BAB I - DistroDoc

advertisement
1
TINJAUAN TENTANG DASAR HUKUM TRANSAKSI ELEKTRONIK
DI INDONESIA
Oleh
M. Yusron, MZ SH., MH1
ABSTRAK
Transaksi elektronik diatur dalam KUHPerdata yang menagnut asas
kebebasan berkontrak. Di samping itu, harus memenuhi syarah sah
kontrak sebagaimna yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat kedua belah pihak mencapai kata
sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan. Mengingat sifat
transaksi elektronik, maka harus ada itikad baik dalam pelaksanaan
kontrak. Hal tersebut juga berpotensi untuk menimbulkan sengketa.
Upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik
didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak mengenai pilihan hukum
dan lembaga yang menyelesaikan permasalahan yang terjadi baik itu
litigasi maupun non litigasi.
Kata Kunci: Transaksi Elektronik, Perjanjian, Litigasi dan Non Litigasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi di berbagai bidang khususnya bidang
informatika memudahkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain
khususnya dalam hubungan hukum antara para pihak tersebut. Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai
dampak baik dampak positif maupun dampak yang negatif. Salah satu
hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini antara lain adalah
teknologi dunia maya yang dikenal dengan istilah internet.
Kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang dikenal dengan
istilah Electronic Commerce yaitu suatu kegiatan yang banyak dilakukan
oleh setiap orang, karena transaksi jual beli secara elektronik ini dapat
mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu sehingga seseorang dapat
melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang dimanapun dan
kapanpun. Hubungan hukum menggunakan sarana informatika dilakukan
dalam bentuk transaksi elektronik yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(selanjutnya disingkat UUITE).
Transaksi elektronik menurut Pasal 1 angka 2 UU ITE adalah
“perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
2
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Transaksi yang
berarti adanya suatu hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan
akibat hukum antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan
menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media
elektronik lainnya. Transaksi tersebut menggunakan sarana komputer,
jaringan komputer dan atau media elektronik. Komputer yaitu alat untuk
memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang
melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”.
Transaksi diartikan sebagai persetujuan jual beli yang
menggunakan sarana elektronika berupa komputer, karena sebagaimana
Pasal 17 ayat (1) UUITE, bahwa “Penyelenggaraan Transaksi Elektronik
dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat..”. Dalam lingkup
hukum privat hubungan para pihak didasarkan atas perjanjian,
sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Sifat terbuka dari
KUH Perdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
mengandung asas Kebebasan Berkontrak, maksudnya setiap orang
bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
kesusilaan dan ketertiban umum, serta selalu memperhatikan syarat
sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Di atas telah disinggung bahwa transaksi secara elektronik ini
lingkupnya secara nasional maupun internasional. Transaksi elektronik
yang mendasarkan tikad baik para pihak, nampaknya banyak para
pengusaha asing yang masih meragukan itikad baik orang-orang
Indonesia, sehingga perlu adanya suatu tatanan hukum yang jelas
mengatur mengenai transaksi elektronik.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di
Indonesia?
2. Bagaimana upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi
elektronik ?
Metode Penulisan
1. Pendekatan Masalah
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis
normatif maksudnya pembahasan permasalahan yang ada kemudian
disinkronkan dengan peraturan perundang-undangan tentang transaksi
secara elektronik, dan dikaji dengan literatur yang ada. Hal ini
didasarkan karena penelitian ini bersifat yuridis normatif, dengan
pendekatan melalui perundang-undangan.
2. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang merupakan dasar yang digunakan untuk
mengkaji permasalahan, yang bersifat mengikat, dalam hal ini
adalah :
3
1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4843.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang digunakan untuk
menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku literatur maupun
artikel - artikel yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum yang memberikan penjelasan maupun memberikan
petunjuk mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
PEMBAHASAN
A. PENGATURAN HUKUM TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK DI
INDONESIA
1. Transaksi Elektronik
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 UUITE bahwa
transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya”. Transaksi menggunakan sartana elektronik dapat dilakukan
dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat sesuai dengan Pasal 17
ayat (1) UUITE. Pada pembahasan berikutnya materinya dibatasi
transaksi elektronik dalam lingkup hukum privat. Di dalam transaksi
elektronik antara pihak-pihak hanya mengandalkan itikad baik, karena
memang transaksi elektronik dikenal di dunia maya yang tidak saling
mempertemukan antara pihak-pihak yang bertransaksi sesuai dengan
Pasal 17 ayat (2) UUITE yang menentukan bahwa para pihak yang
melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan
interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik selama transaksi berlangsung.
Jual beli adalah perjanjian, yang berarti perjanjian sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 1313 KUH Perdata adalah "suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih". Subekti mengartikan perjanjian adalah "suatu peristiwa di
mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal".2
Perjanjian jual beli agar mempunyai kekuatan mengikat terhadap
kedua belah pihak, maka harus dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya
perjanjian. Syarat sahnya perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
2
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 1.
4
Perkataan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sebagaimana
Pasal 1338 KUH Perdata di atas, mengandung maksud bahwa buku III
KUH Perdata menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya bahwa:
“Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum
atau tidak diatur dalam undang-undang. Walaupun berlaku asas ini,
kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang
oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum”.3
Perjanjian jika dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka
perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata
sepakat mengenai hal-hal yang pokok, demikian halnya dengan perjanjian
jual beli sesuai dengan ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata. Dalam
rangka menghindari kemungkinan terjadinya sengketa akibat peralihan
hak atas tanah, peralihan hak atas tanah perlu dibuat dalam bentuk
perjanjian. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 1338 alinea pertama
KUH Perdata.
Hal tersebut di atas berarti bahwa para pihak dalam membuat
perjanjian harus didasarkan atas kemauan yang bebas sebagai
perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak
menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai
berikut:4
a. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
c. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian
yang akan dibuatnya;
d. kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
e. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. kebebasan untuk menerimas atau menyimpangi ketentyuan
undang-undang yang bersifat opsional.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa dalam transaksi elektronik khususnya hukum privat
dasar yang digunakan adalah aturan-aturan dalam KUH Perdata terutama
Buku III tentang Perikatan. Pada perikatan ini menganut asas kebebasan
berkontrak, maksudnya pihak-pihak diberi kebebasan dalam membuat
perjanjian atau transaksi asalkan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum maupun kesusilaan.
2. Bukti Dalam Transaksi Elektronik
3Abdulkadir
Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
, h. 84.
4 Sutan Remy
Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut
Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h. 47.
5
Membahas mengenai transaksi elektronik tidak lepas dari
membahas mengenai alat bukti, karena dalam transaksi elektronik belum
secara keseluruhannya dapat digunakan sebagai alat bukti sah terjadinya
hubungan hukum para pihak.
Perihal alat bukti sah, diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata, yang
menentukan sebagai berikut:
Alat pembuktian meliputi:
a. bukti tertulis;
b. bukti saksi;
c. persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Akta menurut Pitlo yaitu “surat yang ditandatangani, diperbuat
untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk
keperluan siapa surat itu dibuat”.5 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta
adalah “surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.6 Dengan demikian akta
merupakan surat, yang ditandatangani, memuat peristiwa-peristiwa
perbuatan hukum dan digunakan sebagai pembuktian. Bagi Subekti, akta
berlainan dengan surat, dengan menjelaskan bahwa kata-kata akta bukan
berarti surat, melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal
dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti “perbuatan”. 7 Tanda
tangan dalam suatu akta merupakan suatu hal yang mutlak, karena dalam
KUH Perdata, diakui surat yang bertanda tangan, sedangkan surat yang
tidak bertanda tangan, tidak diakui, karena tidak dapat diketahui siapa
penulisnya. Pentingnya ada/keberadaan tanda tangan oleh karena
dengan adanya tanda tangan berarti orang yang menanda tangani
mengetahui isi dari akta tersebut, sehingga dengan demikian orang
tersebut terikat dengan isi dari akta tersebut.8 Hal ini berarti bahwa yang
dimaksud dengan akta adalah:
1) perbuatan handeling/perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah
pengertian yang luas, dan
5Pitlo
(Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, 1986, h. 52.
6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1979, h. 106.
7Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, h. 29.
8http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1736.
Jusuf
Patrianto Tjahjono, Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai
Kekuatan Pembuktian yang Sempurna, Diakses tanggal 25 September 2010.
6
2) suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti
perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan
kepada pembuktian sesuatu.9
Dengan demikian fungsi akta bagi pihak-pihak adalah:
1) syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum,
2) alat pembuktian, dan
3) alat pembuktian satu-satunya.10
Akta termasuk sebagai salah satu bukti tertulis, yang dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu:
1. surat yang berbentuk akta;
2. surat-surat lain, uang bukan berbentuk akta.11
Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam memberikan
pengertian akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan
hukum yang dibuat oleh pihak-pihak. Perbuatan hukum tersebut
diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan yang digunakan sebagai bukti
telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan suatu perbuatan
hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat
meskipun dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan
adanya perbuatan hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut
sebagai akta, tetapi hanya surat biasa.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat dapat
disebut sebagai akta, adalah sebagai berikut:
1) surat itu harus ditandatangani;
2) surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
sesuatu hak atau perikatan, dan
3) surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.12
Surat itu harus ditandatangani, dimaksudkan untuk mengetahui
pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum yang tandatangannya
dibubuhkan dalam surat tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah pihak yang membubuhkan tandatangan tersebut mempunyai
kekuasaan untuk itu, yang sejalan dengan ketentuan Pasal 1869 KUH
Perdata, ditentukan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau
tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena cacat dalam bentuknya,
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika surat tersebut
ditandatangani oleh para pihak. Jadi jika suatu akta tersebut adalah akta,
namun karena sesuatu hal, misalnya cacat bentuk atau sebab lain yang
berakibat cacatnya akta, maka meskipun akta tersebut otentik otomatis
menjadi akta di bawah tangan bagi pihak-pihak yang menanda tangani
9Victor
M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam
Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1993, h. 26.
10Pitlo, Op. cit., h. 54.
11Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta
Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989, h. 271.
12Victor M. Situmorang, op. cit., h. 26-28.
7
akta tersebut.13 Dijelaskan lebih lanjut oleh Victor M. Situmorang, bahwa
suatu surat dapat disebut sebagai akta harus ditanda tangani, sehingga
jika tidak ditandatangani oleh pembuatnya, maka surat itu bukan
merupakan akta.14 Hal ini sesuai pula dengan pendapat Hamzah, bahwa
pembubuhan tanda tangan terhadap sebuah akta merupakan suatu
kewajiban atau keharusan yang mutlak, oleh karena di samping tanda
tangan tersebut yang dapat membedakannya dengan surat-surat dalam
bentuk di luar akta, seperti halnya karcis kereta api, resi dan sebagainya,
juga untuk memberikan ciri atas pembuat akta yang dimaksud.15
Penandatanganan pada surat tersebut dengan tujuan untuk memberi ciri
atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab tandatangan dari
setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang tidak mungkin sama dengan
tandatangan orang lain.
Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hal
atas perikatan, maksudnya bahwa surat itu harus berisikan sesuatu
keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan oleh para pihak
yang menandatanganinya. Mengenai maksud pencantuman peristiwa
hukum yang termuat dalam surat tersebut haruslah merupakan peristiwa
hukum yang menjadi dasar adanya perikatan. Oleh karena itu jika dalam
surat tersebut tidak termuat dasar perikatan, maka tidak dapat disebut
sebagai akta, sebab itu tidak mungkin digunakan sebagai alat bukti telah
terjadinya suatu perikatan.
Surat itu diperuntukkan sebagai bukti, maksudnya bahwa surat
tersebut harus digunakan sebagai bukti jika dipersengketakan di depan
pengadilan, sehingga jika tulisan atau akta tersebut dibuat tidak digunakan
sebagai bukti, maka surat tersebut tidak dapat disebut sebagai akta.
Surat digunakan sebagai alat bukti hak, yang dimaksud adalah
bahwa setiap orang yang merasa haknya dilanggar, maka yang
bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa memang haknya
dilanggar. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata,
bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak,
atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak
orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa dasar hukum dibuatnya suatu akta adalah kesepakatan
antara pihak-pihak yang membuatnya dan dijadikan bukti dipersidangan
jika disengketakan (Pasal 1866 KUH Perdata) yang diwujudkan dalam
bentuk tanda tangan sebagai tanda sepakat mengenai hubungan hukum
kedua belah pihak. Sebagai bukti maksudnya bukti antara pihak-pihak
tersebut telah sepakat dalam suatu perbuatan hukum dengan
ditandatanganinya suatu akta tersebut.
13Ibid.
14Ibid.
15
Hamzah, Loc. Cit.
8
B.
UPAYA HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA
TRANSAKSI ELEKTRONIK
1. Kerugian Yang Timbul Dalam Transaksi Elektronik
TENTANG
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 ayat (1) UUITE bahwa
“Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik
mengikat para pihak”, yang berarti bahwa apabila salah satu pihak tidak
memenuhi kesepakatan yang terjadi dalam transaksi elektronik tersebut
yang berakibat timbulnya kerugian, maka pihak yang dirugikan akibat
transaksi elektronik berhak untuk mengajukan gugatan ganti kerugian.
Perihal gugatan ganti kerugian pada umumnya terjadi karena
adanya ingkar janji atau wanprestasi dan karena adanya perbuatan
melanggar hukum atau onrechtmatige daad. Gugatan ganti rugi atas
dasar “wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah
ditetapkan dalam perikatan”.16 Gugatan atas dasar wanprestasi diawali
dengan tidak dipenuhinya suatu kewajiban yang timbul dari suatu
perjanjian. Ganti rugi yang didasarkan atas suatu perjanjian, di mana
salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban yang didasarkan atas
perjanjian dapat dikatakan ingkar janji atau wanprestasi
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perjanjian yang dibuat
oleh pihak-pihak mengikat pada saat kedua belah pihak mencapai kata
sepakat mengenai hal-hal pokok yang dijanjikan. Dengan tercapainya kata
sepakat maka untuk tahap berikutnya yaitu pelaksanaan perjanjian
tersebut.
Pelaksanaan perjanjian merupakan hakikat dari perjanjian itu
sendiri, maksudnya bahwa setiap perjanjian dibuat tentunya mempunyai
maksud tertentu untuk dilaksanakannya. Mengenai pelaksanaan
perjanjian ini, Riduan Syahrani mengemukakan: “Melaksanakan perjanjian
berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa yang merupakan
kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh karena itu
melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain”.17
Pelaksanaan perjanjian, timbul pada saat perjanjian tersebut
mengikat kedua belah pihak, yaitu sejak saat tercapainya kata sepakat
mengenai hal-hal yang pokok antara kedua belah pihak yang disebut
dengan konsensus..18 Dengan tercapainya kata sepakat, maka
menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang disebut juga
dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai
“kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan”. 19
Prestasi merupakan kewajiban, yang berarti kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para pihak yang membuat perjanjian sebagai pelaksanaan
16Abdulkadir
Muhammad, Op. cit., h. 20.
Syahrani, Op. cit., h. 257.
18Subekti, Op. cit., h. 23.
19Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., h. 17.
17Riduan
9
dari perjanjian tersebut. Kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian
menurut Pasal 1234 KUH Perdata yang menentukan bahwa “tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa wujud prestasi dalam
suatu perjanjian adalah untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu. Dalam hubungannya asuransi bentuk
prestasinya berupa berbuat sesuatu, yaitu melakukan perbuatan yang
tidak sesuai yang telah diperjanjikan bersama.
Di atas telah disebutkan bahwa salah satu unsur wanprestasi
adalah berakibat merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Yahya Harahap sebagai berikut: “Jika wanprestasi itu
benar-benar menimbulkan kerugian kepada kreditur, maka debitur wajib
mengganti kerugian yang timbul. Namun untuk itu harus ada hubungan
sebab akibat atau kausal verband antara wanprestasi dengan kerugian. 20
Dengan demikian seseorang yang wanprestasi memberikan hak
kepada pihak lain yang dirugikannya untuk menggugat ganti kerugian.
Mengenai bentuk ganti kerugian, Pasal 1246 KUH Perdata menentukan
bahwa “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan
penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya
dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya,…”.
Gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum,
diawali pada mulanya perbuatan melawan hukum hanya ditujukan pada
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang - undangan
yang berlaku saja. Namun setelah tahun 1919, yang dipelopori oleh
Pengadilan Tertinggi di Negeri Belanda (putusan Hoge Raad tanggal 31
Januari 1919). Istilah “onrechtmatige daad“ ditafsirkan secara luas,
sehingga meliputi pula suatu perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup
masyarakat.
Berdasarkan Arrest Hoge Raad 1919, suatu perbuatan melawan
hukum, jika :
1. melanggar hak orang lain;
2. bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku;
3. bertentangan dengan kesusilaan;
4. bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu-lintas
masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
Gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum diatur
dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menentukan: “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
menggantikan kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, di
dalamnya terkandung unsur-unsur :
a. Perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad);
20
Yahya Harahap, Op. cit., h. 65.
10
b. Harus ada kesalahan;
c. Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.21
Apabila memperhatikan uraian di atas menunjukkan bahwa pelaku
usaha jika melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur pasal
1365 KUH Perdata, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban berupa
ganti rugi. Perihal ganti rugi dalam perbuatan melanggar hukum, menurut
yurisprudensi “kerugian yang timbul karena perbuatan melanggar hukum,
ketentuannya sama dengan ketentuan kerugian yang timbul karena
wanprestasi dalam perjanjian. Ketentuan tersebut diperlakukan secara
analogi”22. Kerugian atas dasar wanprestasi bentuknya berupa biaya, rugi
dan bunga sesuai dengan pasal 1246 KUH Perdata, sebagaimana yang
telah dikutip di atas.
2. Penyelesaian Sengketa yang Timbul Dalam Transaksi Elektronik
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4) dan ayat
(5) UU ITE menentukan sebagai berikut:
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi
Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang
dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional
Memperhatikan uraian sebagaimana pasal 18 UUITE di atas dapat
dijelaskan bahwa jika dalam transaksi elektronik timbul suatu sengketa
maka instansi yang menyelesaikannya tergantung pada keinginan para
pihak, di mana para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum
yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya,
apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum maka, hukum yang
berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
21Abdulkadir
22
Muhammad, Op. cit., h. 142.
Abdulkadir Muhammad, op. Cit., h. 146.
11
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum telah mengetahui
yaitu memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga
penyelesaian sengketa alternatif banyak menjadi pilihan di antaranya
melalui arbitrase, sehingga dalam pembahasan berikutnya materi
penyelesaian secara arbitrase.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU No.
30 Tahun 1999). Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat
dikemukakan dari definisi perjanjian arbitrase, di antaranya:
a. perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
b. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
c. perjanjian perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk
menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan
umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak
cukup hanya pada lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja,
karena jika dengan putusan peradilan tingkat pertama tersebut terdapat
pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan upaya hukum pada
peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada Pengadilan Tinggi.
Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu pihak
merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya
hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu
pihak merasa keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat
kasasi, dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali pada
Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian tentunya penyelesaian
melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama, tentunya
juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa
para pedagang pada umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun
lamanya. Keadaan ini dirasakan di semua negara. Tetapi lebih-lebih lagi
dalam keadaan sistem peradilan di negara kita. Di Indonesia sekarang ini
bisa rata-rata berlangsung tidak kurang dari 8-9 tahun. Tentunya banyak
biaya yang harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan
dengan kekuatan pasti (enforceable), artinya dapat dijalankan melalui
eksekusi.23
Penyelesaian melalui jalur lembaga peradilan, selain memakan
waktu cukup lama yang dilanjutkan dengan banyaknya tenaga dan biaya
yang dikeluarkan oleh pihak-pihak berperkara. Penyelesaian melalui jalur
hukum, pada prinsipnya yang digunakan sebagai dasar pertimbangan
pengambilan keputusan adalah hukum nasional negara Indonesia. Kondisi
yang demikian tentunya kurang menguntungkan bagi pihak-pihak yang
bersengeka di mana salah satu pihaknya adalah dari negara asing. Inilah
23
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, (selanjutnya
disingkat Sudargo Gautama 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 2-3.
12
yang merupakan salah satu kendala yang muncul dalam kaitannya
dengan dunia perdagangan, karena menurutnya kurang adanya
perlindungan dan kepastian hukum khususnya bagi negara yang sedang
berkembang sebagaimana di Indonesia.
Dengan kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui
lembaga arbitrase mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan
dengan penyelesaian melalui jalur peradilan umum. Kelebihan tersebut di
antaranya adalah:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran
dan administrasi;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempu-nyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup menge-nai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk
menyelesaikan
masalahnya
serta
proses
dan
tempat
penyelenggaraan arbitrase;
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun
lang-sung dapat dilaksanakan.24
Arbitrase merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak
alternatif forum penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk
dalam model penyelesaian sengketa yang bersifat non ligitigasi (out of
court dispute settlement). Selain arbitrase, terdapat pula berbagai
alternatif penyelesaian sengketa dagang secara non litigasi, antara lain
meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebagainya. Di antara
berbagai model penyelesaian sengketa non litigasi tersebut, maka
arbitrase yang memiliki ciri tersendiri yang tergolong unik. Di satu pihak,
arbitrase termasuk sebagai model non litigasi, oleh karena menyangkut
penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga peradilan atas dasar
kesukarelaan para pihak. Para pihak yang bersengketa memiliki otonomi
luas (party autonomie) dalam dan menentukan forum, aturan, prosedur,
arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kehendak
bersama para pihak. Termasuk adanya prinsip “private and confidential”
yang merupakan ciri yang paling litigasi. Dipihak lain, putusan yang telah
dihasilkan melalui proses arbitrase bersifat final dan mengikat (final and
binding) sehingga putusannya dimungkinkan untuk dilaksanakan
sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan (enforceable).
Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan
penyelesaian sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang
bersengketa. Selain dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan
putusan arbitrase melalui lembaga peradilan memberikan efek kepastian
hukum kepada pihak yang bersengketa.
24
Periksa Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999.
13
Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa hakekat
perjanjian arbitrase ialah untuk menyelesaikan suatu permasalahan
hubungan keperdataan yang diusahakan di luar sidang pengadilan (non
litigasi). Penyelesaian di luar peradilan umum tersebut untuk menghindari
penyelesaian yang memakan waktu, biaya dan tenaga dan lebih utama
adalah dengan penyelesaian secara arbitrase dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia khususnya
liungkup hukum privat didasarkan atas ketentuan dalam Buku III KUH
Perdata tentang Perikatan yang menganut asas terbuka atau
kebebasan berkontrak, maksudnya memberikan kebebasan kepada
pihak-pihak dalam membuat perjanjian asalkan ada kata sepakat,
cakap bertindak dalam hukum, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal. Dalam transaksi elektronik dituntut adanya itikad baik para pihak
yang membuat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata. Perjanjian itu sendiri terjadi pada saat kedua belah pihak
mencapai kata sepakat mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan.
2. Upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik
didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak mengenai pilihan
hukum dan lembaga yang menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Sebagaimana umumnya bahwa perselisihan dalam transaksi terjadi
karena adanya kerugian yang diderita oleh salah satu pihak baik karena
adanya wanprestasi maupun karena adanya perbuatan melanggar
hukum. Penyelesaian melalui lembaga peradilan umum selalu dihindari,
karena memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit.
Penyelesaian lebih dipilih melalui mengginakan arbitrase dengan
berbagai keistimewaannya salah satu di antaranya tidak memakan
waktu, biaya dan tenaga bila dibandingkan dengan penyelesaian
melalui peradilan umum.
2. Saran
1. Pengaturan hukum tentang transaksi elektronik di Indonesia, agar
dunia internasional percaya dalam bertransaksi elektronik dengan
orang atau pengusaha Indonesia, untuk itu perlu dipertegas mengenai
aturan hukum yang menjadi dasar transaksi elektronik di Indonesia.
2. Upaya hukum penyelesaian sengketa tentang transaksi elektronik lebih
memilih melalui lembaga arbitrase, untuk itu agar hukum Indonesia
yang dipilih dan lembaga arbitrase Indonesia yang ditunjuk untuk
menyelesaikan sengketa, hendaknya
dalam memutus perkara
keadilan perlu mendapat perhatian.
14
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - buku
Gautama, Sudargo, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999.
Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum
Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun
IV, Oktober, 1989.
Khairandy, Ridwan, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I,
Ghama Media, Yogyakarta, 1999.
Kusumawati, Lanny, Hukum Kontrak (Versi Common Law), Laros,
Sidoarjo.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1979.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003.
Mulyadi, Kartini, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.
Pitlo (Alih Bahasa M. Isa Arief), Pembuktian dan Daluwarsa Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa,
Jakarta, 1986.
Prodjodikor,oWirjono, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur
Bandung, 1991.
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam
Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta1993.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di
Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004.
15
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Bandung:Alumni, 1992.
Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung, 1989.
Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht,
Terjemahan Adiwimarta, Gajahmada, Yogyakarta, 1962.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
C. Situs Internet
http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/1736,
Akta
Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis yang Mempunyai Kekuatan
Pembuktian yang Sempurna, Tanggal 25 September 2010.
http://khotibwriteinc.blogspot.com, Penyelesaian
Arbitrase, Tanggal 25 September 2010.
Sengketa
melalui
Download