BAB III SAJIAN DAN ANALISIS DATA Berdasarkan pada segala hal

advertisement
62
BAB III
SAJIAN DAN ANALISIS DATA
Berdasarkan pada segala hal yang telah disebutkan dalam pendahuluan,
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi penonton film
Fifty Shades of Grey yang merupakan mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS
angkatan 2012 terhadap perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual BDSM
dalam film tersebut yang ditinjau dari aspek fungsional dan struktural, serta tahaptahap yang mendasarinya di antaranya sensasi/ penginderaan, atensi/ perhatian,
dan interpretasi.
Untuk mendapatkan informasi mengenai hal tersebut, dilakukan
pengumpulan data dengan wawancara sebagai data primer, dan penelitian
kepustakaan serta kuesioner sebagai data sekunder. Data yang berhasil
dikumpulkan kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk analisis secara
kualitatif yang kemudian ditarik kesimpulan.
Sebelum menganalisis data mengenai persepsi informan terhadap
perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty Shades
of Grey, terlebih dahulu akan disajikan data penunjang yang merupakan rujukan
dalam menentukan subyek penelitian dan profil informan yaitu penonton film
Fifty Shades of Grey yang merupakan mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS
angkatan 2012.
62
63
A. SAJIAN DATA
1.
Pola Penggunaan Media Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS
Angkatan 2012
Media Use atau pola penggunaan media merupakan perilaku khalayak
dalam menggunakan media.68 Penggunaan media terdiri dari jumlah waktu
yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi media yang dikonsumsi, dan
berbagai hubungan antara individu konsumen media dengan isi media yang
dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan.69 Dalam penelitian ini
media use dimaksudkan untuk mengukur bagaimana pola konsumsi subyek
penelitian terhadap media film khususnya Fifty Shades of Grey yang juga
akan dijadikan sebagai data penunjang mengenai alasan mengapa peneliti
memilih mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 sebagai
subyek penelitian.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan kuesioner.
Dari pemahaman penggunaan kuesioner tersebut di dalam penelitian
kualitatif, maka fungsi utamanya adalah hanya merupakan usaha untuk
mendapatkan data awal, sebelum peneliti memasuki lapangannya dengan
kajian yang lebih mendalam. Dalam teknik ini sama sekali tidak diusahakan
untuk membuat sistem penilaian angka atau scoring system. Dengan demikian
posisi kuesioner dalam penelitian kualitatif sama sekali bukan merupakan
68
Paramita Putri Larasati, Kesenjangan Kepuasan Pembaca Majalah Wanita Remaja,
UNS, Surakarta, 2010, hlm. 72.
69
Jalaluddin Op. Cit., hlm. 66.
64
teknik pengumpulan data pokok (utama), tetapi hanya sebagai teknik
penunjang pada awal pengumpulan data.70
Pengukuran penggunaan media ini dioperasionalkan melalui tiga
indikator, yaitu berdasarkan tingkat perhatian, frekuensi menonton, dan
curahan waktu yang diberikan responden untuk menonton film tersebut. Dari
hasil pengumpulan data awal menggunakan kuesioner yang disebarkan
kepada seluruh mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012,
diperoleh data sebagai berikut:
a. Penggunaan Media Berdasarkan Tingkat Perhatian
Tingkat perhatian dapat dilihat dari apakah responden suka
menggunakan media film atau tidak, serta lebih spesifik yaitu pernah
tidaknya mereka menonton film Fifty Shades of Grey. Berikut data hasil
dari kuesioner yang telah disebarkan kepada seluruh responden:
Tabel 3.1
Tingkat Ketertarikan Responden terhadap Media Film
No
Kategori
F (Frekuensi)
% (Prosentase)
1
Suka Menonton Film
52
80
2
Kadang-kadang
13
20
3
Tidak Suka Menonton Film
0
0
65
100
Jumlah
(Sumber: Olah Data Kuesioner, 2016)
70
H.B. Sutopo, Op. Cit., hlm. 71.
65
Dari data yang diperoleh berdasarkan tabel distribusi frekuensi di
atas, dapat diketahui bahwa secara umum responden tertarik untuk
menggunakan media film dengan indikator hampir keseluruhan dari
mereka suka menonton film. Bahkan sama sekali tidak ada yang tidak suka
menonton film. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswi S1 Ilmu
Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 menggunakan film sebagai media
primer mereka.
Lebih spesifik mengenai film Fifty Shades of Grey, tingkat
perhatian responden akan diukur berdasarkan pernah atau tidaknya mereka
menonton film tersebut. Berikut data hasil kuesioner yang telah disebarkan
kepada seluruh responden:
Tabel 3.2
Tingkat Ketertarikan Responden
terhadap Film Fifty Shades of Grey
No
Kategori
F
%
1
Pernah Menonton Film Fifty Shades of Grey
59
90,8
2
Tidak Pernah Menonton Film Fifty Shades of Grey
6
9,2
65
100
Jumlah
(Sumber: Olah Data Kuesioner, 2016)
Data di atas menunjukkan bahwa hampir keseluruhan responden
pernah menonton film Fifty Shades of Grey, dan hanya sebagian kecil yang
tidak pernah menonton film tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
66
mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 memiliki
perhatian yang lebih terhadap film tersebut. Bukan menjadi hal aneh
dikarenakan film Fifty Shades of Grey memang telah menjadi kontroversi
di dunia perfilman dan telah banyak menyebar di kalangan mahasiswa.
b. Penggunaan Media Berdasarkan Frekuensi Menonton
Frekuensi atau intensitas menonton film merupakan salah satu
indikator untuk mengukur pola penggunaan media di kalangan responden.
Dalam hal ini diindikasikan dengan intensitas responden menonton film
dalam satu bulan. Berikut hasil dari pengumpulan data kuesioner yang
telah disebarkan kepada seluruh responden:
Tabel 3.3
Intensitas Menonton Film dalam Satu Bulan
No
Kategori
F
%
1
Tidak Pernah Sama Sekali
0
0
2
1 kali
1
1,5
3
2-4 kali
10
15,4
4
5-7 kali
16
24,6
5
8-10 kali
17
26,2
6
>10 kali
21
32,3
65
100
Jumlah
(Sumber: Olah Data Kuesioner, 2016)
67
Dalam satu bulan mayoritas responden menonton film dengan
intensitas yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari minimal mereka menonton
film 5-7 kali dalam satu bulan. Data tersebut menunjukkan bahwa
mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 memang
sering menggunakan media film dalam kehidupan sehari-hari mereka.
c. Penggunaan Media Berdasarkan Curahan Waktu Menonton
Pola penggunaan media dapaat dilihat berdasarkan curahan waktu
responden dalam menton film yaitu digambarkan dengan berapa lama
mereka menonton film, apakah responden menonton film sampai selesai
atau tidak. Berikut data hasil kuesioner yang telah disebarkan kepada
seluruh responden:
Tabel 3.4
Curahan Waktu yang Diberikan Responden dalam Menonton Film
No
Kategori
F
%
1
Selalu Menonton Film Hingga Selesai
53
81,5
2
Kadang-kadang
12
18,5
3
Tidak Pernah Menonton Film Hingga Selesai
0
0
65
100
Jumlah
(Sumber: Olah Data Kuesioner, 2016)
Data di atas menunjukkan bahwa hampir keseluruhan responden
mencurahkan waktunya untuk menonton film dengan cara mereka
menontonnya hingga selesai. Tidak ada satupun dari responden yang sama
68
sekali tidak pernah menonton film hingga selesai. Hal ini semakin
menunjukkan bahwa mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan
2012 sangat sesuai dengan kebutuhan peneliti untuk dijadikan sebagai
subyek penelitian di mana mereka sangat aktif dalam menggunakan media
film yang dapat diketahui berdasarkan tingkat perhatian responden
terhadap film khususnya film Fifty Shades of Grey, frekuensi responden
menonton film, serta curahan waktu responden dalam menonton film.
2.
Profil Informan
Informan dari penelitian ini adalah penonton film Fifty Shades of Grey
yang merupakan mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012
yang dipilih sesuai dengan kebutuhan peneliti. Di antaranya adalah mahasiswi
yang berasal dari berbagai daerah, berbeda keyakinan, serta yang memahami
dan tidak memahami BDSM. Berikut adalah kelima informan tersebut:
a. Informan I : Endera Ayu Luviana merupakan seorang mahasiswi S1 Ilmu
Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012. Ia berusia 21 tahun dan
merupakan mahasiswi yang berdomisili di Kota Solo. Selain memasak, Ia
juga hobi menonton film, terutama saat sedang sendiri dan tidak ada
kegiatan. Menurutnya menonton film selain dapat memberi hiburan
tersendiri juga dapat menambah wawasan. Karena hobinya tersebut, tidak
heran apabila ia telah menonton berbagai macam judul film tidak
terkecuali Fifty Shades of Grey. Bahkan ia telah mengetahui film ini
sebelum dilaunching melalui internet.
69
b. Informan II: Adinnisa G.I.A merupakan seorang mahasiswi S1 Ilmu
Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 yang lahir di Kota Solo pada
tanggal 13 Agustus 1994. Mahasiswi yang hobi traveling ini tinggal di
Laweyan Surakarta. Selain traveling ia juga gemar menonton film, pernah
ketika sedang dalam kesibukan perkuliahannya ia menyempatkan diri
untuk menonton film Fifty Shades of Grey bahkan saat masih di kampus.
Sebelumnya ia mengetahui film ini dari trailer di Youtube hingga akhirnya
ia merasa penasaran untuk menonton film tersebut.
c. Informan III: Pramesti Bintang M adalah mahasiswi berusia 21 tahun yang
mengambil S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012. Ia merupakan
mahasiswi pendatang yaitu berasal dari Kota Pati. Sudah tiga tahun lebih
ia merasakan tinggal di Kota Solo yaitu di kos-kosan sekitar kampus UNS.
Mahasiswi yang hobi bernyanyi ini merupakan sosok yang ceria dan
hangat. Ia tidak canggung dan sangat mudah bergaul dengan orang-orang
baru. Untuk memperluas jaringan pertemanannya ia pun sangat aktif
menggunakan media sosial. Bahkan pertama kali ia mengetahui film Fifty
Shades of Grey adalah juga dari media sosial yaitu instagram. Namun yang
membuatnya ingin menonton film tersebut adalah dikarenakan ia ingin
membandingkan bagaimana versi film dengan versi novel, di mana
sebelumnya ia memang telah membaca novel dewasa karya E.L James ini.
d. Informan IV: Maria Sylvia A.D.A merupakan sosok mahasiswi yang agak
pemalu namun sangat ramah dengan orang-orang di sekitarnya. Wanita
yang lahir di Malang 21 tahun lalu ini juga merantau ke Kota Solo untuk
70
menimba ilmu di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Ia mengambil S1
Ilmu Komunikasi FISIP UNS dan merupakan angkatan tahun 2012.
Wanita yang murah senyum ini memiliki hobi fotografi dan juga menonton
film. Banyak judul film yang telah ia tonton salah satunya adalah film
Fifty Shades of Grey yang ia dapatkan dari mendownload di internet. Ia
mengetahui akan film tersebut dari cerita teman-temannya hingga akhirnya
ia memutuskan untuk menontonnya.
e. Informan V: Anggie Angreini Nasution merupakan mahasiswi yang
merantau dari Sumatera Utara ke Kota Solo. Sosoknya yang polos
membuat dia terlihat sangat ramah dan bersahabat dengan orang-orang
baru yang ditemuinya. Wanita yang berusia 21 tahun ini menempuh studi
di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012. Mahasiswi berparas
cantik ini sangat hobi berjalan-jalan guna mengisi waktu luangnya di selasela padatnya jadwal perkuliahan. Rasa ingin tahunya yang tinggi
membuat dirinya sering mencoba hal-hal baru salah satunya adalah
menonton film yang terbilang kontroversial yaitu Fifty Shades of Grey
yang ia ketahui dari internet dan teman-temannya.
Berikut tabel data subyek penelitian atau informan berdasarkan daerah
asal, agama, dan pemahaman mengenai BDSM:
71
Tabel 3.5
Data Informan Berdasarkan Daerah Asal, Agama,
dan Pemahaman BDSM
No
Nama
Daerah Asal
Agama
Pemahaman BDSM
1
Informan I
Solo
Islam
Mengerti BDSM
2
Informan II
Solo
Islam
Tidak Mengerti BDSM
3
Informan III
Pati
Islam
Mengerti BDSM
4
Informan IV
Malang
Katolik
Mengerti BDSM
5
Informan V
Tebing Tinggi
Islam
Tidak Mengerti BDSM
B. ANALISIS DATA
Persepsi menurut Jalaludin Rakhmat adalah pengalaman tentang
obyek,
peristiwa
atau
hubungan-hubungan
yang
diperoleh
dengan
menyimpulkan informasi atau menafsirkan pesan. Atau secara singkat,
persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi.
Persepsi mahasiswi penonton film Fifty Shades of Grey terhadap
adegan penyimpangan seksual BDSM yang ditampilkan di dalamnya adalah
bagaimana mereka memberikan makna pada konten atau pesan yang
disampaikan dalam adegan tersebut dengan berbagai faktor. Dalam hal ini
adalah mengenai perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual BDSM
dalam film tersebut.
72
Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar, tahap pertama dalam mempersepsi sesuatu adalah menerima
stimuli melalui alat indera, hal ini disebut dengan sensasi atau penginderaan.
Kemudian atensi atau perhatian merupakan suatu yang tidak dapat terelakkan
karena sebelum kita mempersepsi sesuatu, terlebih dahulu kita harus
memperhatikan rangsangan yang kita terima. Terakhir dalam tahap
interpretasi akan dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural.71
Di bawah ini merupakan hasil wawancara peneliti dengan para
informan sekaligus analisis data mengenai persepsi mereka terhadap
perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty
Shades of Grey yang meliputi berbagai macam aspek penilaian di antaranya
dilihat dari aspek fungsional dan struktural, serta tahap-tahap yang
mendasarinya, yaitu sensasi/ penginderaan, atensi/ perhatian, dan interpretasi.
1.
Sensasi yang Dirasakan Informan Terkait Film Fifty Shades of Grey
Tahap paling awal dalam penerimaan infromasi ialah sensasi. Fungsi
alat indera dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting.
Melalui alat indera, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya.
Lebih dari itu, melalui alat inderalah manusia memperoleh pengetahuan dan
semua kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya. Dalam prosesnya,
berikut kualitas penerimaan informasi oleh informan ketika menonton film
Fifty Shades of Grey:
71
Deddy Mulyana, Op. Cit, hlm. 168-171.
73
Hampir keseluruhan informan mengaku menonton film tersebut ketika
dalam keadaan bosan dan tidak ada kegiatan, seperti yang diungkapkan oleh
informan I, II, IV, dan V. Informan I mengaku menonton film tersebut saat
sedang suwung, “Ya lumayan mas, apalagi kalo pas suwung gak ada kerjaan,
hehehe.”72
Informan II mengungkapkan hal yang serupa bahwa menonton film
tersebut saat sedang bosan, “Bisa mas, soalnya dulu pas ngedit video pas ada
Mbak Niken terus dikasih filmnya itu, kan waktu itu pas lagi nunggu temen
jadi buat ngisi waktu biar ga bosen, hehe.”73
Tidak berbeda, informan IV juga mengungkapkan hal yang sama,
yaitu menonton film tersebut saat sedang tidak ada kegiatan, “Nggak juga,
jadi karena waktu itu aku lagi nggak ada kegiatan kan mas, akhirnya aku
download film itu.”74
Ditambah dengan pernyataan informan V yang mengaku menonton
film tersebut saat sedang jenuh di kosan, “Nggak terlalu sih, dulu itu aku
nonton film ini pas lagi jenuh banget mas di kosan, jadi daripada galau
mending nonton deh, hehe.”75
Namun hal berbeda justru diungkapkan oleh informan III yang
mengaku menonton film tersebut saat sedang bersama dengan temannya,
72
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
74
Wawancara, 09 Oktober 2015.
75
Wawancara, 03 November 2015.
73
74
“Saya sih nontonnya rame-rame sama temen mas mumpung lagi ngumpul,
hehe.”76
Kemudian ketika ditanya apakah mereka menonton film Fifty Shades
of Grey sambil melakukan kegiatan lain, keseluruhan informan mengaku
tidak melakukan kegiatan lain saat menonton film tersebut. Tidak hanya
faktor situasional, ketajaman sensasi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
personal. Berdasarkan hasil wawancara, berikut sensasi yang dirasakan
informan terkait film Fifty Shades of Grey:
a.
Sensasi Positif yang Dirasakan Informan
Tidak ada satupun informan yang merasakan sensasi positif saat
menyaksikan adegan penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty Shades
of Grey. Hal tersebut tentu dikarenakan film komersial dengan konten
semacam ini masih sangat jarang diproduksi, sehingga ini merupakan hal
baru bagi sebagian besar informan. Sebenarnya ada satu informan yang
merasa tertantang saat menonton adegan tersebut, namun data tersebut tidak
valid dikarenakan tidak ada lagi data dari informan lain sebagai
pembandingnya.
b. Sensasi Negatif yang Dirasakan Informan
Sebagian besar informan merasa ngeri ketika menonton adegan
penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty Shades of Grey. Hal tersebut
diungkapkan oleh informan I, II, IV, dan V. Informan I mengatakan bahwa ia
76
Wawancara, 09 Oktober 2015.
75
merasa ngeri ketika menyaksikan adegan penyimpangan seksual BDSM
tersebut, “Ngeriiii, agak gimana gitu.”77
Tidak berbeda dengan informan I, infoeman II juga mengungkapkan
hal yang sama bahwa ia merasa agak ngeri ketika melihat adegan tersebut,
“Emmm, agak ngeri gitu, emang enak hubungan intim pake disakitin gitu.”78
Ditambah lagi dengan pernyataan informan IV yang merasa sangat
ngeri ketika menonton adegan tersebut, “Ngeri banget mas, bagaimana kalo
aku nanti punya pasangan yang tanpa aku ketahui ternyata juga suka BDSM,
dan terus aku diperlakuin kayak gitu.”79
Pernyataan-pernyataan tersebut dilengkapi dengan pernyataan dari
informan V yang mengaku takut ketika menonton adegan tersebut, “Jadi
takut, kalo ketemu orang kayak gitu di kehidupan nyata, takut juga kalo harus
melakukan hal-hal kayak begitu mas, mending yang baik-baik aja deh,
hehe.”80
Sehingga
berdasarkan
hasil
wawancara
terhadap
keseluruhan
informan, dapat diketahui bahwa apa yang mereka rasakan ketika menonton
adegan penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty Shades of Grey adalah
sebuah kengerian. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswi S1
Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 merasakan sensasi yang
termasuk dalam kategori penafsiran berlawanan. Yaitu informan menentang
77
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
79
Wawancara, 09 Oktober 2015.
80
Wawancara, 03 November 2015.
78
76
apa yang ditampilkan dalam adegan penyimpangan seksual BDSM dalam
film tersebut.
2.
Perhatian Informan terhadap Adegan Penyimpangan Seksual BDSM
dalam Film Fifty Shades of Grey
Seperti yang telah dipaparkan di atas, perhatian merupakan langkah
pertama yang terjadi dalam diri individu sebelum individu tersebut mengenal
sesuatu. Perhatian sendiri adalah proses mental ketika stimuli menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian
tidak dapat terelakkan karena sebelum kita merespon atau menafsirkan
rangsangan apapun, kita harus terlebih dahulu memperhatikan kejadian dan
rangsangan tersebut.
Lebih lanjut, stimulus yang dimaksud di atas adalah berupa gambar
dan suara dalam film Fifty Shades of Grey, sehingga penonton akan
memperhatikan gambar dan suara yang dianggap lebih menonjol. Dari hasil
wawancara dengan keseluruhan informan, dapat diketahui bahwa informan
memperhatikan hal yang berkaitan dengan penyimpangan seksual BDSM.
Seperti yang diungkapkan oleh informan I ketika ditanya bagian mana dari
film tersebut yang disukai, ia menjawab menyukai adegan ketika tokoh Grey
jujur kepada Ana tentang kelainan seksualnya, “Itu lho mas pas Grey jujur
sama Ana tentang kelainan seksualnya dengan nunjukin ruangannya yang
biasa dibuat melakukan hubungan.”81
81
Wawancara, 09 Oktober 2015.
77
Kemudian ketika ditanya alasannya, ia menjawab bahwa pada adegan
tersebut, tokoh Grey terlihat gentle, ”Ya itu tu gentle banget tau mas si Grey
nya.”82
Informan II juga mengungkapkan hal yang menunjukkan bahwa ia
memperhatikan adegan yang berkaitan dengan penyimpangan seksual BDSM,
yaitu ketika ditanya bagian mana dari film tersebut yang tidak disukai. Ia
mengaku tidak menyukai adegan ketika Ana menantang Grey untuk
melakukan apa yang diinginkan Grey, “Itu mas pas Ana nantangin Grey buat
nglakuin hal tersadis yang diinginkan Grey terus Ana nangis karna udah
terlanjur cinta sama Grey.”83
Alasannya adalah karena ia menganggap adegan tersebut kurang
bermutu dan terlalu berbau drama, “Nggak mutu mas, abis nantangin tapi
nggak kuat hati sendiri, drama banget, hehehe.”84
Sama halnya dengan informan III yang tidak menyukai bagian ending
dari film tersebut, “Paling ga suka itu pas endingnya mas.”85 Alasannya
adalah karena kurang greget dan tidak sesuai novel, “Kurang greget dan
nggak sesuai sama novelnya.”86 Kemudian ketika ditanya apa perbedaan
dengan versi novel, ia menjawab bahwa BDSM yang ditampilkan dalam film
hanya gambaran secara umum, “Di filmnya itu cuma berani nampilin
82
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
84
Wawancara, 09 Oktober 2015.
85
Wawancara, 09 Oktober 2015.
86
Wawancara, 09 Oktober 2015.
83
78
gambaran secara umumnya aja tentang BDSM, maksudnya nggak nunjukin
BDSM yang sebenernya kayak di novel.”87
Tidak
berbeda
dengan
informan
sebelumnya,
informan
IV
mengungkapkan bahwa tidak menyukai adegan ketika Ana dicambuki oleh
Grey, “Yang paling nggak suka itu pas Ana dihukum atau apalah namanya,
pokoknya dicambuk pantatnya enam kali sama Grey.”88 Alasannya adalah
karena Grey menyakiti Ana hanya untuk memuaskan nafsunya saja, “Karena
cewenya disakitin cuma untuk bikin Greynya bahagia, nafsunya terpuaskan.
Kenapa harus disakiti kalo secara normal aja bisa.”89
Dilengkapi dengan pernyataan dari informan V yang mengaku tidak
menyukai adegan ketika Grey melakukan aksi psikopatnya, “Waktu
cowoknya melakukan aksi psikopatnya mas, waktu ceweknya diiket-iket
rambutnya.”90 Alasannya adalah karena Grey dianggap brengsek oleh
Informan V, “Karena cowoknya berasa kayak brengsek gitu mas, kan
ceweknya udah nurutin apa maunya tapi malah kayak nggak diakuin gitu
sama dia.”91
Sehingga dari hasil wawancara terhadap keseluruhan informan dapat
diketahui bahwa stimulus yang dianggap menonjol oleh keseluruhan
informan dalam film Fifty Shades of Grey seluruhnya berkaitan dengan
penyimpangan seksual BDSM. Hal tersebut menunjukkan bahwa gambar dan
87
Wawancara, 02 November 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
89
Wawancara, 09 Oktober 2015.
90
Wawancara, 03 November 2015.
91
Wawancara, 03 November 2015.
88
79
suara terkait penyimpangan seksual BDSM menjadi sesuatu yang menarik
perhatian penonton film tersebut.
Pernyataan di atas diperkuat dengan keseluruhan informan yang
mengetahui adanya penyimpangan seksual BDSM dalam film tersebut
meskipun ada beberapa yang sebelumnya tidak mengetahui bahwa
penyimpangan seksual tersebut adalah BDSM. Seperti yang diungkapkan
oleh informan II dan V ketika ditanya tahukah mengenai adegan
penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty Shades of Grey. Informan II
mengatakan bahwa ia mengetahui adanya penyimpangan seksual namun tidak
tahu
bahwa
penyimpangan
seksual
tersebut
adalah
BDSM,
”Penyimpangannya tau, tapi dulu aku malah nggak tau kalo itu namanya
BDSM.”92
Begitu juga dengan informan V, ia justru seperti baru mendengar
istilah BDSM namun ia mengetahui jika ada adegan penyimpangan seksual
dalam film tersebut, “BDSM itu apa mas? Kalo ada penyimpangan
seksualnya aku tau, tapi nggak tau kalo apa itu yang singkatan tadi.”93
Berbeda dengan informan I, III, IV yang telah mengetahui bahwa
adegan penyimpangan seksual dalam film Fifty Shades of Grey merupakan
BDSM. Seperti yang diungkapkan oleh informan I bahwa ia mengetahui
adanya adegan penyimpangan seksual BDSM dalam film tersebut, “Tau kok
mas, aku suka sama ruangan khusus BDSMnya Grey, hehe.”94
92
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 03 November 2015.
94
Wawancara, 09 Oktober 2015.
93
80
Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan III bahwa ia
mengetahui adanya adegan penyimpangan seksual BDSM dalam film
tersebut, “Tau lah mas, tapi menurut saya masih dalam tahap wajar sih, nggak
terlalu BDSM banget, hehehe.”95
Demikian pula yang diungkapkan oleh informan IV yang mengatakan
mengetahui adanya adegan penyimpangan seksual BDSM dalam film
tersebut, “Tau kok mas, yang Grey sama Ana beradegan seks pake kekerasan
itu kan?”96
Sehingga dari hasil wawancara dapat diketahui dan disimpulkan
bahwa tingkat perhatian mahasiswi penonton film Fifty Shades of Grey
terhadap adegan penyimpangan seksual BDSM sangat tinggi. Hal tersebut
terlihat dari mereka semua mengetahui adanya adegan penyimpangan seksual
dalam film tersebut meskipun ada beberapa informan yang sebelumnya tidak
mengetahui bahwa penyimpangan seksual tersebut disebut BDSM. Temuan
tersebut menunjukkan bahwa penonton film Fifty Shades of Grey dalam hal
ini adalah mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 justru
menjadikan adegan penyimpangan seksual BDSM menjadi daya tarik
tersendiri dalam film tersebut.
Dalam banyak hal, rangsangan yang menarik perhatian kita cenderung
dianggap lebih penting daripada sebaliknya. Hanya stimuli yang menonjol
dalam kesadaran individu yang akan diperhatikan. Dengan kondisi seperti ini,
selektivitas informan terhadap film Fifty Shades of Grey terutama adegan
95
96
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
81
penyimpangan seksual BDSM mampu mempengaruhi persepsi yang
diberikan oleh penonton film tersebut terhadap adegan penyimpangan seksual
BDSM.
3.
Interpretasi
Informan
terhadap
Perempuan
Sebagai
Obyek
Penyimpangan Seksual BDSM dalam Film Fifty Shades of Grey
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tahap paling akhir
dan yang terpenting dalam proses persepsi adalah interpretasi atau pemberian
makna terhadap stimulus yang kita terima melalui alat indera. Dalam tahap
ini, tentu tidak semua stimulus akan diinterpretasikan, melainkan hanya
stimulus yang kita perhatikan. Selain itu, dalam menafsirkan stimulusstimulus tersebut akan dipengaruhi oleh faktor fungsional dan faktor
struktural.
a.
Faktor Fungsional
Faktor fungsional merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
persepsi seseorang yang berasal dari kebutuhan, suasana emosional, dan halhal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal.
Berikut faktor-faktor personal atau fungsional yang dapat menentukan
persepsi informan terhadap perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual
dalam film Fifty Shades of Grey:
1) Motivasi Informan terhadap Adegan Penyimpangan Seksual BDSM
dalam Film Fifty Shades of Grey
Salah satu faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah
motivasi. Motivasi merupakan suatu pengertian yang menghubungkan suatu
82
keadaan mobilisasi energi dengan suatu tujuan. Secara umum informan
memiliki motivasi atau alasan khusus saat menonton adegan penyimpangan
seksual BDSM karena mereka justru tertarik dan penasaran akan seperti apa
eksekusi yang ditampilkan dalam film, karena sebagian besar dari mereka
telah mengetahui bagaimana BDSM yang ditampilkan dalam versi novel.
a) Memiliki Motivasi Khusus
Sebagian besar informan mengaku menonton adegan penyimpangan
seksual BDSM karena ingin memenuhi rasa penasaran mereka. Informan I
mengatakan bahwa ia penasaran akan seperti apa eksekusi BDSM dalam film
nantinya, “Aku penasaran mas gimana eksekusi adegan BDSM di filmnya,
kan di internet sebelumnya udah booming banget tuh tentang novelnya yang
mau difilmkan.”97
Hampir sama dengan informan I, informan III mengungkapkan bahwa
ia ingin mengetahui separah apakah BDSM yang akan ditampilkan dalam
film, “Pengen tau mas separah apa sih BDSM yang ditampilin di filmnya
nanti, apa ya sama kayak yang digembor-gemborkan sebelumnya di novel
gitu.”98
Senada dengan pernyataan informan I dan III, informan IV juga
mengungkapkan rasa penasarannya akan BDSM karena sebelumnya ia tidak
memahami BDSM, “Aku penasaran mas gimana sih BDSM itu, kan
sebelumnya aku kurang tau menau soal BDSM hehe.”99
97
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
99
Wawancara, 09 Oktober 2015.
98
83
Begitu juga dengan informan V yang mengaku penasaran terhadap
film versi uncut karena sebelumnya ia menonton versi sensor, “Kemaren kan
aku nontonnya yang versi sensor, nah terus karena pada bilang kalo yang
versi uncut itu lebih vulgar jadi aku penasaran dan akhirnya nonton.”100
b) Tidak Memiliki Motivasi Khusus
Di samping sebagian besar informan yang mengaku memiliki motivasi
khusus untuk menonton adegan penyimpangan seksual BDSM, hal berbeda
justru diungkapkan oleh Informan II di mana ia tidak memiliki motivasi
khusus untuk menonton adegan penyimpangan seksual BDSM. Ia
menyatakan hanya menonton karena ingin mengetahui keseluruhan cerita
dalam film Fifty Shades of Grey, “Nggak ada mas, cuma biar bisa nonton
film ini secara keseluruhan aja, jadi nggak ketinggalan ceritanya.”101
Berdasarkan hasil wawancara terhadap keseluruhan informan, dapat
diketahui bahwa hampir semua informan memiliki motivasi khusus untuk
menonton adegan penyimpangan seksual BDSM. Meskipun ada sebagian
informan yang tidak memiliki motivasi khusus untuk menonton adegan
tersebut, namun sebagian besar dari mereka menonton adegan tersebut karena
memang ingin mengetahui bagaimana sebenarnya BDSM itu dan bagaimana
akan ditampilkan dalam sebuah film.
Hal tersebut menunjukkan bahwa adegan BDSM menjadi alasan
khusus dari para informan untuk menonton film Fifty Shades of Grey. Artinya
adegan BDSM bukan menjadi sesuatu hal yang dihindari oleh informan
100
101
Wawancara, 03 November 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
84
melainkan merupakan tujuan dari informan dalam hal ini mahasiswi S1 Ilmu
Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012 untuk menonton film tersebut.
2) Emosi Informan terhadap Peran Tokoh Perempuan Terkait Adegan
Penyimpangan Seksual BDSM dalam Film Fifty Shades of Grey
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa persepsi setiap
individu akan dipengaruhi oleh faktor personal masing-masing individu
tersebut. Seperti pengalaman masa lalu dan keadaan psikologis yang salah
satunya adalah suasana emosional. Emosi yang dialami oleh masing-masing
informan sebenarnya hampir sama satu dengan yang lain, mereka merasakan
emosi terkait harga diri sebagai perempuan yang direndahkan dalam adegan
tersebut karena tokoh perempuan mau melayani permintaan tokoh laki-laki.
Kendati demikian, tidak semua informan merasakan emosi yang sama, ada
sebagian informan yang memberikan tanggapan berbeda.
a) Tidak Mempermasalahkan Peran Tokoh Perempuan
Ada satu informan yang tidak mempermasalahkan peran tokoh
perempuan dalam film Fifty Shades of Grey, ia beranggapan bahwa hal
tersebut wajar karena merupakan fantasi dan hak dari setiap orang. Namun
karena tidak ada data yang sama dari informan lainnya sebagai pembanding,
maka data tersebut tidak valid.
b) Menentang Peran Tokoh Perempuan
Sebagian besar dari informan menentang peran tokoh perempuan
dalam film Fifty Shades of Grey, kebanyakan informan menilai tokoh
perempuan tersebut bodoh karena mau menuruti kemauan tokoh laki-laki. Hal
85
tersebut diungkapkan oleh informan I, II, IV, dan V. Informan I
mengungkapkan penentangannya terhadap peran tokoh perempuan dalam
film ini karena mau melayani permintaan tokoh laki-laki untuk berhubungan
seks dengan cara BDSM, “Gak habis pikir gitu lho dia kan cantik, pinter juga,
kok mau-maunya jadi obyek BDSM.”102
Penjelasan mengenai pandangan informan terhadap tokoh perempuan
yang bodoh diungkapkan oleh informan II, “Bodo banget tuh, mau-maunya
disakitin, padahal dia cantik harusnya bisa cari yang lain.”103
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan IV, “Bodo mas kok maumaunya digituin, padahal cantik.”104
Tidak berbeda, informan V juga berpendapat bahwa tokoh perempuan
dalam film ini bodoh, “Dia sedikit bego karena mau aja gitu belum kenal
terlalu lama sama cowoknya tapi udah mau disuruh apa aja, kan sayang
banget ama cantiknya.”105
Kemudian ketika ditanya bagaimanakah kesan mereka terhadap
adegan penyimpangan seksual BDSM ini jika dilihat dari sudut pandang
perempuan, mereka semua berpendapat bahwa adegan tersebut sangat
merendahkan derajat kaum perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh
informan I yang mengatakan bahwa adegan ini seperti merendahkan derajat
perempuan di mata lelaki, karena mereka memperlakukan perempuan sesuka
hati mereka, “Wah kalo menurutku sih itu ngrendahin cewe banget mas, ya
102
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
104
Wawancara, 09 Oktober 2015.
105
Wawancara, 03 November 2015.
103
86
walopun pake kontrak dulu tapi tetep haruse cowoknya nggak semena-mena
gitu, kasihan cewenya udah terlanjur cinta kan sama dia.”106
Informan
II
juga
mengungkapkan
bahwa
adegan
tersebut
merendahkan kaum perempuan, “Ya gimana ya mas, itu tu kayak
merendahkan harga diri perempuan banget gitu lho, kayak perempuan tu
cuma jadi pemuas nafsu laki-laki aja.”107
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan IV, “Itu jelas
merendahkan perempuan mas, karena perempuan cuma dijadikan pemuas
nafsu lelaki sih kalo menurutku.”108
Informan V juga menganggap bahwa adegan tersebut merendahkan
derajat perempuan, “Aku ngeliatnya derajat perempuan rendah banget di
adegan itu, perempuan cuma dimainin sama laki-laki dan hanya menjadi
pemuas nafsu semata.”109
Namun hal sedikit berbeda diungkapkan oleh informan III yang
menganggap bahwa itu merupakan hak dari setiap orang, walaupun
sebenarnya dia juga merasa tidak menerima jika perempuan selalu menjadi
pihak yang lemah,
“Menurut saya itu sesuatu yang gak bisa dibatasi ya, karena emang
semua orang punya kebebasan dalam menjalani hidupnya asal tidak
mengganggu orang lain kan, ya walaupun sebagai sesama perempuan
saya nggak suka juga kalo selalu menjadi pihak yang lemah, apalagi
karena itu ditayangkan untuk publik, harusnya untuk mereka pribadi
aja.”110
106
Wawancara, 31 Oktober 2015.
Wawancara, 01 November 2015.
108
Wawancara, 30 Oktober 2015.
109
Wawancara, 03 November 2015.
110
Wawancara, 02 November 2015.
107
87
Sehingga dari hasil wawancara terhadap keseluruhan informan, dapat
diketahui bahwa mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2012
menentang peran tokoh perempuan dalam film Fifty Shades of Grey, terlebih
jika mereka melihatnya dari sudut pandang sesama perempuan. Hal tersebut
terlihat dari emosi yang mereka rasakan ketika menonton peran tokoh
perempuan dalam film tersebut yaitu terkait adegan penyimpangan seksual
BDSM yang menganggap bahwa tokoh perempuan bodoh dan merendahkan
derajat perempuan di mata lelaki.
b. Faktor Struktural
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa selain faktor fungsional
ada faktor lain yang menentukan persepsi yaitu faktor struktural. Faktor
struktural adalah bentuk struktur secara keseluruhan adegan penyimpangan
seksual BDSM dalam film Fifty Shades of Grey yang meliputi lambang atau
gambar, dialog atau tulisan, serta audio atau suara yang menjadi satu kesatuan
sehingga para penonton mampu mempersepsikan secara utuh mengenai
perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual BDSM dalam film tersebut.
1) Penilaian Informan terhadap Lambang atau Gambar Terkait Adegan
Penyimpangan Seksual BDSM dalam Film Fifty Shades of Grey
Lambang atau gambar yang ditampilkan dalam film Fifty Shades of
Grey merupakan salah satu faktor struktural yang mempengaruhi persepsi
penonton film tersebut. Sementara itu peran yang direpresentasikan
perempuan sebagai obyek penyimpangan seksual dalam film ini dipersepsi
88
oleh informan melalui bagaimana ekspresi dan gesturenya ketika melakukan
adegan penyimpangan seksual BDSM.
a) Penilaian Positif Terhadap Lambang atau Gambar Tokoh Perempuan
i.
Pujian Terhadap Fisik Tokoh Perempuan
Secara umum mereka mengungkapkan persepsinya bahwa perempuan
dalam film ini direpresentasikan sebagai perempuan yang memiliki
penampilan ideal yakni body yang langsing serta wajah yang cantik. Secara
fisik tokoh ini memiliki segala yang diinginkan para wanita pada umumnya.
Hal tersebut diungkapkan oleh semua informan yang mengakui bahwa
dari segi fisik tokoh perempuan dalam film ini sangat ideal. Informan I
mengungkapkan bahwa sosok Ana sangat cantik dan bahkan ia merasa ingin
seperti Ana, “Dia itu cantik banget sih mas kalo menurut aku, bodynya juga
langsing, kapan gitu aku bisa punya badan kayak dia, hehehe.”111
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan II yang mengakui
kecantikan sosok Ana, “Ana cantik, ya dia hampir punya apa yang diinginkan
cewek gitu mas, kayak body langsing, rambut lurus, kulit putih ya gitu lah
mas.”112
Begitu juga dengan informan III yang mengatakan bahwa Ana adalah
wanita yang cantik, “Kalo menurut saya dia itu cantik pasti, ya wajah bersih
putih, badan bagus, bibirnya sensual.”113
Informan IV pun mengatakan hal yang serupa, “Kalo dari segi fisik ya
dia cantik, langsing, putih, rambutnya bagus.”114
111
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
113
Wawancara, 09 Oktober 2015.
112
89
Tidak berbeda dengan yang lain, informan V juga mengungkapkan
bahwa sosok Ana merupakan wanita yang cantik, “Kalo dari fisik jelas dia
cantik, kulitnya putih jelas, badan juga ideal nggak kurus-kurus banget dan
nggak gendut juga.”115
ii.
Gesture Tokoh Perempuan Terpaksa Melakukan BDSM
Kesan atau persepsi informan terhadap gesture dari tokoh perempuan
dalam adegan penyimpangan seksual BDSM ini hampir sama, sebagian besar
informan menganggap bahwa gesture yang ditunjukkan oleh perempuan
tersebut menunjukkan suatu keterpaksaan. Seperti yang diungkapkan oleh
informan II, III, IV, dan V, informan II mengungkapkan bahwa gesture dari
tokoh perempuan seperti terpaksa melakukan hubungan seksual dengan
BDSM, “Kalo dari gerak-geriknya sih dia keliatan kayak kepaksa sih mas
kalo menurut aku, contohnya pas dia kayak enggan untuk melakukan BDSM,
terutama pas mau dicambukin.”116
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan III yang menurutnya
gesture dari tokoh perempuan terpaksa melakukan BDSM, “Gesturenya
menurut saya sebenernya dia nggak mau nglakuin itu, jadi kayak kepaksa
gitu, misalnya waktu dia akan dicambukin sama Grey dia nggak langsung
mau.”117
Hampir sama dengan apa yang diungkapkan informan II dan III,
informan IV juga berpendapat bahwa gesture dari tokoh perempuan
114
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 03 November 2015.
116
Wawancara, 01 November 2015.
117
Wawancara, 02 November 2015.
115
90
menunjukkan keragu-raguan, “Dia itu kayak ragu-ragu gitu mau nglakuin hal
itu apa enggak, kayak waktu mau menandatangani kontrak dia kan mikir lama
dulu.”118
Ditambah dengan informan V yang mengungkapkan hal serupa, “Kalo
aku liat dia itu sebenarnya terpaksa melakukan itu, terbukti waktu pertama
kali melihat ruangan khusus Grey dia kayak kaget dan takut.”119
b) Penilaian Negatif Terhadap Lambang atau Gambar Tokoh Perempuan
i.
Ekspresi Tokoh Perempuan Berubah-ubah
Secara umum mereka mengungkapkan hal yang sama yaitu bahwa
kesan yang mereka tangkap dari ekspresi tokoh perempuan dalam adegan
penyimpangan seksual BDSM ini berubah-ubah, kadang ekspresinya seperti
menikmati, kadang juga seperti merasa takut dan tersiksa.
Seperti yang diungkapkan oleh informan I yang mengatakan bahwa
ekspresi tokoh perempuan dalam melakukan adegan penyimpangan seksual
BDSM ini berubah-ubah, “Dia berubah-ubah ya mas ekspresinya, waktu dia
melakukan di dalem ruangan khususnya Grey dia kayak menikmati tapi juga
agak takut, nah terus pas dicambuki dia keliatan kesakitan banget gitu kan
sampe nangis malah.”120
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh informan I, informan II
juga menilai bahwa ekspresi tokoh perempuan saat melakukan adegan ini
tidak sama, “Ekspresinya pas dia melakukan adegan di ruangan khususnya
118
Wawancara, 30 Oktober 2015.
Wawancara, 03 November 2015.
120
Wawancara, 31 Oktober 2015.
119
91
Grey itu dia kayak menikmati banget gitu, tapi pas dia dicambukin itu dia kan
nangis.”121
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan III, “Saya liat dia
berubah-ubah ya mas ekspresinya, ya itu waktu di ruang bermainnya Grey
kan keliatan kayak menikmati banget walaupun matanya ditutup dan diikat
segala macem, tapi waktu terakhir dicambukin dia malah nangis.”122
Informan IV juga mengungkapkan perbedaan ekspresi dari tokoh
perempuan, “Beda-beda mas, ya itu kadang dia menikmati, kadang juga
sedih. Menikmati pas di ruangan khusus itu ya kan, terus sedihnya kan pas
nangis itu gara-gara dicambukin.”123
Sama dengan yang lain, informan V juga menganggap bahwa ekspresi
tokoh perempuan berbeda-beda, “Ekspresinya beda-beda ya kalo aku liat,
kadang keliatan kayak menikmati, kadang keliatan kayak kesiksa banget gitu,
menikmati bukannya pas ditali dan dipukulin di ruangan khusus Grey, kalo
yang tersiksa itu pas dicambukin.”124
ii.
Gesture Tokoh Perempuan Pasrah Melakukan BDSM
Tidak semua informan menilai gesture dari perempuan saat
melakukan BDSM adalah karena terpaksa, ada satu informan yang menilai
bahwa tokoh perempuan pasrah dalam melakukan BDSM. Ia menganggap
gesture dari tokoh perempuan dalam film tersebut pasrah terhadap apa yang
121
Wawancara, 01 November 2015.
Wawancara, 02 November 2015.
123
Wawancara, 30 Oktober 2015.
124
Wawancara, 03 November 2015.
122
92
dilakukan tokoh pria. Namun karena tidak adanya data pembanding dari
informan lain, maka data tersebut tidak valid.
Dari hasil wawancara terhadap keseluruhan informan dapat diketahui
bahwa persepsi para informan terhadap lambang atau gambar perempuan
terkait dengan adegan penyimpangan seksual BDSM cenderung berbeda
dengan persepsi mereka sebelumnya terhadap tokoh perempuan dalam film
tersebut. Tidak seperti penilaian yang sebelumnya diberikan penonton bahwa
mereka menentang peran tokoh perempuan dalam film tersebut, informan
justru memiliki penilaian positif terhadap lambang atau gambar tokoh
perempuan. Meskipun ada yang tetap menilai negatif, namun hal tersebut
masih dalam tahap pemaknaan negosisai.
Hal tersebut menunjukkan bahwa lambang atau gambar menjadi salah
satu faktor struktural dari film Fifty Shades of Grey yang dapat
mempengaruhi persepsi penonton. Di mana penonton memiliki penilaian lain
terhadap perempuan dalam film tersebut setelah menyaksikan struktur film
berupa lambang atau gambar dari tokoh perempuan tersebut terkait
penyimpangan seksual BDSM.
2) Penilaian Informan terhadap Dialog atau Tulisan Terkait Adegan
Penyimpangan Seksual BDSM dalam Film Fifty Shades of Grey
Dialog atau tulisan juga merupakan salah satu faktor struktural dari
film Fifty Shades of Grey yang mempengaruhi persepsi penonton. Dari hasil
wawancara saat peneliti bertanya apakah mereka menonton dengan subtitle
93
atau tidak, mereka semua menjawab bahwa mereka menonton menggunakan
subtitle. Mereka semua menggunakan subtitle berbahasa Indonesia.
Sementara ketika ditanya apakah dialog yang dikatakan perempuan
dalam film ini terkait adegan penyimpangan seksual BDSM vulgar,
keseluruhan informan berpendapat bahwa memang ada dialog vulgar. Namun
menurut mereka masih dalam tingkat wajar dikarenakan dialog tersebut
merupakan dialog dalam film erotis, jadi masih dapat dimaklumi. Informan I
mengungkapkan bahwa dialog yang dikatakan oleh tokoh perempuan terkait
penyimpangan seksual BDSM memang ada yang vulgar, “Ada yang vulgar
mas yang waktu mereka lagi bernegosiasi tentang kontrak perjanjian,
menurutku sih wajar mas toh juga ini film dewasa juga kan.”125
Informan II juga mengatakan hal yang sama, “Vulgar? Sik-sik mas,
emmm itu mas yang waktu diskusi soal kontrak, itu vulgar banget katakatanya. Ya kalo buat film kayak gini sih wajar-wajar aja sih mas, secara
filmnya aja emang udah vulgar kan.”126
Senada dengan informan I dan II, informan III mengungkapkan bahwa
terdapat dialog yang dinilai vulgar namun terasa wajar karena merupakan
dialog dalam film erotis, “Saya ingetnya waktu Ana negosiasi ulang soal
kontrak dengan Grey itu ada yang vulgar mas. Kalo nggak salah banyak katakata jorok di situ yang diucapin. Ya kalo melihat itu diucapin dalam film
erotis gini sih menurut saya nggak aneh.”127
125
Wawancara, 31 Oktober 2015.
Wawancara, 01 November 2015.
127
Wawancara, 02 November 2015.
126
94
Tidak berbeda, informan IV juga mengungkapkan hal yang hampir
sama, “Wah seingetku ada yang vulgar mas, itu lho yang pas mereka lagi
diskusi soal kontrak. Nah tapi kalo ngeliat filmnya aja udah vulgar ya jadi
biasa aja gitu kata-kata yang sebenernya vulgar tadi.”128
Dilengkapi dengan pernyataan informan V yang senada dengan
informan lainnya, “Yang vulgar ada mas, itu yang waktu mereka ngobrolin
soal kontrak, ada kata-kata vulgarnya kan. But, karena memang ini film erotis
jadi ya wajar aja gitu hal semacam itu.”129
Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa keseluruhan informan
menyadari adanya dialog yang mereka anggap vulgar terutama oleh tokoh
perempuan terkait adegan penyimpangan seksual BDSM. Namun mereka
juga menganggap bahwa hal tersebut dirasa wajar dikarenakan terdapat dalam
film erotis. Hal tersebut menunjukkan bahwa lagi-lagi informan tidak
mempermasalahkan suatu hal yang dianggap vulgar.
3) Penilaian Informan terhadap Audio atau Suara Terkait Adegan
Penyimpangan Seksual BDSM dalam Film Fifty Shades of Grey
Audio atau suara merupakan faktor struktural yang mempengaruhi
persepsi karena termasuk struktur dari film Fifty Shades of Grey khususnya
yang mengiringi adegan penyimpangan seksual BDSM.
128
129
Wawancara, 30 Oktober 2015.
Wawancara, 03 November 2015.
95
a) Penilaian Positif Teradap Audio atau Suara
i.
Audio atau Suara Sangat Bagus
Kesan yang ditangkap oleh informan terhadap audio atau suara terkait
adegan penyimpangan seksual BDSM adalah sangat mendukung dengan apa
yang sedang ditampilkan. Mereka menganggap audio yang diputar
mengiringi adegan penyimpangan seksual BDSM sangat cocok dengan visual
atau gambar yang sedang ditampilkan. Informan II mengungkapkan sangat
menikmati adegan tersebut karena diiringi oleh musik yang menurutnya
memberi kesan romantis, “Yah, menurut aku sih musiknya sesuai dengan
adegannya, dan itu menambah kesan romantis.”130
Informan III juga menganggap bahwa musik yang diputar sangat
romantis, “Saya suka banget sama musik yang ngiringin adegan itu, romantis
banget jadinya, hehe.”131
Tidak jauh berbeda, informan IV juga menyatakan bahwa audionya
sangat pas dengan gambar, “Cocok banget audionya, iringan musiknya bikin
terbawa suasana banget.”132
Dilengkapi dengan pernyataan informan V, “Kalo dari audio sih oke
mas, mendukung visualisasinya banget gitu.”133
ii.
Audio atau Suara Tidak Merangsang Terkait Seksual
Saat ditanya apakah suara-suara seperti desahan membuat mereka
merasakan rangsangan terkait seks, sebagian besar informan mengaku tidak
130
Wawancara, 01 November 2015.
Wawancara, 02 November 2015.
132
Wawancara, 30 Oktober 2015.
133
Wawancara, 03 November 2015.
131
96
terangsang oleh suara-suara desahan tersebut. Informan II mengatakan tidak
merasa terangsang oleh suara desahan dari tokoh perempuan maupun lakilaki, “Nggak i mas, biasa aja, aku kan nggak mudah terpancing, hehe.”134
Informan III juga mengaku tidak merasakan pengaruh rangsangan
terkait seks dengan adanya suara desahan dalam adegan tersebut, “Nggak lah
mas, saya udah biasa dengan hal-hal kayak gitu jadi nggak ngaruh, hehe.”135
Informan IV juga mengaku tidak terangsang, “Nggak mas, ya biasa
aja gitu ga ngrasa apa-apa apalagi terangsang.”136
Informan V mengatakan bahwa tidak merasakan efek rangsangan
yang ditimbulkan oleh suara desahan tersebut, “Nggak ngrasa apa-apa mas,
apalagi terangsang.”137
b) Penilaian Negatif Teradap Audio atau Suara
Sebenarnya ada satu informan yang mengaku terbawa suasana ketika
menonton adegan penyimpangan seksual BDSM dalam film Fifty Shades of
Grey, yaitu informan I. Namun karena tidak adanya data pembanding dari
informan lain, maka data tersebut tidak valid.
Sehingga dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa audio atau
suara merupakan faktor struktural yang mempengaruhi persepsi penonton
terhadap adegan penyimpangan seksual BDSM. Mereka menganggap bahwa
adegan penyimpangan seksual BDSM telah dikemas secara bagus dengan
iringan audio yang selaras dengan visual yang ditampilkan serta tidak
134
Wawancara, 01 November 2015.
Wawancara, 02 November 2015.
136
Wawancara, 30 Oktober 2015.
137
Wawancara, 03 November 2015.
135
97
mempengaruhi rangsangan terkait seksual. Hal ini membuat para penonton
mampu menerima sesuatu yang dianggap menyimpang tersebut.
4) Penilaian Informan terhadap Tema Terkait Penyimpangan Seksual
BDSM dalam Film Fifty Shades of Grey
Menentukan tema dalam sebuah film merupakan suatu hal yang
penting. Tema juga merupakan struktur dari sebuah film sehingga akan
mempengaruhi persepsi penonton.
a) Penilaian Positif Terhadap Tema Film
Hampir semua informan mengaku menyukai tema yang diangkat film
ini terutama terkait penyimpangan seksual BDSM. Informan I, II, III, dan IV
mengaku suka dengan tema terkait penyimpangan seksual BDSM ini.
Informan I mengatakan ketertarikannya terhadap tema tersebut walaupun
menurutnya belum sesuai ekspektasinya, “Menarik sih menurutku, walaupun
eksekusinya belum sesuai ekspektasi, ya karena film ini berani mengangkat
tema yang beda dari film-film lain waktu itu di pasaran.”138
Informan II mengaku lumayan suka dengan tema tersebut, “Lumayan
sih mas, menurut aku tema ini unik gitu mas baru ini aku liat ada film yang
ngangkat tema kayak gini, jadi menurutku sih ngga ada masalah, tinggal
gimana kita nyikapinnya aja.”139
138
139
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 01 November 2015.
98
Informan III juga mengatakan bahwa dirinya menyukai tema tersebut,
“Suka, temanya berani, unik, dan beda dari tema-tema film drama pada
umumnya.”140
Ditambah dengan informan IV yang juga mengaku suka dengan tema
tersebut, “Suka, bisa bikin yang awalnya gak tau jadi tau, terutama tentang
BDSMnya.”141
b) Penilaian Negatif Terhadap Tema Film
Ternyata
tidak
seluruhnya
informan
menyukai
tema
terkait
penyimpangan seksual BDSM. Informan V mengaku tidak menyukai tema
terkait penyimpangan seksual BDSM karena bisa memberi pengaruh buruk
bagi penonton yang tidak mampu menahan diri,
“Romantisnya suka, tapi erotisnya enggak, karena itu bisa aja bikin
pengaruh buruk kan mas tema begitu, terutama untuk orang-orang
yang ga bisa menahan diri. Kan ngeri juga mas ntar kalo ada orang
pacaran tiba-tiba langsung nglakuin hal kayak gitu. Kan itu sama aja
ngajari hal negatif ya mas.”142
Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa hampir semua informan
menyukai tema terkait penyimpangan seksual BDSM karena menurut mereka
tema ini merupakan tema yang baru sehingga dapat memberi wawasan lebih
terhadap penonton. Namun ada juga yang menghawatirkan bahwa tema
seperti ini akan menyebabkan timbulnya efek negatif terhadap penonton
khususnya yang tidak mampu menahan diri. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tema terkait penyimpangan seksual BDSM juga menjadi daya tarik
140
Wawancara, 09 Oktober 2015.
Wawancara, 09 Oktober 2015.
142
Wawancara, 03 November 2015.
141
99
tersendiri bagi penonton terbukti dengan hampir semua informan menyukai
tema tersebut.
5) Penilaian Informan terhadap Adegan Penyimpangan Seksual BDSM
dalam Film Fifty Shades of Grey Secara Keseluruhan
a) Penilaian Positif Secara Keseluruhan
i.
Secara Keseluruhan Bagus
Secara
umum
informan
menilai
bagus
keseluruhan
adegan
penyimpangan seksual BDSM dalm film Fifty Shades of Grey. Informan II
menyatakan
apresiasinya
terhadap
adegan
tersebut,
“Ya
aku
sih
mengapresiasi adegan ini ya walaupun aku baru pertama liat adegan kayak
gitu tapi itu bisa mengedukasiku secara tidak langsung.”143
Informan III menilai bagus dan ia mengaku merasakan efek positif
yang didapatkan dari adegan tersebut, “Kalo saya sih mandangnya adegan ini
bagus, karna saya jadi tau banyak tentang fenomena semacam itu dan
semakin terbuka juga sama penyimpangan semacam itu.”144
Informan IV juga menilai bagus dan mengungkapkan bahwa
pengetahuannya bertambah karena menonton adegan ini, “Overall udah
bagus mas, karena adegan ini juga aku jadi tau oh ada to penyimpangan
seksual semacam itu.”145
Sama dengan yang lain, informan V juga mengatakan bahwa adegan
tersebut sudah bagus, walaupun dia sebenarnya tidak menyukainya,
143
Wawancara, 01 November 2015.
Wawancara, 02 November 2015.
145
Wawancara, 30 Oktober 2015.
144
100
“Menurutku sih emang udah bagus ya, tapi jujur sebenernya aku gak suka
sama adegan-adegan kayak gini, bisa ngasih efek negatif ke penonton.”146
ii.
Secara Keseluruhan Lumayan
Sebagian informan menilai adegan penyimpangan BDSM secara
keseluruhan sudah lumayan. Seperti yang diungkapkan oleh informan I yang
mengungkapkan bahwa dia menikmati adegan ini secara keseluruhan dan
menurutnya lumayan, “Secara keseluruhan aku menikmati adegan ini,
lumayan sih kalo menurutku.”147
Sehingga dari hasil wawancara terhadap keseluruhan informan, dapat
diketahui bahwa adegan penyimpangan seksual BDSM yang terdapat dalam
film Fifty Shades of Grey dapat dinikmati dan diterima oleh penontonnya
dalam hal ini adalah mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan
2012. Ini tentu berbeda dengan sensasi yang mereka rasakan serta persepsi
mereka sebelumnya yang menentang peran tokoh perempuan dalam film
tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor srtuktural juga menentukan
persepsi.
146
147
Wawancara, 03 November 2015.
Wawancara, 31 Oktober 2015.
Download