PERPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA (Kajian Literatur

advertisement
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
PERPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA
(Kajian Literatur Varian dan Locus Media Massa dalam Lingkup Pemberitaan)
Oleh :
Razie Razak
Dosen Penyiaran Akademik Komunikasi Bina Sarana Informatika
Jl. SMA Kapin No.292A. Kalimalang Jakarta Timur
Email : [email protected]
ABSTRACTION
The concept of political economy of the mass media have a very strong philosophical
cakpan. Especially on the theoretical study of media by using a critical theoretical
perspective by referring to the power of media texts as a tool for power. On review of the
literature with reference to the concept of political economy of media from Vincent Mosco
containing locus variants and the mass media in the scope of reporting. In this study also
includes how the structure as a tool of media power and media power as the holder of the
economic essence of political and ideological formation.
Keywords : Political Economy Media, Media Locus and Varian.
LATAR BELAKANG
Setiap orang percaya bahwa media
memang memiiki kekuatan persuasi
meskipun secara mengejutkan adalah
sulit untuk menetapkan secara akurat
kekuatan jenis apakah yang dimiliki
media. Kekuatan utama media terletak
pada fakta bahwa media dapat
membentuk apa yang kita ketahui tentang
dunia dan dapat menjadi sumber utama
untuk berbagai ide dan opini. Media
dapat mempengaruhi cara kita berpikir
dan bertindak. Kekuatan ini makin besar
jika kita mengamati media secara
keseluruhan bukan hanya memperhatikan
media individual seperti televisi. Media
mencakup bagaimana komponen utama
dari komunikasi yang diantaranya seperti
proses, produksi dan distribusi pesan.
Institusi media adalah sumber dari
banyak tipe pesan yang kita terima.
Media-media ini dapat menanggapi
berbagai peristiwa dan opini dalam
masyarakat secara umum, tetapi mereka
pada saat yang sama merupakan
komposer dan inisiator konsumen.
Karena itu, kita perlu mengamati karakter
mereka, cara mereka beroperasi, alasan
mereka berkomunikasi, untuk memahami
bagaimana dan mengapa pesan – pesan
tersebut dibentuk. Semua pesan dapat
didefinisikan
menurut
apa
yang
dikatakan oleh pesan tersebut dan cara
pesan tersebut mengatakannya. Setiap
pesan menyampaikan suatu makna
kepada penerima. Namun, cara pesan itu
ditangani memiliki efek yang sangat
besar terhadap cara pesan tersebut
dipahami, dan bahkan terhadap apa yang
dipahami. Pesan pada dasarnya sama
tetapi representasi yang berbeda berarti
bahwa pesan-pesan tersebut tidak
memiliki makna yang benar-benar sama.
Semua pesan (terutama media)
harus disusun (dienkodekan) dalam
sebuah bentuk komunikasi. Bagaimana
pesan disusun cenderung mempengaruhi
bagaimana pesan tersebut dipahami.
56
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Sebuah item berita dari masing – masing
media tentunya berbeda dari sisi
perspektifnya
walaupun
terkadang
memuat pemberitaan yang sama. Hal ini
tentunya ketika melihat media massa
bukan hanya dipandang dari sisi
pengaruh secara empiris data, melainkan
juga melihat dari sisi bagaimana pesan
tersebut di produksi dan apa yang ada
dibalik produksi pesan tersebut.
Perspektif
media
dalam
merepresentasikan sebuah peristiwa
terkadang mampu mengangkat kisah
yang “melebihi” fakta yang dimana
media terkadang mencampurkan opini
dan berita sehingga berita yang berspektif
subjektif
kemudian
menjadi
permasalahan
dalam
pemberitaan
terutama tidak terpenuhinya tuntutan
obyektif profesionalitas dan etika media.
Tak sedikit kekuatan struktur media ini
mampu mempengaruhi persepsi publik.
Hal ini tentunya terkait bagaimana makna
dalam teks pemberitaan yang dibangun
“dikonstruksi” oleh media tersebut.
Dengan demikian, produksi media
terselubung dalam berbagai hubungan
kekuasaan
dan
berperan
dalam
memproduksi kepentingan berbagai daya
sosial yang kuat, baik memajukan
penguasaan
maupun
memperkuat
berbagai individu guna melawan dan
berjuang. Tetapi sebuah materialism
budaya juga berfokus pada berbagai
dampak bendawi dari budaya media,
dengan pendapatnya bahwa berbagai
citra, pertunjukan, wacana, dan tandanya
memiliki dampak material pada audiens.
Bagi materialisme budaya, teks-teks
media
menggoda,
memukau,
menggerakkan,
menempatkan
dan
memberi pengaruh kepada para audiens
mereka.
Secara
ideal,
media
massa
melayani segala sistem komunikasi pesan
dan simbol untuk masyarakat umum hal
ini fungsinya untuk menghibur, dan
menginformasikan,
serta
untuk
menanamkan individu dengan nilai-nilai,
keyakinan, dan kode perilaku yang akan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
mengintegrasikan mereka ke dalam
struktur kelembagaan masyarakat yang
lebih luas. Ketika media didominasi oleh
gaya pemegang kekuasaan, maka tak
jarang media dijadikan sebagai alat
propaganda. Begitu pula dalam aspek
kapital yang dimana para pemegang
kekuasaan dan pemilik kekayaan serta
menimbulkan konflik besar antar
kepentingan
kelas,
maka
untuk
memenuhi peran ini menggunakan
propaganda secara sistematis. (Herman &
Chomsky,1998 : 01).
Media
tentunya
memiliki
pemikiran dan strategi tersendiri dalam
membangun wacana pada berita yang
akan ditampilkannya. Dugaan media
massa akan mengalami pertarungan di
ruang redaksi saat mengkonstruksi dan
merepresentasikan pemberitaan apalagi
bila dikaitkan ideologi yang dimiliki oleh
media dan pengaruh faktor-faktor
lainnya.
Ketika
merepresentasikan
kelompok-kelompok orang, media juga
sering mengatakan berbagai hal tentang
budaya, karena kelompok-kelompok
orang tersebut dapat termasuk ke dalam
budaya atau subkultur tertentu.
Aspek kekuatan media disini
dibentuk oleh budaya media itu sendiri.
Sebuah budaya media telah hadir, di
mana citra, suara, dan lensa membantu
menghasilkan rajutan kehidupan seharihari,
mendominasi
waktu
luang,
membentuk
pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial, dan memberikan
bahan yang digunakan orang untuk
membangun identitas pribadi. Budaya
media
adalah
budaya
industri,
diorganisasi atas model produksi massa
dan diproduksi untuk massa audiens
berdasarkan tipe (genre), mengikuti
rumus, kode dan aturan – aturan yang
mapan. Karena itu, media merupakan
suatu bentuk budaya komersial dan
produknya adalah komoditas yang
berusaha menarik laba pribadi yang
dihasilkan
perusahaan-perusahaan
raksasa
dengan
kepentingan
mengumpulkan modal. Budaya media
57
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
membidik masyarakat luas, sehingga
harus berputar pada tema-tema dan
masalah-masalah kekinian dan amat
berhubungan dengan yang sedang
digemari saat ini, memberikan suatu
hieroglif tentang kehidupan sosial
kontemporer.
Pertunjukan
budaya
media
mempertontonkan siapa yang berkuasa
dan siapa yang tidak, siapa yang
diperbolehkan menggunakan paksaan dan
kekuatan dan siapa yang tidak. Mereka
mendramatisasi
dan
mengabsahkan
kekuatan pihak yang berkuasa dan
menunjukkan kepada yang tak berdaya
bahwa jika mereka gagal ikut, mereka
akan dipenjara atau dihukum. Karena itu,
mempelajari
cara
memahami,
mengintepretasikan
dan
mengkritik
makna dan pesan budaya media adalah
hal penting bagi orang-orang yang sejak
awal terlahir berkutat di masyarakat
media dan konsumen. Budaya media
memiliki berbagai dampak materialnya,
ketepatangunaannya ; dan salah satu
tujuan studi budaya adalah menganalisis
bagaimana berbagai teks dan jenis
budaya media terentu mempengaruhi
para audiensnya, dampak nyata macam
apa yang ditimbulkan oleh berbagai
artefak budaya media,s erta potensi
dampak
kontra
hegemonic
dan
keungkinan perlawanan dan perjuangan
jenis apa yang juga ditemukan dalam
karya-karya budaya media.(Kellner, 2010
: 57)
Media juga menginformasikan
kepada kita tentang budaya – budaya kita
sendiri, generasi muda, sekelompok
orang dan lain sebagainya. Apakah yang
diinformasikan oleh media merupakan
kebenaran adalah persoalan yang lain.
Namun, beberapa pandangan tentang
budaya-budaya ini direpresentasikan.
Terdapat pesan-pesan tentang budayabudaya tersebut.
Dalam studi budaya (Cultural
Studies) menyatakan bahwa bahasa pada
teks bukanlah media netral bagi
pembentukan makna dan pengetahuan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
tentang dunia objek independen yang
‘ada’ diluar bahasa, tapi ia merupakan
bagian utama dari makna
dan
pengetahuan tersebut. Jadi, bahasa
memberi makna pada objek material dan
praktik sosial yang dibeberkan oleh
bahasa kepada kita dan membuat kita
bisa memikirkan dalam konteks yang
dibatasi oleh bahasa. Proses-proses
produksi makna merupakan praktik
pemaknaa, dan memahami kebudayaan
berarti mengeksplorasi bagaimana makna
dihasilkan secara simbolis dalam bahasa
sebagai suatu sistem pemaknaan.
(Barker, 2004 : 08).
Menurut Golding dan Murdock
dalam Curran (2010 : 16) Memahami
komunikasi dalam pandangan studi
budaya ialah fokus pada konstruksi
makna – bagaimana makna itu
diproduksi,
melalui
bentuk
yang
ekspresif dan bagaimana makna itu
dinegosiasikan dan didekonstruksikan
melalaui paraktek kehidupan sehari-hari
(Murdock, 1989). Permaslahan ini
menimbulkan satu hal dengan tiga
perbedaan, yakni; pertama, yang paling
mendalam dan besar-fokus pada analisa
teks budaya termasuk produksi makna
oleh industri media. Jika diibaratkan
dengan model transportasi media, sebagai
thriler, opera sabun, atau film
dokumenter yang menjadi kendaraan
untuk menyampaikan pesan kepada
konsumen. Dalam pendekatan studi
budaya ini dipahami sebagai mekanisme
untuk menciptakan tanda dalam berbagai
cara. Pada analisa isi dilihat makna dari
perkataan, tindakan kekerasan dalam
drama televisi, didefinisikan dalam
sebuah tindakan ‘advanced’ (tambahan)
yang terlepas dari posisinya didalam teks
atau hubungan program terhadap teks
yang lain. Studi budaya menegaskan
bahwa makna adalah variabel dan
tergantung dengan konteks yang disuplai
oleh narasi, genre program, dan publisitas
program itu sendiri beserta bintangya.
Penekanan relasi dari dimensi
makna dan konsekuensi mutasinya
58
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
mengikuti riset studi budaya, yang mana
audiens menginterpretasikan artefak
media serta inkorperasinya dalam
pandangan dan gaya hidupnya. Etnografi
ini mendukung adanya kreatifitas dari
konsumen (lihat willis 1990) dan
menawarkan kekuatan model ‘efek’ yang
sederhana. Karena memandang anggota
audiens sebagai subjek yang aktif, secara
kontinu berjuang untuk situasi mereka
sendiri daripada sekadar objek yang pasif
dari sebuah sistem dominasi produk. Hal
ini bagaian dari studi budaya untuk
mendapatkan kembali kompleksitas dari
praktek populer dan kepercayaan.
Sebagai kekuatan dalam gagasan ‘efek’
dan meremehkan adanya kritik terhadap
budaya populer sebagai trivia dan
manipulasi
sangatlah
jelas.
Bagaimanapun juga bila kita mau
melihat, hal ini mudah berkolusi dengan
konservatif tanpa kendala dari pilihan
konsumen.
Dalam pemikiran umum kaum
liberal mengenai ‘pasar bebas’, kaum
populis studi budaya fokus pada momen
pertukaran ketika makna dibawa oleh
teks untuk menjumpai makna yang ada
dalam
referensi
pembaca.
Pada
analisanya, ‘pertemuan’ ini dipindahkan
dari konteks dan dipresentasikan sebagai
kedaulatan konsumen. John Fiske juga
menuliskan, ini sebagai sinyal dari
resistensi
popular
ideologi
yang
mengadakan perlawanan : atas-bawah
melawan bawah-atas. Dalam displin
sosial ini dikenal dengan menghadapai
kekacauan (Fiske 1989). Pada pandangan
studi budaya jelas, persoalan ini ideologi
media
massa
beroperasi
untuk
mendukung dominasinya. Namun studi
budaya masih menyisakan masalah dan
menawarkan analisa yakni bagaimana
mereka mengoperasikannya sebagai
industri? Dan bagaimana organisasi
ekonomi dikaitkan dengan produksi dan
sirkulasi makna? Meski mengusulkan
cara bagaimana orang mengonsumsi
pilihan mereka yang telah terstruktur oleh
jabatan
dalam
formasi
ekonomi.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Mengeksplorasi dinamisasi adalah tugas
utama bagi ekonomi politik kritis
komunikasi. Dengan demikian kita bisa
mengikuti statement Raymond William
yang menyatajan ‘kita seharusnya tidak
melihat komponen dari produk tapi kita
tinjau dari kondisi prakteknya’.
Makna dikonstruksi dalam materi
melalui tanda- tanda dan khususnya
konvensi-konvensi. Pengkonstruksian ini
adalah sesuatu yang dilakukan oleh
audiens serta produser. Makna tersebut
bukan
merupakan
sesuatu
yang
menyerupai parsel yang dibungkus dan
diberikan kepada audiens. Makna
tersebut lebih menyerupai cetak biru
(Blueprint) untuk suatu struktur yang
diharapkan oleh para produser media
untuk diikuti oleh audiens dan yang
dirancang oleh para produser tersebut
secara cermat. Namun, audiens dapat
membangun sesuatu yang lain dari desain
ini. Audiens bukanlah penerima yang
pasif terhadap apa yang ditawarkan oleh
media.(Burton, 2008 : 39).
Dalam
dunia
kontemporer,
memaknai kerap dibuat oleh institusi
yang kita kenal dengn istilah media, yang
mana memproduksi makna telah menjadi
profesi. Seperti halnya media-memaknai
berhubungan dengan orang-orang yang
perilakunya terlembaga dengan praktisi
pekerja. Hal ini melibatkan munculnya
hubungan kekuatan diantara orang-orang
dalam
pengaturan
kelembagaan.
Pengungkapan agenda, kepentingandan
perjuangan antara orang-orang seperti itu
membantu memberi kita wawasan ke
dalam dunia makna yang kita lalui.
Memahami
makna
dalam
lingkungan kita tidak hanya pekerjan
akademik saja.
Bagaimanapun juga
kegagalan dalam merefleksikan makna
berpotensi
dapat
menimbulkan
manipulasi
bagi
mereka
yang
merefleksikan proses komunikasi ini.,
dan mengurangi kapasitas keterlibatan
dalam lingkungan demokrasi. Begitu pula
dalam pemberitaan media massa, teks
dapat membangun ratusan makna dan
59
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
membuahkan interpretasi bebas bagi
yang membacanya,sehingga multitafsir
menjadi sebuah nilai yang tak beraturan
bagi pembaca dan persepsiannya.
Bagi mereka yang tertarik dalam
pengungkapan makna dalam perspektif
kritis terdapat dua pendekatan yang dapat
digunakan, yang pertama dikenal dengan
pendekatan studi budaya dan pendekatan
ekonomi politik. Studi budaya fokus
pada dekonstruksi teks dan sistem koding
sebagai
upaya
menghilangkan
ketidakjelasan makna. Ekonomi politik
melihat bagaimana makna menjadi ‘nilai
dagang’ yang berorientasi perolehan
keuntungan dari publik.
Berbagai kolam komunikasi telah
muncul sebagai kelompok atau struktur
makna yang telah beku dari waktu ke
waktu. Kolam komunikatif ini adalah
gaya komunikasi atau pola sirkulasi yang
diambil pada bentuk identifikasi yang
kita sebut sebagai masyarakat atau
budaya. Kolam makna telah berkembang
menjadi ‘budaya global’ yang telah
digabungkan dari berbagai variasi sub
kolam (atau masyarakat). Makna ini kita
gunakan untuk menghasilkan persona,
untuk negosiasi dan posisi kita di
lingkungan sosial. Tetapi kita juga
membantu untuk menciptakan dan
meyebarkan makna ini untuk proses
hidup. Karena masyarakat dan budaya
tidak statis mereka terus menerus
menemukan kembali serta berjuang, tiap
individu memberikan kontribusi untuk
membentuk makna sosial dalam proses
komunikasi sehari-hari. Kita tidak dapat
menolong tapi hanya mengubah struktur
koding yang mana individu berjuang agar
masuk akal serta memberikan bentuk
terhadap dunia ini. Sebab itulah, kolam
makna tadi yang membentuk kita dan
pada gilirannya kita dibentuk melalui
kehidupan kita. Pergesean kecil dalam
kolam makna akan menjadi perbedaan
dalam tiap generasi. Budaya kita berubah
dan
berkembang
karena
proses
komunikasi koding dan dekoding tidak
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
dapat dihitung, kecil, dan transaksi
kreatif antar manusia.(Louw, 2001 : 02).
Berdasarkan
beberapa
permasalahan dalam kajian media
sebelumnya, maka dalam hal ini, media
penting untuk dikaji lebih mendalam
secara sistematis baik dari segi
pemahaman dasar teori dengan mengkaji
dari sisi varian media maupun terapan.
Media tentu tidak lepas dari bias – bias
makna pada teks dan perspektif maupun
persepsi yang ditampilkan. Sehingga
kapasitas pemberitaan media massa dapat
diamati lebih mendalam dari sisi kajian
bagaimana representasi media menjadi
alat komodifikasi, dan marginalisasi
terhadap aktor berita. Selain itu juga
dilihat bagaimana varian media yang
dilihat pada komodifikasi peristiwa dan
aktor, strukturasi dan locus media serta
bagaimana teks dibangun dengan melihat
proses gatekeeping media dan juaga
penelaahan teks yang disajikan oleh
media.
PEMBAHASAN
Representasi Media
Kajian
kaum
struktural
mengarahkan perhatian pada sistem
penandaan (signification) dan penyajian
kembali (representation) isi media
dengan melihat teks sebagai unit analisis,
seperti teks media cetak, elektronik dan
media baru. Bagian terbesar dari studi
budaya terpusat pada pertanyaan tentang
representasi, yaitu bagaimana dunia ini
dikonstruksi dan direpresentasikan secara
sosial keada dan oleh kita. Benar, unsur
utama studi budaya ini dapat dipahami
sebagai studi kebudayaan sebagai praktik
pemaknaan
representasi.
Hal
ini
mengharuskan
kita
mengeksplorasi
pembentukan makna tekstual. Selain itu
juga menghendaki penyilidikan tentang
cara dihasilkanya makna pada beragam
konteks. Representasi dan makna budaya
memiliki materialitas tertentu, merek
melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra,
60
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
buku, majalah, dan program televisi.
Mereka
diproduksi,
ditampilkan,
digunakan dan dipahami dalam konteks
sosial tertentu.
Stuart Hall menyebut representasi
sebagai gambaran sesuatu yang akurat
atau realita yang terdistorsi. Representasi
tidak hanya berarti “to present”, “to
image”, atau “to depict. Menurut Hall,
representasi adalah sebuah cara dimana
kita memaknai apa yang diberikan pada
benda yang digambarkan.
Stuart Hall, dalam bukunya
Representation
:
Cultural
Representations and Signifying Practices
(2004:28),
menegaskan
bahwa
representasi adalah sebuah proses
produksi dan pertukaran makna antara
manusia atau antar budaya yang
menggunakan gambar, simbol dan
bahasa. Representasi pada akhirnya
menghubungkan antara makna dan
bahasa
terhadap
budaya.
Jika
digambarkan dalam sirkuit budaya,
menurut Hall, menghubungkan antara
regulasi, konsumsi, produksi dan
identitas ke dalam representasi.
Baik
representasi
dan
misrepresentasi tersebut adalah peristiwa
kebahasaan.
Bagaimana
seseorang
ditampilkan dengan tidak baik, bias
terjadi
pertama-tama
dengan
menggunakan
bahasa.
Dalam
representasi, sangat mungkin terjadi
misrepresentasi
:
ketidakbenaran
penggambaran, kesalahan penggambaran.
Seseorang atau suatu kelompok, suatu
pendapat,
sebuah
gagasan
tidak
ditampilkan sebagaimana mestinya atau
adanya.
Melalui
bahasa
tindak
misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh
media
dan
dihadirkan
dalam
pemberitaan.
Stuart Hall menggambarkan bahwa
bahasa melukiskan relasi encoding dan
decoding melalui metafora produksi dan
konsumsi. Dalam hal ini peristiwa yang
ditandakan (encode) sebagai realitas.
Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi
sebagai realitas oleh wartawan/media.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Realitas selalu siap ditandakan ketika kita
menganggap
dan
mengkonstruksi
peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas.
Selain itu ketika kita memandang sesuatu
sebagai realitas, pertanyaan berikutnya
adalah
bagaimana
realitas
itu
digambarkan. Berdasarkan keterangan
diatas, kita menggunakan perangkat
secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat
teknis itu adalah kata, kalimat atau
proposisi, grafik, dan sebagainya.
Ketika
merepresentasikan
kelompok-kelompok orang, media juga
sering mengatakan berbagai hal tentang
budaya, karena kelompok – kelompok
orang tersebut dapat termasuk ke dalam
budaya atau sub kultur tertentu. Salah
satu masalah dalam menentukan pesan
dan makna ini berasal dari fakta bahwa
terdapat rentang materi media seperti itu.
Banyak hal yang bergantung pada apa
yang dipilih oleh audiens untuk ditonton
atau dibaca.
Sehingga dari sini perlu bagi kita
untuk melakukan pengembangan analisa
makna pada media. Mengembangkan
sebuah
analisa
makna
berarti
menghindari
godaan
ganda
dari
strukturasi
dan
instrumen.
Instrumentalisme fokus pada cara
kapitalis
menggunakan
kekuatan
ekonomi dengan sistem pasar komersil
untuk meyakinkan arus informasi publik
sesuai
dengan
keinginan
meraka
(kapitalis). Mereka melihat privatisasi
kepemilikan media sebagai instrumen
kelas dominan. Persoalan ini memberikan
argumentasi Edward S. Herman dan
Noam Chosky, tentang persetujuan
pabrik/industri: ekonomi politik media
massa (1988). Metreka mengembangkan
apa yang disebut dengan model
propaganda dari pemberitaan media.
Argumentasinya menyatakan bahwa
kekuatan mampu untuk memenempatkan
wacana , guna memutuskan apa yang
diijinkan untuk dilihat, didengar dan
dipikirkan oleh rakyat serta memanage
opini
publik
melalui
kampanye
propaganda. Pemerintah dengan pebisnis
61
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
elit memiliki akses istimewa kepada
redaksi. Pengiklan besar mendukung
suratkabar dan program acara TV. Para
pemilik media bisa menentukan garis
editorial dan sikap budaya surakkabar
serta stasiun TV yang mereka miliki.
Melalui fokus pada intervensi strategi
merekal mengabaikan kontradiksi dalam
sistem. Pemilik, pengiklan serta politisi
tidak bisa selamanya berbuat sesuai
dengan keinginan mereka. Mereka
beroperasi dalam struktur yang memaksa
fasilitas, menembus batas maupun
menawarkan kesempatan. Menganalisa
sumber alam akan keterbatasan menjadi
tugas kunci utama budaya kritis ekonomi
politik.
Pada waktu bersamaan sangat
penting untuk menghindari bentuk
strukturasi yang dibangun berdasar
ketidaksukaan, solid, permanen serta
tidak dapat diubah. Kita harus melihatnya
dalam sebagai formasi dinamis yang
secara konstan mereproduksi dan diubah
melalui praktek. Dalam pandangannnya
mmichel
Schudson
berargumentasi
bahwa ekonomi politik berhubungan
dengan hasil dari proses pemberitaan
dengan struktur ekonomi redaksi berita,
dan ‘kesemua’ itu ada dalam black box
yang tidak perlu dibahas (Schudson
1989). Ini keliru. Meskipun beberapa
studi membatasi diri kepada analisa
struktural, hanya bagian dari cerita yang
harus dipaparkan. Menganalisa cara
bagaimana makna dibuat dan dibuat
ulang melalaui aktifitas produser dan
kesetimbangan
konsumen
melalaui
perspektif yang dijelaskan disini.
Tujuannya
adalah
menjelaskan
bagaimana
hal
tersebut
(makna)
dihasilkan melalaui struktur yang diatur
oleh sikap, dan bagaimana sikap yang
diatur oleh struktur (Giddens).
Ini gilirannnya, membutuhkan
pemikiran kita tentang penentuan
ekonomi
yang
lebih
fleksibel.
Berpegangan pada gagasan Marx,
berimplikasi pada segala sesuatu yang
bisa dihubungkan dengan kekuatan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
ekonomi. Kita bisa mengikuti pemikiran
Stuart Hall (1983) dalam memandang
penentuan dalam menjalankan instansi.
Ini bermaksud mengatakan kita berpikir
ekonomi dinamis sebagai pemahaman
kunci terhadap lingkungan dimana
komunikasi berlangsung.
Varian Media
Pada
konteks
varian
yang
digunakan pada pembahasan kajian ini,
diantaranya varian strukturalist. Jika
kulturalisme memandang makna sebagai
kategori sentral dan melihatnya sebagai
produk agen manusia aktif, struralisme
justru
berbicara
tentang
praktik
pemaknaan yang membangun makna
sebagai hasil struktur atau keteraturan
yang dapat diperkirakan dan berada di
luar diri individu. Strukturalisme bersifat
anti humanis dalam meminggirkan agen
manusia dari inti penyelidikan, lebih
memilih bentuk analisis di mana
fenomena hanya memiliki makna ketika
dikaitkan dengan struktur sistematis yang
tidak ada individu yang menjadi
sumbernya. Pemahaman strukturalis
terhadap kebudayaan menaruh perhatian
pada “sistem relasi’ struktur yang
mendasarinya (bahasa) dan tata bahasa
yang memungkinkan terciptanya makna.
(Barker, 2004 : 17)
Disini,
penulis
menggunakan
asumsi the philosophy of meaning yang
dimana locus pada penulisan dengan
mengacu pada teks yang melihat
bagaimana
struktur
bahasa
yang
dibangun oleh media massa, kemudian
peran penulis dengan memaknai teks
melalui struktur yang dibangun tersebut,
diantaranya dengan tidak mengabaikan
sense penulis namun tetap mengacu pada
metode yang objektif melalui struktur
analisis bahasa melalui pendekatan
wacana dan pemaknaan teks pada wacana
media
untuk
melihat
bagaimana
representasi tersebut dibangun oleh
media dalam menyikapi suatu peristiwa.
Penyudutan sisi aktor dalam media
berakar dari struktur teks yang disusun
62
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
oleh media. Keberadaan teks ini menjadi
‘alat’ untuk membentuk perspektif
khalayak dalam menyikapi permasalahan
pemberitaan sebagai tujuan untuk
memantau kekuasaan bahkan untuk
menggunakan kekuasaan dari media itu
sendiri.
Menurut
Saussure,
makna
diproduksi melalui proses seleksi dan
kombinasi tanda-tanda di sekitar dua
poros, yaitu poros sintagmatis dan poros
paradigmatik. Saussure cukup kritis
dalam mengembangkan strukturalisme.
Dia menyatakan bahwa makna terbangun
melalui sistem perbedaan terstruktur pada
bahasa. Pemaknaan lebih sebagai hasil
dari aturan dan kovensi yang mengatur
bahasa (langue) ketimbang sebagai
pemakaian dan ujaran spesifik yang
dilakukan individu dalam kehidupan
sehari – hari (parole).
Selama ini makna selalu makna
selalu dipahami oleh kaum strukturalis
sebagai produk dari kehadiran sang
subjek (Ada, kesadaran, roh, rasio).
Makna diidentifikasikan dengan momen
fonosentris
(Saussure)
atau
intensionalitas yang berawal dari
“kehadiran
absolut”
(Husserl).
Sebaliknya di ujung seberang sana tanda
bukanlah apa-apa selain representasi dari
makna yang tidak dapat berdiri sendiri
dan terpisah dari kehadiran subjek yang
membentuknya. Tanda dengan kata lain,
bermain pada level permukaan yang
elementer dan bukan merupakan fondasi
dari bangunan teks. Jika sebuah teks
diibaratkan dengan panggung sandiwara
maka tanda adalah dekorasi yang
membuat panggung lebih megah. Tapi
dekorasi hanya unsur pelengkap dari
lakon dan bukan alasan mengapa
seseorang harus menonton sebuah
pertunjukan. Dengan memilah makna dan
tanda secara hierarkis dan oposisional,
strukturalisme
ingin
menegaskan
pentingnya momen fonosentris dalam
bahasa. Fonosentrisme menjembatani
oposisi makna/tanda dalam rangka
membentuk kembali teks secara utuh.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Dalam fungsinya sebagai mediator
makna/tanda, momen fonosentrisme
mirip dengan kerja Aufhebung dalam
konsep Hegel, yaitu mempertemukan dua
hal yang berlawanan untuk mencapai
kesempurnaan yang lebih tinggi.
Saussure dan strukturalismenya
secara umum, lebih banyak menaruh
perhatian pada struktur bahasa yang
memungkinkan
performa
linguistik
ketimbang performa yang sebenarnya
dalam variasi tanpa batas.
Bahasa
merupakan bagian dari kehidupan sosial
sehingga fungsi bahasa ditentukan oleh
kesepakatan mengenai aturan atau
kaidah-kaidah
yang
dibangun
masyaraatnya yang disebut dengan
parole.
Sedangkan
bahasa
yang
digunakan dalam praktiknya sebagai
bentuk perwujudan parole disebut
langue.
Minat
strukturalisme
untuk
menarik simpul-simpul struktur dalam
aktivitas berbahasa sebenarnya sudah
menandakan kematian subjek. Dengan
menelaah bahasa dalam kerangka sistem,
tak ada lagi yang menaungi subjek selain
relasi-relasi
yang
mempertautkan
berbagai sistem penandaan. Penekanan
Saussure bahwa bahasa adalah bentuk,
dan bukan substansi, mempertegas bahwa
kematian subjek sudah di ambang mata
dan filsafat sudah tidak bisa lagi menoleh
pada antroposentrisme. Pencerahan untuk
mempertahankan
dirinya
sebagai
penguasa
tunggal
dalam
medan
pemaknaan yang kian lebar dan tak
terbendung.
Sistem bahasa memiliki elemen –
elemen di mana hubungan antarelemen
dalam sistem merupakan struktur
sintagmatik
sedang
keterkaitan
antarelemen di luar sistem merupakan
struktur
paradigmatik.
Pemikiran
strukturalisme bahasa tersebut kemudian
mempengaruhi
pemikiran
tentang
kehidupan masyarakat dan analisis
bahasa digunakan dalam menganalisis
bidang ilmu sosial dan budaya. Secara
umum yang dimaksud struktur dalam
63
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
strukturalisme merupakan kerangka
pemikiran yang menganggap bahwa
keteraturan dan rambu dalam kehidupan
bisa memelihara dan memberikan arti
pada kehidupan masyarakat. Berdasarkan
konsep struktur tadi kajian kaum
struktural senantiasa memandang aturan
– aturan atau landasan media yang
menentukan arah praktik media. (Rusadi,
2015 : 13 – 14)
Lois Althusser (1971) mengambil
gagasan Saussure mengenai struktur
linguistik dan menggunakannya untuk
mengembangkan
idenya
mengenai
Ideological State Apparatus (ISA).
Ideologi dominan/makna yang dipandang
sebagai hal tetap atau kode yang akan
masuk dalam kepala kita melalui ISA.
Melalui dunia Althusserian-pandangan,
kekuasaan berasal dari kontrol ISA.
Agensi manusia diberikan lingkup yang
kecil dalam pandangan struktural dan
subjektifis komunikasi manusia. (Louw,
2001 : 11). Namun pandangan
strukturalisme ini kemudian juga dikritik
oleh Althusser dan kelompoknya dan
kemudian memperbarui pandangan Marx
tersebut bahwa ideologi merupakan
representasi dari hubungan imajiner
antara individu dengan kondisi nyata
eksistensnya. Jadi, ideologi memiliki
posisi otonom dan tidak ditentukan oleh
ekonomi.
Locus Media
Pembahasan pada penulisan ini
locus kajian media disini menggunakan
beberapa locus seperti teks. Tentunya
teks disini terkait dengan bahasa. Bahasa
adalah organisme. Kata – kata
berinteraksi, menyerap, diserap, dan
berbiak. Dalam konteks bahasa, apa yang
teks tak lebih dari himpunan huruf yang
membentuk kata dan kalimat yang
dirangkai dengan sistem tanda yang
disepakati oleh masyarakat, sehingga
sebuah teks ketika dibaca bisa
mengungkapkan
makna
yang
dikandungnya. Oleh karenanya, dari
sudut
pandang
mazhab,
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
transendentalisme
hermeneutik,
kebenaran yang lebih konsisten justru
ketika tertuang dalam teks, bukannya
dalam
diri
pengarangnya
yang
kadangkala labil dan situasional.
Teks sudah menjadi bagian dari
kehidupan sehari – hari manusia. Jika
kita memahami kegunaan teks sebagai
suatu tanda yang sudah disepakati dalam
konteks komunikasi sejak berabad-abad
lamanya. Peranan teks dalam kehidupan
manusia tidak dapat dikatakan sebagai
suatu nilai yang sederhana karena di
dalam balutan era seperti saat ini teks
memiliki peran penting dalam memenuhi
kebutuhan manusia. Seiring kebebasan
berpendapat oleh publik dan keterbukaan
informasi, masyarakat bebas untuk
menuangkan segala komunikasi yang
diutarakan dengan atau tanpa makna
khusus di dalamnya. Teks juga sebagai
realitas yang mampu membentuk
beragam aspek kehidupan seseorang.
Meski begitu, titik lemah ini kemudian
memiliki kelemahan seperti teks juga
seringkali disalah makna kan hingga
kerap
memunculkan
kesenjangan.
Kesenjangan sebagai wujud pengaruh
teks yang dimulti tafsir dengan berbagai
sudut pandang yang berbeda-beda
sehingga ketidaksepahaman atas suatu
teks kerap menjadi permasalahan.
Dicontohkan pada salah penafsiran teks
Undang-Undang atas ketentuan hukum
yang
berlaku
kerapkali
menjadi
pedebatan dengan mempertahankan
argumen sesuai dengan kepentingan
masing-masing. Selain itu penafsiran teks
kitab suci yang saat ini juga masih
menjadi perdebatan atas dalil yang benar
atau tidak.
Semula
Teks
tidak
pernah
menduduki posisi yang mapan sepanjang
zaman. Selama abad ke 19, ketika kaum
Romantik dan Ekspresionis mendominasi
praktik kajian teks, perhatian utama teori
dan studi teks terfokus kepada pengarang
sebagai penghasil karya sastra atau kitab
ajaran. Pada era modern, teks media dan
kaitannya dengan industri media juga
64
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
menjadi studi khusus yang mengkaji
tentang bagaimana media memiliki peran
utuh pembentuk ideology dan sebagai
‘lokomotif’ tangguh untuk menarik
publik sebagai ‘gerbong’ atau pengikut
dari isu dan perspektif yang ditanamkan.
Penguatan tanda pada suatu teks
meski sederhana dalam membuatnya.
Tidak menjamin bahwa teks tersebut
akan dapat memberikan makna secara
jelas kepada pembaca atau pendengarnya
apabila teks dibacakan. Jika ditelaah
secara mendalam, pembuatan teks
sebenarnya tidaklah sesederhana yang
dipikirkan. Hal tersebut dapat dilihat
bagaimana proses ketidaksederhanaan
tersebut adalah melalui proses berpikir.
Mengacu pada pemikiran filosof dalam
menyampaikan dasar-dasar pemikirannya
yang merujuk pada sebuah kebenaran
sejati yang disebarkannya melalui sebuah
teks. Tentu tidak mudah bagi para filosof
dalam menyampaikannya karena harus
memperhatikan beberapa hal selama
proses penulisan yang diantaranya
memperhatikan
struktur
penulisan,
kemudian penataan bahasa agar mudah
dipahami oleh orang lain dan yang
terpenting adalah membuat teks yang
mampu memberikan efek pesan yang
kuat dan berpengaruh pada sebuah tindak
lanjut perilaku manusia dan mampu
membentuk sebuah ideologi dalam
berpikir maupun dalam menentukan
sebuah kebijakan.
Menurut Hidayat dalam Sobur
(2005 : 55) dalam pengertian pandangan
Ricouer, pengertian teks sebatas bentuk
tulisan masih bisa didiskusikan lagi. Jika
teks adalah rekaman dari sebuah wacana.
Dalam membaca, seseorang diharapkan
untuk melakukan dialog imajinatif
dengan penulisnya, meskipun antara
keduanya hidup dalam kurun waktu serta
tempat yang berbeda. Maka disinilah kita
dihadapkan pada sebuah prasangka
hermeneutik. Jika sebuah teks tidak
diteliti dan diinterogasi secara kritis, bisa
– bisa kesadaran kognitif kita akan
dijajah oleh teks.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
KERANGKA TEORITIS
Strukturasi merupakan sebuah
konsep yang dikembangkan paling
mencolok di dalam karya-karya sosiologi
Anthony Giddens (1984). Awalnya,
Giddens menghadirkan teori strukturasi
sebagai
sebuah
upaya
untuk
menjembatani apa yang dia rasa sebagai
jurang antara perspektif teoretis yang
melatardepani struktur dan menekankan
pada tindakan dan agensi. Ini meliputi
jurang (gap) antara sebagai contoh
sejumlah teori struktural yang terdapat di
dalam karya Durkheim, Levi Strauss, dan
Althusser, dan persektif-perspektif (teori)
berorientasi tindakan yang dibentangkan
para sosiolog, termasuk Marx Weber, dan
sejumlah teoretisi yang berorientasi
fenomenologis seperti Schultz dan
Gadamer.
Untuk mencapai tujuan ini,
Giddens
mengusulkan
untuk
mempertimbangkan struktur sebagai
sebuah dualitas, yakni berupa aturanaturan yang mengekang (constraining
rules) dan sumberdaya-sumberdaya yang
membebaskan (enabling resources).
Tidak lebih sebagai perancah keras yang
mengontrol dan memberi bentuk-bentuk
pada kehidupan sosial, struktur itu
membentuk tindakan dan direproduksi
olehnya. Dalam hal ini, sruktur dan
tindakan itu saling terhubung dalam
pembentukan pola kehidupan sosial yang
berlangsung terus menerus. Sebagaimana
yang diakui oleh Giddens sendiri, konsep
strukturasi itu bukan sesuatu yang baru
dalam pemikiran sosial. Ini memang
merupakan komponen utama dalam
karya historisnya Marx, ia mengelaborasi
dalam sebuah frase yang baik, bahwa
(menurutnya) orang membuat sejarah,
tetapi tidak di bawah kondisi pembuatan
milik mereka.
Konsep pada strukturasi terbagi
dalam dua konsep yaitu ‘struktur’,
‘sistem’ dan ‘dualitas struktur’. Gagasan
struktur (atau ‘struktur sosial’) tentu saja
sangat penting dalam tulisan – tulisan
65
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
kebanyakan penulis fungsionalis dan
telah memberikan andilnya pada tradisi
‘strukturalisme’, namun tampaknya tidak
ada konsep yang paling cocok dengan
tuntutan – tuntutan teori sosial. Konsepsi
– konsepsi seperti itu berhubungan
dengan dualism subyek dan obyek sosial
: di sini ‘struktur’ ternyata sebagai
sesuatu yang bersifat ‘eksternal’ bagi
tindakan manusia, sebagai sumber yang
mengekang (constraint) prakarsa bebas
subyek
yang
disusun
secara
mandiri.(Giddens, 2011 : 29)
Kasus yang selalu muncul adalah
bahwa adalah bahwa aktivitas sehari –
hari aktor – aktor sosial ternyata
mempergunakan dan mereproduksi sifat
– sifat structural sistem – sistem sosial
yang lebih luas. ‘Reproduksi sosial’
hendaknya tidak disamakan dengan
konsolidasi kohesi sosial. Lokasi aktor
dan kolektivitas pada sektor atau
kawasan yang berbeda – beda dalam
sistem sosial yang lebih luas cakupannya
jelas mempengaruhi dampak perilaku
kebiasaannya pada integrasi totalitas
kemasyarakatan. Hal ini kita mencapai
batas – batas contoh linguistik yang
mungkin
digunakan
untuk
menggambarkan konsep dualitas struktur.
Penjelasan yang teliti tentang masalah –
masalah analisis sosial bisa diambil dari
kajian kualitas keberulangan tuturan dan
bahasa. Ketika kita menghasilkan ujara
gramatikal, kita menggunakan aturan –
aturan sintaksis yang sama sebagai
aturan- aturan yang dapat membantu
menghasilkan ujaran. Bukan merupakan
masalah yang berhubungan dengan
konsep dualitas struktur, melainkan
berkaitan dengan bagaimana sistem
sosial, terutama ‘masyarakat’ yang harus
dikonseptualisasikan.
Tabel 1. Dualitas Struktur
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Media mampu memposisikan diri
sebagai alat yang mampu merubah
struktur sistem sosial dengan me re
produksi (produksi kembali) sistem sosial
yang ada dengan menjadikan bahasa
sebagai akar struktur media dengan
memainkan peran kekuasaan informasi.
Tentunya hal ini tidak lepas dari
bagaimana pemilik media dalam
organisasi media secara masif mampu
memproyeksikan
media
untuk
‘menyusup’ dan ‘berbaur’ dalam sistem
sosial. Persoalan mengenai organisasi
media akan terkait pada kekuatan media
yang dalam praktiknya akan tergantung
pada pengendalian media. Murdock
(1982) dalam Rusadi (2005 : 21), melihat
media sebagai suatu badan usaha besar,
industri komunikasi yang tidak sekadar
menghasilkan produk berupa barang dan
jasa, tetapi lebih dari itu. Industri
komunikasi
menggambarkan
dunia
kontemporer, imaji tentang kehidupan
indah yang semuanya berperan penting
dalam mengarahkan kesadaran manusia.
Kesemuanya
menyebabkan
isu
pengendalian (control) media mengarah
pada hubungan antara faktor ekonomi
dan budaya.
Organisasi media memiliki otoritas
penuh untuk memainkan isu peristiwa.
Hal ini mengingat satu dari Fourth
Theory of the Press (Empat Teori Pers),
Teori Liberlisme yang menegaskan
pentingnya
kebebasan
pers
dan
kebebasan media dalam menentukan
sendiri kebijakannya terutama kebijakan
keredaksian dalam menentukan sudut
pandang berita ataupun program. Di
Indonesia sendiri sudah mengacu pada
UU.No 40/1999 tentang kebebasan pers
dan juga mengatasnamakan
Pers
Pancasila, sehingga kepemilikan media
atau organisasi media memiliki otoritas
penuh dalam memainkan isu peristiwa
dan menentukan sudut pandang berita.
Kebebasan komunikasi memiliki
dua
aspek,
yaitu
menawarkan
serangkaian suara dan respons terhadap
berbagai kebutuhan atau tuntutan. Untuk
66
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
mengetahui keuntungan dari kebebasan
berekspresi dan publikasi, dibutuhkan
beberapa kondisi tertentu. Harus ada
akses terhadap saluran berekspresi dan
juga kesempatan untuk menerima
berbagai jennies informasi. Kondisi
struktural utama untuk kebebasan media
efektif adalah sebagai berikut : (McQuail,
2011 : 214).
1. Ketiadaannya sensor, perizinan, atau
control lain oleh pemerintah sehingga
terdapat hak yang bebas rintangan
untuk menerbitkan dan menyiarkan
berita dan opini, serta tidak adanya
kewajiban untuk menerbitkan apa
yang tidak diinginkan.
2. Hak dan kesempatan yang setara
untuk warga Negara untuk memiliki
akses kepada saluran berekspresi dan
publikasi sebagaimana akses sebagai
penerima (hak untuk berkomunikasi).
3. Kemandirian yang nyata dari control
berlebihan dan campur tangan pemilik
dan kepentingan politik atau ekonomi
dari luar.
4. Sistem yang kompetitif dengan
batasan terhadap konsentrasi media
dan lintas kepemilikan.
5. Kebebasan media berita untuk
mengambil informasi dari sumber
yang relevan.
Tidak ada Undang – Undang
khusus yang membahas bagaimana peran
pemilik media terhadao organisasi media.
Pandangan dari McQuail ini kemudian
menjadi kritik bahwa kepentingan
pemilik media sebagai kapitalis tidak
akan pernah melepaskan perannya.
Sehingga strukturasi dalam media masih
memainkan peran penting ekonomi
politik, seperti halnya pemberitaan
mengenai kasus – kasus tertentu di media
massa.
Salah satu karakteristik penting
teori strukturasi adalah terdepan dalam
melakukan perubahan sosial, yang dilihat
sebagai proses yang ada di mana-mana
yang
menggambarkan
bagaimana
struktur diproduksi dan reproduksi oleh
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
agen-agen manusia yang bertindak
melalui
perantara
struktur-struktur
tersebut. Konsep strukturasi merespons
kritisisme yang diarahkan pemikiran
fungsionalis,
institusional,
dan
strukturalis yang cepat keluar dari
kecenderungannya pada struktur-struktur
saat ini karena terbentuk secara penuh
(sempurna),
menentukan
entitas.
Pendekatan-pendekatan
ini
telah
berkontribusi penting pada pemahaman
tentang beroperasinya (cara kerja)
struktur, tetapi pendekatan tersebut tidak
memberikan sebuah laporan yang cukup
tentang perubahan sosial. Dalam
mempertimbangkan hubungan antara
struktur dan agen, kita juga perlu
memeriksa
hubungan
antara
pemeliharaan struktur dan sesuatu yang
tak bisa diacuhkan dari perubahan
sosial.(Mosco,2009 : 187)
Problem
utama
dari
teori
strukturasi Giddens adalah bahwa teori
tersebut cenderung menonjolkan agensi
individu, mengabaikan konsepsi struktur
yang membatasi seperangkat aturan
operasi dan perbekalan sumber daya yang
digunakan agen-agen individu untuk
memenuhi kebutuhan mereka. Konsepsi
Giddens tentang strukturasi tidak selalu
konsisten, tetapi problem utamanya
berasal dari persektif ekonomi politik
yang memisahkan strukturasi dari sebuah
pemahaman tentang kekuasaan dan
secara lebih umum dari pendekatan kritis
tentang masyarakat. Terdapat banyak
perbedaan macam aturan operasi
termasuk,
sebagaimana
Thompson
mencatat bahwa, aturan moral, aturan tata
bahasa, aturan etiket, dan lain
sebagainya. Tak dapat disangkal,
terhadap sejumlah referensi yang
mungkin membingungkan ini, Giddens
tidak memberikan tanggapan yang
memuaskan, dan tidak menawarkan
pengertian yang gamblang mengenai apa
aturan-aturan sosial itu dengan jelas,
mungkin dikarenakan ketegasan aturanaturan sosial tersebut akan menyulitkan
dirinya menjadikan teori strukturasi
67
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
sebagai teori transhistoris yang secara
esensial beroposisi pada Marx. Seseorang
dapat mengatakan hal yang sama tentang
sumber daya, yang dapat memasukkan
apapun dari pelayanan konseling yang
ditawarkan oleh seorang petugas
kesejahteraan sosial untuk komoditas
masa depan yang diperdagangkan di
pertukaran merkantili Chicago. Juga,
pengaturan sumberdaya dalam bentuk
khusus akan mengistimewakan tipe
sumberdaya tersebut, seperti sumberdaya
politik, melebihi sumber daya lain.
Dengan cara demikian penyusunan
sebuah teori umum tentang kehidupan
sosial ke dalam bacaan khusus secara
historis dari satu di antara banyak
manifestasi. Bacaan ekonomi politik
tentang strukturasi hanya membenarkan
hal tersebut. Secara khusus, ekonomi
politik menguasai gagasan umum
Giddens tentang dualitas struktur dan
tindakan, gagasan tersebut memberikan
bobot lebih besar pada kekuasaan dan
pada inkorporasi strukturasi ke dalam
sebuah pendekatan kritis pada analisis
sosial.
Representasi tak lepas dari peran
struktur dari media itu sendiri.
Representasi dipandang media sebagai
hasil (ouput) terhadap relasi – relasi
gerakan
sosial.
Struktur
mampu
memberikan persepsi dan pandangan
yang dihasilkan dari produksi budaya
media itu sendiri sebagai upaya media
memainkan peran untuk membentuk
ideologinya.
PENUTUP
Produksi komunikasi, bukanlah
refleksi
sederhana
dari
kontrol
kepentingan bagi mereka yang memiliki
ataupun mengkontrol jangkauan modal
dan peralatan yang dapat me make up
makna dengan barang-barang budaya
yang dibuat dan disitribusi. Media tempat
dimana masyarakat bekerja adalah
lapangan dari kode dan ideologi
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
profesional yang ada aspirasi personal
dan sosial.
Peningkatan
jumlah
produksi
budaya disumbang oleh korporasi besar
yang telah sejak lama menaruh perhatian
dengan teori demokrasi. Mereka melihat
kontradiksi fundamental antara idealnya
media publik harus beroperasi sebagai
ruang publik dan realitas pusat pribadi
pemilik. Mereka khawatir para pemilik
akan menggunakan hak prioritasnya guna
membatasi arus dari informasi dan debat
terbuka sebagai ketergantungan dari
demokrasi. Tidak hanya pemilik sperti
halnya Pullitzer dan Hearst di Inggris
yang memiliki rantai sirkulasi suratkabar
yang besar, tapi mereka secara jelas tidak
memiliki keraguan untuk menggunakan
media dalam rangla mempromosikan
kehendak politiknya atau menjelekan
orang yang tidak setuju dengan mereka
(pemilik media).
Ketika ekonomi politik telah
memberikan perhatian pada agensi,
proses, dan praktik sosial, ia cenderung
fokus ada kelas sosial. Terdapat alasanalasan
yang
baik
untuk
membertimbangkan strukturasi kelas
menjadi titik masuk utama untuk
memahami kehidupan sosial, sebagai
studi mendokumentasikan pembagian
kelas secara terus menerus dalam
menegaskan ekonomi politik komunikasi.
Namun, terdapat dimensi lain strukturasi
yang melengkapi dan bertentangan
dengan analisis kelas sosial, termasuk
gender, ras, dan gerakan-gerakan sosial,
yang didasarkan pada isu-isu publik
seperti penggunaan media massa.
Bersama dengan kelas sosial, strukturasi
ini merupakan bagian dari relasi sosial
komunikasi.
Berdasarkan penggunaan teori
strukturasi ini, kita dapat berpikir tentang
masyarakat sebagai sebuah bidang
tindakan-tindakan yang dibentuk yang
diprakarsai
oleh
agen-agen
yang
bersama-sama saling membentuk kelas,
gender, ras, dan relasi-relasi gerakan
sosial.
Menurut
pandangan
ini,
68
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
masyarakat eksis, jika tidak sebagai
sesuatu tanpa kelimpahan, seluruhnya
terintegrasi, setidaknya sebagai bidang
tempat berbagai macam proses satu sama
lain membentuk hubungan-hubungan
sosial yang bisa diidentifikasi. Fokus
pada kelas dan relasi-relasi gerakan sosial
tidak akan berarti jika sesuatu yang
esensial bagi yang lainnya itu dapat
dikurangi.
Formulasi
ini
cukup
menyarankan bahwa ini merupakan pintu
gerbang untuk menganalisis strukturasi
dan bahwa bidang sosial itu tidak sematamata sebuah rangkaian kesatuan yang
ditandai dengan kategori-kategori yang
memiliki nilai nominal.
Selanjutnya, proses strukturasi itu
membentuk hegemoni, yang didefiniskan
sebagai yang diterima selaku benar (apa
adanya), akal sehat, cara-cara berpikir
yang diterima tentang dunia. Hegemoni
memasukkan apapun dari kosmologi,
melalui etika (apa yang membedakan
yang benar dari yang salah ?), tentang
praktik sosial (apa yang membentuk
perilaku baik?), yang disatukan sekaligus
dipertentangkan dalam kehidupan seharihari. Ini merupakan jaringan hidup
tentang yang satu sama lain membentuk
makna dan nilai.
Representasi sebagai bagian dari
ouput pandangan strukturalis dalam
menyikapi sebuah realitas dengan
menggunakan pendekatan struktur makna
namun analisis yang digunakan tidak
bersifat metode bebas dalam upaya
menguak ideology yang digunakan
media. Pada varian strukturalis berbicara
tentang praktik pemaknaan yang
membangun makna sebagai hasil struktur
atau keteraturan yang dapat diperkirakan
dan berada di luar diri individu. Sehingga
pandangan strukturalis mengabaikan
kebebasan kehendak atau sense dari
individu. Sehingga upaya individu untuk
memahami
sebuah
realitas
tetap
‘dipaksa’ untuk berada koridor yang
ditentukan tidak mengacu pada sense
kehendak bebas dalam menetapkan
pemaknaan sebuah teks.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Lokus media disini lebih kepada
teks yang dimana teks media lebih
memainkan peranan dalam mewujudkan
ideologi
media
tersebut.
Media
mengimplementasikan
kekuasaannya
melalui teks. Sehingga memiliki dua
kekuatan utama yaitu kekuatan teks dan
pengetahuan,
sebagaimana
yang
dikatakan oleh Foucault.
Kerangka teori yang dibangun
dalam
melihat
bagaimana
media
merepresentasikan aktor melalui isu – isu
yang dibangunnya juga tak lepas dari
konsep struktur media. Hal ini Giddens
menegaskan bahwa kita perlu untuk
mempertimbangkan struktur sebagai
sebuah dualitas, yakni berupa aturanaturan yang mengekang (constraining
rules) dan sumberdaya-sumberdaya yang
membebaskan (enabling resources).
Tidak lebih sebagai perancah keras yang
mengontrol dan memberi bentuk-bentuk
pada kehidupan sosial, struktur itu
membentuk tindakan dan direproduksi
olehnya. Dalam hal ini, sruktur dan
tindakan itu saling terhubung dalam
pembentukan pola kehidupan sosial yang
berlangsung terus menerus.
Konsep
strukturasi
Giddens
merespons kritisisme yang diarahkan
pemikiran fungsionalis, institusional, dan
strukturalis yang cepat keluar dari
kecenderungannya pada struktur-struktur
saat ini karena terbentuk secara penuh
(sempurna), menentukan entitas. Salah
satu karakteristik penting teori strukturasi
adalah terdepan dalam melakukan
perubahan sosial, yang dilihat sebagai
proses yang ada di mana-mana yang
menggambarkan bagaimana struktur
diproduksi dan reproduksi oleh agenagen manusia yang bertindak melalui
perantara struktur-struktur tersebut.
Struktur sosial sebagai bentuk yang
terbangun sudah lama pada sistem sosial.
Ketika media sebagai agen ide yang
dihasilkan dari pemikiran yang dimana
media juga industri budaya menjadikan
struktur untuk dapat memasuki sistem
sosial dengan kekuasaan atas pemilik
69
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
media
dan
melihat
bagaimana
kepentingan ekonomi dan politik.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Louw, Eric. 2001. The Media and
Cultural Production. London :
Sage Publication.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies
(Teori dan Praktik). Jakarta :
Kreasi Wacana.
Bennett, Tony melalui artikel “Theories
of the media, theories of society”
dalam Gurevitch, Michael, Tony
Benett, James Curran and Janet
Wollacot. 2005. Culture, Society,
and The Media. London and New
York : Routledge.
Burton,
Graeme.
2008.
Yang
Tersembunyi di Balik Media :
Pengantar Kepada Kajian Media.
Yogyakarta: Jalasutra.
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdie
(Politik
Kuasa
Simbol).
Yogyakarta : Jalasutra.
Giddens,
Anthony.
2011.
The
Constitution of Society (Teori
Strukturasi untuk Analisis Sosial).
Yogyakarta : Penerbit Pedati
McQuail,
Dennis.
2012.
Teori
Komunikasi Massa Buku 1 Ed.6.
Jakarta : Penerbit Salemba Empat
& Sage.
Mosco, Vincent. 2009. The Political
Economy of Communication (2nd
Edition).
London
:
Sage
Publication.
Rusadi, Udi. 2015. Kajian Media : Isu
Ideologis. Jakarta : Rajawali
Press.
Siebert, Fred.,Wilbur Schramm &
Theodore Peterson. 1986. .Empat
Teori Pers. Jakarta : Penerbit PT
Intermasa.
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media
(Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik dan
Anaisis Framing). Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Golding, Peter and Graham Murdock.
1997. The Political Economy of
The Media (Vol.1). US : Elgar
Reference Collection.
Hall, Stuart, Jessica Evans & Sean
Nixon. 2004. Representations
(2nd). London : Sage Publication.
Ida, Rachmah. 2014. Studi Media dan
Kajian Budaya. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Kellner, Douglas. Budaya Media :
Cultural Studies, Identitas, dan
Politik (Antara Modern dan
Postmodern).
Yogyakarta
:
Jalasutra.
70
Download