MAKALAH TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Kesejahteraan Sosial dalam Islam Disusun Oleh : Disusun Oleh : 1. DHEA RIZKY MAHARANI (13.04.108) 2. M. AULIA GIFFARI HASSAN (13.04.353) 3. NUR OKEU RAHMANNISA (13.04.096) 4. LISA UTAMI (13.04.031) 5. INDRYATY PERMATASARI U. (13.04.118) Kelas 1 H Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung KATA PENGANTAR Alhamdulillah, rasa syukur atas kehadirat Allah SWT dengan segala rahmat dan nikmat-Nya disertai Shalawat dan salam yang tak hentinya dihanturkan kepada junjungan besar Baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun umat-Nya. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Kesejahteraan Sosial dalam Islam”. Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Dalam penyusunan makalah ini banyak sekali pihak-pihak yang ikut terlibat membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini. Pada kesempatan ini, izinkan penulis untuk menyatakan rasa terima kasih yang terdalam atas segala bantuan yang telah diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa terselesaikan. Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin. Bandung, Oktober 2013 Penulis KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM I. PENDAHULUAN Islam adalah agama rahmatan lil alami. Rahmat bagi seluruh alam. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kesejahteraan sosial suatu umat adalah hal yang penting. Dalam Al Qur’an dijelaskan secara lengkap, maksud kesejahteraan sosial, definisinya, dan cara melakukannya. Manusia adalah hamba Allah SWT. Yang mempunyai dua sistem kehidupan. Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Kedua-duanya bersifat simbosis atau organik. Satu sama lain saling manyatu dan membutuhkan. Jika sistem rohani sakit maka jasmani maupun akan mengalami sakit. Demikian juga sebaliknya, jika jasmani sakit, maka rohanipun ikut sakit. Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan keseimbangan antara kedua sistem tersebut. Untuk itu, maka akidah dan ibadah dalam Islampun bukan saja bersifat keimanan dan ritual yang hanya melahirkan kesalihan individu, melainkan juga bersifat sosial, yang dapat melahirkan keshalihan sosial (struktural). Perhatian Islam dalam terhadap masalah sosial dapat dilihat, misalnya adzan, di dalamnya terdapat dua seruan, yakni hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (mari samasama melaksanakan dan menegakkan shalat, dan mari bersama-sama menuju kebahagiaan). Seruan pertama bersifat ritual dan vertikal, sedang kedua bersifat sosial dan horisontal. Contoh lain ialah pelaksanaan sholat. Ia diawali dengan takbirratul ihram, dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram berarti mengagungkan dzat Pencipta alam semesta (vertikal), dan salam berarti mengajak kepada semua muslim untuk menyebarkan kesejahteraan sosial (horisontal). Memang keimanan dan ibadah (individual) dalam Islam itu mengarah pada terwujudnya masyarakat yang baok dan sejahtera. Perhatian Islam terhadap masalah kesejahteraan sosial dapat dicermati pula dari dua alasan. Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah sosial jauh labih banyak dibandingkan ayat yang berkenaan dengan masalah keimanan dan ibadah pribadi, yaitu 100:1. Jika ada seratus ayat sosial, maka hanya ada satu ayat keimanan dan ibadah. Kedua, ibadah khusus seperti puasa, dapat diganti dengan amal sosial, tetapi sebaliknya, ibadah sosial tidak dapat digamti dengan ibadah khusus. Berkaitan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan, Islam bukan saja memiliki perangkat etik, tetapi juga dilengkapi dengan sejumlah instrumen. Adapun instrumen itu antara lain ialah zakat, infak, dan shadaqah. Khusus mengenai zakat, intrumen ini mendapat tempat khusus dalam al-Qur’an. Ia disebut secara sendirian sebanyak 10 kali, dan disebut bersama-sama shalat sebanyak 82 kali, sehingga secara keseluruhan zakat disebut sebanyak 112 kali. Ini menandakan bahwa Islam sangat memperhatikan kesejahteraan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan. Hal ini tergambar dari antusiasme ajaran Islam yang mempunyai keberpihakan kepada kelompok lemah (mustadh‘afîn) lewat program zakat. Program zakat merupakan program yang bermuatan ritual dan sosial. Sebagai program ritual, zakat adalah implementasi dari rasa syukur individu atas karunia (kekayaan) yang diberikan oleh Allah. Sedangkan sebagai program sosial, zakat berfungsi sebagai program aksi pemerataan distribusi dalam rangka mengurangi jumlah kemiskinan. Kesadaran akan nilai membawa pengaruh kepada umat Islam bahwa mereka lebih peka terhadap pelanggaran ninai dan norma daripada ketimpangan sosial. Misalnya, apabila ada pelanggaran norma moral, secara antusias meraka memperhatikan dan membicarakannya, namun apabila ada berita tentang kelaparan, bencana alam, dan sebagainya, perhatian mereka kurang. Masalah ketimpangan sosial, dianggapnya suatu yang biasa, dan telah menjadi suratan takdir Tuhan. Melihat permasalahan tersebut, maka perlu dirumuskan paradigma baru, yang lebih memberi perhatian kepada aspek sosial ekonomi masyarkat sebagai prasyarat tercapainya kesejahteraan sosial daripada aspek moral. Dipihak lain, penerobosan terhadap batasan kelompok, harus diartikan sebagai usaha untuk melakukan “penjembatan hubungan antar segmen. II. PEMBAHASAN a. Pengertian 1. Kesejahteraan Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera: aman, sentosa, dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya). Kesejahteraan: hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, ketenteraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran. Dalam definisi lain dijelaskan, Kesejahteraan (welfare) adalah kondisi yang menghendaki terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan makan, pendidikan, kesehatan. 2. Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial adalah keadaan sejahtera masyarakat. Sedangkan dalam Mu’jam Musthalahâtu al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah dijelaskan: “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembagalembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang setara antar individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat”. Dari berbagai definisi di atas, pada intinya, kesejahteraan sosial menuntut terpenuhinya kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan primer (primary needs), sekunder (secondary needs) dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer meliputi: pangan (makanan) sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), kesehatan dan keamanan yang layak. Kebutuhan sekunder seperti: pengadaan sarana transportasi (sepeda, sepeda motor, mobil, dsb.), informasi dan telekomunikasi (radio, televisi, telepon, HP, internet, dsb.). kebutuhan tersier seperti sarana rekereasi, entertaimen. Kebutuhan-kebutuhan ini berdasarkan tingkatan (maqâm) individu. Artinya untuk tingkat masyarakat kelas menengah, kebutuhan akan mobil pribadi untuk menunjang mobilitas aktivitas yang tinggi, masuk dalam kategori kebutuhan primer. Sedangkan untuk kelompok ekonomi menengah ke bawah, mobil pribadi merupakan barang lux dan masuk kategori kebutuhan sekunder. Tiga kategori kebutuhan di atas bersifat materiil sehingga kesejahteraan yang tercipta pun bersifat materiil. Kesejahteraan sosial akan tercipta dalam sistem masyarakat yang stabil, khususnya adanya stabilitas keamanan. Stabilitas sosial, ekonomi tidak mungkin terjamin tanpa adanya stabilitas keamanan (termasuk di dalamnya stabilitas politik). Hal ini sebagaimana do’a Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah: 126. Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali". Sebuah negara yang stabilitas keamanannya rawan akan berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan lainnya. Kinerja sektor ekonomi yang merupakan faktor penyangga kesejahteraan akan terganggu bahkan terbengkelai sama sekali. Begitu pula stabilitas politik. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara dunia ketiga yang terus dilanda kemelut krisis dalam negeri seperti membengkaknya hutang, angka pengangguran, dan berseminya kawasan kumuh dan miskin (kumis) disebabkan karena stabilitas keamanan dan politik yang labil. Ironisnya, justru tingkat korupsi merajalela di negara-negara dunia ketiga ini. Sebuah ilustrasi, dalam catatan sejarah selama lima kali suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia selalu didahului oleh peristiwa-peristiwa yang mengundang kerawanan sosial, politik dan keamanan (sospolkam). Kerawanankerawanan ini mengakibatkan gejolak (rush) dalam bidang ekonomi, seperti terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, menurunnya suku bunga SBI, menurunnya indeks perdagangan di bursa saham yang berarti melemahnya investasi. b. Sasaran Kesejahteraan Sosial Sasaran kesejahteraan sosial dalam Islam adalah sesuai dengan sistem kemanusiaan Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Indikator kesejahteraan sosial dalam Islam tidak saja tercermin dalam kesejahteraan lahiriah, melainkan juga tercermin dalam kehidupan rohani. Sebab persoalan keterbalakangan, kebodohan dan kemiskinan bukan hanya dikarenakan ada faktor-faktor rohani seperti mental, motivasi dan pemahaman terhadap suatu sistem nilai yang dianut. Dalam soal kesejahteraan rohani, sasaran yang harus dilakukan perbaikan adalah bagaimana menjadikan sistem nilai yang dianutnya (tauhid) sebagai ruh, spirit dan etos melakukan aktifitas kehidupan. Dengan kata lain, bagaimana mengfungsikan sistem aqidah (keimanan) seseorang agar mampu berbuat lebih baik didunia ini. Dalam soal kesejahteraan jasmani, kebutuhan yang diperlukan oleh fisik atau badan manusia agar dapat hidup secara layak dan baik. Contoh: kebutuhan makanan dan minuman, pakaian, alat-alat olah raga untuk menunjang kesehatan raga atau badan, dan sebagainya. Sedangkan dalam kesejahteraan sosial, Islam menekankan pada upaya memberantas kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Selain itu, juga mengutamakan penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang tua. Penekanan terhadap obyek-obyek tersebut dikarenakan, memang dalam kenyataannya masalah tersebutlah yang harus dibenahi. Sebab masalah kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, persoalan anak yatim, fakir miskin, dan orang tua adalah persoalan abadi, yang ada di setiap tempat dan kurun waktu. Al-Qur’an tak henti-hentinya menghimbau hal tersebut dengan menandaskan dalam ayat-ayat sebagai berikut: . فو يل للمصلين. وال يحض علي طعام المسكين. فذالك الذي يدع اليتيم. اارأيت الذي يكذب بالدين (7-0 7:1 )الما عون . ويمنعون المعون. والذين هم يراء ون. الذين هم عن صال تهم سا هون “Taukah engkau orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang meninggalkan anak yatim dan tidak menghiraukan kehidupan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang melakukan sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya, dan berbuat riya’, serta enggan menolong dengan barang yang berguna” (al-Ma’un/107: 1-7) Ayat ini memberitahukan kepada umat Islam betapa pentingnya masalah sosial, sehingga Tuhan menyatakan bahwa orang yang sholat, tetapi tidak mau menghiraukan kesejahteraan sosial, shalatnya sia-sia dan berarti membohongi agamanya, karena shalatnya terlalaikan, tidak bisa menggerakan ke arah perbaikan sosial. Ada dua hal yang menyebabkan seseorang terlantarkan di akhirat kelak, yaitu karena melalaikan shalat dan melalaikan kesejahteraan sosial (al-Mudatstsir/74: 42-44). Termasuk salah satu diantara sekian banyak orang yang tidak termasuk umat Muhammad saw., yaitu orang yang sehari selamanya selalu kenyang, sedang tetangganya kelaparan (al-Hadits). Oleh karena itu Nabi saw manganjurkan, barang siapa mempunyai makanan cukup untuk seorang, maka carilah seorang teman, jika cukup dua orang, maka carilah dua orang teman lagi dan seterusnya. c. Islam dan Masalah Kesejahteraan Sosial Idealisasi “kesejahteraan hidup” dalam Islam khususnya, dan agama samawi pada umumnya, adalah “kehidupan surgawi” yaitu kehidupan di surga nanti, yang selalu digambarkan sebagai : a. Serba kecukupan pangan yang berkalori dan bergizi b. Kecukupan sandang yang bagus-bagus c. Tempat tinggal yang indah dan nyaman d. Lingkungan hidup yang sehat dan segar e. Hubungan sosial yang tentram dan damai f. Dikeilingi pelayan-pelayan yang trampil dan menggairahkan g. Hubungan yang selalu dekat dengan Allah, Tuhan Maha Pemurah Kunci keberhasilan untuk mencapai kehidupan sejahtera yang ideal itu, ditegaskan bahwasannya harus melalui yang panjang, yakni : Pertama : Keimanan yang mantap kepada Allah, kepada Rasul-Nya, dan rukun iman lainnya. Kedua : Ketekunan melakukan amal-amal saleh, baik amalan yang bersifat ritual, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain; dan amalan yang bersifat sosial, seprti pendidikan, ksehatan, dan masalah-masalahkesejahteraan lainnya, maupun amalan yang bersifat kultural, yang lebih luas lagi seperti pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam, penanggulangan bencana, penelitian dan sebagainya. Ketiga :Kemampuan menangkal diri dari kemaksiatan dan perbuatan yang merusak kehidupan (almuhlikat). Gambaran kesejahteran “kehidupan surgawi” itu tadi yang diidentifikasikan sebagai kebahagiaan akhirat (fil akhirati hasanah). Tapi disamping kesejahteraan kehidupan surgawi tersebut, Islam juga memberikan perintah agar terwujudnya kesejahteraan kehidupan duniawi (fiddunya hasah), dengan kunci keberhasilan yang tidak berbeda dengan kunci keberhasilan untuk kesejahteraan kehidupan surgawi. Jika orang memperhatikan ajaran-ajaran Islam dengan cermat, akan mendapatkannya selalu mengacu kepada perwujudan kemaslahatan manusia dan pencapaian-pencapaian kebutuhan dasarnya maupun kesejahteraannya, baik kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi. Semua ulama dan cendikiawan muslim sepenapat tentang masalah ini, hanya dalam aktualisasinya kadangkala terdapat perbedaan yang tidak prinsipil diantara mereka. Dari wawasan demikian itu lahirlh konsep al-Mashalih al-Mursalah (kemashlahatan umum) yang dijadikan salah satu acuan dalam sistematika hukum fiqih Islam. A-Syathiby mengatakan, bahwa penetapan hukum-hukum syara’ selalu berorientasi kepada kepentingan hidup manusia. Kepentingan atau kebutuhan hudup manusia itu dibagi menjadi tiga kategori : Prioritas pertama : “ad-Dhoruriyat” ialah kebutuhan pokok, yakni kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, kebutuhan perumahan atau papan dan semua kebutuhan pokok yang tidak dapat dihindari bagi minimum. Prioritas kedua: “Al-Hajiyat” ialah kebutuhan-kebutuhan yang wajar, sperti kebutuhan penerangan, kebutuhan pendidikan dan lain sebagaianya. Prioritas ketiga : “Al-Tahsinat” atau dapat disebut juga sebagai kesempurnaan yang lebih berfungsi sebagai kesenangan daripada kebutuhan hidup. Imam Al-Ghozali seperti halnya juga As-Yathiby, berpendapat bahwa yang jelas masuk dalam kategoi ad-Dhoruriyat yang menjadi prioritas garapan Islam adalah yang menjalin kemaslahatan : - Ad-Dienu (agama) - An-Nafsu (jiwa) - An-Naslu (keturunan) - Al-Malu (harta benda) - Al-Aqlu (akal atau fikiran) Lima masalah tersebut dikenal dengan istilah lima kebutuhan dasar (ad-dhoruriyat al-homs). Dalam hubungan konsep tersebut diatas, dapat dipahamai lebih lanjut, mengapa Islam melarang perbuatan-perbuatan kufur, kemaksiatan, pembunuhan, zina, pencurian dan mabuk-mabukan. Karena perbuatan semacam itu mengancam kemaslahatan dan keslestarian lima kebutuhan dasar tersebut. Demikian pula Islam memerintahkan usahausaha yang dapat menanggulangi kemiskinan, melalui kerja keras, pemerataan kemakmuran dengan cara menunaikan zakat, waqaf, sodaqah, hibah, wari, wasiyat dan lain sebagainya, agar tidak terjadi akumulasi kekayaan hanya kepada beberapa orang kaya saja. [3]). Masalah kesehatan, diperlihatkan mulai dari makanan yang bergizi, kebersihan tubuh, pakaian dan lingkungan, sampai pengobatan dan olah raga. Dalam hal pencerdasan masyarkat, Islam memandang usaha pecerdasan itu sebagai kewajiban, dalam waktu seumur hidup. Membaca dan menulis menjadi perintah skriptural (dicantumkan langsung dalam kitab suci), disamping itu Islam memandang penyebaran ilmu sebagai amal jariyah. Kecerdasan (al-fathonah) dalam teologi Islam dipandang sebagai sifat wajib bagi para Rasul, dan keillmuan dipandang sebagai salah satu indikator kualitas umat. Seperti yang tercantum dalam surat al-Mujadillah ayat 11 : . خبير يرفع هللا الذين أمنوا منكم والذين أثوا العلم درجت وهللا يما تعلمون “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantarau dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Menolong fakir miskin dan menyantuni anak yatim menjadi ukuran pembuktian kualitas agama seseorang, dan mengusahakan kebutuhan hidup mayarakat dinilai sebagai ibadah amal jariyah. Pada waktu nabi Muhammad s.a.w pertama kali datang di madinah dalam rangka hijrah beliau, maka ceramh perdana beliu lakukan waktu itu antara lain adalah sebagai berikut : أفيسوا السالم وأطعمـوا الـطعام وصلوا االرحـام وصـــلوا با الليــل و النــاس نــيام تــدخلـوا الـجنة .بــسالم "Wahai manusia, sebarluaskanlah salam atau ucapan damai, cukupilah kebutuhan makanan, lakukanlah hubungan kekeluargaan, dan shalatlah pada waktu malam pada saat orang lain sedang tidur. Kalian akan masuk surga dengan penuh kedamaian. Butir-butir sabda Nabi terebut mengandung nilai agung secara mendasar berhubungan dengan kesejahteraan sosial. Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis-normatif maupun rasionalfilosofis yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana dikemukakan dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang berbunyi : “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107). Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Hubungan dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allâh wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun Islam), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya hanya akan berpegang pada pentunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak mungkin orang mau menciptakan ketenangan jika tidak ada komitmen iman dalam hatinya. Demikian pula ibadah shalat (khususnya yang dilakukan secara berjama’ah), juga mengandung maksud agar mau memperhatikan nasib orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir rangkain shalat berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa seseorang diharapkan dapat merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang lain yang berada dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak jelas unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah haji, yang mengajarkan seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia lainnya. Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan misi kekhalifahan yang dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, sebegaimana dikemukakan H.M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127), menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesjaterjaan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam firman-Nya yang berbunyi : “Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan. (Q.S. Thâhâ, 20: 117-119). Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial. Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang secara langsung berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti wakaf dan sebagainya. Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya mencari berbagai alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, suatu hal yang perlu dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh umat Islam dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta pengelolaannya yang baik. Untuk itulah, saat ini pemerintah melalui Departemen Agama membentuk semacam Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional. Berhasilkah konsep ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, amat bergantung pada partisipasi kita. Kelima, ajaran Islam mengenai perlunya mewujudkan kesejahteraan sosial ini selain dengan cara memberikan motivasi sebagaimana tersebut di atas, juga disertai dengan petunjuk bagaimana mewujudkannya. Ajaran Islam menyatakan bahwa kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan untuk mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat yang seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad Saw. melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga yang seimbang seperti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain. Selain itu, ajaran Islam menganjurkan agar tidak memanjakan orang lain atau membatasi kreativitas orang lain, sehingga orang tersebut tidak dapat menolong dirinya sendiri. Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw. tidak memberinya uang, tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu. Dengan demikian, ajaran Islam tentang kesejahteraan sosial ini termasuk di dalamnya ajaran yang mendorong orang untuk kreatif dan bersikap mandiri, tidak banyak bergantung pada orang lain. d. Subyek dan Obyek Kesejahteraan Sosial Penanggulangan masalah kesejahteraan sosial menurut Islam, menjadi tanggung jawab bersama antara : 1. Individu Muslim. Hal ini dapat dilihat dari konsep zakat. (19 : )الذارياتــــ. وفي أمـوالــهم حــق للســاءـــل والــمحروم “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta atau yang tidak meminta”. Dalam menjaga keseimbangan kesejahteraan duniawi dengan ukhrawi, Nabi Muhammad S.A.W pernah menegur sahabat Abu Darda’ r.a yang hanya sibuk puasa dan shalat saja, tapi mengabaikan kesehatan diri dan kebutuhan keluarganya. Nabi s.a.w bertanya : Aku dengar engkau selalu shalat malam hari dan puasa siang harinya, dan tidak kumpul dengan keluargamu ?. Dijawab oleh Abu Darda’: Benar ya Rasulallah. Beliau berseru : jangan demikian…… . ّ و إنّ ألهلك عـليـك حقـا, وإنّ لنفـسـك علـيك حقـا, ّلجسد علــيك حق ّإن “Fisikmu mempunyai hak yang harus kamu penuhi, jiwamu mempunyai hak yang yang harus engkau urusi, dan keluarga mempunyai hak yang harus kamu perhatikan”. (HR. Bukhari). 2. Masyarakat Muslim. Hal ini dikembangkan melalui solidaritas umat, disamping kesadaran hidup yang saling membutuhkan. و تـعـاونـوا علـي البـرّ والــتقـو ي وال تــعاونـــوا علي إلثــم و الـعدوان و اتــقـوا هللا إنّ هللا ( )المـا ءــدة. شـديـد الــعقــــــاب “…dan tolong-menolonglah kamu untuk kebijakan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong untuk perbuatan dosa dan permusuhan”. . أيّ رجـلّ مـات ضيـاعـاّ بـيـن أغنـياء فـقد بـ َ ِرءت منهم ذمة هللا ور سله “Siapapun orang yang mati terlantar, ditengah-tengah orang kaya, maka Allah tidak lagi memperdulikan orang-orang kaya itu, demikian pula Rasul-Nya”. Artinya Allah tidak lagi memberi syafa’at kepada mereka, demikian juga Rasulnya. 3. Pemerintah. Kasus Khalifah Umar bin Khattab r.a. dalam menaggulangi kesulitan makanan rakyatnya, sehingga secara pribadi mengadakan pemantauan, dan menemukan seorang janda yang miskin dengan anak-anaknya, sehingga Umar bin Khatab r.a mengangkat sendiri karung yang berisi bahan makanan untuk mereka, adalah suatu cerita populer yang mengandung makna tanggung jawab pemeritah terhadap masalah kesejahteraan sosial. Adapun yang menjadi obyek usaha kesejahteraan sosial adalah semua warga negara yang membutuhkan. Sikap adil semua warga negara yang membutuhkan. Sikap adil dalam melayani dan memberikan perhatian kepada semua warga merupakan bagian integral dari konsep kesejahteraan sosial dalam Islam. يـأيها الذيـن أمـنوا كـونـوا قـومـيـن هللا شهــداءبـاالقـــسط وال يـجرمـنكــم شـنـان قــوم عــلي )الـــما. أالتعـــدلـوا‘ إعــدلوا هــو أقـرب للتقوا ي واتــقوهلل انّ هللا خبـــير بــماتعملـــون (8 : ءـــــدة “ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillh, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesunguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dr. Ali Abdul Wahid wafy memberikan penjelasan makna ayat tersebut dengan : “Islam menegaskan, bahwa hubungan atau interaksi sosial dalam Islam dilakukan atas dasar kesamaan, baik dalam tanggung jawab, hukuman dalam hak-hak perdata seprti pemilikan, jual-beli dan lain sebagainya, tanpa membedakan antara sigembel dan penguasa, antara kalangan atas dan rakyat jelata, antara sikaya dan simiskin, maupun antara orang yang disayangi dan yang dibenci, antara kerabat dengan orang lain “. Keadilan hanya mengenal stu matra semua. Ada beberapa masalah sosial yang oleh Islam dipandang sebagai gangguan terwujudnya kesejahteraan sosial, atau paling tidak mempersulit realisasi kesejahteraan : 1. Kebodohan (al-Jahilia) Jika Al-Qur’an menyatakan, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, melebihi yang lainnya, berarti kebodohanlah yang menjadi salah satu penyebab kemerosotan dan keterbelakangan martabat manusia. Oleh karena itu Islam memandang penanggulangan kebodohan itu sebagai ibadah, sebaliknya membiarkan kebodohan dipandang sebagai tindak kemungkaran. Ada sebuah hadis yang menegaskan masalah ini, yakni tentang komunitas muslim yang disebut “Asy ‘ariyin, suatu kelompok terpelajar yang membiarka lingkungannya tetap dalam kebodohan 2. Wawasan (al-Fakru/ al-Maskanah) Wawasan ekonomi Islam lebih banyak memandang potensi alam yang dianugerahkan oleh Allah dari segi kecukupannya (adequacy) dari pada segi kekurangan atau kelangkaannya (scarcity). Hal ini bermula dari premis, bahw sumber daya alam itu berkecukupan untuk memberi kesejahteraan. Oleh karena itu jika kelangkaan itu muncul, maka akibat kealahan orang dalam memanfaatkannya, melestarikannya atau karena kebodohan dan kemalasannya. Kemiskinan dipandang ole Islam sebagai patalogi sosial yang harus ditanggulangi. Nabi Muhammad s.a.w selalu berdo’a : . وأعـوذبـك مـن الـــفكر والكــفر و الفــســوق “Aku berlindung kepada-Mu dari bahaya kefakiran, kekufuan dan kefasikan”. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi). 3. Kemaksiatan (al-Maksiyah) Kekacauan jiwa, kegoncangan hati, ketidak tentraman batin, sentimen, dendam dan macam-macam penyakit batin lainnya; adalah dampak langsung dari kemaksiatan. Berapa banyak kehancuran sosial akibat dari tindak maksiat seperti pembuuhan, perjudian, atau lain-lainnya lagi; malah juga kehancuran rumah tangga, lingkungan dan martabat seseorang sebagai individu. Dalam menceritakan Bani Israil, Al-Qur’an menghubungkan antara kemerosotan dan kenistaan hidup dengan perbuatan maksiat dan pelanggaran. و ضربت عــليهم الذلـة ولــمسكــنة وباءوا بــغب مــن هللا ذا لك بــأنهــم كانـوا يكفـر ّون بــأنــهـم كانـوا يكفرون بـأيات هللا ويقتلـــون النبيين بغير الحق ذالك بــما عـصـوا .(61 : )الـــبــــقرة وكـانــــوا يعتدون “…lalu ditimpakanlah kepda mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu terjadi karena mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah. Hal itu terjadi karena mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu terjadi karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampui batas”. Banyak anjuran-anjuran Al-Qur’an maupun Sunnah dan fatwa-fatwa Ulama agar ketiga penyakit sosial tersebut ditanggulangi, agar dapat mewujudkan kesejahteraan yang sebenarnya. III. PENUTUP Meningkatkan kepekaan sosial yang diterjemahkan dalam upaya memecahkan problem ummat, terutama penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orangorang yang membutuhkan uluran tangan. Dari semua yang dibahas di atas, membuktikan bahwa Islam menginginkan sekali terciptanya kesejahteraan sosial di dunia ini (dan juga di akhirat tentunya). Bukan hanya kesejahteraan jasmani, namun juga rohani. Karena itu, untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, hal yang paling dekat yang bisa dilakukan adalah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berusaha untuk mencapai kesejahteraan diri sendiri. Setelah itu adalah bersikap adil orang lain. Maka kesejahteraan sosial akan tercipta dengan sendirinya. DAFTAR PUSTAKA www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf http://www.unjabisnis.net/kesejahteraan-sosial-menurut-islam.html de-donuts.blogspot.com/2010/11/kesejahteraan-sosial-menurut-islam.html http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/makna-kesejahteraan-sosial-dalam-islam.html http://hizbut-tahrir.or.id/2011/07/14/kesejahteraan-dalam-islam/ hippoprayogo.blogspot.com/2011/11/kesejahteraan-sosial.html makassar.tribunnews.com/2012/12/14/konsep-kesejahteraan-dalam-islam wwwgats.blogspot.com/2009/07/negara-kesejahteraan-dalam-pandangan.html