pengaruh personal value terhadap prasangka seksual

advertisement
Jurnal Psikologi Insight
Vol. 1, No. 1, April 2017: hlm 96-108
doi: 10.5281/zenodo.582686
©Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia
PENGARUH PERSONAL VALUE TERHADAP PRASANGKA
SEKSUAL PADA MAHASISWA DI KOTA BANDUNG
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: [email protected]
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh personal value
terhadap prasangka seksual pada mahasiswa di Kota Bandung. Metode
yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan subjek penelitian
sebanyak 400 responden yang dipilih dengan menggunakan teknik
convenience sampling. Instrumen meliputi skala personal value yang
diadaptasi dari Portrait Values Questionnaire (PVQ-40) yang disusun
Schwartz (2003) dan skala prasangka seksual yang juga diadaptasi dari
Homosexuality Attitude Scale (HAS) yang disusun Kite & Deaux (1986).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi multiple
regression. Hasil penelitian menunjukkan variasi prasangka seksual
dipengaruhi oleh personal value sebesar 15%, sedangkan 85% nya
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Selain itu, ditemukan bahwa terdapat
perbedaan tingkat prasangka seksual antara mahasiswa perempuan dan
laki-laki.
Kata kunci: Personal value, prasangka seksual, homoseksualitas.
PENDAHULUAN
Kelompok homoseksual merupakan kelompok minoritas yang paling umum
menjadi daya tarik prasangka dibandingkan kelompok minoritas lainnya (Jones, 1997
dalam Whitley & Kite, 2010; Callahan & Vescio, 2011; Brown, 2011; Herek, 2004).
Hal ini dikarenakan homoseksual diyakini melanggar moralitas, norma, dan konstruk
sosial pada umumnya, dimana sistem budaya gender biner (sepasang) serta
ekspektasi seksual heteronormative berlaku dalam masyarakat (Norton & Herek,
2012; Walch et al., 2012).
Keyakinan tersebut menciptakan pemahaman yang kemudian disetujui
masyarakat luas tentang statusnya yang direndahkan karena atribut yang mereka
miliki dianggap negatif (Herek, 2009). Atribut negatif tersebut menyebabkan value-
96
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
conflict, dimana karakteristik yang dimiliki minoritas seksual menciptakan stereotip
negatif yang membuat timbulnya keyakinan bahwa homoseksual mendukung atau
mewujudkan value yang bertentangan dengan sistem value yang dimiliki masyarakat
heteroseksual, hal ini yang kemudian menimbulkan prasangka seksual (Herek, 2009).
Value-value yang dirasa telah dilanggar kemudian dipahami sebagai komponen
penting dari prasangka seksual (Brown, 2011).
Akan tetapi, opini publik dan sikap sosial yang negatif terhadap kelompok
tersebut secara empiris mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Kembali
merebaknya tren dukungan terhadap persamaan hak, serta telah disahkannya undangundang hak sipil homoseksual di 22 negara, termasuk pada tahun 2015 di Amerika
Serikat, dipastikan semakin memengaruhi sikap publik terhadap homoseksualitas
(Whitley & Kite, 2010; Kite, 2011). Hasil survey yang dilakukan oleh Pew Research
Center dalam Global Attitudes Project (2013) di 39 negara, menunjukkan bahwa di
beberapa negara, individu yang menginginkan homoseksualitas seharusnya diterima
masyarakat meningkat sebanyak ±20% sejak tahun 2007. Hasil tersebut menunjukkan bahwa toleransi dan dukungan terhadap hak sipil homoseksual mengalami
peningkatan yang progresif.
Hal sebaliknya terjadi di Indonesia, isu tentang homoseksual yang kembali
merebak membuat kelompok tersebut tidak dapat terhindar dari prasangka masyakat.
Hasil survey yang dilakukan LSI dan Yayasan Denny JA menunjukkan bahwa sikap
negatif masyarakat terhadap homoseksual mengalami peningkatan dari 64.7% pada
tahun 2005 menjadi 80.6% pada tahun 2012. Data tersebut didukung oleh Pew
Research Center (2013) yang menunjukkan bahwa 93% dari 1.000 responden
masyarakat Indonesia menyatakan sikap negatifnya terhadap homoseksual.
Para ahli menyatakan bahwa salah satu perbedaan individual yang menyebabkan
adanya perbedaan sikap antar individu dan mendasari prasangka terhadap suatu
kelompok dikarenakan oleh karakteristik personal yang dimiliki masing-masing
individu tersebut. Karakteristik personal individu yang menjadi prediktor salah
satunya adalah peran sistem value, yaitu bagaimana personal value yang dimiliki
individu memengaruhi sikapnya terhadap objek dan situasi (Whitley & Kite, 2010).
Value dapat dikonsepsikan sebagai tujuan atau cara yang diinginkan atau diperlukan
dalam bertindak. Value mempunyai pengaruh penting terhadap perencanaan dan
pengambilan keputusan, bagaimana individu menafsirkan situasi, serta memengaruhi
pemikiran dan tindakan dalam berbagai cara (Rokeach 1973; Feather, 1975, 2005;
Schwartz 1992, 1996 dalam Feather & Mckee, 2008).
Schwartz (1992) membagi 10 value dasar individu yang berasal dari tiga
kebutuhan universal manusia (kebutuhan biologis, interaksi sosial, kelangsungan
hidup kelompok) sebagai berikut:
a. Self-direction, yaitu cara berpikir dan bertindak dalam memilih, menciptakan, dan
menyelidiki secara independen.
b. Stimulation, yaitu kesenangan, rangsangan, dan tantangan dalam hidup.
97
PERSONAL VALUE, PRASANGKA SEKSUAL, HOMOSEKSUAL
c. Hedonism, yaitu kesenangan, kenikmatan atau kepuasan yang bisa dirasakan oleh
panca indera (ragawi).
d. Achievement, yaitu menunjukkan kemampuan pribadi dengan kompetensi
berdasarkan standar budaya/sosial yang berlaku, sehingga mendapat pengakuan
sosial.
e. Power, yaitu kontrol dan dominasi atas orang lain dan sumber daya.
f. Security, yaitu keamanan, harmoni, stabilitas dalam masyarakat, hubungan antar
individu dan diri sendiri.
g. Conformity, yaitu pengendalian perilaku atas kecenderungan/dorongan yang
mungkin mengganggu atau merugikan orang lain dan melanggar norma serta
ekspektasi sosial.
h. Tradition, yaitu respek, komitmen, serta menerima adat istiadat dan ide-ide yang
ditetapkan oleh agama dan budaya.
i. Benevolence, yaitu memelihara dan meningkatkan kesejahteraan individu yang
sering menjalin hubungan personal.
j. Universalism, yaitu pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan kesejahteraan untuk semua individu dan alam.
Secara individual, value mengandung elemen kognitif dan afektif, serta memiliki
sifat yang selektif dan terarah, yang merupakan hasil internalisasi dari proses dan
pengalaman sepanjang hidup, serta lingkungan individu (Oyserman, 2002). Internalisasi tersebut membuat value cenderung familiar dan relevan dengan diri individu,
serta dijunjung tinggi dan merupakan standar tujuan yang diinginkan oleh individu.
Kita merasa patuh terhadapnya dan mungkin dapat bersikap tidak suka terhadap
mereka yang mengancam atau menghalanginya, individu menilai sikap dan perilaku,
kejadian, serta hal lainnya secara positif bila mereka menghargai value yang kita
anggap penting. Sebaliknya, kita menilainya secara negatif bila mereka menghalangi
atau mengancam value yang kita miliki (Allport, 1954; Callahan & Vescio, 2011;
Schwartz, 2012b). Sikap tersebut merupakan bentuk pertahanan atas value yang bisa
dipastikan membuat individu mengarah pada prasangka seksual (Callahan & Vescio,
2011).
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis korelasional
untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh personal value (X) terhadap prasangka
seksual (Y) pada mahasiswa di Kota Bandung. Partisipan dalam penelitian ini
berjumlah 400 responden yang merupakan mahasiswa aktif di perguruan tinggi di
Kota Bandung. Peneliti menggunakan teknik convenience (accidental) sampling
dikarenakan tidak adanya karakteristik sampel yang khusus serta sulitnya mengetahui
jumlah keseluruhan populasi.
98
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
Variabel personal value diukur menggunakan instrumen 40-item Portrait Values
Questionnaire (PVQ-40) yang disusun oleh Schwartz (2003) dan terdiri dari 40
gambaran verbal singkat yang mengacu pada kepentingan 10 tipe value Setiap item
mengandung dua kalimat yang menggambarkan pentingnya value tertentu bagi diri
seseorang dan menggambarkan usaha atau hasrat dirinya terhadap value tersebut.
Rata-rata reliabilitas instrumen ini sebesar 0.81 dengan reliabilitas test-retest berkisar
antara 0.75 sampai 0.94 (Agle et al., 2014).
Prasangka seksual diukur menggunakan instrumen Homosexuality Attitude Scale
(HAS) yang disusun oleh Kite & Deaux (1986). HAS merupakan instrumen yang
mengukur stereotip, miskonsepsi, dan kecemasan tentang homoseksual yang terdiri
atas 21 item. Pengukuran tersebut merepresentasikan evaluasi terhadap homoseksual
yang favorable atau unfavorable. Instrumen ini memiliki internal reliabilitas sebesar
0.92 dengan test-retest reliabilitas sebesar 0.71.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan pemodelan
Rasch dan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi berupa
Multiple Regression Analysis (MRA) untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
atau kontribusi dari kesepuluh tipe value sebagai variabel independen terhadap
prasangka seksual sebagai variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Koefisien korelasi (R) yang menggambarkan prasangka pada homoseksual
dipengaruhi oleh personal value sebesar 0.388, yang berarti bahwa pengaruh
personal value tersebut tergolong rendah. Sedangkan taraf signifikansi menunjukkan
nilai sebesar 0.000 (p < 0.05), sehingga H0 ditolak yang berarti terdapat pengaruh
antara personal value terhadap prasangka seksual. R-square menunjukkan koefisien
determinasi personal value terhadap prasangka seksual yang menunjukkan hasil
sebesar 0.150 atau 15% yang dapat diartikan bahwa 15% variasi prasangka seksual
dapat dijelaskan oleh personal value dan 85% dijelaskan faktor lainnya yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.
Kemudian, value self-direction, stimulation, achievement, power, benevolence,
dan universalism ditemukan tidak memiliki pengaruh terhadap prasangka seksual.
Sementara itu, ditemukan terdapat pengaruh positif antara value hedonism terhadap
prasangka seksual, serta pengaruh negatif antara value security, conformity, dan
tradition terhadap prasangka seksual.
Temuan ini sesuai dengan gagasan bahwa terdapat value yang dapat mendorong
prasangka dan value yang mencegah prasangka terhadap suatu kelompok. (Allport,
1954; Katz & Hass, 1988; Herek, 2009; Rokeach, 1973; Schwartz, 1996;Vescio &
Biernat, 2003 dalam Whitley & Kite, 2010;Vaughan & Hogg, 2013). Kecenderungan
sikap pada setiap orang dapat disebabkan orientasi value yang berbeda-beda pada
masing-masing individu.
99
PERSONAL VALUE, PRASANGKA SEKSUAL, HOMOSEKSUAL
Tabel 1
Pengaruh Personal Value terhadap
Prasangka pada Homoseksual
Variabel Prediktor
Tradition
Conformity
Security
Power
Achievement
Hedonism
Stimulation
Self-Direction
Universalisme
Benevolence
Prasangka Terhadap
Homoseksualisme
-0,18**
-0,14**
-0,15*
-0,10
0,01
0,21*
0,02
0,01
0,07
0,00
* p < .05
Value yang prioritasnya semakin tinggi cenderung lebih berpengaruh terhadap
sikap yang ditampilkan, karena merupakan hal penting terhadap konsep dirinya. Bila
merasakan hal yang selaras dengan value nya maka akan memunculkan secara
otomatis respon afektif positif, sebaliknya, bila suatu hal dirasakan mengancam yang
value yang dimiliki akan memunculkan respon afektif yang negatif (Schwartz, 2006).
Value hedonism ditemukan memiliki pengaruh positif terhadap prasangka
seksual. Value hedonism menekankan pada kebebasan pencapaian akan kesenangan
dan gaya hidup yang bebas serta inkonvensional (Schwartz, 2012) membuatnya
mendukung toleransi terhadap homoseksual. Prasangka didefinisikan sebagai sikap
negatif terhadap kelompok tertentu, sedangkan dalam penelitian ini didapatkan
temuan bahwa mayoritas tingkat prasangka seksual responden adalah sedang
(cenderung rendah). Artinya, tingginya prioritas individu terhadap value tersebut
yang menurunkan tingkat prasangka. Hasil analisis tersebut sejalan dengan hasil
penelitian lainnya (Vicario, Liddle, & Luzzo, 2005 dalam Tartakovsky et al., 2013;
Vera & Martinez, 1994; Sagiv & Schwartz, 1995; Schwartz, 2006, 2012; Herek,
2013; Vecchione et al., 2012; Kuntz et al., 2014; Feather, 2004) yang membuktikan
bahwa individu yang memiliki preferensi tinggi terhadap value hedonism akan
mempunyai tingkat prasangka yang cenderung rendah terhadap kelompok lain
khususnya homoseksual.
Perilaku prososial atau altruism sering dikaitkan dengan motivasi individu
berdasarkan prinsip hedonistik, dimana salah satu tujuan motivasional dari hedonism
ialah self-gratification (kepuasan diri) (Vecchio, 1981). Cialdini dkk (1973, 1976,
1979 dalam Baumann et al., 1981) menekankan bahwa bagi individu dewasa, altruism dan self-gratification memiliki kesamaan fungsional. Keinginan untuk berbuat
100
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
kebaikan yang telah dikondisikan dan terinternalisasi melalui proses sosisalisasi
menyebabkan meningkatnya status kepuasan, yang membuat altruism bertindak
sebagai self-reward, individu seringkali berperilaku prososial dengan maksud untuk
memberikan reward kepada dirinya sendiri (Baumann et al., 1981; Cialdini et al.,
1981).
Value security, conformity, dan tradition memiliki pengaruh negatif terhadap
tingkat prasangka seksual yang cukup rendah. Artinya, tingginya prioritas individu
terhadap value-value tersebut dapat meningkatkan prasangka seksual. Hasil analisis
tersebut sejalan dengan hasil penelitian lainnya (Vicario, Liddle, & Luzzo, 2005
dalam Tartakovsky et al., 2013;Vera & Martinez, 1994; Sagiv & Schwartz, 1995;
Schwartz, 2012; Herek, 2013; Feather, Woodyatt & Mckee, 2012; Ng, 2015) yang
membuktikan bahwa value security, conformity, dan tradition merupakan prediktor
negatif pada adanya penerimaan atau toleransi terhadap homoseksual. Menurut
penelitian tersebut, individu yang memiliki preferensi tinggi terhadap value-value
tersebut akan mempunyai tingkat prasangka yang cenderung tinggi terhadap
kelompok lain khususnya homoseksual.
Individu memiliki berbagai motivasi ketika memiliki prasangka seksual. Motivasi
tersebut dapat bersumber dari konformitas terhadap otoritas, dari hasrat untuk
memenuhi ekspektasi dari mayoritas kelompok sosial, atau dari kepercayaan yang
kuat bahwa homoseksualitas merupakan perbuatan amoral (Herek, 1986 dalam
Whitley & Kite, 2010). Toleransi terhadap homoseksualitas dianggap mengabaikan
pandangan tradisional terhadap moralitas seksual dan peran gender dalam rangka
perubahan adat istiadat. Masyarakat seringkali menganggap homoseksualitas merupakan ancaman terhadap value keluarga tradisional. Hal tersebut membuat individu
yang memprioritaskan kepatuhan terhadap ekpektasi dan norma sosial yang berlaku
(conformity), memelihara kebiasaan dan adat tradisional (tradition), keamanan,
harmoni, stabilitas dalam masyarakat, serta menghindari gangguan atau kekacauan
terhadap status quo dari tatanan sosial (security) akan menolak homoseksualitas
karena mengancam realisasi dari value-value tersebut (Kuntz et al., 2014; Schwartz,
2006).
Pencapaian akan value security, conformity, dan tradition bertindak untuk mengatasi kecemasan akan ketidakpastian dalam dunia sosial (self-protective), dengan
secara pasif menghindari konflik (conformity), menjaga aturan, tradisi, norma sosial
(tradition, security), atau secara aktif mengontrol dan mendominasi ancaman
(Schwartz, 2012a; Kuntz et al., 2014). Pencapaian value-value tersebut juga dapat
mengurangi persepsi terhadap kebutuhan, perspective taking, empati, dan tolongmenolong (Silfver et al., 2008 dalam Schwartz, 2010; Feather & Mckee, 2008).
Munculnya kelompok homoseksual mengancam value tersebut karena besar kemungkinan mereka akan memperlihatkan atau menyebarkan perilaku, kebiasaan, dan
kepercayaan baru dan tidak dikenal, baik itu disengaja ataupun tidak. Hal tersebut
101
PERSONAL VALUE, PRASANGKA SEKSUAL, HOMOSEKSUAL
dapat berakibat pada adanya keraguan terhadap norma dan ketentuan umum, perilaku
homoseksual seperti penikahan sejenis dianggap dapat mengancam stabilitas sosial
dan membuat perubahan pada tatanan masyarakat yang ada (Davidov et al., 2014;
Feldman, et al., 2015; Schwartz, 2012a).
Timbulnya prasangka seksual merupakan akibat dari perasaan terancam oleh
gaya hidup non-tradisional serta kepentingan psikologis yang memuaskan kebutuhan
defensif dan simbolis (religius). Sebagai gantinya, prasangka tersebut memberikan
afirmasi religius dan pengakuan dari orang lain, karena value tradition berkorelasi
kuat terhadap kepercayaan relijius (Schwartz, 1995; Whitley & Kite, 2010; Kuntz et
al., 2014), serta membantu individu mengurangi konflik dan kecemasan psikologis
terhadap homoseksual (Shackelford & Besser, 2007).
Kultur religius yang ketat (contoh, negara Timur Tengah, Indonesia, Malaysia)
menekankan pada pentingnya konformitas pada norma dan value kelompok,
sehingga lebih mungkin untuk mempunyai persepsi akan ancaman yang lebih tinggi
daripada kultur religius yang lebih longgar, dimana relatif toleran terhadap
penyimpangan norma sosial (Triandis, 1989 dalam Nelson, 2009). Aspek tersebut
terutama menjadikan kultur ini dengan mudah merasakan ancaman dari kultur lain
(contoh, kultur negara Barat). Ancaman yang dirasakan sebagian besar berupa ancaman simbolis (Plant & Devine, 2003; Stephan et al., 2002; Tropp & Pettigrew, 2000;
Voci & Hewstone, 2003 dalam Nelson, 2009).
Stephan & Stephan (2000 dalam Dovidio et al., 2005) menuangkannya dalam
Integrated Threat Theory yang menyebutkan bahwa ancaman dan ketakutan antar
kelompok sebagai penyebab utama dari prasangka yang salah satunya berfokus pada
ancaman simbolis (symbolic threats), yaitu ancaman terhadap sistem value, kepercayaan, ideologi, filosofi, moral, atau pandangan hidup kelompok (Stephan & Stephan
2000 dalam Dovidio et al., 2005). Khususnya, prasangka terhadap homoseksual lebih
banyak ditekankan dalam kaitannya terhadap konflik atas persoalan simbolis
(Haddock & Zanna 1998 dalam Herek, 2009; Biernat et al., 1996; Cloud, 1998;
Vescio & Biernat, 2003; McLeod & Crawford, 1988; Herek, 1988 dalam Whitley &
Kite, 2010; Kossowska & Sekerdej, 2015; Dovidio et al., 2005).
Ancaman simbolis lebih sering berakar pada kepercayaan relijius dan berangkat
dari persepsi bahwa kelompok lain memiliki perbedaan dalam hal value, sikap,
kepercayaan, standar moral, dan faktor simbolis lainnya. Persepsi atas perbedaan
tersebut terkadang diasosiasikan dengan kepercayaan bahwa kelompok lain berusaha
untuk melanggarnya. Secara khusus, ancaman ini menciptakan prasangka terhadap
kelompok terstigma, salah satunya homoseksual (Biernat et al., 1996 dalam Whitley
& Kite, 2010; Dovidio et al., 2005).
Individu mengembangkan kecurigaan, ketakutan, atau kemarahan terhadap orang
maupun hal asing sebagai cara untuk melindungi dirinya juga kelompoknya dari
kemungkinan bahaya dari luar. Oleh karena itu, prasangka merupakan output dari
102
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
hasrat manusia untuk mengatasi ancaman terhadap well-being individual atau
kelompok. Kelompok yang berbeda dianggap memiliki ancaman yang berbeda-beda
pula, dimana memunculkan respon emosi spesifik yang juga berbeda terhadap tiap
ancaman. Pelanggaran terhadap moral dan value cenderung memunculkan respon
emosi negatif berupa ketakutan, kemarahan dan jijik. Kelompok homoseksual yang
dianggap mengancam value tradisional dan religius membangkitkan ketiga emosi
tersebut (Neuberg & Cottrell, 2005; Rozin et al., 1999 dalam Whitley & Kite, 2011).
Meskipun dikatakan terdapat perbedaan perspektif secara individual mengenai sikap
dan kepercayaan terhadap homoseksual, mayoritas penelitian lebih banyak berfokus
pada intoleransi dibandingkan penerimaan terhadap homoseksual (Stevenson, 1988
dalam Greene & Herek, 1994).
Teknik sampling yang digunakan membuat penelitian ini dirasakan belum dapat
mewakili populasi secara keseluruhan. Sehingga, hasil penelitian ini tidak dapat
dijadikan kesimpulan untuk menggambarkan populasi yang ada. Selain itu, karakteristik sampel yang didapatkan kurang bervariasi, dan terdapat faktor demografis
lainnya yang belum diteliti, seperti mengenal individu homoseksual secara personal.
Adanya value yang ditemukan tidak berpengaruh terhadap prasangka seksual
dalam penelitian ini disebabkan oleh berbagai faktor. Penelitian yang dilakukan
Davidov dkk (2014) menunjukkan bahwa besarnya efek dari value dasar individu
terhadap sikap dan perilaku dapat berbeda-beda tergantung konteks dan situasi antar
kultur atau masyarakat. Salah satu variabel kontekstual yang memengaruhi ialah
cultural embeddedness (ke-kolektivis-an), yaitu aspek kultural untuk membandingkan masyarakat yang berbeda (Schwartz, 2006).
Davidov dkk (2014) menemukan bahwa efek personal value terhadap pembentukan sikap diasumsikan rendah pada masyarakat yang tingkat kolektivitas kulturnya
tinggi (less individualistic). Dalam hal ini, Indonesia termasuk negara yang dikenal
sebagai kultur Muslim dimana lebih menekankan pada kultur budaya yang kolektivis
(Nelson, 2009). Pada masyarakat dengan kolektivitas tinggi, individu cenderung
bersosialisasi dan mendukung solidaritas kelompok, serta mencari makna hidup
melalui pencapaian tujuan kelompok. Sedangkan pada masyarakat individualis,
masing-masing individu cenderung untuk menunjukkan preferensi dan ide uniknya
untuk mencapai tujuan personal. Sehingga, personal value akan lebih menonjol dan
memiliki efek yang lebih kuat terhadap pembentukan sikap pada masyarakat yang
kolektivitasnya rendah (Davidov et al., 2014).
Disamping itu, peneliti menduga kemungkinan adanya response style berupa
social desirability, yaitu kecenderungan responden untuk memilih jawaban yang
paling baik dan diterima secara sosial. Social desirability cenderung membuat
responden untuk melakukan over report terhadap perilaku positifnya (Cozby &
Bates, 2015). Kemungkinan tersebut sesuai dengan permasalahan utama yang
dianggap sebagai hal umum dalam pengukuran tentang value, dimana dikatakan
103
PERSONAL VALUE, PRASANGKA SEKSUAL, HOMOSEKSUAL
social desirability dan acquiescence biases menjadi persoalan yang signifikan dalam
penelitian khususnya tentang value, yang mana dapat berpengaruh terhadap validitas
dan hasil penelitian (Lee, Soutar, & Louviere, 2008; Schwartz et al., 1997 dalam
Steinmetz et al., 2012; Maio, 2010, 2016; Schwartz & Cieciuch, 2016).
Hal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya unsur bipolaritas dalam item
personal value membuat instrumen ini terlihat desirable, sehingga peka terhadap
social desirability. Akibatnya, responden cenderung cenderung menilai sebagian
besar value penting dalam hidupnya, yang dapat menyebabkan distribusi frekuensi
yang asimetris (end-piling) dan dapat menjadi permasalahan ketika menghubungkan
value dengan variabel lainnya (Schwartz, 2012a; Maio, 2016).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh personal value
terhadap prasangka seksual mahasiswa di Kota Bandung melalui metode penelitian
korelasional dan teknik analisis data Multiple Regression Analysis pada 400 sampel
mahasiswa yang berada di Kota Bandung, dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh antara personal value terhadap prasangka seksual mahasiswa di Kota
Bandung. Dengan demikian, personal value menjadi faktor yang dapat menjelaskan
prasangka seksual pada mahasiswa di Kota Bandung.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam
memprediksi sikap atau prasangka masyarakat lainnya terhadap homoseksual, selain
itu juga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
memperkaya hasil penelitian psikologi sosial mengenai personal value, prasangka,
dan kelompok homoseksual.
Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menggunakan populasi yang lebih
beragam serta menambah jumlah sampel agar lebih mewakili populasi yang ada.
Diharapkan karakteristik sampel yang digunakan nantinya tidak hanya mahasiswa,
tapi juga dari beragam latar belakang usia (contoh, remaja, dewasa awal, dewasa
akhir), serta apakah mengenal individu homoseksual secara personal, sehingga
nantinya dapat dilakukan perbandingan antar karakteristik sampel.
Metodologi penelitian yang berbeda dalam kajian mengenai personal value
maupun sikap atau prasangka seperti manipulasi eksperimental, kualitatif, dan
fenomenologi diperlukan untuk lebih memperdalam analisis terhadap variabel
personal value dan prasangka seksual. Ditambahkan, untuk penelitian selanjutnya
yang berkaitan dengan value, dianjurkan untuk menggunakan instrumen yang
memiliki item dengan dimensi bipolar (berlawanan, favorable-unfavorable), serta
menggunakan pengukuran dengan jenis ranking dibandingkan rating, instrumen
yang dapat digunakan ialah Schwartz Value Survey (SVS) ataupun Schwartz Value
Best Worst Survey (SVBWS), hal-hal tersebut dapat mengatasi problematika berupa
social desirability dan acquiescence biases.
104
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
Teknik analisis statistika lainnya, seperti uji Structural Equation Modelling
(SEM), Path Analysis, atau Confirmatory Factor Analysis (CFA), dapat membantu
peneliti berikutnya mendapatkan hasil analisis yang lebih beragam.
DAFTAR PUSTAKA
Agle, B.R., Hart, D.W., Thompson, J., & Hendricks, H.M. (2014). Research
companion to ethical behavior in organizations: Constructs and measures. UK:
Edward Elgar Publishing.
Bardi, A., Lee, J. A., Hofmann-Towfigh, N., & Soutar, G. (2009). The structure of
intraindividual value change. Journal of Personality and Social Psychology,
97(5),913- 929.
Baumann, D., Cialdini, R., & Kenrick, D. (1981). Altruism as hedonism: Helping
and self-gratification as equivalent responses. Journal Of Personality And Social
Psychology, 40(6), 1039-1046.
Brown, R. (2011). Prejudice: Its social psychology. New York: John Wiley & Sons,
Inc.
Callahan, M. P., & Vescio, T. K. (2011). Core americanvalues and the structure of
antigay prejudice. Journal of Homosexuality. 58(2), 248-262.
Cialdini, R. B., Baumann, D. J., & Kenrick, D. T. (1981). Insights from sadness: A
Three-step model of the development of altruism as hedonism. Developmental
Review, 1, 207- 223.
Cieciuch, J., Davidov, E., Vecchione, M., Beierlein, C., & Schwartz, S. H. (2014).
The cross-national invariance properties of a new scale to measure 19 basic
human values: A test across eight countries. Journal of Cross-Cultural
Psychology, 45, 764-776.
Davidov, E., Meulemann, B., Schwartz, S. H., & Schmidt, P. (2014). Individual
values, cultural embeddedness, and anti-immigration sentiments: Explaining
differences in the effect of values on attitudes toward immigration across Europe.
Köln Z Soziol, 66, 263–285.
Dovidio, J. F., Glick, P., & Rudman, L. A. (2005). On the nature of prejudice: Fifty
years after Allport. UK: Blackwell Publishing Ltd.feldm
Feather, N. T., & McKee, I. R. (2008). Values and prejudice: Predictors of attitudes
towards Australian Aborigines. Australian Journal of Psychology, 60(2),80–90.
Feather, N. T., Woodyatt, L., McKee, I. R. (2012). Predicting support for social
action: How values, justice-related variables, discrete emotions, and outcome
105
PERSONAL VALUE, PRASANGKA SEKSUAL, HOMOSEKSUAL
expectations influence support for the Stolen Generations. Motiv Emot, 36, 516–
528.
Feather, N.T. (2004). Value correlates of ambivalent attitudes toward gender
relations. Personality and Social Psychology Bulletin, 30(1), 3-12.
Feldman, G., Chao, M. M., Farh, Jiing-Lih., & Bardi, A. (2015). The motivation and
inhibition of breaking the rules: Personal values structures predict unethicality.
Journal of Research in Personality, 59, 69–80.
Greene, B., & Herek, G. M. (1994). Psychological perspectives on lesbian and gay
issues:Lesbian and gay psychology theory, research, and clinical applications.
Thousand Oaks, CA: Sage.
Herek, G M. (2004).Beyond “Homophobia”: Thinking about sexual prejudice and
stigma in the twenty-first century. Sexuality Research & Social Policy, 1(2), 624.
Herek, G. M. (2009). Sexual prejudice. Dalam Nelson, T. D. Handbook of prejudice,
stereotyping, and discrimination(hlm. 441-458). NewYork: Psychology Press,
Taylor & Francis Group.
Herek, G. M., & McLemore, K. A. (2013). Sexual prejudice. TheAnnual Review of
Psychology, 64, 309–333.
Kite, M.E., & Deaux, K. (1986). Attitudes toward homosexuality: Assessment and
behavioral consequences. Basic and Applied Social Psychology, 7, 137-162.
Kossowska, M., & Sekerdej, M. (2015). Searching for certainty: Religious beliefs
and intolerance toward value-violating groups. Personality and Individual
Differences, 83, 72–76.
Kuntz, A., Davidov,E., Schwartz, S.H. & Schmidt, P. (2014). Human values, legal
regulation, and approval of homosexuality in Europe: A crosscountry
comparison. European Journal of Social Psychology. DOI: 10.1002/ejsp.2068.
Nelson, T. D. (2009). Handbook of prejudice, stereotyping, and discrimination.
NewYork: Psychology Press, Taylor & Francis Group.
Ng, C. G., Yee, A., Subramaniam, P., Loh, H. S., & Moreira, P. (2015). Attitudes
toward homosexuality among nursing students in a public university in Malaysia:
The religious factor. Sex Res Soc Policy. DOI: 10.1007/s13178-015-0182-0.
Norton, A. T., & Herek, G. M. (2012). Heterosexuals’ attitudes toward transgender
people: Findings from a national probability sample of U.S. adults. Sex Roles.
68(11-12), 738-753.
Maio, G. R. (2010). Mental representations of social values. Advances in Experimental Social Psychology, 42, 1-43.
106
Rini Maulida, Tina Hayati Dahlan, Ifa Hanifah Misbach
Maio, G. R. (2016). The psychology of human values. European Monographs in
Social Psychology. London: Psychology Press.
Oyserman, D. (2002). Values: Psychological perspectives. Dalam N. Smelser, & P.
Baltes (Eds.), International encyclopedia of the social and behavioral sciences
psychology (hlm. 16150-16153). New York: Elsevier Science.
Pew Research Center. (2013). The global divide on homosexuality: Greater acceptance in more secular and affluent countries. Diakses dari www.pewglobal.
org/files/2013/06/Pew-Global-Attitudes-Homosexuality-Report-FINAL-JUNE-42013.pdf.
Sagiv, L., & Schwartz, S.H. (1995). Value priorities and readiness for out-group
social contact. Journal of Personality and Social Psychology. 69(3), 437-448.
Schwartz, S.H. (1992). Universals in the content And structure of values: Theoretical
advances and empirical tests in 20 countries. Advances In Experimental Social
Psychology. 25,1-65.
Schwartz, S. H. (2003). A proposal for measuring value orientations across nations.
Chapter 7 in the ESS questionnaire development package of the european social
survey. Diakses dari http://www.europeansocialsurvey.org.
Schwartz, S. H. (2006). Les valeurs de base de la personne: Théorie, mesures et
applications [Basic human values: Theory, measurement, and applications].
Revue Française de Sociologie, 47, 249-288.
Schwartz, S. H. (2010). Basic values: How they motivate and inhibit prosocial
behavior. Dalam M. Mikulincer & P. Shaver (Eds.), Prosocial motives, emotions,
and behavior: The better angels of our nature (hlm. 221-241).Washington:
American Psychological Association Press.
Schwartz, S. H. (2012b). An overview of the schwartz theory of basic values. Online
Readings in Psychology and Culture. 2(1). Doi:10.9707/2307-0919.1116.
Schwartz, S. H., & Cieciuch, J. (2016). Values. Dalam D. Bartram, F. Cheung, K
Geisinger, J. Hattie, D. Iliescu, & F. Leong (Eds.), International Test Commision
Handbook of Testing and Assessment (hlm. 106-119). New York: Oxford
University Press.
Schwartz, S. H., Cieciuch, J., Vecchione, M., Davidov, E., Fischer, R., Beierlein, C.,
Konty, M. (2012a). Refining the theory of basic individual values. Journal of
Personality and Social Psychology, 103, 663-688.
Shackelford, T. K., & Besser, A. (2007). Predicting attitudes toward homosexuality:
Insights from personality psychology. Individual Differences Research, 5(2),
106-114.
107
PERSONAL VALUE, PRASANGKA SEKSUAL, HOMOSEKSUAL
Steinmetz, H., Isidor, R., & Baeuerle, N. (2012). Testing the circular structure of
human values: A meta-analytical structural equation modelling approach. Survey
Research Methods, 6(1), 61-75.
Tartakovsky, E., Gafter-Shor, A., & Perelman-Hayim, M. (2013). Staff members of
community services for people with intellectual disability and severe mental
illness: Values, attitudes, and burnout. Research in Developmental Disabilities,
34, 3807–3821.
Vaughan, G., & Hogg, M. (2013). Social psychology (7th Ed.). Australia: Pearson.
Vecchio, R. P. (1981). An individual-differences interpretation of the conflicting
predictions generated by equity theory and expectancy theory. Journal of Applied
Psychology, 66(4), 470-481.
Vecchione, M., Caprara, G., Schoen, H., Castro, J. L. G., & Schwartz, S. H. (2012).
The role of personal values and basic traits inperceptions of the consequences of
immigration:A three-nation study. British Journal of Psychology, 103, 359–377.
Vera, J. J., & Martinez, Madel C. (1994). Value preferences in relation to prejudice
toward outgroups. Anales de Psicologia, 10(1), 29-40.
Walch, S. E., Sinkkanen,K. A., Swain,E. M., Francisco,J., Breaux, C. A., & Sjoberg,
M. D. (2012). Using intergroup contact theory to reduce stigma against transgender individuals: Impact of a transgender speaker panel presentation. Journal
of Applied Social Psychology, 42(10), 2583–2605.
Whitley, B. E. Jr., & Kite, M. E. (2010). The psychology of prejudice and discrimination (2nd Ed.), USA: Wadsworth.
108
Download