Budaya Birokrasi dan Etika Pelayanan Publik

advertisement
Nama : Johan Komara
Andang Nugroho
20161040007
20161040004
Budaya Birokrasi dan Etika Pelayanan Publik
1. Teori pelayanan publik
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
sesuai
dengan
aturan
pokok
dan
tata
cara
yang
telah
ditetapkan.
Mengacu pada Keputusan MENPAN No 63 Tahun 2004 bahwa, Pemerintah pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, yang memiliki kewajiban untuk
memberi pelayanan yang prima kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan
untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta
menciptakan
kondisi
yang
memungkinkan
setiap
anggota
masyaraakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama
(Rasyid, 2000 dalam Usman, 2014).
Terkait dengan ketugasannya, setidaknya terdapat 3 (tiga) fungsi pemerintah,
yakni :
a. Servicing Function (Fungsi Pelayanan)
Menurut (S. Pamuji, 1994 dalam Usman, 2014) kehadiran pemerintah
dalam fungsinya sebagai servicing untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dengan cara tidak diskriminatif dan juga tidak memberatkan. Pemerintah
dalam memberikan pelayanan
Tidak pilih kasih dan memperlakukan semua orang dengan hak yang sama,
hak untuk dilayani, hak untuk dihormati, diakui dan lainnya.
b. Regulating Function (Fungsi Regulasi)
Menurut (Riswanda Imawan,, 2002 dalam Usman, 2014) memberikan
penekanan bahwa pengaturan tidak hanya kepada rakyat tetapi juga kepada
pemerintah itu sendiri. Artinya dalam membuat kebijakan harus lebih
dinamis yang mengatur kehidupan masyarakat sekaligus meminimalkan
intervensi negara dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Empowering Function (Fungsi Pemberdayaan)
Pemerintah dalam memberikan pelayanan dan regulasi membuat
masyarakat berdaya. Masyarakat harus semakin pintar untuk mengatasi dan
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
Menurut Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2016), teori-teori tentang
manajemen pelayanan dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif penyedia
(providers) maupun pelanggan (customers). Perbandingan dua perspektif konsep
dan teori tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :
Konsep dan Teori
Perspektif
Manajemen Pelayanan
Providers
1. Momen Kritis Pelayanan (moment of truth) dari
Albrecht dan Bradford (1990).
-
Harus ada kesesuaian atau kompatibilitas antara
tiga faktor dalam pengelolaan moment of truth,
yaitu:
a. Konteks pelayanan
b. Referensi
yang
dimiliki
oleh
anggota
yang
dimiliki
oleh
anggota
organisasi
c. Referensi
organisasi penyelenggara pelayanan.
2. Lingkaran Pelayanan dari Albrecht dan Bradford
(1990)
-
Dalam memberikan pelayanan yang terbaik,
produsen harus memandang produk atau jasa
layanan
yang
konsumen
kita
berikan
memandang
sebagaimana
produk
atau
jasa
layananan tersebut.
3. Model Segitiga Pelayanan dari Albert dan Zemke
(1990)
-
Sinergitas
sistem,
SDM,
strategi
akan
menentukan keberhasilan manajemen kinerja
pelayanan publik
4. Kep MenPAN No 63 Tahun 2004
-
Adanya survey berkala tentang indeks kepuasan
masyarakat
-
Pengawasan partisipatif
5. Sebelas Prinsip dari Viljoen (1997)
-
Identifikasi kebutuhan konsumen
-
Pelayanan terpadu
-
Sistem yang mendukung
-
Semua
pelayanan
karyawan
bertanggungjawab
atas
Customers
-
Tangani keluhan
-
Terus berinovasi
-
Karyawan sama pentingnya dengan konsumen
-
Tegas dan ramah terhadap konsumen
-
Interaksi khusus dengan pelanggan
-
Kontrol kualitas
6. Gap Model dari Zeithaml, Parasuraman & Berry
(1990)
-
Gap persepsi manajemen
-
Gap persepsi kualitas
-
Gap penyelenggaraan pelayanan
-
Gap komunikasi pasar
-
Gap kualitas pelayanan
7. Teori Exit & Voice dari Albert Hirschman (Jones,
1994)
-
Kinerja pelayanan publik dapat ditingkatkan
apabila ada mekanisme ‘exit’, yang berarti bahwa
jika pelayanan public tidak berkualitas maka
konsumen/klien harus memiliki kesempatan
untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan
public yang lain yang disukainya. Sedangkan
mekanisme ‘voice’ berarti adanya kesempatan
untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada
lembaga penyelenggara pelayanan public.
8. Citizen Charter
-
Dokumen yang berisi hak & kewajiban antara
providers and customers
2. Menjelaskan budaya pelayanan publik.
Menurut (Denhardt & Denhardt, 2007) bahwa pemerintahan tidak boleh
dijalankan seperti sebuah bisnis, tetapi harus dijalankan seperti sebuah demokrasi
(government shouldn’t be run like a business, it should be run like a democracy).
Artinya bahwa pemerintah dalam memperlakukan dan melayani masyarakat tidak
memposisikannya murni sebagai customer dan hanya mengejar profit tetapi lebih
dari itu juga harus memperhatikan masyarakat yang memiliki hak asasi yang harus
dijamin pemenuhannya oleh negara.
Salah satu faktor yang harus ada agar dapat diselenggarakan pelayanan yang
berkualitas adalah adanya budaya pelayanan yang beorientasi kepada kepentingan
pelanggan atau pengguna jasa. Dalam konteks pelayanan publik berarti budaya
pelayanan yang beorientasi kepada kepentingan masyarakat. Terkait dengan
budaya organisasi, Sethia dan Glinow dalam bukunya Ratminto dan Atik Septi
Winarsih (2016), membagi tipe budaya organisasi berdasar perhatiannya terhadap
orang dan perhatiannya terhadap kinerja. Secara visual perbedaan diantara empat
model dapat digambarkan sebagai berikut :
Manusia
Caring
Integrative
Apathetic
Exacting
Kinerja
Penjelasan
-
Caring culture :
Tingkat kepedulian terhadap hubungan antar manusia tinggi
Tingkat kepedulian terhadap kinerja rendah
-
Apathetic culture :
Tingkat kepedulian terhadap hubungan antar manusia rendah
Tingkat kepedulian terhadap kinerja rendah
-
Integrative culture :
Tingkat kepedulian terhadap hubungan antar manusia tinggi
Tingkat kepedulian terhadap kinerja tinggi
-
Exacting culture :
Tingkat kepedulian terhadap hubungan antar manusia rendah
Tingkat kepedulian terhadap kinerja tinggi
3. Menjelaskan budaya birokrasi pelayanan publik.
Dengan mengacu pada pengelompokan tipe budaya pelayanan diatas, dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar tipe budaya yang ada di dalam organisasi publik
indonesia adalah tipe caring culture. Menurut Ratminto dan Atik Septi Winarsih
(2016) organisasi publik di Indonesia biasanya memiliki perhatian yang sangat
rendah terhadap kinerja namun memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap
hubungan antar manusia. Hal ini tampak dari ciri-ciri birokrat sebagai berikut :
-
Lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada klien atau masyarakat
-
Lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi masyarakat
-
Meminimalkan resiko dengan cara menghindari untuk mengambil inisiatif
-
Menghindari tanggung jawab
-
Menolak tantangan
-
Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya
Budaya ini tidak cocok dalam pemberian pelayanan yang berkualitas kepada
masyarakat. Dengan demikian harus diadopsi budaya baru yang lebih sesuai dan
kondusif dengan manajemen pelayanan publik. Dari keempat tipe budaya
organisasi tersebut diatas integrative culture adalah yang terbaik.
Menurut Osborne dan Gaebler dalam bukunya Reinventing Government /
Mewirausahakan Birokrasi, ada sepuluh semangat kewirausahaan yang perlu untuk
di adopsi oleh birokrat pelayan publik, antara lain sebagai berikut :
-
Mengarahkan ketimbang mengayuh
-
Memberi wewenang kepada masyarakat
-
Menyuntikkan persaingan dalam pemberian pelayanan
-
Menciptakan organisasi yang digerakkan oleh misi ketimbang oleh
peraturan
-
Lebih berorientasi pada hasil bukan input
-
Berorientasi pada pelanggan, bukan birokrasi
-
Berorientasi wirausaha
-
Bersifat antisipatif
-
Beorientasi pada pasar
Mengadopsi 10 prinsip wirausaha sebagaimana yang disampaikan Osborne dan
Gaebler
dapat
meningkatkan
kualitas
pelayanan
publik,
namun
perlu
dipertimbangkan konsep new public service yang disampaikan oleh Denhardt
bahwa pelayanan publik tidak seyogyanya dilaksanakan 100% seperti bisnis, tetapi
juga mempertimbangkan terutama yang berkaitan dengan hak sipil dan kewajiban
pemerintah dalam memfasilitasi hak tersebut.
Untuk menciptakan atau mengembangkan budaya pelayanan di kalangan
pegawai negeri pemerintah melalui Kemen PAN no 25 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, yang antara lain
disampaikan nilai-nilai kerja sebagai berikut :
a. Komitmen dan konsistensi
b. Wewenang dan tanggung jawab
c. Keikhlasan dan kejujuran
d. Integritas dan profesionalisme
e. Kreativitas dan kepekaan
f. Kepemimpinan dan keteladanan
g. Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja
h. Ketepatan dan kecepatan
i. Rasionalitas dan kecerdasan emosi
j. Keteguhan dan ketegasan
k. Disiplin dan keteraturan kerja
l. Keberanian dan kearifan
m. Dedikasi dan loyalitas
n. Semangat dan motivasi
o. Ketekunan dan kesabaran
p. Keadilan dan keterbukaan
q. Penguasaan IPTEK
4. Menjelaskan efektivitas pelayanan publik
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa
berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman
kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan
oleh pemerintah maupun non-pemerintah.
Jika pemerintah, maka organisasi
birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan
pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai
politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasiorganisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya,
maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan
kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai
ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai programprogram
pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam
kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum
pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh
masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi
kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya,
birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh
karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu
melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan
pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan
pendekatan kekuasaan dan kewenangan
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan
organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan
antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani
(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur
kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni :
pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan
kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada
sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi
yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya
lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi
yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada
masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada
tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih
mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh
masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya
sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek
persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat
yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas
kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency
atau coherency).
5. Menjelaskan landasan etika pelayanan publik.
Menurut Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti,
salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau
akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata
etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan
sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988),
istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa
ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau
nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang
yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”.
Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The
Encyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2)
moral code atau rules of conduct; dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan
kedua diatas (lihat Denhardt, 1988: 28). Salah satu uraian menarik dari Bertens
(2000) adalah tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih
menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri – yaitu apakah suatu
perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik
orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara
suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau
berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu
saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan
cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi
kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung
mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung
berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian
barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas
kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih
menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery
system yang sehat.
administrasi,
Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang
keamanan,
kesehatan,
pendidikan,
perumahan,
air
bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang
memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan
public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai
kepentingan publik (lihat J.L.Perry, 1989: 625).
Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana
elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan
proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan
publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Karya
Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988) merupakan
contoh dari pandangan ini, dimana pelayanan publik benar-benar identik dengan
administrasi publik. Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika
diartikan sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau
right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi
oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang dimaksudkan
dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau
pemberian pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian
tuntunan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang
“baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.
Masalah tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas
secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah
disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang
berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang
pelayanan publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan
kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik
itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai dari
penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai
pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut.
Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam
setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah para aktor telah
benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan-kepentingan
yang lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum
(six great ideas) seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan
(liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai apakah
para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil
dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau
tidak dalam melaporkan hasil manajemen pelayanan.
Dalam pelayanan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit ditelusuri
dan dipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang orang
“membuka rahasia” atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu, kita
juga menghadapi tantangan ke depan semakin berat karena standard penilaian etika
pelayanan terus berubah sesuai perkembangan paradigmanya. Dan secara
substantif, kita juga tidak mudah mencapai kedewasaan dan otonomi beretika
karena penuh dengan dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran
moral atau etika dalam pelayanan publik di Indonesia akan terus meningkat
Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi
landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicitacitakan. Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar
dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun
kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin
dikesampingkan. Semua warga negara berkepentingan dengan etika.
Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik memiliki
kewenangan bebas untuk bertindak dalam rangka memberikan pelayanan umum
serta menciptakan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, kepada birokrasi diberikan
kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan
masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik.
Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau
larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan
tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah
implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis
terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan/atau
kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa
kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang
mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu,
suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benar-salah,
tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik – buruk. Sebab,
suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.
Dalam wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna
pentingnya orientasi pada pelayanan publik. Titik fokusnya pun terarah pada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan publik, bukan pada si pembuat kebijakan
tersebut. Namun demikian semakin dikaji dan ditelaah kedalaman makna dari
konsepsi pelayanan publik tersebut, maka dalam dunia nyata semakin jauh makna
hakiki dari pelayanan publik tersebut diimplementasikan secara tepat.
Organisasi publik (pemerintah) sebagai institusi yang membawa misi
pelayanan publik, akhir-akhir ini semakin gencar mengkampanyekan dan saling
berlomba untuk memberikan dan mengimplementasikan makna hakiki dari
pelayanan publik tersebut, namun demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh
dari harapan yang diinginkan. Secara umum ada dua hal yang sangat berperan bagi
organisasi pemerintah (birokrasi) di dalam mengimplementasikan konsepsi
mengenai pelayanan publik tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk
melaksanakan kebijakan yang sudah ada. Disini birokrasi dituntut untuk
mempunyai komitmen yang jelas melalui visi dan misi organisasi untuk
melaksanakan fungsi pelayanan dengan baik.
Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan
fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi
pelayanan harus mengacu pada komitmen organisasional yang telah dituangkan
didalam visi dan misi organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai
acuan di dalam pelaksanaan fungsi pelayanan, maka akan membentuk suatu etika
yang dijadikan sebagai pedoman di dalam setiap perilaku birokrat untuk
melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya
persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di
dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya
pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek
peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance
yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi
melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri, pihak swasta
dan masyarakat (publik) secara keseluruhan.
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya
public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah
karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam
memberikan
pelayanan
ini
pemerintah
diharapkan
secara
profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal, kenyataan
menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik
atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak
yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya,
tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak
memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada
“otonomi dalam beretika”.
6. Konsep Etika Pelayanan Publik
Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan
watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini
dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadarminta, etika dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika
disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa
ada tiga arti penting etika, yaitu (1) etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) etika sebagai kumpulan
asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu
tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat
seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of
Philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau
rules of conduct, (Denhardt, 1988).
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas
konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang
perbuatan itu sendiri – yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh
dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah
diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu
dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan
orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi
sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan
menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain.
Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol
lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan
menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin.
Keban (2001) mengatakan bahwa dalam arti yang sempit, pelayanan publik
adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara
langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan
jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar.
Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan
melalui suatu delivery system yang sehat.
Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan,
kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank,
dan sebagainya. Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa
yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi
apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian
pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik,
kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan publik (public service) identik dengan
public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai
kepentingan publik (J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik
lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti
policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk
mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak
provider yang diberi tanggung jawab.
Pemikiran tentang etika yang dikaitkan dengan pelayanan publik mengalami
perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994). Leys
mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan
mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan dan
tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang
sudah ada.
Pada sekitar tahun 1950-an mulai berkembang pola pemikiran baru melalui
karya Anderson (dalam Keban, 1994) untuk menyempurnakan aspek standar yang
digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah satu poin
baru, bahwa standar-standar yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut
sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.
Kemudian pada tahun 1960-an muncul kembali pemikiran baru lewat tulisan
Golembiewski (dalam Keban, 1994) yang menambah elemen baru, yaitu standar
etika yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu
administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai
standar-standar perilaku tersebut.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat besar
pengaruhnya terhadap konsepsi mengenai etika administrator publik, dua
diantaranya seperti yang dikatakan oleh Keban (1994) adalah John Rohr dan Terry
L. Cooper. Rohr menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime
norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan dan kebebasan sebagai dasar
pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijakan dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya. Dengan cara demikian maka administrator publik dapat menjadi
lebih etis (being ethical). Sementara itu menurut Cooper etika sangat melibatkan
substantive reasoning tentang kewajiban, konsekuensi dan tujuan akhir; dan
bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang
nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan.
Pemikiran Cooper bahwa administrator yang etis adalah administrator yang selalu
terikat pada tanggungjawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan
standar etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
7. Hakikat Pelayanan Publik Dan Etika
Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian
barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung
jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas
kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih
menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery
system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi,
keamanan,
kesehatan,
pendidikan,
perumahan,
air
bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dsb. Tujuan pelayanan publik adalah
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang
memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan publik (public service) identik dengan
public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai
kepentingan publik (Perry, 1989). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih
dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy
making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk
mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak
provider yang diberi tanggung jawab.
Buku Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988) merupakan
contoh dari pandangan ini, dimana pelayanan publik identik dengan administrasi
publik yang merupakan bagian dari manajemen ilmu pemerintahan.
Dalam dunia pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan professional
standards (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku
yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau
administrator publik. Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas, maka
yang dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek
administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery system) yang
didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of conduct) atau kode etik
yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang
“tidak baik” agar dihindarkan.
8. Paradigma Etika Dalam Pelayanan Publik
Menurut Fadillah (2001) etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam
melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung
nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang
dianggap baik. Oleh sebab itu maka etika mempersoalkan ”baik-buruk”, dan bukan
”benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan
dengan sesamanya, baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika
mempunyai peran penting dalam praktek administrasi publik.
Dalam paradigma ”dikotomi politik dan administrasi” sebagaimana dijelaskan
oleh Wilson (dalam Widodo, 2001) menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua
fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik yang berkaitan dengan pembuatan
kebijakan (public policy making) atau pernyataan apa yang menjadi keinginan
negara, dan fungsi administrasi, yaitu berkenaan dengan pelaksanaan kebijakankebijakan tersebut.
Dengan demikian kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan
politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tadi merupakan
kekuasaan administrasi publik. Namun karena administrasi publik dalam
menjalankan kebijakan politik tadi memiliki kewenangan secara umum disebut
”discretionary power”, keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik
dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada
jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ”baik
dan tidak secara buruk” ? Atas dasar inilah etika diperlukan dalam administrasi
publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus
dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus
digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan tersebut dapat dikatakan baik atau buruk.
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari
politik (dikotomi) menunjukkan bahwa administrator sungguh-sungguh netral,
bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik
bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi-politik pada tahun 1930-an,
sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam
keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai
memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh
para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau
aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi,
ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas,
khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum
(Henry, 1995).
Hummel (dalam Widodo, 2001) mengatakan bahwa birokrasi sebagai bentuk
organisasi yang ideal telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan
norma-norma, nilai-nilai dan etika yang berpusat pada manusia. Sementara itu
Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa birokrasi melenceng dari keadaan yang
seharusnya. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah
moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi publik.
Sementara itu pemahaman mengenai pelayanan publik yang disediakan oleh
birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat
dan abdi negara. Sehingga maksud dari pelayanan publik adalah demi
mensejahterakan masyarakat. Dalam kaitan itu maka Widodo (2001) mengartikan
pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang banyak
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi publik sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditentukan.
Sehubungan dengan hal tersebut Thoha (1998) mengatakan bahwa kondisi
masyarakat saat ini terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat
kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan indikasi dari empowering
yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa
yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk
mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat
semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang
dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut
mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik,
yaitu dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani,
dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan berubah menjadi suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis, dan dari caracara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1998).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas aparat birokrasi harus
dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien,
sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, reponsif, adaptif dan sekaligus dapat
membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1989).
Selanjutnya pelayanan publik yang profesional adalah pelayanan publik yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan, yaitu
aparatur pemerintah (Widodo, 2001). Ciri-cirinya adalah: (1) efektif, lebih
mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran; (2)
sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara
mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan
oleh masyarakat yang meminta pelayanan; (3) kejelasan dan kepastian (transparan),
mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: (a) prosedur dan tata
cara pelayanan; (b) persyaratan pelayanan, baik teknis maupun administratif; (c)
unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan;(d) rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara
pembayarannya; dan (e) jadwal waktu penyelesaian pelayanan; (4) keterbukaan,
mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung
jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak; (5)
efisiensi, mengandung arti: (a) persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk layanan yang
berkaitan; (b) dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait; (6) ketepatan waktu, kriteria ini
mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan
dalam kurun waktu yang telah ditentukan; (7) responsif, lebih mengarah pada daya
tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam
aspirasi masyarakat yang dilayani; dan (8) adaptif, adalah cepat menyesuaikan
terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang
dilayani yang senantiasa mengalami perkembangan.
9. Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Dari paparan tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa etika sangat
diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan pedoman,
referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi publik.
Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya dirinya
sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani. Masyarakat berharap adanya jaminan
bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan memberikan
pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa mendasarkan diri pada
nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi merupakan sebuah sistem,
yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk terus berbuat bertambah baik
untuk
organisasinya
maupun
kewenangannya
(big
bureaucracy,
giant
bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika. Dengan demikian
maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi, yaitu: pertama
sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik)
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam organisasi
tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua, etika birokrasi sebagai standar
penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, tidak
tercela dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan,
referensi, penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya antara lain adalah: (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku
dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan
milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk
kepentingan pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan
kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh
organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu
ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan daripada unsur rasio dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya
mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan
rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi
pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan
pengalaman (experience), sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan
profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bukan spoil
system (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan
pertanggungjawaban
birokrasi
publik
dalam
menjalankan
tugas
dan
kewenangannya; (6) accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang
bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan akun bilamana mereka dinilai obyektif
oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan segala macam perbuatan,
sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang
dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan
publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan
publik); (7) responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap
terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan
berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang alur
pelayanan.
Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan diatas,
maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut telah
dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya, maka hal ini akan dapat mencegah
timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentuk-bentuk
penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada lembaga
pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika birokrasi belum
cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh birokrasi. Hal yang
lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari masing-masing pelaku
(manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi dalam bentuk keimanan dan
keagamaan yang melekat pada diri setiap individu birokrat sangat berperan dalam
membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol pribadi yang kuat pada diri setiap
individu maka akan dapat mencegah munculnya niat untuk melakukan tindakantindakan mal-administrasi (penyelewengan).
Menurut Keban (2001) Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas
pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk
profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak
perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika
moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap
apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan
kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk
mengesampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih
berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat
dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu
tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam
kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut
kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan
perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik
telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah
memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah
kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang
telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari
para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya
antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, memberi perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
10. Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan antara administrasi
dan politik (dikotomi) menunjukkan bahwa administrator harus sungguh-sungguh
netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan
tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada
tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para
administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat
ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika”
yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak
semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip
administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap
kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya public
interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena
pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau responsibility. Dalam
memberikan
pelayanan
ini
pemerintah
diharapkan
secara
profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb.
Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan
atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat
pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik
atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat
dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata
lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan
lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan
untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi
(organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur
tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer
harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara
manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for
people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikutnya berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadang
begitu
variatif
sehingga
membutuhkan
perlakuan
khusus.
Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara
orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju. Kebijakan
affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etika karena
akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya,
dsb untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu
pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah
berdasarkan prinsip justice –as –fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa
distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya
memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap
anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Kebijakan mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang
populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik
sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau
dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai
pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian
pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong
pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah
yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah
untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral
dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program,
proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi
pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat
bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang
penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan
keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak
transparan, tidak responsif, tidak akun, tidak adil, dsb.
Tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah
diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan Indonesia.
Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari
kelemahan aturan hukum dan perundang-undangan, sikap ental manusia, nilai-nilai
sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik,
dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas
lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pembenahan moral itu
sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di masa
mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses “pembusukan”
terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
Dibutuhkan Kode Etik dalam pelayanan publik. Kode etik pelayanan publik di
Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran
sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang
mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah
memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah
pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera.
Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik
ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan
kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat
kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja.
Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya
sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan
berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian
dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan publik
telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah
memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah
kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang
telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari
para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya
antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu
memberi perhatian terhadap dilema diatas. Atau dengan kata lain, para pemberi
pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal,
karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi normanorma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut
sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukkan suatu kedewasaan
dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema
tersebut.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian
pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang
berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang
sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita
didikte oleh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan
kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau
berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji
bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan
yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi
swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada
kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah
yang paling tepat untuk diterapkan.
Download