Seniman Jalanan Lampu Bangjo

advertisement
Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Etnofotografi
Seniman Jalanan Lampu Bangjo
“Sebuah kajian mengenai pertunjukkan di perempatan lampu bangjo
Yogyakarta”
Oleh :
Pandu Bagas Setyaji
(10/299876/SA/15494)
JURUSAN ANTROPOLOGI BUDAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Yogyakarta merupakan sebuah kota budaya, dimana banyak sekali seniman yang muncul
dari tempat ini. Dan tidak dipungkiri bahwa seniman dari mulai yang tingkah bawah sampai atas
semua mempunyai lahan masing-masing. Kalau seniman kelas atas selalu mengekspresikan
karyanya di panggung, dalam sebuah event, atau dengan cara mereka masing-masing. Tetapi
bagaimana ketika seniman menjadikan seni sebagai sebuah pekerjaan. Tentu saja ini terkait
dengan ekonomi. Saya tidak akan membahas mengenai seniman yang mempunyai penghasilan
tinggi karena kepopularitasan, tetapi sisi lain tentang seniman jalanan yang beradu nasib untuk
dapat mencari pengganjal perut. Para seniman jalanan yang biasanya adalah seorang penari atau
seorang pengamen, kebanyakan melakukan aksinya di lampu rambu-rambu lalu lintas, walaupun
banyak juga yang berkeliling ke tempat-tempat yang ramai.
Leon Trotsky dalam buku Seni, Politik, Pemberontakan (1998; hlm. 27) disebutkan
bahwa seni adalah ekspresi dari kebutuhan manusia untuk memperoleh kehidupan yang selaras
dan lengkap, yaitu, untuk memperoleh hak-haknya yang telah dirampas oleh masyarakat
berkelas. Mungkin untuk kutipan kali ini saya tidak terlalu ekstrem mengartikan bahwa penari
jalanan ini memperoleh haknya dari kaum berkelas, tetapi mereka melakukan itu ditujukan bagi
kaum yang dianggap berkelas yaitu orang-orang sebagai penonton atau pengendara di lampu
bangjo untuk memberikan belas kasihan atas apa karyanya dengan memberikan uang sebagai
upah sukarela. Memang tikdak secara jelas bahwa ini hak para penari jalanan ini telah dirampas,
tetapi lebih kepada kenapa akhirnya penari jalanan yang termasuk sebagai kaum ekonomi bawah
menggunakan seni sebagai profesi karena seni dianggap ekspresi yang bisa dilakukan dalam
semua kalangan tidak dibatasi oleh kelas ekonominya.
Dalam hal ini saya lebih tertarik untuk membahas mengenai pertunjukkan apa yang
disebut sebagai seniman jalanan yaitu orang yang menampilkan sebuah pertunjukkan di jalanan
tepatnya di sebuah lampu bangjo. Dengan melihat pertunjukkan yang menampilkan karya dari
para seniman yang tentunya memiliki tujuan serta kepentingan yang berbeda pula. Selama ini
mengenai seniman jalanan, akan terkait pada seorang pengamen, namun di Kota Yogyakarta ini
banyak sekali orang-orang yang berprofesi sebagai seorang seniman jalanan. Pada konteks kali
ini saya mengambil contoh seniman jalanan yaitu penari jalanan yang menampilkan jathilan versi
baru ala tradisional. Sebut saja penari yang menggunakan segala macam atribut dengan kostum
disertai iringan alat musik tradisional minimalis. Para penari sering disebut sebagai seniman,
baik pelaku seni atau aktor, atau yang mempunyai ide akan karya yang dipertontonkan. Seniman
jalan yang akan saya bahas tentu saja adalah penari jalanan di lampu bangjo Yogyakarta. Apa
yang menjadi konsep mereka mengamen dengan cara menari ini? Bagaimana mereka
membentuk sebuah tarian agar menarik sehingga orang kan mau membayar atas apa yang
ditampilkan? Saya juga berpikir mengenai penonton sebagai salah satu faktor utamanya. Yaitu
bagaimana penonton mengapresiasi pertunjukkan dari penari ini? Ketika hal itu terjadi maka
kehadiran pertunjukkan di sebuah lampu bangjo ini menjadi sebuah pencapaian karena berhasil
menarik perhatian penontonnya yang pada akhirnya akan memberikan rupiah sebagai bentuk
kepuasannya. Bagaimana seorang seniman jalanan yaitu penari dalam sebuah ruang yaitu jalanan
di lampu lalu lintas yang mempunyai keterbatasan waktu karena penontonya akan berganti
seiring dengan berubahnya detik dan lampu?
PERTUNJUKAN PENARI JALANAN : Tarian Kontemporer Adaptasi Kesenian Rakyat
Sebuah pertunjukkan dapat kita temukan di berbagai ruang, waktu, serta penampilan
yang berbeda-beda. Semua hal tersebut mempunyai tujuan dan kepentingan tersendiri. Dari
banyaknya pertunjukkan yang ada semua berusaha untuk menampilkan sebuah karya atas
pemikiran dari seniman yang menciptakan suatu ide-ide agar dapat dinikmati dan dipertontonkan
kepada publik. Baik itu merupakan sebuah pertunjukkan tari, musik, seni rupa dan lain-lainnya,
merupakan sajian untuk kepentingan masing-masing sesuai dengan tujuan yang dinginkan oleh
penggelar. Dalam dunia pertunjukkan tentu saja kita akan tertarik pada pertunjukkan tersebut
sehingga rela untuk membayar atau jauh-jauh mendatangi acara tersebut dengan tujuan agar
dapat menyaksikannya secara langsung. Bukanlah sebuah hal yang baru ketika membicarakan
tentang sebuah pertunjukkan yang kita saksikan di sebuah ruang dimana penampil dan penonton
akan saling mampu membuat relasi dalam menikmati perannya.
Dibandingkan dengan pertunjukkan yang dilakukan oleh seorang penari yang menari di
dalam sebuah gedung atau lapangan pertunjukkan, maka akan sangat berbeda dari segi ruangwaktu, performance dan juga penontonnya. Dari sini memang secara keruangan yaitu dimana
pertunjukkan itu dilakukan. Ruang sebagai sebuah wadah ekspresi bagi para seniman ditentukan
sesuai dengan tujuannya, entah untuk kepentingan sosial-budaya, ekonomi maupun politik.
Namun panggung jalanan ini adalah yang paling tepat bagi mereka karena tidak usah bayar
tempat, dan juga penonton yang berganti tiap bangjo berjalan. Sedangkan dalam tinjauan waktu
lebih kepada bagaimana waktu yang ditampilkan oleh seniman jalanan yang ditentukan oleh
panjang durasi dari sebuah lampu lalu lintas. Tentuya berbeda dengan pertunjukkan bagi para
artis yang memang ditentukan oleh keinginan pihak penyelenggara. Tuntutan yang paling
kentara dalam pertunjukkan penari jalanan ini yaitu bagaimana mereka mampu membuat
setidaknya ‘penonton’ setidaknya terhibur sebelum lampu hijau menyala.
Pertunjukkan jalanan ini merupakan tarian yang diiringi oleh peralatan musik yang saya
sebut sebagai musik minimalis. Minimalis disini adalah peralatan yang harusnya dimainkan
dalam satu set alat musik, namun diadaptasi dengan memainkan beberapa dari set itu saja. Alat
yang dimainkan adalah beberapa kenong kecil. Namun tidak semuanya menggunakan iringan
musik, beberapa penari jalanan yang saya temui ada yang bergerak saja seperti meniru butho
dalam jathilan. Tentu saja pertunjukkan yang mereka mainkan lebih tepat disebut tarian
ketimbang sebuah drama. Hal ini dikarenakan gerakannya dan kostum yang menyerupai pemain
jathilan. Walaupun tidak menggunakan kostum, karena ada yang hanya menggunakan selendang
atau pecut sebagai properti pertunjukkannya. Namun pecut yang juga sering digunakan dalam
pertunjukkan jathilan, sehingga tetap maish menunjukkan adaptasi tarian njathil.
Selain memainkan peran butho walaupun tanpa atribut kuda lumpingnya, mereka
bergerak seperti prajurit dalam penokohan pertunjukkan jathilan. Atau sebenarnya saya
mengamatinya seperti gerakan Dayak Ireng atau Kubro1. Saya mencoba mengamati kostum yang
dipakai oleh penari jalanan sebenarnya merupakah sebuah kombinasi kostum agar mereka lebih
menarik. Kostum ini mereka beli dari pembuat kostum untuk kesenian rakyat, sehingga sama
seperti kostum jathilan atau kubro. Yang memang khas seperti pertunjukkan jathilan saya lebih
melihatnya dalam make up yang mereka buat. Ini adalah gaya rias wajah jathilan, karena Kubro
atau Dayak ireng lebih sederhana dengan coretan cat yang motifnya menggambarkan orang suku
di pedalaman. Memang gerakan yang ditampilkan oleh penari jalanan ini tidak secara mentah
melainkan mengambil beberapa gerakan yang dirasa menarik untuk dilakukan untuknya dan
penonton. Permainan ekspresi lebih diutamakan agar rasa penasaran dari penonton tetap terjaga.
Terlebih lagi, karena keterbatasan waktu, sehingga pertunjukkan ini tidak mempunyai alur
seperti jathilan maupun dayak ireng.
1
Salah satu kesenian masyarakat magelang yang menggambarkan tarian orang pedalaman.
Foto diatas memperlihatkan bagaimana kostum yang digunakan oleh penari jalanan.
Dengan segala atribut ini, bisa dibilang mereka totalitas dalam memainkan perannya sebagai
penari. Namun tidak sampai disitu saja, lihatlah panggung penari jalanan ini yaitu jalanan aspal
yang tentu akan panas. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak menggunakan alas kaki, semua
diperlakukan agar sesuai dengan peran mereka, sehingga orang lebih yakin akan atribut yang
digunakan. Sedangkan lihat pada salah satu pemain yang menggunakan sepatu ketika beraksi
dengan kostumnya. Bagi saya ini terlihat sangat kontras untuk sebuah kostum. Mereka
mengungkapkan bahwa kadang susah untuk beraksi tapa alas kaki sedangkan mereka menari
dijalanan ini ketika cuaca sedang panas saja. Sebab kalau hujan, mereka tidak bisa melakukan
pekerjaannya. Selain itu pula, kombinasi kostum mereka hanyalah sebuah adaptasi dari kostum
tarian rakyat yang digabung-gabungkan. Mereka melakukannya agar penonton lebih tertarik
melihat kompleks kostum yang memberikan kesan meriah. Sehingga akan sesuai dengan taria
yang mereka sajikan.
Performance ini menjadi sebuah kajian penting yang perlu diperhatikan dalam karya
yang ditampilkan seniman jalanan. Kalau dilihat dari sudut pandang lain, penari jalanan ini
bukan bentuk ekpresi atau apresiasi mereka terhadap nilai dari sebuah seni musik maupun seni
tari saja, melainkan unsur ekonomi yang membawa mereka untuk turun dijalanan. Pengamen
bukan lagi hal baru yang muncul, rata-rata dari mereka merupakan orang ekonomi golongan
bawah. Penari jalanan pun saya baru menemukannya di Jogja. Penari melakukan lenggaklenggok tanpa musik memerankan menjadi Butho atau menari ala jathilan. Semua ini merupakan
kesenian rakyat yang ditampilkan ke publik agar mendapatkan rupiah untuk kebutuhan hidupnya.
RELASI ANTARA PENARI DAN PENONTON : Upah dan Akting
Penonton menjadi sebuah faktor penting dalam sebuah pertunjukkan. Dalam proses sosial
akan lebih terlihat bagaimana sebuah penampilan gratis yang dijadikan sebuah hiburan,
sepertinya contohnya adalah pertunjukkan jathilan, dolalak, gatholoco, wayang maupun kesenian
lainnya mempunyai penonton karena tertarik akan acara tersebut. Gratis ini memang bagi yang
menonton, sebab rombongan penampil ini sudah dibayar oleh yang punya acara. Sehingga
penonton tinggal datang dan menyaksikan. Selain itu hubungannya terhadap proses ekonomi
yang berhubungan dengan komersial, yaitu ketika penonton harus membayar atas apa yang ingin
dia saksikan karena karya yang ditampilkan juga bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari
penampilannya seperti nonton konser, atau drama di gedung-gedung pertunjukkan. Tapi tidak
begitu dengan seniman jalanan yang melakukan sebuah pertunjukkan, dengan penonton yang
tidak diwajibkan membayar untuk urusan ekonomi bagi para senimannya ini. Hal ini mungkin
sebagai sebuah profesi untuk menghibur bagi para penonton yang memang terhibur atau merasa
kasihan karena pertunjukkan ini memang dilakukan untuk mendapatkan perhatian agar mampu
mendapatkan rupiah dari pemirsanya secara acak atau seikhlasnya saja.
Para pengendara motor yang merupakan audiens bagi para seniman jalanan, tidak secara
sengaja menikmati maupun peduli dengan kehadiran pertunjukkan ini. Tetapi mereka berada
dalam satu ruang yang sama dan pengendara yang berada di depan bukan berarti karena
antusiasnya untuk menyaksikan pertunjukkan seperti di pertunjukkan-pertunjukkan seni lainnya.
Tetapi lebih pada kebutuhan mereka untuk melintasi lampu lalu lintas. Hal inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh para penari jalanan sebagai lahan untuk mencari rejeki. Dalam buku Psikologi
Seni, dikatakan bahwa orang yang kreatif adalah mereka yang ambisius dan memiliki keinginan
yang kuat, mandiri, dan tidak konvensional (Damajanti, 2006: 47). Namun yang saya lihat adalah
pertunjukkan mereka ini didasari oleh pemikiran bagaimana mengamen dengan cara berbeda
selain dengan bernyanyi tetapi bisa mendapatkan perhatian penonton. Bagi saya ini merupakan
suatu bentuk kreatif masyarakat kita dalam mencari profesi pekerjaan. Sekiranya begitu.
Lihatlah gerakan tarian yang berusaha ditampilkan energik, tetapi dengan kesan diam
sang penari maka memberikan efek misterius seperti pertunjukkan jathilan yang memang mistis.
Mereka melakukan hal ini tentu mengharapkan akan banyak orang yang memberi upah atas
pertunjukan tarian ini. Dalam sebuah launching buku Zamzam seorang etnografer, P. M Laksono
sebagai salah satu pembicaranya mengatakan dalam presentasinya bahwa “akhir-akhir ini banyak
grup penjathil pentas di perempatan-perempatan jalan dan berhasil mendapat uang. Mereka
berusaha memanfaatkan rasa penasaran penontonnya” (Laksono, 27-12-2012). Saya rasa
memang benar, sedikit sudah saya ungkapkan bagaimana mereka memainkan ekspresi yang
terlihat serius. Ini memang memberikan suasana mistis serta membuat mereka lebih dapat fokus
dalam gerakannya. Tidak sambil tertawa untuk mengurangi kontak dengan ‘dunia luar’
panggung katanya. Selain itu, karena mereka sejenis pengamen, maka rasa belas kasih dari
orang lain ditarik dengan ekspresi itu. Bila menampilkan ekspresi semacam itu maka
memperlihatkan kesulitan dan kesungguhan serta kerja keras mereka dalam melakoni
pekerjaannya.
Bila kita melihat lebih detail di foto, penonton yang menggunakan sepeda motor menutup
kaca helmnya, dan dalam foto satu lagi orang tersebut tidak melihat ke arah sang penarinya. Ini
juga bisa menjadi sebuah pengamatan penting, yaitu bagaimana aksi seniman jalanan ini
diapresiasi. Bisa saja memang aksinya tidak menarik, atau memang penonton yang sudah
terbiasa melihat pertunjukkan ini. “Suguhan ini sifatnya ikhlas, ditonton ya syukur, mboten yo ga
apa-apa, yang penting waktu muter do ngei duit ra ketung piro mas” tutur seorang penari jalanan
itu. Bisa kita lihat bahwa mereka lebih mementingkan upah atas belas kasih mereka bekerja
sebagai seniman jalanan ketimbang menghibur penontonnya. Sebab jika dibilang menghibur,
profesi yang dilakukan setiap hari ini tentu akan membosankan juga akhirnya. Sehingga
tergantung saja dari kebaikan orang dalam hal memberi kepada sesamanya.
KESIMPULAN
Manusia mempunyai pengalaman seni dan kepentingan tersendiri terhadap sebuah seni.
Disini yang memang berperan penting adalah seniman, benda seni dan juga publik seni. Pada
sebuah buku Filsafat seni (2000; hlm. 182-183) dikatakan mengenai akan sebuah pengalaman
seni orang yang berbeda karena dalam kepedulian serta proses penghayatan, kepekaan yang
berhubungan dengan kepentingan pribadi telah telah bekerja secara wajar dan sehat. Dan dalam
penghayatan seni, seluruh potensi pribadi penanggap seni aktif menanggapi karya seni sebagai
pemicunya. Tentunya semua ini berhubungan dengan sebuah nilai yang dikatakan dalam buku
ini sebagi sesuatu yang subjektif dari penonton. Nilai seni berada dalam batin seseorang ketika
menemukan nilai-nilai itu dalam sebuah benda seni akan merasa senang, puas, bahagia,
sempurna, penuh, dan bersih.
Bagi saya, inilah yang menjadi penentu apresiasi orang-orang yang menyaksikan penari
ini. Sebab sesuai dengan pengalaman mereka yang sudah melihat hal ini setiap harinya, akan
lebih enggan memberikan upah atau orang yang mungkin berkecimpung di dunia kesenian rakyat
itu sendiri, maka mereka tidak begitu tertarik sama sekali dengan penampilan yang disajikan.
Berbeda dengan orang yang jarang menyaksikan ini, akan merasa ini adalah mengamen cara
baru, dan ketertarikannya bisa ditunjukkan dengan memberikan uang. Selain memberikan karena
ketertarikan seniman jalanan ini juga memasang tampang memelas ketika memutari ‘penonton’,
ini bisa dibilang sebagai andalan mereka untuk memuaskan penonton yang memberi. Ada dua
hal tampang memelas yang saya maksudkan ini, pertama terlihhat lelah sehingga meminta
penonton menghargai yang mereka tampilkan penuh dengan kerja keras menari saat cuaca panas.
Kedua, memberi tampang seram dan diam seperti peran Butho yang mereka tampilkan. Dengan
hal itu maka terlihat bagaimana mereka totalitas menampilkan karakter perannya hingga turun
dari ‘panggung’nya yaitu selesai meminta uang dan lampu menunjukkan warna hijau.
DAFTAR PUSTAKA
Damajanti, Irma. 2006. Psikologi Seni. Bandung : Kiblat Buku Utama.
http://gudeg.net/id/news/2009/03/4403/Pengamen-Jathilan-Lampu-Merah.html#.UOwoZ2fspJE
http://gudeg.net/id/news/2009/03/4406/Pengamen-Jathilan-Lampu-Merah%282%29.html#.UOwo2WfspJF
Download