BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN
2.1.
Pengertian Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak
opstal yang diatur dalam Pasal 71 KUHPerdata bahwa “hak numpang–karang adalah suatu hak
kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas
pekarangan orang lain. Menurut Ruchiat “apa yang diatur dalam UUPA barulah merupakan
ketentuan-ketentuan pokok saja, sebagaimana terlihat dalam Pasal 50 ayat (2) bahwa ketentuanketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Bangunan akan diataur dengan peraturan maupun
peraturan menteri.” Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA:
“Hak Guna Bangunan adalah Hak Milik untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun
dan dapat diperpanjang dengan 20 tahun, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat
dijadikan jaminan hutang dibebani Hak Tanggungan.”1. Menurut Pasal 21 PP Nomor 40 Tahun
1996, tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: Tanah Negara, Tanah
Hak Pengelolaan dan Tanah Hak Milik.
Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 30 PP Nomor 40 Tahun 1996
yang menentukan:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan
dalam keputusan pemberian haknya.
1
Utomo, Budi, 2013, Hukum Perdata, Penerbit Sejahtera: Yogyakarta.
2. Menggunakan
tanah
sesuai
dengan
peruntunannya
dan;persyaratannya
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Mengarahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada
Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna
Bangunan itu dihapus.
5. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada kepala
kantor Pertanahan.2
Berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 56 (Prp) tahun 1960 tentang Penetapan Luas tanah pertanian
maksimum luas dan jumlah tanah untuk perusahaan dan pembangunan lainnya akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Hapusnya Hak Guna Bangunan menurut Pasal 40 UUPA karena:
1. Jangka waktu berakhir
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi.
3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4. Ditelantarkan
5. Tanahnya musnah
6. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)
2
Abdul R. Salian, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh
Kasus, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal. 25.
Dalam hal ini, pemilik bangunan berbeda dari penguasa atas tanah dimana bangunan tersebut
didirikan. Ini berarti seorang pemegang hak guna bangunan adalah berbeda dari pemegang hak
milik atas sebidang tanah dimana bangunan tersebut didirikan; atau dalam konotasi yang lebih
umum, pemegang hak guna bangunan bukanlah pemegang hak milik dari tanah dimana
bangunan tersebut didirikan.
Dari penjelasan III/3 dalam UUPA maka hak yang dipunyai oleh pemegang hak sangat
terbatas oleh karena didirikan di atas tanah yang bukan haknya, jadi hanya terjadi sepanjang
waktu tertentu. Tidak seperti halnya dengan hak milik yang haknya adalah terpenuh di antara
hak-hak atas tanah. Setelah jangka waktunya berakhir hak guna bangunan dapat diperpanjang
lagi paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunan. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) UUPA yang
menentukan bahwa:
“Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan,
jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.”3
2.2.
Subjek dan Objek Dalam Hak Guna Bangunan
2.2.1. Subjek Dalam Hak Guna Bangunan
Pada prinsipnya yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah warga Negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, serta berkedudukan di
Indonesia pula. Hal tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA jo Pasal 19
3
T. Keizerina Devi, "Perkembangan Hukum Perdata Sejak Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan", Citra
Justicia, Volume II No.2, Desember 2006, hal. 4.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menentukan bahwa yang dapat mempunyai
hak guna bangunan adalah:
1) Warga negara Indonesia
2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.4
Berdasarkan ketentuan di atas bahwa yang dapat menjadi subjek hak guna bangunan adalah
warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Dalam hal badan hukum asing ingin memiliki hak guna bagunan
maka dua unsur, yakni didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
harus ada. Jadi hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak guna bangunan
ini, dan di sini terlihat bahwa prinsip nasionalitas tetap dipertahankan, sehingga orang yang
bukan warga negara Indonesia hanya dapat mempunyai hak seperti yang ditentukan pada huruf b
pasal di atas yaitu badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Apabila orang atau badan hukum pemegang hak guna bangunan tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang hak guna bangunan, maka orang atau badan hukum tersebut dalam jangka waktu satu
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak guna bangunan yang dikuasainya kepada orang
atau badan hukum yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak guna bangunan. Jika hak
guna bangunan yang dikuasainya tidak dilepaskan atau dialihkan maka hak guna bagunan
tersebut akan hapus secara hukum. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 36 ayat (2)
UUPA, yang menentukan bahwa:
4
http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/hak-guna-bangunan.html.
“Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syaratsyarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah”5
Pengaturan lebih lanjut mengenai hal di atas diatur dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 yang menentukan bahwa:
1. Pemegang hak guna bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud Pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
2. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak
dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum”.
2.2.2. Objek dalam hak guna bangunan
Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang no. 5 Tahun 1960 UUPA menjelaskan Hak Guna Bangunan
adalah hak untuk mendirikan atau mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan
miliknya sendiri untuk jangka waktu 30 tahun. Hak guna bangunan dapat diberikan di atas tanah
negara atau di atas tanah hak milik. Sedangkan pada Ayat (2) menjelaskan: Atas permintaan
5
Satjipto Raharjo, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1976), 111.
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka
waktu tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah:
a. Tanah Negara.
b. Tanah Hak Pengelolaan
c. Tanah Hak Milik( Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996).
Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, adalah tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah. (Pasal 1 ayat (3), PP No. 24 Tahun 1997).
Menurut ketentuan Pasal 37 UUPA, Hak Guna Bangunan terjadi:
2.1 Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara: karena
Penetapan Pemerintah.
2.2 Mengenai tanah milik, karena perjanjian yang berbentuk otentik
antara pemilik tanah bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh Hak Guna Bangunan yang bermaksud menimbulkan
hak tersebut.
Tentang apa yang dimaksud dengan ”Penetapan Pemerintah”, dinyatakan secara lebih terperinci
dalam Pasal 22 PP No. 40 Tahun 1996, yang menerangkan bahwa;
1. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk.
2. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan, terjadi sejak didaftar
oleh Kantor Pertanahan. (Pasal 23 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996).
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik,
dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. (Pasal 24 ayat (1) PP No. 40 Tahun
1996). Jadi Hak Guna Bangunan tersebut timbul atau ada, pada waktu dibuatnya Akta oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang memuat ketentuan tentang pemberian Hak Guna Bangunan
oleh pemegang Hak Milik atas tanah dimaksud. Namun baru mengikat pihak ketiga, apabila
sudah didaftarkan di Kantor Pertanahan.
Selengkapnya Pasal 24 dari PP No. 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa:
1.
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, terjadi dengan pemberian oleh
pemegang Hak Milik dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2.
Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
3.
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, mengikat pihak ketiga sejak
didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4.
Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan
atas tanah Hak Milik, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden6
2.3.
Jangka Waktu Perpanjangan Hak Guna Bangunan
Sertifikat Hak Guna Bangunan adalah jenis sertifikat dimana pemegang sertifikat hanya
bisa memanfaatkan tanah tersebut baik untuk mendirikan bangunan atau untuk keperluan lain,
sedang kepemilikan tanah adalah milik negara. Sertifikat Hak Guna Bangunan mempunyai batas
waktu 30 tahun. Setelah melewati batas 30 tahun, maka pemegang sertifikat harus mengurus
perpanjangan SHGB-nya. Berbeda dengan Sertifikat Hak Milikyang kepemilikannya hanya
untuk WNI.7
Keuntungan dan kerugian memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan
1.
Keuntungan Membeli Properti dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan
a. Tidak Membutuhkan Dana Besar;
b. Peluang Usaha Lebih Terbuka. Properti dengan status HGB biasanya dijadikan pilihan
untuk mereka yang berminat memiliki properti tetapi tidak bermaksud untuk
menempati dalam waktu lama dan
c. Bisa dimiliki oleh Non WNI.
2.
Kerugian membeli Properti dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan
a. Jangka Waktu Terbatas
b. Tidak Bebas
6
7
http://www.negarahukum.com/hukum/hak-guna-bangunan.html
http://www.jurnalhukum.com/hak-guna-bangunan.
2.4.
Cara mengubah Sertifikat Hak Guna Bangunan Menjadi Sertifikat Hak Milik
Sertifikat Hak Guna Bangunan bisa di tingkatkan kepemilikannya menjadi Sertifikat Hak Milik,
kita tinggal datang ke kantor pertanahan di wilayah tanah/rumah tersebut berada. Tanah dengan
Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut mesti dimiliki oleh warga negara indonesia (WNI)
dengan luas kurang dari 600 meter persegi, masih menguasai tanah serta mempunyai Sertifikat
Hak Guna Bangunan yang masih berlaku ataupun sudah habis masa. Biaya kepengurusan resmi
(tahun 2013) adalah Rp 50.000, bisa di sesuaikan di masing-masing daerah.
Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain sesuai dengan syarat
atau perjanjian yang jelas dan benar menurut hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 35 ayat (3)
UUPA yang menentukan bahwa hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain. Kata beralih dan dialihkan memiliki arti bahwa berpindahnya hak guna bangunan dari
subjek hak guna bagunan kepada subjek hak guna bangunan lain mengakibatkan hapus atau
tidaknya hak guna bangunan tersebut karena adanya peristiwa hukum atau perbuatan hukum. Hal
tersebut seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa:
“Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna bangunan dan tidak lagi memenuhi syaratsyarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga
terhadap pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut. Jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah”
Berdasarkan ketentuan di atas bahwa orang atau badan hukum yang tidak memenuhi syarat
sebagai subjek hak guna bangunan wajib melepaskan atau mengalihkan hak guna bangunan yang
dikuasainya kepada pihak lain dalam jangka waktu satu tahun dan ketentuan ini berlaku pula
bagi pihak yang menerima hak guna bangunan. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka hak guna
bangunan tersebut akan hapus karena hukum. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hak guna
bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan hak guna bangunan wajib didaftarkan seperti yang ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1)
UUPA yang menentukan bahwa:
“Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal 19”
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa setiap pemberian, peralihan dan hapusnya hak guna
bangunan wajib didaftarkan menurut Pasal 19.
Peralihan hak guna bangunan diatur lebih lanjut dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan. Hal tersebut ditentukan dalam
Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menentukan bahwa hak
guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan hak guna bangunan dapat terjadi karena beberapa hal. Hal ini diatur dalam Pasal 34
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang menentukan bahwa:
Peralihan hak guna bangunan terjadi karena:
1. Jual-beli;
2. Tukar-menukar;
3. Penyertaan modal;
4. Hibah;
5. Pewarisan.
Kemudian apabila terjadi peralihan hak guna bangunan maka peralihan tersebut wajib
didaftarkan di Kantor Pertanahan agar peralihan tersebut sah. Mengenai hal tersebut secara tegas
diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menentukan
bahwa peralihan hak guna bangunan sebagimana yang diatur dalam ayat (1) harus didaftarkan
pada Kantor Pertanahan.
Mengenai peralihan hak guna bangunan dengan jual beli, kecuali melalui lelang, tukar menukar,
penyertaan dalam modal dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 34 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996. Jika jual beli tersebut dilakukan dengan lelang maka dibuktikan dengan
berita cara lelang seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 34 ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996. Dalam hal peralihan hak guna bangunan karena pewarisan maka
peralihan tersebut harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat
oleh instansi yang berwenang seperti yang telah diatur dalam Pasal 35 ayat (6) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Mengenai hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan
dan tanah hak milik maka peralihannya diatur dalam Pasal 34 ayat (7) dan ayat (8) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Peralihan hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan
diatur dalam Pasal 34 ayat (7) menentukan bahwa peralihan hak guna bangunan atas tanah hak
pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Peralihan hak
guna bangunan di atas tanah hak pengolaan di Kota Batam harus memiliki izin peralihan (IP)
dari Otorita Pengembangan daerah Industri Pulau Batam (OPDIPB) selaku pemegang hak
pengelolaan di Kota Batam. Peralihan hak guna bangunan di atas tanah hak milik diatur dalam
Pasal 34 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan bahwa peralihan hak
guna bangunan atas tanah hak milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak milik
yang bersangkutan.
2.5.
Hak Dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan
Pasal 32 PP 40 /1996 menentukan bahwa pemegang hak guna bangunan berhak untuk
menguasai dan memprgunakan tanah yang di berikan dengan hak guna bangunan selama jangka
waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usaha
nya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebani nya. Kewajiban –
kewajiban pemegang hak guna bangunan menurut ketentuan pasal 30 PP 40 /1996 adalah:
1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam
keputusan pemberian hak nya;
2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukan nya dan persyaratan yang ditetapkan
dalam keputusan dan perjanjian pemberian hak nya;
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
4. Menyerahkan kembali tanah yang di berikan dengan hak guna bangunan kepada negara ,
pemegang hak pengelolahan atau pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan itu
hapus;
5. Menyerah kan sertifikat hak guna bangunan yang telah hapus kepada kepala kantor
pertanahan.
Bagi pemegang hak guna bangunan yang letak tanah nya mengurung atau menutup perkarangan
atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, yang bersangkutan juga wajib untuk
untuk memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi perkarangan atau bidang
tanah yang terkurung.
2.6.
Pengertian Dan Tujuan Sanksi
Hukum perdata formil atau hokum acara perdata adalah peraturan perundang – undangan
yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi hukuman terhadap para pelanggar hak – hak
keperdataan sehingga sesuai dengan hokum perdata materiil mengandung sanksi yang sifatnya
memaksa. Hukum perdata formil atau hokum acara perdata umumnya merupakak suatu
peraturan pelaksanaan terhadap peraturan perundang – undangan yang berlaku di dalam
masayarakat atau yang biasa disebut dengan hukum positif. Apabila ada salah satu pihak atau
beberapa di dalam hubungan bermasyarakat antara pihak uang satu dengan pihak yang lain di
langgar hak nya, maka yang melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukuman atas
pelanggaran yang telah dilakukannya dan telah merugikan pihak lain
Hukum perdata formil dalam hubungan nya antara pihak yang satu dengan pihak yang
lain seringkali timbul suatu permasalahan hokum yang harus diselesaikan oleh para pihak di
persidangan pengadilan dengan maksud untuk mencari keadilan atas perkara yang di hadapi nya.
Jika dalam hubungan antara satu dengan yang lainnya baik itu berhubungan bermasyarakat,
hubungan kerja sama, hubungan bisnis maupun hubungan bernegara ada ketentuan yang ada
dalam hokum positif dan atau perjanjian yang telah melakukan pelanggaran dan telah
mengakibatkan kerugian pihak yang lain dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dengan
perundang – undangan yang berlaku.
Download