GEREJA DAN PEMBANGUNAN KONSEP ORANG

advertisement
GEREJA DAN PEMBANGUNAN KONSEP ORANG BASUDARA
Oleh
Pdt. Dr. Jannes Alexander Uhi, M.Si
Sekretaris Balitbang GPM
[email protected]
Gereja dan Keseriusan Mewujudkan Hidup Orang Basudara
Halaman depan Surat Kabar “Siwalima” tertanggal 06 September 2016 menuliskan
pesan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) di Hari Ulang Tahun ke-81 bahwa
sekarang ini pekabaran Injil dan program pelayanan GPM diarahkan menuju gereja orang
basudara. Pernyataan Pimpinan Sinode GPM – yang telah mengalami pergumulan bersama
pimpinan agama lainnya - adalah dalam rangka mengupayakan kerukunan dan perdamaian di
Maluku. Sebelum menjadi Ketua Sinode GPM, Pdt. A.J.S. Werinussa pernah diberikan tanggung
jawab sebagai Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Maluku. Suatu tanggung
jawab yang mengharuskan beliau berinteraksi, berelasi, berkomunikasi, bahkan beradaptasi
dengan pimpinan dan komunitas agama-agama lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa
pemikiran dan perjuangan untuk menciptakan GPM sebagai gereja orang basudara bukanlah
sebuah mimpi, namun suatu cita-cita.
Dasar pijak dari upaya menuju gereja orang basudara adalah Pola Induk Pelayanan (PIP) dan
Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) tahun 2015 – 2025 yang merupakan arahan
kebijakan dan pelayanan gereja untuk sepuluh tahun mendatang. Dalam PIP/RIPP tersebut
terkandung arahan pelayanan dan program bergereja yakni membangun hubungan lintas agama
yang lebih erat dengan agama-agama di Maluku dengan pendekatan menjadikan umat beragama
lainnya sebagai “saudara” dalam pengertian hubungan kekeluargaan atau persaudaraan. Jadi,
gereja akan memandang dan memperlakukan umat beragama yang lain sebagai saudaranya
(keluarga), dan diharapkan agama yang lain pun memandang serta memperlakukan umat yang
beragama Kristen sebagai saudaranya, sehingga tepat apabila gereja ke depan akan menjadi
gereja orang basudara (bersaudara).
Pernyataan menjadi gereja orang basudara pada hakikatnya ingin menekankan bahwa kita
(umat Kristen dan umat beragama lainnya) bersaudara, yang berarti kita semua adalah satu
keluarga. Tidak ada perbedaan di antara kita. Banyak hal yang di utarakan oleh Mahatma Gandhi
dalam bukunya “semua manusia bersaudara”, antara lain tentang agama dan kebenaran, cara dan
tujuan, bagaimana mengendalikan diri, apa itu perdamaian dunia, beda dengan manusia mesin,
bahwa kemiskinan ada di tengah-tengah kelimpahan, demokrasi dan rakyat, pendidikan, kaum
wanita serta serba-serbi pandangan lainnya. Semua ini dipaparkan secara lengkap agar sang
pembaca memahami arti persaudaraan di antara manusia. Gandhi mempertegas hal tersebut
dengan menyatakan “semua manusia bersaudara”. Artinya, menurut Gandhi yang membedakan
seluruh umat manusia hanya ras, suku, bangsa, agama dan lain sebagainya. Namun pada
hakikatnya kita sama, dan karena itu kita semua membutuhkan satu sama lainnya. Hal ini
pertanda bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain. Tidak ada salah satu suku/etnis yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan suku/etins
lainnya. Begitu juga dalam hal agama, tidak ada agama apapun yang dapat hidup sendiri tanpa
bantuan agama lain. Manusia bukan hidup karena penghancuran. Rasa cita diri sebagai manusia
selalu mendorong dirinya untuk mementingkan orang lain. Bangsa-bangsa hidup rukun karena
terdapat rasa saling mengindahkan kalangan warganya. Jelasnya, setiap manusia adalah sama
dalam pandangan Tuhan. Tentu saja terdapat perbedaan suku, agama dan bangsa serta perbedaan
derajat dan martabat, namun itu tidak berarti manusia yang satu harus melawan dan memusuhi
manusia lainnya. Kian tinggi martabat seseorang, kian bertambah berat pula tanggung jawabnya.
Semakin kuat kadar iman seseorang pada Tuhan dalam agamanya, harus semakin kuat pula
hidup persaudaraan orang tersebut dengan orang yang berkepercayaan lain.
Dalam beberapa moment gerejawi akhir-akhir ini ketua Sinode GPM, Pdt. Ates
Werinussa, selalu mengatakan bahwa ke depan hendaknya GPM menjadi “gereja orang basudara
(bersaudara)”. Pernyataan ini sudah tentu memiliki dasar dan alasan yang sangat kuat dan
mendasar, bahwa semua manusia bersaudara (sebagaimana yang Gandhi sebutkan). Selain itu,
pernyataan tersebut hendak menegaskan bahwa sudah saatnya gereja masa kini dan masa depan
menaruh perhatian pada upaya membangun sikap hidup yang inklusif, terbuka bagi orang lain.
Lebih dalam lagi, pernyataan “gereja orang basudara” hendak menempatkan gereja pada suatu
pemahaman mendalam, bahwa bermisi dalam konteks dewasa ini bukan lagi dilakukan dalam
kerangka membuat “orang lain” menjadi “kita” melainkan tetap membiarkan “orang lain”
menjadi “dirinya” sendiri. Artinya, misi gereja kontemporer adalah mengingatkan “orang lain”
bahwa tantangan dan permasalahan bersama yang gereja dan agama-agama lain hadapi saat ini
adalah masalah ketidakadilan sosial, kemiskinan, narkoba, HIV/AIDS, korupsi, pengrusakan
lingkungan, pelanggaran HAM, pelecehan seksual, perdagangan manusia, dsb. Masalah-masalah
ini kini dihadapi oleh semua agama yang ada di Indonesia, sebab masalah-masalah tersebut telah
masuk, merasuk, dan merusak tatanan kehidupan seluruh umat beragama di Indonesia. Masalahmasalah tersebut masuk dan menghinggapi semua kehidupan umat beragama tanpa memandang,
memilih, dan memilah umat beragama berdasarkan kelompok agama tertentu saja. Ada orang
Kristen yang mengalami masalah tersebut, namun ada juga umat beragama lainnya (Muslim,
Hindu, Budha, Katolik, dll) yang mengalaminya juga.
Dalam konteks permasalahan bersama seperti ini, agama yang satu tidak bisa lagi
menganggap agama yang lain sebagai lawan, apalagi sebagai musuh. Gereja tidak bisa
menganggap umat beragama lain sebagai orang lain: lawan atau musuh. Begitu pun, umat
beragama lain (Muslim, Hindu, Budha, Katolik, dan lainnya) tidak bisa menganggap gereja
(umat Kristen) sebagai orang lain: lawan atau musuh. Pandangan bahwa agama lain itu lawan
atau musuh dari dulu hingga kini semestinya tidak mendapat tempat dalam kehidupan
bermasyarakat. Alasannya, lawan/musuh orang Kristen bukan orang Muslim atau Budha atau
Hindu atau Katolik atau lainnya. Begitu pula, lawan/musuh umat beragama lain (Muslim, Budha,
Hindu, Katolik, atau lainnya) bukanlah orang Kristen. Lawan/musuh orang Kristen, Muslim,
Budha, Hindu, Katolik, dan lainnya adalah ketidakadilan sosial, kemiskinan, narkoba,
HIV/AIDS, korupsi, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM, pelecehan seksual,
perdagangan manusia, dsb. Masalah-masalah inilah yang harus diperangi secara bersama. Jadi,
salah satu faktor untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah ini adalah dengan jalan
agama-agama harus menyadari dan menyatakan diri bahwa agama-agama itu bersaudara. Orang
Kristen dan orang beragama lainnya adalah orang basudara.
Bagi GPM, untuk mengatasi permasalahan yang ada maka agama yang satu harus
menganggap dan menjadikan agama yang lain sebagai teman, sahabat, bahkan sebagai saudara.
Hal inilah yang hendak dikedepankan oleh GPM dalam membangun hubungan dan kerjasama
lintas agama. Hubungan lintas agama yang selama ini sudah dibangun perlu diimplementasi
lebih dalam lagi, dengan mengedepankan aspek penguatan hubungan agama-agama sebagai
hubungan ade-kaka, atau dalam hubungan orang basudara gandong.
Persaudaraan Sejati: Belajar dari Budaya
Terlepas dari asal daerah yang sama dan satu, masyarakat Maluku umumnya
mengkokohkan diri mereka sebagai “satu gandong” dalam suatu ikatan “sumpah”, untuk
memegang teguh kekeluargaan dan persaudaraan sejati. Sikap tersebut merupakan upaya
reflektif dalam memberi jawaban bersama terhadap situasi kontemporer yang dihadapi, serta
untuk membangun masyarakat dan negerinya menuju masyarakat yang maju, damai, aman, dan
sejahtera.
Bersumpah sebagai “gandong” adalah suatu pengakuan terhadap kesejahteraan manusia,
sebagai orang bersaudara, dan persaudaraan itu adalah persaudaraan yang sejati. Inti
persaudaraan sejati bertujuan mengatasi perasaan primordialisme suku maupun agama yang
mengagungkan masing-masing negeri sebagai yang paling baik, benar, tinggi (superrior),
sehingga manusia bertindak sewenang-wenang terhadap yang lain tanpa rasa bersalah (Uhi,
2014). Hal ini, yang akhirnya akan menimbulkan konflik internal.
Paham fenomenologi eksistensialnya van Peursen menegaskan bahwa kebenaran
pengetahuan terletak dalam ruang antara manusia dengan realitas, dan hal itu mengandung
pengertian sejarah pemikiran manusia, yang melibatkan ide, membentuk suatu pola kehidupan
yang dinamakan kebudayaan. Paham fenomenologi eksistensial van Peursen ini dapat ditemukan
pada inti persaudaraan sejati di Maluku dengan Siwalimanya, atau pada komunitas Hatuhaha
Amarima yang tertuang dalam filosofi maningkamu di mana filosofi tersebut mencirikan cita,
citra dan jati diri Hatuhaha Amarima turun-temurun. Maningkamu tidak sekedar mengungkap
silsilah keluarga atau matarumah dalam soa. Maningkamu tidak sebatas mempertemukan
anggota keluarga secara geneologis. Lebih dari itu, maningkamu, yang merupakan inti
persaudaraan sejati Hatuhaha Amarima, mengandung pengertian menentang ambisi dan
keserakahan demi kepentingan individu atau golongan dan agamanya.
Maningkamu
mengundang dan menyadarkan masyarakat Hatuhaha Amarima untuk harus bersatu dengan
resiko kenikmatan agama yang berbeda-beda.
Fakta ini membuat multikulturalisme begitu faktual sehingga tercipta semangat merajut
dimensi persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati mengandung pengertian bahwa orang-orang
yang berlainan agama dan iman saling membagi pengalaman hidup berimannya (dialogue of
religius experience). Selain itu, dalam persaudaraan sejati orang-orang berbeda agama secara
bersama-sama memperjuangkan datangnya perdamaian di muka bumi, sebagai wujud tindakan
kemanusiaan, melalui upaya-upaya bersama, menjawab problem kemanusiaan yang konkret.
Tentu, di sini penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi dasar kerukunan hidup
umat beragama dalam kesatuan masyarakat.
Ada dua prinsip utama dari penegakkan nilai-nilai persaudaraan sejati, yaitu : manusia
harus diberlakukan secara manusiawi dan apa yang ingin kamu lakukan pada dirimu, lakukanlah
pada orang lain (Uhi, 2016). Berdasarkan dua prinsip utama penegakkan nilai persaudaraan
sejati, bahkan menjadi tuntutan mendasar ini, maka ada empat hal yang menjadi keharusan untuk
ditaati, yakni: pertama, komitmen kepada budaya tanpa kekerasan dan yang menghargai hidup.
Budaya tanpa kekerasan semestinya menjadi kewajiban setiap manusia, sebab kekerasaan akan
mengakibatkan kematian. Hak hidup ini berlaku untuk semua manusia, hewan, dan tumbuhan.
Kedua, komitmen kepada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Tentu budaya
solidaritas harus dikembangkan karena kemiskinan banyak masyarakat. Artinya, untuk
merubahnya, sistem ekonomi harus mampu menempatkan aspek keadilan yang dapat tercapai.
Ketiga, keharusan lainnya adalah komitmen kepada budaya toleransi dan hidup yang
benar. Semua budaya selalu menerapkan prinsip keterbukaan dan kejujuran. Artinya, semua
orang diwajibkan menyampaikan yang benar, sebab semua orang tidak bebas dari tanggung
jawab moral untuk menyatakan kebenaran.
Keempat, terdapat keharusan yang harus ditaati, yakni komitmen kepada budaya
kesamaan hak dan kemitraan laki-perempuan. Agar tercapai kemanusiaan yang seimbang antara
perempuan dan laki-laki, tidak ada alternatif lain kecuali penghargaan terhadap perempuan. Hal
ini meliputi kesediaan untuk menghapuskan dominasi patriakhat, kemitraan laki-laki dan
perempuan. Tentu, yang dibutuhkan untuk hal ini adalah cinta kasih dan toleransi.
Prinsip-prinsip, beserta empat keharusan untuk penegakkan nilai-nilai persaudaraan sejati
ini harus menjadi norma tanpa syarat dan tidak terbatalkan pada semua bidang kehidupan. Salah
satu dari kedua prinsip ini diabaikan, bukan tidak mungkin, akan terjadi kepincangankepincangan sosial yang dapat menjurus pada munculnya konflik. Moralitas akan menurun dan
manusia kehilangan etika hidup bersama meskipun memiliki kekuatan agama dan kekokohan
adat serta budaya.
Uhi (2004:191) menyebutkan, konflik, seperti di Maluku (termasuk konflik dalam
komunitas Hatuhaha Amarima), pada dasarnya telah membuat menurunya moralitas hidup
manusia. Kemajemukan, pada satu segi indah, namun pada segi yang lain mengandung ancaman
apabila tidak dikelola secara baik. Hal ini berarti pluralisme agama hanya dapat terjadi bila
sejalan dengan moral, yang oleh Kellenberger (2001:57-59) disebut “moral pluralism” (moral
pluralisme). Maksudnya, moral pluralism yang tidak hanya melibatkan pengakuan orang banyak
dari perspektif moral yang berbeda, tetapi juga pengenalan orang banyak tentang teori moral
yang bermanfaat, dan pertentangan orang banyak yang kadang-kadang berlawanan dengan halhal yang sifatnya kebaikan. Ada banyak orang yang berharga dan berarti, dan di sana ada banyak
orang yang mengetahui tentang konsep “yang layak” atau “hidup yang baik” dengan nilai hidup
yang berbeda-beda. Alasannya, nilai-nilai pluralisme dapat diatur, tetapi mengaturnya hanya
dalam hubungan dengan kelayakan konsepsi tertentu bagi suatu kehidupan yang baik.
Kesimpulannya, moral pluralism mengijinkan kepada manusia cara-cara untuk
berpendirian pada moral agama dan budaya secara bersama. Meskipun demikian, tidak semua
moral menampilkan cara berpendirian yang sama dengan moral pluralism. Kedua-duanya
bertentangan di mana format tentang moral ekstrim sifatnya relatif, yaitu yang menyatakan
bahwa semua format praktek atau kepercayaan moral sama-sama sah. Terlihat, moral pluralism
berkaitan dengan situasi plural. Kehidupan yang baik, yang dititik-beratkan dalam moral
pluralism adalah kehidupan yang menyampaikan etika hidup bersama secara baik dan benar.
Jiwa dari moral pluralism sebenarnya telah teraplikasi dalam setiap sistem budaya di
Maluku. Terlihat jiwa dari moral pluralism, pada intinya, menegaskan suatu konsensus bersama
yang berfokus pada kesadaran sebagai orang bersaudara. Konsensus itu menggarisbawahi
prinsip-prinsip hidup sebagai orang bersaudara, yang selama ini diaktualisasikan melalui
maningkamu di Hatuhaha Amarima, Pela Gandong di Maluku, budaya Badati/Masohi, dan
lainnya.. Titik tolak prinsip nilai- nilai persaudaraan sejati itu adalah keadilan, kebenaran,
keselamatan, kedamaian, kesejahteraan terhadap seluruh manusia. Apabila hendak menolong
seseorang bukan lagi melihat agama, suku, atau keturunannya. Inti penekanannya adalah
menolong orang yang kesusahan dan terkena bencana sebagai kewajiban etis semua dalam
agama, budaya atau suku apapun. Apabila pemahaman semacam ini tertanam, sangat
dimungkinkan antarumat beragama tidak perlu lagi saling bertikai karena mengatas-namakan
agama atau pembelaan terhadap agama (bukan Tuhan).
Wujud nyata persaudaraan sejati semestinya nampak dalam bentuk kerukunan,
kebersamaan, solidaritas, saling mengerti, saling memahami, saling menerima, dan saling
memajukan (Sahid, 2002: 28). Artinya, mewujudnyatakan nilai-nilai persaudaraan sejati pada
konteks di Maluku membutuhkan empat hal penting, yakni: pertama, harus adanya keterbukaan
hidup. Hal ini mesti diwujudkan melalui sikap rela melayani dan rela berbagi. Alasannya, hidup
orang basudara adalah panggilan untuk saling melayani dan berbagi. Hidup orang basudara
berarti hidup tidak untuk diri sendiri, melainkan hidup untuk orang lain.
Kedua, memiliki sikap kerelaan untuk berkorban. Hal ini bukan berarti bahwa ada
perilaku memberikan sesuatu karena sudah berkelebihan, melainkan apa yang ada, bahkan yang
paling disenangi pun harus mampu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Bentuknya
beraneka ragam, entah waktu, harta, tenaga, pikiran, bahkan bila perlu nyawa demi kesejahteraan
dan keselamatan sesama.
Ketiga, memiliki sifat penghargaan terhadap hidup. Faktor ini merupakan wujud nyata
upaya meningkatkan persaudaraan sejati. Manusia hendaknya dihargai sebagai pribadi, makhluk
ciptaan yang mulia dan berharga di mata Tuhan. Setiap orang, dalam hal ini, entah apa pun
agamanya, warna kulitnya, dan sebagainya, harus mengakui dan menyadari dirnya dan
sesamanya sungguh-sungguh sebagai citra Allah, sehingga berani menyapa dan menempatkan
sesama manusia di dalam kedudukan sebagai “saudara”.
Keempat, adanya kerinduan untuk berjumpa dan terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia dapat hidup, berkembang, maju, sukses, dan bahagia dalam persaudaraan. Memutus
atau melepaskan diri dari ikatan dan hubungan persaudaraan berarti mengembara dalam kesepian
dan kesendirian hidup yang menakutkan. Masing-masing individu harus memahami dan
menyadari bahwa dunia terlalu luas untuk hidup seorang diri, dan untuk diri sendiri. Manusia
membutuhkan insan manusia lainnya untuk memenuhi kerinduan manusia menjadi yang penuh
sukacita.
Ada dua kata yang erat hubungannya dan saling mengkait, bahkan dapat disatukan ketika
mendalami empat keharusan di atas. Kedua kata tersebut adalah “cinta” dan “persaudaraan”, dan
perlu untuk menggabungkan kedua kata tersebut menjadi “cinta persaudaraan”. Cinta
persaudaraan adalah hubungan antara dua pribadi (atau lebih) yang terlibat dalam keterikatan
saling bergantung dan saling memberdayakan secara produktif (Fromm ,1995:35). Fromm,
dalam hal ini, hendak menegaskan bahwa nilai-nilai persaudaraan dapat tumbuh dan berkembang
jika manusia memiliki rasa cinta antara satu dengan lainnya. Lebih dari itu, hubungan manusia
dengan alam dan dengan Tuhan dapat harmonis jika memiliki rasa cinta. Menurut Fromm yang
disebut cinta yaitu adanya satu syarat yang memuaskan kebutuhan manusia untuk
mempersatukan dirinya dengan sesama dan dunia, serta pada saat yang sama memperoleh rasa
integritas dan individualitas. Cinta adalah kesatuan dengan sesuatu atau seseorang di luar dirinya,
di bawah kondisi yang mempertahankan keterpisahan dan integritas diri sendiri. Pengalaman
kebersamaan dan kerukunan, yang memungkinkan perkembangan sepenuhnya atas aktivitas
batin seseorang merupakan cinta. Artinya, tidak ada kebutuhan untuk membanggakan orang lain
atau diri sendiri, karena realitas kebersamaan yang aktif dan cinta yang memungkinkan
seseorang mengalami diri sendiri sebagai pengemban kekuatan-kekuatan aktif yang melahirkan
rasa cinta, sekaligus membentuk cinta. Pendapat ini hendak menjelaskan bahwa cinta terdapat di
dalam pengalaman solidaritas manusia dengan sesama ciptaan Tuhan. Artinya, di dalam tindakan
mencintai, seseorang menjadi satu dengan semua, namun orang itu tetap menjadi dirinya sendiri,
unik, terpisah, dan atau terbatas.
Cinta adalah salah satu aspek dari orientasi produktif, yakni adanya keterbukaan manusia
yang aktif dan kreatif kepada sesamanya dan dirinya sendiri. Cinta yang harus diresapi adalah
cinta yang tidak pernah terbatas pada satu orang saja. Kalimat sederhananya, jika orang
mengatakan “aku cinta padamu”, itu berarti di dalam diri orang yang dicintai, orang tersebut
mencintai seluruh umat manusia, mencintai semua yang hidup; dalam diri orang yang dicintai,
orang yang mencintai tidak saja mencintai orang lain saja, tetapi juga mencintai dirinya sendiri.
Jelasnya, dalam tindakan mencintai ada pengalaman “aku” adalah engkau”, engkau – kekasih,
engkau – orang asing, dan engkau – segala sesuatu yang hidup.
Scheler (1954: 141-146) mengatakan, love is not a feeling, but an act and a movement.
Artinya, cinta bukan menyangkut perasaan, tetapi merupakan suatu perbuatan dan gerakan. Cinta
adalah emosi tubuh dan menjadi semangat bagi setiap perbuatan manusia. Cinta dapat membuat
diri seseorang merasakan “ketertarikan” atau “terjangkit” pada suatu objek, yang mana perasaan
(feeling) tidak dapat melakukan itu. Cinta adalah seluruh perbuatan yang spontan dan harus
direspons. Cinta yang indah bukan terletak pada cantiknya diri seseorang atau sesuatu, dan cinta
juga tidak karena memiliki beberapa nilai kognitif pengetahuan. Cinta merupakan faktor penting
untuk untuk menggerakan suatu nilai yang rendah menuju nilai yang tinggi kualitasnya, sehingga
memerlukan proses, yakni perbuatan saling memberikan, saling memperhatikan antara manusia
yang satu dengan manusia. Proses ini, oleh Scheler, disebut sebagai “produksi cinta”, yang bagi
Fromm merupakan syarat penting menuju masyarakat yang sehat.
Inti dari pendapat Fromm dan Scheler, yaitu dalam pengalaman cinta terletak satusatunya jawaban untuk menjadi manusia, bahkan terletak sumber nilai persaudaraan untuk hidup
dalam komunitas masyarakat. Sebenarnya, di sinilah letaknya produktifitas dari cinta, yakni
ditampilkannya sikap-sikap penting dalam hidup orang bersaudara, seperti perhatian, tanggung
jawab, rasa hormat, dan pengetahuan (memahami orang lain). Makna dari cinta persaudaraan,
dengan sendirinya, terdapat pada produktifitas cinta yang ditampilkan antara satu dengan
lainnya.
Hidup Orang Basudara: Panggilan Gereja Menerapkan Nilai Persaudaraan
Persaudaraan berarti terjalinnya relasi yang timbal-balik antara manusia yang satu dengan
yang lainnya, atau antara manusia dengan masyarakat. Manusia hanya dapat mengembangkan
dirinya dalam hidup bermasyarakat. Manusia, dalam hal ini, tidak dapat memisahkan
kepentingannya sendiri dari kepentingan masyarakat. Manusia dapat membantu ketika
mendalami keempat hal di atas dengan cara mengembangkan dirinya dalam menolong
masyarakat. manusia harus sadar bahwa keterlibatan antarsesama manusia akan membuat
manusia menemukan kebahagiaan yang terus meningkat dengan orang lain, dan ini selalu terlihat
dalam solidaritas hidup. Fromm (1995: 360) berpendapat bahwa solidaritas dalam hidup
persaudaraan bukan hanya sebagai tugas. Lebih dari itu, solidaritas merupakan suatu kepuasan
dan jaminan rasa aman yang paling baik. Artinya, melalui solidaritas kehidupan setiap orang
merasakan kebahagiaan, sebab ada kepuasan batin dan rasa tentram dalam hidup bersama orang
lain. Nilai-nilai persaudaraan seperti ini akan mendorong ke arah toleransi dan keputusan untuk
tidak saling memisahkan diri berlandaskan suara bulat yang berdasarkan asas persamaan dasar,
yaitu hidup sebagai orang bersaudara, yang oleh Fromm merupakan salah satu bentuk hidup
masyarakat yang sehat.
Realitas umat beragama di Maluku, sebagai masyarakat yang bersaudara, sebenarnya
memiliki dasar kuat untuk menampakkan produktifitas cinta, sebagai bagian dari upaya
menerapkan niliai-nilai persaudaraan. Produktifitas cinta umat beragama semestinya dapat
ditampilkan melalui sikap perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Selain itu,
diperlukan perilaku saling menolong, menghargai sesama, dan sebagainya. Modal dasar ajaranajaran agama yang ada, dapat dipakai sebagai alat komunikasi dan mempersatukan.
Terhadap sesama manusia berlaku hormat, santun, menghargai, suka menolong dan kasih
sayang. Perbedan agama, suku, dan ras bukanlah penghalang bagi seseorang untuk
mempraktekkan kebaikan, kejujuran dan keadilan. Apapun agamanya, yang dinamakan
keadialan dan kejujuran adalah sama, tergantung bagaimana prakteknya sehingga bertingkattingkat nilainya (kualitasnya), dan inilah yang menjadi perhatian gereja. Tentu, di sini peradaban
seseorang akan dinilai. Menolong sesama tanpa melihat batasan-batasan etnik, agama maupun
golongan. Membantu tanpa pamrih, tanpa menuntut balas jasa. Pertolongan seperti ini bermakna
humanis yang tinggi. Suatu etika hidup yang sangat humanis dan tanpa mengenal agama, etnik
dan golongan.
Terlihat bahwa betapa pentingnya gereja maupun umat beragama lainnya menerjemahkan
nilai-nilai persaudaraan sejati yang lebih multikultural, dengan bermodalkan tradisi budaya dan
norma agama. Nilai-nilai hidup yang manusiawi tersebut merupakan bentuk nyata suatu etika
kehidupan dengan prinsip universal. Lambat laun, melalui etika kehidupan tersebut gereja dan
umat beragama lainnya akan menemukan titik temu, yang secara esensial mengajarkan kebaikan,
kejujuran, keadilan dan pembebasan terhadap diskriminasi serta kebodohan. Prinsipnya,
konsekuensi dari hidup orang yang berbudaya dan beragama adalah berubahnya perilakuperilaku dari sikap yang tidak dapat membebaskan seseorang dari keterpurukan hidup menuju
sikap yang dapat membebaskan sesama manusia dari keterpurukan hidup. Kebudayaan serta
agama yang tidak membuahkan perilaku yang membebaskan dirinya dan manusia lainnya
merupakan agama dan kebudayaan yang rapuh, statis, tidak berubah, bahkan tidak berdaya atau
tidak emansipatif.
Gereja yang emansipatif adalah suatu ajaran dan Teologi yang secara tegas mampu
menumbuhkan sensitivitas dalam dirinya terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip kemanusiaan. Penyakit-penyakit sosial seperti kebodohan, kemiskinan dan penyakit
moral lainnya, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, penipuan dan pencurian mendapat perhatian
yang serius untuk ditangani secara bersama.
Nilai-nilai persaudaraan sejati di Maluku harus dapat membuat umat beragama apa pun
dapat mengungkap keberadaan masyarakat tanpa membedakan suku agama dan ras, sehingga
mampu mendamaikan dan menyelamatkan kondisi permasalahan penurunan derajat
kemanusiaan, dan ini harus benar-benar dirasakan oleh setiap umat manusia yang ber-Tuhan di
Maluku. Alasannya, persaudaraan sejati yang sejati adalah memanusiakan manusia, tanpa
memandang latar belakang agama, ras, suku. Memanusiakan manusia, bagi gereja (GPM),
membutuhkan komitmen dan tekad yang tidak pernah berhenti atau pun berakhir. Kapan dan di
mana pun, memanusiakan manusia mesti menjadi prinsip utama bagi setiap manusia, sebab
itulah persaudaraan sejati yang benar-benar sejati, dan inilah salah satu bentuk hidup masyarakat
yang sehat.
Saat ini gereja siap untuk merangkul dan dirangkul oleh agama lainnya untuk menjadi
bagian dari persaudaraan agama-agama dan agama-agama orang bersaudara di Maluku yang
bermakna dan bernilai tinggi. Persaudaraan agama-agama dan agama-agama orang basudara
tersebut bukan suatu rekayasa, melainkan sebuah ketulusan hati dari semua agama yang ada di
Maluku untuk bersatu pikir dan tindakan dari level tertinggi sampai ke akar rumput saling
menopang mengatasi masalah dan memerangi musuh bersama agama-agama, yaitu masalah
kemanusiaan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang ada di Maluku. Itulah yang
sejati dari hidup orang beragama, dan yang esensial dari agama-agama yang hidup. Agama yang
saling bermusuhan adalah agama bermartabat barbar, sedangkan agama yang saling merangkul
dalam ikatan hidup orang basudara adalah agama yang diberkati Tuhan Maha Pencipta dan Yang
Maha Esa.
Referensi
Fromm, Erich, 1995, Masyarakat yang Sehat, diterjemahkan oleh Thomas Bambang
Murtianto dari ”The Sane Society” (1955), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kellenberger, James, 2001, “Religious Moral Diverity and relationship”, dalam Joseph
Runzo and Nancy M. Martin (editor) Ethics in The World Religions, Oneworld
Oxford, New York.
Mahatma Gandhi, 1988, Semua Manusia Bersaudara, alih bahasa oleh Kustiniyani Mochtar,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, 2016, Ketetapan Sidang Sinode GPM ke-37, MPH
Sinode, Ambon.
Sahid, YB., 2002, “Persaudaraan Sejati”, dalam Merajut Persaudaraan Sejati dan Cinta
Kasih Kemanusiaan Melalui Pembongkaran Wacana Antar-agama,
Penyunting: M. eL-Mawa, Forum Sabtuan, Cirebon.
Scheler, Max, 1954, The Nature of Sympathy, Routledge & Kegan Paul LTD, London.
----------------, 1966, Der Formalismus in der Ethik und die Material Wertethik, Gesammelte
Werke,Vol.II,5.,Aufl, Bern : Frenke Verlag.
-----------------, 1994, Ressentiment, Marquette University Press, Milwaukee Wisconsin.
Surat Kabar “Siwalima”, edisi 06 September 2016.
Uhi, Jannes A., 2004, Hatuhaha Amarima Lou Nusa : Suatu Kajian Sosio-Historis untuk
Membangun Teologi Pluralistis yang Kontekstual, Tesis, Program
Pascasarjana Teologi Agama dan Kebudayaan, UKIM Ambon.
--------------------, 2014, Hatuhaha Amarima Dalam Perspektif Filsafat Kebudayaan Cornelis
Anthonie van Peursen dan Signifikansinya bagi Keutuhan Bangsa, Disertasi,
Program Doktor Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
--------------------, 2016, Filsafat Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Download