Penelitian saat
terjadi wabah dengue di Thailand tahun 1998 menemukan bahwa, dari pemeriksaan
imunofenotiping didapatkan aktivasi imatur dari CD69 yang tampak pada limfosit dan
monosit 4 hari setelah onset demam dan menurun setelahnya. Analisis dari sel darah
menunjukkan peningkatan netrofil imatur saat demam hari 5-6, monositosis pada hari 6-7,
dan limfositosis atipikal pada 8-10 hari setelah onset demam.
Virus dengue dapat menginfeksi berbagai sel primer manusia termasuk
monosit/makrofag, sel dendritik, sel B, hepatosit, sel Kupfer dan sel yang berasal dari
endotel dan epitel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Data in vitro dan studi dari autopsi
menemukan 3 sistem organ utama yang memiliki peran penting dalam patogenesis
DBD/SSD yaitu sistem imun, hepar dan sel endotel yang melapisi pembuluh darah (Martina
et al, 2009). Monosit merupakan target utama dari infeksi virus dengue, namun mereka akan
mengalami apoptosis untuk mencegah penyebaran virion, namun juga menurunkan
inflamasi yang diinduksi virus karena sel apoptosis akan difagositosis oleh makrofag.
Walaupun sel dendritik imatur dilaporkan 10 kali lipat lebih permisif untuk infeksi virus
dengue dibandingkan monosit dan makrofag, namun tidak dijumpai peningkatan antibodi
walaupun mereka mengekspresikan reseptor Fc (Huan-Yao Lei et al., 2008). Sel dendritik
interstisial yang berlokasi di epitel dipercaya sebagai lini pertama dari imun pejamu dalam
melawan invasi virus dengue setelah gigitan awal oleh nyamuk yang terinfeksi. Sel
dendritik yang terinfeksi bermigrasi ke kelenjar limfe regional sejalan dengan proses
maturasinya. Infeksi sel dendritik juga selain menstimulasi maturasinya juga merangsang
produksi sitokin terutama TNF-α dan IFN-γ. Aktivasi awal dari sel NK dan imunitasbergantung interferon tipe 1, penting dalam membatasi replikasi virus pada stadium awal
infeksi dengue. Pada penelitian yang dilakukan oleh Departemen Imunologi Universitas
Massachusett, ditemukan bahwa virus dengue menginfeksi dan bereplikasi di dalam sel
dendritik imatur. Paparan terhadap virus dengue mengarah pada maturasi dan aktivasi sel
terinfeksi dan sekelilingnya, sel dendritik yang tidak terinfeksi dan stimulasi produksi TNFdan IFN- .
Belum banyak yang diketahui mengenai patogenesis perdarahan pada DBD/SSD
dan bila dianalogikan dengan sepsis, sangat menarik untuk dispekulasi bahwa sitokin
merupakan mediator kunci. Peningkatan jumlah monosit yang terinfeksi virus dengue dapat
menyebabkan aktivasi sel limfosit T, dan aktivasi dari kedua jenis sel dapat menyebabkan
peningkatan kadar sitokin yang telah disebutkan sebelumnya. Kadar dari aktivasi sel T pada
infeksi dengue sekunder juga meningkat, terjadi sebagai fenomena yang disebut original
antigenic sin, dan mengalami kematian sel terprogram. Banyak sel T spesifik dengue yang
memiliki afinitas rendah terhadap virus yang menginfeksi, dan menunjukkan afinitas yang
tinggi untuk yang lain, kemungkinan serotipe yang sebelumnya pernah dihadapi. Aktivasi
dan kematian sel T selama infeksi dengue akut dapat menekan atau menunda eliminasi
virus, menyebabkan viral load yang lebih tinggi dan ditemukannya peningkatan
imunopatologi pada pasien dengan DBD (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006).
Penelitian
yang
dilakukan
oleh Yu-Wen Lin
et al
di
Cina berhasil
mendemonstrasikan bahwa virus dengue secara aktif bereplikasi di dalam sel B. Hal tersebut
didukung oleh beberapa data yang ditemukan antara lain: genom RNA strand negatif yang
merupakan cetakan replikasi yang hanya ada selama replikasi virus; antigen virus, termasuk
protein inti dan NS1 terdeteksi di dalam sel yang terinfeksi; jumlah virus yang terdeteksi di
dalam sel yang terinfeksi meningkat sejalan dengan waktu; sitokin disekresi dari sel yang
terinfeksi; dan antibodi heterolog mampu meningkatkan replikasi virus dengue dan sekresi
sitokin dari sel yang terinfeksi. Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa replikasi VD
terjadi secara seimbang dalam sel B maupun dalam monosit (Yu-Wen et al., 2002).
Antibodi heterolog ditemukan mampu meningkatkan replikasi virus dalam sel B primer
maupun keturunannya. Antibodi ini dapat meningkatkan jumlah sel B yang terinfeksi. Hasil
yang sama juga terlihat pada monosit. Replikasi virus juga terlihat meningkat oleh antibodi
heterolog, yang dibuktikan dengan mengukur intensitas rata-rata fluoresensi dari ekspresi
NS1. Efek peningkatan dari antibodi ini dapat merupakan akibat dari peningkatan masuknya
virus ke dalam sel atau transduksi sinyal untuk mengaktivasi sel B yang dipicu oleh
antibodi. Karena sel B berada dalam sirkulasi antara jaringan limfe dan darah, sementara
monosit berpindah dari sumsum tulang ke jaringan perifer, diperkirakan bahwa sel B yang
terinfeksi merupakan sarana penyebaran virus yang lebih efisien dibandingkan monosit,
yang merupakan dua tempat yang paling sering didapatkan virus pada pasien yang
terinfeksi. Dari data-data ini dapat disimpulkan bahwa sel B memiliki peranan penting
dalam amplifikasi virus dan penyebarannya selama infeksi berlangsung (Yu-Wen Lin et al.,
2002). Ditemukan juga korelasi yang lebih bermakna antara virus dan produksi sitokin pada
sel B dibandingkan dengan monosit. Hal ini memberikan perkiraan bahwa infeksi dengue
dapat menginduksi sintesis sitokin pada sel B secara langsung. Dalam monosit, infeksi VD
meningkatkan produksi IL-1. Interleukin 1 merupakan induktor untuk IL-6 dan TNF-α, dan
dapat menstimulasi sintesis kedua sitokin ini. Sel B juga diketahui dapat memproduksi
autoantibodi terhadap trombosit dan sel endotel yang memicu respon patologis selama
infeksi. Mekanisme produksi virion, fenomena peningkatan antibodi dan pelepasan sitokin
yang terjadi pada sel B menyerupai mekanisme yang terjadi pada monosit (Yu-Wen Lin et
al., 2002).
2.7 Mekanisme Kebocoran Plasma Pada Infeksi Virus Dengue
Kebocoran plasma pada infeksi virus dengue, umumnya terjadi pada hari ketiga
sampai ketujuh. Kebocoran plasma disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular dan
diinduksi oleh beberapa mediator seperti C3a, C5a terjadi selama fase febris dan lebih nyata
lagi selama fase kritis (Chuansumrit, et al., 2010). Bukti yang menunjang adanya kebocoran
plasma yang ditemukan pada saat autopsi adalah efusi pleura dan asites, hemokonsentrasi
dan hipoproteinemia (Auyeung, et al. 2003; Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006).
Salah satu mekanisme kebocoran plasma adalah kerusakan endotel melalui mekanisme
immunologi, yaitu pembentukan kompleks virus-antibodi yang memacu pelepasan sitokin
dan mediator. Efek tidak langsung infeksi VD terhadap disfungsi endotel didukung beberapa
temuan antara lain studi histologis yang memperlihatkan kerusakan struktur kapiler yang
minimal, tidak didapatkannya antigen VD pada jaringan sel endotel, serta peningkatan
permeabilitas kapiler bersifat sementara dengan perbaikan cepat tanpa kelainan patologis
yang tersisa. Peningkatan permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh disfungsi sel endotel
terlihat dengan adanya pelebaran tight junction endotel dengan mikroskop elektron.
Interaksi sejumlah besar mediator dalam sirkulasi dihipotesiskan menginduksi permeabilitas
kapiler yang bersifat sementara.
2.8 Hubungan antara Inflamasi dan Koagulasi
Semakin banyak bukti yang mengarah pada adanya hubungan 2 arah antara sistem
koagulasi dan inflamasi. Aktivasi koagulasi dan deposisi fibrin sebagai konsekuensi dari
inflamasi telah jelas diketahui dan dapat dipandang sebagai bagian penting dari mekanisme
pertahanan pejamu melawan agen infeksi, sebagai usaha untuk membatasi agen infeksi dan
respon inflamasi. Namun, kadang respon yang berlebihan atau tidak adekuat dapat terjadi.
Terjadinya aktivasi koagulasi sistemik dan kegagalan mikrovaskulatur disebabkan oleh
respon inflamasi sistemik terhadap infeksi berat, dan hal tersebut dapat menyumbang pada
disfungsi organ multipel. Sistem koagulasi dan inflamasi berinteraksi secara erat (Levi et
al., 2004).
2.8.1
Pengaruh Inflamasi pada Koagulasi
Fibrinogen yang merupakan reaktan fase akut meningkat pada kondisi inflamasi
(Esmon, 2005). Inisiator penting pembentukan trombin yang diinduksi inflamasi adalah
faktor jaringan. Faktor jaringan adalah protein transmembran yang diekspresikan pada
sejumlah sel di seluruh tubuh. Mayoritas sel tersebut berada di jaringan dan tidak berkontak
langsung dengan darah, misalnya di lapisan adventisia pembuluh darah besar. Namun,
faktor jaringan dapat berkontak dengan darah apabila integritas vaskular terganggu atau sel
di sirkulasi mulai mengekspresikan faktor jaringan. Pada infeksi berat, sel mononuklear di
sirkulasi distimulasi oleh sitokin proinflamasi dan mengekspresikan faktor jaringan, yang
mengarah pada aktivasi koagulasi sistemik. Walaupun banyak sitokin mampu menginduksi
ekspresi faktor jaringan pada sel mononuklear, ekspresi faktor jaringan nampaknya
bergantung terutama pada IL-6 (Levi et al., 2004).
Trombosit juga memiliki peranan penting. Trombosit dapat langsung diaktivasi,
misalnya oleh mediator proinflamasi seperti PAF. Setelah trombin dibentuk, aktivasi
trombosit lain akan terjadi. Aktivasi trombosit dapat juga mengakselerasi pembentukan
fibrin melalui mekanisme lain (Levi et al., 2004). Mediator inflamasi seperti IL-6
meningkatkan produksi trombosit. Trombosit yang baru terbentuk nampaknya lebih
trombogenik. Respon trombosit dapat juga meningkat secara tidak langsung lewat mediator
inflamasi seperti histamin, TNFα, IL-8 dan IL-6 dan mengarah pada peningkatan von
Willebrand Factor di endotel (Esmon, 2005). Inflamasi juga meningkatkan konsentrasi C
reactive protein (CRP) di dalam darah, yang memfasilitasi interaksi monosit dan sel endotel,
dan meningkatkan PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1) dan faktor jaringan. Mediator
inflamasi dapat juga menginduksi ekspresi PAR (Protease Activated Receptors) di endotel.
Hal ini
menyebabkan sel lebih sensitif terhadap aktivasi oleh protease yang dapat
meningkatkan molekul adhesi leukosit di permukaan sel. Sitokin inflamasi juga menurunkan
trombomodulin (Esmon, 2005).
Aktivasi koagulasi diregulasi oleh 3 jalur antikoagulan: antitrombin, sistem protein
C, dan TFPI. Selama aktivasi koagulasi yang diinduksi inflamasi, fungsi dari ketiga jalur
dapat terganggu. Antitrombin merupakan inhibitor utama dari trombin dan faktor Xa.
Selama respon inflamasi yang berat, kadar antitrombin berkurang secara nyata sebagai
akibat dari konsumsi (karena pembentukan trombin terus-menerus), gangguan sintesis
(karena respon fase akut yang negatif) dan degradasi oleh elastase dari neutrofil yang
teraktivasi. Antitrombin juga berperan sebagai mediator inflamasi yang penting, dengan
terikat langsung pada neutrofil dan leukosit lain dan oleh karena itu meningkatkan ekspresi
sitokin dan reseptor kemokin (Levi et al., 2004).
Disfungsi endotel bahkan lebih penting lagi dalam gangguan sistem protein C
selama inflamasi. Pada kondisi fisiologis, protein C diaktivasi oleh trombin yang berikatan
dengan trombomodulin di membran sel endotel. Pengikatan ini tidak hanya menyebabkan
peningkatan 100 kali lipat aktivasi protein C namun juga menghalangi konversi fibrinogen
menjadi fibrin yang dimediasi oleh trombin. Terikatnya protein C ke endotelial protein C
receptor (EPCR) menghasilkan lebih jauh lagi peningkatan protein C. Protein C yang
teraktivasi mengatur aktivasi koagulasi dengan pembelahan proteolitik dari kofaktor Va dan
VIIIa. Sebagai tambahan, trombomodulin mempercepat aktivasi trombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI), inhibitor penting fibrinolisis. Pada inflamasi sistemik, sebagai
tambahan dari rendahnya kadar protein C yang disebabkan oleh gangguan sintesis dan
degradasi neutrofil oleh elastase, defek dari sistem protein C terjadi akibat penurunan
trombomodulin di permukaan endotel, yang dimediasi oleh TNFα dan IL-1β (Levi et al.,
2004).
Mekanisme inhibisi ketiga dari pembentukan trombin melibatkan TFPI, inhibitor
utama dari kompleks faktor jaringan-faktor VIIIa. Konsentrasi endogen TFPI sepertinya
tidak cukup untuk dapat mengatur aktivasi koagulasi dan konsekuensi buruknya selama
inflamasi (Levi et al., 2004).
2.8.2
Pengaruh Koagulasi pada Inflamasi
Setelah regulasi trombin dan faktor koagulasi lainnya terganggu, mereka
berpartisipasi dalam meningkatkan respon inflamasi. Trombosit mengandung dan memiliki
kemampuan untuk melepaskan mediator proinflamasi CD40 dalam konsentrasi tinggi.
Protein ini kemudian menginduksi sintesis faktor jaringan dan meningkatkan sitokin
inflamasi seperti IL-6 dan IL-8 (Esmon, 2005). Mekanisme yang paling penting pengaruh
protease koagulasi terhadap inflamasi adalah dengan berikatan dengan PAR. Terikatnya
trombin pada reseptornya dapat menginduksi produksi beberapa sitokin. Terikatnya
kompleks faktor VII-faktor VIIa pada PAR-2 juga mengakibatkan peningkatan respon
inflamasi pada makrofag dan mempengaruhi infiltrasi neutrofil dan sitokin proinflamasi
(TNFα , IL-1β) (Levi et al., 2004).
Aktivasi protein C telah dibuktikan dapat menginhibisi produksi TNFα, IL-1β, IL-6
dan IL-8. Aktivasi protein C juga didapatkan menghambat pelepasan sitokin dan aktivasi
leukosit dari penelitian pada tikus.
Efek protein C aktif pada inflamasi kemungkinan
dimediasi oleh EPCR, yang memediasi penurunan proses inflamasi. Protein C aktif juga
mampu menginhibisi apoptosis sel endotel. Trombomodulin juga memiliki efek
antiinflamasi yang signifikan. Trombomodulin memiliki peran sentral di persimpangan
antara koagulasi dan inflamasi, dengan mengaktifkan protein, dengan mengakselerasi
aktivasi TAFI (dan karenanya mempengaruhi fibrinolisis dan menginhibisi komplemen),
dan dengan mengikat trombin (Levi et al., 2004).
Respon fibrinolitik terhadap inflamasi adalah pelepasan aktivator plasminogen,
yaitu t-PA (tissue Plasminogen Activator) dan u-PA (urokinase Plasminogen Activator),
dari tempat penyimpanannya di sel endotel vaskular. Namun, hal ini meningkatkan aktivasi
plasminogen dan pembentukan plasmin dicegah dengan peningkatan PAI-1. Regulator
penting dari PAI-1 pada inflamasi adalah TNFα dan IL-1β. Fibrinogen dan fibrin dapat
secara langsung menstimulasi ekspresi TNFα dan IL-1β pada sel mononuklear dan
menginduksi produksi kemokin (termasuk IL8 dan MCP-1) oleh sel endotel dan fibroblast.
Faktor fibrinolitik, terutama u-PA dan reseptornya (u-PAR), dapat memodulasi respon
inflamasi melalui efeknya pada penarikan dan migrasi sel inflamasi. Produk akhir dari
sistem fibrinolisis, plasmin, menginduksi aktivasi protein kinase dan produksi sitokin
proinflamasi oleh monosit in vitro (Levi et al., 2004).
2.9 Perubahan Hematologi pada Infeksi Virus Dengue
Hubungan antara infeksi dan aktivasi koagulasi-fibrinolisis telah banyak diteliti
pada sepsis gram negatif dan endotoksemia. Aktivasi koagulasi, yang direfleksikan dengan
peningkatan fragmen protrombin dan kompleks trombin-antitrombin, dan aktivasi
fibrinolisis yang digambarkan dengan peningkatan tPA dan PAI-1, dideteksi dalam
percobaan eksperimental pada pasien dengan sepsis gram negatif. Sitokin (TNF-α, IL-1β
dan IL-6) nampaknya memiliki peran penting dalam inisiasi koagulasi dan fibrinolisis pada
keadaan-keadaan tersebut. Peningkatan kadar sitokin juga didapatkan berkorelasi dengan
defisiensi faktor XII dan dengan peningkatan autoantibodi anti-platelet dan anti-sel endotel,
juga komponen fibrinolitik seperti tPA pada pasien dengan infeksi VD.
Leukopenia merupakan penemuan yang umum pada DD dan DBD. Hitung leukosit
normal pada fase awal penyakit. Saat mendekati akhir fase febris, terjadi penurunan jumlah
leukosit total dan neutrofil. Secara simultan, terjadi limfositosis relatif dengan limfosit
atipikal. Leukopenia umumnya mencapai nilai terendah sesaat sebelum atau saat penurunan
temperatur dan kembali normal 2-3 hari setelah defervesen. Jumlah limfosit atipikal pada
DBD jauh lebih besar dibandingkan pada DD. Penurunan jumlah trombosit umumnya
mengikuti leukosit dan mencapai titik terendah pada hari defervesen. Giant platelet juga
ditemukan dalam hapusan darah tepi pada pasien dengan DBD, memberi kesan terjadinya
peningkatan turnover platelet (Nimmannitya, 1999).
Perubahan sumsum tulang pada DBD menyerupai dengan perubahan pada DD.
Nakorn et al mempelajari sumsum tulang pasien DBD pada fase febris akut dan menemukan
kondisi hiposeluler yang bermakna dengan penurunan megakariosit, eritroblast dan prekusor
mieloid. Penemuan ini dapat dijelaskan dengan adanya infeksi VD langsung pada sel-sel
progenitor hematopoetik dan sel-sel stroma (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006).
Ketidak-adaan total dari granulositopoesis dapat diamati pada pasien infeksi dengue pada
hari ke-4 dari onset penyakit. Pada fase kritis, sumsum tulang memperlihatkan kondisi yang
normal atau hiperseluler. Memasuki fase konvalesen, seluruh elemen sumsum tulang
mengalami pemulihan secara cepat (Cunha dan Oliveira, 2012). Mekanisme supresi sumsum
tulang sementara pada infeksi dengue tidak diketahui secara pasti, dapat sebagai akibat dari
efek langsung virus atau efek tidak langsung melalui mekanisme imun, atau keduanya
(Nimmannitya, 1999).
2.10 Gangguan Hemostasis pada Infeksi Virus Dengue
Perubahan hemostatik yang ditemukan pada DBD meliputi 3 faktor utama yaitu:
trombositopenia, perubahan vaskular dan defek multipel pada sistem koagulasi-fibrinolisis
seperti penurunan kadar fibrinogen, peningkatan kadar produk degradasi fibrin (PDF),
pemanjangan activated partial thromboplastin time (aPTT), kadar faktor-faktor pembekuan
(VIII, XII), plasminogen, protrombin, dan α-2 antiplasmin yang rendah (Khrisnamurti et al.,
2001).
2.10.1 Trombositopenia dan Trombositopati
Trombositopenia dan disfungsi platelet lebih jelas nampak pada fase kritis.
Mekanisme trombositopenia meliputi penurunan produksi trombosit dan peningkatan
destruksi di perifer (Halstead, 1998). Mitrakul et al melakukan penelitian kinetika trombosit
dan menemukan bahwa waktu paruh trombosit berkisar antara 6,5 sampai 53 jam (normal
72-96 jam). Peningkatan destruksi perifer ditemukan dominan pada 2 hari sebelum
defervesen. Sumsum tulang pada saat itu menunjukkan hiperselularitas dengan peningkatan
megakariosit, eritroblast dan prekusor mieloid. Pada tahun 1987, Funahara et al
mendemonstrasikan interaksi in vitro antara trombosit dan sel endotel yang terinfeksi VD,
menginduksi agregasi trombosit dan menyebabkan lisis dengan hasil akhir trombositopenia.
Pada fase kritis, saat trombosit mencapai nilai terendahnya, sumsum tulang menunjukkan
kondisi normal atau hiperseluler, megakariosit menjadi normal dan kadang-kadang
meningkat jumlahnya. Hal ini diikuti oleh kenaikan platelet yang cepat pada fase
konvalesen dan mencapai nilai normalnya pada 7-10 hari setelah defervesen (Nimmannitya,
1999).
Destruksi platelet terjadi sebagai akibat dari aktivasi komplemen (kemungkinan
karena trombosit mengikat antigen virus), juga karena sekuestrasi perifer. Saat hitung
trombosit mencapai nilai terendahnya, produksi di sumsum tulang kembali meningkat.
Trombosit yang berhasil lolos dari destruksi karena aktivasi komplemen mengalami
gangguan fungsi. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan gangguan agregasi
trombosit selama fase akut DBD (Khrisnamurti et al., 2001).
Disfungsi trombosit yang dibuktikan dengan tidak adanya pelepasan ADP awalnya
didemonstrasikan pada pasien DBD selama fase konvalesen oleh Mitrakul et al pada tahun
1977 (Nimmannitya, 1999). Penelitian selanjutnya oleh Srichaikul et al pada tahun 1989
selama fase febris dan awal fase konvalesen juga menunjukkan gangguan agregasi trombosit
sebagai respon dari ADP, yang kembali ke normal setelah 2-3 minggu kemudian. Disfungsi
trombosit ini diperkirakan karena kelelahan dari aktivasi trombosit yang dipicu oleh
kompleks imun (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006). Penelitian oleh Huan-Yao Lei
et al menemukan bahwa terdapat antibodi IgM anti-trombosit pada pasien dengue, dan
titernya lebih tinggi pada pasien DBD dibandingkan dengan DD. Antibodi ini tidak hanya
menginduksi lisis trombosit lewat aktivasi komplemen, namun juga menghambat agregasi
trombosit (Huan-Yao Lei et al., 2008).
Studi klinis menemukan IgM dan IgG anti-
trombosit pada pasien dengan infeksi VD, dan peningkatan kadar antibodi ini ditemukan
pada kasus yang berat (Sun et al., 2007).
2.10.2 Vaskulopati
Vaskulopati digambarkan dari tes tourniquet positif yang mengindikasikan
peningkatan fragilitas kapiler. Hal ini dapat diakibatkan oleh efek langsung dari VD seperti
yang muncul pada beberapa hari pertama penyakit saat fase febris (Chuansumrit dan
Tangnararatchakit, 2006). Tes tourniquet dan petekie di kulit nampak saat awal fase febris
sebelum trombositopenia terjadi. Spesimen dari biopsi petekie menunjukkan lesi pada
mikrovaskulatur pada papilla dermis. Perubahan vaskular ini, yang menyebabkan
perdarahan dalam bentuk diapedesis eritrosit, kemungkinan hanya terlokalisir di kapiler dan
berbeda dengan perubahan vaskular yang menyebabkan kebocoran plasma. Pada spesimen
biopsi juga ditemukan infiltrasi limfosit dan mononuklear ke dinding pembuluh darah, yang
beberapa di antaranya mengandung antigen dengue. Deposit IgM, komplemen dan
fibrinogen juga ditemukan. Vaskulopati awal mungkin merupakan efek langsung dari VD,
sedangkan ruam petekie yang terlihat pada fase konvalesen kemungkinan dimediasi oleh
mekanisme imun (Nimmannitya, 1999).
Kebocoran plasma disebabkan oleh peningkatan difus dari permeabilitas kapiler.
Kebocoran umumnya bermanifestasi pada hari ke-3 sampai ke-7, saat demam turun.
Kebocoran plasma terjadi secara sistemik, berkembang cepat, namun membaik dalam 1-2
hari pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi cairan yang tepat. Perubahan fungsional
dari sel endotel kemungkinan disebabkan oleh efek pelepasan sitokin atau mediator. Sel
endotel tidak perlu diinfeksi oleh VD untuk menjadi target. Antibodi anti-dengue yang
bereaksi silang dapat terikat pada sel endotel yang tidak terinfeksi dan menyebabkan
kerusakan. Antibodi anti-NS1 dapat bereaksi silang dengan sel endotel yang non-infeksius
dan menginduksi sel tersebut untuk mengalami apoptosis, karena mimikri molekuler. Sel
endotel yang terinfeksi VD mampu mengaktivasi komplemen dan menginduksi ekspresi
molekul adhesi seperti ICAM-1. Ekspresi ICAM-1 bersamaan dengan produksi kemokin
meningkatkan adheren sel polimorfonuklear dan sel mononuklear, menyebabkan
peningkatan vasopermeabilitas dan pelepasan trombomodulin, penanda dari kerusakan sel
endotel (Huan-Yao Lei et al., 2008). Diperkirakan bahwa kerusakan pada sel endotel yang
terinfeksi selain diakibatkan oleh efek langsung VD, juga disebabkan oleh mekanisme imun
karena penarikan leukosit, yang kemudian menyebabkan kerusakan struktural. Perubahan
sel endotel pada infeksi VD dapat mengganggu keseimbangan prokoagulan-antikoagulan
(Huan-Yao Lei et al., 2008).
2.10.3 Koagulopati
Sistem koagulasi dapat diaktifkan oleh jalur ekstrinsik dan intrinsik untuk
membentuk trombin yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Sistem fibrinolitik
sebaliknya dapat memecah fibrin menjadi PDF. Sistem fibrinolitik terdiri dari plasminogen,
yang dapat diaktifkan menjadi plasmin oleh beberapa aktivator. Aktivator plasminogen yang
utama adalah tPA. Plasminogen activator inhibitor yang diproduksi oleh trombosit, hepar
dan endotel merupakan inhibitor utama dari tPA. Umumnya, aktivasi koagulasi memicu
aktivasi sekunder dari fibrinolisis yang secara cepat dihentikan oleh pelepasan sejumlah
besar PAI-1.
Studi akhir-akhir ini menemukan dengan jelas bahwa partikel VD berinteraksi
secara erat dengan trombosit, tidak hanya berhubungan dengan permukaan sel, namun juga
menggunakan sel sebagai pejamu replikasi transien. Hal ini menjadi penting, karena
permukaan trombosit yang merupakan tempat perlekatan faktor VIII/IX dan konversi
plasminogen dapat mengalami deregulasi saat perlekatan virus (Folly et al., 2011).
Aktivasi koagulasi pada infeksi dengue dapat dimulai pada berbagai kondisi, mulai
dari aktivasi subklinis, yang ditandai dengan peningkatan penanda laboratorium untuk
trombin dan fibrin, sampai KID berat dengan pembentukan trombus mikrovaskular di
berbagai organ, yang dikorelasikan dengan derajat infeksi dengue. Pada penelitian gabungan
WHO, jumlah trombosit dan kadar fibrinogen menurun berkorelasi dengan beratnya
penyakit, dan PDF didapatkan meningkat sejalan dengan beratnya penyakit (Halstead,
1989). Konsensus antara ahli hematologi menyebutkan bahwa terdapat bukti terjadinya
koagulasi konsumtif ringan-sedang, namun tidak KID. Dari berbagai penelitian didapatkan
aktivasi koagulasi mencapai puncaknya pada hari defervesen. Jalur aktivasi utama dari
kaskade koagulasi pada DBD adalah jalur faktor jaringan. Model dari proses aktivasi
koagulasi terbaru yang telah direvisi adalah kaskade koagulasi yang diinisiasi oleh faktor
jaringan. Setelah pembentukan sejumlah kecil faktor Xa, faktor intrinsik dengan segera
diinhibisi oleh TFPI. Pembentukan trombin berikutnya kemudian bergantung pada jalur
intrinsik yang diaktivasi oleh umpan balik positif yang terdiri dari aktivasi faktor V, VIII,
dan XI, yang diinduksi oleh trombin. Sistem kontak tidak memiliki peran fisiologis dalam
proses koagulasi dalam model ini. Hal ini telah dibuktikan oleh van Gorp et al yang
memperkirakan bahwa pada DBD, terjadi aktivasi faktor XI bersama dengan menguatnya
pembentukan trombin. Dari teori di atas, dapat disimpulkan bahwa pada aktivasi kaskade
koagulasi, beratnya aktivasi jalur intrinsik secara tidak langsung bargantung pada derajat
aktivasi koagulasi. Ditemukannya perubahan pada fungsi hati dan pemanjangan protrombin
time (PT) juga mendukung peranan koagulasi konsumtif pada pasien dengen infeksi dengue
(Jong et al., 2004).
Pada stadium febris, beberapa penelitian telah mendemonstrasikan pemanjangan
ringan dari PT dan aPTT, juga penurunan kadar fibrinogen. Penurunan yang bervariasi dari
beberapa faktor koagulasi, meliputi protrombin, faktor V, VII, VIII, IX, dan X, antitrombin
dan α2-antiplasmin juga telah dilaporkan. Produk degradasi fibrin D-dimer juga dilaporkan
meningkat (Chuansumrit dan Tangnararatchakit, 2006). Kadar yang rendah dari protein C
dan S dilaporkan berhubungan dengan perburukan syok. Peningkatan kadar faktor jaringan,
trombomodulin dan PAI-1 merefleksikan aktivasi endotel, trombosit dan/atau monosit, dan
merupakan respon sekunder dari aktivasi langsung fibrinolisis oleh VD. Abnormalitas
koagulasi ini dikompensasi dengan baik oleh sebagian besar pasien yang tidak mengalami
kolaps sirkulasi.
Penelitian pada kera Asia (rhesus macaque) di Bangkok, Thailand menemukan
bahwa walaupun PT dan aPTT tidak mengalami perubahan, d-dimer, trombin-antitrombin
dan protein S yang menandakan aktivitas koagulasi mengalami peningkatan (Onlamoon et
al., 2010). Penelitian oleh Chuang et al. di Taiwan pada pasien DBD/SSD mendapatkan
peningkatan d-dimer dan pemanjangan aPTT dan PT. Chuang et al. mengajukan teori bahwa
antibodi yang diproduksi terhadap beberapa regio protein VD dapat bereaksi silang dengan
faktor koagulasi. Mimikri antigen ini dan produksi antibodi yang berhubungan dapat
menjelaskan gangguan regulasi jalur koagulasi (Chuang et al., 2011).
Penelitian yang dilakukan di RS Kariadi, Semarang, yang mengobservasi 50 anak
dengan SSD, menemukan bahwa fragmen protrombin dan kompleks trombin-antirombin
terus-menerus tinggi dari saat pasien masuk rumah sakit sampai pulang, menunjukkan
adanya aktivasi koagulasi. Ditemukan juga kadar t-PA, PAPc dan D-dimer yang secara
persisten tinggi, merefleksikan aktivasi sistem fibrinolisis. Didapatkan juga korelasi positif
antara kadar TNF-α dan d-dimer; IL-1β berhubungan secara signifikan dengan t-PA; dan IL1Ra secara signifikan berhubungan dengan fragmen fibrinogen dan kompleks trombinantitrombin. Hal ini mengindikasikan bahwa pada infeksi dengue berat, sitokin berhubungan
secara bermakna dengan penanda aktivasi koagulasi dan fibrinolisis (Suharti et al., 2002).
Khrisnamurti et al. di Bangkok, Thailand meneliti pasien anak-anak dengan infeksi dengue
yang mengalami perdarahan tanpa kolaps sirkulasi, dan menemukan penurunan kadar
fibrinogen, plasminogen dan α2-antiplasmin selama infeksi akut dengan peningkatan
konkomitan kadar fragmen protrombin F1.2 dan d-dimer (Khrisnamurti et al., 2001). Hal
tersebut sejalan dengan penemuan van Gorp et al., yang menemukan aktivasi sistem
fibrinolisis pada pasien SSD yang direfleksikan dengan peningkatan kadar tPA, kompleks
plasmin-antiplasmin dan d-dimer pada hari masuk rumah sakit (Gorp et al., 2002).
Pada fase awal infeksi dengue, proses aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis
tidaklah berjalan seimbang. Didapatkan rasio trombin-antitrombin terhadap plasminantiplasmin meningkat (>1), yang menunjukkan kondisi prokoagulan. Pada kelompok
pasien yang bertahan hidup, kondisi prokoagulan ini dilawan dengan aktivasi sistem protein
C, aktivasi sistem protein S, dan fibrinolisis, yang secara keseluruhan menghasilkan kondisi
antikoagulan, direfleksikan dengan pembalikan rasio trombin-antitrombin terhadap plasmin-
antiplasmin (<1). Pada kelompok pasien yang tidak bertahan hidup, perubahan dari kondisi
prokoagulan ke kondisi antikoagulan semacam ini tidak terjadi. Hal lain yang juga
ditemukan bermakna, kadar PAI terus tinggi selama perjalanan penyakit pada kelompok
yang tidak bertahan hidup, menyumbang kepada kondisi prokoagulan yang terus terjadi
dengan inhibisi relatif dari fibrinolisis. Defisiensi protein C yang didapat pada kelompok
pasien ini juga dapat berkontribusi lebih jauh terhadap peningkatan kondisi prokoagulan dan
oleh karenanya terhadap kejadian KID dan/atau kegagalan multi organ pada pasien infeksi
dengue berat. Penelitian oleh Huan-Yao Lei et al. juga menemukan aktivasi koagulasi
fibrinolisis selama infeksi akut VD dengan aktivasi lebih berat pada DBD/SSD
dibandingkan pada DD. Rasio tPA/PAI-1 juga meningkat dengan pola yang sama (PingChang Lai et al., 2004). Setelah fase konvalesen, peningkatan kadar PAI-1 dan jumlah
trombosit terjadi sejalan dengan penurunan kadar tPA. Pemanjangan aPTT dan rasio
tPA/PAI-1 ditemukan berkorelasi signifikan dengan derajat infeksi dengue. Hanya aPTT
dan tidak PT, yang memanjang pada infeksi VD, menyarankan bahwa terjadi defek pada
jalur intrinsik. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan sintesis faktor tertentu atau
peningkatan konsumsi faktor koagulasi tertentu. Virus dengue dapat menginfeksi hati
dengan peningkatan AST lebih tinggi dari peningkatan ALT. Karena ditemukan hepatitis
ringan pada infeksi dengue, analisis korelasi antara aPTT dan AST/ALT menunjukkan
hubungan positif yang kuat pada pasien DBD. Kelainan fungsi hati dapat menjadi satu hal
yang ikut bertanggung jawab dalam penurunan sintesis faktor spesifik di jalur intrinsik.
Pemanjangan APTT pada pasien DBD yang disebabkan karena defisiensi jalur intrinsik
kemungkinan disebabkan oleh gangguan sintesis dari faktor koagulasi XII di hati (HuanYao Lei et al., 2008). Kondisi hiperfibrinolisis pada stadium akut DBD/SSD disebabkan
karena peningkatan produksi tPA. Ditemukan korelasi yang signifikan antara kadar IL-6
serum dengan tPA pada pasien DBD dan tidak pada pasien DD. Interleukin 6 dapat
mengganggu regulasi sintesis faktor XII, faktor pertama yang menginisiasi jalur intrinsik
(Rachman dan Rinaldi, 2006).
Penelitian yang dilakukan di Vietnam pada anak-anak
dengan infeksi dengue menemukan bahwa APTT memanjang signifikan selama fase febris,
mencapai puncak pada fase kritis dan membaik pada fase konvalesen (Wills et al. 2009).
Penelitian terhadap proses fibrinolisis menunjukkan bahwa bekuan dari pasien
dengue mulai lisis sebelum mencapai maksimumnya. Gambaran bekuan yang didapatkan
dari pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan bahwa jaringan fibrin pasien mengalami
beberapa derajat degradasi dan serabutnya lebih tebal dibandingkan kelompok kontrol
(p<0,05). Penelitian ini nampaknya mengindikasikan bahwa infeksi oleh VD memodifikasi
keseimbangan koagulasi-fibrinolisis ke arah hiperfibrinolisis (Marchi et al., 2009).
Studi kasus-kontrol yang dilakukan di Brazil pada pasien infeksi VD dengan dan
tanpa perdarahan menemukan bahwa fibrinolisis eksesif berhubungan dengan komplikasi
perdarahan pada pasien dengan DD karena ditemukan peningkatan kadar tPA dan d-dimer
(Orsi et al., 2013).
Hampir seluruh kasus berat dengan syok mengalami koagulopati, bermanifestasi
sebagai pemanjangan aPTT. Srichikul melakukan penelitian definitif mengenai pembekuan
intravaskular selama perjalanan DBD dengan mengukur metabolisme fibrinogen, dan
menemukan konsumsi cepat fibrinogen pada 8 dari 12 kasus DBD tanpa syok,
mengindikasikan bahwa syok sendirian tidak menginisiasi koagulasi. Walaupun demikian,
pada kasus-kasus dengan syok konsumsi fibrinogen mencapai angka tertinggi dan waktu
paruh fibrinogen memendek. Koagulopati lebih sering menjadi jelas saat demam turun dan
kebocoran plasma terjadi (Nimmannitya, 1999).
DENGUE
VIRUS
Primary infection
Secondary infection
DV-AB
Complex
Activation
Targeted Cell
-Dendritic cell
Activation
T Cell
Cytolysis
-Macrophage
Complement
(C3a, C5a)
Endothelial Cell
Cytokine
Production
Cytokine
Production
(IL-2,
TNFα,
MMP
(IL-2,
TNFα,
MMP
IL-6,
IFNγ)
Endothelial Cell
Tissue Factor
Coagulation
Pathway
Endothelial Cell
IL-6,
IFNγ)
Endothelial Cell
Plasma Leakage
Thrombin
Fibrinogen
Fibrin
Fibrinolytic
t-PA
D-dimer
Gambar 2.7 Kerangka teori peningkatan D-dimer melalui aktivasi koagulasi
2.11
D-Dimer
D-Dimer merupakan PDF, fragmen protein kecil di dalam darah setelah bekuan
darah didegradasi oleh proses fibrinolisis. Dinamakan demikian karena mengandung 2
fragmen D yang berhubungan silang dari fibrinogen. Pembelahan fibrin oleh plasmin
menghasilkan berbagai produk degradasi yang bervariasi dalam berat molekul, dan
dinamakan X-oligomers. D-Dimer merupakan produk spesifik dari crosslinked fibrin yang
dimediasi oleh faktor XIIIa dan terpapar setelah plasmin mendegradasi crosslinked fibrin,
sehingga dapat dideteksi oleh pemeriksaan berdasar imunologis. Jadi,
D-dimer lebih
spesifik untuk fibrinolisis dibandingkan dengan PDF, karena pembentukannya memerlukan
kerja dari trombin untuk mengaktivasi faktor XIII (Stokol, 2010).
Dalam kondisi normal, fragmen D-dimer tidak terdeteksi dalam plasma (Jong et al.,
2004). Terdapatnya D-dimer dalam darah mengindikasikan aktivasi sistem koagulasifibrinolisis, yang dihasilkan dari destruksi fibrin, dan merefleksikan pembentukan dan lisis
bekuan. (Ohnishi dan Kato, 2002). Pada aktivasi koagulasi, terbentuk kompleks yang
ireversibel antara Antitrombin III dengan faktor koagulasi aktif (serin protease) sehingga
aktivitas AT III menurun. Jadi penurunan AT III disebabkan karena peningkatan konsumsi.
Pada penelitian yang dilakukan di Universitas Indonesia, Jakarta, didapatkan kadar D-Dimer
berkorelasi negatif secara signifikan dengan AT III. Makin berat derajat infeksi dengue,
akan menyebabkan aktivasi koagulasi yang lebih berat dan fibrinolisis. Oleh karena itu, Ddimer akan menjadi semakin banyak (Jong et al., 2004).
Peningkatan pada fase awal demam, mengindikasikan adanya KID dan fibrinolisis
sekunder pada infeksi dengue. Peningkatan kadar D-Dimer yang terjadi pada fase demam
dapat menjadi suatu tanda peringatan akan beratnya infeksi dengue yang terjadi
(Bongsebandhu et al., 2008).
Hasil D-Dimer positif pada pasien infeksi dengue lebih
signifikan sebagai prediktor berat penyakit (Permpalung et al., 2009). Kadar D-dimer
ditemukan lebih tinggi pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien DD, dengan hasil
sensitivitas 90%. Selain itu, D-dimer juga didapatkan berkorelasi positif dengan derajat
infeksi dengue di semua fase penyakit, yaitu fase febril, kritis, dan konvalesens (P-value
<0.05), (Setrkraising et al., 2007). Penelitian yang dilakukan di Bangkok, Thailand oleh
Bongsebandhu et al. menemukan bahwa D-Dimer berkorelasi positif dengan derajat
penyakit dengue dengan perbedaan yang signifikan antara kelompok DD dan kelompok
DBD (p=0,001). Penelitian yang dilakukan di Universitas Indonesia menunjukkan bahwa
makin tinggi aktivasi koagulasi dan fibrinolisis makin tinggi pula kadar D-Dimer (Dharma
et al., 2006).
Pada kondisi pembentukan bekuan lain seperti pada penyakit trombosis vena dalam
(DVT), kadar D-dimer juga meningkat (Wells et al., 2003). Namun, kadar D-dimer yang
meningkat tidak selalu mengindikasikan adanya bekuan , karena beberapa faktor lain dapat
juga meningkatkan kadarnya. Beberapa kondisi pembentukan dan pemecahan fibrin seperti
pada keganasan dan kehamilan, atau kondisi gangguan bersihan fibrin seperti pada penyakit
hati dapat menyebabkan kadar D-dimer meningkat. Pada kehamilan konsentrasi D-dimer
dapat meningkat melebihi ambang batas normal 0,5 mg/L, menyebabkan hasil positif palsu
pada pemeriksaan D-Dimer (Kline et al., 2005). Kadar D-dimer juga ditemukan meningkat
pada penelitian dengan pasien lanjut usia. Didapatkan peningkatan pada pasien di atas usia
60 tahun dan peningkatan lebih tinggi pada kelompok usia di atas 75 tahun. Hal tersebut
diperkirakan karena adanya peningkatan kejadian trombosis arteri dan vena pada lanjut usia
(Rumley et al., 2006 dan Macneil, 2010). Pada orang lanjut usia yang sehat ditemukan
peningkatan kadar D-dimer. Rokok juga diketahui menyebabkan inflamasi, disfungsi
endotel dan gangguan koagulasi-fibrinolisis, dan karenanya, pada perokok seringkali
ditemukan kadar D-dimer yang meningkat (Tapson, 2005 dn Yaeba, 2007). Pada penelitian
yang dilakukan terhadap pasien sirosis hati, didapatkan kadar D-dimer yang meningkat
terutama pada pasien dengan asites. Hal ini memperkirakan bahwa asites menyebabkan
peningkatan aktivitas fibrinolisis (Spadaro et al., 2008).
Penting sekali untuk mendapatkan hasil pemeriksaan D-Dimer dalam hitungan
menit dibandingkan jam, dan sampel dapat menggunakan whole blood dibandingkan harus
menggunakan plasma yang disentrifugasi lebih dahulu. Roche Cardiac reader menggunakan
whole blood yang diheparinisasi, dan waktu antara pengambilan sampel sampai hasil keluar
relatif cepat, kurang lebih 12 menit (Dempfle, 2004). Studi yang dilakukan untuk
mengevaluasi keakuratan dari assay D-Dimer menggunakan CARDIAC D-Dimer assay
dibandingkan dengan alat pengukuran lain seperti STA-LIA dan tes Tina-quant,
mendapatkan hasil bahwa Cardiac D-Dimer assay memiliki sensitivitas 88,6%, spesifisitas
54%, positive predictive value (PPV) 57,4%, dan negative predictive value (NPV) 87,1%.
Hasil yang serupa juga didapatkan dengan pengukuran lainnya (Bucek et al., 2001). Studi
lain membandingkan Cardiac D-Dimer dengan tes VIDAS. Didapatkan area dibawah kuva
ROC 0,89 untuk Cardiac D-Dimer dan 0,88 untuk VIDAS, dengan koefisien korelasi
r=0,91. Sensitivitas dan NPV untuk keduanya adalah 100%, spesifisitas dan PPV serupa
yaitu spesifisitas 50% dan 52%, PPV 57,1% dan 58,2% (Legnani et al., 2003). Pemeriksaan
dengan Roche Cardiac D-Dimer tidak dipengaruhi oleh perbedaan nilai hematokrit (16%
sampai 51%) dan kadar hemoglobin sampai 0,13 mmol/L, biotin sampai 30µg/L, bilirubin
sampai 340 µmol/L, lipid sampai 31,1 mmol/L dan faktor rheumatoid sampai 79 IU/mL
(Dempfle, 2004).
Disimpulkan dari berbagai penelitian tersebut, Cardiac D-Dimer
merupakan assay whole blood yang cepat dengan potensi klinis yang besar (Bucek et al.,
2001 dan Legnani et al., 2003).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Diagnosis infeksi VD ditegakkan dengan menggunakan kriteria WHO tahun 2009
yang membagi derajat infeksi menjadi tiga, yaitu dengue without warning sign, dengue with
warning sign, dan severe dengue; dikonfirmasi dengan serologi dengue positif. Pada infeksi
VD, terjadi produksi dan pelepasan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator
inflamasi tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sistem
koagulasi dan fibrinolisis, yang mengarah pada kondisi hiperfibrinolisis, dengan hasil akhir
dari aktivasi fibrinolisis adalah pembentukan D-dimer sebagai produk degradasi fibrin.
Sehingga semakin berat infeksi VD, semakin banyak mediator inflamasi yang dihasilkan
dan menyebabkan gangguan koagulasi dan fibrinolisis yang dicerminkan dengan
peningkatan kadar d-dimer.
3.1 Kerangka Konsep
Aktivasi koagulasi dan fibrinolisis
Kadar D-dimer
Usia tua
Kehamilan
Perokok
Keganasan
Variabel bebas
Varibel tergantung
akan dieksklusi
Infeksi Virus Dengue
3.3 Hipotesis Penelitian
Kadar D-dimer dalam darah berhubungan dengan derajat infeksi virus dengue.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik yang dilakukan terhadap penderita
infeksi VD yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar (Ruang rawat inap kelas II,
III, IRD, ICU, HCU dan ICCU) mulai dari bulan Agustus 2011-April 2013.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi Penelitian
1. Populasi target penelitian ini adalah pasien dengan infeksi dengue, berusia antara 12
sampai 60 tahun.
2. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien dengan infeksi dengue, berusia 12
sampai 60 tahun yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RS Sanglah, Denpasar
(Ruang rawat inap kelas II, III, IRD, ICU, HCU dan ICCU).
4.3.2 Sampel dan Besar Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi
dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Perkiraan besar sampel minimal untuk penelitian ini
dihitung dengan rumus :


z   z  
n  

0
,
5
ln


1

r

/

1

r




n
2
3
= jumlah sampel
zα = tingkat kesalahan tipe I. Untuk tingkat kemaknaan 5% maka zα = 1,96
zβ = tingkat kesalahan tipe II = 20% maka zβ = 0,84
r
= 0,3 (asumsi peneliti)


1, 96  0 ,84 
n  

 0 , 5 ln 1  0 , 35  / 1  0 , 3 
2
 3
= 84.8 ∞ 85
Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel minimal yang harus dipenuhi sebesar 85
sampel. Cara pemilihan sampel dilakukan dengan cara konsekutif yaitu semua subjek yang
datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah
subjek yang diperlukan terpenuhi.
4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi
-
Penderita infeksi VD yang ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis kerja menurut
WHO tahun 2009 dan dikonfirmasi dengan hasil serologi dengue positif
-
Penderita dirawat di Bagian Penyakit Dalam RS Sanglah Denpasar (ruang rawat
inap kelas II, III, IRD, ICU, HCU dan ICCU).
-
Penderita berusia antara 12-60 tahun
-
Bersedia ikut serta dalam penelitian yang dinyatakan dengan informed consent.
Kriteria Eksklusi
-
Usia tua
-
Kehamilan
-
Perokok
-
Keganasan
-
Probable DVT
-
Sepsis
-
Penyakit hati
-
Obat-obatan
4.4 Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Kadar D-dimer plasma
2. Variabel tergantung : Derajat infeksi virus dengue
4.5 Definisi Operasional Variabel
1. Penderita infeksi virus dengue adalah penderita dengan diagnosis kerja yang
ditegakkan berdasarkan kriteria
menurut WHO tahun 2009 dan serologi (IgG
dan/atau IgM dengue) yang positif.
2. Derajat infeksi virus dengue adalah derajat beratnya infeksi virus dengue
berdasarkan kriteria WHO tahun 2009, dengan derajat infeksi yang paling ringan
dan berturut-turut makin berat adalah dengue without warning sign, dengue with
warning sign, dan severe dengue.
3. Kadar D-dimer adalah kadar D-dimer dalam plasma yang diukur dengan CARDIAC
D-Dimer Assay dengan menggunakan alat CARDIAC reader, dinyatakan dengan
satuan µg/mL; konsentrasi D-dimer di bawah 0,5 µg/ml dikategorikan sebagai
rendah, konsentrasi antara 0,5 - 4µg/ml dikategorikan sebagai sedang, sedangkan
konsentrasi di atas 4µg/ml dikategorikan sebagai tinggi (berdasarkan referensi alat);
diambil saat MRS pada hari demam ke-3, ke-4 atau ke-5.
4. Usia tua adalah penderita berusia di atas 60 tahun, ditetapkan berdasarkan kartu
identitas.
5. Perokok adalah penderita yang merokok lebih sama dengan 20 batang per hari
sampai hari pemeriksaan darah dilakukan.
6. Kehamilan adalah adanya hasil konsepsi dalam rahim, ditetapkan dengan
ditemukannya tanda-tanda fisik kehamilan dan amenore.
7. Keganasan adalah pertumbuhan abnormal dari sel-sel yang memiliki kecenderungan
berproliferasi tidak terkontrol dan bermetastase, yang diketahui dari gejala klinis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan catatan medis.
8. Probable DVT adalah pembentukan bekuan darah di vena dalam umumnya di
tungkai bawah, diketahui dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan diperkuat dengan
Well’s score.
9. Sepsis adalah penderita yang memenuhi kriteria Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) yaitu 2 atau lebih kriteria berikut : temperature tubuh >380C atau
<360C, frekuensi nafas > 20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg, denyut jantung >90
kali permenit, hitung sel darah putih >12.000/ ul, <4000/uL atau ditemukan netrofil
imatur >10%, disertai dengan sumber infeksi yang jelas.
10. Obat-obatan adalah obat-obatan yang mempengaruhi sistem koagulasi dan
fibrinolisis seperti obat kemoterapi, koagulan (Calcium chlorida, calcium glukonas,
vitamin K) dan antikoagulan (oral dan intravena), antiplatelet (aspirin, dypiridamol,
ticlopidin), fibrinolitik (streptokinase, alteplase) dan antifibrinolitik (asam
traneksamat) diketahui dari anamnesa.
11. Penyakit hati kronis adalah proses penyakit hati yang meliputi proses destruksi
progresif dan regenerasi parenkim hati yang mengarah pada fibrosis dan sirosis,
ditetapkan dari adanya gejala dan tanda fisik penyakit hati kronis dan riwayat
penyakit dari catatan medis.
4.6 Bahan Penelitian
1. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik subjek (Rekam Medis)
2. Serum subjek
4.7 Instrumen Penelitian
Alat untuk pemeriksaan laboratorium : disposable syringe 3 cc, tabung darah berisi heparin
sebagai antikoagulan, CARDIAC D-dimer Assay Kit.
4.8 Alur Penelitian
POPULASI
Penderita infeksi dengue yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah
KRITERIA INKLUSI
-
-
Penderita menurut WHO 2009
dan hasil serologi dengue
positif
Dirawat di Bagian Penyakit
Dalam RS Sanglah Denpasar
Berusia antara 12-60 tahun
Bersedia ikut serta dalam
penelitian
KRITERIA EKSKLUSI
-
Usia tua
Kehamilan
Obat
Consecutive sampling
SAMPEL
Penderita infeksi dengue yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah, yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi
Derajat Infeksi Virus
Dengue
Pemeriksaan kadar D-dimer
Analisis
4.9 Prosedur Penelitian
Sebelum penelitian dilakukan, meminta ijin kepada Direktur RSUP Sanglah di
tempat penelitian akan dilaksanakan. Setiap kasus infeksi VD yang memenuhi kriteria
inklusi akan diberikan penjelasan mengenai tujuan dari penelitian. Jika bersedia
diikutsertakan dalam penelitian, penderita diminta menandatangani informed consent,
selanjutnya dicatat identitas, data riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang
diperlukan. Dilakukan anamnesis untuk menyingkirkan faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi kadar D-dimer. Sampel akan diambil darahnya sebanyak 3 cc. Di
laboratorium darah dimasukkan ke CARDIAC D-dimer Assay yang akan memisahkan
eritrosit dari plasma. D-dimer dalam plasma dikombinasikan dengan antibodi anti D-dimer
yang telah dibotilinisasi dan antibodi anti D-dimer yang telah dikonjugasikan dengan
partikel emas untuk membentuk sandwich. Sandwich ini dikombinasikan dengan poli(streptavidin) yang diimobilisasi pada garis yang melintas pada kartu bacaan, menghasilkan
garis ungu kemerahan. Kecepatan dan intensitas pembentukan warna berhubungan dengan
kadar D-dimer di dalam darah.
4.10 Analisis Data
Data yang diperoleh diproses dengan program SPSS untuk Windows.
1. Data frekuensi dan rerata dianalisis dengan statistik deskriptif.
2. Data kemudian diuji dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov.
3. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel bebas
kategorikal (kadar D-Dimer) dan variabel tergantung kategorikal (derajat
infeksi VD).
4. Uji regresi multinominal dilakukan untuk menguji variabel bebas kategorikal
(kadar D-Dimer) dan variabel tergantung kategorikal (derajat infeksi virus
dengue), dengan lebih dari 2 kategori.
5. Besarnya efek antar variabel bebas dan tergantung dinyatakan dengan nilai
presisi interval kepercayaan 95%. Tingkat kemaknaan statistik digunakan nilai
p<0,05.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel
Penelitian ini melibatkan 89 penderita infeksi virus dengue sebagai sampel.
Penelitian dilakukan dengan Rancangan Studi Potong Lintang Analitik, pada penderita
infeksi VD yang dirawat di bagian penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar. Dari 89
sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini, didapatkan rerata umur 26,6 ± 10,05 tahun,
dengan umur terendah 12 tahun dan tertinggi 59 tahun. Dari 89 sampel tersebut, frekuensi
(%) jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu 58 orang (65,2%), dan sisanya adalah
perempuan sebanyak 31 orang (34,8%). Lama demam saat masuk rumah sakit terbanyak
didapatkan pada hari keempat, yaitu sebanyak 40 orang (44,9%), dengan rentang 3-5 hari.
Saat masuk rumah sakit didapatkan rerata Hemoglobin (Hb) 15,5 ± 2,1, rerata
Hematokrit (Ht) 45,0 ± 6,2, dengan rerata hematokrit tertinggi didapatkan pada hari panas
ke-5 yaitu 46,5 ± 6,1. Rerata trombosit 66,1 ± 40,7, dan rerata leukosit 4,1. Berdasarkan uji
serologis, didapatkan 67 orang (75,3%) dengan hasil serologi IgG positif, dan 46 orang
(51,7%) dengan hasil IgM positif, sedangkan 56 orang (62,9%) dengan IgG dan IgM yang
positif.
5.2 Derajat Infeksi Virus Dengue
Menurut beratnya infeksi VD, didapatkan dengue without warning sign sebanyak 59
orang (66,3%), dengue with warning sign 24 orang (27%), dan severe dengue sebanyak 6
orang (6,7%).
Tabel 5.1 Karakteristik penderita infeksi virus dengue (N=89)
Variabel
Jumlah
Jenis kelamin n (%)
Laki-laki
58 (65,2%)
Perempuan
31 (34,8%)
Usia (mean ± SD)
26,6 ± 10,05
Derajat infeksi virus dengue n (%)
Dengue without warning sign
59 (66,3%)
Dengue with warning sign
24 (27%)
Severe dengue
6 (6,7%)
Hari panas n (%)
3
14 (15,7%)
4
40 (44,9%)
5
35 (39,3%)
D-dimer (mean ± SD)
0,99 ± 0,93
Panas hari ke-3
0,97 ± 0,99
Panas hari ke-4
1,14 ± 0,98
Panas hari ke-5
0,83 ± 0,9
Klasifikasi d-dimer n (%)
Rendah
31 (34,8%)
Sedang
53 (59,6%)
Tinggi
5 (5,6%)
Serologi dengue n (%)
IgM positif
56 (62,9%)
IgG positif
67 (75,3%)
IgM dan IgG positif
46 (51,7%)
Hb saat masuk (mean ± SD)
15,5 ± 2,1
Ht saat masuk (mean ± SD)
45,0 ± 6,2
Panas hari ke-3
43,5 ± 7,1
Panas hari ke-4
44,3 ± 5,9
Panas hari ke-5
46,5 ± 6,1
66,1 ± 40,7
Trombosit saat masuk (mean ± SD)
4,1
Leukosit saat masuk (median)
70
60
Dengue without
warning sign
50
40
dengue with
warning sign
30
Severe dengue
20
10
0
Derajat Infeksi VD
Gambar 5.1 Derajat Infeksi Virus Dengue
5.3 Kadar D-dimer Serum
Rerata kadar d-dimer dari seluruh sampel adalah sebesar 0,99 ± 0,93, dengan nilai
terendah adalah 0,1 µg/ml dan nilai tertinggi adalah >4 µg/ml. Berdasarkan klasifikasinya
didapatkan d-dimer yang rendah (<0,5 µg/ml) sebanyak 31 orang (34,8%), d-dimer yang
sedang (0,5 - 4 µg/ml) sebanyak 53 orang (59,6%), dan d-dimer yang tinggi (>4 µg/ml)
didapatkan pada 5 orang (5,6%).
70
60
50
Rendah
40
Sedang
30
Tinggi
20
10
0
Klasifikasi D-dimer
Gambar 5.2 Klasifikasi D-dimer
Pada kelompok dengue without warning sign, didapatkan 25 orang (80,6%) dengan
d-dimer rendah, 33 orang (62,3%) dengan d-dimer sedang, dan 1 orang (20%) dengan ddimer tinggi. Pada kelompok dengue with warning sign, didapatkan 5 orang (16,1%) dengan
d-dimer rendah, 17 orang (32,1%) dengan d-dimer sedang, dan 2 orang (40%) dengan ddimer tinggi. Sedangkan pada kelompok severe dengue, didapatkan 1 orang (3,2%) dengan
d-dimer rendah, 3 orang (5,7%) dengan d-dimer sedang, dan 2 orang (40%) dengan d-dimer
tinggi.
Tabel 5.2 Karakteristik kategori d-dimer dan kategori derajat infeksi virus dengue
(N=89)
Dengue without
warning sign
Dengue
with
warning sign
Severe dengue
5.5 Normalitas Data
Rendah
25 (80,6)
Kadar d-dimer n (%)
Sedang
Tinggi
33 (62,3)
1 (20)
5 (16,1)
17 (32,1)
2 (40)
1 (3,2)
3 (5,7)
2 (40)
Sebelum dilakukan analisis korelasi dan regresi, data hasil penelitian, yaitu data
derajat infeksi VD dan d-dimer diuji normalitasnya menggunakan uji normalitas
Kolmogorov Smirnov. Dengan uji normalitas didapatkan data derajat infeksi VD memiliki
distribusi yang normal, sedangkan data d-dimer memiliki distribusi yang tidak normal
dengan nilai p<0,05. Oleh karena itu perlu dilakukan transformasi data untuk menormalkan
distribusi kadar d-dimer serum.
5.6 Analisis Data
5.6.1 Hubungan Kadar D-dimer dengan Derajat Infeksi Virus Dengue
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel kategorik (derajat
infeksi VD) dan variabel kategorik (kadar d-dimer) oleh karena itu dilakukan uji korelasi
Spearman. Hasil analisis disajikan dalam lampiran 6. Berdasarkan hasil uji analisis
Spearman, didapatkan nilai signifikansi 0,007 dengan nilai korelasi sebesar 0,284.
Tabel 5.3 Korelasi antara d-dimer dan derajat infeksi dengue
d-dimer
r
0,284
p
0,007
5.6.2 Analisis Regresi Multinominal antara Kadar D-dimer dengan Derajat Infeksi
Dengue
Setelah dilakukan analisis bivariat, maka dilakukan analisis regresi untuk mencari
hubungan yang lebih kuat antara variabel bebas (kadar d-dimer) dan variabel tergantung
(derajat infeksi dengue). Oleh karena variabel tergantung adalah variabel kategorik, dengan
kategori lebih dari 2 kelompok, maka jenis uji yang dipakai adalah uji regresi multinominal.
Uji kelayakan model dilakukan untuk mengetahui apakah model regresi yang digunakan
sesuai dengan data. Didapatkan angka signifikansi 0,037 yang berarti model dapat
digunakan untuk data penelitian ini. Pada analisis regresi multinominal ini, kategori d-dimer
tinggi digunakan sebagai kategori pembanding. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
untuk kategori d-dimer rendah, pada kelompok dengue without warning sign didapatkan
OR=50 dengan p=0,014 (95% CI 2,2-1136,4). Pada kategori d-dimer sedang, untuk
kelompok dengue without warning sign dibandingkan dengan kelompok severe dengue
didapatkan OR=22 dengan p=0,024 (95% CI 1,5-319,5). Pada kelompok dengue with
warning sign, untuk kategori d-dimer rendah didapatkan p=0,27 (95% CI 0,27-91,5), dan
untuk kategori d-dimer sedang didapatkan p=0,14 (95% CI 0.56-57,2).
Tabel 5.3 Hasil analisis regresi multinominal antara kadar d-dimer (variabel bebas)
dan derajat infeksi dengue (variabel tergantung)
Derajat infeksi
VD
Kategori ddimer
Dengue without Rendah
warning sign
Sedang
Tinggi
Dengue
with Rendah
warning sign
Sedang
Tinggi
B
Sig.
Exp (B)
95% Confidence
Interval for Exp(B)
Lower
Upper
bound
bound
2,2
1136,48
3,91
0,014
50,0
3,09
0,024
22,0
1,5
319.47
1,61
0,27
5,0
0,27
91,51
1,73
0,14
5,6
0,56
57,23
Ref (1)
Ref (1)
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Sebanyak 89 pasien rawat inap dengan infeksi VD dilibatkan dalam penelitian ini
dengan rentang umur 12 sampai 59 tahun dan jenis kelamin terbanyak laki-laki. Menurut
beratnya infeksi VD, derajat infeksi dibedakan menjadi 3 berdasarkan kriteria WHO tahun
2009. Klasifikasi dengue berdasarkan kriteria WHO 2009 diajukan karena perubahan pada
epidemiologi dengue menyebabkan timbulnya masalah dengan penerapan klasifikasi WHO
sbelumnya. Kriteria WHO tahun 1997 dianggap sulit diaplikasikan secara klinis, ditambah
lagi dengan meningkatnya kasus-kasus dengue berat secara klinis yang tidak memenuhi
kriteria secara tegas. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan klasifikasi WHO tahun
2009, yang dianggap lebih dapat mewakili penerapan klinis infeksi dengue. Pada penelitian
ini didapatkan dengue without warning sign sebanyak 59 orang (66,3%), dengue with
warning sign 24 orang (27%), dan severe dengue hanya didapatkan sebanyak 6 orang
(6,7%).
Pada penelitian ini, sampel d-dimer diambil pada hari panas ke-tiga, empat atau
lima, sesuai dengan hipotesis bahwa d-dimer pada infeksi dengue akan meningkat dengan
kadar tertinggi pada saat kebocoran plasma mencapai puncaknya. Penelitian oleh
Bongsebandhu di Thailand tahun 2001 membuktikan hal tersebut dengan mendapatkan
peningkatan d-dimer pada fase febril infeksi dengue, yang merupakan bukti adanya
peningkatan fibrinólisis pada fase awal infeksi dengue. Penelitian oleh Chuansumrit et al di
Thailand tahun 2010 memperkuat hipótesis tersebut dengan mendapatkan hasil penelitian
bahwa aktivitas koagulasi tertinggi terjadi pada 1 hari sebelum, pada hari deverfesen dan 1
hari setelah deverfesen, walaupun pada penelitian tersebut, aktivasi koagulasi dicerminkan
dengan pemanjangan aPTT, PT dan TT, dan tidak dilakukan pengukuran d-dimer.
Dari hasil pengukuran didapatkan d-dimer yang rendah sebanyak 31 orang (34,8%),
d-dimer sedang 53 orang (59,6%), dan d-dimer yang tinggi didapatkan pada 5 orang (5,6%).
Rerata d-dimer tertinggi ditemukan pada saat panas hari-empat, sesuai dengan teori
patogenesis virus dengue. Pada ketiga derajat infeksi dengue, kategori d-dimer sedang
(antara 0,5 sampai 4 µg/ml) didapatkan sebagai kategori yang paling banyak ditemukan.
Penelitian oleh Setrkraising et al di Bangkok, Thailand tahun 2007 yang
membandingkan kadar d-dimer pada pasien DD dan DBD, melibatkan 44 pasien dengan
rerata umur 9,68 tahun, dengan mayoritas subjek adalah perempuan. Demam berdarah
dengue sebanyak 70,7% kasus, dengan sebagian besar kasus DBD derajat I dan II. Pada
penelitian tersebut d-dimer dikategorikan sebagai negatif, +1 dan +2 berdasarkan hasil
aglutinasi yang ditunjukkan oleh alat, dan didapatkan kadar d-dimer yang signifikan lebih
tinggi pada pasien DBD dibandingkan pasien DD (p <0,01). Penelitian lain yang dilakukan
di Bangkok, Thailand oleh Krishnamurti et al. melibatkan 68 sampel dengan mayoritas (47
sampel) DBD, dengan rentang umur sampel 2-15 tahun membandingkan kadar d-dimer pada
DD, DBD derajat I, II, dan III. Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan klasifikasi
dengue berdasarkan kriteria WHO tahun 2009, kedua penelitian tersebut menggunakan
klasifikasi dengue berdasarkan kriteria WHO tahun 1997 dan tidak melibatkan sampel
dengan infeksi dengue berat. Subjek penelitian pada penelitian sebelumnya adalah anakanak dan belum ada penelitian yang melibatkan subjek dewasa. Kategori d-dimer yang
digunakan juga berbeda, berdasarkan perbedaan alat yang digunakan.
6.2 Hubungan antara Kadar D-dimer dengan Derajat Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue menyebabkan berbagai perubahan pada sistem hemostasis
tubuh melalui badai sitokin yang menyebabkan disfungsi sel endotel dan menginduksi
koagulopati ke arah hiperfibrinolisis. Walaupun demikian, beberapa penelitian sebelumnya
mendapatkan hasil yang bervariasi mengenai penanda koagulasi dan fibrinólisis pada derajat
infeksi dengue. Lebih jauh lagi, belum ada studi di Indonesia yang meneliti hubungan
langsung antara d-dimer sebagai penanda fibrinolisis dengan berbagai derajat infeksi VD.
Untuk melihat hubungan antara kadar d-dimer dengan derajat infeksi VD dilakukan
analisis bivariat dengan uji korelasi Spearman. Didapatkan korelasi yang secara statistik
bermakna antara kadar d-dimer dengan derajat infeksi dengue, dengan kekuatan korelasi
yang positif lemah. Hasil tersebut menunjukkan adanya hubungan antara kadar d-dimer
dengan derajat infeksi dengue, yaitu jika kadar d-dimer tinggi maka derajat infeksi dengue
berat. Hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian gabungan WHO yang dipublikasikan
oleh Halstead bahwa PDF didapatkan meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Satu
studi yang membandingkan kadar d-dimer pada DD dengan DBD di Bangkok, Thailand
menunjukkan d-dimer yang signifikan lebih tinggi pada kelompok DBD dengan p-value
<0,01 dibndingkan dengan d-dimer pada kelompok DD. Beberapa penelitian lain yang
dilakukan di Bangkok, Thailand menemukan korelasi antara sitokin proinflamasi (IL-6,
TNF-a) dengan tPA dan karenanya menegaskan adanya aktivasi koagulasi dan fibrinolisis
pada infeksi dengue. Dengan mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya dapat
diperkirakan bahwa d-dimer sebagai penanda fibrinolisis akan meningkat kadarnya sejalan
dengan peningkatan derajat infeksi dengue.
Analisis regresi multinominal dilakukan untuk mencari hubungan lebih kuat antara
kadar d-dimer dengan derajat infeksi VD. Hasil dari analisis regresi multinominal
menunjukkan bahwa untuk kategori d-dimer rendah pada kelompok dengue without warning
sign, didapatkan OR=50, yang berarti d-dimer rendah memiliki kecenderungan 50 kali lipat
untuk menjadi dengue without warning sign dibandingkan dengan severe dengue. Demikian
pula untuk kategori d-dimer sedang pada kelompok dengue without warning sign,
didapatkan OR=22, yang berarti d-dimer sedang memiliki kecenderungan 22 kali lipat untuk
menjadi dengue without warning sign dibandingkan severe dengue. Kedua kategori d-dimer
tersebut (rendah dan sedang) secara statistik berbeda bermakna antara kelompok derajat
infeksi VD yang ringan (dengue without warning sign) dengan derajat infeksi VD yang
berat (severe dengue). Didapatkan kecenderungan 5 kali lipat untuk d-dimer rendah dan
sedang untuk menjadi dengue with warning sign, walaupun hasil yang didapatkan secara
statistik tidak bermakna. Apabila kadar d-dimer rendah, dalam hal ini dibawah 0,5 µg/ml
maka dapat diasumsikan bahwa infeksi dengue yang terjadi adalah ringan (tanpa warning
sign). Apabila didapatkan kadar d-dimer yang sedang (antara 0,5-4 µg/ml) kemungkinan
infeksi dengue yang terjadi adalah ringan (tanpa warning sign) atau sedang (dengan warning
sign). Kadar d-dimer rendah dan sedang memiliki kecenderungan berada pada kelompok
infeksi dengue sedang (with warning sign) dibandingkan dengan kelompok infeksi dengue
berat (severe dengue), walaupun tidak signifikan secara statistik.
Hasil yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang diakukan
oleh Bongsebandhu et al di Thailand pada tahun 2008, yang mendapatkan bahwa pada hari
MRS, d-dimer positif pada 31,5% dari subjek yang pada akhirnya didiagnosis dengan DD
(infeksi dengue yang ringan) dan 68,5% dari subjek yang pada akhirnya didiagnosis dengan
DBD (infeksi dengue yang lebih berat). Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa
munculnya d-dimer secara signifikan berhubungan dengan derajat beratnya infeksi dengue.
Sehingga dapat diperkirakan bahwa pada infeksi dengue yang berat akan didapatkan kadar
d-dimer yang tinggi. Hasil pada penelitian ini juga memperkuat penelitian sebelumnya oleh
Setrkraising et al di Thailad tahun 2007, yang mendapatkan adanya korelasi antara d-dimer
degan derajat infeksi dengue di semua fase.
Hasil yang bermakna pada kelompok dengue without warning sign dibandingkan
dengan kelompok severe dengue dapat dijelaskan dari besarnya perbedaan aktivasi
koagulasi dan fibrinolisis yang terjadi pada kedua kelompok tersebut. Pada infeksi VD yang
berat, terjadi overproduksi sitokin terutama TNF-α dan IL-6 yang menginduksi ekspresi
faktor jaringan dan memulai kaskade koagulasi melalui jalur ekstrinsik. Sehingga pada
infeksi VD yang berat, terjadi inflamasi yang berat, yang mengarah pada disfungsi endotel
dan aktivasi koagulasi sistemik dan fibrinolisis yang lebih berat dibandingkan dengan
infeksi VD yang ringan. Hal tersebut juga dibuktikan dalam penelitian di RS Kariadi,
Semarang oleh Suharti et al tahun 2002, yang mendapatkan korelasi positif antara kadar
TNF-α dengan D-dimer, kadar IL-1β dengan t-PA, dan kadar IL-1Ra dengan fragmen
fibrinogen dan kompleks trombin-antitrombin; mengindikasikan bahwa pada infeksi dengue
berat, sitokin berhubungan secara bermakna dengan penanda aktivasi koagulasi dan
fibrinolisis. Ditemukan juga korelasi yang signifikan antara kadar IL-6 dengan tPA sebagai
salah satu penanda fibrinolisis pada pasien-pasien DBD dan tidak pada pasien DD.
Penelitian oleh Gorp et al tahun 2002, dan penelitian oleh Huan Yao-Lei et al tahun 2008
memperkuat asumsi tersebut, dengan didapatkannya kadar d-dimer yang persisten tinggi
pada pasien-pasien SSD, mengindikasikan adanya aktivasi koagulasi-fibrinolisis yang tinggi
pada pasien dengan infeksi SSD yang berat. Mekanisme lain yang berperan pada beratnya
derajat infeksi VD adalah kebocoran plasma. Penelitian yang dilakukan oleh Srichiakul et al
menemukan bahwa hampir seluruh kasus infeksi VD berat dengan syok mengalami
koagulopati dengan konsumsi fibrinogen tertinggi dan waktu paruh fibrinogen yang pendek
selama fase syok, mencerminkan kondisi hiperfibrinolisis pada infeksi VD berat.
Berdasarkan data-data diatas, sejalan dengan hasil yang didapatkan pada penelitian
ini, dapat diasumsikan bahwa inflamasi dan kebocoran plasma yang lebih berat pada infeksi
VD berat menyebabkan aktivasi koagulasi-fibrinolisis yang lebih berat dan karenanya
didapatkan kadar d-dimer lebih tinggi yang berbeda bermakna dengan kadar d-dimer pada
infeksi VD yang ringan. Sedangkan hasil yang tidak bermakna antara kelompok dengue
with warning sign dengan severe dengue mungkin dapat dijelaskan karena proses koagulasi
dan fibrinolisis yang terjadi pada dua kelompok tersebut tidak berbeda.
Hasil analisis regresi diatas dapat mencerminkan adanya keterlibatan proses
koagulasi dan fibrinolisis pada infeksi virus dengue. Hasil yang didapatkan dalam penelitian
ini mengindikasikan adanya hubungan kausal-efek antara kadar d-dimer dengan beratnya
infeksi dengue. Apabila didapatkan kadar d-dimer yang rendah pada infeksi dengue,
kemungkinan cenderung mengalami infeksi dengue yang ringan (dalam klasifikasi WHO
2009 adalah dengue without warning sign) sedangkan apabila didapatkan kadar d-dimer
yang tinggi yaitu di atas 4 µg/ml, dapat diperkirakan bahwa derajat infeksi dengue yang
terjadi akan menjadi berat.
Perbedaan yang tidak bermakna antara kadar d-dimer pada dengue with warning
sign dengan severe dengue menunjukkan bahwa pada kedua derajat tersebut, aktivasi
koagulasi tidak berbeda bermakna, oleh karena itu dengan adanya warning sign pada infeksi
dengue, dapat dianggap sama dengan severe dengue. Sesuai dengan rekomendasi dari WHO
tahun 2009, adanya warning sign merupakan tanda peringatan bahwa infeksi berpotensi
menjadi berat, sehingga apabila ditemukan adanya salah satu warning sign pada pasien
dengan infeksi dengue antara lain nyeri perut, muntah-muntah yang persisten, akumulasi
cairan secara klinis, perdarahan mukosa, lemas atau gelisah, hepatomegali >2 cm, atau
peningkatan hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat dari trombosit, dibutuhkan
observasi yang ketat dan intervensi medis. Penelitian ini mendapatkan bahwa warning sign
pada infeksi dengue merupakan hal yang penting untuk dikenali dan diantisipasi karena
potensinya untuk menjadi infeksi berat. Walaupun secara klinis belum terlihat manifestasi
infeksi berat yang nyata, dengan adanya warning sign ditunjang dengan pemeriksan d-dimer
dapat merupakan salah satu indikator bahwa infeksi akan menjadi berat.
6.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi potong lintang, dengan pengamatan hanya dilakukan
satu kali, sehingga tidak dapat diketahui perubahan kadar d-dimer seiring dengan perjalanan
proses infeksi dengue, dan tidak dapat diketahui hubungan sebab akibat antara kadar DDimer dengan derajat infeksi VD.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kadar D-dimer dalam darah, namun
beberapa faktor yang tidak bisa dievaluasi dieksklusi dalam penentuan sampel dan beberapa
faktor lain tidak diperiksa karena alasan teknis dan biaya.
Selain itu parameter laboratorium lain yang terlibat dalam proses gangguan
hemostasis pada infeksi VD, kadar sitokin sebagai penanda inflamasi, maupun parameter
laboratorium penanda kebocoran plasma yang ikut menyumbang dalam beratnya derajat
infeksi VD tidak diperiksa, sehingga tidak dapat diketahui faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi derajat infeksi VD.
Hubungan positif lemah yang didapatkan dalam penelitian ini dibandingkan dengan
hubungan yang kuat pada penelitian-penelitian terdahulu, mungkin disebabkan oleh alat
pemeriksaan d-dimer yang dipakai bersifat semikuantitatif, yaitu angka d-dimer di atas 4
tidak didefinisikan dengan angka pasti, sehingga tidak dapat digambarkan besarnya aktivasi
koagulasi yang terjadi. Pengambilan sampel yang tidak lancar, yang disebabkan oleh
ketiadaan reagen d-dimer pada beberapa periode waktu penelitian juga dapat menyebabkan
hasil yang didapatkan lemah.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
Didapatkan hubungan signifikan dengan korelasi positif lemah antara kadar d-dimer dan
derajat infeksi virus dengue.
7.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian prospektif lebih lanjut, dengan memeriksa kadar d-dimer
secara serial agar dapat diketahui lebih jelas pada hari ke-berapa atau pada fase infeksi yang
mana d-dimer mencapai kadar tertinggi pada perjalanan infeksi virus dengue.
Untuk dapat memperkuat d-dimer sebagai prediktor untuk perburukan derajat
infeksi VD, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis d-dimer bersama
parameter laboratorium lain, seperti aPTT dan trombosit sebagai penanda gangguan
hemostasis, juga hematokrit, natrium dan albumin sebagai penanda kebocoran plasma.
Diharapkan perburukan infeksi dapat diantisipasi lebih awal bahkan pada pasien-pasien
yang belum mengalami perdarahan ataupun kebocoran plasma yang nyata secara klinis.
DAFTAR PUSTAKA
Auyeung TW, Que TL, Lan K, Ng HL, Szeto ML, et al. 2003. The first patient with
locally acquired dengue fever in Hongkong. Hong Kong Med J 9(2): 127-129.
Azizan, Azliyati. 2008. Dengue Hemorrhagic Fever and Hemostasis. (cited 2010 Apr 14)
Available
from
URL:
http://health.usf.edu/publichealth/gh/aazizan/
Dengue+Hemorrhagic+Fever.htm
Bongsebandhu-phubhakdi C., Hemungkorn M., Tsiyakorn U., Tsiyakorn C. 2008. Risk
factors influencing severity in pediatric dengue infection. Asian Biomedicine 2:409-413.
Bucek R., Quehenberger P., Feliks I., Handler S., Reiter M., Minar E. 2001. Results of a
new rapid d-dimer assay (cardiac d-dimer) in the diagnosis of deep vein thrombosis.
Thrombosis research 103(1):17-23.
Chuang YC, Lei HY, Lin YS, Liu HS, Wu HL, Yeh TM. 2011. Dengue Virus-Induced
Autoantibodies Bind to Plasminogen and Enhance Its Activation. The Journal of
Immunology. 187: 6483-6490.
Chuansumrit A., Puripokai C., Butthep P., Wongtiraporn W., Sasanakul W.,
Tangnararatchakit K., et al. 2010. Laboratory predictors of dengue shock syndrome during
the febrile stage. Southeast Asian J Trop Med Public Health 41(2): 326-332.
Chuansumrit A., Tangnararatchakit K. 2006. Pathophysiology and management of dengue
hemorrhagic fever. Journal Compilation: Transfusion alternatives in transfusion medicine
p:3-11.
(cited
2010
Apr
14)
Available
from
URL:
http://www.ingentaconnect.com/content/bpl/tatm/2006/00000008/A00101s1/art00002
Cunha RV, Oliveira EC. 2012. Hematological and Biochemical Findings in Patients with
Dengue Fever: a Current Issue. Rev Bras Hematol Hemoter. 34(2): 73-79.
Dempfle, Carl-Erik. 2004. Rapid quantitative POC assay for d-dimer in whole blood. (cited
2010 Apr 14) Available from URL: http://www.cli-online.com/rapid-quantitative-pocassay-for-d-dimer-in-whole-blood.pdf
Dharma R., Hadinegoro SR., Priatni I. 2006. Disfungsi Endotel pada demam berdarah
dengue. Makara Kesehatan 1:17-23.
Esmon, Charles. 2005. The interaction between inflammation and coagulation. British
Journal of Haematology 131:417-430.
Folly B., Weffort-Santos A., Fathman CG, Soares L. 2011. Dengue-2 Structural Proteins
Associate with Human Proteins to Produce a Coagulation and Innate Immune Response
Biased Interactome. BMC Infectious Disease 11: 34.
Gorp E., Setiati T., Mairuhu A., Suharti C., Cate H., Dolmans W., Van der Meer J., et
al. 2002. Impaired Fibrinolysis in The Pathogenesis of Dengue Hemorrhagic Fever. Journal
of Medical Virology 67:549-554.
Halstead, Scott B. 1989. Antibody, macrophages, dengue virus infection, shock and
hemorrhage: a pathogenetic cascade. Reviews of infectious disease 11 (Suppl.4): S830-S839.
Hemungkorn M, Thisyakorn U, Thisyakorn C. 2007. Dengue infection : A growing global
health threat. Bioscience Trends 1(2):90-96.
Huan-Yao L., Huang K., Lin Y., Yeh T., Liu H., Liu C. 2008. Immunopathogenesis of
dengue hemorrhagic fever. American Journal of Infectious Disease 4(1):1-9.
Jong J.B., Pohan H., Zulkarnain I., Tambunan K., Panggabean M., Setiabudy R., et al.
2004. The Correlation Betwwen Coagulation Test and Albumin with Antithrombin III in
Dengue Hemorrhagic Fever. Acta Med. Indones-Indones J. Intern. Med. Apr-Jun 36:57-61.
Juffrie M., Meer GM., Hack HE., Haasnoot K., Sutaryo, Veerman AJ., et al. 2000.
Inflammatory Mediators in Dengue Virus Infection in Children: Interleukin-8 and Its
Relationship to Neutrophil Degranulation. Infection and Immunity 68(2): 702-707.
Kline J., Williams G., Hernandez-Nino J. 2005. D-Dimer concentrations in normal
pregnancy: new diagnostic thresholds are needed. Clinical Chemistry 51: 825-829.
Krishnamurti C., Kalayanarooj S., Cutting M., Peat R., Rothwell S., Reid T., et al. 2001.
Mechanisms of Hemorrhage in dengue without circulatory collapse. Am. J. Trop. Med. Hyg.
65:840-847.
Legnani C., Fariselli S., Cini M., Oca G., Abate C., Palareti G. 2003. A new rapid
bedside assay for quantitative testing of d-dimer (cardiac d-dimer) in the diagnostic work-up
for deep vein thrombosis. Thromb Res 111(3):149-53.
Levi M., Van der Poll T., Buller H. 2004. Bidirectional relation between inflammation and
coagulation. Circulation 109:2698-2704.
Macneil, Jane Salodof. 2008. D-dimer tests not predictive of VTE in elderly. (cited 2010 Jun
19)
Available
from
URL:
http://findarticles.com/p/articles/
mi_hb4365/is_10.../ai_n29443634.
Maldonado, Norman. 2010. Dengue Hemorrhagic fever. International Society of
Hematology and the Interamerican Division Newsletter. p.5.
Marchi R., Nagaswami C., Weisel J. 2009. Fibrin formation and lysis studies in Dengue
Virus infection. Blood Coagulation & Fibrinolysis 20:575-582.
Martina B., Koraka P., Osterhaus A. 2009. Dengue Virus Pathogenesis: an Integrated View.
Clinical Microbiology Reviews 22(4): 564-581.
Muhadir, Andi. 2013. Epidemiology of Dengue in Indonesia. (cited 2013 Nov 10). Available
from
URL:
http://www.denguevaccines.org/sites/
default/files/files/
Day%201_5_6_1_Indonesia_AMuhadir.pdf
Nimmannitya, Suchitra. 1999. Dengue Hemorrhagic Fever: Disorder of Hemostasis. (cited
2010 Apr 19). Available from URL: http:// www. ishapd. org/1999/50.pdf.
Ohnishi K., Kato Y. 2002. Circulating D-dimer and thrombomodulin levels in acute
febrile phase of measles. J Infect. 45(3):180-3.
Onlamoon N., Noisakran S., Hsiao H., Duncan A., Villinger F., Ansari A., et al. 2010.
Dengue virus–induced hemorrhage in a nonhuman primate model. Blood 115:1823-1834.
Orsi F., Angerami R., Mazetto B., Quaino S., Santiago-Bassora F., Castro V., et al. 2013.
Reduced Thrombin Formation and Ecessive Fibrinolysis are Associated with Bleeding
Complications in Patients with Dengue Fever: aCase-control Study Comparing Dengue
Fever Patients with and without Bleeding Manifestations. BMC Infectious Diseases 13: 350.
Permpalung N., Pitisuttithum P., Torvorapanit P., Kittithamsvongs P., Thisyakorn U.
2009. Initial fluid resuscitation for children with dengue shock syndrome : a systematic
review. Asian Biomedicine 3(6): 579-588.
Ping-Chang ., Lee S., Kao C., Chen Y., Huang C., et al. 2004. Characteristic of a dengue
hemorrhagic fever outbreak in 2001 in Kaohsiung. J Microbiol Immunol Infect 37:266-270.
Rachman A., Rinaldi I. 2006. Coagulopathy in Dengue Infection and The Role of
Interleukin-6.
(cited
2013
Okt
19).
Available
from
URL:
http://www.imaactamedica.org/archives/2006/16799214.pdf
Rothman, A., MD. 2010. Epidemiology of dengue virus infection. (cited 2010 Okt
19). Available from URL: http://www.uptodate.com/contents/epidemiology-ofdengue-virus-infections.
Rumley A. Emberso JR, Wannamethee SG, Lennon L, Whincup PH, Lowe GD. 2006.
Effects of older age on fibrin D-dimer, C-reactive protein, and other hemostatic and
inflammatory variables in men aged 60–79 years. Journal of Trombosis and Haemostasis, 4:
982–987.
Sai VP, Dev B., Krishnan R. 2005. Role of Ultrasound in Dengue Fever, The British
Journal of Radiology 78: 418-418
Setrkraising K., Bongsebandhu-phubhakdi C., Voraphani N., Pancharoen C., Tsiyakorn
U., Tsiyakorn C. 2007. D-dimer as an indicator of Dengue Severity. Asian Biomedicine 1:
53-57.
Soegijanto S. 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue. pp 1-15.
(cited 2010 Okt 19). Available from URL : http://www. pediatrik.com.
Spadaro A., Tortorella V., Morace C., Fortiguerra A., Composto P., Alibrandi A., et al.
2008. High circulating D-dimers are associated with ascites and hepatocellular carcinoma in
liver cirrhosis. World J Gastroenterol 2008 14(10): 1549-1552.
Stokol T. 2010. D-dimer. (cited 2011 Jan 19). Available from
ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/coags/ddimer.htm.
URL:http://
Suharti C., Van Gorp E., Setiati T., Doimans W., Djokomoeljanto R., Hack E., et al.
2002. The Role of cytokines in the Activation of Coagulation and Fibrinolysis in Dengue
Shock Syndrome. Thromb. Haemost. 87: 42–46.
Sun DS, King CC, Huang HS, Shih SL, Lee CC, Tsai WJ, et al. 2007. Antiplatelet
utoantibodies elicited by dengue virus non-structural protein 1 cause thrombocytopenia and
mortality in mice. Journal of Thrombosis and Haemostasis. 5: 2291-2299.
Sutaryo. 1999. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue, in : SRH Hadinegoro
dan HI Satari (ed), Demam Berdarah Dengue : Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD, BP
FKUI, Jakarta, pp. 32-43.
Tapson, Victor. 2005. The role of smoking in coagulation and thromboembolism in chronic
obstructive pulmonary disease. The Proceedings of the American Thoracic Society 2:71-77.
Tseng C., Lo H., Teng H., Lo W., Ker C. 2006. Elevated levels of plasma VEGF in patients
with dengue hemorrhagic fever. FEMS Immunology and Medical Microbiology 43: 99–102
Van Gorp E., Setiati T., Mairuhu A., Suharti C., Cate H., Dolmans W., et al. 2002.
Impaired fibrinolysis in the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. Journal of Medical
Virology. 67:549-554.
Wells PS, Anderson DR, Rodger M., Forgie M., Kearon C., Dreyer J., et al. 2003.
Evaluation of D-dimer in the diagnosis of suspected deep-vein trombosis. N. Engl. J. Med.
349(13): 1227–1235.
Wills B., Ngoc T., Van N., Thuy T., Dung N., Diet T., etal. 2009. Hemostatic changes in
Vietnamese children with mild dengue correlate with severity of vascular leakage rather
than bleeding. Am. J. Trop. Med. Hyg. 81(4):638-644.
World Health Organization. 1997. Dengue Haemorrhagic Fever. Diagnosis,
treatment prevention and control. 2 nd ed. WHO, Geneva.
World Health Organization. 2009. Dengue, Guidelines For Diagnosis, Treatment,
Prevention And Control, New Edition. WHO/TDR. pp.1-11, 24-24, 89-102.
World Health Organization. DengueNet. 2013. (cited 2011 Jan 19). Available from
URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
Yaeba D., Dentener MA, Creutzberg EC, Wesseling G, Wouters EF. 2007. Systemic effects
of smoking. CHEST journals 131(5):1557-1566.
Yu-Wen L., Wang K., Lei H., Lin YS, Yeh TM, Liu HS, et al. 2002. Virus replication
and cytokine production in dengue virus-infected human B lymphocytes. Journal of
Virology 76(23): 12242-12249.
Lampiran 1. Informed Consent
Informasi Pasien dan Formulir Persetujuan
Infeksi virus dengue (VD) menyebabkan penyakit yang penampakannya bervariasi
mulai dari tidak ada gejala, demam yang tidak jelas, demam dengue dan yang paling berat
demam berdarah dengue
yang sering menyebabkan kematian. Beratnya penyakit ini
disebabkan oleh kebocoran plasma darah ke luar pembuluh darah dan adanya gangguan
terhadap proses pembekuan darah yang normal. Virus dengue ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit ini masih menjadi momok yang
menakutkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Oleh karena itulah diperlukan
pengetahuan yang baik untuk menanggulanginya.
Disamping pengetahuan tentang pencegahan penyakit ini, hal lain yang penting
untuk diketahui adalah penanganannya. Prinsip penanganan terpenting adalah pemeliharaan
cairan tubuh yang mencukupi, di samping penanganan penunjang yang lain. Gangguan
pembekuan darah yang terjadi pada infeksi demam berdarah dengue merupakan tanda
gawatnya penyakit dengan segala manifestasinya, sehingga diharapkan dengan mengetahui
adanya gangguan pembekuan darah lebih awal, dapat meningkatkan kewaspadaan dokter
dan memberikan penanganan yang lebih baik dan lebih cepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat beratnya infeksi
virus dengue dan kadar d-dimer sebagai penanda terjadinya gangguan sistem pembekuan
darah. Dalam penelitian ini akan dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi darah lengkap, kadar d-dimer, serta serologi dengue.
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap dilakukan saat masuk rumah sakit ( 3 ml darah ),
yang selanjutnya dilakukan sesuai indikasi, sedangkan kadar d-dimer diperiksa pada hari
ketiga-keenam dari mulai timbulnya panas ( 5 ml darah ), serta serologi dengue diperiksa
pada hari ketujuh ( 2 ml darah ). Penelitian ini dilakukan selama beberapa bulan terhadap
penderita infeksi virus dengue yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar.
Kami mengharapkan partisipasi saudara dalam penelitian ini, dan kepada seluruh
subjek penelitian yang terpilih untuk membaca informasi di bawah ini sebelum memutuskan
apakah saudara akan ikut serta dalam penelitian ini. Apabila sudah pasti ikut berpartisipasi
maka kami harapkan saudara mengikuti petunjuk yang diberikan. Selama penelitian
berlangsung saudara tidak dikenakan biaya dan apabila terjadi efek samping akibat
pemeriksaan tersebut akan menjadi tanggung jawab peneliti. Apabila ada informasi baru
sehubungan dengan penelitian ini maka saudara akan diberitahukan lebih lanjut oleh Dr
Sabrina Smit ( dokter residen Bagian Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar )
dengan no telp 087875442631.
Lampiran 2.
Formulir Persetujuan Tertulis
Saya, (nama, huruf cetak) ……………………………………………………………..
telah membaca keterangan terlampir dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini dengan Dr
(nama, huruf cetak) ………………………………………………………..
dan telah mengerti hal-hal yang menyangkut penelitian ini
Subjek Penelitian
Saya bersedia ikut serta dalam penelitian
……………………..
Tanggal
Peneliti
…………………….
Tanda Tangan
Saya telah menjelaskan maksud dan tujuan
penelitian kepada subjek penelitian dengan nama
tersebut di atas
………………………
Tanggal
………………….
Tanda Tangan
Lampiran 3.
Kuosioner Penelitian
HUBUNGAN ANTARA BERATNYA DERAJAT INFEKSI VIRUS DENGUE
DENGAN PENINGKATAN KADAR D-DIMER
Tanggal pengumpulan data
:
Tanggal MRS
:
Diagnosis saat MRS
:
Diagnosis akhir
No CM :
:
Anamnesis :
1. Identitas :
a. Nama Penderita
b. Umur/Jenis kelamin
c. Pendidikan
d. Pekerjaan
e. Alamat
f. Telepon
g. Kebangsaan/suku
h. HPHT (perempuan)
:
:
:
:
:
:
:
:
2. Lama panas sebelum masuk rumah sakit :
tahun( laki-laki/perempuan)
hari
3. Gejala lain penyakit :
a. Nyeri kepala: ya/tidak
c. Nyeri otot/sendi: ya/tidak
b. Nyeri retro-orbita : ya/tidak
d. Diare : ya/tidak
e. Nyeri uluhati : ya/tidak
f. Mual/muntah : ya/tidak
g. Lainnya
4. Perdarahan spontan saat ini: a. bintik-bintik kulit
b. mimisan
c. kencing darah
d. berak hitam
e. perdarahan gusi
f. menstruasi
g. muntah / berak darah h. lainnya
5. Riwayat Penyakit
a. Penyakit hati kronis
b. Keganasan
c. DVT
d. Sepsis
: ya/tidak
: ya/tidak
: ya/tidak
: ya/tidak
6. Riwayat Lain
a. obat-obatan, dalam 2 minggu terakhir
- kemoterapi
: ya/tidak
- Ca glukonas
: ya/tidak
- Vitamin K
: ya/tidak
- Heparin
: ya/tidak
- Warfarin
: ya/tidak
- Aspirin
: ya/tidak
- Clopidogrel : ya/tidak
- Dypiridamol
: ya/tidak
- Ticlopidin
: ya/tidak
- Streptokinase : ya/tidak
- Asam traneksamat:ya/tidak
b. merokok
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kesadaran
:E V M
Tekanan Darah
:
/
mmHg
Nadi
:
X/m
Respirasi
:
X/m
0
Suhu Aksila
:
C
Uji torniquet
: positif/negatif
Syok
: ya/tidak
Perdarahan saat dirawat : a. bintik-bintik kulit
b. mimisan
c. kencing darah
d. Muntah/BAB hitam
e. perdarahan gusi
f. menstruasi
g. Lainnya
9. Paru – paru
: a. Normal
b. Ronkhi
10 Asites
: ya/tidak
11. Pembesaran hati
: ya/tidak
12. Perdarahan per vaginam
: ya/tidak
c. Redup
13, Colok dubur dengan darah : ya/tidak
Hasil Laboratorium
Hari(MRS)
Leukosit (103/uL)
- neutrofil
- eosinofil
- basofil
- monosit
- limfosit
Hemoglobin (g/dL)
- MCV (fL)
- MCH (pg)
Hematokrit (%)
Trombosit (103/uL)
D-dimer (µg/mL)
Ig M antidengue
Ig G antidengue
Hari-
Hari-
Hari-
Hari-
Hari-
Lampiran 4.
Prosedur Pemeriksaan D-Dimer
Alat
: CARDIAC D-Dimer Assay
Metode
: kalibrator digunakan untuk menentukan nilai kualitatif konsentrasi
albumin dalam serum atau plasma dengan timed-endpoint method
Prinsip
: D-dimer dalam plasma dikombinasikan dengan antibodi anti D-dimer
yang
telah
dibotilinisasi
dan antibodi anti
D-dimer
yang telah
dikonjugasikan dengan partikel emas untuk membentuk “sandwich”.
“Sandwich
ini
dikombinasikan
dengan
poli-(streptavidin)
yang
diimobilisasi pada strip atau garis yang melintas pada kartu bacaan,
menghasilkan
garis
ungu
kemerahan.
Kecepatan
dan
intensitas
pembentukan warna berhubungan dengan kadar D-dimer di dalam darah.
: Reaktif : ≥ 1,0 µg antibodi anti-d-dimer yang dibiotinilasi
Reagen
Non reaktif : ≥ 2,8 mg penyanggah (buffer) dan lain-lain
Prosedur Kerja :

Masukkan chip yang disediakan ke dalam instrumen

Setelah diinstruksikan di jendela baca, masukkan test strip ke tempatnya

Tekan tombol ’START’ – test strip secra otomatis akan ditransport ke posisi yang
tepat untuk pembacaan

Pegang pipet secara vertikal, masukkan sampel sebanyak 150 µL ke daerah aplikasi
yang ditandai dengan segitiga

Tekan tombol ’START’, kemudian pembacaan dimulai. Waktu akan ditampilkan
dengan hitung mundur di jendela baca.

Setelah selesai, hasil akan ditampilkan di layar.
Lampiran 5.
Prosedur Pemeriksaan Serologi Dengue
Alat
: PanBio Dengue Duo Cassette
Prinsip
: Antibodi dengue IgM dan IgG bila ada dalam serumakan berikatan dengan antihuman IgM atau IgG yang diimobilisasi dalam 2 garis pada membran cassette.
Kompleks koloidal emas berisi rekombinan dengue 1-4 antigen yang dilingkupi
oleh IgM atau IgG pasien untuk memberikan warna pink. Sebuah prosedur
kontrol termasuk di dalamnya untuk menunjukkan bahwa pemeriksaan sudah
dilakukan secara benar.
Pengumpulan spesimen dan persiapannya :

Darah didapatkan dari vena dan dibiarkan membentuk klot pada suhu 20-250C, dan
disentrifugasi sesuai dengan CLSI. Kemudian serum dipisahkan segera dan
didinginkan pada suhu 2-80C atau disimpan pada suhu -200C jika tidak diperiksa
dalam 2 hari. Tidak direkomendasikan menggunakan serum yang ikterik, hemolisis,
lipaema, atau dengan pertumbuhan mikroba

Self-defrosting freezers tidak direkomendasikan untuk penyimpanan

Fingertip blood harus diperiksa segera setelah sampel didapatkan

Akurasi tergantung waktu pengambilan sampel sesuai dengan onset demam. Hasil
optimal diperoleh pada sampel yang diperoleh antara hari ke-6 dan 14 dari onset
demam
Prosedur Pemeriksaan :
 Pastikan semua reagen disimpan pada suhu 20-250C
 Pindahkan cassette dan pipet Microsafe dari kantongnya sebelum dipakai
 Garis biru (kontrol) akan terlihat pada jendela yang terlihat
 Tambahkan 10 uL darah segar pada circular well dengan memakai mikropipet atau
pipet Microsafe yang tersedia. Biarkan sampel diserap ke dalam speciment pad
dalam circular well
 Pegang botol buffer vertikal dan 1 cm di atas square well. Tambahkan 2 tetes buffer
ke square well pada dasar cassette.
 Baca hasil tepat 15 menit setelah penambahan buffer ke dalam cassette. Adanya
garis pink pada area tes menunjukkan hasil positif. Hasil yang dibaca setelah 15
menit harus dipertimbangkan invalid
Interpretasi :

Infeksi Primer : warna garis pink pada IgM dan daerah kontrol. Tes ini positif untuk
antibodi IgM dan menunjukkan infeksi dengue primer

Infeksi Sekunder : warna garis pink tampak pada daerah IgM, IgG, dan control. Tes
ini positif untuk antibodi IgM dan IgG dan menunjukkan infeksi dengue sekunder

Infeksi Sekunder : warna garis pink pada IgG dan control. Tes ini positif untuk
antibodi IgG dan menunjukkan infeksi dengue sekunder

Negatif : garis pink hanya tampak pada daerah kontrol. IgM dan IgG tidak
terdeteksi. Hasil ini tidak menyingkirkan infeksi dengue. Tes ulang dikerjakan
dalam 3-4 hari

Invalid : tidak tampak garis pink pada daerah control, walaupun di daerah lainnya
ada garis pink dan tes harus diulang.
Lampiran 6. Output Analisis Data SPSS
Karakteristik Sampel
Uji Normalitas
Korelasi Spearman
Analisis Regresi Multinominal
Download