BAB VIII - Bappenas

advertisement
BAB VIII
HAK ASASI MANUSIA
BAB VIII
HAK ASASI MANUSIA
A.
Pendahuluan
Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) adalah konsep lintas
ruang dan waktu dalam sejarah manusia. Sejak berakhirnya Perang
Dunia II hingga sekarang bangsa-bangsa di dunia mengartikulasikan
hak asasi manusia baik dalam kerangka universal maupun dalam
kerangka sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep dasar hak asasi manusia lahir dari proses perjalanan
bangsa Indonesia yang lama di bawah penjajahan dengan
penderitaan tak terperi tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Konsep hak asasi manusia ini bersifat universal walau lahir dari
proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri (dan bangsabangsa terjajah lainnya sebelum Perang Dunia II).
Sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dengan pengalaman sejarah dan
konsep HAM-nya mendukung dan bertanggung jawab atas isi
kandungan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun
1948 (Universal Declaration of Human Rights) serta berbagai
VIII/1
instrumen internasional lainnya yang terkait dengan hak asasi
manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lahir dari
pengalaman pahit bangsa-bangsa selama Perang Dunia II. Oleh
karenanya, bangsa Indonesia menyadari, mengakui, dan menjamin
hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menjadikan hak dan kewajiban
asasi manusia mengejawantah dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, dan bangsa.
Penegakan hak asasi manusia di Indonesia dioperasionalisasikan melalui TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966, yang
menetapkan pembentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan
Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta
Kewajiban Warga Negara. Namun upaya tersebut belum terlaksana
karena pada saat itu proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara disibukkan oleh langkah-langkah rehabilitasi dan
konsolidasi nasional akibat pemberontakan G 30 S/PKI.
Pada tahun 1993, Pemerintah membentuk Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang ditetapkan melalui
Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan Komisi tersebut
banyak mendapat tanggapan positif dari masyarakat dalam upaya
mendapatkan perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia. Demikian juga dalam GBHN 1998, kebijaksanaan
mengenai penegakan hak asasi manusia semakin mendapat
perhatian yang besar.
B.
Langkah-Langkah yang Dilakukan
Selama tahun 1998, berbagai pelanggaran HAM yang paling
menonjol antara lain adalah terjadinya tragedi berdarah yang
menimpa mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998,
VIII/2
mengakibatkan empat orang mahasiswa meninggal dunia serta
terjadinya demonstrasi mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa
MPR tanggal 12-13 Nopember yang mengakibatkan 14 orang
meninggal dunia. Peristiwa 12 Mei 1998 tersebut ternyata
membawa dampak yang sangat besar terhadap jalannya
penyelenggaraan negara, yaitu dengan beralihnya pemerintahan dari
Presiden Soeharto kepada Presiden B J Habibie pada . 21 Mei 1998.
Berbagai perombakan di berbagai bidang dilakukan dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang lebih baik dan sesuai dengan
aspirasi dan tuntutan masyarakat.
Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) yang mengatur secara khusus mengenai HAM
merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan
penegakan dan penghormatan terhadap HAM di Indonesia.
Penuangan pengaturan mengenai HAM dalam TAP juga didasarkan
pada pertimbangan bahwa TAP MPR merupakan salah satu produk
hukum yang mempunyai kedudukan kuat di Indonesia. TAP MPR
No. XVII/MPR/1998 tersebut antara lain merumuskan hak setiap
orang sebagai individu, hak setiap orang sebagai warga negara
maupun hak-hak yang bersifat kolektif. Selain itu juga diatur
kewajiban asasi yang dimiliki manusia dan warga negara Indonesia
serta hak asasi manusia dalam semua bidang kehidupan manusia,
baik politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan hidup, dan lainlain.
Salah satu perwujudan komitmen Pemerintah dalam era
reformasi dan sesuai dengan Tap MPR No. XVII/MPR/1998
tersebut adalah penghargaan dan perlindungan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Sesuai dengan saran yang tertuang
dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 serta hasil
Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia II yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
VIII/3
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 24-26 Oktober
1994 telah. merumuskan suatu Rencana Aksi Nasional Hak-hak
Asasi Manusia (RAN-HAM) Indonesia 1998-2003 yang memuat
langkah-langkah nyata yang akan dilakukan pada tingkat nasional
dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Rencana tersebut tertuang
dalam Keppres Nomor 129 Tahun 1998, yang merupakan salah satu
sendi program reformasi Pemerintah.
Pada pokoknya RAN-HAM tersebut berisi berbagai
ketentuan yang merupakan tekad Pemerintah Indonesia di bidang
penghargaan dan perlindungan serta penghormatan terhadap hak
asasi manusia selama kurun waktu 1998 – 2003, sebagaimana
diamanatkan dalam Konferensi HAM Internasional di Wina Tahun
1993, yang terdiri dari empat pilar utama, yaitu (1) Persiapan
pengesahan perangkat-perangkat internasional di bidang hak asasi
manusia; (2) Diseminasi dan pendidikan hak asasi manusia; (3)
Pelaksanaan hak asasi manusia yang ditetapkan sebagai prioritas;
dan (4) Pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat
internasional hak asasi manusia yang telah disahkan Indonesia.
Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia tersebut
dimaksudkan untuk memperkuat upaya-upaya Indonesia dalam
penghargaan dan perlindungan serta penghormatan terhadap hak
asasi manusia rakyat Indonesia, terutama terhadap kelompok
masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia,
teristimewa kepada wanita dan anak-anak, termasuk tindakan perlindungan terhadap praktek penyiksaan, mendapatkan penghidupan
dan kesejahteraan, pendidikan, dan pengembangan diri bagi anakanak.
Namun sebenarnya yang terpenting dalam melaksanakan
hak asasi manusia di Indonesia adalah bagaimana meletakkan
elemen fundamental bagi pengimplementasiannya dalam kehidupan
sehari-hari, baik oleh setiap warga negara maupun oleh aparat
VIII/4
penyelenggara negara, baik melalui pergaulan berbangsa
bernegara maupun melalui pergaulan antarbangsa di dunia.
C.
dan
Hasil-Hasil yang Dicapai
Sebagai tindak lanjut dari lahirnya Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah dihasilkan
berbagai produk hukum dalam bidang HAM, antara lain sebagai
berikut: (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998, tanggal 28
September 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture
and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi
Menentang
Penyiksaan
dan
Perlakuan
atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia); (2) Undang-undang Nomor 19
Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Concerning The
Abolition of Forced Labour (Konvensi ILO Nomor 105 tentang
Penghapusan Kerja Paksa); (3) Undang-undang No 20 Tahun 1999
tentang Pengesahan ILO Convention Concerning Minimum Age for
Admission to Employment (Konvensi ILO Nomor 138 mengenai
Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja); (4) Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention
Concerning Discrimination in Respect of Employment and
Occupation (Konvensi ILO Nomor 111 mengenai Penghapusan
Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan); (5) Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1999, tanggal 25 .Juni 1999 tentang Pengesahan
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965; dan (6) Keppres Nomor 83
Tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the
Freedom of Association and Protection of The Right to Organize
(Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 mengenai Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi).
VIII/5
Maksud dari penandatanganan enam konvensi ILO tersebut
antara lain adalah untuk membangun nilai-nilai dalam pergaulan
kita sebagai bangsa yang menghargai manusia bukan karena rasnya
atau etnisnya atau gendernya, tetapi karena kemampuan dan budi
pekertinya. Sejarah bangsa kita membuktikan bahwa toleransi antar
ras dan suku bangsa tidak saja memperkuat persatuan bangsa tetapi
juga telah mendukung berkembangnya kreativitas dan kualitas
hidup masyarakat.
Produk undang-undang lain yang juga merupakan
pelaksanaan dari TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 adalah ditetapkannya UU Nomor 26 Tahun 1999, tentang Pencabutan Undangundang No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi (UU Anti Subversi). Pertimbangan pencabutan tersebut
didasarkan pada kenyataan bahwa UU Anti Subversi ini telah
menimbulkan ketidakpastian hukum, keresahan, ketidakadilan, dan
pelanggaran hak asasi manusia yang tidak sesuai dengan prinsip
negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum;
Dalam
rangka
penghormatan
terhadap
kebebasan
menyampaikan pendapat dari setiap manusia, telah ditetapkan
Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ditetapkannya undangundang ini telah semakin meningkatkan nilai-nilai demokrasi di
dalam masyarakat Indonesia, karena setiap orang dapat dengan
bebas menyampaikan pendapatnya di muka umum dengan
kewajiban bahwa apa yang disampaikan tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Di samping itu, setelah melalui proses pembahasan yang
cukup memakan waktu, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1999 telah menetapkan
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
VIII/6
(HAM) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Materi yang sangat penting dalam undang-undang tersebut adalah
diberikannya wewenang subpoena kepada Komnas HAM, yaitu
kewenangan untuk memanggil, memeriksa orang dan dokumen serta
menyelesaikan sengketa pelanggaran hak asasi manusia, dan
kewenangan untuk berperan serta sebagai lembaga ombudsman,
yakni sejenis lembaga independen yang merupakan agen dari
parlemen sebagai pelindung rakyat di dalam mengawasi jalannya
pemerintahan agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya dengan
memberikan rekomendasi atau usulan kepada instansi yang
berwenang. Dengan adanya wewenang subpoena tersebut, maka
putusan Komnas HAM tidak dapat diajukan banding, namun dapat
langsung diajukan permohonan kasasi. Di samping itu, juga dibuka
kemungkinan kepada masyarakat untuk melakukan gugatan atau
pengaduan bersama atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia
kepada Komnas HAM. Materi lain adalah dengan memberikan
peran partisipatif masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan
melalui penelitian, pengkajian, pendidikan, dan penyebarluasan
pemahaman tentang hak asasi manusia.
Dengan disahkannya UU tentang HAM dan Komnas HAM
tersebut,
maka
kedudukan,
kelengkapan
organisasi,
hak,
kewenangan dan tanggung jawab Komnas HAM menjadi lebih kuat
yaitu
didasarkan
pada
undang-undang,
yang
sebelumnya
pembentukan Komnas HAM tersebut dengan Keputusan Presiden.
Dengan berbagai perangkat hukum yang terkait dengan hak
asasi manusia tersebut diharapkan pengadilan terhadap pelanggaran
hak asasi manusia dapat benar-benar dilaksanakan secara
bertanggung jawab, termasuk untuk melindungi masyarakat
kelompok rentan, anak-anak, dan perempuan. Langkah lain di
bidang kelembagaan, adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada bulan Oktober 1998.
VIII/7
Di samping itu, juga telah dikeluarkan Instruksi Presiden
No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah
Pribumi dan Non Pribumi. Dengan Inpres tersebut, semua lembagalembaga dan Pejabat Pemerintah dilarang untuk melakukan
diskriminasi terhadap warganegara Indonesia berdasarkan asal ras
atau suku. Kesemua langkah-langkah tersebut pada hakikatnya
menunjukkan tekad kuat pemerintah untuk meningkatkan
pelaksanaan hak asasi manusia secara nyata di samping merupakan
langkah yang tepat pula dalam memperbaiki citra bangsa Indonesia
di mata dunia.
Sesuai dengan prinsip bahwa kemajuan dan perlindungan
hak asasi manusia yang mewajibkan adanya kerjasama antar negara,
Pemerintah telah mengadakan berbagai perjanjian kerjasama teknik
di bidang hak asasi manusia baik secara bilateral maupun
internasional. Dalam kaitan ini, Pemerintah telah menandatangani
Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kantor Komisaris
Tinggi HAM PBB di Jenewa, pada tanggal 13 Agustus 1998.
Sebagai implementasi dari pilar keempat dari RAN-HAM yaitu
pelaksanaan isi atau ketentuan-ketentuan berbagai perangkat
internasional hak asasi manusia yang telah disahkan Indonesia, pada
tanggal 4 Maret 1999 telah dibuat berbagai Proyek Dokumen yang
terkait dengan hak asasi manusia.
Untuk lebih memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap
permasalahan yang terkait dengan hak asasi manusia, Indonesia
telah menerima kunjungan 3 (tiga) mekanisme HAM PBB, yaitu (1)
Pada bulan November 1998, menerima Pelapor Khusus Mengenai
Kekerasan Terhadap Wanita; (2) Pada bulan Februari 1999,
menerima Kelompok Kerja Mengenai Penahanan Sewenangwenang; dan (3) pada bulan Mei 1999, menerima utusan pribadi
Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB.
VIII/8
Selain itu, dalam rangka menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan rekonsiliasi nasional, dengan SK Menteri Kehakiman
Nomor M.35-PR.09.03 Tahun 1998 telah dibentuk Tim Kelompok
Kerja (Pokja) Nasional Pembebasan Tahanan Politik/Narapidana
Politik. Tim Pokja tersebut antara lain bertugas menentukan tahanan
politik/narapidana politik yang akan diberi amnesti/abolisi. Sebagai
hasil pelaksanaan tugas tim tersebut telah dilakukan pembebasan
terhadap 199 (seratus sembilan puluh sembilan) orang Tahanan
Politik dan Narapidana Politik.
Selanjutnya, dalam rangka menyelesaikan masalah TimorTimur, dengan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1999, telah
diberikan amnesti kepada Jose Alexandre Gosmao alias Kay Rala
Xanana Gosmao alias Xanana.
Upaya lain dari Pemerintah adalah dengan memberikan
kebebasan untuk mendirikan partai politik dan organisasi lainnya,
yang menunjukkan adanya kemajuan di bidang kebebasan
mendirikan perkumpulan/organisasi (freedom of association) di
Indonesia.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam tiga
dekade terakhir dan semangat reformasi yang sedang berkembang
sekarang ini telah memberikan dampak yang besar terhadap
kebebasan menyatakan pikiran, perasaan dan pendapat, khususnya
mengenai tuntutan terhadap pelaksanaan kebebasan pers yang lebih
nyata. Untuk mengantisipasi tuntutan tersebut, Pemerintah telah
mengeluarkan berbagai ketentuan peraturan baru yang menghapus
ketentuan tentang pembatalan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) dan menyederhanakan prosedur untuk memperoleh SIUPP,
menghapuskan persyaratan pengalaman untuk menjadi wartawan,
dan memberikan kebebasan kepada masyarakat pers untuk
VIII/9
mendirikan lebih dari satu organisasi wartawan, organisasi penerbit
surat kabar dan organisasi percetakan pers.
Di samping itu, untuk menunjang pelaksanaan agenda
reformasi secara menyeluruh di bidang ekonomi, politik dan hukum
yang sejalan dengan aspirasi rakyat, Pemerintah juga telah
membentuk Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum
(DPKSH) melalui Keputusan Presiden Nomor 191 Tahun 1998,
yang tugasnya adalah mengendalikan dan mengkoordinasikan upaya
penanggulangan krisis yang mengancam stabilitas nasional, dan
penegakan sistem hukum secara cepat dan terpadu. Dengan melihat
pada tugas yang diberikan, maka pembentukan DPKSH tersebut
diharapkan dapat ikut memberikan andil menegakkan perlindungan
terhadap hak asasi manusia.
D.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Walaupun secara keseluruhan kita dapat melihat adanya
suatu kemajuan yang berarti dalam pelaksanaan hak asasi manusia
di Indonesia, akan tetapi kita harus tetap mengakui adanya beberapa
persoalan yang belum dapat terselesaikan secara tuntas. Masih terus
berlangsungnya kekerasan dan gejolak sosial di beberapa daerah di
Indonesia merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus segera
dituntaskan oleh Pemerintah. Jika eskalasi kekerasan masih terus
terjadi maka hal ini akan sangat mengganggu upaya-upaya
pemerintah dalam perbaikan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam
hal ini diperlukan adanya itikad baik dan keseriusan dari Pemerintah
bersama-sama dengan seluruh anggota masyarakat untuk dapat
mengatasi permasalahan ini.
Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di
masa-masa yang lalu yang samp ai saat ini masih belum
VIII/10
menunjukkan adanya titik terang, juga merupakan persoalan
tersendiri yang harus dihadapi oleh Pemerintah. Persoalan hak asasi
manusia yang masih belum selesai selain menimbulkan persoalan
rasa keadilan, juga sering menimbulkan hambatan bagi diplomasi
Indonesia dalam hubungan internasional. Tidak jarang Indonesia
mengalami kesulitan memperoleh komitmen bantuan asing, hanya
karena negara-negara donor beranggapan Indonesia adalah negara
yang tidak menghormati hak asasi manusia.
Untuk mengantisipasi tentang adanya dugaan pelanggaran
hak asasi manusia di Timor Timur pada pasca jajak pendapat,
Pemerintah akan membentuk Komisi Pencarian Fakta (KPF).
Sedangkan untuk mewadahi proses hukumnya Pemerintah akan
membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU).
Persoalan lain yang masih menimbulkan keluhan hak asasi
manusia adalah berbagai kasus pelanggaran dan kekerasan berbagai
daerah di Indonesia, seperti kasus kekerasan di Aceh, kasus-kasus
yang belum terselesaikan dalam kerusuhan Mei 1998, kasus
penembakan Mahasiswa Trisakti, kasus pembunuhan "dukun
santet" Banyuwangi, kasus-kasus penganiayaan terhadap anak-anak,
pemerkosaan terhadap wanita, anak-anak, berbagai kasus
penggusuran dan perampasan tanah rakyat dengan ganti rugi tidak
wajar seperti kasus Kedungombo, serta kasus penembakan para
demonstran di kawasan Tanjung Priok tahun 1984 yang sampai saat
ini masih banyak dituntut penuntasannya oleh keluarga para korban
yang tidak puas.
Berbagai kasus yang disebutkan di atas hanyalah sebagian
saja dari kasus-kasus yang belum selesai. Daftar persoalan ini bisa
menjadi sangat panjang sesuai dengan kemungkinan keluhan yang
mu n c u l d a r i ma s ya r a k a t . P e me r i nt a h d a n l emb a ga -l e mb a ga
VIII/11
peradilan seyogyanya harus cepat tanggap untuk menindak lanjuti
semua itu, sebagai konsekuensi dari amanat yang telah menjadi
tugas mereka. Ini semua adalah dalam rangka melanjutkan proses
reformasi menyeluruh dan membentuk masyarakat berkeadilan
sosial dan menghormati hak asasi manusia.
Sebagai bagian dari penegakan hukum dan keadilan secara
umum, maka Pemerintah diharapkan untuk tidak membiarkan
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat diampuni
begitu saja (impunity), dan menyelesaikan permasalahan tersebut
sampai ke tingkat pengadilan, sehingga dapat benar-benar tercapai
kepastian hukum, kebenaran dan keadilan bagi masyarakat. Karena
pemberian perlakuan yang istimewa dan memihak terhadap
pelanggar hak asasi manusia akan berarti pembenaran bagi
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, dan pada tindakan
pelanggaran hak asasi manusia berikutnya mungkin akan dilakukan
dalam kualitas yang lebih berat lagi.
Selain itu, Pemerintah juga diharapkan tanggap terhadap
ketidakpuasan dikalangan masyarakat tentang "impunity" tersebut
dan mengupayakan penyelesaian yang terbaik terhadap kasus-kasus
berat pelanggaran hak asasi manusia yang selama setahun terakhir
ini belum tertangani dengan baik oleh aparat penegak hukum,
seperti kasus kerusuhan Mei 1998, kasus pembunuhan para "dukun
santet" di berbagai daerah tahun lalu, kasus penembakan para
mahasiswa serta berbagai kasus lainnya.
Di samping itu, diperlukan adanya kode etik bagi penyelenggara negara untuk mencegah pelanggaran hak asasi
manusia, karena kode etik tersebut sangat erat kaitannya dengan
sikap mental bangsa. Dengan adanya kode etik tersebut, aparat
penyelenggara negara tidak sewenang -wenang merampas hak
VIII/12
rakyat, dan tindakan tegas harus diterapkan terhadap aparat
penyelenggara negara yang melanggar kode etik tersebut.
Langkah-langkah untuk meratifikasi konvensi-konvensi
internasional yang terkait dengan hak asasi manusia perlu terus
menerus dilakukan oleh Indonesia, sehingga di mata internasional
Indonesia tidak lagi dikategorikan sebagai negara yang melakukan
pelanggaran hak asasi manusia terberat. Selain itu, perlu dilakukan
upaya untuk mencabut undang-undang yang bertentang dengan hak
asasi manusia; melengkapi undang-undang yang menjamin dan
melindungi hak asasi manusia, menjamin kemerdekaan warga
negara untuk menyatakan pendapatnya, dan mengadili secara tegas
pelanggar hak asasi manusia yang terlepas dari intervensi penguasa,
sehingga
para
pelanggar
hak
asasi
manusia
dapat
mempertanggungjawabkannya secara hukum. Perhatian khusus
semestinya diberikan untuk perlindungan wanita dan anak-anak,
karena wanita dan anak-anak adalah kelompok masyarakat yang
paling rentan untuk menjadi obyek pelanggaran HAM.
Selain itu, setiap tindakan pelanggaran Hak asasi manusia
sudah seharusnya ditindaklanjuti secara hukum secara tuntas,
sehingga wibawa Pemerintah akan semakin meningkat di mata
masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya arus globalisasi dan
liberalisasi, hubungan antar negara pada dasarnya selalu didasari
pada isu global seperti demokratisasi, hak asasi manusia dan
lingkungan hidup. Pengabaian terhadap ketiga masalah tersebut
akan berakibat Indonesia akan dikucilkan dalam pergaulan
internasional. Oleh karena itu dengan ditetapkannya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tersebut, diharapkan dapat dijadikan titik awal
pelaksanaan hak asasi manusia yang lebih baik yang diikuti dengan
VIII/13
tindakan yang tegas
pelanggaran HAM.
VIII/14
dan
konsisten
terhadap
segala
bentuk
Download