Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern Alamsyah ∗ Abstrak Otoritas Sunnah Nabi harus selalu dipahami secara dinamis dan hidup. Ketika Sunnah Nabi diartikan sebagai ijtihad Nabi dalam menerapkan wahyu absolut ke tengah kehidupan yang relatif, maka mengikuti Sunnah Nabi menjadi kekuatan yang otoritatif dalam mendorong dinamika kemajuan, inspirasi dan inovasi. Namun jika dimaknai secara harfiyah, maka Sunnah Nabi muncul sebagai unsur otoriter yang memasung gerak kemajuan umat. Oleh karena situasi dan kondisi dunia modern telah jauh berubah, maka otoritas Sunnah Nabi tidak lagi bersifat mengikat, harus diamalkan secara rigid dan terpaku pada bentuk produknya, tetapi harus ditekankan untuk mengikuti metodologi dan substansinya. Dengan demikian, argumen-argumen yang didasarkan atas konteks historis Sunnah Nabi masa lalu tidak dapat lagi dijadikan pembenaran untuk menerapkan hukuman atau ajaran diskriminatif pada masa sekarang. Kata kunci: otoritas, sunnah Nabi, modern, kontekstual. A. Pendahuluan Sunnah Nabi memiliki otoritas yang tinggi dan istimewa di kalangan umat Islam. Otoritas dimaksud adalah kekuatannya sebagai dalil hukum (hujjiyat) dan wewenang untuk dipatuhi atau ditaati pada setiap waktu dan tempat. Ketika Sunnah Nabi dipahami secara tepat, maka ia akan menjadi kekuatan yang sangat otoritatif dalam membawa kemajuan. Namun jika kandungan ajarannya disalahpahami atau pesannya keliru ditafsirkan, maka Sunnah Nabi dapat menjelma sebagai alat otoriter yang memaksa atau membungkam pihak lawan sehingga ajarannya dapat membawa kepada kemunduran. Dengan otoritas besar tersebut, Sunnah Nabi pernah secara de facto menjadi rujukan utama umat Islam dalam merancang bangun doktrin-doktrin keagamaan, baik hukum, teologi, spiritual dan lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kalangan muslim masa awal pernah menjadikan Sunnah Nabi, dan bukan al-Qur’ān, sebagai referensi pertama. Bahkan latar belakang munculnya beragam firqah dan mazhab pada masa awal Islam pun banyak bersumber dari pemahaman atas Sunnah, baik dengan pemahaman yang mendekati obyektif maupun ∗ Fakultas Syari’ah dan Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 1042 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern sengaja disimpangkan. Setidaknya, mereka lebih banyak berargumen pada teks Sunnah. Otoritas besar yang dimiliki oleh Sunnah Nabi ini disebabkan oleh karakter unik yang melekat padanya, bahkan jika dibandingkan dengan sumber-sumber ajaran Islam lainnya. Karakter unik dimaksud ialah ajarannya yang bersifat praktis (‘amali), detil (tafsili) dan komplit (syumuli). Sunnah Nabi memuat ajaran-ajaran praktis karena berisi berbagai aturan kehidupan dan kebiasaan sehari-hari, selain itu juga memuat aturan detil karena mengatur hal-hal yang bersifat teknis untuk menjabarkan prinsipprinsip umum dalam al-Qur’an, sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan. Sunnah Nabi juga menjadi ajaran yang komplit dan lengkap karena mengatur berbagai persoalan, mulai dari masalah sederhana pribadi dan keluarga sampai kepada masalah besar strategis seperti suksesi kepala negara. Sunnah Nabi pun tidak hanya mengatur persoalan hukum, tetapi juga mengatur persoalan moral, ekonomi, teologi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Singkatnya, Sunnah Nabi menjadi sumber tertulis yang paling banyak dirujuk dan siap pakai. Sunnah Nabi yang termuat dalam teks hadis banyak dijadikan rujukan utama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sebelum merujuk kepada kekuatan akal. Para ulama tafsir (mufassir) menggali ajaran-ajaran Sunnah Nabi lebih dahulu untuk mengetahui makna dan tujuan al-Qur’an, karena perilaku dan perkataan Nabi diyakini merupakan penjelasan dan penjabaran paling valid, tepat dan kredibel terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka tidak mengherankan jika kedudukan Sunnah Nabi di kalangan ulama sangat otoritatif dalam menjelaskan maksud dan makna al-Qur’an. Sunnah yang dapat menentukan salah atau benarnya sebuah penafsiran al-Qur’an. Kebenaran suatu tafsir diukur dan diseleksi berdasarkan keterangan Sunnah, jika sesuai maka dapat diterima dan dinilai benar, namun jika berbeda maka harus ditolak. Maksud al-Qur’an hanya dapat dipahami dengan bantuan Sunnah (seperti riwayat tentang asbab al-nuzul). Dengan demikian, lalu dirumuskan qaidah al-Sunnah qadhiyah ‘ala al-Qur’an (Sunnah yang menentukan makna al-Qur’an).1 Umat harus tunduk lebih dulu kepada atsar dan naql dan baru kemudian boleh menoleh kepada ra’yu dan ‘aqal. Dengan otoritas dan karakter di atas, maka tidak mengherankan pula jika ilmu yang pertama kali berkembang pesat dan menjadi primadona 1Musfir ‘Azm Allah al-Damini, Maqayis fi Naqd Mutun al-Sunnah, disertasi tidak diterbitkan pada Universitas Umm al-Qura, (Mekkah: tp., 1991), p. 5. Karakter Sunnah demikian telah dimanfaatkan oleh kalangan tidak bertanggungjawab untuk kepentingan sendiri, seperti melakukan tindakan pemalsuan Sunnah dengan mengatasnamakan Nabi s.a.w. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern 1043 masa awal adalah ilmu hadis yang mengkaji tentang keotentikan Sunnah Nabi. Namun, bersamaan dengan masuknya umat Islam ke dalam dunia modern, maka otoritas Sunnah Nabi mendapat tantangan berat. Persoalan otoritas Sunnah, baik berupa konsep, makna maupun fungsi, harus direkonstruksi. Tujuan rekonstruksi ini tidak lain adalah agar Sunnah Nabi tetap hadir saat ini membawa makna relevan dalam kemajuan peradaban dan fungsi signifikan dalam membawa kemaslahatan manusia. B. Sunnah Nabi di Tengah Tantangan Modernitas Kajian dan penerapan hadis Nabi pada era modern menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Masalah dalam kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid. Karakter Sunnah Nabi yang bersifat praktis (‘amali), detil (tafsili) dan komplit (syumuli), telah ditafsirkan secara sederhana dan taken for granted sebagai ajaran yang final dan tuntas. Ada pula anggapan bahwa Sunnah Nabi tidak harus dikaji secara obyektif dan tidak perlu dipahami secara ilmiah dengan pendekatan-pendekatan sains modern. Akibatnya, kajian Sunnah nabi sulit berkembang dan posisinya tidak mampu mendorong kreatifitas dan semangat inovasi di setiap waktu dan tempat (salih li kulli zaman wa makan). Kajian Sunnah Nabi pada era kejayaan eradaban Islam klasik, yang terfokus pada kajian teks hadis, merupakan ilmu yang dianggap paling awal berkembang dan mencapai puncak kematangan. Metode ilmiah pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru ditemukan dalam ilmu hadis atau Sunnah karena di dalamnya telah dipadukan epistemologi bayani dan burhani dengan struktur pemikiran deduksi dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam logika empiris ilmu sejarah, maka kajian Sunnah banyak menghasilkan temuan-temuan baru yang orisinal dan dinamis. Pada saat seperti inilah muncul dialektika keilmuan dan suasana kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan tetapi juga dalam ranah keseharian umat Islam. Karya masterpiece imam al-Bukhari berupa kitab Sahih al-Bukhari sangat dihargai dan dihormati, namun hal ini tidak mengurangi ilmuan lain seperti Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan al-Daruqutni, mengkajinya secara obyektif, bahkan mengkritiknya. Dampak dialektika ini luar biasa, maka ilmu hadis menjadi ilmu paling "siap" dan dinamis saat itu. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 1044 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern Pada era kerasulan, segala persoalan yang muncul dan dihadapi oleh umat Islam dapat segera dicarikan solusi jawabannya melalui sosok bijak Nabi s.a.w., baik dengan bantuan wahyu maupun ijtihad pribadinya. Bahkan segala sesuatu yang melekat, diucapkan atau dilakukan oleh beliau seolah memiliki daya kekuatan yang mampu meredam persoalan praksis yang terjadi, walaupun solusi itu mungkin sifatnya hanya lokal dan temporer. Pasca era kenabian, penyebaran umat Islam semakin meluas dan persoalan baru terus bermunculan. Oleh karena itu, maka di kalangan generasi ini muncul kreatifitas untuk melakukan pemahaman ulang atas tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh Nabi s.a.w. dan yang masih hidup dalam masyarakat. Sunnah Nabi dipahami dengan sangat dinamis. Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab merupakan contoh pioner terdepan dalam upaya pemahaman ulang Sunnah Nabi dengan menggunakan intelektualnya, berani mengemukakan gagasan dan melakukan tindakan inovatif yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi s.a.w. Banyak ide atau tindakannya yang sepintas lalu tidak berjalan atau bahkan bertentangan dengan ajaran harfiyah dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Memasuki era modern, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, namun di sisi lain berada dalam posisi inferior dengan berbagai sebab-sebab kemundurannya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia. Umat Islam di lingkungan masyarakat global tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Sebagian hadis masih mengajarkan faham yang cenderung kurang demokratis, jauh dari pluralisme, dan sebagiannya bertentangan dengan hak-hak asasi manusia modern. Dunia modern lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Nilai-nilai ajaran Sunnah ditantang untuk memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal. Oleh karena itu, pola ketergantungan kepada Sunnah Nabi harus diubah dari pemahaman normatif kepada pemahaman substansial. Ajarannya secara tekstual tidak mampu lagi memberikan jawaban memuaskan dan relevan terhadap persoalan yang berkembang dan terus bermunculan dalam masyarakat. Ajaran dalam Sunnah Nabi, bagaimanapun juga, dikonstruksi untuk menjawab masalah yang muncul pada masanya, maka wajar pula jika Sunnah tersebut dibangun di atas dasar paradigma zamannya. Sunnah Nabi seharusnya lebih mudah dan lebih berpeluang untuk dikontekstualisasi. Hal ini didasari bahwa secara epistemologis Sunnah Nabi merupakan produk ijtihad berupa dialektika antara wahyu dan realitas yang relevansinya relatif (nisbi). Secara historis, SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern 1045 Sunnah Nabi merupakan sumber ajaran Islam pertama yang dipahami dan diaplikasikan secara beragam (kontekstual) terutama di kalangan sahabat. Agar kajian Sunnah Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona, maka teks hadis yang memuat Sunnah harus dipahami secara dinamis agar memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan Sunnah Nabi di dunia modern harus dikembangkan sesuai tuntutan konteks kekinian. C. Memahami Epistemologi Sunnah Nabi Ajaran Sunnah dalam hadis yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi modern. Persoalan bagaimana batas dan daya mengikatnya terus dikaji dan berkembang di kalangan ulama. Kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum Islam memang sudah disepakati umat Islam. Mayoritas para ahli hadis dan fuqaha’ klasik sepakat bahwa Sunnah Nabi adalah wahyu dari Allah s.w.t., setidaknya sebagai wahyu yang khafi (tersembunyi) dan ghair matluw (tidak bernilai ibadah), untuk membedakan dari al-Qur’an sebagai wahyu matluw dan jaliy. Dalam konsep ulama era klasik, keterikatan dengan Sunnah Nabi adalah pada teks dan konteks. Keterikatan ini cukup beragam, ada yang ekstrim sebagaimana dipelopori golongan Zahiriyah, maupun moderat seperti yang digunakan oleh kalangan Malikiya, Syafi’iyah dan Hanafiyah. Seharusnya, dua aspek Sunnah Nabi (metode nabi dan contoh prakteknya) dipelajari seimbang, namun ulama masa lalu lebih mengkaji aspek praktik yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansikomprehensif, sehingga kajian Sunnah Nabi lebih terfokus mendalami berita tentang nabi dalam berbagai bentuknya: ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Akibatnya, Sunnah Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan seperti hadis, yaitu “semua yang berasal/disandarkan kepada Nabi s.a.w. baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan semisalnya”. Padahal hadis hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi. Oleh karena itu, pendekatan berbagai keilmuan baik sosial maupun kealaman sangat diperlukan dalam memahami hadis pada saat ini, termasuk pendekatan hermeneutika yang bagi sebagian orang dianggap “haram”. Dengan semakin integratif pola mengkaji suatu persoalan, maka semakin kecil peluang kekeliruan dan semakin besar kesempatan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 1046 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern menemukan kebenaran. Jika memang pendekatan multidisipliner dan interdisipliner yang harus dilalui, maka cara pemahaman hadis yang tepat untuk itu tidak lain adalah metode kontekstual dan bukan pemahaman harfiyah-tekstual. Pencarian substansi Sunnah Nabi inilah yang telah dilakukan umat Islam generasi awal (salaf) dan yang telah membawa mereka kepada kesuksesan dalam membangun peradaban, sains, ilmu keagamaan, sosial dan budaya. Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah terjadi sejak masa awal Islam. Ketika para sahabat pulang dari peperangan, maka Nabi s.a.w. berpesan agar jangan ada sahabatnya yang salat Zuhur (sebagian riwayat menyatakan salat ‘Asar) di perjalanan kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizah. Sebagian sahabat memang melakukannya, namun sebagian lainnya tetap salat di tengah perjalanan. Nabi s.a.w. ternyata tetap membenarkan kedua kelompok sahabatnya. Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan politis yang semakin kompleks, maka ‘Umar ibn al-Khatthab harus melakukan terobosan baru dalam membuat kebijakan dengan tetap berpedoman kepada Sunnah Nabi. Saat itu wilayah Islam semakin luas, keuangan negara melimpah, populasi meningkat yang diikuti penyempitan wilayah pertanian, di samping terjadi pertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru. Dalam situasi demikian, maka ‘Umar ibn al-Khatthab tidak memberikan tanah rampasan perang kepada pasukan muslim, padahal praktek di zaman Nabi s.a.w. adalah diberikan. ‘Umat juga tidak menjatuhkan hukuman hadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya karena krisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hak zakat kepada mu’allaf.2 ‘Umar bukan meninggalkan Sunnah Nabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan Sunnah Nabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepat sesuai dengan tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun secara lahiriah seolah ‘Umar telah meninggalkan Sunnah Nabi, namun pada substansinya beliau tetap mengaktualkan ruh dan misi Nabi s.a.w., yaitu menegakkan keadilan sosial. Imam al-Qarafi, ulama besar abad tengah (w. 684 H/1254 M) memperkenalkan empat tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaitu posisi Nabi sebagai: (1) sebagai seorang Nabi, (2) sebagai seorang mufti, (3) sebagai seorang hakim, dan (4) sebagai seorang kepala negara.3 Setelah Rasul wafat, maka para mufti menggantikan posisinya sebagai mufti, para qadi menggantikannya sebagai hakim, dan para khalifah menggantikannnya 2Malik ibn Anas, al-Muwaththa’, Juz II, (Kairo: Dar al-Saqafah, 1951), p. 776. al-Din al-Qarafi, Kitab al-Furuq, juz I, (Kairo: Dar al-Ma’rifah, t.t.), pp. 3Syihab 105-208. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern 1047 sebagai kepala negara. Dalam model pemahaman ini, efek hukum yang ditimbulkan dari suatu hadis tergantung kepada situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut, yakni apakah sebagai putusan hukum dan pengadilan yang mengikat, atau sebagai fatwa yang tidak mengikat, atau sebagai tindakan politis dari kebijakan suatu kepala pemerintahan.4 Menurut konsep al-Qarafi ini, jika suatu hadis yang mengandung perintah atau larangan akan dijadikan dalil atau hujjah atas suatu kasus hukum, maka yang harus dilihat lebih dahulu adalah “apakah perintah atau larangan itu bersifat mengikat atau tidak?”. Jika hadis tersebut disampaikan dalam kapasitas sebagai seorang mufti, maka larangan dimaksud tidak mengikat, sebab hadis tersebut hanya merupakan opini atau pandangan. Jika suatu hadis dikeluarkan dalam kapasitas beliau sebagai seorang hakim, dan keputusannya merupakan sebuah produk hukum, maka hadis tersebut bisa mengikat. Model pemahaman yang dikemukakannya, jika diterapkan dengan konsisten, dapat menimbulkan implikasi besar dan dinamis dalam penerapan hukum Islam. Gagasan baru al-Qarafi dalam memahami Sunnah ternyata didukung oleh ulama lain pada era ini bernama Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H).5 Tokoh lain abad pertengahan yang menawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan otoritas Sunnah Nabi adalah Abu Ishak al-Syatibi (w. 790 H/1388 M), dengan konsep al-Qur’an berfungsi sebagai ta’sil sedangkan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsil, sehingga melahirkan Maqasid al-Syari’ah. 6 Memasuki era modern, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan sosial budaya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan Hak Asasi Manusia. Dalam lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Sunnah dalam hadis yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi modern. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi 4al-Qarafi, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa min al-Ahkam, (Haleb: al-Ashil, t.t.), pp. 86- 109. 5Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 422. al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 6.Lihat p. 7. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 1048 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Selama ini, Sunnah Nabi hanya dilihat dari aspek praktis atau produk saja, sehingga Sunnah Nabi hanya didefinisikan sebagai bentuk dari ucapan atau perbuatan atau sikap tertentu dari Nabi s.a.w. Akibatnya, ketika Sunnah Nabi dipahami untuk diamalkan, maka yang muncul adalah pemahaman dan pengamalan secara lahiriah, tekstual dan tidak pernah ada perubahan walaupun tuntutan keadaan dan perubahan waktu terus terjadi. Seharusnya, kemunculan suatu Sunnah Nabi lebih dilihat dari aspek metodenya sebagai ijtihad, bukan hasilnya. Untuk itu, Syahrur menyatakan Sunnah Nabi harus didefinisikan sebagai“Ijtihād Nabi dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat di dalam Umm al-Kitab, baik berupa hudud, ibadah, dan akhlak, dengan memperhatikan realitas obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara hudud atau langsung mengambil hudud yang telah ada, atau membuat ĥudūd sementara jika tidak ada di dalam al-Qur’an”.7 Beberapa karakter Sunnah Nabi dari batasan tersebut adalah: (1) Sunnah Nabi adalah metode Nabi s.a.w. yang bersifat deduktif dalam melaksanakan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sebagai Sunnah Nabi bukan teks, tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi s.a.w. sehari-hari yang bersifat harfiyah, sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk (syakl atau form) ekspresi atau perwujudan yang bersifat praktis dari pola pikir atau paradigma Sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihad beliau sendiri. Ekspresi dan ungkapan tersebut dapat selalu berubah-ubah, sementara pola dan paradigma pemikiran lebih bersifat tetap. (2) Oleh karena Sunnah Nabi adalah metodenya dalam berijtihad, maka makna “mengikuti Sunnah Nabi” atau “mengikuti teladan (uswah) Nabi” tidak lain adalah mengikuti metode (manhaj) ijtihadnya dan mewujudkan substansi dari tujuan Sunnah itu sendiri,8 dan bukan mengikuti segala ucapan atau perbuatannya sehari-hari yang bersifat harfiyah, formal dan verbal. Mengikuti Sunnahnya dan “uswah hasanah”nya (3) Sunnah Nabi selalu terbuka untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi, sehingga penerapannya mudah dan ringan. Nabi s.a.w. telah berijtihād dalam menerapkan hudud yang terdapat di dalam alQur’an atau berijtihad membuat aturan sementara bagi masalah yang tidak ada hudud-nya dalam al-Qur’an, sehingga apa yang telah 7Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’asirah, (Damaskus: Dar alAhali lit Thiba’ah, 1991), p. 549. 8Muhammad Syahrur, Nahw Ushul al-Jadidah lil Fiqh al-Islami, (Damskus: Al-Ahali, 1992), p. 106. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern 1049 ditetapkan dan dilakukan oleh beliau di Jazirah Arab abad ke -7 M hanya merupakan alternatif pilihan pertama (al-ihtimal al-awwal) dalam menegakkan ajaran Islam untuk pada periode historis tertentu. Oleh karena itu, apa-apa yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Nabi s.a.w. pada saat itu bukan satu-satunya (al-wahid) pilihan dan tidak pula sebagai putusan terakhir (al-akhir), walaupun beliau merupakan penutup para Nabi dan rasul. Apa yang telah beliau lakukan tidak lain adalah dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan dan kenabian sampai hari kiamat. (4) Yusuf al-Qaradawi juga mengemukakan beberapa prinsip dalam memahami hadis, yaitu: (a) Ada sunnah yang berlaku general universal (tasyri’iyah muabbadah) dan ada yang hanya berlaku lokal temporal (tasyri’iyah muaqqatah); (b) Sunnah Nabi yang berdasarkan ’illat (sebab) khusus dan temporer; (c) Ada Sunnah Nabi yang didasarkan atas tradisi temporal. Jika tradisi lokal telah berubah maka ketentuan dalam sunnah tersebut dapat berubah pula; (d) Sunnah dalam posisi Nabi sebagai pemimpin (imam) dan bukan sebagai muballigh; (e) Sunnah untuk situasi atau komunitas yang khāss, sehingga ajaran dalam hadis tersebut tidak berlaku untuk semua orang; (f) Sunnah yang bermakna hakiki dan majazi (kiasan); (g) Sunnah untuk peristiwa tertentu dan dalam posisi Nabi sebagai hakim. Ketentuan dalam hadis ini bersikap mengikat.9 D. Membangun Pemahaman Sunnah Nabi yang Otoritatif Memahami semua kebijakan nabi secara tepat, sempurna, final, tidak salah, apapun dan bagaimanapun, adalah suatu keharusan namun teknik pengamalannya boleh beda dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Metode ta’wil misalnya ditempuh oleh Muhammad Syahrur dalam penafsiran hadis tentang makanan dan minuman dengan produksi dalam negeri, sedangkan metode tekstual dilakukan oleh sebagian muslim, khususnya ahli hadis, yang lebih mementingkan bentuk dan cara dari pada isi atau substansi. Beberapa contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual, antara lain adalah tentang ketentuan mahram bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan, hubungan antar umat beragama, dan hukuman mati bagi orang murtad. Hadis pertama menyatakan: 9Yusuf al-Qarañawi, Sunnah Masdar lil Ma’rifah wal Hadharah, (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1995), p. 92. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 1050 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern Artinya: “Janganlah perempuan itu bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram yang mendampinginya”.10 Hadis ini intinya melarang perempuan bepergian kecuali bersama mahram. Munculnya larangan Nabi s.a.w. tersebut harus dipahami latar belakangnya, yakni ketika situasi perjalanan tidak aman seperti perjalanan sendirian di tengah padang pasir. Namun, ketika situasi sudah aman dan perjalanan tidak ada gangguan, maka ketentuan tersebut tentunya tidak berlaku lagi, sehingga hal yang semula dilarang oleh Nabi s.a.w. dapat berubah menjadi kebolehan. Pemahaman serupa juga dapat diterapkan terhadap hadis yang memerintahkan agar melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum Yahudi dan Nasrani. Hadis dimaksud menyatakan: Artinya: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemua salah seorang mereka di jalan maka 11 desaklah mereka ke jalan yang paling sempit”. Sikap Rasul yang keras terhadap orang Yahudi dan Nasrani ketika itu dapat dimaklumi, karena saat itu hubungan antara umat Islam dan Yahudi serta Nasrani sangat panas penuh dengan kecurigaan dan permusuhan. Namun, ketika Rasul berhadapan dengan non muslim (zimmi) atau Ahlul Kitab yang baik maka beliau juga memperlakukan dengan penuh hormat, toleran dan melindungi. Dengan demikian, ketentuan diskriminatif terhadap nonmuslim tidak berlaku selamanya, melainkan hanya untuk situasi khusus dan golongan tertentu. Pada saat umat Islam dan umat lainnya di Indonesia harus membangun hubungan baik, toleran dan saling melindungi, maka sikap dan perilaku yang harus dikembangkan antara umat beragama tentunya adalah saling menghormati dan menghargai dengan perlakuan yang setara dan sederajat, tidak ada perlakuan diskriminatif yang merugikan. Dalam dunia modern saat ini, hukum pidana Islam harus dibangun atas dasar hubungan harmonis antarumat manusia, dan paradigma kemanusiaan serta kesetaraaan, sehingga tidak dibenarkan ada sikap dan prilaku intimidasi, pemaksaan atau diskriminasi. Dalam konteks ini, maka hadis yang memerintahkan agar orang murtad (pindah agama) dihukum mati, harus diterapkan dalam konteks pengkhianatan. Hadis dimaksud adalah: Artinya: "Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia".12 10Riwayat Muslim dan Sahih Muslim dengan hadis nomor 2381. dengan nomor hadis 4030. 12Riwayat al-Bukhari dalam Sahih-nya dengan nomor 2794. 11Ibid., SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern 1051 Secara harfiah, maka setiap orang murtad harus dihukum mati. Sebenarnya hukuman mati atau sanksi hukuman apapun hanya dapat dijatuhkan atas mereka yang dalam murtadnya memang telah melakukan kejahatan, seperti pembunuhan, perampokan, pengkhianatan terhadap negara, misalnya dengan cara memberikan rahasia kelemahan kepada pihak musuh. Konteks inilah yang terjadi pada zaman Nabi di mana saat itu antara umat Islam dan non muslim berada dalam situasi peperangan dan permusuhan terus menerus. Seorang muslim yang kembali kepada musyrik lalu membocorkan rahasia kekuatan dan kelemahan umat Islam kepada kaum musyrik Mekah saat itu. Pada era kenabian, loyalitas seseorang kepada Islam, kepada Nabi s.a.w., dan pemerintahan di Madinah, memang ditandai dengan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu, orang yang keluar dari iman berarti ia tidak loyal lagi kepada Islam, kepada Nabi dan pemerintahan Madinah. Orang yang dalam murtadnya tidak melakukan kejahatan atau tindak pidana lainnya, maka tidak dapat dikenakan hukuman dalam bentuk apapun. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip al-Qur’an yang menegaskan tidak boleh ada paksaan dalam agama. Mereka yang pindah agama karena memang dilatarbelakangi oleh kemauan, kesadaran dan keyakinan baru harus dihargai kebebasannya. Sebagai makhluk Allah s.w.t., setiap orang diciptakan secara sempurna, serta diberikan akal dan hati untuk memilih secara sadar sesuai dengan hati nurani dan keyakinannya. Ia diberikan harkat dan martabat, memiliki hak hidup, hak beragama, berkeyakinan, berkepercayaan, serta beribadah sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya. Tidak seorangpun boleh mencabut hak-hak mendasar tersebut kecuali jika ia melakukan kejahatan dan dijatuhi hukuman secara konstitusional yang membatasi hak-hak hidupnya. Esensi munculnya perintah hukuman mati dalam hadis Nabi s.a.w. bukan karena perbuatan murtad oleh seseorang pada waktu itu melainkan karena tindak kejahatan yang dilakukan setelah melakukan perbuatan murtad. Beberapa ayat al-Qur’an secara prinsipil tegas-tegas menjamin hakhak setiap orang untuk memilih agama yang diyakininya, tanpa ada paksaan sedikitpun (laa ikraah fi al-din). Hadis yang mengancam hukuman mati atas orang murtad harus dibaca secara kritis, sebab ajaran dalam hadis itu bukan berlaku umum tetapi berlaku khusus sebab ia muncul dengan sebab-sebab tertentu (sabab wurud al-hadis). Kesimpulan di atas juga diperkuat oleh hadis dalam riwayat al-Nasa’i yang menyatakan “Ada sekelompok orang datang mengahadap nabi, di antaranya ada yang sakit, lalu diobati SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 1052 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern dan sembuh, namun kemudian mereka merampok unta nabi dan membunuh pengembalanya. Mereka lalu ditangkap dan dihukum bunuh”.13 Dalam riwayat imam Ahmad dinyatakan bahwa hukuman mati tersebut dijatuhkan atas kaum zindik yang memang membahayakan bagi umat Islam.14 Zindik adalah orang-orang yang berpura-pura menjadi muslim namun sebenarnya ingin menghancurkan Islam dari dalam karena mereka menyimpan dendam dan kebencian mendalam terhadap umat Islam yang telah menghancurkan atau meruntuhkan kerajaan mereka yang telah berdiri berabad-abad sebelumnya. Kaum zindik ini misalnya ada yang berasal dari Persia sebagai bagian sisa-sisa Imperium Persia klasik. Kalaupun dalam sejarah umat Islam pernah terjadi pemaksaan agama terhadap kelompok tertentu, maka itu hanya kasus akibat perpolitikan yang terjadi saat itu dan bukan berasal dari ajaran Islam yang murni. Oleh karena banyak pengaruh dari politik maka pemaksaan ataupun hukuman mati yang dijatuhkan terhadap mereka yang pindah agama bukan hanya terjadi di kalangan umat Islam, melainkan juga banyak terjadi di kalangan umat beragama lain di Eropa pada abad tengah. Sebagai contoh terkenal adalah munculnya Pengadilan Inkuisisi, yaitu hukuman mati atau pengusiran atas orang Yahudi dan Muslim Spanyol yang tidak mau berpindah menjadi Katolik. Orang yang berganti agama tidak bisa lagi diartikan sebagai berganti loyalitas kenegaraannya atau telah mengkhianati Islam. E. Penutup Fakta-fakta menunjukkan Sunnah Nabi telah menjadi kekuatan dinamis umat Islam masa klasik, dan kekuatannya sangat otoritatif dalam memberi motivasi, inovasi dan spirit. Oleh karena situasi dan kondisi dunia modern telah jauh berubah maka otoritas Sunnah Nabi tidak lagi bersifat otoriter yang memaksa harus diamalkan secara harfiyah kapan saja dan di manapun. Demikian pula argumen-argumen yang didasarkan atas konteks historis masa lalu tidak dapat lagi dijadikan pembenaran untuk menerapkan hukuman diskriminatif pada masa sekarang.15 13 Riwayat al-Nasa’i dalam Kitab Sunan-nya dengan nomor hadis 3962. Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya nomor 2430. 15Ibid. 14 SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010 Alamsyah: Otoritas Sunnah Nabi sebagai Sumber Hukum Islam di Dunia Modern 1053 Daftar Pustaka Abu Zahwa, Muhammad, al-Hadis wal Muhaddisun, Beirut: Dar al-Fikr, alAl-Arabi, 1984. Abu Zaid, Nasr Hamid, Teks dan Kritik Otoritas Kebenaran, Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2005. al-Adlabi, Muhammad Salah al-Din, Manhaj Naqd Mutun al-Sunnah, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidh, 1991. al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1975. Ali, Nizar, Metode dan Pendekatan dalam Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Cesad YPA al-Rahmah, 2001 al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, Beirut: Dar al-Fikr, 1995. al-Qaradawi, Yusuf, al-Sunnah Masdar li al-Ma’rifah wa al-Hadarah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1997. al-Qarafi, Syihab al-Din, Kitab al-Furuq, Kairo: Dar al-Ma’rifah, . al-Qusyairi, Muslim bin Hajajaj, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1975. al-Syatibi, Abu Ishak, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1987. _______, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Dar alSyuruq, 1992. Anas, Ibn Malik, al-Muwaththa’, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1951. Brown, Daniel W, Rethinking Tradition in Islamic Modern World, Cambridge: Cambridge Iniversity Press, 1991 Syahrur, Muhammad, NahwUshul al-Jadidah lil Fiqh al-Islami, Damaskus: AlAhali, 1992. Wensinc, A.J, Miftah Kunuz al-Sunnah, edisi terjemahan dalam bahasa Arab oleh Ahmad Muhammad Syakir, Pakistan: Dar Turjuman al-Sunnah, 1952. Wensinc, A.J, Mu’jam al-Mufahras li Alfaž al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, Leiden: Penerbit E.J. Brill, 1932. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010