Tesis Maya Masita N _B251090031

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya
Ambing merupakan bagian tubuh ternak yang berperan dalam sintesis dan
sekresi susu. Ambing sapi terdiri dari dua bagian yaitu kiri dan kanan yang
dipisahkan jaringan ikat yaitu ligamentum suspensorium. Kedua bagian ambing
tersebut dibagi menjadi kuartir depan dan belakang yang dipisahkan oleh sekat
sulcus intermamaria. Setiap kuartir memiliki satu puting. Adanya sekat antar
kuartir membuat antar kuartir tidak berhubungan secara langsung sehingga infeksi
kelenjar susu mungkin terbatas pada satu kuartir saja (Subronto 2003).
Ambing secara alami juga mempunyai perangkat pertahanan mekanis yaitu
ujung puting susu yang dikenal dengan ductus papillaris. Permukaan saluran
terdiri dari epitel pipih berlapis yang mengandung lemak dan protein yang bersifat
bakterisidal. Perangkat pertahanan seluler berupa sel darah putih yang memilki
kemampuan fagositosis. Apabila fagositosis tidak mampu menghentikan infeksi
maka akan terjadi peradangan yang diikuti mobilisasi sel darah putih yang lebih
banyak (Akers et al. 2006). Tingkat pertahanan ambing mencapai titik terendah
pada saat setelah pemerahan, karena saluran susu pada puting masih terbuka dan
memungkinkan berbagai macam bakteri patogen masuk dalam ambing. Sel darah
putih, antibodi dan enzim juga ikut terperah sehingga sistem pertahanan sangat
kurang (Lindmark-Mansson et al. 2006).
Mastitis Subklinis
Mastitis adalah peradangan pada ambing yang berasal dari bahasa Yunani
yaitu mastos yang berarti ambing dan itis yang berarti peradangan (Subronto
2003). Pengertian mastitis sering pula dinyatakan dengan adanya peradangan
pada ambing yang disertai dengan perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan
kenaikan sel somatik terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan
perubahan patologi jaringan ambing (Faul 1971 yang dikutip oleh Ananto 1995).
Berdasar gejalanya, mastitis dibedakan menjadi dua bentuk yaitu mastitis
klinis dan subklinis (Subronto 2003).
Mastitis klinis ditandai dengan gejala
panas, sakit, merah, pembengkakan dan penurunan fungsi pada ambing. Mastitis
5
subklinis adalah peradangan interna jaringan ambing tanpa disertai gejala klinis
baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang,
ditemukan mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu
(Sudarwanto 1999). Pada umumnya mastitis subklinis akan berlanjut menjadi
mastitis kronis yang kadang-kadang didahului oleh munculnya mastitis akut
maupun sub-akut yang dapat menimbulkan terbentuknya jaringan ikat pada
ambing (Holtenius et al. 2004).
Mastitis subklinis adalah peradangan ambing yang tidak menunjukkan
gejala klinis tetapi pada pemeriksaan susu secara mikroskopik terdapat
peningkatan jumlah sel somatik lebih besar dari 400 000 sel setiap ml susu
(Sudarwanto et al. 2006; IDF 1999). Sapi yang menderita mastitis subklinis
mengalami penurunan produksi kualitas dan komposisi susu.
Perubahan
komposisi susu yang terjadi menurut Blowey dan Edmonson (1995) disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Efek mastitis subklinis terhadap komposisi susu
No
Komponen
Perubahan yang terjadi
1.
Total protein
Menurun
2.
Kasein
Menurun
3.
Laktosa
Menurun
4.
Bahan kering tanpa lemak
Menurun
5.
Lemak
Menurun
6.
Kalsium, Kalium dan Fosfor
Menurun
Mastitis subklinis dianggap lebih berbahaya karena tidak diketahui
gejalanya dan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi.
Mastitis subklinis
menyebabkan penurunan produksi susu mencapai 15%. Kerugian lain disebabkan
peningkatan biaya produksi untuk pengobatan, terkadang sapi yang terkena
mastitis subklinis juga harus dikeluarkan dari peternakan lebih awal karena biaya
pemeliharaaan yang lebih tinggi dari produksinya. Kerugian ekonomis karena
mastitis subklinis dapat mencapai Rp. 10 000 000/ekor/tahun (Rahayu 2009).
6
Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis di Indonesia mencapai 97% dari keseluruhan kejadian
mastitis. Mastitis subklinis merupakan penyakit kompleks yang dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, khamir dan kapang (Subronto, 2003). Proses terjadinya
mastitis senantiasa dikaitkan dengan tiga faktor yakni ternak, penyebab
peradangan (80-90% disebabkan oleh mikroorganisme) dan lingkungan
(Sudarwanto 1999). Risiko untuk menderita mastitis senantiasa terletak pada
keseimbangan ketiga faktor tesebut. Sapi mudah menderita mastitis bila kondisi
sapi menurun akibat cekaman lingkungan yang berdampak pada penurunan daya
tahan tubuh sapi (Kleinschroth et al. 1994 yang dikutip dalam Sudarwanto 1999).
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi
kejadian mastitis subklinis meliputi pakan, perkandangan, jumlah sapi dalam satu
kandang, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pakan yang mengandung
estrogen, misalnya jenis daun clover dan jagung maupun konsentrat yang
berjamur telah terbukti memudahkan terjadinya mastitis subklinis. Kandang yang
berukuran sempit menyebabkan sapi-sapinya berdesakan. Apabila ada salah satu
yang terinfeksi maka penularan akan lebih mudah terjadi. Kandang yang lembab
serta kotor akan memudahkan terjadianya radang ambing (Subronto 2003).
Kejadian mastitis subklinis terutama terjadi pada 90 hari pertama masa
laktasi. Infeksi pada umumnya terjadi pada saat sapi mengalami masa kering
kandang, masa keluarnya kolostrum, dan awal masa laktasi. Mastitis subklinis
dapat terjadi sepanjang waktu (Schrick et al. 2001). Kejadian mastitis subklinis
pada masa kering kandang mencapai 63% (Pantoja et al. 2009).
Faktor
predisposisi kejadian mastitis subklinis dari hewan meliputi bentuk ambing.
Ambing yang sangat menggantung, ataupun ambing yang lubang putingnya
terlalu besar (Akers et al. 2006). Umur hewan juga menentukan mudah tidaknya
seekor sapi menderita mastitis subklinis. Semakin tua umur sapi, terutama dengan
produksi susu yang tinggi, maka semakin kendor pula sphincter putingnya.
Karena sphincter berfungsi menahan kuman, maka kemungkinan sapi tersebut
terinfeksi semakin besar. Makin tinggi produksi susu, maka makin lama waktu
yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup secara sempurna (Subronto 2003).
7
Proses peradangan dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam
kelenjar melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan.
Mikroorganisme berkembang dalam ambing, menyebar ke alveoli dan
menyebabkan kerusakan pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk
ke dalam ambing dapat merusak membran sel dalam ambing akibat reaksi
peradangan dan invasi mikroorganisme. Infeksi akut dapat merangsang
pembentukan jaringan ikat pada ambing yang menyebabkan terbentuknya jaringan
ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004).
Ternak
mikroorganisme
Gambar 1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang mempengaruhi
kemunculan mastitis (Raza 2009).
Jenis mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis
adalah bakteri (80%).
Bakteri penyebab mastitis subklinis antara lain
Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae,
Streptococcus uberis, Escherichia coli, Klebsiella spp dan Bacillus sp.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan
mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama pemerahan
sehingga terjadi proses penularan (Marogna et al. 2010).
Deteksi Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis tidak disertai gejala klinis sehingga deteksi cukup sulit
dilakukan dan diperlukan uji atau pemeriksaan khusus. Peningkatan jumlah sel
radang atau jumlah sel somatik merupakan indikator yang baik dalam
8
pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006).
Diagnosa mastitis
subklinis juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologis (Schalm et al.
1971). Sudarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa deteksi mastitis subklinis
didasarkan pada pemeriksaan sampel susu dan perubahan komposisi susu.
Penghitungan jumlah sel somatik dapat dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung.
Penghitungan secara langsung artinya diketahui jumlah sel
somatik yang sesungguhnya menggunakan metode Breed, Coulter Counter dan
Fossomatik (Sudarwanto 1999). Penghitungan secara tidak langsung, berdasarkan
reaksi kimia dapat diperkirakan jumlah sel somatik dalam susu. Beberapa metode
untuk mendeteksi jumlah sel somatik secara tidak langsung diantaranya
California Mastitis Test (CMT), Whitesite Test (WST) (Schalm et al. 1971) dan
IPB-1 yang mulai dikembangkan oleh Sudarwanto sejak tahun 1985 (Sudarwanto
1999).
Deteksi mastitis subklinis yang mulai banyak digunakan di Indonesia adalah
pereaksi IPB-1. Penggunaan metode ini dianggap mempunyai kelebihan antara
lain sangat mudah, cepat, memiliki kepekaan (sensitifitas) 91.7% dan kekhasan
(spesifisitas) 96.8% (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a). Parameter lain yang
digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah perubahan pH dan
perubahan elektrolit dalam susu (Sudarwanto 1998).
Jumlah dan Komposisi Sel Somatik
Sel somatik dalam susu merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok
leukosit (sel limfosit, neutrofil, makrofag, eosinofil dan basofil), runtuhan sel
epitel jaringan ambing dan lain-lain. Sel epitel merupakan bagian dari fungsi
tubuh yang dilepaskan dan diperbaiki dalam proses tubuh yang normal, sedangkan
leukosit merupakan komponen kekebalan tubuh terhadap keberadaan benda asing.
Terdapat tiga jenis sel somatik yang terdapat dalam susu yaitu sel epitel, makrofag
dan polimorfonuklear netrofil (PMN).
Jenis sel epitel dan makrofag banyak
ditemukan dalam susu yang dihasilkan oleh ambing yang tidak terinfeksi.
Terjadinya infeksi akan menimbulkan peningkatan jumlah PMN yang diikuti
dengan peningkatan enzim proteolitik dan lipolitik (Lindmark-Mansson et al.
2006).
9
Jumlah sel somatik biasanya digunakan untuk mengukur produksi dan
kualitas susu. Sel somatik secara sederhana berasal dari tubuh dan ditemukan
dalam jumlah rendah pada susu.
Mayoritas sel somatik adalah leukosit dan
beberapa sel epitel. Sel epitel merupakan bagian normal dari fungsi tubuh dan
diperbarui dalam proses fisiologis tubuh. Leukosit berperan dalam mekanisme
pertahanan untuk melawan penyakit atau infeksi dan memperbaiki jaringan yang
rusak.
Jumlah sel somatik yang tinggi menunjukkan terjadinya infeksi yang
menurunkan kualitas susu. Parameter yang paling mendasar untuk mendeteksi
mastitis subklinis adalah jumlah sel somatik (Rice dan Bodman 1997). Jumlah
batas sel somatik dalam susu normal menurut IDF (1999) dan SNI Nomor 3141.1
Tahun 2011 tentang Susu Segar adalah 400 000 sel per ml.
Leukosit
Leukosit adalah komponen aktif sistem pertahanan tubuh yang sebagian
dibentuk dalam sum-sum tulang dan sebagian lagi di dalam organ limfoid.
Leukosit mampu keluar dari pembuluh darah dan menuju ke jaringan yang
membutuhkannya.
Leukosit berfungsi untuk kekebalan tubuh baik spesifik
maupun non spesifik. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan
humoral terhadap zat-zat asing, bahan toksik dan berbagai penyebab infeksi
(Tizard 2000).
Berdasarkan bentuk inti sel, leukosit dapat dibagi menjadi mononuklear dan
polimorfonuklear. Leukosit mononuklear memiliki inti tunggal dan tidak
bersegmen. Monosit dan semua limfosit termasuk dalam leukosit mononuklear.
Leukosit polimorfonuklear memiliki inti yang bervariasi. Neutrofil, eosinofil dan
basofil termasuk dalam leukosit polimorfonuklear (Guyton dan Hall 1997).
Leukosit mempunyai kemampuan diapedesis yang dapat meninggalkan
pembuluh darah dengan menerobos sel endotel sehingga dapat terbawa dalam
susu. Jumlah leukosit akan meningkat bila terjadi infeksi pada ambing misalnya
ketika terjadi mastitis (Gargouri et al. 2008). Pada kelenjar ambing sapi yang
sehat, komposisi leukosit normal yang dapat diamati dalam susu yang dihasilkan
adalah makrofag atau monosit 35-79%, limfosit 9-28%, leukosit polimorfonuklear
(PMN) 3-26% dan sel epitel 2-15% (Kelly et al. 2000).
10
Limfosit B
Hemositoblas
Limfoblas
Mielosit
eosinofil
Limfosit T
Mieloblas
Eritroblas
Polikromatik
eritroblas
Eosinofil
Mielosit
basofil
Monosit/
progranu
losit
Retikulosit
Basofil
Megakaryosit
Neutrofil
Eritrosit
Monosit
Trombosit
Gambar 2 Skema pembentukan sel darah (Wright 2001).
Monosit dan Makrofag
Monosit merupakan leukosit agranulosit dan merupakan leukosit dengan
ukuran sel terbesar dan sitoplasma yang lebih banyak dibandingkan sitoplasma
pada limfosit besar. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang yang
akan masuk ke dalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit merupakan
makrofag yang belum matang. Apabila monosit masuk ke jaringan maka akan
berubah menjadi makrofag bebas dalam pertahanan jaringan melawan agen
infeksi seperti benda asing, sel-sel mati, bakteri dan membantu membersihkan selsel yang rusak (Dellman dan Eurell 1998).
Monosit dan makrofag berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan
mengeluarkan glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin I, dan
zat farmakologis aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Peran utama
makrofag adalah menghancurkan benda asing terutama bahan kimia yang bersifat
asing bagi tubuh. Makrofag juga berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap
infeksi organism, sel yang nekrotik, dan reruntuhan sel. Selama proses
11
penyembuhan, makrofag membersihkan sisa-sisa jaringan yang mengalami
kerusakan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang merangsang perbaikan
jaringan (Jain 1993).
Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang
pleomorfik. Monosit maupun makrofag memiliki bentuk yang sama yaitu inti sel
panjang, melipat di tengahnya seperti tapal kuda dan sedikit berlobus dengan
sitoplasma yang besar.
Makrofag berakumulasi di daerah peradangan dan
penghancuran jaringan sebagai respon terhadap faktor-faktor kemotaktik tertentu.
Substansi bakteri berupa lipid atau kaya akan lipid dan lipopolisakarida dari
bakteri Gram negatif, substansi terlarut dari limfosit T, neutrofil dan sel tumor
merupakan faktor kemotaktik bagi makrofag (Dellman dan Eurell 1998).
Presentase makrofag akan meningkat jika sistem pertahanan neutrofil gagal
mengeliminasi infeksi atau netrofil banyak yang mati sehingga menghasilkan
bahan yang bersifat kemotaktik bagi makrofag (Sladek et al. 2006).
Limfosit
Limfosit merupakan sel yang tidak bergranul dan di bentuk di dalam limpa,
kelenjar limfe, timus, sumsung tulang, tonsil, dan bursa fabrisius. Limfosit sangat
berperan dalam sistem kekebalan tubuh.
Fungsi utama limfosit adalah
memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus menanggapi antigen yang terkait
pada makrofag. Beberapa limfosit berperan dalam membawa reseptor seperti
imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dapat
digolongkan berdasarkan asal, struktur, surface markers yang berkaitan dengan
sifat imunologis, siklus hidup dan fungsinya (Junguera 1977).
Limfosit dapat dibagi dua yaitu limfosit T yang berasal dati timus dan
limfosit B yang berasal dari bursa fabrisius. Sebanyak 70-75% limfosit T
menghasilkan tanggap kebal yang berperantara sel yaitu tanggap kebal seluler,
juga menghasilkan limfikin yang mencegah perpindahan makrofag dan
merupakan media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan
humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi. Limfosit ini motil
dan menunjukan aktivitas amuboid tetapi tidak fagositik (Jain 1993).
12
Jumlah limfosit di dalam peredaran darah dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti tingkat produksi, resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran
limfosit. Tingginya limfosit diperedaran darah (limfositosis) dapat terjadi karena
fisiologis, reaktif dan proliferatif (Jain 1993). Jumlah limfosit akan mengalami
penurunan pada ambing yang mengalami peradangan (Gargouri et al. 2008).
Neutrofil
Neutrofil merupakan sel granulosit polimorfonuklear darah yang diproduksi
di sumsum tulang. Sitoplasma pada neutrofil tidak berwarna, dan hal ini
membedakan neutrofil dengan eosinofil dan basofil.
Neutrofil adalah sel
pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil dibentuk di
sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan matang yang dapat
menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi
pembuluh darah (Jain 1993).
Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh
organisme, melokalisir dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel
darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag, menghancurkan dan
memindahkan agen asing tersebut. Setelah melakukan fagositosis, sel neutrofil
akan menjadi tidak aktif dan mati. Proses penghancuran benda asing atau
mikroorganisme dengan proses fagositosis oleh neutrofil yaitu partikel tersebut
terkurung dalam sitoplasma neutrofil dan ditempatkan dalam fagosom (Dellman
dan Eurell 1998).
Asam amino D oksidase dalam granula azurofilik pada
neutrofil berperan dalam pencernaan dinding sel bakteri yang mengandung asam
amino D. Selama proses fagositosis akan dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase
yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida yang bekerja
pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya (Leeson 1990).
Neutrofil juga berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi
proses peradangan akut. Peningkatan neutrofil dapat dilihat pada peradangan akut
dan penyakit infeksius yang disebabkan Chlamydia, bakterial, dan fungal
(Dellman dan Eurell 1998). Peradangan pada ambing juga akan meningkatkan
presentase netrofil dalam leukosit terutama pada infeksi yang disebabkan bakteri
(Kehrli dan Shuster 1994; Lietner et al. 2000).
13
Eosinofil
Eosinofil adalah sel yang besar dengan sitoplasma banyak mengandung
granula dan akan tampak merah jika diwarnai dengan pewarnaan yang basa. Sel
ini dibentuk di dalam sumsum tulang, sangat motil dan bersifat fagositik.
Eosinofil berperan dalam reaksi alergi, serangan parasit dan jumlahnya akan terus
meningkat selama serangan alergi. Fungsi lainnya yaitu mengendalikan dan
mengurangi hipersensitifitas. Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar dan
bermigrasi ke jaringan pada penderita infeksi parasit (Dellman dan Eurell 1998).
Eosinofil berperan penting dalam menyerang dan menghancurkan parasit
cacing serta dalam beberapa reaksi hipersensitivitas. Mekanismenya adalah
dengan cara melekatkan diri pada parasit, kemudian melepaskan bahan-bahan
yang membunuh parasit tersebut.
Eosinofil juga mempunyai kecenderungan
khusus untuk berkumpul di jaringan yang mengalami alergi (Ganong 1996).
Basofil
Ukuran basofil lebih besar dibandingkan neutrofil. Bentuk sel tidak teratur
dengan inti sitoplasma tampak biru jika diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat
asam. Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Peningkatan jumlah basofil
merupakan indikasi adanya peradangan akut yang menyebabkan hipersensitivitas
dan adanya infeksi saluran pernapasan serta kerusakan jaringan yang hebat.
Basofil berperan penting pada reaksi hipersensitivitas akut (Ganong 1996).
Sel mast dan basofil melepaskan heparin ke dalam darah, yaitu bahan yang
dapat mencegah pembekuan darah. Basofil dan sel mast berperan penting dalam
menjalankan reaksi inflamasi, sebab antibodi yang menyebabkan alergi, yaitu IgE
mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil.
Basofil sangat jarang ditemukan di peredaran darah dan sumsum tulang. Jumlah
basofil yang rendahnya atau tidak ditemukannya dalam peredaran darah
merupakan hal yang normal dan tidak mempunyai arti apapun (Jain 1993).
14
Limfosit
Leukosit polimorfonuklear
Monosit
Eosinofil
Basofil
Gambar 3 Perbedaan bentuk leukosit (Sheppard et al. 2007).
Kolostrum
Kolostrum merupakan susu yang dihasilkan pada akhir masa kebuntingan
sampai beberapa hari setelah kelahiran. Kolostrum mamalia memiliki warna
kekuningan dengan konsistensi kental.
Kolostrum mensuplai berbagai faktor
kekebalan, faktor pertumbuhan dengan kombinasi zat gizi (nutrien) yang
sempurna (Fuquay et al. 2002). Lebih dari 90 bahan bioaktif alami terkandung di
dalam kolostrum yang bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan menjaga
kesehatan tubuh hewan neonatal. Kolostrum juga mengandung limfosit, monosit,
neutrofil serta protein terutama albumin dan globulin. Kolostrum juga
mengandung vitamin A, E, karoten dan riboflavin dengan konsentrasi tinggi
(Frandson 1992; Thapa 2005).
Pada sapi, kolostrum berperan dalam proses
transfer kekebalan pasif yang diperoleh pedet dari induk, karena fetus tidak
mendapatkan transfer antibodi sewaktu dalam kandungan induk (Toelihere 2006).
Komponen lain yang terdapat di dalam kolostrum adalah immunoglobulin,
laktoferin, transferin, glikoprotein, laktalbumin, oligosakarida dan sitokin.
Immunoglobulin adalah glikoprotein plasma yang berperan menghantarkan
tanggapan kekebalan pada organisme tinggi. Laktoferin adalah antioksidan alami
yang paling kuat dalam mencegah radikal bebas. Transferin mengikat dan
mengangkut zat besi (Fe) dan oligosakarida yang merupakan sakarida dari
karbohidrat yang mengikat bakteri penyerang dinding usus dan esofagus
15
(Sokolowska et al. 2007).
Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu
menurut Kehoe et al. (2007) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu normal
Komponen
Kolostrum
Susu
Bahan kering (g/l)
245
122
Abu (g/l)
18
7
Energi (MJ/l)
6
2.8
Lemak (g/l)
64
39
Protein (g/l)
133
32
Asam amino essensial (mmol/l)
390
ND
Asam amino nonesensial (mmol/l)
490
ND
Imunoglobulin G (g/l)
81
<2
Laktoferin (g/l)
1.84
ND
Hormon pertumbuhan (µg/l)
1.4
<1
Leukosit secara alami dapat berada dalam kolostrum karena merupakan
komponen sistem imun yang ditransfer dari induk ke anaknya. Leukosit dalam
kolostrum bersifat aktif, dapat menembus membrane peripheral sampai ke darah
anak sapi. Jumlah leukosit dalam kolostrum umumnya tinggi sebagai bentuk
respon fisiologis induk setelah melahirkan, kemudian akan mengalami penurunan
sampai pada level normal. Jumlah komposisi leukosit yang tidak normal pada
kolostrum dapat mengindikasikan terjadinya gangguan pada ambing sebagai
penghasil kolostrum (Reber et al. 2006).
Download