Terapi Terkini Acute Kidney Injury I Gde Raka Widiana

advertisement
Terapi Terkini Acute Kidney Injury
I Gde Raka Widiana
Divisi Ginjal Hipertensi Bagian Penyakit Ginjal Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar
Abstrak
Acute kidney injury (AKI) banyak dijumpai pada pasien yang baru masuk rumah sakit dan
selama perawatan di rumah sakit. Terlewatnya identifikasi dan terapi pasien AKI akan
menyebabkan risiko panyakit ginjal kronik dan kematian pasien yang meningkat. Identifikasi dan
terapi segera pasien dengan risiko AKI sangat diperlukan untuk melindungi pasien dari luaran
buruk di masa depan. Terapi cairan dan monitor keseimbangan cairan sangat penting dilakukan,
agar pasien mencapai keadaan euvolume, dengan perfusi ginjal optimal. Semua obat yang
diberikan sebelumnya harus direvisi, terutama obat yang bersifat nefrotoksik, obat yang
mengganggu perfusi ginjal dan obat yang menurunkan tekanan darah. Waktu pemberian dapat
diubah, dosis diturunkan dan kadarnya dalam darah dipantau, kalau perlu dihentikan sementara.
Obat ACE inhibitor dan ARB berpotensi menyebabkan episode AKI pada pasien yang
mengalami penyakit dengan dehidrasi dan hipotensi. Gentamisin dapat dilanjutkan dengan
penurunan dosis dan dilakukan monitor ketat kadarnya dalam darah. Pasien dengan
hemodinamik normal dan anurik, tidak boleh diberikan beban cairan dan perlu dilakukan
hemodialisis segera.
Pendahuluan
Acute Kidney Injury (AKI) adalah masalah yang banyak di jumpai di rumah sakit, sulit untuk
diatas , biaya tinggi, meningkatkan lama rawat dan berkaitan dengan meningkatnya mortalitas
pasien. Pada tahun 2009 the National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death
(NCEPOD) melaporkan bahwa pasien yang meninggal karena AKI ini, hanya 50% yang
mendapatkan perawatan standar yang dianggap “baik”. Laporan ini juga menyatakan bahwa
tidak dilakukan penilaian memadai terhadap pasien dengan risiko AKI dan 60% pasien AKI
setelah keluar rumah sakit sebenarnya dapat diprediksi dan 21% dapat dicegah. Dua per tiga dari
pasien yang dievaluasi sebenarnya telah mengalami AKI sebelum diagnosis dibuat dan tidak ada
kajian yang memadai oleh dokter yang lebih senior1. AKI derajad yang lebih berat berkaitan
dengan meningkatnya mortalitas. Pada tahun 2013, the National Institute for Health and Care
Excellence (NICE) menerbitkan pedoman penanganan AKI 2. NICE telah memperhitungkan
bahwa apabila AKI dikenali dan diterapi dengan rehidrasi dan obat-obatan dengan seksama,
maka 100.000 kasus dapat dicegah, dan sampai dengan 42.000 kematian dapat dihindari setiap
tahunnya. Manajemen AKI merupakan barometer penangana pasien akut dan kritis apapun latar
belakang penyakitnya, dengan demikian diperlukan kompetensi yang baik bagi para klinisi untuk
menangani AKI dengan baik.
Istilah AKI dipakai untuk menggantikan gagal ginjal akut. Hal ini bertujuan untuk mengenal
lebih awal dan mengobati segera kelainan ginjal yang ada. AKI didefinisikan sebagai
menurunnya fungsi ginjal yang ditandai dengan meningkatnya kadar kreatinin serum dan
menurunnya produksi urin. Baratnya derajad dinyatakan dengan stadium AKI 3 AKI 1 - 3
(Table1), dimana stadium 1 didefinisikan bila kreatini serum meningkat di atas 26 umol/l atau
1,5 sampai dengan 1,9 kali dari kadar kreatinin awal. Peningkatan sedikit saja dari kadar
kreatinin ini akan barkaitan dengan meningkatkan kematian4 sehingga secara rasional akan
menasukkan pasien ini ke dalam penggolongan stadium AKI.
Table 1. Klasifikasi cute kidney injury berdasarkan criteria Acute Kidney Injury Network
(AKIN) dan RIFLEmenggunakan kadar kreatini serum atau GFR dan produksi urin.
Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) membagi stadium AKI dengan tambahan
stadium Loss dan End Stage Renal Disease (ESRD)5. Kedua stadium ini merupakan penyakit
ginjal kronik dan berakhir dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan dialysis kronik
(gambar 1). Studi pada populasi DM menunjukkan bahwa episode AKI akan menggandakan
risiko menjadi CKD stadium 4 (eLFG15 – 29 ml/min/1,73m2). Pedoman NICE menganjurkan
pasien dengan episode AKI harus diikuti selama 2 tahun untuk mendeteksi adanya penyakit
ginjal kronik dan penanganan yang memadai.
Gambar 1. Luaran potensial pasien dengan episode AKI
Perlu diingat, bahwa kreatinin serum bukan mencerminkan laju filtrasi glomerulus yang akurat
pada pasien dengan keadaan yang tidak stabil. Kadar kreatinin dipengaruhi oleh produksi
kreatinin, distribusi volume dan ekskresi. Menurunnya LFG secara mendadak diikuti oleh
meningkatnya kreatinin secara pelan-pelan dan kadaryang stabil baru dicapai setelah 7-10 hari,
saat produksi sama dengan ekskresi. Perubahan LFG besar mula-mula akan diikuti oleh
perubahan yang kecil pada kadar kreatinin serum, hal ini mungkin akan menyebabkan
terlambatnya identifikasi beratnya derajad AKI. Demikian juga selama pemulihan AKI, kadar
kreatinin serum baru menurun sepetah beberapa hari
Pencegahan AKI
Pasien di masyarakat dengan PGK (penyakit ginjal kronik) (eLFG < 60 ml/ min/1,73m2) dan
pasien dengan fungsi ginjal normal yang diobati dengan ACE inhibitor (ACEi) atau angiotensin
receptor blocker (ARB) meningkatkan risiko AKI apabila mereka mengalami penyakit yang
disertai dengan hipovolemia atau hipertensi. Pasien ini dapat dikenali dan diberikan diedukasi
untuk menghentikan obat tertentu yang mungkin menginduksi atau mengeksaserbasi atau
menyebabkan komplikasi AKI. Obat-obat dapat diingat dengan akronim DAMN (diuretika,
ACEi/ ARB, metformin, NSAID).
Perawatan pasien di rumah sakit meliputi pencegahan AKI dengan mengikuti beberapa prinsip
penilaian risiko, dimana semua pasien saat masuk rimah sakit dan selama dirawat harus secara
regular dinilai risikonya untuk mengalami AKI (gambar 2). Menurut NICE kelompok pasien
tertentu harus diidentifikasi dan diawasi secara khusus.
Gambar 2. AKI risk assessment tooluntuk pasien yang dirawat di rumah sakit
AKI pada periode perioperatif sering terjadi. Identifikasi pasien yang berisiko dan terapi yang
memadai pada pasien yang menjalani operasi akan mengurangi paparan terhadap ginjal dan
memaksimalkan pemulihan bila terjadi AKI 6. Perangkat risk assessment untuk ahli bedah
ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Contoh surgical AKI risk assessment tool
Manajemen AKI
Optimalisasi keseimbangan cairan
Status volume cairan harus secara ketat dinilai, baik kelebihan atau kekurangan cairan. Pasien
yang berisiko dehidrasi akibat puasa atau asupan yang berkurang harus diberikan cairan
intravena pemeliharaan.
Optimalisasi tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan darah sistolik (TDS) <110 mmHg / mean arterial pressure (MAP) <
65 mmHg) memerlukan penilaian segera dan bila diperlukan diberikan terapi cairan dan obat
vasopresor.
Pengecekan Obat
Penghentian sementara obat ACEi dan ARBs perlu dilakukan pada pasien dengan dehidrasi,
hipotensi (TDS < 110 mmHg) dan /atau penurunan fungsi ginjal. Pada pasien yang memerlukan
terapi ACEi atau ARB, perubahan waktu pemberian pada pukul 6 sore memberikan kesempatan
dokter untuk menilai keadaan klinik dan fungsi ginjal pasien dan kalau perlu obat ini dihentikan
sementara. Pada keadaan dimana terapi aminoglikosida diperlukan, obat ini dapat dilanjutkan
dengan pengamatan ketat fungsi ginjal dan kadar obatdalam darah.
Menurunkan risiko contrast induced AKI
AKI sekunder akibat media kontras radiologi biasanya terjadi dalam 72 jam setelah paparan
kontras. Risiko befropati kontras dapat dikurangi dengan menghentikan sementara obat
nefrotoksik dan pemberian ekspansi volume.
Penilaian AKI
Penilaian klinik
Penilaian ini dilakukan untuk mencari penyebab AKI terutama keadaan hipoperfusi (kehilangan
volume dan hiptensi) dan obstruksi saluran kemih. Pada keadaan hipotensi persisten, harus
dicurigai adanya sepsis yang tidak segera memberikan gejala, khususnya pada kasus sepsis
intraabdominal. Penyakit ginjal intrinsik dalam bentuk vaskulitis mungkin dapat diketahui
dengan dijumpainya ras kulit spesifik, uveitis dan/atau artropati. Panyakit ginjal intrinsik selalu
dipertimbangkan sebagai penyebab, bila tidak disertai adanya dehidrasi, hipotensi dan obstruksi.
Pengaruh AKI harus dinilai apakah terjadi kelebihan cairan yang ditandai dengan edema perifer
dan edema paru yang meningkatnya kebutuhan oksigen. Pada AKI berat sering disertai dengan
perikarditis dan ensefalopati.
Uji celup urinalisis adalah bagian dari evaluasi klinik dan harus selalu dilakukan bila ada sampel
urin. Keadaan hipoperfusi dapat diduga bila berat jenis urin meningkat (> 1.020). Bila tidak
dijumpai sepsis atau gangguan hemodinamik, maka adanya hematuria atau peroteinuria lebih
memberikan petunjuk adanya vaskulitis / glomerulonefritis dibandingkan adanya obstruksi.
Pemeriksaan laboratorium dan radiologi
Pada pasien dengan sepsis, pemeriksaan laktat dan gas darah perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya gangguan metabolik berat. Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan segera dilakukan
adalah antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA), anti-glomerular basement membrane
antibodies (anti-GBM), elektroforesis serum dan protein light chains, bila memerlukan terapi
oleh spesialis. Pemeriksaan lain yang penting adalah profil koagulasi, apusan darah tepi,
haptoglobin yang dapat ditemukan pada Haemolytic Uraemic Syndrome, hipertensi malignan,
skleroderma and pre-eklampsia.
Foto ronsen dada dilakukan untuk mencari etiologi penyakit seperti pneumonia dan vaskulitis,
serta mencari tanda-tanda kelebihan cairan. USG ginjal yang dilakukan dalam 6 jam untuk
melihat adanya obstruksi saluran kemih. Pemeriksaan CT-kontras dilakukan untuk mencari
keadaan yang dapat diatasi dengan pembedahan (intraabdominal abscess, ischaemic bowel)
Manajemen AKI
Pemulihan perfusi ginjal
Sebagian besar kasus AKI berkaitan dengan kondisi sepsis dan deplesi volume, sehinga hal yang
penting dilakukan adalah memulihkan perfusi ginjal sesegera mungkin, Hal ini akan
memulihkan fungsi ginjal dan menghindari berkembangnya nekrosis tubuler akut.
Optimalisasi volume intravaskuler
Status volume harus dipantau dengan ketat dan segera pasien dikategorikan apakah mengalami
hipovolemik, euvolemik atau hipervolemik.
Pasien dengan hipovolemik mungkin menunjukkan tanda dehidrasi dan oligourik (output urin <
30 ml/jam) dengan urin pekat (BJ > 1.020). Tidak ada baku emas yang dapat dipakai menetapkan
kondisi dehidrasi, namun keadaan hipotensi (TDS < 110 mmHg), hipotensi postural, akral
dingin, turgor kulit dan membrane mukosa yang menurun merupakan tanda adanya dehidrasi.
Hipovolemia harus segera dikoreksi dengan pemberian bolus cairan kristaloid secara berulang
sebanyak 250 - 500 ml sampai dengan total of 2 liter dalam 2 jam.
Larutan Hartmann atau NaCL 0.9% harus digunakan. larutan Hartmann mengandung jumlah
kecil kalium (5 mmol/L) dan harus dihindari pada pasien dengan hiperkalemia (Kalium > 6
mmol/l). Jumlah besar volume NaCL 0.9% dapat menyebabkan asidosis metabolic
hiperkloremik.
Kegagalan pasien mempertahankan tekanan darah efektif setelah pemberian cairan harus
membuat kita waspada dengan kondisi sepsis atau kehilangan cairan yang terus berlanjut.
Pemberian cairan yang berlebih akan menyebabkan akumulasi cairan pada pasien dengan kondisi
kritis dan meningkatkan kematian pasien, 7 kegagalan memperbaiki fungsi ginjal dan
memperburuk fungsi respirasi.
Euvolemia ditandai dengan tidak adanya tanda dehidrasi, hemodinamik stabil dan tanpa
kelebihan cariran. Pada kondisi ini bila terjadi oligouria, menandakan ATN dan tidak akan
berespon terhadap pemberian cairan. Pada fase ini pemulihan produksi urin sulit diprediksi dan
asupan cairan harus dibatasi sesuai dengan kesembangan cairan keluar dan masuk. Pada pasien
dengan terapi cairan pemeliharaan secara intravena, cairan kristaloid diberikan sesuai dengan
kecepatan produksi urin jam sebelumnya ditambah 30 mL.
Pasien harus diawasi terhadap kemungkinan hipervolemia yang ditandai dengan meningkatnya
JVP, edema perifer atau edema paru. Perhitungan asupan cairan total sejak masuk rumah sakit
dapat diperkirakan adanya kelebihan cairaran dan dengan adanya AKI, maka edema paru mudah
terjadi. Pada kondisi ini asupan cairan harus dibatasi. Terapi loop diuretics ini dapat dicoba
dalam waktu pendek, bila pasien menunjukkan tanda edema paru dan tekanan perfusi sudah
cukup (MAP > 65 mmHg, TDS > 110 mmHg). Bila respon jangke pendek terapi diuretikan ini
gagal, maka hal ini merupakan indikasi kuat untuk haemodialisis dan ultrafiltrasi segera.
Optimalisasi tekanan darah
Tekanan darah merupakan faktor penting untuk mempertahankan ultrafiltrasi glomerulus.
Hipotensi absolut,
yang didefinisikan sebagai TDS < 90 mmHg berkaitan dengan
berkembangnya AKI setelah sepsis dan pembedahan mayor8. Namun, hipotensi relatif, yakni
menurunnya tekanan darah pada psien yang sebelumnya mengalami hipertensi tanpa hipotensi
nyata menunjukkan contributor independen AKI pada pasien lansia 9. Dengan mempertahankan
tingkat tekanan darah seperti sebelumnya, akan dapat mencegah AKI pada pasien rawat inap.
Pada pasien AKI dan hipotensi, maka target tekanan darah harus dipertahankan pada MAP > 65
mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan 3 cara: 1)Tunda obat-obat yang mengganggu otoregulasi
ginjal (ACEi / ARB). Tunda sementara semua obat yang menginduksi hipotensi seperti
antihipertensi, diuretika, nicorandil dan opiate; 2) Koreksi hipovolemia seperti diuraikan di atas,
dan 3) Pertimbangkan pemberian obat vasopresor ( seperti noradrenaline) pada pasien yang sulit
dikoreksi dan diberikan lebih awal pada pasien untuk mencegah pemberian cairan berlebih dan
berisiko elebihan cairan. Harus dipahami, tidak ada bukti dosis dopamine untuk ginjal. Selain
itu, memiliki efek vasodilatasi yang dapat memperberat hipotensi dan memburuk perfusi ginjal
pada pasien dengan sepsis dan AKI.
Peresepan obat lebih aman
Pasien yang mengalami AKI memerlukan revisi semua obat-obat yang diresepkan 10.
Obat yang mengganggu perfusi ginjal
Meliputi obat yang mengganggu otoregulasi ginjal (ACEi/ARB, NSAID) dan oabt yang dapat
menurunkan tekanan darah. Obat antihipertensi termasuk diuretika harus distop dulu bila TDS
< 90 mmHg) atau pada pasien dengan penurunan relatif (TDS < 120 mmHg)
Obat yang memerlukan penurunan dosis atau penghentian
Semua obat yang dimetabolisme dan diekskresikan oleh ginjal harus diatur dosisnya dengan
asumsi bahwa eLFG < 10 ml/min/1,73m2. Termasuk obat itu adalah: heparin berat molekul
kecil, opiate, penicillin dan turunannya, antidiabetik golongan sulfonilure, and asiklovir.
Walaupun
metformin tidak nefrotoksik, bila terakumulasi dalam badan, dikawatirkan
menyebabkan asidosis laktat yang mengancam jiwa.
Obat yang perlu dipantau
Termasuk warfarin dan amnoglikosida. Gentamisin tak boleh dihentikan bila benar-benar
diperlukan untuk mengobati sepsis. Bila dipakai, kadar harian obat dalam darah harus
dipertahankan < 1 mg/l.
Obat yang memberat hiperkalemia
Semua obat yang menghambat ekskresi kalium seperti trimethoprin dan diuretik hemat kalium
(spironolakton, amilorid) harus dihentikan. Beta-blocker dan digoksin dapat menghambat pompa
sodium / potassium ATPase dan mengeluarkan kalium dari dalam sel dimana obat-obat ini dapat
menyebabkan resistensi terapi hiperkalemia dengan insulin/glucose.
Kesimpulan
AKI merupakan kondisi yang banyak dijumpai di masyarakat dan pasien dengan rawat inap.
Pasien dengan risiko AKI harus diawasi dan segera diterapi bula terjadi AKI. Terapi cairan
sangat penting pada pasien dengan dehidrasi dan hipervolemia. Pemantauan keseimbangan
cairan sangat penting dilakukan agar tidak terjadi kelebihan cairan. Status cairan perlu diamati,
karena kelebihan cairan pada pasien AKI dengan penyakit kritis akan meningkatkan risiko
kematian. Obat-obat yang diberikan sebelumnya harus dievaluasi ulang , terutama obat yang
bersifat nefrotoksik, obat yang mengganggu perfusi ginjal dan abat yang menurunkan tekanan
darah. Waktu pemberian dapat diubah, dosis diturunkan dan kadarnya dalam darah dipantau,
kalau perlu dihentikan sementara.
Daftar Kepustakaan
1. Stewart J, Findlay G, Smith N, Kelly K, Mason M. A review ofthe care of patients who died in
hospital with a primary diagnosis of acute kidney injury. London: National Confidential Enquiry
into Patient Outcome and Death; 2009. Adding insult to injury. pp. 11–75. p. Available online
from:http://www.ncepod.org.uk/2009report1/Downloads/AKI_report.pdf. Last accessed July
2014.
2. National Institute for Health and Care Excellence. NICE clinical guideline 169. London:
NICE; 2013. Acute kidney injury. Prevention, detection and management of acute kidney injury
up
to
the
point
of
renal
replacement
therapy.
Available
online
from:http://www.nice.org.uk/guidance/CG169/chapter/introduction. Last accessed July 2014.
3. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO Clinical practice guideline
for
acute
kidney
injury. Kidney
Int
Suppl. 2012;2:1–138. Available
online
from:http://www.kdigo.org/clinical_practice_guidelines/pdf/KDIGO%20AKI%20Guideline.pdf.
Last accessed July 2014.
4. Chertow GM, Burdick E, Honour M, Bonventre JV, Bates DW. Acute kidney injury,
mortality, length of stay, and costs in hospitalized patients. J Am Soc Nephrol.2005;16(11):3365–
70. [PubMed]
5. Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute Kidney
Injury Network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury.Crit
Care. 2007;11(2):R31. [PMC free article] [PubMed]
6. Borthwick E, Ferguson A. Perioperative acute kidney injury: risk factors, recognition,
management and outcomes. BMJ. 2010;341:c3365. [PubMed]
7. Bouchard J, Soroko SB, Chertow G, Himmelfarb J, Ikizler TA, Paganini EP, et al. Fluid
accumulation, survival and recovery of kidney function in critically ill patients with acute kidney
injury. Kidney Int. 2009;76(4):422–7.
8. Vivino G, Antonelli M, Moro ML, Cottini F, Conti G, Bufi M, et al. Risk factors for acute
renal failure in trauma patients. Intensive Care Med. 1998;24(8):808–14. [PubMed]
9. Liu YL, Prowle J, Licari E, Uchino S, Bellomo R. Changes in blood pressure before the
development of nosocomial acute kidney injury. Nephrol Dial Transplant. 2009;24(2):504–11.
10. Harty J. Prevention and Management of Acute Kidney Injury. Ulster Med J. 2014 Sep; 83(3):
149–157. PMCID: PMC4255835
Download