4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pranajiwa (Euchresta hosrfieldii

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pranajiwa (Euchresta hosrfieldii (Lesch) Benn)
2.1.1 Morfologi Tumbuhan Pranajiwa
Tanaman pranajiwa adalah salah satu tumbuhan perdu tegak dengan tinggi
0,5 m-1,5 m. Sekilas, bentuk daun anggita keluarga Leguminosae ini mirip daun
melinjo. Pranajiwa terdapat di Pegunungan Himalaya, Filipina, dan Indonesia.
Biasanya, tanaman padat manfaat ini bisa kita jumpai di daerah pegunungan
dengan ketinggian 1.000 m - 2.000 m di atas permukaan laut. Susunan daun
pranajiwa berselang-seling dengan tangkai yang panjang. Setiap tangkai terdiri
dari 3 - 5 anak daun berwarna hijau mengkilat. Panjang daunnya sekira 10 - 15 cm
dengan pangkal membulat dan ujung lancip. Sedangkan tangkai bunganya,
bersembulan dari ketiak-ketiak daun, tersusun bertandan dalam jumlah banyak.
Ukuran bunga-bunga putih ini cukup mungil, sekira 1,25 cm. Buah pranajiwa
yang mirip polong ini, berbentuk lonjong dengan panjang 1-2 cm. Pada waktu
muda, polong berwarna cokelat dan berubah hitam keunguan setelah matang
(Heyne, 1987; Kloppenburgh, 2006).
Tanaman pranajiwa ini dapat ditemukan di Pegunungan Himalaya,
Filipina, dan Indonesia khususnya di Bali. Tumbuhan ini bisa dijumpai di daerah
pegunungan dengan ketinggian 1000-2000 m diatas permukaan laut (Heyne,
1987; Kloppenburgh, 2006).
4
5
2.1.2 Klasifikasi Tumbuhan Pranajiwa
Dalam sistem klasifikasi, tanaman pranajiwa (Gambar 2.1) dapat
digambarkan dalam pembagian taksonomi berikut ini:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnopoliophyta
Klass
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Euchresta
Spesies
: Euchresta hosrfieldii (Lesch) Benn
Gambar Tanaman Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch) Benn) dapat dilihat
pada gambar 2.1
Gambar 2.1 Tanaman Pranajiwa (Euchresta horsfieldii (Lesch) Benn)
(Yusuf,2011)
2.2
Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene (CH=C(CH3)-CH=CH2) dan diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualen (Harborne, 1987). Struktur skualen dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
6
Gambar 2.2 Struktur skualen (Robinson, 1995).
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu triterpenoid
sejati, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Berdasarkan struktur kimianya
triterpenoid digolongkan menjadi tiga golongan yaitu: triterpenoid asiklik,
triterpenoid tetrasiklik, dan triterpenoid pentasiklik (Robinson, 1995).
Triterpen pentasiklik triterpen α-amirin dan β-amirin, serta asam
turunannya yaitu asam ursolat dan asam oleanolat. Senyawa ini berfungsi sebagai
pelindung untuk menolak serangga dari serangan mikroba (Soetarno, 1990).
Struktur α-amirin dan β-amirin seperti Gambar 2.3.
H3 C
CH 3
CH 3
H 3C
H
CH3
H
HO
H3 C
CH3
CH3
CH 3
-amirin (R=CH3)
As. ursolat (R=COOH)
H
CH 3
R
H
HO
H3 C
CH 3
R
CH 3
CH 3
-amirin (R=CH3)
As. oleanolat (R=COOH)
Gambar 2.3 Struktur α-amirin dan β-amirin (Robinson, 1995).
Senyawa golongan triterpenoid kebanyakan mempunyai gugus fungsi
alkohol, aldehid, dan asam karboksilat. Jika dianalisis dengan spektrofotometer
inframerah (IR), karakteristik senyawa golongan triterpenoid yang memiliki gugus
alkohol akan memberikan serapan lebar (-OH) pada bilangan gelombang sekitar
7
3400 cm-1 yang dipertegas dengan adanya serapan C-O alkohol pada sekitar 1300110 cm-1. Adanya gugus fungsi –OH dan C-O alkohol serta munculnya serapan
C=O pada daerah bilangan gelombang sekitar 1900-1650 cm-1 merupakan ciri
dominan dari gugus asam karboksilat. Triterpenoid aldehid ditunjukkan dengan
adanya dua puncak lemah dekat 2850 dan 2750 cm -1 (Harbone,1987;
Sastrohamidjojo, 1992). Sterol semula diduga hanya ada pada binatang sebagai
hormon seks, asam empedu dan sebagainya, tetapi kemudian diketahui banyak
ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan sterol ini sering disebut fitosterol. Tiga
senyawa sterol yang umum terdapat dalam tumbuhan tingkat tinggi seperti :
sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Soetarno, 1990).
Sapogenin triterpen dapat dikelompokkan sebagai : α-amirin dan β-amirin
dan lupeol. Perbedaan dari kerangka karbon α-amirin dan β-amirin terletak pada
kedudukan substituen yang terikat pada C-20, apabila satu gugus metil terikat
pada C-20 termasuk α-amirin dan bila dua gugus metol terikat pada C-20
termasuk β-amirin (Harbone, 1987).
Glikosida jantung atau kardenolida adalah golongan terakhir dari senyawa
triterpenoid. Salah satu contoh glikosida jantung yang penting adalah oleandrin,
racun daun Nerium oleander. Ciri khas struktur oleandrin adalah adanya
substituen gula yang terikat pada kerangka dasarnya. Kebanyakan glikosida
jantung bersifat sebagai racun dan berkhasiat farmakologi terutama terhadap
jantung (Soetarno,1990).
8
2.3 Uji Toksisitas
Salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik
adalah dengan uji toksisitas terhadap larva udang yang nantinya dapat dipakai
sebagai gambaran awal adanya senyawa bioaktif. Uji toksisitas ini bersifat
sederhana, murah, cepat, sensitif, memerlukan sedikit bahan dan memiliki
kemampuan dalam pengujian senyawa bioaktif secara umum dari ekstrak
tumbuhan. Ada juga metode untuk menguji senywa yang bersifat toksik adalah
dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BLST). BLST merupakan salah satu
metode skrining untuk mengetahui toksisitas suatu ekstrak ataupun senyawa
bahan alam (Sukardiman, 2004).
Uji toksisitas ini dapat diketahui dari jumlah kematian larva Artemia
salina L. karena pengaruh ekstrak atau senyawa bahan alam pada konsentrasi
yang diberikan (McLaughlin et al., 1998; Silva et al., 2007). Penggunaan larva
Artemia salina Leach, sebagai bioindikator pertama kali dilakukan pada tahun
1956, kemudian penggunaannya meluas untuk toksin-toksin alami dan sebagai
skrining umum untuk substansi bioaktif yang terdapat pada ekstrak tanaman
(Meyer et al., 1982).
Uji ini digunakan
larva udang Artemia salina Leach. Larva udang
merupakan hewan uji yang paling efektif dan sederhana dalam ilmu biologi untuk
uji toksisitas. Hal ini disebabkan karena ketersedian telur-telur yang mudah
menetas menjadi larva, pertumbuhannya cepat dan relatif mudah pengaturan
populasinya pada kondisi laboratorium. Telur-telur yang telah tersedia akan tetap
dapat hidup bertahun-tahun bila didinginkan. Uji ini menggunakan larva Artemia
9
salina Leach, yang telah berumur 48 jam yang diuji pada konsentrasi ekstrak 10
ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm selama 24 jam. Dalam setiap tempat uji, percobaan
diulang sebanyak 3 kali. Data mortalitas larva selanjutnya untuk memeroleh nilai
LC50 (konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% larva). Apabila LC50 kurang
dari 1000 ppm, dikatakan mempunyai potensi bioaktivitas sebagai antikanker
(Meyer et al., 1982).
2.4 Metode Analisis Tanaman
Isolasi senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman
dilakukan melalui beberapa tahapan analisis meliputi: ekstraksi, pemisahan,
pemurnian, dan identifikasi (Harbone, 1987).
2.4.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik komponen-komponen kimia
yang terdapat dalam bahan simplisia. Jenis-jenis ekstraksi yang digunakan
tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan
jenis dari senyawa yang akan diisolasi (Harbone, 1987; Suradikusumah, 1989).
Untuk mengekstrak suatu tanaman idealnya menggunakan jaringan tanaman yang
segar. Namun kadang tanaman yang dianalisis tidak tersedia di tempat, sehingga
tanaman yang diambil harus segera dikeringkan pada suhu yang tidak terlalu
tinggi dan tidak terkena sinar matahari langsung untuk mencegah terjadinya
perubahan secara kimiawi (Chairul, 2003).
Kandungan senyawa organik dapat diperoleh dari jaringan tumbuhan dapat
dilakukan dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut tertentu atau
dengan alat soxhlet secara berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang
10
mempunyai tingkat polaritas berdeda. Ekstrak yang diperoleh kemudian
dipekatkan dengan penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) sehingga
didapatkan ekstra pekat (Swantara, 2005).
Maserasi adalah proses perendaman sampel untuk memisahkan komponen
yang kita inginkan dengan kondisi dingin diskontinyu. Keuntungan dari maserasi
adalah lebih praktis dan tidak memerlukan pemanasan sedangkan kekurangannya
adalah pelarut yang digunakan relatif banyak (Harbone, 1987; Suradikusumah
1989).
2.4.2
Pemisahan dan pemurnian
Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia dari tumbuhan terutama
dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dari banyak teknik kromatografi
yang ada atau merupakan gabungan dari teknik-teknik tersebut. Ekstrak kental
yang paling toksik dipisahkan dan dimurnikan dengan teknik-teknik kromatografi.
Umumnya
pemisahan
dan
pemurnian
dilakukan
dengan
menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) atau kromatografi kolom (Gritter et al., 1991;
Hendayana, 2006).
Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu fase
diam dan fase gerak, dimana pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua
fase tersebut. Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat
dari fase diam yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa zat
padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan. Sedangkan bila
fase diamnya berupa zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi.
11
2.4.2.1 Partisi (fraksionasi)
Partisi bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia dalam
ekstrak kasar berdasarkan kepolarannya. Senyawa-senyawa nonpolar akan larut ke
dalam pelarut nonpolar dan senyawa-senyawa polar akan larut ke dalam pelarut
polar. Pada umumnya partisi dimulai dengan pelarut nonpolar seperti n-heksana
atau proteleum eter untuk menarik senyawa-senyawa nonpolar. Selanjutnya
digunakan pelarut semipolar seperti kloroform, etil asetat, atau aseton untuk
menarik senyawa-senyawa semipolar. Terakhir digunakan pelarut polar seperti
metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa-senyawa polar (Swantara, 2005).
Teknik yang paling umum untuk metode partisi adalah menggunakan
corong pemisah dengan menggunakan dua pelarut yang saling tidak tercampur.
Untuk senyawa-senyawa yang berwarna, partisi dihentikan bila ekstrak terakhir
sudah tidak berwarna sedangkan untuk senyawa yang tidak berwarna, partisi
dihentikan sampai saat yang diekstrak telah habis (Swantara, 2005).
2.4.2.2 Kromatografi lapis tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan kromatografi adsorbsi,
dimana absorben bertindak sebagai fase stasioner atau fase diam. Adsorben yang
digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina kieselguhr,
dan selulosa. Dari keempat jenis absorben tersebut, yang paling banyak digunakan
adalah silika gel. Sedangkan fase gerak yang digunakan berupa pelarut. Kelebihan
KLT adalah keluwesan, kecepatan, dan kepekaannya. Metode ini dikatakan luwes
karena sejumlah adsorben yang berbeda dapat disebarkan pada lempeng kaca dan
digunakan untuk kromatografi. Lapisan dapat dibuat dari silika, aluminium
12
oksida, kalsium hidroksida, magnesium fosfat, poliamida, sefadeks, selulosa, dan
campuran dari 2 atau lebih bahan-bahan tersebut. Kepekaan KLT menyebabkan
pemisahan pada jumlah mikrogram dapat dilakukan (Suradikusumah, 1989).
Sistem pelarut yang sering digunakan pada KLT adalah sistem bukan air
seperti metanol, asam asetat, etanol, aseton, etil asetat, eter, kloroform, benzena,
sikloheksana, dan petroleum eter. Untuk fase diam yang polar dapat digunakan
fase gerak non-polar sampai paling polar. Untuk fase diam non-polar (sistem fase
balik) biasanya digunakan fase gerak larutan berair, metanol, asetonitril, dan
isopropanol. Parameter migrasi analitik pada KLT dinyatakan dengan Rf.
Deteksi senyawa pada pelat KLT biasanya dilakukan dengan dilihat di
bawah lampu UV, uap yodium, dan bisa juga dengan penyemprotan pereaksi
penampak noda yang sesuai. Satu keuntungan bila dibandingkan dengan
kromatografi kertas adalah pelat dapat disemprot dengan asam sulfat pekat yaitu
pereaksi pendeteksi steroid dan lipida yang berguna (Harbone, 1987). Identifikasi
senyawa-senyawa
yang
terpisah
pada
lapisan
tipis
dikerjakan
dengan
mereaksikannya dengan pereaksi warna, atau bisa juga dilakukan dengan
mengukur harga Rf-nya (Sastrohamidjojo, 1991).
Jarak yang ditempuh oleh sampel atau standar
Rf =
Jarak yang ditempuh oleh pelarut
2.4.2.3 Kromatografi kolom
Kromatografi kolom disebut juga kromatografi adsorpsi atau kromatografi
elusi karena senyawa yang terpisah akan terelusi dari kolom. Kromatografi ini
membutuhkan penyerap (fase diam) dalam jumlah relatif besar. Tujuan dari
13
kromatografi ini adalah untuk memisahkan komponen senyawa yang terkandung
dalam suatu ekstrak ke dalam beberapa fraksi (Robinson, 1991).
Kromatografi kolom merupakan teknik penting untuk pemisahan skala
preparatif, dari beberapa milligram sampai puluhan gram. Pemisahan dilakukan
menggunakan kolom kaca yang diisi dengan bahan penyerap. Berbagai ukuran
kolom dapat digunakan. Panjang kolom harus sekurang-kurangnya sepuluh kali
ukuran diameternya (Sastrohamidjojo, 1991).
Fase gerak yang akan digunakan terlebih dahulu diuji dengan KLT dengan
tujuan untuk memperoleh eluen yang baik. Pengisian kolom harus dikerjakan
dengan homogen. Pengisian kolom yang tidak homogen akan menghasilkan
rongga-rongga di tengah kolom (Sastrohamidjojo, 1991).
Campuran yang akan dipisahkan dimasukkan ke dalam kolom sehingga
campuran ini semua terserap. Fase gerak yang disebut eluen dialirkan terusmenerus melalui bahan penyerap. Setiap zat dalam campuran terbawa turun
dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung pada afinitasnya terhadap
penyerap. Idealnya zat yang terpisah membentuk pita-pita yang perlahan-lahan
menuruni kolom dan akhirnya ditampung ke dalam sejumlah botol kecil
(Sastrohamidjojo, 1991).
2.5 Metode Identifikasi
Identifikasi suatu senyawa hasil isolasi (isolat) dilakukan dengan uji
fitokimia dan analisis data fisikokimia dilakukan dengan mengukur spektrumspektrum yang khas dengan menggunakan spektrofotometer. Dalam penelitian ini
14
uji fisikokimia dilakukan dengan menggunakan instrumen UV-Vis (UltravioletVisible) dan IR (Infra merah).
2.5.1 Identifikasi dengan uji fitokimia
Uji fitokimia terhadap isolat aktif dilakukan dengan menggunakan pereaksipereaksi yang spesifik terhadap suatu golongan senyawa. Pengerjaannya dapat
dilakukan pada plat tetes atau tabung pereaksi yaitu dengan mereaksikan sedikit isolat
dengan pereaksi golongan senyawa tertentu. Perubahan warna yang terjadi tergantung
dari pereaksi yang digunakan dan golongan senyawa apa yang terkandung
didalamnya. Adapun pereaksi yang digunakan yaitu : Liebermann-Burchard (asam
asetat anhidrida dan H2SO4)
2.5.2
Identifikasi senyawa
tampak (UV-VIS)
dengan
spektrofotometri
ultraviolet-sinar
Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang
digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan
kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Peralatan
yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer. Cahaya yang
dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV, dan inframerah, sedangkan materi
dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron
valensi (Kusnanto Mukti, 2011).
Sinar atau cahaya yang berasal dari sumber tertentu disebut juga sebagai
radiasi elektromagnetik. Radiasi elektromagnetik yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari adalah cahaya matahari. Dalam interaksi materi dengan cahaya atau
radiasi elektromagnetik, radiasi elektromagnetik kemungkinanan dihamburkan
atau diabsorbsi sehingga dikenal adanya spektroskopi hamburan, spektroskopi
15
absorbsi
ataupun
spektroskopi
emisi.
Pengertian
spektroskopi
dan
spektrofotometri pada dasarnya sama yaitu di dasarkan pada interaksi antara
materi dengan radiasi elektromagnetik. Spektrofotometri lebih spesifik karena
ditunjukan pada interaksi antara materi dengan cahaya (baik yang dilihat maupun
tidak terlihat), sedangkan pengertian spektroskopi lebih luas yaitu interaksi antara
cahaya maupun medan magnet (Kusnanto Mukti, 2011).
Spektrofotometri ultraviolet merupakan suatu metode analisis berdasarkan
atas pengukuran serapan satu larutan yang dilalui radiasi monokromatis
ultraviolet. Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, didalam molekul
tersebut terjadi perpindahan tingkat energi paling rendah ke tingkat energi yang
lebih tinggi (terseksitasi). Panjang gelombang cahaya ultraviolet tergantung pada
mudahnya promosi elektron akan menyerap radiasi ultraviolet pada panjang
gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit
akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang (Fessenden dan
Fessenden, 1995).
Panjang gelombang cahaya UV dan tampak jauh lebih pendek daripada
panjang gelombang radiasi inframerah. Satuan yang digunakan untuk panjang
gelombang ini adalah nanometer ( 1 nm = 10-1 cm ). Spectrum tampak terentang
dari sekitar 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah). Sedangkan spectrum
ultraviolet terentang dari 100 sampai 400 nm (Fessenden dan Fessenden, 1995).
2.5.3
Identifikasi senyawa dengan spektrofotometer inframerah (IR)
Spektrofotometri inframerah merupakan suatu metode yang mengamati
interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah
16
panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada bilangan gelombang 13.000 – 10
cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark
Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang
elektromagnetik, artinya cahaya dua vektor, yaitu mempunyai vektor listrik dan
vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan. Saat ini
telah dikenal berbagai macam gelombang elektromagnetik dengan rentang
panjang gelombang tertentu. Spektrum elektromagnetik merupakan kumpulan
spektrum dari berbagai panjang gelombang. Berdasarkan pembagian daerah
panjang gelombang sinar inframerah dibagi atas tiga daerah, yaitu : daerah
inframerah dekat, daerah inframerah pertengahan, dan daerah inframerah jauh
(Silverstain et al.,1991).
Spektrum inframerah terletak pada daerah dengan panjang gelombang
berkisar dari 0,78 sampai 1000 nm atau bilangan gelombang dari 12800 sampai
10 cm-1. Spektrum inframerah dilihat dari segi aplikasi dan instrumentasinya
dibagi dalam tiga jenis radiasi yaitu inframerah dekat dengan panjang gelombang
0,78 – 25 µm atau bilangan gelombang antara 12800-4000 cm-1 , inframerah
pertengahan mempunyai kisaran panjang gelombang di 2,5 – 50 µm dan bilangan
gelombang sebesar 4000- 200 cm-1, dan inframerah jauh mempunyai panjang
gelombang antara 50 – 1000 µm dan kisaran bilangan gelombang pada 200 – 10
cm-1 (Silverstain et al.,1991).
Aplikasi spektrofotometri inframerah sangat luas baik untuk analisis
kualitatif maupun kuantitatif. Penggunaaan yang paling banyak adalah pada
daerah pertengahan dengan kisaran bilangan gelombang 4000 sampai 670 cm -1
17
atau dengan panjang gelombang 2,3 sampai 15 µm. Kegunaan yang paling
penting dari spektrofotometri inframerah adalah untuk mengidentifikasi senyawa
organik karena spektrum inframerah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik
yang karakteristik artinya kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum yang
sama adalah kecil sekali. Pengukuran dengan spektrofotometri inframerah adalah
pengukuran frekuensi dimana vibrasi dan rotasi yang terjadi berhubungan dengan
jumlah energi yang terserap pada frekuensi tersebut. Pengukuran energi yang
terserap direkam sebagai transmitan sebagai fungsi panjang gelombang. Spektra
setiap komponen senyawa adalah unik sehingga spektra inframerah disebut juga
sebagai sidik jari dari komponen senyawa (Silverstain et al.,1991).
Download