II TINJAUAN PUSTAKA A. Geologi Regional Geologi regional

advertisement
4
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Geologi Regional
Geologi regional daerah penelitian termasuk dalam Geologi Lembar:
Buton Sulawesi Tenggara skala 1:250.000. keadaan umum daerah penelitian
sebagian besar merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 m
sampai 700 m di atas permukaan laut serta mempunyai kemiringan lereng yang
sangat terjal. (N. Sikumbang, P. Sanyoto, R.J.B. Supandjono & S. Gafoer, 1995).
Gambar 1. Peta Geologi Lembar Buton, Sulawesi Tenggara (N. Sikumbang,
1995).
1. Geomorfologi
Sikumbang dan Sanyoto (1981) membagi morfologi Buton menjadi lima
satuan, yaitu dataran rendah, karst, perbukitan bergelombang dengan puncak
5
membulat, perbukitan dengan lereng dan puncak yang tajam, dan pegunungan.
Dataran rendah umumnya memiliki ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan
laut terdapat di daerah pesisir timur Buton yang dibentuk oleh endapan sungai,
pantai dan rawa. Morfologi karst dapat terlihat dengan jelas yang ditandai dengan
undak-undak batugamping pada pantai purba dan tebing yang terjal. Morfologi ini
mempunyai kemiringan lapisan yang landai antara 50 – 150.
Topografi perbukitan mendominasi hampir di keseluruhan Pulau Buton,
yang menempati bagian tengah dan selatan, berketinggian antara 100 – 400 meter
di atas permukaan laut. Perbukitan umumnya berupa perbukitan tajam dan
setempat berupa perbukitan landai. Topografi perbukitan ditempati oleh berbagai
macam batuan sedimen Pra Tersier seperti batugamping (Formasi Tondo, Formasi
Rumu, dan Formasi Tobelo) dan serpih serta batuan ultrabasa yang umumnya
membentuk topografi tajam yang dipotong oleh sungai-sungai yang bermuara ke
laut di sekeliling Pulau Buton.
Perbukitan bergelombang di Pulau Buton umumnya disusun oleh napal dari
Formasi Sampolakosa. Sedangkan perbukitan dengan lereng dan puncak tajam
dibentuk oleh sedimen klastik halus – kasar yang berasal dari Formasi Tondo.
2. Stratigrafi
Stratigrafi regional pulau Buton menurut Davidson (1991) dibagi menjadi
empat fase peristiwa tektonik/sedimentologi yaitu sedimentasi ”Pre-Rift”,
sedimentasi ”Rift-Drift”, sedimentasi ”Syn- and Post-Orogenic”, dan sedimentasi
”Recent Orogenic” .
6
a. Sedimentasi ”Pre-Rift”
Sedimentasi ”Pre-Rift” mencakup batuan metamorfik Doole berumur
awal Trias, Formasi Winto berumur Trias Tengah, dan Formasi Ogena berumur
Jura Akhir (Davidson, 1991).
Formasi Doole, Stratigrafi Buton dimulai dari batuan paling tua dari
Formasi Doole yang terdiri dari batupasir, batulanau, batusabak dan filit yang
berasal dari erosi batuan granit dan metamorf (Tanjung dkk., 2007). Formasi
Winto berumur Trias berada diatas Formasi Doole yang terdiri dari sedimen
klastik, terutama serpih. Diatas Formasi Winto di endapkan Formasi Ogena
berumur Jura Akhir yang terdiri dari endapan serpih dan karbonat laut dalam.
Serpih dari Formasi Winto dan Ogena mengandung banyak material organik, yang
dapat dijadikan sebagai sumber hidrokarbon.
Formasi Winto, terdiri dari batulempung, serpih, batupasir litik,
konglomerat, dan batugamping mikrit kristalin berukuran halus. Umur dari
Formasi ini diperkirakan mulai dari Trias Tengah–Trias Akhir (Tanjung dkk.,
2007).
Formasi Ogena, secara stratigrafi batuan Formasi Winto ditutupi oleh
Formasi Ogena. Kontaknya diperkirakan selaras pada sumur Sampolakosa-1S
(Davidson, 1991). Litologinya terdiri dari batugamping kalsilutit berlapis baik dan
interkalasi serpih tipis. Formasi Ogena berumur Jura Awal dan merupakan
endapan laut dalam.
7
b. Sedimentasi ”Rift-Drift”
Sedimentasi ”Rift-Drift” (Davidson, 1991) mencakup Formasi Rumu
berumur Jura Akhir, Formasi Tobelo berumur Kapur hingga Oligosen, dan
batugamping alas Formasi Tondo berumur Miosen. Karbonat laut dalam
mendominasi sikuen ini. Formasi Tobelo yang berumur Kapur atas terdiri dari
rijang merah yang kadang hadir sebagai sisipan maupun nodul.
Formasi Rumu, di Buton Selatan, diinterpretasikan mengendap tidak
selaras diatas Formasi Ogena (Tanjung dkk., 2007). Formasi ini terdiri dari tiga
litologi yang berbeda, yaitu kalsilutit berwarna merah muda yang mengandung
rijang,
batulempung
abu-abu
pucat
yang
mengandung
belemnites
dan
skeletalwackestones. Hal ini menunjukkan bahwa Formasi Rumu diendapkan
pada lingkungan laut dangkal. Di Buton Utara, Formasi Rumu tidak dijumpai,
kemungkinannya penyebaran Formasi ini terbatas atau merupakan fasies yang
ekivalen dengan suksesi dari Formasi Ogena.
Formasi Tobelo, Formasi termuda pada sekuen sedimen Pra-Neogen ialah
Formasi Tobelo. Umur batuannya diperkirakan dari Kapur Bawah sampai
Oligosen (Davidson, 1991). Litologinya berupa batugamping masif atau berlapis
dengan lensa-lensa atau nodul rijang. Batugampingnya mikritik, terekristalisasi,
sangat banyak uraturat kalsit dan stilolit. Conto batuan yang diambil untuk
analisis paleontology tidak mengandung fauna, kemungkinan akibat telah
terjadinya rekristalisasi. Kemungkinan Formasi Tobelo diendapkan pada
lingkungan Neritik–Batial (Davidson, 1991).
8
Anggota batugamping dari Formasi Tondo terdiri dari batugamping massif
dan batugamping mikrit yang diendapkan pada lingkungan neritik luar (Tanjung
dkk., 2007). Anggota batugamping dari Formasi Tondo ini sangat jarang
ditemukan pada daerah Buton Selatan.
c. Sedimentasi “Syn” dan “Post Orogenik”
Sedimen Syn-Orogenic dan Post-Orogenic terjadi pada Formasi Miosen
Tondo dan Formasi Pliosen Sampolakosa. Klastik Tondo berasal dari erosi lapisan
Pra-Miosen selama tumbukan Buton dan Muna/Sulawesi Tenggara yang terjadi
pada Miosen Awal-Tengah. Fasies klastik halus diinterpretasikan sebagai turbidit
distal, dan diatasnya diendapkan fasies klastik kasar secara selaras. Litologi yang
dominan adalah konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung, dan napal.
Formasi Tondo, kelompok Tondo dapat dibagi menjadi dua fasies dominan
(Tanjung dkk., 2007), yaitu fasies klastik kasar dan fasies klastik halus. Fasies
klastik kasar Formasi Tondo diendapkan tidak selaras di atas Anggota
Batugamping Formasi Tondo (Tanjung dkk., 2007). Fasies klastik kasar ini terdiri
dari konglomerat dan batupasir litik. Batugamping dan rijang banyak ditemukan
sebagai fragmen padakonglomerat maupun batupasir litik.
Fasies klastik kasar Formasi Tondo terdiri dari konglomerat dan batupasir
litik berbutir medium sampai kasar. Fasies ini di interpretasi sebagai himpunan
kipas turbidit laut dalam yang fragmennya berasal dari erosi batuan yang lebih tua
yaitu sedimen Pra-Neogen dan batuan ofiolit. Di Buton Selatan, sekuen tersebut
diperkirakan memiliki kisaran umur dari Miosen Awal (N3/N4) sampai awal.
9
Miosen Akhir (N15/N16) (Davidson, 1991). Fasies klastik halus Formasi
Tondo di interpretasi sebagai endapan turbidit distal. Litologi dominannya berupa
batulempung, batulanau dan batupasir. Semua sedimen ini berlaminasi tipis dan
mengandung lapisan tipis karbonan serta hancuran tumbuhan. Batupasirnya
berbutir halus dan tersemen baik dengan kalsit ataupun dolomit. Foraminifera
planktonik sangat banyak ditemukan dan menunjukkan suatu pendalaman gradual
selama pengendapan di neritik luar sampai batial atas pada Miosen Akhir
(Davidson, 1991).
Formasi Sampolakosa, terdiri dari napal dan batugamping kalkarenit.
Formasi ini memiliki kisaran umur dari Miosen Akhir sampai Pliosen Akhir
(Tanjung dkk., 2007). Litologi dari formasi ini terdiri dari napal, batugamping
kalkarenit, dan batugamping terumbu. Kontak dengan Formasi Tondo berupa
ketidak selarasan (Tanjung dkk., 2007). Napal dari formasi ini di interpretasikan
terendapkan
pada
lingkungan
laut
dalam,
namun
lapisan
kalkarenit
memperlihatkan lingkungan pengendapan laut dangkal (Tanjung dkk., 2007).
d. Sedimentasi “Recent Orogenic”
Formasi Wapulaka, berumur Pliosen Akhir-Pleistosen dan terdiri dari
batugamping bioklastik yang terkarstifikasi intensif, tersementasi buruk, dan
sering membentuk teras-teras. Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik
dalam (Tanjung dkk., 2007).
Ofiolit, singkapan terbesar batuan ofiolit ini terdapat di perbukitan
Kapantoreh Buton Selatan. Batuannya terutama berupa serpentinit, gabro dan
dolerit. Dan keberadaannya diatas sekuen Pra-Neogen di interpretasi akibat proses
10
tektonikyang terjadi pada saat terjadi kolisi. Batuan ofiolit yang dianalisa
menggunakan Radiometri diperkirakan memiliki rentang umur 7.88 juta tahun
lalu. sampai 2.27 juta tahun lalu (Davidson, 1991).
Gambar 2.
Kolom Stratigrafi Regional (modifikasi dari Davidson, 1991).
3. Struktur Geologi
Stuktur geologi adalah suatu struktur atau kondisi yang ada di suatu daerah
sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan pada batuan oleh proses tektonik
atau proses lainnya. Dengan terjadinya proses tektonik, maka batuan maupun
kerak bumi akan berubah susunannya dari keadaan semula.
Buton dianggap sebagai suatu pecahan dari benua Australia-New Guinea
sama halnya dengan busur kepulauan Banda lainnya (Gambar 3). Anggapan ini
diperoleh dari adanya kesamaan pada kandungan fosil yang berumur Mesozoik,
11
stratigrafi sebelum terjadi pemisahan, dan waktu pemisahan dengan busur
kepulauan Banda lainnya.
Sejarah tektonik dan stratigrafi dari kebanyakan pulau di busur Banda
dicirikan oleh beberapa kejadian yang sama. Ini termasuk peristiwa pre-rift
dengan pengendapan sedimen kontinen pada half graben, peristiwa rifting yang
dicirikan oleh uplift, erosi, dan vulkanisme yang terlokalisir, peristiwa drifting
yang dicirikan oleh penurunan dan pengendapan sedimen laut, dan peristiwa
tumbukan Neogen.
Gambar 3. Busur Kepulauan Banda yang merupakan fragmen dari Australia.
(Sumber: Daly dkk., 1987)
Pada awalnya Buton dipercaya terdiri dari 2 buah lempeng mikro-kontinen
yang terpisah. Lempeng pertama mencakup bagian timur Pulau Buton dan Pulau
Tukang Besi dan lempeng kedua mencakup bagian barat Pulau Buton dan Pulau
12
Muna (Hamilton, 1979 op.cit Davidson, 1991). Namun dengan data geologi dan
geofisika terbaru, dipercaya daerah Buton terdiri dari 3 buah lempeng mikro
kontinen yang terdiri dari Pulau Buton, Muna/SE Sulawesi, dan Tukang Besi,
yang terlibat dalam suatu tumbukan ganda.
Sejarah tektonik dan stratigrafi di Pulau Buton kurang lebih sama dengan
busur kepulauan Banda lainnya. Menurut Davidson (1991), Pulau Buton
dipengaruhi oleh 4 peristiwa tektonik (Gambar 4), yaitu:
Gambar 4. Busur Kepulauan Banda yang merupakan fragmen dari Australia.
(Sumber: Daly dkk., 1987)
1. Masa pre-rift pada Permian sampai Akhir Trias ketika Pulau Buton masih
menjadi bagian dari Australia
2. Masa rift-drift ketika Pulau Buton mulai memisahkan diri dari
Australiadan menuju timurlaut pada Trias Akhir sampai Oligosen .
13
3. Masa deformasi. pembentukan cekungan dan pengisian cekungan
(synpostorogenic) pada Miosen Awal sampai Pliosen yang diawali
dengantumbukan Pulau Buton dengan Pulau Muna (Sulawesi Tenggara)
4. Masa deformasi yang lebih muda (recent orogenic) pada Pliosen
sampaisekarang yang dimulai dengan Tumbukan Pulau Buton dengan
PulauTukangbesi.
Efek tumbukan Pulau Buton – Muna/Sulawesi Tenggara terekam pertama
kali di selatan Buton pada Miosen Awal (N3) dimana sikuen sesar anjakan dan
lipatan terbentuk. Klastik Syn-Orogenic diendapakan pada cekungan Neogen
sebagai akibat dari sesar anjakan berarah timur dan erosi dari pengangkatan
lapisan yang berumur Trias hingga Oligosen. Subduksi, kompresi, dan deformasi
berlanjut hingga Miosen Tengah (N11) di bagian selatan. Hal ini mengakibatkan
pengangkatan, erosi klastik Syn-Orogenic Miosen Awal, dan pembentukan ketidak
selarasan
regional.
Tumbukan
Buton-Muna/Sulawesi
Tenggara
tidak
mempengaruhi Buton utara hingga Miosen Tengah (Davidson, 1991).
B. Batuan Karbonat
1. Pengertian
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih
dari 50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau
karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Reijers & Hsu, 2009). Sementara itu,
(Bates & Jackson, 1987) mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang
komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari
50 %. Sedangkan batugamping menurut definisi (Reijers & Hsu, 2009) adalah
batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95 %, sehingga tidak semua
14
batuan karbonat adalah batugamping, namun batugamping merupakan bagian
darikelompok batuan karbonat.
Objek dari penelitian adalah Formasi Baturaja, selain karena potensinya
yang cukup baik sebagai batuan reservoar, Formasi Baturaja memiliki fenomena
sembulan karbonat. Pada tahun 1929 dilakukan geologi survey dan pada tahun
1938 dilakukan gravimetri survey diikuti dengan pemboran sumur oleh BPM yang
menghasilkan gas pada batugamping, Formasi Baturaja (Pertamina BPPKA,
2012). Pada tahun 1983, HAPCO melakukan eksplorasi pada Formasi Baturaja,
lalu diikuti dengan pemboran beberapa sumur, diantaranya menghasilkan minyak
(Djuanda, 1985), (Susilowati dan Suyoto,2009).
2. Genesa Batuan Karbonat
Batuan karbonat terbentuk melalui proses biologis, biokimia dan
presipitasi anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan (Scoffin, 1987).
Menurut (Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan laut dangkal,
dimana pada lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan material asal daratan.
Hal inimemungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya koral, ganggang,
bryozoa,dan
sebagainya.
Cangkang-cangkang
dari
organisme
tersebut
mengandung mineral aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral kalsit.
Proses pembentukan batuan karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut
relative dangkal. Hal ini dapat terjadi bila ada keseimbangan antara pertumbuhan
organisme dan penurunan dasar laut tempat terbentuknya batuan tersebut,
sehingga dapat menghasilkan batuan karbonat yang tebal. Sementara menurut
(Landes, 1959), selain dipengaruhi oleh lingkungan laut dangkal dan tanpa adanya
15
pengendapan material asal daratan, pembentukan batuan karbonat membutuhkan
lingkungan pengendapan dengan syarat-syarat khusus sebagai berikut: (Landes,
1959).
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Dasar laut yang relatif datar dan stabil.
Kedalaman laut yang dangkal.
Suhu air yang relatif hangat (± 38° C).
Ombak yang tidak begitu besar
Tidak ada arus yang besar dan kuat.
Kegaraman air laut sekitar 13% (permil).
Gambar 5. Ilustrasi Kondisi Ideal Pembentukan Batuan Karbonat (James &
Bourque, 1992 dalam Rizqi Amelia Melati, 2011)
Syarat-syarat kondisi yang ideal untuk pembentukan batuan karbonat
antara lainsebagai berikut: (James & Bourque, 1992 dalam Rizqi Amelia Melati,
2011).
a. Jernih
Batuan karbonat dihasilkan dari sekresi organisme laut dan presipitasi
dariair laut secara kimiawi. Hal ini mengandung arti bahwa pembentukan batuan
karbonat
juga
tergantung
pada
organisme.
Sementara
organisme
laut
16
membutuhkan kondisi laut yang jernih agar sinar matahari dapat masuk tanpa
terganggu.
b. Dangkal
Dangkal disini diartikan sebagai batas sinar matahari dapat masuk ke laut.
Batas ini sering disebut zona fotik yaitu zona yang dapat ditembus oleh matahari
sebagai syarat utama untuk melakukan proses fotosintesis oleh organisme. Batas
kedalaman yang harus diperhatikan adalah carbonate compensation depth
(CCD) yaitu batas kedalaman untuk mineral karbonat terendapkan.
c. Hangat
Organisme karbonat biasanya hidup pada temperatur ± 36° C. Kondisi
yanghangat ini berhubungan dengan syarat kedalaman yang masib bisa ditembus
oleh sinar matahari.
d. Salinitas
Batuan karbonat memiliki kisaran salinitas antara 22% - 40% namun
terbentuk pada kisaran 25% - 35%. Oleh sebab itu, lingkungan laut merupakan
kondisi dengan salinitas yang relatif tinggi sehingga batuan karbonat dapat
terbentuk dengan baik.
3. Mineral Utama Penyusun Batuan Karbonat
Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan Tucker dan Wright (1990)
mengungkapkan bahwa mineral karbonat yang penting menyusun batuan karbonat
adalah aragonit (CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Selain
mineral utama tersebut beberapa mineral sering pula dijumpai dalam batuan
karbonat yaitu magnesit (Mg CO3), Rhodochrosite (MnCO3) dan siderit (Fe CO3).
Tabel 1. Sifat Petrografis Mineral Pembentuk Batuan Karbonat (Flügel, 1982)
Aragonite
Calcite
calcite)
(Low-Mg MgCalcite
(High-Mg
Calcite)
Dolomite
17
Rumus kimia
Sisitem
Kristal
Trace elemen
yang umum
Mol%
MgCO3
Indeks
refraksi
ganda
Berat jenis
Kekerasan
Knampakan
Kristal
pembentuka
n
CaCO3
Rhombik
CaCO3
CaCO3
Hexagonal (rhombohedral)crystal
Sr,Ba,Pb, K Mg, Fe, Mn, Zn, Cu
-
<4
>4 s/d >20
CaMg(CO3)2
Trigonal
Fe, Mn, Zn,
Cu
40-50
0,155
0,172
0,177
2,94
3,5-4
Umumnya
dalam
bentuk
acicular
(fibrous)
micrite
Dominan
pada
lingkungan
laut
dangkal
2,72
3
Sering dalam bentuk Micrite,
isometric
(spany sering
calcite) micrite
dalam
bentuk
acicular
(fibrous)
Dominan pada
Dominan
lingkungan laut
pada
dalam, umunya pada lingkungan
lingkungan air tawar laut
dangkal
2,86
3,5-4
Sering dalam
bentuk
isometric
(spany
dolomite)
micrite
Utamanya
pada
lingkungan
laut sangat
dangkal
(transisi)
Jenis mineral yang umum dijumpai tersebut mempunyai karakteristik yang
tidak jauh berbeda seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas. Walaupun
ketiganya umum dijumpai pada batuan karbonat namun yang paling umum adalah
kalsit khususnya untuk batuan-batuan tua. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan atau diagenesa dimana mineral aragonit cenderung berubah menjadi
kalsit.
Tabel 2. Komposisi Kimia dan Mineral Karbonat yang Umum Dijumpai (Sam
Boggs,1978)
MINERAL
aragonit
Kalsit
RUMUS KIMIA
CaCo3
CaCo3
SISTEM KRISTAL
Orthorombik
Heksagonal(rombohedral
18
Dolomit
CuMg(CO3)2
Magnesit
MgCo3
Ankerit
Ca(FeMg)(CO3)2
siderit
FeCo3
)
Heksagonal(rombohedral
)
Heksagonal(rombohedral
)
Heksagonal(rombohedral
)
Heksagonal(rombohedral
)
Ketiga mineral utama tersebut mempunyai lingkungan pembentukan
tersendiri. Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan yang mempunyai
temperatur tinggi dengan penyinaran matahari yang cukup, sehingga batuan
karbonat yang tersusun oleh komponen dengan mineral aragonit merupakan
produk laut dangkal dengan kedalaman sekitar 2000 meter, namun perkembangan
maksimum adalah hingga kedalaman 200 meter. Sedangkan mineral kalsit
merupakan mineral yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan kulit bumi.
Mineral kalsit tersebut masih bisa ditemukan hingga kedalam laut mencapai 4500
meter.
Dolomit adalah mineral karbonat yang stabil dalam air laut dan dekat
permukaan. Dolomit menurut sebagian ahli merupakan batuan karbonat yang
terbentuk oleh hasil diagenesa batuan yang telah ada. Dengan demikian maka
dolomit hanya umum dijumpai pada daerah evaporasi atau transisi.
Wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada
kedalaman sekitar 600 meter disebut lysocline dan pada kedalaman sekitar 2000
meter merupakan zona dimana aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai
Aragonite Compensation Depth (ACD). Sedangkan mineral kalsit mulai melarut
19
pada kedalaman sekitar 3000 meter dan pada kedalaman sekitar 4200 meter tidak
ditemukan lagi mineral karbonat atau disebut Calcite Compensation depth (CCD).
Terjadinya perbedaan tersebut tidak hanya terjadi oleh karena perbedaan
sinar matahari yang bisa masuk tetapi juga disebabkan oleh temperatur air laut,
kandungan Mg2+, saturasi dari konsentrasi (CO3)2- serta fisiologi biotanya
(Tucker dan Wright, 1990).
4. Komposisi Penyusun Batuan Karbonat
Pada umumnya, selain mengandung mineral karbonat dalam jumlah yang
sangat melimpah seperti aragonite, kalsit, dolomit, magnesit dan siderit, batuan
karbonat juga memiliki 2 komponen penyusun utama, yaitu:
a. Material yang diendapkan di tempat (in situ) langsung dari larutan
danberfungsi sebagai semen (sparit).
b. Material yang ditransport ke tempat pengendapan dalam keadaan padat
(exsitu). Material ini dibagi menjadi dua berdasarkan ukurannya yaitu
material yang berukuran lempung atau lanau disebut sebagai lumpur karbonat
(mikrit/matrik karbonat) serta material yang berukuran pasir atau lebih besar
disebut butir atau partikel.
Penyusun batugamping menurut Tucker (1991), komponen penyusun
batugamping dibedakan atas non skeletal grain, skeletal grain, matriks dan
semen.
a. Non Skeletal grain
1) Ooid dan Pisoid
Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips yang
punya satuatau lebih struktur lamina yang konsentris dan mengelilingi inti.
20
Inti penyusun biasanya partikel karbonat atau butiran kuarsa (Tucker, 1991).
Ooid memiliki ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki ukuran > 2 mm
maka disebut pisoid.
2) Peloid
Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat, elipsoid atau
meruncing yang tersusun oleh mikrit dan tanpa struktur internal. Ukuran
peloid antara 0,1-0,5mm. Kebanyakan peloid ini berasal dari kotoran (faecal
origin) sehingga disebut pellet (Tucker 1991).
3) Agregat dan Intraklas
Agregat merupakan kumpulan dari beberapa macam butiran karbonat
yang tersemenkan bersama-sama oleh semen mikrokristalin atau tergabung
akibat material organik. Sedangkan intraklas adalah fragmen dari sedimen
yang sudah terlitifikasi atau setengah terlitifikasi yang terjadi akibat pelepasan
air lumpurpada daerah pasang surut atau tidal flat (Tucker,1991).
b. Skeletal Grain
Skeletal grain adalah butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang
terdiri dariseluruh mikrofosil, butiran fosil, maupun pecahan dari fosil-fosil
makro. Cangkang ini merupakan allochem yang paling umum dijumpai dalam
batugamping (Sam Boggs, 1987). Komponen cangkang pada batugamping juga
merupakan penunjuk pada distribusi invertebrata penghasil karbonat sepanjang
waktu geologi (Tucker, 1991).
1) Lumpur Karbonat atau Mikrit
Mikrit merupakan matriks yang biasanya berwarna gelap. Pada
batugamping hadir sebagai butir yang sangat halus. Mikrit memiliki ukuran butir
kurang dari 4 mikrometer. Pada studi mikroskop elektron menunjukkan bahwa
mikrit tidak homogen dan menunjukkan adanya ukuran kasar sampai halus
dengan batas antara kristal yang berbentuk planar, melengkung, bergerigi ataupun
21
tidak teratur. Mikrit dapat mengalami alterasi dan dapat tergantikan oleh mozaik
mikrospar yang kasar (Tucker, 1991).
2) Semen
Semen terdiri dari material halus yang menjadi pengikat antar butiran dan
mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks. Semen dapat
berupa kalsit, silika, oksida besi ataupun sulfat.
5. Klasifikasi Batuan Karbonat
Menurut klasifikasi Grabau (1904), batugamping dapat dibagi menjadi 5
macam yaitu:
a. Calcirudite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih besar dari pada
pasir (>2 mm).
b. Calcarenite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya sama dengan pasir
(1/16-2 mm).
c. Calcilutite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih kecil dari pasir
(<1/16 mm).
d. Calcipuluerite,
yaitu
batugamping
hasil
presipitasi
kimiawi,
seperti
batugamping kristalin.
e. Batugamping organik, yaitu hasil pertumbuhan organisme secara insit seperti
terumbu dan stromatolite.
Berdasarkan Klasifikasi Folk (1959), Parameter utama yang dipakai pada
klasifikasi ini adalah tekstur deposisi. Folk menyatakan bahwa proses
pengendapan batuan karbonat dapat disebandingkan dengan proses pengendapan
batupasir atau batulempung. Menurut Folk ada 3 macam komponen utama
penyusun batugamping yaitu:
a. Allochem, yaitu material karbonat sebagai hasil presipitasi kimiawi atau
biokimia yang telah mengalami transportasi (intrabasinal), analog dengan
22
butiran pasir atau gravel pada batuan asal daratan. Allochem ada 4 macam
yaitu intraclast, oolite, pellet dan fosil.
b. Microcrystalline calcite ooze (micrite), yaitu material karbonat yang
berdiameter 1-4 mikron, translucent, dan berwarna kecoklatan (dalam sayatan
tipis). Sedangkan dalam hand specimen, micrite bersifat opak dan dull,
berwarna putih, abu-abu, abu-abu kecoklatan atau hitam. Micrite analog
dengan lempung pada batulempung atau matrik lempung pada batupasir.
c. Sparry calcite (sparite), yaitu komponen yang berbentuk butiran atau Kristal
yang berdiameter >/= 4 mikron (4-10 mikron) dan memperlihatkan
kenampakan yang jernih dan mozaik dalam asahan tipis, berfungsi sebagai
pore filling cement.
Dunham (1962), membuat klasifikasi batugamping berdasarkan tekstur
deposisi batugamping, yaitu tekstur yang terbentuk pada waktu pengendapan
batugamping, meliputi ukuran butir dan susunan butir (sortasi). Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pengklasifikasian batugamping
berdasarkan tekstur deposisinya, yaitu:
a. Derajat perubahan tekstur pengendapan
b. Komponen asli terikat atau tidak terikat selama proses deposisi
c. Tingkat kelimpahan antar butiran (grain) dan lumpur karbonat
Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas, maka Dunham mengklasifikasikan
batugamping menjadi 5 macam, yaitu mudstone, wackestone, packestone,
grainstone, dan boundstone. Sedangkan batugamping yang tidak menunjukkan
tekstur
deposisi
disebut
crystalline
carbonate.
Fabrik
(supportation)
grainsupported (butiran yang satu dengan yang lain saling mendukung) dan
mudsupported (butiran mengambang di dalam matrik lumpur karbonat) digunakan
23
untuk membedakan antara wackestone dan packestone.
Klasifikasi batuan karbonat menurut Plumpey et al, (1962) pada penelitian
digunakan untuk mengetahui kondisi energi ketika fasies batuan karbonat
diendapkan, dimana klasifikasi ini adalah klasifikasi batuan karbonat yang
berdasarkan indeks energi, yang mana indeks energi merupakan salah satu
parameter penting di dalam menentukan lingkungan pengendapan batuan
karbonat. Pembagian indeks energi tersebut adalah sebagai berikut: (Plumpey et
al, 1962).
a. Indeks energi I
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang tenang
(quietwater), dicirikan oleh kandungan lumpur karbonatnya yang dapat mencapai
50%, keadaan fosil-fosilnya masih dalam keadaan yang utuh, walaupun jarang
fosil tersebut dijumpai.
b. Indeks energi II
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang sedikit
bergelombang (intermittently agitated), dicirikan oleh kandungan lumpur kurang
dari 25%, fosil-fosil yang dijumpai masih dalam jumlah yang sedikit dan keadaan
fosilnya masih dalam kondisi yang reatif baik.
c. Indeks energi III
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang
bergelombang lemah (slighty agitated), dicirikan oleh kandungan butirannya yang
dapat mencapai 50% dengan kandungan fosilnya yang menunjukkan gejala abrasi.
d. Indeks energi IV
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang
bergelombang sedang (moderately agitated), dicirikan oleh kandungan butirnya
yang mencapai lebih dari 50% dengan keadaan fosilnya pada umumnya telah
pecah-pecah.
24
e. Indeks energi V
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang
bergelombang kuat (strongly agitated). Dicirikan oleh kandungan lumpurnya yang
kurang dari 5%. Keadaan fosilnya sebagian besar telah pecah-pecah. Dapat pula
batuan karbonat ini tersusun oleh organisme yang tumbuh dan berkembang
di daerah tersebut, seperti koloni koral, ganggang, stromatoporoid dan lainnya.
Dari beberapa klasifikasi diatas, dalam pembahasan ini menggunakan
klasifikasi Grabau (1904) untuk penamaan sampel di lapangan dan Dunham
(1962) untuk penamaan pada sayatan tipis sampel batuan yang berdasarkan
tekstur pengendapannya, Klasifikasi Pumpley Et Al (1962) untuk mengetahui
kondisi energi ketika fasies batuan karbonat diendapkan, karena pada daerah
penelitian sangat mudah dikenali dengan menggunakan klasifikasi ini.
C. Fasies Batuan Karbonat
Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi
karakteristik yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi
memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang ada di bawah,
atas dan di sekelilingnya.
Menurut Hsu dan Reijers (2009) fasies dalam batuan karbonat adalah
suatu kumpulan ciri-ciri yang berhubungan dengan sedimen, paleontologi,
petrografi dan kehadiran kimia, yang merefleksikan keaktifan proses di
lingkungan pengendapan dan diagenetik.
Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam facies association dimana
fasies-fasies tersebut berhubungan secara genetis sehingga asosiasi fasies ini
25
memiliki arti lingkungan. Dalam skala lebih luas asosiasi fasies bisa disebut atau
dipandang sebagai basic architectural element dari suatu lingkungan pengendapan
yang khas sehingga akan memberikan makna bentuk tiga dimensi tubuhnya
(Walker dan James, 1992).
Pengertian Fasies menurut beberapa ahli :
Menurut Selley (1985, dalam Rizqi Amelia Melati 2011), fasies sedimen
adalah suatu satuan batuan yang dapat dikenali dan dibedakan dengan satuan
batuan yang lain atas dasar geometri, litologi, struktur sedimen, fosil, dan pola
arus purbanya. Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan
sedimen di dalam suatu jenis lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan
pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa faises sedimen, yang
merangkum hasil interpretasi dari berbagai data di atas.
Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu
lapisan atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi,
geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di sekitarnya.
Fasies menurut Gressly (1938), Tiechert (1958), serta Krumbein dan Sloss
(1963), di artikan sebagai tubuh batuan yang memiliki sifat-sifat spesifik antara
lain warna, perlapisan komposisi, tekstur, fosil dan struktur sedimen, sedangkan
menurut Middleton (1978) dalam Suhendra (2010) fasies adalah kumpulan dari
sifat-sifat dari batuan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan perubahan fasies
antara lain:
26
a. Proses Sedimentasi, sangat berpengaruh dalam distribusi dan perubahan
fasies, yang disebabkan oleh terjadinya progradasi.
b. Suplai Material, berpengaruh dalam pembentukan ketebalan fasies dan macam
material sedimennya.
c. Iklim, memberikan perbedaan “source area” dan lingkungan pengendapan.
d. Tektonik, merupakan penyebab perubahan fasies secara lokal yang disebabkan
oleh gerak-gerak vertikal dan kemiringan sesar blok.
e. Perubahan Permukaan Air Laut (trangresi atau regresi), akan menyebabkan
terjadinya perubahan kedalaman air laut, sehingga sedimen yang dihasilkan
menjadi berbeda.
f. Aktifitas Biologis, sedimen organik dapat berupa pertumbuhan koral dan
organisme lainnya yang membentuk lapisan cukup tebal. Dengan adanya arus
dan erosi, maka akan terendapkan organisme yang telah mati.
g. Komposisi Kimia Air, salinitas dan komposisi kimia air laut dan danau
bervariasi dari tempat yang satu dengan tempat yang lain sepanjang waktu
geologi.
h. Vulkanisme, Aktifitas volkanisme pengaruhnya lokal, terutama pada sedimen
intrabasinal. Adanya gunung-gunung api dan munculnya pulau-pulau adalah
penyebab perubahan lingkungan secara cepat.
Wilson (1975) mengemukakan suatu penampang fasies karbonat yang
ideal dengan memperlihatkan jalur fasies secara standar dan interpretasi
lingkungan pengendapan pada tepi paparan berdasarkan kemiringan, umur
geologi, energi air, dan iklim adalah sebagai berikut:
a. Basin Fasies
Lingkungan basin fasies merupakan lingkungan yang terlalu dalam dan
gelap bagi kehidupan organisme benthonik dalam menghasilkan karbonat,
27
sehingga adanya karbonat hanya tergantung kepada pengisian oleh material yang
berukuran butir sangat halus dan merupakan hasil runtuhan planktonik.
b. Open Shelf Fasies
Open shelf fasies merupakan lingkungan air yang mempunyai kedalaman
dari beberapa puluh meter sampai beberapa ratus meter, umumnya mengandun
goksigen, berkadar garam yang normal dan mempunyai sirkulasi air yang baik.
c. Toe of Slope Karbonat Fasies
Toe of Slope Karbonat Fasies merupakan lingkungan yang berupa lereng
cekungan bagian bawah, dengan material-material endapannya yang berasal dari
daerah-daerah yang dangkal. Kedalaman, kondisi gelombang, dan kandungan
oksigen masih serupa dengan fasies 2.
d. Fore Slope Fasies
Fore Slope Fasies merupakan lingkungan yang umumnya terletak diatas
bagian bawah dari "oxygenation level" sampai diatas batas dasar yang
bergelombang, dengan material endapannya yang berupa hasil rombakan.
e. Organic ( ecologic ) Reef Fasies
Organic (ecologic) Reef Fasies mempunyai sifat karakteristik dari
ekologinya bergantung kepada energi air, kemiringan lereng, pertumbuhan
organisme, banyaknya kerangka atau jalinan organisme, bagian yang ada di atas
permukaan dan terjadinya sedimentasi.
f. Sand on Edge of Platform Fasies
Sand on Edge of Platform Fasies merupakan daerah pantai yang dangkal,
daerah
gosong-gosong
pada
daerah
pantai
ataupun
bukit-bukit
pasir.
Kedalamannya antara 5-10 meter sampai diatas permukaan laut, pada lingkungan
ini cukup memperoleh oksigen, akan tetapi jarang dijumpai kehidupan organisme
laut.
g. Open Platform Facies
28
Open Platform Facies terletak pada selat, danau dan teluk dibagian
belakang daerah tepi paparan. Kedalamannya pada umumnya hanya beberapa
puluh meter saja, dengan kadar garam yang bervariasi dan sirkulasi airnya sedang.
h. Restricted Platform Facies
Restricted Platform Facies merupakan endapan sedimen yang halus yang
terjadi pada daerah yang dangkal, pada telaga ataupun danau. Sedimen yang lebih
kasar hanya terjadi secara terbatas yaitu pada daerah kanal ataupun pada daerah
pasang surut. Lingkungan ini terbatas untuk kehidupan organisme, mempunyai
salinitas yang beragam, kondisi reduksi dengan kandungan oksigen, sering
mengalami diagenesa yang kuat.
i. Platform Evaporite Facies
Platform Evaporite Facies merupakan lingkungan supratidal dengan
telaga
pedalaman dari daerah ambang terbatas atau " restricted marine " yang
berkembang kedalam lingkungan evaporite (sabkha, salinitas dan bergaram).
Mempunyai iklim panas dan kering, kadang-kadang terjadi air pasang. Proses
penguapan air laut yang terjadi akan menghasilkan gypsum dan anhidrit.
D. Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat
Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen
beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya mekanisme
pengendapan tertentu (Gould, 1972). Menurut Krumbein dan Sloss (1963),
lingkungan pengendapan merupakan keseluruhan dari kondisi fisik, kimiadan
biologi pada tempat dimana material sedimen terakumulasi. Jadi, lingkungan
pengendapan merupakan suatu lingkungan tempat terkumpulnya material sedimen
29
yang dipengaruhi oleh aspek fisik, kimia dan biologi yang dapat mempengaruhi
karakteristik sedimen yang dihasilkannya.
Secara umum dikenal 3 lingkungan pengendapan, lingkungan darat,
transisi, dan laut. Beberapa contoh lingkungan darat misalnya endapan sungai dan
endapan danau, ditransport oleh air, juga dikenal dengan endapan gurun dan
glestsyer yang diendapkan oleh angin yang dinamakan eolian. Endapan transisi
merupakan endapan yang terdapat di daerah antara darat dan laut seperti delta,
lagoon, dan litorial. Sedangkan yang termasuk endapan laut adalah endapanendapan neritik, batial, dan abisal.
1. Parameter Lingkungan Pengendapan
Parameter fisik meliputi elemen statik dan dinamik dari lingkungan
pengendapan.
a. Elemen fisik, meliputi geometri cekungan (Basin); material yang diendapkan
seperti kerakal silisiklastik, pasir, dan lumpur; kedalaman air; suhu; dan
kelembapan.
b. Elemen fisik dinamik adalah faktor seperti energi dan arah aliran dari angin,
air dan es, air hujan, dan hujan salju.
c. Parameter kimia termasuk salinitas, pH, Eh, dan karbondioksida dan oksigen
yang merupakan bagian dari air yang terdapat pada lingkungan pengendapan.
Parameter biologi dari lingkungan pengendapan dapat dipertimbangkan
untuk meliputi kedua-duanya dari aktifitas organisme, seperti pertumbuhan
tanaman, penggalian, pengeboran, sedimen hasil pencernaan, dan pengambilan
dari silica dan kalsium karbonat yang berbentuk material rangka. Dan kehadiran
dari sisa organisme disebut sebagai material pengendapan.
30
Lingkungan pengendapan karbonat menurut Friedman dan Reeckmann
(1982) adalah
1. Peritidal (tidal flat), dibagi menjadi 3 sub-lingkungan antara lain:
a. Supra tidal
 Merupakan lingkungan yang terletak di atas batas pasang tertinggi
 Merupakan lingkungan yang berkembang di atas pengaruh laut
normalyang jarang terairi. Terdiri atas sub-lingkungan : sabkha, salt




marsh,brindpond, coastal pond.
Sifat endapan tergantung pada iklim
Peloidal wackstone biasa dijumpai
Fauna terbatas seperti gastropoda, algae, foraminifera, dan ostracoda.
Adanya air asin dan air tawar menjadikan supra tidal zona penting
untuk terjadinya alterasi diagenetik awal
 Energi rendah
b. Inter tidal
 Merupakan lingkungan terletak antara pasang rata-rata tertinggi dan
terendah, dimana perubahan yang teratur antara pasang dan

surutterjadi.
Proses sedimentasi terjadi sacara ritmik yang mencerminkan proses

pasang surut periodic
Kehidupan cukup melimpah tetapi dengan kondisi ekstrim karena biota
harus beradaptasi dengan pasang surut, suhu, ph, salinitas dan kimia

air yang berfariasi.
Iklim mempunyai pengaruh penting, sebagai contoh algae mats hanya

dapat terbentuk di daerah arid
Terdiri dari sub-lingkungan : fore shore, beach, tidal channel,

levee,mangrove, swamp dan beach ridge.
Merupakan zona untuk terjadinya alterasi diagenetik awal termasuk

pembentukan dolomite dan evaporit.
Litologi yang dijumpai : oolitic grainstone, bioklast grainstone,
interclast strom deposited.
31

Merupakan zona dengan tingkat energi tinggi, tergantung terhadap
pengaruh pasang surut, arus angin, arus, dan ada tidaknya barrier.
Porositas biasanya lebih baik dibandingkan pada supratidal.
 Litologi yang dijumpai : wackstone, packstone hingga grainstone.
c. Subtidal
 Merupakan daerah yang terletak pada pasang surut rendah.
 Umumnya merupakan zona dengan energi rendah, dengan aktivitas
arus dan gelombang yang tinggi, tingkat energi masih tinggi dan

sedimen yang dijumpai sama dengan zona intertidal.
Merupakan zona dimana koral tumbuh, ooid terbentuk, pembentukan
channel, delta dan bioclastic shoal.
 Merupakan lingkungan penting untuk pengendapan karbonat
 Mikrofauna beraneka ragam tergantung pada salinitas air
 Litologi yang dijumpai : wackstone, packstone hingga grainstone.
2. Kompleks tepian paparan (shelf margin)
 Dicirikan dijumpai pasir karbonat dan terumbu
 Terumbu di jumpai di tepian paparan, dimana kerangkanya yang
dirigid mampu menahan aksi gelombang dan bahkan adanya aksi
gelombang, biota tersebut mendapat nutrisi dari laut dalam.
3. Lereng (slope)
a. Terletak di atas batas bawah air yang teroksigen dan diatas sampai
dibawah wave base
b. Kemiringan lereng sekitar 400 dan biasanya tidak stabil
c. Proses deposisi : didominasi oleh transportasi sedimen dari tepian paparan
kearah laut oleh proximal turbidity atau high density sedimentgravity flow
dan slide/slump
d. Partikel berbutir halus terendapkan secara suspensi membentuk lapisan
tipis
mudstone
sementara
slump,
derbis
flow
dan
arus
turbid
tmengendapkan sedimen berbutir kasar, seperti breksi, konglomerat, atau
pasir karbonat
e. Pola fasies dipengaruhi oleh relief tepian paparan
4. Basin
32
a. Kadalaman mencapai ratusan meter dan berada dibawah wave base
b. Kolom air teroksigensi, salinitas air laut normal dan sirkulasi arus baik
tetap lemah
c. Didominasi oleh partikel yang berbutir sangat halus yang berasal dari
cangkang mikroorganisme planktonik yang akan membentuk chalk pada
saat terlitifikasi.
d. Fauna bentos laut dalam hadir dan terawetkan dalam bentuk fosil utuh atau
pecah.
E. Kerangka Pemikiran
Fasies dan Lingkungan
Pengendapan Batuan Karbonat
Lingkungan
Pengendapan
Fasies
Litologi
Fosil
Struktur Sedimen
Skripsi
Biostratigraf
i
Download
Study collections