Chapter II - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fitoremediasi Tanaman
Pencemaran lingkungan di berbagai negara, termasuk Indonesia, sudah sangat
kompleks dan mengkhawatirkan seiring dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan diberbagai bidang. Salah satu teknik dalam memperbaiki kualitas
lingkungan yang tercemar adalah dengan teknik fitoremediasi. Fitoremediasi
adalah salah satu metode remediasi dengan mengandalkan peranan tumbuhan
untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan
pencemar logam berat. Tanaman mempunyai kemampuan mengakumulasi logam
berat yang bersifat esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan (Hardiani,
2009). Beberapa hasil penelitian menunjukkan telah ditemukan 435 jenis tanaman
hiperakumulator yang dapat digunakan dalam proses fitoremediasi seperti
tanaman Musa paradisiaca, Zea mays, Dahlia pinnata, Vetiveria zizanioides,
Alamanda cathartica, Panicum maximum, Ischaemum timorense, Helianthus
annus, Papirus sp. dan tanaman air lainnya (Priyanto dan Prayitno, 2007).
Triastuti (2010), diperoleh bahwa komposisi media tanam 90% tanah tercemar
+ 10% kompos lebih efisien dalam membantu tanaman akar wangi memulihkan
tanah yang tercemar merkuri yaitu sebesar 65,252%. Yusuf dkk (2014) Tanaman
lidah mertua (Sansevieria trifasciata) mampu mengurangi kandungan timbal (Pb)
yang terkandung dalam tanah berdasarkan konsentrasi adalah Pb Kontrol = 0.49%, Pb 200 ppm = 33.87%, dan Pb 400 ppm = 56.63%. serta dalam
mengurangi kandungan kadmium (Cd) yang terkandung dalam tanah berdasarkan
konsentrasi adalah Cd Kontrol = -0.31%, Cd 40 ppm = 37.72%, dan Cd 60 ppm =
44.01%. Fadilah (2014) Helianthus annuus memiliki kemampuan untuk
meremoval kromium dengan menyerap dan mengakumulasikan kromium baik
pada bagian akar maupun bagian batang-daun. Akumulasi tertinggi ditemukan
pada bagian akar antara 369,15-3334 mg/kg.
Kemampuan tanaman dalam mengakumulasi logam berat dapat diprediksi dari
nilai Bioconcentration Factor (BCF) dan Transfer Factor (TF). Menurut Ghosh
Universitas Sumatera Utara
dan Singh (2005), Bioconcentration Factor merupakan kemampuan tanaman
untuk mengakumulasi logam berat tertentu sebagai tanggapan terhadap
konsentrasi logam tersebut di dalam suatu jaringan tanaman. Bioconcentration
Factor (BCF) ditentukan oleh rasio logam di akar dengan yang terdapat di dalam
tanah. Nilai BCF >1 menunjukkan spesies tersebut potensial sebagai akumulator.
Translocation Factor adalah rasio konsentrasi logam pada bagian pucuk terhadap
bagian akar, menunjukkan kemampuan transfer logam dari akar ke pucuk
tanaman. Baker (1981) membagi tanaman menjadi 3 kategori yaitu akumulator,
excluder dan indikator. Akumulator mempunyai nilai BCF >1, excluder
mempunyai nilai BCF< <1 dan tanaman indikator dengan nilai BCF mendekati 1.
Tanaman dapat membersihkan polutan dari tanah, air maupun udara, dengan
berbagai cara. Sedang polutan logam berat dan unsur radioaktif dapat dibersihkan
oleh tanaman melalui proses fitoekstraksi/fitoakumulasi. Fitoekstraksi merupakan
mekanisme
fitoremediasi
dimana
tanaman
menyerap
logam
dan
mengakumulasikannya ke dalam biomas tanaman. Tanaman yang mempunyai
mekanisme fitoekstraksi seringkali disebut sebagai akumulator (Lasat, 2002).
Mekanisme fitoremediasi yang mungkin terjadi pada Salvinia molesta
berdasarkan data yang didapatkan adalah Fitoekstraksi. Mekanisme fitoekstraksi
dibuktikan dengan adanya akumulasi Ni di organ non akar (batang dan daun) yang
terus bertambah mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-12 meskipun tidak sebanyak
diakar. Fitoekstraksi dikenal juga sebagai fitoakumulasi yang spesifik untuk
kontaminan berupa zat anorganik seperti logam berat (Ag, Cd, Cr, Ni, Pb, Zn) dan
radionuklida (Ruiz, 2006). Kramer dkk (2000), menunjukkan bahwa Thlaspi
goesingense mengakumulasi nikel dalam bentuk kompleks Ni-asam organic,
diduga berupa asam sitrat, di dalam vakuola sedangkan nikel yang berada dalam
sitoplasma di detoksikasi melalui pengikatan oleh histidin.
2.2. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi)
Klasifikasi
belimbing
wuluh
adalah
kingdom
plantae,
divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Geraniales,
suku Oxalidaceae, genus Averrhoa dengan nama latin Averrhoa bilimbi L.
Tumbuhan berjenis pohon dengan batang yang tidak begitu besar yang hidup di
Universitas Sumatera Utara
ketinggian diatas 500 meter permukaan laut. Tanaman ini mudah sekali tumbuh
dan berkembangbiak melalui cangkok atau persemaian biji. Pohon belimbing bisa
tumbuh dengan ketinggian mencapai 5-10 m. Batang utamanya pendek, berbenjolbenjol, cabangnya rendah dan sedikit. Batangnya bergelombang atau tidak rata
(Lathifah, 2008). Daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun.
Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur, ujung runcing, pangkal
membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau, permukaan
bawah warnanya lebih muda. Ciri buah belimbing wuluh yaitu buahnya berbentuk
bulat lonjong bersegi hingga seperti torpedo, panjangnya 4-10 cm. Warna buah
ketika muda adalah hijau dengan sisa kelopak bunga menempel pada ujungnya.
Apabila buah sudah matang, maka buah berwarna kuning atau kuning pucat.
Daging buahnya mengandung banyak air dan rasanya asam. Kulit buah berkilap
dan tipis, biji dengan bentuk bulat telur dan gepeng (Wijayakusuma dan
Dalimartha, 2006).
Menurut Prasodjo, dkk (2015) penggunaan buah belimbing wuluh untuk
menurunkan kandungan Pb pada tanaman sawi hijau sebesar 2,058 ppm yang
mana hasil ini merupakan hasil penurunan terbaik dari semua perlakuan.
2.3. Jabon (Anthocephalus cadamba)
Klasifikasi jabon adalah kingdom plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Magnoliophyta, kelas Dicotyledoneae, ordo Rubiales, suku Cinehonoideae, genus
Anthocephalus dengan nama latin Anthocephalus cadamba. Tinggi jabon
umumnya bisa mencapai hingga 45 m dengan panjang bebas cabang 30 m dan
diameter mencapai 160 m. Batangnya lurus silindris, bertajuk tinggi dengan
cabang mendatar, dan berbanir (akar yang tumbuh diatas permukaan tanah)
sampai ketinggian 1,5 m. Daun jabon, ukurannya
bisa sangat besar dengan
permukaan halus tanpa bulu. Daun jabon merupakan daun tunggal dan bertangkai
panjang. Jabon mulai berbunga pada umur 4 tahun, jika mikroklimatnya sesuai
dan pemeliharaannya dilakukan secara intensif maka jabon dapat saja mulai
berbunga pada umur 2,5 tahun. (Junaedi, 2009).
Jabon merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk
hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhannya yang sangat cepat, dapat memperbaiki sifat-sifat fisika dan kimia
tanah di bawah tegakan karena serasah cabang, ranting dan daun-daun yang lebar
dan besar mampu meningkatkan kandungan karbon organik tanah, kapasitas tukar
kation dan nutrisi tanaman kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi
tempat tumbuh, perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah, serta relatif bebas
dari serangan hama dan penyakit yang serius. (Badan Standar Nasional, 2011).
2.4. Petai (Parkia speciosa)
Klasifikasi petai adalah kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiosprmae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rosales, suku Fabaceae, genus Parkia,
dengan nama latin Parkia speciosa. Petai berupa pohon dengan ketinggian antara
5-25 m dan membentuk percabangan yang banyak. Daun menyirip ganda, bunga
berbentuk bongkol yang terkulai dengan tangkai yang panjang, bunga yang masih
muda dan belum mekar bewarna hijau, dan bunga petai berubah menjadi warna
kuning jika sudah matang. Ukuran menjadi lebih besar, buah berbentuk polong
panjang dan pipih. Biji tesusun rapi dalam polong yang menggantung di pohon
dan pada setiap polong terdapat 10-18 biji. Setiap biji diselaputi kulit tipis
bewarna putih pada saat biji masih muda dan selaput tersebut akan menjadi
bewarna kuning pada saat biji sudah tua. Biji petai yang masih muda agak lunak
dan setelah tua menjadi lebih keras (Endang, 1995).
Petai sering ditanam di daerah dataran rendah hingga daereh dengan
ketinggian 1500 m dpl, namun tumbuh optimal pada daerah dengan ketinggian
500-1000 m dpl. Pohon petai dapat tumbuh pada hutan primer dan hutan sekunder
di daerah dataran rendah. Selain itu, pohon dengan perakaran kuat dan dapat
menyuburkan tanah ini juga cocok ditanam untuk memulihkan kembali lahanlahan kritis, khususnya dalam pengembangan program hutan rakyat (Wiriadinata
dan Bamroongrugsa, 2010).
2.5. Mikoriza
Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara jamur dan akar
tanaman. Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini.
Umumya mikoriza dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: endomikoriza atau fma
pada jenis tanaman pertanian, ektomikoriza (pada jenis tanaman kehutanan), dan
Universitas Sumatera Utara
ektendomikoriza (Kabirun dan Widada, 1995). Endomikoriza memiliki jaringan
hifa cendawan yang masuk kedalam sel kortek akar dan membentuk struktur
yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hifa yang
disebut arbuscule, sehingga endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular
micorrhizae (fma). fma adalah struktur sistem perakaran yang terbentuk sebagai
maniferstasi adanya simbiosis mutalistik anatara cendawan (myces) dan perakaran
(rhiza). Endomikoriza banyak mendapat perhatian karena penyebarannya lebih
luas dan dapat berasosiasi dengan hampir 90 % spesies tanaman tingkat tinggi,
salah satunya adalah fma (Cruz dkk, 2000).
2.5.1. Peranan Mikoriza
Tanaman yang mempunyai mikoriza cenderung lebih tahan terhadap
kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak mempunyai mikoriza.
Rusaknya jaringan kortek akibat kekeringan dan matinya akar tidak permanen
pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air, akar
yang bermikoriza akan cepat kembali normal. Hal ini disebabkan karena hifa
jamur mampu menyerap air yang ada pada pori – pori tanah saat akar tanaman
tidak mampu lagi menyerap air. Penyerapan hifa yang sangat luas di dalam tanah
menyebabkan jumlah air yang diambil akan meningkat (Cruz dkk, 2000).
Pemberian dosis dua tablet mikoriza belum efektif dalam menunjang
pertumbuhan beberapa tanaman untuk revegetasi pada lahan bekas tambang
batubara Ombilin. Kandungan tanah pada lahan bekas tambang batubara Ombilin
masih tergolong baik, dilihat dari hasil analisis tanah pada lahan bekas tambang
batubara Ombilin (Herdina dkk, 2013). Menurut Alori dan Fawole (2012) fma
memiliki kemampuan dalam membersihkan Al dan Mn dari tanah tercemar. fma
yang digunakan Scutellospora reticulate dan Glomus pansihalos. Berdasarkan
hasil penelitiannya, S. reticulata menunjukkan kemampuan remediasi lebih tinggi
dari G. pansihalos. fma memiliki dampak yang signifikan pada bioremediasi
logam berat, sehingga fma potensial sebagai alat bioteknologi untuk diinokulasi
pada tanaman untuk pemulihan dan mengelolah kesuburan tanah daerah yang
tercemar logam berat.
Universitas Sumatera Utara
Inokulasi tanaman inang dengan fma spora Glomus deserticola secara
signifikan meningkatkan berat kering, panjang tunas, N total, P dan K serta
konsentrasi klorofil di Eucalyptus rostrata. Inokulasi dengan jamur mikoriza
meningkatkan jumlah Pb diserap dan terakumulasi oleh Eucalyptus.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa inokulasi tanaman inang dengan fma melindungi
mereka dari potensi toksisitas yang disebabkan oleh peningkatan penyerapan Pb.
Jamur mikoriza arbuskula memiliki potensi dalam fitoremediasi dari logam berat
yang terkontaminasi pada tanah (Bafeel, 2008). Setiadi (2003), menyebutkan
bahwa mikoriza juga sangat berperan dalam meningkatkan toleransi tanaman
terhadap kondisi lahan kritis, yang berupa kekeringan dan banyak terdapatnya
logam-logam berat. Bhalerao (2013) interaksi antara akar tanaman dan simbion
seperti jamur mikoriza arbuskula dapat memainkan peran penting dalam
kelangsungan hidup pertumbuhan tanaman ditanah yang terkontaminasi. Asosiasi
mikoriza dapat meningkatkan luas permukaan serap tanaman karena hifa dari
mikoriza menjelajahi rizosfer di luar zona akar rambut, yang meningkatkan air
dan serapan mineral.
Mikoriza dalam rizosfer dapat meningkatkan aktivitas dehidrogenase,
fosfatase, dan nitrogenase. Aktivitas enzim-enzim ini menyebabkan peningkatan
ketersediaan nutrisi dalam tanah. Mikoriza tidak hanya menyediakan tanaman
dengan air dan senyawa mineral serta memperbaiki struktur tanah saja tetapi juga
mampu sebagai filter, menghalangi senyawa toksik dengan miselium yang
berdampak pada berkurangnya efek toksik bagi tanaman. Selain itu, mikoriza
mempengaruhi fisiologis tanaman inang dengan membuat tanaman tersebut lebih
tahan terhadap patogen, polusi, salinitas, kekeringan, dan faktor cekaman
lingkungan lainnya (Aprilia dan Purwani, 2013). Mekanisme perlindungan oleh
mikoriza terhadap logam berat menyebabkan penyerapan Pb pada batang dan
daun tanaman paling sedikit karena terjadi penimbunan unsur tersebut dalam akar
yang telah bersimbiosis dengan mikoriza, sehingga menyebabkan akar dapat
menyerap logam Pb lebih banyak dibandingkan batang dan daun (Aprilia dan
Purwani ,2013).
Universitas Sumatera Utara
Rossiana (2003) penyerapan logam oleh tanaman bermikoriza lebih efektif
dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Mikoriza memegang
peranan penting dalam melindungi akar tanaman dari unsur toksik, diantaranya
yaitu logam berat. Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur
toksik oleh mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi,
atau akumulasi unsur tersebut dalam hifa. Tanaman yang diinokulasi mikoriza
memiliki kemampuan menekan serapan Pb, karena mikoriza diketahui dapat
mengikat logam tersebut pada gugus karboksil dan senyawa pektak (hemiselulosa)
pada matriks antar permukaan kontak mikoriza dan tanaman inang, pada selubung
polisakarida dan dinding sel hifa.
2.6. Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) Pada Jaringan Tanaman
Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni organik dan
organic. Logam yang dapat menyebabkan keracunan adalah jenis logam berat.
Logam ini termasuk logam esensial sepert Cu, Zn, Se dan yang non esensial
seperti Hg, Pb, Cd, dan As. Logam dapat menyebabkan keracunan logam akibat
pencemaran lingkungan oleh logam berat, seperti penggunaan logam sebagai
pembesmi hama, pemupukan, maupun pembuangan limbah pabrik yang
menggunakan logam (Darmono,1995).
Plumbum (lead) merupakan salah satu unsur kimia yang terdapat dalam unsur
periodik, unsur logam ini memiliki simbol Pb yang berasal dari bahasa latin
Plumbum. Dalam bahasa Indonesia lead biasa disebut dengan timbal. Lead
memiliki sifat fisik, lembut dan mudah di bentuk namun juga berat dan beracun.
Lead akan berwarna putih jika langsung di potong namun akan tidak berwarna
sampai ke abu-abuan jika terkena udara. Timbal juga terdapat dari sisa berbagai
kegiatan seperti pertambangan, industri dan transportasi merupakan limbah yang
tergolong dalam kelompok B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang sering
ditemukan dalam air, tanah dan udara (Anies, 2006).
Timbal (Pb) sebagian besar diakumulasi oleh organ tanaman yaitu daun,
batang, akar dan akar umbi-umbian. Perpindahan timbal dari tanah ke tanaman
tergantung komposisi dan pH tanah. Konsentrasi timbal yang tinggi (100-1000
mg/kg) akan mengakibatkan pengaruh toksik pada proses fotosintesis dan
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan. Timbal hanya mempengaruhi tanaman bila Tanaman dapat
menyerap logam Pb pada saat kondisi kesuburan dan kandungan bahan organik
tanah rendah. Pada keadaan ini logam berat Pb akan terlepas dari ikatan tanah dan
berupa ion yang bergerak bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu
menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman
(Darmono, 1995).
Kiambang
(Salvinia
molesta)
dapat
digunakan
sebagai
tanaman
fitoremediator pada konsentrasi timbal (Pb) dan nikel (Ni) hingga hari ke -12.
Konsentrasi timbal mengalami penurunan mencapai 0.182 mg/l dan 0.304 mg/l,
sedangkan konsentrasi nikel mengalami penurunan akhir mencapai 0 mg/l dan
0.252 mg/l (Viobeth,dkk. 2012). Logam Pb yang diakumulasi oleh tanaman
Dahlia pinnata cenderung sangat sedikit jika dibandingkan dengan penambahan
logam Pb(NO3)2 sebanyak 200 mg/kg yang berarti sebanyak 125 mg/kg logam
Pb yang ditambahkan. Hal tersebut dapat terjadi karena pada saat daun terjadi
proses transpiransi, proses ini adalah akumulasi logam Pb dan logam Pb tersebut
diuapkan ke udara melewati stomata daun. Proses transpirasi ini menggunakan
matahari sebagai sistem yang membantu transpirasi. Pada saat transpirasi terjadi
akar tanaman menghisap zat cair. Selain itu dapat disebabkan karena ion Pb dapat
berpindah dari media tanam melalui proses penguapan, ion Pb tersebut berikatan
dengan oksigen membentuk ion Pb(O3)2. Oksigen ikut bereaksi dengan air pada
media tanam dan berikatan dengan ion Pb. Timbal (Pb) tidak seluruhnya masuk ke
dalam tanaman disebabkan karena pengendapan Timbal (Pb) yang berupa molekul
garam dalam air (Arisutanti dan Purwani, 2013).
Universitas Sumatera Utara
Download