PENGARUH BUDAYA BETAWI PADA MAKANAN KHAS IMLEK DI

advertisement
PENGARUH BUDAYA BETAWI PADA
MAKANAN KHAS IMLEK DI JAKARTA
Felicia Khoesvilianty, Jane Oktaviani, Lydia Anggreani
Jurusan Sastra China, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara
Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-5327630
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRACT
The arrival of Chinese immigrants to Jakarta causes the cultural mix between local cultures with
Chinese culture. Chinese New Year in Jakarta is the result of acculturation between local culture with
Chinese culture, and the Betawi people also participated in the celebration of Chinese New Year in
Jakarta. Through this study, the authors analyze what aspects represent the culture of Betawi on the
Chinese New Year food in Jakarta as well as which Chinese New Year food in Jakarta are under the
influence of Betawi culture. The objective of this study was to determine the aspects that represent the
culture of Betawi on the Chinese New Year food in Jakarta and determine the Chinese New Year food
in Jakarta which are under the influence of the culture of Betawi using the theory of acculturation and
assimilation from Koentjaraningrat. The methodology used by the authors is a method of qualitative
interviews and literature research. From the study it can be concluded that there are some aspects
that represent the culture of Betawi on the Chinese New Year food in Jakarta, such as historical,
economic, social, cultural and environmental aspect. As for the Chinese New Year foods in Jakarta
which are under the influence of Betawi culture through the process of acculturation and assimilation
are Pindang Bandeng and Betawi Chicken Opor. (FK/JO)
Key Words : Betawi, Chinese, Chinese New Year, Food, Culture Mix.
ABSTRAK
Kedatangan imigran Tiongkok ke Jakarta membuat terjadinya percampuran budaya antara budaya
lokal dengan budaya Tiongkok. Imlek di Jakarta merupakan hasil dari akulturasi budaya lokal
dengan budaya Tiongkok, dan masyarakat Betawi turut serta dalam perayaan Imlek di Jakarta.
Melalui penelitian ini, penulis menganalisis aspek yang merepresentasikan budaya Betawi pada
makanan Imlek di Jakarta serta makanan Imlek di Jakarta yang mendapat pengaruh dari budaya
Betawi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek yang merepresentasikan budaya
Betawi pada makanan Imlek di Jakarta dan mengetahui makanan Imlek di Jakarta yang mendapat
pengaruh dari budaya Betawi dengan teori akulturasi dan asimilasi dari Koentjaraningrat.
Metodologi yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif dengan wawancara dan studi
pustaka. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa ada beberapa aspek yang merepresentasikan
budaya Betawi pada makanan Imlek di Jakarta, seperti melalui sejarah, ekonomi, sosial budaya dan
lingkungan. Adapun makanan Imlek di Jakarta yang mendapat pengaruh dari budaya Betawi melalui
proses akulturasi dan asimilasi yaitu Ikan Pindang Bandeng dan juga Opor Ayam Betawi (FK/JO)
Kata Kunci: Betawi, Etnis Tionghoa, Imlek, Makanan, Percampuran Budaya.
1
2
PENDAHULUAN
Makanan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang kerap kali dianggap tidak memiliki
hubungan satu sama lain. Namun pada kenyataannya makanan mencerminkan sebuah karakteristik
lingkungan. Makanan disediakan oleh lingkungan, dan bahan makanan tersebut yang menyokong
kehidupan sehari-hari dari masyarakat atau etnis yang tinggal didalamnya. Lingkungan yang berbeda
akan membentuk kebudayaan yang berbeda antara satu etnis dengan etnis lainnya walaupun etnis
tersebut masih berada dalam satu Provinsi atau Negara.
Kuliner Tiongkok mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kuliner nusantara. Martin
Jacques (2011:145) menyatakan bahwa menu masakan Tiongkok dan budaya makanan lainnya
dibentuk oleh bahan masakan yang tersedia di wilayah asalnya. Mengingat bahan makanan di
Indonesia dan Tiongkok cukup berbeda maka masakan Tiongkok memiliki ciri lokal yang khas sesuai
bahan yang digunakannya. Hal ini membuat makanan Tiongkok yang ada di Indonesia mempunyai
perbedaan karena telah disesuaikan dengan bahan dan selera orang Indonesia.
Di Indonesia, masyarakat Betawi menganggap bahwa Imlek sudah menjadi salah satu bagian
dari budaya mereka. masyarakat Betawi sendiri mempunyai acara tahunan yaitu Lebaran Betawi, dan
mereka menganggap bahwa Imlek merupakan suatu perayaan tahunan terpenting bagi masyarakat
Cina, maka dari itu mereka menyebutnya dengan sebutan Lebaran Cina.
Pada penelitian sebelumnya, Mercia dan Stella Angellina (2013) melalui skripsinya yang
berjudul “Analisis Pengaruh Budaya Indonesia Terhadap Makanan Khas Hari Raya Tionghoa di
Jakarta” menyatakan bahwa makanan kecil khas hari raya Tionghoa di Jakarta, mengalami proses
akulturasi dan asimilasi dalam proses pembuatan dan penyajiannya. Penulis menggunakan teori
akulturasi dan asimilasi dari Koentjaraningrat dalam menjawab permasalahan pada penelitian tersebut.
Di dalam penelitian skripsi oleh Yunda (2011) yang berjudul “Penelitian Terhadap Budaya
Makanan Khas Hari Raya Tradisional China di Medan”, dikatakan bahwa kue keranjang
melambangkan karir dan kehidupan yang semakin meningkat, tahun demi tahun semakin baik. Kue
keranjang adalah kue manis yang terbuat dari tepung beras dan gula, lengket dan berwarna coklat,
dan ada juga kue keranjang yang berwarna putih. Kue keranjang juga dapat dinikmati dengan cara
dikukus terlebih dahulu kemudian digoreng dengan telur, atau dimakan begitu saja juga enak.
Berdasarkan artikel Tri Wahyuni (2015) yang berjudul “Tradisi Makan Besar dalam
Perayaaan Imlek dan Maknanya ”, Menu-menu yang disajikan tidak boleh sembarangan. Ada
beberapa menu yang wajib disajikan saat Imlek tiba, seperti Pindang Bandeng dan Kue Keranjang.
Pemilihan menu lainnya pun tidak boleh sembarangan. Semuanya harus memiliki filosofi sebagai
bagian dari doa dan pengharapan untuk masa depan.
Di dalam buku karya Wang Wen Zhang yang berjudul “Hari Raya Tradisional China” ,
menyatakan bahwa Makanan khas hari raya Imlek bukan semata-mata hanya untuk dinikmati, tetapi
juga memiliki makna budaya yang mendalam. Biasanya hidangan yang disajikan memiliki makna
kemakmuran dan kedamaian, yang mengekspresikan harapan akan kehidupan yang yang lebih baik
dan penuh kebahagiaan. Seperti pangsit yang memiliki makna mengundang rejeki dan jeruk yang
memiliki makna dapat membawa keberuntungan. Kemudian kue keranjang yang bermakna kehidupan
yang semakin baik, ikan yang bermakna setiap tahun selalu berkelimpahan, semua sajiannya
menyiratkan makna pengharapan akan kehidupan yang lebih baik dan rejeki yang berlimpah.
Dan dalam makalah yang dilakukan oleh Herwinda Kusuma R dan Nike Nurjanah (2013),
yang berjudul “Fundamental Dietary and Culinary Makanan Nusantara DKI Jakarta”, mereka
menjelaskan tentang sejarah kuliner betawi dan menyebutkan makanan khas Betawi. Salah satu
makanan khas imlek orang Betawi adalah ikan Pindang Bandeng .
Imigrasi membuat orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda antara kelompok
yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Kemudian , kelompok individu tersebut
menghadapi unsur budaya asing. (Koentjaraningrat, 1990:248) Akulturasi adalah proses sosial yang
timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsurunsur dari suatu kebudayaan asing yang lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaannya
sendiri
tanpa
menyebabkan
hilangnya
kepribadian
kebudayaan
itu
sendiri.
(Koentjaraningrat,1990:248).
Budaya Betawi menerima banyak kebudayaan asing, seperti Belanda, Arab, Portugis,
Tiongkok dan negara lainnya yang datang ke Indonesia. Budaya Tiongkok adalah budaya yang paling
banyak diserap oleh masyarakat Betawi. Proses terjadinya akulturasi sudah terjadi sejak jaman dahulu
dan hal tersebut terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal yang menyebabkan proses terjadinya akulturasi diantaranya adalah adanya
peningkatan dan penurunan populasi, adanya latar belakang pernikahan antar etnis, ada penemuan
baru dan revolusi. Faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya akulturasi diantaranya disebabkan
oleh adanya perubahan lingkungan alam, adanya perang, adanya perubahan budaya yang membawa
3
budaya asing. Dalam proses akulturasi adapun beberapa hal penting yang harus diperhatikan seperti
keadaan masyarakat sebelum adanya proses akulturasi, individu-individu dari kebudayaan asing yang
membawa unsur-unsur kebudayaan asing, saluran yang dilalui oleh unsur kebudayaan asing agar
dapat masuk ke dalam kebudayaan penerima, bagian dari masyarakat penerima yang mendapat
pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan asing, dan reaksi dari individu yang tunduk terhadap budaya
asli dari unsur-unsur budaya asing. Selain akulturasi adapula proses percampuran budaya yang dikenal
dengan sebutan asimilasi. Asimilasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran dua unsur
kebudayaan baik secara individual maupun kelompok sehingga terbentuk kebudayaan yang baru dan
dapat dirasakan oleh kelompok tersebut tanpa mengalami kecanggungan.
Agar pembahasan penelitian ini tidak meluas, maka penulis membuat cakupan penelitian
yaitu aspek apa saja yang merepresentasikan budaya Betawi dalam makanan khas Imlek di Jakarta dan
apa saja makanan khas Imlek di Jakarta yang mendapat pengaruh dari Betawi. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui aspek yang merepresentasikan budaya Betawi dalam makanan khas
Imlek di Jakarta, dan mengetahui makanan khas Imlek di Jakarta yang mendapat pengaruh dari
budaya Betawi.
Melalui penelitian ini, penulis berharap agar dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat mengenai representasi budaya Betawi dalam makanan pada saat hari raya Imlek terutama
di Jakarta. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan penelitian kepada masyarakat
luas mengenai akulturasi dan asimilasi budaya dalam bidang makanan, terutama pada makanan Imlek,
dan berharap masyarakat dapat saling melestarikan makanan tersebut secara turun temurun.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu dengan
melakukan wawancara dengan lima orang narasumber, yaitu seorang pakar dari ASPERTINA, ibu
rumah tangga keturunan Betawi Tionghoa di RT 02/ RW 03 dari Jl Kepu Dalam IV, Kelurahan
Kemayoran, Jakarta. Sebelum melakukan wawancara, penulis menyiapkan beberapa panduan
pertanyaan dan hasil wawancara dijadikan sebagai bahan dalam menganalisis data.
Selain menggunakan metode penelitian wawancara, penulis juga menggunakan metode
penelitian studi pustaka dalam proses pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian ini.
Setelah mendapatkan sumber-sumber data yang diinginkan, penulis mulai menganalisis pengaruh
budaya Betawi pada makanan khas imlek di Jakarta dengan menggunakan teori Akulturasi dan
Asimilasi menurut Koentjaraningrat.
Prosedur Penelitian
HASIL DAN BAHASAN
Setelah kedatangan imigran Tiongkok ke Indonesia, membuat adanya pertambahan populasi
penduduk di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya adalah di Jakarta. Adapun awal dari
kedatangan imigran Tiongkok ke Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa faktor penyebab
kedatangan imigran Tiongkok ke Indonesia diantaranya adalah faktor politik dan perdagangan.
Adanya kepentingan politik dapat dilihat pada Tahun 1293, pada saat itu raja Kubilai Khan
mengirim sebanyak 1000 kapal besar dan kecil yang berisikan pasukan sekitar 20.000 orang tentara
untuk menekan Jawa. Kedatangan tentara tersebut dikarenakan Raja Kubilai Khan ingin menghukum
Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari karena pernah menghina utusannya dengan memotong
telinga utusannya tersebut. Dalam perjalanannya menuju Pulau Jawa, pasukan Mongol bertemu
4
dengan mantu Raja Kertanegara yaitu Raden Wijaya dan mereka mendapat kabar bahwa Raja
Kertanegara telah dibunuh oleh Raja Jayaktawang. Pada saat itu Raden Wijaya berhasil membujuk
dan mengelabui pasukan Mongol agar dapat membantunya menggulingkan Raja Jayakatwang dari
Kerajaan Kediri. Namun, setelah Raden Wijaya berhasil, ia mengusir pasukan Mongol tersebut ke luar
Pulau Jawa, ada ribuan anggota pasukan Mongol akhirnya tewas di Pulau Jawa. Tidak sedikit pula
yang ditawan atau melarikan diri dan tinggal secara sukarela di Indonesia untuk menghindari
pelayaran kembali ke Tiongkok yang berbahaya. Sehingga pada akhirnya banyak orang Tionghoa
yang harus hidup sebagai imigran di Indonesia dan menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat
termasuk dalam hal bahasa, budaya, pakaian, dan makanan.
Pada umumnya mereka tidak membawa istri dari Tiongkok sehingga mereka menikah
dengan perempuan pribumi. Oleh sebab itu, lahirlah keturunan campuran yang disebut peranakan
yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Imigran yang tinggal di Batavia (Jakarta) lambat
laun semakin bercampur dengan penduduk pribumi sehingga semakin sulit dibedakan, dan
menyebabkan adanya akulturasi di berbagai aspek kehidupan seperti bahasa, dialek, pakaian, kesenian,
dan makanan.
Para imigran Tiongkok yang menetap tinggal di Jakarta, salah satunya adalah di Kampung
Betawi Kemayoran. Imigran Tiongkok tersebut juga membawa budaya mereka sendiri dan mereka
mengenalkan dengan penduduk lokal di Jakarta. Karena masyarakat Betawi mempunyai sifat yang
terbuka akan budaya baru, maka budaya yang diperkenalkan oleh imigran Tiongkok secara perlahan
diterima dan juga beradaptasi dengan lingkungan di budaya Betawi. Imlek atau Tahun Baru China
adalah salah satu kebudayaan yang diperkenalkan oleh imigran Tiongkok kepada masyarakat Betawi.
Hari Raya Imlek adalah perayaan terpenting bagi masyarakat Tiongkok, tentu saja juga
merupakan perayaan yang penting bagi para imigran Tiongkok di Indonesia, karena biasanya pada
saat perayaan hari raya Imlek di Tiongkok, orang-orang akan pulang berkumpul dengan keluarga
besar untuk makan malam bersama. Oleh karena itu, imigran Tiongkok pun memperkenalkan
kebiasaan merayakan Imlek tersebut kepada masyarakat lokal, sehingga masyarakat lokal juga dapat
bersama-sama merayakan hari raya Imlek. Pada saat menjelaskan tentang kebudayaan Tiongkok,
imigran Tiongkok menjelaskan kepada masyarakat lokal tentang persiapan hidangan yang wajib pada
saat Imlek, seperti ikan, unggas (daging ayam atau daging bebek) dan daging babi sebagai sajian
utama.
Karena adanya perbedaan geografis antara Tiongkok dengan Indonesia, membuat para
imigran Tiongkok tersebut mengalami kesulitan untuk mendapat bahan makanan untuk sajian Imlek.
Karena alasan perbedaan kondisi lingkungan antara negara Tiongkok dan Indonesia maka banyak
bahan-bahan makanan yang biasa mereka gunakan di Tiongkok untuk membuat makanan khas Imlek
sulit ditemukan di Indonesia. Hal tersebut mendorong mereka untuk mencoba mencari pengganti
bahan-bahan makanan yang dibutuhkan dengan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan tempat
tinggal mereka. Dilihat dari bahan-bahan yang digunakan serta cara pembuatan makanan khas Imlek
yang disajikan, ada makanan khas Imlek Tiongkok yang mendapat pengaruh dari budaya Betawi
diantaranya adalah Pindang Bandeng dan Opor Ayam Betawi.
Mayoritas dari masyarakat Betawi adalah beragama muslim, membuat penyajian dalam
makanan Imlek akhirnya disesuaikan kembali. Jadi, pada saat perayaan hari raya Imlek, mereka tidak
menyajikan daging babi sebagai santapan utama mereka. Makanan utama pada saat perayaan Imlek
orang Betawi Tionghoa adalah Ikan Pindang Bandeng dan Opor Ayam.
Dalam budaya Tiongkok, pada saat perayaan Imlek, kita diwajibkan untuk menyantap ikan
secara utuh. Orang Tiongkok percaya bahwa 鱼 (Yú) mempunyai homofon yang sama dengan 余(Yú)
yang berarti berkelimpahan dan 雨 (Yǔ) yang berarti hujan. Jadi, apabila pada saat Imlek turun hujan
dan semakin derasnya hujan pada tahun baru dianggap semakin deras pula rezeki yang mengalir. Pada
saat menyantap ikan, mereka diharuskan untuk memakan ikan hanya pada bagian tubuh ikannya saja,
dan diwajibkan untuk menyisakan bagian kepala dan ekornya. Hal ini dikarenakan orang Tiongkok
menganggap agar keberuntungan mereka pada saat itu tidak akan habis dan akan tersisa untuk anak
dan cucu mereka, mereka berharap agar anak cucu mereka kelak akan menikmati keberuntungan
hidup seperti saat itu. Orang Tiongkok percaya bahwa ikan mempunyai arti keberuntungan untuk
tahun yang akan datang. Ikan merupakan hidangan utama pada saat merayakan. Orang-orang
Tiongkok pada saat merayakan hari raya Imlek mereka biasanya menyajikan ikan air tawar sebagai
sajian ikan khas imlek mereka. Ikan air tawar yang mereka sajikan seperti ikan mas yang mempunyai
homofon “礼” (Lì) dan “吉” (Jí) yang memiliki makna keberuntungan, dengan harapan agar tahun
yang akan datang akan mendapat keberuntungan.
Menurut Pak Aji ‘Chen’, “Bandengnya dari Tiongkok sendiri tidak begitu dikenal pindang
bandeng, karena disana dikenal sajian masakan ikan saja, ga harus bandeng.” Beliau juga menjelaskan
tentang asal-usulnya penggunaan ikan bandeng sebagai sajian utama pada saat imlek, “awalnya
5
Imigran dari China masuk ke Indonesia melalui pesisir pantai. Mereka datang melewati pesisir utara
dan ikan yang paling banyak ditemui adalah ikan bandeng. Oleh karena itu mereka menggunakan ikan
bandeng sebagai sajian pada saat Imlek, karena ikan tersebut ikan yang paling gampang ditemui dan
paling murah.”
Pada saat perayaan Imlek, masyarakat Tiongkok suka menyiapkan ikan Mas, tetapi di Jakarta
tepatnya masyarakat Betawi, mereka mempunyai kebiasaan sendiri yaitu menyiapkan ikan bandeng
sebagai makanan khas Imlek mereka. Masyarakat Betawi suka menyajikan ikan bandeng menjadi Ikan
Pindang Bandeng, dan sajian ini akhirnya menjadi salah satu sajian khas pada saat perayaan Imlek di
Jakarta. Untuk membuat pindang bandeng, masyarakat Betawi Tionghoa menggunakan bumbubumbu khas Indonesia seperti bawang merah, bawang putih, cabe, kunyit, jahe, dan daun salam. Cara
memasaknya pun menggunakan cara khusus yaitu dengan teknik membakar bahan-bahan yang
disediakan seperti bawang merah, bawang putih, cabe, kunyit, dan jahe terlebih dahulu kemudian
bahan-bahan yang telah dibakar tersebut direbus bersama dengan ikan bandengnya. Hal ini sangat
membedakannya dengan masakan ikan khas imlek di Tiongkok yang tidak menggunakan banyak
bumbu dan rempah-rempah dalam proses penyajiannya.
Masyarakat Betawi Tionghoa biasanya memotong ikan menjadi beberapa bagian pada saat
memasak. Karena pada saat menyajikan Ikan Pindang Bandeng, mereka sering memasak ikan dalam
jumlah yang banyak. Jadi, pada saat makan ikan, mereka tidak memakan habis semua ikannya. Sisa
bagian ikan yang belum habis bisa disimpan kembali di lemari es, dan jika mereka ingin memakan
Ikan Pindang Bandeng lagi, maka mereka bisa menghangatkannya kembali, dan biasanya semakin
lama pindang bandeng ini disimpan dan dipanaskan kembali maka bumbu di dalam kuahnya akan
semakin meresap kedalam ikannya dan membuat rasanya semakin enak. Ini adalah cara yang unik
dalam penyajian ikan dalam kebudayaan masyarakat Betawi.
Ikan Pindang Bandeng adalah makanan khas masyarakat Betawi Tionghoa, dan biasanya
hidangan tersebut menjadi salah satu santapan utama pada saat perayaan Imlek di Jakarta.
Dikarenakan ikan bandeng relatif mudah didapat maka secara tidak langsung kebiasaan untuk
menyajikan ikan bandeng pada saat imlek pun berlangsung secara turun temurun secara generasi ke
generasi. Ikan bandeng sendiri dianggap memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Betawi Tionghoa
yang berupa unsur-unsur alam sebagai simbol hidup hemat dan awet muda. Bagi orang Betawi
Tionghoa, ikan Bandeng juga memiliki makna yang lebih mendalam yaitu sebagai simbol
penghormatan. Simbol penghormatan ini dapat dilihat dari kebiasaan mengirim ikan Bandeng yang
dilakukan oleh masyarakat Betawi. Ikan Bandeng biasanya dikirim oleh para menantu dan anak untuk
orang tua mereka. Mereka menganggap apabila ukuran bandeng yang diberikan semakin besar, maka
semakin besar juga perhatian dan hormat yang mereka berikan kepada orang tua mereka. Sebaliknya,
apabila ada anggota keluarga yang tidak membawa ikan bandeng kepada orang tuanya, maka anak
tersebut dianggap tidak memiliki rasa hormat dan rasa sopan santun kepada orang tua mereka.
Ikan Bandeng juga dipercaya oleh masyarakat Betawi Tionghoa sebagai simbol kemakmuran
dan rejeki yang berlimpah. Banyaknya tulang di dalam daging ikan bandeng juga memiliki makna
supaya banyak rejeki yang didapat, dan juga memiliki makna walaupun menghadapi banyak halangan
dan rintangan namun keluarga tersebut akan tetap beroleh rejeki yang berlimpah dan orang tersebut
tetap ulet, serta dapat bertahan dalam situasi sesulit apapun.
Ikan Pindang Bandeng telah mengalami proses akulturasi antara kebudayaan Tiongkok dan
Betawi. Hal tersebut dapat dilihat dari sisi sajian ikan itu sendiri merupakan kebudayaan dari
Tiongkok, namun ikan bandeng itu sendiri merupakan ikan khas Indonesia. Dengan bertemunya kedua
budaya yang berbeda ini, maka dapat menghasilkan suatu sajian imlek yang baru bagi masyarakat
Betawi Tionghoa, yaitu Ikan Pindang Bandeng.
Karena ini merupakan hasil dari akulturasi, maka para Imigran Tiongkok masih menjaga
kebiasaan perayaan hari raya Imlek sampai pada saat ini. Meskipun kebiasaan makan ikan pada saat
perayaan hari raya Imlek sudah dipengaruhi oleh kebudayaan dari Betawi, tetapi para Imigran
Tiongkok masih tetap menjaga karakteristik asli dari makanan Imlek tersebut, yang membuat mereka
masih menggunakan ikan sebagai makanan utama mereka dan juga tidak menghapus makna dari
kebiasaan makan ikan tersebut.
Selain menyajikan ikan pada saat Imlek yang menyimbolkan makanan dari hewan di air,
orang Tiongkok mempunyai kebiasaan untuk menyajikan unggas juga sebagai simbol dari binatang
yang terbang, diantaranya ayam atau burung. Masyarakat Tiongkok percaya bahwa 鸡(ji) dan 吉(ji)
mempunyai pengucapan yang mirip, dan 吉 mempunyai symbol kebertuntungan. Biasanya orang
Tiongkok menyajikan ayam atau burung dengan direbus secara utuh. Penyajian ayam atau burung
secara utuh (dengan kepala dan kaki yang masih ada) ini memiliki maknanya tersendiri, yaitu
melambangkan kesatuan dan keharmonisan dalam keluarga. Masyarakat Tiongkok ketika menyajikan
sajian utama Imlek, biasanya mereka menyukai untuk menyajikan ayam secara utuh, karena mereka
6
menganggap melambangkan keutuhan dan keharmonisan keluarga tersebut. Ayam di Tiongkok
disajikan dalam berbagai cara masak, seperti digoreng, atau bisa juga di kukus. Tetapi sajian ayam
yang biasa disajikan di Tiongkok pada saat Imlek adalah ayam goreng merah.
Di Jakarta, orang Betawi lebih suka menyantap ayam dibandingan dengan menyantap bebek.
Adapun karakteristik dalam makanan Opor Ayam Betawi Tionghoa adalah dengan penggunaan kunyit
dan santan. Awalnya opor ayam merupakan makanan khas di Jawa, namun sajian Opor Ayam ini juga
berkembang di berbagai daerah di Pulau Jawa, dan salah satunya adalah di Jakarta, oleh orang Betawi
Tionghoa. Opor Ayam Betawi berbeda dengan opor ayam yang ada di daerah lain, karena orang
Betawi China menggunakan kunyit dalam memasak Opor Ayam Betawi. Masyarakat Betawi
Tionghoa menyebut ini sebagai Opor Ayam Kuning. Masyarakat Betawi Tionghoa menganggap
bahwa warna kuning yang terdapay pada warna kuah Opor Ayam ini melambangkan warna emas yang
memiliki makna kemakmuran. Menurut Pak Aji ‘Chen’, sebenarnya ada dua macam Opor di Jawa,
opor putih dan opor kuning. Opor kuning biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan
kunyit. Lebih menarik dan tidak pucat serta lebih menyehatkan badan karena kunyit sebagai
penyeimbang santan. Kunyit sendiri merupakan bumbu masakan khas Indonesia yang tidak ada di
Tiongkok. Selain kunyit, opor ayam Betawi juga menggunakan jintan, santan dan berbagai macam
bumbu rempah-rempah khas Indonesia.
Cara menyajikan ayam bagi masyarakat Betawi Tionghoa dengan masyarakat Tiongkok juga
berbeda. Masyarakat Betawi Tionghoa menggunakan bumbu khas Indonesia seperti kunyit dan santan.
Memasak ayam dengan menggunakan kunyit dan santan ini merupakan keunikan dari makanan khas
Betawi Tionghoa. Mereka sangat suka menggunakan santan dalam masakan mereka, karena rasa gurih
yang terdapat pada santan membuat makanan menjadi lebih gurih.
Selain menyajikan Opor Ayam, keluarga Betawi Tionghoa juga selalu menyajikan sambal
godog sebagai pelengkap sajian Imlek. Bagi orang Betawi Tionghoa, Sambal Godog seringkali
dijadikan sajian wajib yang harus ada dalam setiap kesempatan istimewa seperti Lebaran dan Imlek
dimana seluruh keluarga dan sanak-saudara berkumpul kembali. Sambal godog merupakan warisan
orang/suku Betawi yang diadopsi masuk dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sajian Imlek
keluarga Betawi Tionghoa. Lewat Sambal Godog ini, dapat terlihat jelas sentuhan Betawi dalam
perayaan Imlek keluarga-keluarga Betawi Tionghoa di Jakarta. Sambal Godog ini merupakan sambal
khas Betawi yang tidak seperti sambal pada umumnya, sambal ini berbentuk seperti kuah yang biasa
dimakan sebagai pelengkap opor ataupun lontong sayur. Menurut Narasumber, saat imlek selalu
menyajikan opor ayam dengan sambel godog dan Sambal Godog itu sendiri biasanya memakai
kentang, petai dan santan. Ini membuat opor ayam khas Betawi lebih unik dibanding Opor Ayam di
tempat lainnya.
Dari penjelasan diatas, penulis menemukan bahwa aspek lingkungan dan kebudayaan dari
Betawi dapat merepresentasikan budaya Betawi terhadap makanan khas Imlek di Jakarta. Dari aspek
lingkungan dapat dilihat melalui bahan-bahan makanan yang digunakan oleh masyarakat Betawi
seperti kunyit, daun salam dan santan dalam proses pembuatan makanan tersebut. Lalu dari aspek
budaya, dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Betawi pada saat makan sajian tersebut. Mereka lebih
suka untuk menyajikan ikan dan ayam yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian
dibanding mereka harus menyajikan secara utuh.
KESIMPULAN DAN SARAN
Melalui penelitian ini, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kedatangan para imigran
Tiongkok ke Indonesia, membuat masyarakat Indonesia menerima kebudayaan baru dalam
kebudayaan Indonesia. Imigran Tiongkok yang tinggal di Indonesia, tetap mempertahankan
kebudayaan mereka, terutama kebudayaan dalam merayakan Imlek setiap tahunnya. Secara tidak
langsung, kebudayaan Imlek ini, berkembang dan menyebar di berbagai masyarakat Indonesia, salah
satunya adalah masyarakat Betawi. Dan sebaliknya juga ada pengaruh Betawi yang masuk kedalam
makanan khas Imlek keluarga Betawi Tionghoa di Jakarta.
Ada berbagai alasan yang menyebabkan datangnya orang Tionghoa ke Indonesia,
diantaranya adalah alasan politik dan perdagangan. Dan karena berbagai hal juga maka banyak
imigran Tionghoa yang akhirnya tinggal dan menetap di Indonesia. Para imigran Tionghoa yang
menetap di Indonesia lambat laun semakin menyatu dengan penduduk lokal, salah satunya yaitu
menyatu dengan masyarakat suku Betawi. Baik melalui pernikahan maupun hubungan pertemanan,
membuka peluang yang besar untuk terjadinya akulturasi budaya antara budaya Tionghoa dan Betawi,
yang kami simpulkan menjadi beberapa aspek yang menuntun terjadinya percampuran budaya antar
Tionghoa dan Betawi. Melalui sejarah, dapat diketahui bagaimana asal mula kedatangan imigran
tionghoa ke indonesia, diantaranya adalah karena adanya kepentingan politik dan ekonomi. Imigran
Tionghoa yang datang dan menetap di Indonesia akhirnya berakulturasi dengan penduduk setempat
7
yang dapat terlihat dari aspek budaya dan lingkungan. Aspek budaya yang menjelaskan bagaimana
budaya Tionghoa dan Betawi saling mempengaruhi dalam cara pengolahan makanan dan cara
penyajiannya, dan yang kedua adalah aspek lingkungan yang menjelaskan bagaimana terjadinya
percampuran budaya yang karena perbedaan lingkungan menyebabkan terjadinya perubahan dan
percampuran antara budaya Tionghoa dan Betawi akibat perilaku penyesuaian diri para imigran
Tiongkok untuk bertahan hidup dengan lingkungan yang baru, terutama dalam bahan-bahan makanan
yang berbeda dengan di Tiongkok, sehingga dengan adanya rempah-rempah yang kaya rasa
memunculkan ide-ide baru yang nampak melalui makanan khas Imlek di Jakarta.
Adapun makanan khas imlek yang menerima pengaruh Betawi adalah Ikan Pindang Bandeng,
yang memiliki makna agar di tahun yang akan datang dapat melewati segala rintangan serta
memperoleh rejeki yang berlimpah dan juga memiliki makna yang lebih mendalam yaitu sebagai
simbol penghormatan terhadap orang tua. Pindang Bandeng sendiri merupakan makanan khas suku
Betawi, dengan menggunakan bumbu dan rempah-rempah seperti kunyit, santan, bawang merah dan
daun salam serta cara memasak dengan membakar terlebih dahulu bumbu-bumbu tersebut sangat
menunjukkan ciri khas masakan Indonesia. Selain itu ada Opor Ayam Betawi yang juga menggunakan
santan dan kunyit, disajikan dengan Sambel Godog khas Betawi yang berbeda dengan sambal pada
umumnya yang kental, sambal ini berkuah seperti sup dengan bahan utamanya menggunakan santan,
cabai, kentang dan petai. Opor ayam Betawi yang berwarna kuning ini mirip dengan warna emas
sehingga menyimbolkan harapan akan hidup yang makmur di tahun yang akan datang. Melalui
Pindang Bandeng, Opor Ayam Betawi dan Sambel Godog khas Betawi yang disajikan saat Imlek,
dapat terlihat jelas percampuran antara budaya Betawi dalam makanan khas Imlek di Jakarta.
REFERENSI
陈忠明.饮食风俗 [M]. 北京: 中国纺织出版社, 2008.
郭贵丽,张立玉. 中西方传统节日的文化差异 [J] 武汉工程大学学报,2010,第 32 卷第 8 期,
55-58.
胡自山.中国饮食文化[M]. 北京 : 时事版社,2005.
吕雯雯. 中西传统节日饮食中的文化差异 [J]. 陕西师范大学学报, 2009,38:112-114.
庞杰. 食品文化概论[M].北京: 化学工业出版社, 2009.
孙宝国,王静. 中国传统食品现代化[J]. 北京下商大学食品学院食品添加剂 与配料北京高校工程
研究中心,2013,15: 4-8.
吴为善 ,严慧仙. 跨文化交际概论[M].北京:商务印书馆出版, 2012.
王文章.中国传统节日[M].北京:中央编译局,2015.
谢定源. 中国饮食文化[M].杭州:浙江大学出版社, 2008.
原慧艳. 山西沁水县城东节日饮食语汇文化信息解读. [J] 晋中学院学报, 2010 年第 27 卷第 2
期:30-32.
云达. 棉兰华裔中国传统节日饮食文化研[D]. 棉兰: 苏北大学中文系, 2011.
张莉恩。浅析《舌尖上的中国》的饮食民俗及其文化意蕴 [J] 南宁职业技术学院学报, 2013 年
第 18 卷第 4 期,12-15.
张艳红. 春节三大传统食品:饺子、年糕、元宵 [Z]. http://www.chinanews.com/life/2011/0128/2819663.shtml. 2011-01-28/2015-05-10.
Hulupi, Maria Endah. June 22 (2003). Betawi cuisine, a culinary journey through history. Jakarta Post,
accessed on August 26 2015 from http://www.thejakartapost.com/news/2003/06/22/betawi-cuisineculinary-journey-through-history.html
Jean DeBernardi. (2010). On Women and Chinese Ritual Food Culture
in Penang and Singapore. 民俗曲藝, Vol. 6, No. 168 : 179–223,
Angellina, Stella., Mercia. (2013). Analisis Pengaruh Budaya Indonesia Terhadap Makanan Khas
Hari Raya Tionghoa di Jakarta. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Fakultas Humaniora Universitas
Bina Nusantara. Diakses 24 Febuari 2015 dari http://library.binus.ac.id
Bromokusumo, Aji ‘Chen’. (2013). Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara.
Dahana, A. (2000). Kegiatan Awal Masyarakat Tionghoa di Indonesia. Wacana. Vol.2, No.1 : 54-72.
Ihromi,T.O. (1999). Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
8
Jacques, Martin. (2011). When China Rules The World : Ketika China Menguasai Dunia. Jakarta : PT
Kompas Media Nusantara.
Jakarta.go.id, Betawi, Suku, Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kong, Yuanzhi. (2005). Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Kustara, Al.Heru (Ed.). (2009). Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya. Jakarta:
PT Intisari Mediatama dan Komunitas - Lintas Budaya Indonesia
Melalatoa, Dr. M. Junus (Ed.). (1977). Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: PT Pamator.
Nio, JoeLan. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: PT Gramedia.
Nurjannah, Nike dkk. (2013). Makalah Fundamental Dietary And Culinary Makanan Nusantara DKI
Jakarta. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
Ong, HokHam. (2009). Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Setiono, Benny G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia Pustaka.
Suprapto, (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-ilmu Pengetahuan Sosial.
Yogyakarta : Center of Academic Publishing Service.
Wahyuni, Tri. 19 Febuari, (2015). Tradisi Makan Besar dalam Perayaan Imlek dan Maknanya. CNN
Indonesia, diakses 25 Agustus 2015 dari http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150219120052262-33343/tradisi-makan-besar-dalam-perayaan-imlek-dan-maknanya/
RIWAYAT PENULIS
Felicia Khoesvilianty lahir di kota Jakarta, 15 Juni 1993. Penulis menamatkan pendidikan SMA di
SMA Strada St. Thomas Aquino tahun 2011.
Jane Oktaviani lahir di kota Jakarta, 18 Oktober 1993. Penulis menamatkan pendidikan SMA di
Tunas Gading tahun 2011.
Lydia Anggreani lahir di Jakarta, 24 April 1987. Menamatkan S1 di Universitas Bina Nusantara pada
tahun 2009 dan S2 di Tianjin Normal University pada tahun 2012. Saat ini bekerja sebagai Subject
Content Specialist General Skills di Universitas Bina Nusantara.
9
Download