1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Alkohol merupakan suatu senyawa kimia organik yang bersifat
eforik-adiktif, dan sejak berabad-abad lamanya telah digunakan untuk keperluan
sosial, medis, kultural dan ritual keagamaan. Namun sekarang alkohol sering
disalahgunakan sehingga menimbulkan ekses ke ranah sosial, medikal,
medikolegal, criminal dan sebagainya. Disamping itu, alkohol juga dapat
mengakibatkan cacat permanen baik fisik maupun mental pada janin atau bayinya
bila dikomsumsi ibu pada saat kehamilan. Bila dikonsumsi pada masa awal
kehamilan, alkohol dapat menyebabkan berbagai efek teratologis pada janin yang
sedang berkembang.
Sekarang ada pergeseran usia ibu atau calon ibu pengguna alkohol
tersebut ke arah yang lebih muda atau produktif. Hal ini bisa jadi sebagian
disebabkan oleh berita atau informasi yang bertentangan dari media masa,
sekolah, teman-teman dan orangtua. Di satu pihak mereka mendengar bahwa
penggunaan alkohol dalam dosis sedang dapat diterima, malahan dalam beberapa
contoh dikatakan baik untuk kesehatan, dipihak lain ada yang mengatakan bahwa
alkohol harus dilarang sampai usia 21 tahun. Disamping itu iklan - iklan dan
tayangan di TV seringkali menggambarkan bahwa alkohol adalah alat untuk
menuju kesuksesan dan kehidupan yang lebih nikmat.
Data statistik menunjukkan bahwa remaja yang mengkonsumsi
alkohol mulai dari usia yang belia yaitu sebelum usia 15 tahun akan menderita
1
2
ketergantungan alkohol (alcohol dependence) dikemudian hari empat kali lebih
besar dibandingkan dengan yang mulai minum alkohol saat berusia 21 tahun
(anonym1). Bahkan menurut Youngentob, kebiasaan buruk ini sudah ditanamkan
sejak bayi dalam kandungan (Smith, 2007).
Meskipun telah diketahui cacat seumur hidup yang akan ditanggung
bayi atau anaknya, serta telah diterbitkannya dua buah rekomendasi oleh US
Surgeon General maupun UK Department of Health bagi ibu hamil untuk tidak
minum alkohol sama sekali, calon ibu-ibu tetap saja meneruskan kebiasaan
buruknya (Dannaway and Mulvihill, 2009) sehingga saat ini diperkirakan sudah 1
dari 500 kelahiran hidup bayi (May and Gossage, 2001) dari yang sebelumnya:
0,2 - 0,7 per 1000 kelahiran di AS menderita kelainan Fetal Alcohol Syndrome
(FAS) dengan karakteristik gangguan pertumbuhan (growth retardation) pra-,
baru- dan pasca-lahir, kelainan fitur wajah yang spesifik (facial dysmorphy) serta
adanya gangguan dalam SSP dan otak (CNS damages: structural, neurological
and functional) (Lemoine et al.,1968; Jones et al.,1973; Rosett and Weiner, 1984;
Sokol and Clarren, 1989). Manifestasi klinis lain FAS: keterbelakangan mental,
kelainan bentuk tulang rangka,dan sistem organ besar (terutama hati, jantung dan
otak), miskin keterampilan motorik, masalah belajar, gangguan kognitif (Godel et
al., 2000).
Perlu dicatat bahwa tidak semua ibu-ibu hamil yang mengkonsumsi
alkohol akan melahirkan bayi cacat, tetapi semua kasus FAS yang ditemukan
adalah sebagai akibat dari penyalahgunaan alkohol. Banyak sekali faktor-faktor
risiko yang berperan disini antara lain: dosis, pola minum, timing, variasi genetik,
3
karakteristik dari ibu seperti usia, paritas, psiko-sosial, malnutrisi, minum
bersama obat lain, status sosio-ekonomi, kurangnya perawatan medis, kurangnya
dukungan sosial dan ada riwayat penyakit sebelumnya.
Sampai saat ini FAS di Amerika Serikat dan Eropa merupakan
penyebab utama terjadinya mental retardation (Abel and Sokol, 1986),
melampaui Down syndrome dan Spina bifida. Di Amsterdam, tanggal 3-5
Nopember 2010 diadakan konferensi Internasional tentang FAS dengan
mengambil tema: Fetal Alcohol Spectrum Disorders: Growing Awareness in
Europe. Hal penting dari pertemuan ini adalah disepakatinya kesadaran dan
kenyataan bahwa prevalensi dan insidensi FAS semakin meningkat dan perlu
konsensus untuk penatalaksanaan yang komprehensif. FAS dapat mengenai 610% dari bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu peminum alkohol berat, terlebih
ibu-ibu muda dalam masa reproduktif (CDC, 2002). Insiden FAS di Amerika
Serikat berkisar 0,2 – 1,95 per seribu angka kelahiran hidup, angka ini tergantung
dari faktor kultur, tradisi, etnik, sosio-ekonomi dan tempat tinggal penduduk
(misalnya daerah Southwestern Plains Indian di Amerika Serikat angka tersebut
9,80 per seribu).
Biaya yang dikeluarkan untuk satu penderita FAS di AS selama
hidupnya diperkirakan sebesar USD 2 juta dan pembayar pajak disana harus
membayar ekstra USD 321 juta per tahunnya (Abel and Sokol, 1987) FAS dapat
terjadi pada semua golongan sosial ekonomi, suku dan ras (no racial and
economical boundaries) apalagi mengingat kecenderungan yang akhir-akhir ini
4
meningkat dari ibu-ibu muda kita untuk mengadopsi pola hidup modern gaya
Barat (anonym2).
Menurut pengalaman, FAS ini menyerupai fenomena gunung es
(iceberg phenomenon), yang harus bisa di deteksi dan diagnosis sedini mungkin
agar dapat ditangani dengan baik sehingga outcome nya tidak parah dan kualitas
hidup anak dapat sesuai dengan potensinya. Walaupun banyak kemajuan yang
telah dicapai dalam mengidentifikasi mekanisme yang kompleks dari efek
teratologis alkohol pada hewan coba, penelitian baku kearah biomarkers,
diagnosis yang lebih baik, terapi dan intervensi yang lebih memuaskan, dirasakan
belum cukup memadai untuk memperbaiki penatalaksanaan klinis FAS.
Demikian juga intervensi farmakologis atau nutrisi hanya sedikit
yang baru tersentuh (Department of Health and Human Services, 2011). Pada saat
ini FAS sudah merupakan masalah besar kesehatan dunia dan retardasi mental
yang disebabkannya dapat dipakai sebagai salah satu ukuran atau indikator
kegagalan sistem kesehatan masyarakat di suatu negara. Telah diketahui dari
berbagai studi dan penelitian bahwa alkohol dapat merusak otak janin yang
sedang berkembang (Gleason, 2001) melalui berbagai mekanisme seperti
menghambat cell-cell cycle, gangguan perkembangan sel glia: fase migrasi,
produksi faktor neurotrofik (Climent, 2002) fase myelinisasi, gangguan pada
adhesi sel (cell adhesion), gangguan produksi faktor pertumbuhan, cell division,
cell survival, gangguan regulasi intracellular calcium (Mattson and Chan, 2003)
dan produksi yang berlebihan dari radikal bebas yang memicu terjadinya
apoptosis.
5
Dalam otak yang sedang berkembang alkohol mempunyai potensi
sama terhadap gamma-aminobutyric acid A receptor agonist (GABAAR) dan Nmethyl-D-aspartic acid receptor antagonist (NMDA antagonist). Paparan terhadap
kedua zat tersebut akan mengakibatkan terjadinya apoptosis selama masa
perkembangan oleh karena alkohol bekerja pada kedua receptor ini maka hasil
akhir daripada apoptosis ini dapat menerangkan mengapa bisa terjadi
microencephaly dan gejala-gejala neurologis lain yang menyertai FAS (Olney et
al., 2001).
Mekanisme lain yang meningkatkan apoptosis adalah dengan
terbentuknya radikal bebas oksigen (ROS) yang dapat merusak membran sel
melalui proses lipid peroxidation yang pada gilirannya menyebabkan kematian sel
dan kecacatan pada janin yang sedang berkembang (Chaudhuri, 2000; Dennery,
2007), juga kadar antioksidan seperti catalase dan superoxide dismutase menjadi
rendah pada sel yang terpapar alkohol. Penurunan kadar ini sangat merugikan
jaringan janin yang memang sudah kecil sekali kandungan antioksidannya.
Demikian juga neural crest cells yang merupakan precursors untuk pembentukan
craniofacial dan struktur visceral menjadi sangat rentan terhadap kerusakan oleh
radikal bebas ini dan efek toksik ini telah terbukti (Guerri et al., 1994).
Alkohol juga mempunyai efek sitotoksik yang dimanifestasikan
melalui peningkatan stres oksidatif dan dapat merusak mitochondria DNA (Mt
DNA), meningkatkan sensitivitas seluler dan permeabilitas transisi yang akhirnya
menyebabkan nekrosis atau apoptosis (Chu et al., 2007; Ramachandran et al.,
2001; Susin et al.,1999). Radikal bebas nitrogen (RNS) juga meningkat oleh
6
paparan alkohol (Chaudhuri, 2000; Das and Vasudevan, 2007), jaringan saraf
yang terpapar alkohol juga mengandung nitric oxide synthase (NOS) dan nitric
oxide (NO) yang lebih tinggi (Brune, 2003) NO bisa bereaksi dengan oksigen
spesies untuk membentuk radikal nitrogen yaitu peroxynitrite (N2O2) dan alkohol
dibuktikan juga dapat meningkatkan kadar IL-1 yang pada gilirannya akan
meningkatkan kadar NO (Pacher et al., 2007).
Alkohol diketahui juga dimetabolisme dan didetoksifikasi oleh
sejumlah reaksi oksidasi, mulai dari reaksi oksidasi reversibel alkohol menjadi
acetaldehyde melalui alcohol dehydrogenase (ADH), CYP2E1, dan catalase)
(Setshedi et al., 2010; Tuma and Casey, 2003). Acetaldehyde yang toksik ini
diakumulasi dalam sitoplasma dan peroxisome. Di dalam peroxisome otak,
catalase mengoksidasi alkohol juga menjadi asetaldehid (Barry, 1988; Crabb et
al., 2004; Crabb and Liangpunsakul, 2007). Acetaldehyde yang sangat toksik itu
akan dioksidasi secara ireversibel menjadi acetat menggunakan enzim ALDH
dalam Mitochondria (Mt ALDH) Acetat yang aktif akan membentuk asetil
koenzim A (coA) , yang kemudian masuk ke dalam siklus Krebs dan mengalami
metabolisme menjadi CO2 dan H2O (Kunitoh et al., 1997; Baselt, 2002).
Sebaliknya alkohol dapat menurunkan kadar neural growth factor
(Wolff et al., 2007), yang berhubungan dengan organisasi SSP dan mempunyai
sifat antiapoptosis. Efek teratogenik lainnya adalah menurunkan kadar retinoic
acid (Chaudhuri, 2000). Salah satu mekanisme kerja teratogenik alkohol yang
menarik adalah menghambat Sonic hedgehog (Shh) gene signaling. Shh dipercaya
memegang
peran
sentral
dalam
morphogenesis
awal,
terutama
dalam
7
pembentukan lengan dan struktur garis tengah otak (seperti corpus callosum) dan
kolesterol disini memegang peran utama dalam menginduksi Shh signaling
(Guizetti, 2007). Selain itu alkohol dapat juga melalui proses glycosylation
menghambat migrasi sel-sel neuron ke dalam corpus callosum (Braza-Boils. et
al., 2006). Alkohol juga dapat berinterferensi dengan aktivitas faktor-faktor
pertumbuhan yang mengatur proliferasi sel dan survivalnya.
Berbagai growth factors (GFs) itu dibutuhkan untuk pertumbuhan
normal, viability, metabolisme energi, synaps sel saraf, pembelahan sel yang
termasuk didalamnya insulin dan kedua faktor yang disebut insulin-like growth
factors (IGFs) I and II. (Goodyer et al., 1984; Gammeltoft et al., 1985; Hill et
al., 1986; Spencer, 1991). Keduanya saling memperkuat kerjanya dengan
mengikat molekul protein yang disebut IGF-I Receptor yang terletak
dipermukaan sel. IGF-I juga diketahui dapat memperbaiki proses demielinasi
yang diinduksi oleh TNF-alpha pada mencit Tg (Ye et al., 2007). Alkohol inilah
yang nantinya berinterferensi dengan aktivitas IGF-I Receptor. Karena IGF-I
masih terikat dengan receptornya maka fungsi signaling receptornya terhambat
dan pembelahan sel yang di mediasi oleh IGF-I tidak dapat berlangsung
(Resnickoff et al., 1993).
Alkohol dapat mempercepat kematian sel dengan jalan menghambat
beberapa GFs yang mendukung sel-sel yang sudah mempertahankan fungsi
akhirnya (sel-sel yang sudah berdiferensiasi) dan tidak lagi membelah. Sebagai
contoh: IGF-I/IGF-II receptors berperan pada survival daripada sel yang tidak
membelah dan mencegah apoptosis dalam beberapa contoh kematian sel. Mirip
8
dengan situasi pembelahan sel di atas alkohol dapat menghambat IGF-I receptor
dari sel-sel yang tidak membelah, dengan demikian mencegah survival sel-sel
tersebut (Cui et al., 1997; Zhang et al., 1998). Alkohol dapat mempengaruhi
beberapa second messenger pathways yang berkaitan dengan migrasi sel-sel
neuron, terutama di dalam cerebellum (Kumada et al., 2007). Cara lain alkohol
menghambat pertumbuhan janin yaitu dengan mempengaruhi placenta, yaitu
mengurangi aktivitas dari epidermal growth factor (EGF) dan kadar IGF-1 dalam
janin (Burd et al., 2007).
Alkohol juga menghambat signaling pathway intrasel dari brainderived neurotrophic factor (BDNF) dan aktivasi protein-1 di dalam sel-sel saraf
granul cerebellum (Li et al., 2004). Mekanisme survival sel saraf yang distimulasi
oleh insulin ternyata juga bisa dirusak oleh paparan alkohol kronis selama
kehamilan (De la Monte et al., 2002 and 2005). Kelainan menetap yang
ditemukan pada awal postnatal memegang peranan penting untuk perkembangan
otak selanjutnya. Efek buruk alkohol pada signaling pathway tergantung kepada
besar kecilnya rangsangan dari insulin (teratogenesis).
Dalam SSP yang sedang berkembang, insulin dan IGF-1 receptors
sangat banyak diekspresikan dan respon yang disebabkan oleh rangsangan GFs
merupakan mediator yang penting untuk pertumbuhan sel saraf (“brain growth
spurt”),
kehidupannya,
metabolisme
energi
dan
pertumbuhan
synaps
(synaptogenesis). Insulin dan IGF-1 signaling pathway adalah target penting
untuk neurotoksik alkohol di dalam sistem saraf yang belum mature dan oleh
karena itu neuronal loss yang dihubungkan dengan janin yang terpapar alkohol
9
menyebabkan microencephaly, sebagian oleh hambatan alkohol terhadap
mekanisme survival yang diinduksi oleh insulin-like growth factor-1/IGF-1 (Cui
et al., 1997; Zhang et al., 1998; Hallak et al., 2001). Sangat menarik untuk
disimak, perlakuan dengan IGF-1 dan estrogen, akan menurunkan efek
neurotoksik alkohol dan meningkatkan neuronal survival bila diberikan langsung,
segera setelah intake alkohol (Barclay et al., 2005).
Geminard et al., 2009 memperlihatkan dalam percobaan dengan
Drosophila nya bahwa seperti pada mammalia, pertumbuhan seluler dan organ
dikendalikan dan diatur oleh insulin signaling pathway. Ditemukannya ada 7
Dilps
(Drosophila
insulin-like
peptides)
yang
mengatur
pertumbuhan,
metabolisme karbohidrat dan lemak, reproduksi dan lamanya kehidupan. Faktorfaktor lain yang bersifat neuroprotective, yang mengantisipasi kerja alkohol
termasuk nerve growth factor (NGF), basic- fibroblast growth factor (b-FGF) dan
estrogen (Luo et al., 1997; Zell et al., 1999). Baru-baru ini diperlihatkan bahwa
perlakuan dengan Heparin-binding E-like growth factor (HB-EGF) mencegah
terjadinya apoptosis dan memperbaiki kematian sel pada fase gastrulasi dalam
embrio tikus yang dikultur dalam medium alkohol dengan konsentrasi tinggi
(Kilburn et al., 2006) HB-EGF meningkatkan cell survival selama perkembangan
normal dan banyak ditemukan pada awal perkembangan embrio (Leach et al.,
1999).
Dengan menggunakan hewan coba tikus yang diberikan alkohol
secara kronis selama kehamilan, anaknya yang lahir akan menunjukkan
hypoplasia cerebellum, menurunkan survival sel saraf dan fungsi mitochondria
10
(De la Monte et al., 2002) dan meningkatkan neuronal apoptosis. Phosphatidyl
inositol 3-kinase (PI3 kinase)-mediated signaling pathway telah dianggap sebagai
dasar daripada mekanisme biokimia daripada efek perusakan oleh alkohol pada
kehidupan neuron yang dirangsang oleh insulin dan fungsi mitochondria dalam
Cerebellum.
Sampai saat ini, sangat disayangkan masih saja ada kontroversi
pendapat yang memperbolehkan ibu hamil mengkonsumsi alkohol dengan dosis
rendah, misalnya pada acara-acara sosial tertentu. Pendukung alkohol berargumen
dengan studi yang dilakukan di A.S yang meneliti 400.000 wanita yang terpapar
alkohol (minum rata-rata kurang dari 8,5 kali per minggu) selama kehamilannya.
Didapatkan hasil, tidak ada satu bayi atau anakpun yang menderita FAS, juga
tidak ada efek alkohol yang merugikan bayinya (Wilkie, 1997). Tinjauan terhadap
beberapa studi penelitian ini berkesimpulan bahwa FAS hanya didapatkan pada
ibu-ibu alkoholik. Kenyataannya, menurut mereka tidak ada risiko yang berarti
buat janin atau bayi, bila ibu hamil itu minum alkohol kurang dari 1 kali per hari
(Abel, 1996).
The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)
yang menerbitkan pedoman kesehatan di Inggris, menyimpulkan bahwa ibu-ibu
hamil diperbolehkan untuk mengkonsumsi sedikit minuman beralkohol setiap
harinya (O’Brien, 2007; Yee, 2007). Dua minggu kemudian, Departemen
Kesehatan Inggris mengubah kebijakan sarannya untuk ibu hamil dari yang
tadinya boleh minum kurang dari 2 kali per hari menjadi tidak diperkenankan
sama sekali minum minuman yang beralkohol (Nathanson, 2007; Cockcroft,
11
2007). Sedangkan penelitian yang lain membuktikan bahwa konsumsi alkohol
pada ibu hamil dengan dosis serendah apapun dapat mengakibatkan defek
teratogenik dan embriotoksik yang parah pada janin.
Sebaliknya, menurut Phipp, dari Fetal Alcohol and Drug Unit
Department of Psychiatry and Behavioral Sciences at the University of
Washington, minum alkohol dengan dosis yang sangat sedikit kemungkinan
boleh, tapi minum sesekali dengan dosis yang tinggi (binge-drinking) sangat
tidak diperbolehkan (Bontius and West, 1990; Jayanth et al., 2006; Sohn, 2010).
Oleh karena tidak mungkin untuk mengukur dosis yang tepat dan aman
(Pregnancy and Alcohol, 2007), maka disarankan untuk tidak meminumnya sama
sekali atau “zero alcohol” (Loop and Nettleman, 2002) termasuk minuman bir dan
wine yang memiliki label non-alkohol sebaiknya juga diwaspadai. Pada
kenyataannya, semua bir dan wine dengan label tersebut masih memiliki
kandungan alkohol (anonym3).
Berdasarkan latar belakang di atas, kontroversi yang masih besar
mengenai dosis, pola, frekuensi pemakaian alkohol dan beban fisik, edukasisosial, psikologis, finansial yang sangat berat buat orangtua, masyarakat dan
negara, serta angka kejadian FAS yang cenderung terus meningkat, ditemukannya
kasus klinik FAS (Suherman, 2010) dan juga di Indonesia belum ada penelitian
yang baku mengenai hal ini, maka penelitian ini akan mencoba membuktikan
sebagian dari isu ini meskipun tidak seluruhnya komprehensif dengan
menggunakan hewan coba tikus sebagai penelitian eksperimental dengan metode
posttest only control group design.
12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1 Apakah terjadi defek Fetal Alcohol Syndrome (FAS) pada bayi
tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum alkohol
sesekali dosis tinggi (binge-pattern) ?.
2 Apakah terjadi penurunan Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-I)
pada bayi tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum
alkohol sesekali dosis tinggi (binge-pattern) ?.
3 Apakah terjadi penurunan enzim Aldehyde Dehydrogenase
(ALDH) dalam darah bayi tikus sesudah induknya saat hamil
diberikan minum alkohol sesekali dosis tinggi (binge-pattern) ?.
4 Apakah terjadi peningkatan index Apoptosis pada bayi tikus
sesudah induknya saat hamil diberikan minum alkohol sesekali
dosis tinggi (binge-pattern) ?.
5 Apakah terjadi perubahan histologis dalam otak dan hati bayi
tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum alkohol
sesekali dosis tinggi (binge-pattern) ?
13
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk membuktikan bahwa pemberian alkohol sesekali dosis tinggi
(binge - pattern) pada saat tikus hamil menyebabkan terjadinya penurunan
Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-I), Aldehyde Dehydrogenase (ALDH),
meningkatkan Apoptosis dan mengakibatkan defek Fetal Alcohol Syndrome (FAS)
pada bayinya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1 Untuk membuktikan terjadinya defek Fetal Alcohol Syndrome (FAS)
pada bayi tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum alkohol
sesekali dosis tinggi (binge-pattern).
2 Untuk membuktikan terjadinya penurunan Insulin-like Growth Factor-1
(IGF-I) pada bayi tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum
alkohol sesekali dosis tinggi (binge-pattern).
3 Untuk
membuktikan
terjadinya
penurunan
enzim
Aldehyde
Dehydrogenase (ALDH) dalam darah bayi tikus sesudah induknya saat
hamil diberikan minum alkohol sesekali dosis tinggi (binge-pattern).
4 Untuk membuktikan terjadinya peningkatan index Apoptosis pada bayi
tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum alkohol sesekali
dosis tinggi (binge-pattern).
5 Untuk membuktikan terjadinya perubahan histologis pada otak dan hati
bayi tikus sesudah induknya saat hamil diberikan minum alkohol
sesekali dosis tinggi (binge-pattern).
14
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu bahwa
alkohol yang di konsumsi sesekali dosis tinggi oleh ibu hamil (bingedrinking) dapat mengakibatkan kerusakan ireversibel yang permanen pada
saraf pusat, defek organ-organ vital, dan kelainan pada wajah bayinya,
serta bagaimana patogenesisnya dapat diketahui.
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan informasi, pengetahuan, edukasi, dan cara
pencegahannya sangat mudah dan berhasil 100 % (Embryology, June
2010) bila tidak minum alkohol sama sekali. Penyuluhan kesehatan ini
ditujukan kepada masyarakat, terutama calon ibu, ibu-ibu hamil peminum
alkohol, akan pengaruh buruknya terhadap kesehatan, risiko cacat
permanen-ireversibel seumur hidup pada fisik, tumbuh-kembang, sistem
saraf, gangguan memori dan perilaku, retardasi mental serta defek organorgan vital tubuh lain pada bayinya.
Download