View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
PENDAHULUAN
Dangke merupakan makanan khas masyarakat Kabupaten Enrekang yang
terbuat dari susu kerbau atau susu sapi. Dangke yang sangat diminati oleh
masyarakat Kabupaten Enrekang yaitu dangke dari susu kerbau yang memiliki
cita rasa khas dari dangke kerbau. Pembuatan dangke kerbau dengan
menggunakan susu 1 liter akan menghasilkan 500 ml
whey sebagai produk
samping yang belum termanfaatkan.
Whey
dangke dapat diolah menjadi berbagai produk salah satunya
menjadi minuman fermentasi. Produk tersebut sangat diminati masyarakat saat ini
dan mempunyai nilai jual yang tinggi (Gallardo-Escamilla, et al., 2007).
Komponen nutrisi whey dari produk sampingan dapat dimanfaatkan oleh bakteri
sebagai sumber nutrisi pertumbuhan. Whey mengandung sekitar 55% total nutrisi
dari susu seperti laktosa, protein terlarut, lemak, vitamin yang larut dalam air, dan
garam mineral (Vinderola, et al., 2000)
Pemanfaatan whey sebagai produk yang bermanfaat untuk manusia
dibutuhkan teknologi pengolahan lebih lanjut. Teknologi pengolahan whey yaitu
dengan penambahan sukrosa dan bakteri probiotik untuk meningkatkan kualitas
dari whey. Probiotik itu sendiri
adalah suplemen dalam makanan yang
mengandung bakteri yang sangat menguntungkan. Salah satu probiotik yang ada
saat ini yaitu Lactobacillus acidophilus. Lactobacillus acidophilus FNCC 0051
merupakan spesies bakteri
probiotik yang dapat menghasilkan bakterioksin
(Cahyanti, 2008 ).
Penambahan sukrosa dapat memperbaiki daya suka terhadap produk dan
menjadi lingkungan bagi mikroorganisme probiotik untuk tumbuh. Kar dan Misra
1
(1999) menyatakan bahwa konsentrasi sukrosa 10% yang ditambahkan pada
pembuatan wheyghurt sangat baik dari segi rasa, dan tingkat keasaman 0,78%
serta jumlah mikroorganisme yang hidup 12,1 x 108 CFU/ml. Penambahan
sukrosa akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri probiotik yang ada dalam
minuman dan aktivitasnya dalam memanfaatkan komponen karbohidrat yang ada
di dalam susunan bahan baku produk minuman fermentasi whey.
Pembuatan minuman whey fermentasi dengan memanfaatkan mikroba
yaitu bakteri Lactobacillus acidophilus. Bakteri ini merupakan probiotik yang
memberi manfaat terhadap kesehatan manusia. Komponen karbohidrat yang
terdapat di dalam bahan pembuatan whey fermentasi kemungkinan akan
dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber energi sehingga mempengaruhi jumlah
bakteri. Bertitik tolak dari pemaparan sebelumnya maka melalui penelitian ini
dapat diketahui jumlah bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 dan
karakteristik kimia (kandungan laktosa, sukrosa, dan pati) pada whey kerbau
fermentasi yang ditambahkan berbagai level sukrosa.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh level
sukrosa terhadap pertumbuhan bakteri
Lactobacillus acidophilus dan untuk
mengetahui penggunaan laktosa, pati, dan sukrosa oleh bakteri Lactobacillus
acidophilus seiring peningkatan level sukrosa yang ditambahkan dalam produk
minuman fermentasi.
Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan whey hasil
sampingan dari produk dangke dengan proses pembuatan minuman fermentasi
whey dengan penambahan bakteri Lactobacillus acidophilus sebagai minuman
probiotik bagi kesehatan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Whey Dangke dan Whey fermentasi
Dangke merupakan makanan khas masyarakat Kabupaten Enrekang.
Kabupaten Enrekang merupakan sentra pengolahan dangke di Propinsi Sulawesi
Selatan. Sekitar 6000 liter susu perhari diolah menjadi dangke (Dinas Peternakan,
2010). Dangke merupakan produk olahan susu sejenis keju lunak tanpa dilakukan
proses fermentasi. Berdasarkan kandungan airnya, dangke merupakan keju lunak
(soft cheese) (Ridwan, 2004).
Dangke dibuat dari susu yang dipanaskan. Susu selanjutnya ditambahkan
getah pepaya untuk memisahkan curd dan whey (Djide, 1991). Getah pepaya
mengandung papain yang merupakan salah satu jenis enzim proteolitik. Enzim ini
tergolong protease sulfihidril (Winarno, 1995; Muchtadi et al., 1992). Papain
akan memutus ikatan peptida pada residu asparagin-glutamin, glutamat-alanin,
leusin-valin dan fenilalanin-tirosin (Godfrey and Reichet, 1986). Papain akan
bekerja secara optimal tergantung dari konsentrasi yang diberikan (Nurhidayati,
2003).
Whey susu didefinisikan sebagai serum atau bagian air dari susu yang tersisa
setelah pemisahan curd dan merupakan hasil koagulasi protein susu dengan asam
atau enzim proteolitik (Panesar et al., 2007).
Setiap 10 liter susu yang
digumpalkan selama proses pengolahan keju akan menghasilkan sekitar 6 - 9 liter
whey yang tergantung pada tipe keju (Almeida et al., 2008). Whey hasil samping
proses pembuatan keju mengandung 6,5% padatan yang terdiri atas 4,8% laktosa,
0,6% protein, 0,6% mineral, 0,15% asam laktat, 0,25% nitrogen non protein dan
3
0,1% lemak (Handayani, 2004). Komponen dan komposisi protein whey susu
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Fraksi protein whey susu sapi
Kandungan
Total Protein Susu
Total whey protein
(g/l)
6,0
(%w/w)
19,3
β-laktoglobulin
3,2
10,0
α-laktalbumin
1,2
3,1
Serum albumin
0,3
1,2
Immunoglobulin
0,7
2,0
Laktoferin, lisosim & laktoperoksidase
0,8
2,4
Fraksi
Sumber : Mazza, 1998.
Umumnya industri susu tradisional tidak mempunyai sistem perlakuan yang
tepat untuk membuang whey. Potensi pangan dan energi whey akan hilang apabila
tidak dimanfaatkan, mengingat whey mengandung sekitar 55% total nutrisi dari
susu (Vinderola et al., 2000). Disamping itu menurut Almeida et al.,(2008),
pembuangan whey ke lingkungan dapat menyebabkan polusi lingkungan sekitar
karena whey dapat menyebabkan pengaruh kuat terhadap lingkungan. Whey
memiliki konsentrasi bahan organik terlarut seperti protein dan sumber energi ke
lingkungan. Nilai BOD (Biochemical oxygen Demand) whey berbeda-beda dari
30.000 - 50.000 g/g tergantung pada buangan susu dalam whey. Vinderola et al.
(2000), Staszewski and Jagus (2008) menyatakan bahwa pengolahan limbah whey
dibutuhkan sebagai solusi terhadap pencegahan pencemaran lingkungan dan
sekaligus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Teknologi
pengolahan biologi sangat membantu dalam pengamanan limbah whey. Metode
4
ini membutuhkan biaya yang besar untuk pelaksanaannya dan menjadi kendala
penggunaan untuk industri tradisional.
Salah satu cara untuk mengatasi agar whey tidak terbuang percuma yang
dapat menimbulkan polusi lingkungan maka whey seharusnya diolah menjadi
produk yang bermanfaat serta bernilai ekonomis tinggi. Kandungan laktosa dan
nutrisi essensial whey merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Hal tersebut menjadi pertimbangan untuk menghasilkan produk
dengan memanfaatkan mikroorganisme (Vinderola et al., 2000).
Penggunaan Lactobacilus achidophilus dalam produk Fermentasi
Salah satu kultur bakteri yang sering dimanfaatkan sebagai biopresevatif
adalah bakteri asam laktat (BAL). Hal ini dimungkinkan karena BAL dapat
menghasilkan produk metabolic yang bersifat antimikroba seperti asam organik,
hydrogen peroksida, karbon dioksida, aseton, diasetil dan bakteriosin (Tamime,
2005; Soerharsono et al., 2010).
Lactobacillus acidophilus adalah salah satu contoh bakteri yang dapat
dimanfaatkan sebagai minuman probiotik. Bakteri ini bersifat gram positif,
menggunakan sumber laktosa dan bahan lain sebagai sumber nutrisinya. Bakteri
yang berasal dari genus Lactobacillus biasanya memiliki sel yang reguler dan
berbentuk batang dengan ukuran 0,5 – 1,2 x 1,0 – 10,0 μm. Pada umumnya
berbentuk batang panjang, tetapi kadang-kadang hampir bulat, koloni yang
terbentuk biasanya berupa rantai pendek. Merupakan bakteri gram positif,
fakultatif anaerob, kadang-kadang microaerophilic, tumbuh kurang baik di udara,
beberapa anaerob pada saat isolasi. Pertumbuhan biasanya ditingkatkan dengan
5
penambahan 5 % CO2. Koloni pada media agar pada umumnya 2 – 5 mm,
cembung, buram, dan tanpa pigmen. Sel ini memerlukan media yang kaya dan
kompleks, paling tidak separuh hasil akhir dari metabolisme karbon adalah laktat.
Suhu pertumbuhan optimal adalah 30 – 40 oC. Lactobacillus secara luas tersebar
di lingkungan, khususnya pada hewan dan sayuran, mereka menghuni saluran
pencernaan burung dan mamalia, dan vagina pada mamalia. Bakteri ini jarang
yang bersifat patogen (Sneath, 1986).
Lactobacillus acidophilus adalah salah satu dari beberapa bakteri dengan
genus Lactobacillus. Bakteri ini tumbuh dengan subur pada lingkungan yang
o
bersifat asam ( pH 4 – 5 atau lebih rendah) dan tumbuh optimal pada suhu 45 C.
Lactobacillus acidophilus secara alami sudah ada di dalam usus manusia dan
hewan, serta vagina. Lactobacillus acidophilus dapat mati dengan pamanasan,
embun, atau cahaya matahari langsung. Lactobacillus acidophilus juga penting
pada proses fermentasi makanan, mulai dari dairy products sampai buah dan
sayuran. Fermentasi terjadi saat bakteri memecah gula dan karbohidrat untuk
memproduksi alkohol, CO2, dan asam laktat. Produk sampingnya dapat
menimbulkan rasa yang unik pada hasil fermentasi, sebagai pengawet, dan
meningkatkan palatabilitas. Lactobacillus acidophilus memproduksi asam laktat
(dapat menghambat pertumbuhan jamur) seperti antibiotik alami, dan sudah
terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella,
shigella, Salmonella faecalis dan E.coli. Berdasarkan penelitian, Lactobacillus
acidophilus efektif dalam mengurangi intoleransi laktosa, memperkuat sistem
kekebalan tubuh, dan mengurangi kadar kolesterol. Lactobacillus acidophilus
6
hidup sepanjang saluran pencernaan dan terdapat dalam jumlah yang sangat
banyak pada usus halus (Febriasari, 2008).
Lactobacillus acidophilus dapat mensintesis beberapa jenis asam amino
dan sangat potensial untuk mensintesis purin, tetapi tidak bisa mensintesis
pirimidin (Alterman et al., 2005). Bakteri ini juga dapat mengkonsusmi
karbohidrat kompleks seperti fruktooligosakarida, dapat melekat pada sel
mamalia, dan terdapat dalam jumlah banyak pada sistem transportasi (Barrangou,
et al., 2003).
Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang berperan
dalam alat pencernaan (Prado et al., 2008; Farnworth et al., 2007). Keuntungan
kesehatan yang diperoleh dari probiotik antara lain pengendalian terhadap infeksi
patogen, pengurangan frekuensi terjadinya diare, pengurangan gejala laktosa
intoleran, sebagai pengganti antibiotik, menurunkan kadar kolestrol serum darah,
menstimulasi system imunitas tubuh, serta mampu menekan terjadinya tumor dan
kanker sistem pencernaan(Quwehand dan Salminen, 1998; Leroy et al., 2002;
Zanini et al., 2007).
Mekanisme penghambatan pada mikroba terjadi karena asam laktat dan
asam asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi, dan dapat menembus sel mikrobia.
Pada pH intraseluler yang lebih tinggi, dapat berdisosiasi menghasilkan ion – ion
hidrogen dan mengganggu fungsi metabolik esensial seperti translokasi substrat
dan fosforilasi oksidatif dengan demikian mereduksi pH intraseluler (Cabo et al.,
2000).
Bakteriosin adalah peptide atau protein bioaktif dengan aktivitas
antimikrobia. Bakteriosin disintesis secara ribosomal dan di hasilkan sejumlah
7
bakteri (Klaenhammer, 1988; Martirani et al., 2002). Bakteriosin di hasilkan oleh
bakteri gram positif maupun negatif. Bakteriosin positif mengandung 30 – 60
asam amino dengan aktifitas yang bervariasi dari spectrum sempit sampai luas
dalam melawan bakteri gram positif lain, bahkan ada yang bereaksi terhadap
bakteri gram negatif (Jack et al., 1995).
Lactobacillus achidophilus memperlihatkan reaksi positif reaksi 90%
terhadap karbohidrat amigdalia, selobiosa, fruktosa, galaktosa, glukosa (asam),
laktosa, maltose, mannosa, salisin, sukrosa, trehalosa, dan aksulin. Melibiosa dan
refinosa hanya positif pada beberapa strain saja. Gliserol inositol, inulin dan pati,
dekstrin, dulsitol sangat jarang difermentasi (Buchana and Gibbons, 1975).
Lee et al. (2001) melaporkan bahwa Lactobacillus A-4, L23 dan L.
fermentum L9 memiliki kemampuan memecah pati. Srinivas et al (1990)
mengemukakan bahwa penggunaan jenis karbohidrat dari yang terbesar ke
terkecil, pada strain Lactobacillus achidophilus berturut-turut terjadi pada media
LBS yang ditambahkan glukosa; fruktosa; sukrosa; laktosa; dan galaktosa.
Lactobacillus achidophilus tumbuh lambat dibanding starter yoghurt
lainya seperti Lactobacillus bulgaricus dan Sterptococus. thermophilus. Waktu
ingkubasi yang diperlukan Lactobacillus acidophilus untuk penurunan pH
medium susu mencapai pH 4,5 sekitar 17 – 18 jam dibanding 4 jam waktu yang
sama dibutuhkan oleh starter yoghurt (Widodo, 2003). Rahman et al.(1992)
mengemukakan bahwa lama waktu ingkubasi tergantung dari jumlah inokulum
dan aktivitas kultur.
8
Pengaruh Karbohidrat (Sukrosa, Laktosa, dan Pati) terhadap produk
Minuman Fermentasi
Pemanis yang biasa digunakan yaitu sukrosa, fruktosa, glukosa, selulosa
atau gliserol (Tamime, 2006; Rahman et al., 1992). Sukrosa merupakan salah satu
karbohidrat yang sering di gunakan sebagai bahan pemanis dan diperoleh dari bit
atau tebuh. Sukrosa mempunyai daya larut tinggi, dapat menurunkan aktvitas air
(aw) dan meningkatkan air. Sukrosa adalah disakarida yang apabila dihidrolisis
berubah menjadi dua molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa (DeMan,
1997; Sastrohamidjojo, 2005). Sukrosa adalah karbohidrat yang mempunyai
rumus kimia C12H22O11, yang merupakan disakarida dan terdiri dari 2 komponen
monosakarida yaitu D-glukosa dan D-fruktosa. Nama kimia yang lebih tepat dari
sukrosa
adalah
α-D-glukopyranosyl-β-D-fruktofuranoside
(Goutara
dan
Soesarsono ,1985):
( KOMPONEN GLUKOSA)
(KOMPONEN FRUKTOSA)
Gambar 1. Rumus Bangun penggabungan glukosa dan fruktosa (Goutara
dan Soesarsono ,1985)
9
o
Gambar 2. Rumus Bangun penggabungan Glukosa dan Fruktosa
(Goutara dan Soesarsono ,1985)
Sukrosa memiliki berat molekul 342,30 terdiri dari gugus glukosa dan
fruktosa. Sukrosa merupakan senyawa gula yang paling disukai. Sukrosa terdapat
di alam dalam jaringan tanaman terutama buah, biji, bunga dan akar. Madu lebah
mengandung sebagian besar sukrosa dan hasil hidrolisanya (Sudarmadji, 1982).
Titik cair sukrosa adalah 186oC kebanyakan disakarida bersifat mereduksi
fehling (benedict) tetapi sukrosa merupakan perkecualian tidak mereduksi. Dalam
keadaan murni sukrosa tidak dapat difermentasikan oleh khamir. Pada suhu 160o186oC sukrosa akan membentuk arang yang mengeluarkan bau karamel yang
spesifik. Satu gram sukrosa dapat larut dalam 0,5 ml air (suhu kamar) atau dalam
0,2 ml air mendidih, dalam 170 ml alkohol atau 100 ml metanol. Sukrosa sedikit
larut dalam gliserol dan piridin. Sukrosa dapat mengalami hidrolisa dalam larutan
asam encer atau oleh enzim invertase menjadi glukosa dan fruktosa. Campuran
glukosa dan fruktosa disebut “gula invert” dan perubahannya disebut proses
inversi. Sukrosa kristal murni mengandung energi 351 kalori/100 g. Sedang gula
merah tanpa pemurnian 389 kalori/100 g ( Sudarmadji, 1982).
Kandungan sukrosa yang tinggi dapat berpengaruh negatif terhadap
pertubuhan bakteri asam laktat. Setiap bakteri mempunyai level toleransi yang
berbeda terhadap sukrosa. Kandungan sukrosa yang di rokemendasikan untuk
10
pembuatan susu fermentasi yaitu dibawah 8 – 10 g per 100 g susu. Beberapa
strain bakteri yogurt yang baru dikembangkan, mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap sukrosa (Tamime, 2006). Penambahan sukrosa yang terlalu banyak
(lebih dari 10%) ke dalam susu sebelum periode inokulasi atau inkubasi
mempunyai efek kurang baik pada kondisi fermentasi, sebab akan mengubah
tekanan osmotik susu dan juga menurunkan water activity (Bylund, 1995;
Tamime and Robinson, 1999).
Yusmarini dan Effendi (2004) menyatakan bahwa penambahan beberapa
jenis karbohidrat dalam pembuatan yoghurt yaitu laktosa, sukrosa dan glukosa
sebagai sumber karbon, memberikan pengaruh berbeda-beda terhadap pH,
kandungan asam laktat, dan kandungan protein. Selain itu akan mempengaruhi
citarasa produk.
Penambahan sukrosa
8% atau lebih dalam pembuatan
yoghurt
berpengaruh terhadap penurunan jumlah asam laktat, kenaikan pH dan penurunan
asetaldehida. Kar dan
Misran
(1999) menyatakan wheyghurt dengan level
sukrosa 10% sangat baik dalam rasa dengan keasaman optimum 0,78%, jumlah
bakteri hidup 12,1 x 108cfu/ml serta daya hambat yang baik terhadap 4 bakteri uji
( E.coli, S.aureus, Shigella dysenteriae dan B. cereus). Penambahan sukrosa 16%
memperlihatkan tidak adanya daya hambat terhadap bakteri uji, tingkat keasaman
0,68% dan jumlah bakteri hidup 3,2x108 cfu/ml (Rahman et al.,1992; Hui 1993).
Tapioka adalah pati ubi kayu yang merupakan salah satu golongan
polisakarida. Pati dalam tumbuhan berbentuk butiran kecil dengan ukuran khas
untuk setiap spesies tumbuhan. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang
tidak larut disebut amilopeptin. Amilosa merupakan polimer rantai lurus,
11
mengandung sekitar 6000 unit glukosa yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)glikosidik. Amilopektin adalah polimer berantai cabang pada ikatan α-(1,6)glikosidik. Secara alamiah amilopektin adalah salah satu molekul yang terbesar,
dengan tingkat polimerisasi lebih dari 200 juta (Lee, 1983; DeMan, 1997).
Gambar 3. Rumus Bangun Amilosa (Nowkocha, 2009)
Molekul amylase dan amylopectin disentesis dari ADP-glukosa. ADPglukosa disintesis dari glucose-1-phosphate dan ATP dengan menggunakan
ADPGPPase. Sintesisi pati dilakukan dengan bantuan enzim. (Nowkocha, 2009)
Level yang diperbolehkan sebagai stabilizer dalam pembuatan yogurt
antara lain adalah 0,02-0,2 % untuk pektin atau beberapa modifikasi, 0,05- 0,6%
untuk agar-agar, getah locust (carob), getah guar, alginate, gelatin, karagenan atau
sellulose carboxymethyl. Tapioka sebesar 0,6% dapat menggantikan 2% solid non
fat (SNF). Level ini dapat mengurangi biaya tanpa mempengaruhi sifat-sifat
yoghurt (Tamime and Robinsom, 1999).
12
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013, bertempat di
Kabupaten Enrekang Desa Curio, Laboratorium Bioteknologi Pengolahan Susu
Fakultas
Peternakan,
Laboratorium
Mikrobiologi
Fakultas
Peternakan,
Laboratorium nutrisi ternak dasar dan Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
Materi penelitian ini adalah whey yang di peroleh dari produk sampingan
dangke kerbau, starter Lactobacillus acidophilus FNCC 0051, aquades, sukrosa ,
MRS broth, MRS agar, CaCO3, NaCl, tepung tapioka, NaOH, larutan KI.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu timbangan analitik, botol,
mikropipet, tip, spatula, cawan petri, tabung reaksi, bunsen, erlemeyer, inkubator,
water bath, autoclaf, thermometer, kompor, dan coloni counter, penangas, labu
ukur, titrasi.
Metode Penelitian
a. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimen dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan.
Perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut :
-
Perlakuan 1 = Tanpa penambahan sukrosa 0%
-
Perlakuan 2 = Penambahan level sukrosa 9%
-
Perlakuan 3 = Penambahan level sukrosa 12%
13
-
Perlakuan 4 = Pemberian level sukrosa 15%
b. Proses Pembuatan Minuman Fermentasi
1. Pemeliharaan bakteri starter kultur.
Bakteri yang akan digunakan sebagai starter adalah Lactobacillus
acidophilus FNCC 0051 yang di peroleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pusat
studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bakteri dibiakkan
dalam susu full cream 10% dan diperbarui atau diremajakan (propagasi) 2 minggu
sekali. Jika tidak digunakan disimpan dalam refrigerator (5oC). Selain itu dibuat
sub-kultur dalam tabung eppendof dan di simpan suhu 20oC dalam media susu full
cream 10%: sukrosa 40% (1:4). Untuk memperoleh kultur segar yang akan di
gunakan selama fermentasi, kultur ditumbuhkan dalam medium susu full cream
10 %. Medium diinokulasi dengan kultur yang akan di gunakan 2% (v/v) dan di
inkubasi pada suhu 37oC (Heller, 2001; Olson and Aryana, 2008).
2. Pembuatan Minuman fermentasi.
Whey dicampur tepung tapioka level 0,7% hingga tercampur sempurna dan
diukur volumenya (volume awal sebelum pemanasan). Campuran whey
dipanaskan dan ditambahkan gula (9, 12 dan 15%) sambil diaduk selama 5 menit
pada suhu 70oC. Whey selanjutnya dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit
(modifikasi dari Alakali et al., 2008). Whey didinginkan dan diinokulasi bakteri
strarter 5% serta diikubasi suhu 37oC selama 12 jam.
14
c. Parameter yang Diukur
1. Pengujian Total bakteri
Pengujian total bakteri dilakukan dengan metode (poure plate). Sampel
minuman fermentasi diencerkan 10-1 – 10-8. Sebanyak 1 ml sampel dari
pengenceran 10-6, 10-7, dan 10-8, dimasukkan ke dalam cawan petri dan setiap
pengenceran, masing-masing dibuat duplo. Setelah cawan petri masing-masing
diisi media MRS agar sekitar 15 ml (45oC) kemudian bakteri disebar di dalam
media dengan cara digoyang-goyangkan melingkar atau membentuk seperti angka
delapan. Setelah agar memadatkan, cawan-cawan tersebut diinkubasi di inkubator
suhu 37oC dalam keadaan terbalik (Fardiaz, 1993).
2. Pengujian Kandungan Laktosa
Sampel minuman fermentasi di masukkan kedalam 25 ml sampel ke dalam
labu ukur 50 ml dan tambahkan reagensia ZnSO4 dan kocok. Tambahkan 5 ml
larutan NaOH (39 gr NaOH diencerkan menjadi 3 liter = 0,75 N) dan kocok baikbaik. Kemudian diencerkan sampai tanda dengan aquades. Di diamkan suspensi
selama kurang lebih 10 menit untuk mengendapkan semua protein. Kemudian
disaring dengan kertas saring, kumpulkan filtratnya. Hitung volume filtratnya ini
secara teoritis, dengan mengurangkan volume protein yang mengendap. Diambil
5 ml filtaratnya yg jernih, masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang bertutup.
Ditambahkan 20 ml aquades dan 20 ml larutan KI (10 g KI + 90 ml aquades =
larutan KI 10%). Tambahkan 50 ml larutan Chloromine-T. Ditutup erlenmeyer
untuk menghomogenkan larutan, kemudian diamkan selama 90 menit. Kemudian
ditambah 10 ml larutan 2N HCl. Larutan dititrsi dengan larutan 0,1 N Na2S2O3
sampai berwarna kuning pucat. Ditambahkan indikator pati dan lanjutkan titrasi
15
sampai warna abu-abu. Dibuat larutan blanko dengan menggunakan 25 ml sampel
dengan aquades. Dititrasilah larutan blanko seperti pada larutan contoh. Dihitung
laktosa dalam filtrat ( g/100 ml filtrat) dari rumus A = (Tb –Ts ) x Nx 0,171 x
100/5 (Sudarmadji, 1997)
3. Pengujian Pati
Analisis kadar pati menurut Sudarmadji et al. (1984) sampel 1 ml,
ditambah 100 mg enzim amilase (1739 unit Westmont Pharmaceuticals, Ltd. PT
Medifarma Laboratories, Inc. Bogor) kemudian diencerkan sampai 10 ml dan
selama 6 jam. Sampel diukur gula reduksinya menggunakan metode NelsonSomogyi seperti pada analisis gula reduksi. Kadar gula reduksi yang diperoleh
dikurangi kadar gula reduksi sapel tanpa enzim amilase, dikali 0,9 merupakan
berat pati dari rumus %pati = %reduksi sugar x 0,9.
4. Pengujian kandungan Sukrosa
Pengujian kandungan sukrosa (metode Luff Schorll). Diambil 50 ml
filtrate bebas Pb dan 10 ml HCl 30 % (BJ=1,15). Dipanaskan diatas penangas air
suhu 67-70oC selama 10 menit. Didinginkan secepatnya sampai suhu 20oC.
Netralkan dengan NaOH 45%, kemudian diencerkan sampai volume tertentu
sehingga 25 ml larutan mengandung 15-60 mg gula reduksi. Siapkan larutan
sampel yang mempunyai kadar gula reduksi sekitar 2-8 mg/100 ml (harus jernih).
Pipet 1 ml larutan sampel yang jernih ke dalam tabung reaksi yang bersih.
Tambahkan 1 ml reagensi Nelson dan selanjutnya diperlakukan seperti pada
penyiapan kurva standar. Jumlah gula reduksi dapat ditentukan berdasarkan OD
larutan sampel dan kurva standar larutan glukosa (Sudarmadji, 1997)
16
WHEY
Penambahan tapioka (0,7%)
Gelatinisasi (75oC, 5 menit)
Panambahan sukrosa (9, 12, dan 15%)
Pasteurisasi (80oC, 30 menit)
Pendinginan
INOKULASI 5%
Lactobacillus acidophilus FNCC 0051
Inkubasi (37 oC) selama12 jam
Perhitungan
Total bakteri
Minuman
fermentasi
Karakteristik Kimia
laktosa, pati , dan
sukrosa
Gambar 4. Bagan Alir Penelitian
17
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Sidik Ragam
berdasarkan rancangan acak lengkap (RAL) (Gaspersz, 1991) dengan
model
matematika sebagai berikut:
Y ij = µ + ti + ε ij
i = Jumlah perlakuan (1, 2, 3, dan 4)
j = Ulangan (1, 2, 3, 4, dan 5)
Keterangan :
Y ij
=
Nilai pengamatan pada unit perlakuan ke-i dan suhu ulangan
ke-j.
µ
=
Nilai Tengah Sampel
ti
=
Pengaruh pelakuan penambahan sukrosa ke-i
ε ijk
=
Pengaruh galat yang timbul perlakuan dari level penambahan
sukrosa ke-i dan perlakuan pertumbuhan bakteri ke- j
Selanjutnya jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka
akan dilanjutkan uji Duncan (Gaspersz,1991).
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jumlah Bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051
Hasil perhitungan jumlah bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051
Jumlah Bakteri Lactobacillus
acidophilus (log10) (cfu/ml)
menggunakan metode poure plate pada Gambar 5.
8.50
8.41
8.41
8.30
8.41
8.41
8.18 b
8.12bc
8.04 ab
8.10
7,94 a
7.90
0
7.70
0
9
12
15
Level Sukrosa (%)
Sebelum
Setelah inkubasi 12 jam
Gambar 5. Jumlah Bakteri Lactobacillus acidophilus pada whey
kerbau fermentasi.
a-c menunjukkan perbedaan yang nyata pada level sukrosa yang berbeda (P<0,01)
Jumlah bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 (Gambar 5)
sebelum fermentasi adalah sekitar 8,41. Jumlah bakteri tersebut setelah fermentasi
12 jam
mengalami penurunan untuk perlakuan level sukrosa. Jumlah bakteri
setelah fermentasi 12 jam pada perlakuan level sukrosa 0-9% mengalami
peningkatan, namun mengalami penurunan pada level sukrosa 12% dan 15%.
Jumlah
Lactobacillus acidophilus
dalam
produk whey fermentasi menjadi
indikator kualitas mikrobiologis produk tersebut.
19
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan level sukrosa
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah bakteri
Lactobacillus
achidophilus FNCC 0051 pada whey fermentasi yang dihasilkan. Hasil uji lanjut
Duncan ( lampiran 1) menunjukkan bahwa jumlah Lactobacillus acidophilus
FNCC 0051 pada whey fermentasi dengan menggunakan level sukrosa 0%
berbeda terhadap level sukrosa 9% (P<0,01) dan 12%(P<0,05) namun tidak
berbeda terhadap level sukrosa 15%, (P>0,05). Jumlah bakteri perlakuan level
sukrosa 9% berbeda terhadap perlakuan level sukrosa 12% (P<0,05) dan 15%
(P<0,01) . Jumlah bakteri perlakuan level sukrosa 12% tidak berbeda terhadap
perlakuan level sukrosa 15% (P>0,05) .
Jumlah bakteri
Lactobacillus
achidophilus FNCC 0051 setelah
fermentasi 12 jam dengan perlakuan berbagai level sukrosa berkisar 7,94-8,18
log cfu/ml. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan level
sukrosa 9% dan 12% menghasilkan jumlah bakteri Lactobacillus acidophilus
FNCC 0051 yang cukup banyak yaitu 8,18 (log10) cfu/ml dan 8,12 (log10) cfu/ml
bila dibandingkan 0% yaitu 7,94 (log10) cfu/ml dan 15% yaitu 8,04 (log10) cfu/ml
yang mengalami penurunan jumlah bakteri. Semakin tinggi level sukrosa maka
jumlah bakteri meningkat namun pada batas tertentu (melebihi batas optimum)
mengakibatkan jumlah bakteri menurun. Lactobacillus acidhopilus FNCC 0051
menyesuaikan lingkungan pertumbuhannya dan sukrosa sebagai sumber makanan
pada bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Bylund (1995) dan Tamime dan
Robinson (1999) mengemukakan bahwa penambahan gula (10 -12%) ke dalam
susu dengan total padatan 14 -16 % dalam yoghurt menyebabkan pertumbuhan
starter yoghurt terhambat.
20
Fatma (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan Lactobacillus acidophilus
FNCC 0051 mengalami sedikit penurunan seiring peningkatan level sukrosa
selama fermentasi. Perlakuan level sukrosa 3-12% mengalami penurunan sekitar
8,60-8,64( log10) cfu/ml. Penurunan tersebut diduga karena penambahan sukrosa,
dan selanjutnya menyebabkan perubahan lingkungan pertumbuhan. Bakteri akan
beradaptasi terhadap penambahan sukrosa di lingkungan pertumbuhanya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Tamime (2006) bahwa kandungan sukrosa yang tinggi
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan asam laktat. Setiap bakteri mempunyai
level toleransi yang berbeda terhadap sukrosa.
Jumlah bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 pada minuman
whey kerbau fermentasi konsentrasi bekterinya yaitu bekisar 10-6 – 10-7 cfu/g.
Jumlah bakteri tersebut sudah tepat untuk menjadi minuman kesehatan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sendra et al (2008) mengemukakan bahwa umumnya
konsentrasi bakteri probiotik yang direkomendasikan untuk memberikan efek
kesehatan antara 10-6- 10-8 cfu/g. Susu fermentasi seharusnya mengandung level
minimun bakteri probiotik hidup pada saat digunakan.
B. Karakteristik Kimia pada Whey Fermentasi
Karakteristik kimia yang diamati pada penelitian ini yaitu kandungan
laktosa, pati, dan sukrosa. Sukrosa dan pati merupakan bahan tambahan dalam
pembuatan whey fermentasi sedangkan laktosa berasal dari whey kerbau.
Pembuatan whey fermentasi dengan perlakuan level sukrosa yang berbeda dan
setelah fermentasi 12 jam oleh bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051
mempengaruhi karakteristik kimia whey fermentasi dari segi kandungan laktosa,
pati, dan sukrosa.
21
Proses fermentasi minuman whey
akan merombak karbohidrat yaitu
dengan proses hidrolisis yang dilakukan oleh bakteri. Hidrolisis adalah
pemecahan kimiawi suatu molekul-molekul kecil yang lebih kecil (Gaman dkk,
1994). Srinivas, et al. (1990) menyatakan bahwa penggunaan jenis karbohidrat
dari yang terbesar ke terkecil, pada berbagai strain Lactobacillus acidophilus
berturut-turut terjadi pada media LBS yang ditambahkan glukosa; fruktosa;
sukrosa; laktosa; dan galaktosa.
Kandungan Laktosa
Laktosa terdapat pada susu dalam fase larutan yang sesungguhnya
sehingga muda diasimilasikan sebagai makanan dengan proses hidrolisa menjadi
glukosa dan galaktosa oleh enzim laktase (Malaka, 2010). Laktosa merupakan
sumber energi yang digunakan oleh bakteri semakin tinggi level sukrosa maka
semakin tinggi kandungan laktosa. Lactobacillus acidhophilus dari berbagai strain
menggunakan laktosa sebesar 18-62% (Srinivas et al, 1990). Kandungan laktosa
whey kerbau fermentasi dengan pelakuan berbagai level sukrosa dapat terlihat
pada Gambar 6.
22
Kandungan Laktosa whey (%)
5.0
4.91
4.91
4.91
4.5
4,30 b
4,27 a
4.91
4,32 c
4,31 c
4.0
3.5
0
3.0
0
9
12
15
Level Sukrosa (%)
Sebelum fermentasi
Setelah fermentasi 12 jam
Gambar 6. Kandungam Laktosa whey kerbau fermentasi
a-c menunjukkan perbedaan yang nyata pada level sukrosa yang berbeda (P<0,01)
Kandungan laktosa whey kerbau (Gambar 6) sebelum fermentasi yaitu
rata-rata 4,91 %. Kandungan laktosa setelah fermentasi selama 12 jam yaitu
terjadi penurunan. Hasil analisis ragam kandungan laktosa pada minuman whey
fermentasi menunjukkan bahwa perlakuan level sukrosa
berpengaruh sangat
nyata (P<0,01).
Hasil uji lanjut Duncan ( Lampiran 2) menunjukkan bahwa kandungan
laktosa perlakuan level sukrosa 0% lebih rendah perlakuan dibandingkan dengan
perlakuan level sukrosa 9%, 12% , dan 15%
perlakuan level sukrosa 9%
(P<0,01). Kandungan laktosa
berbeda
(P<0,01). Kandungan laktosa
pada level sukrosa
12%
perlakuan level sukrosa 12% tidak
dan 15%
berbeda
dengan level sukrosa 15% (P>0,05). Perlakuan level sukrosa 0%, 9%,12%, dan
15% menghasikan kandungan laktosa yaitu 4,27%, 4,29%, 4,31%, dan 4,32%.
Kandungan laktosa pada level 0% terjadi peningkatan kandungan laktosa pada
9%, 12%, dan 15% seiring dengan penambahan level sukrosa diduga adanya
23
perombakan oleh bakteri Lactobacillus acidhopilus FNCC 0051. Kandungan
laktosa menurun setelah fermentasi karena terjadinya metabolisme oleh bakteri
saat fermentasi yang mengubah laktosa untuk sumber energi. Hasil ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Fatma (2012) yang melakukan penelitian pada
whey fermentasi susu sapi dengan
dengan kandungan laktosa kisaran nilai
4,39%- 4,59%. Penelitian lain juga dilakukan oleh Nawangsari, dkk., (2012) yang
melaporkan pada penelitaiannya bahwa kadar laktosa pada whey fermentasi yaitu
sekitar 2,16 – 2,37%.
Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan laktosa semakin
meningkat seiring penambahan level sukrosa. Semakin rendah kadar laktosa yang
dihasilkan maka semakin tinggi pula aktivitas bakteri dalam memecah laktosa
Demikian pula sebaliknya laktosa merupakan gula pereduksi. Pada fermentasi,
laktosa berfungsi sebagai subtrat, substrat ini akan dipecah menjadi asam
laktat(Susilorini dan Sawitri, 2006).
Selain sukrosa yang digunakan oleh bakteri laktosa juga sebagai substrat
yang digunakan bakteri asam laktat. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan kadar
laktosa whey fermentasi seiring dengan peningkatan penambahan level sukrosa
yang berarti terjadi pertumbuhan bakteri. Panesar, et al (2007) menyatakan bahwa
adanya β-galaktosidase yang dihasilkan oleh mikroorganisme menyebakan laktosa
yang ada dalam produk terhidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa.
Kandungan Sukrosa
Kadungan sukrosa whey dianalisis dengan metode Luff Schorll yang
terlihat pada grafik menunjukkan kandungan sukrosa meningkat seiring
penambahan level sukrosa dapat dilihat pada Gambar 7.
24
Kandungan Sukrosa whey (%)
14.00
12.60
12.00
9,68 d
9.62
10.00
7,96 c
8.00
6.62
6.00
5,87 a
4.00
2.00
0,00 a
0.00
0.00
0
9
12
15
Level Sukrosa (%)
Sebelum fermentasi
Setelah fermentasi 12 jam
Gambar 7. Kandungan Sukrosa whey kerbau fermentasi
a-d menunjukkan perbedaan yang nyata pada level sukrosa yang berbeda (P<0,01)
Kandungan sukrosa whey (Gambar 7 ) mengalami penurunan setelah
fermentasi. Penurunan ini disebakan adanya aktivitas bakteri Lactobacillus
acidophilus FNCC 0051 yang memanfaatkan sukrosa saat fermentasi . Hal ini
sesuai dengan (Fatma, 2010) menyatakan bahwa semakin banyak sukrosa dalam
produk minuman whey fermentasi, maka diduga semakin banyak pula yang
dirombak Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 menjadi asam laktat.
Hasil analisi ragam kandungan sukrosa pada minuman whey fermentasi
menunjukkan bahwa perlakuan level sukrosa berpengaruh sangat nyata (P<0,01).
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kandungan laktosa
perlakuan level sukrosa 0% berbeda sangat nyata (P<0,01) pada setiap perlakuan
level sukrosa 9%, 12%, dan 15%. Kandungan sukrosa whey kerbau fermentasi
dengan menggunakan level sukrosa yang berbeda berkisar antara 0,00 – 9,68%.
Hal ini ditunjang dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatma (2012) yang
mengunakan level 0-12% yaitu sekitar 0,00%-5,21% kandungan sukrosa pada
minuman whey fermentasi pada susu sapi.
25
Berdasarkan persentase kandungan sukrosa whey kerbau yang mengalami
penurunan untuk setiap level sukrosa dari besar ke kecil setelah fermentasi adalah
15, 12, 9,dan 0% masing-masing 23,17; 17,25; 11,32; dan 0%. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap perlakuan level sukrosa mengalami perbedaan
penurunan kandungan sukrosa setelah fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan sukrosa whey meningkat seiring penambahan level sukrosa dan
persentse yang dirombak Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 menjadi asam
laktat semakin meningkat. Hal ini sesuai Srinivas, et al (1990) menyatakan bahwa
penggunaan karbohidrat dari yang terbesar ke kecil, pada berbagai strain
Lactobacillus acidophilus berturut-turut terjadi media Lactobacillus Selection
Broth (LBS) yang ditambahkan glukosa, fruktosa, sukrosa, dan galaktosa.
Sehingga yang banyak digunakan dalam proses perombakan karbohidrat oleh
bakteri yaitu sukrosa.
Kandungan Pati
Pati adalah polisakarida yang terdapat dalam semua tanaman terutama
jagung, ketang, biji-bijian, ubi akar , dan padi atau gandum (Gaman dkk, 1994 ).
Pati pada produk minuman whey ini berasal dari penambahan tapioka. Kandungan
pati pada whey fermentasi diukur dengan metode Nelson-Somogyi yaitu dengan
analisa gula pereduksi. Hasil analisa kandungan pati pada whey fermentasi
mengalami peningkatan setelah penambahan perlakuan level sukrosa terlihat pada
Gambar 8.
26
Kandungan Pati (%)
0.60
0.53
0.53
0,53
0.53
0,42 a
0,44 b
0
9
0,45 b
0,44 b
0.40
0.20
0.00
12
15
Level Sukrosa (%)
Sebelum fermentasi
Setelah fermentasi 12 jam
Gambar 8. Kandungan Pati whey kerbau fermentasi
a-b menunjukkan perbedaan yang nyata pada level sukrosa yang berbeda (P<0,01)
Kandungan pati whey (gambar 8) sebelum di fermentasi rata-rata 0,53 %
namun setelah fermentasi mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi aktifitas pemecahan pati oleh bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC
0051. Hasil analisi ragam menunjukkan penembahan level sukrosa berpengaruh
nyata (P<0,01) terhadap kandungan pati.
Hasil uji lanjut Duncan (lampiran 4) menunjukkan bahwa kandungan
laktosa perlakuan level sukrosa 0% berbeda dengan perlakuan level sukrosa 9%,
12%, dan 15% (P<0,01), sedangkan kandungan pati perlakuan level sukrosa 9%
tidak berbeda terhadap setiap perlakuan 12% dan 15% (P>0,05) .
Kandungan pati tersebut berasal dari penambahan tapioka dengan level
yang sama tiap perlakuan yaitu 0,7% sehingga pada perlakuan level sukrosa 9%,
12%, dan 15% tidak menunjukkan perbedaan. Data kandungan pati penelitian ini
berkisar antara 0,42 – 0,45% . Nilai ini lebih tinggi dibandingkan penelitian yang
27
dilakukan Fatma (2012) yang melaporkan bahwa kandungan pati pada whey
fermentasi sapi berkisar antara 0,23 – 0,28%.
Kandungan pati yang ada di dalam whey kerbau (Gambar
8) terjadi
penurunan selama fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa Lactobacillus
acidophilus FNCC 0051 merombak pati tersebut selama proses fermentasi
berlangsung. Hal ini sejalan dengan penelitian
Lee et al. (2001) bahwa
menggunakan pati jagung dari hasil penelitian tersebut menyatakan adanya
penurunan kandungan pati sebesar 0,1-0,2 mg/ml selama fermentasi dengan
menggunakan Lactobacillus acidophilus L23.
Korelasi Jumlah bakteri dan Kandungan Laktosa, Sukrosa, dan Pati
0.6
0.5
12
laktosa sblm
10
0.4
8
0.3
6
0.2
4
laktosa stlh
pati(%)
jmlah bakteri cfu/ml, laktosa(%) &
sukrosa(%)
14
sukrosa sblm
sukrosa stlh
jmlh bkteri sblm
jmlh bakteri stlh
0.1
2
0
0
0
9
12
pati sblm
pati stlh
15
level sukrosa (%)
Gambar 9. Korelasi Jumlah bakteri dan kandungan laktosa, sukrosa, dan
pati pada whey kerbau fermentasi
Pati dan laktosa digunakan Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 dalam
jumlah yang besar apabila jenis karbohidrat yang mudah terombak (sukrosa) tidak
28
ada dalam bahan pembuatan whey fermentasi. Pati tetap digunakan oleh bakteri,
namun dalam jumlah yang lebih sedikit jika terdapat sukrosa pada whey
fermentasi. Kemampuan bakteri merombak komponen karbahidrat tersebut
menjadi asam laktat. Hal ini didukung oleh pernyataan Buchanan dan Gibbons
(1975) yang mengemukkan bahwa Lactobacillus acidophilus memperlihatkan
reaksi positif dengan
reaksi 90% terhadap karbohidrat amigdalia, selobiosa,
fruktosa, galaktosa, glukosa (asam), laktosa, maltosa, mannosa, salisin, sukrosa,
trehalosa, dan askulin. Gliserol inositol, inulin dan pati, destrin, dulsitol sangat
jarang difermentasi. Lee et al (2001) melaporkan bahwa Lactobacillus acidophilus
A-4 dan L23 memiliki kemampuan memecah pati jagung masing-masing sebesar
0,1 dan 0,2 mg/ml. Srinivas et al (1990) mengemukkan bahwa penggunaan jenis
karbohidrat dari yang terbesar ke terkecil, pada berbagai stain Lactobacillus
acidophilus berturut-turut terjadi pada media
Lactobacillus Selection Broth
(LBS) yang ditambahkan glukosa; fruktosa; sukrosa; laktosa; dan galaktosa
masing-masing sebesar 73-84%, 71-83%, 22-68%, 18-62%, dan 2-4%.
29
PENUTUP
Kesimpulan
1. Konsentrasi sukrosa sangat mempengaruahi jumlah bakteri dan persentase
kandungan laktosa, pati dan sukrosa.
2. Hubungan antara perlakuan level sukrosa
berpengaruh pada
jumlah
bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051
3. Level sukrosa yang baik dalam pembuatan minuman whey fermentasi
pada perlakuan level 9 % dan 12 %
Saran
Sebaiknya pembuatan whey kerbau fermentasi ini menggunakan level
sukrosa
9 % dan 12 % untuk menghasikan produk yang baik dari segi
pertumbuhan bakteri Lactobacillus acidophilus FNCC 0051 dan karakteristik
kimia (kandungan laktosa, sukrosa, dan pati).
30
DAFTAR PUSTAKA
Alkali, J. S., Okonkwo. T.M., and Lordye, E.M. 2008. Effect of stabilizer on the
physoco-chemical and sensory attributes of thermized yoghurt. African
Journal of Biotecnology, 7(2), 152-163.
Almeida, K. E., Tamime, A.Y. and Oliveira, M.N. 2008. Acidification rates of
probiotic in Minas Frescal cheese whey. LWT, 41, 311-316.
Alterman, L. E., J. C. Bennarz, and R. E. Thill. 2005. Use of group-selection and
seedtree cuts by three early-successional migratory species in Arkansas.
Wilson Bulletin 117(4):353-363.
Barrangou, R., Altermann, E., Hutkins, R., Cano, R. and Klaenhammer, T. R.
2003. Functional and comparative genomic analyses of an operon
involved in fructooligosaccharide utilization by Lactobacillus
acidophilus. Proc Natl Acad Sci U S A 100, 8957–8962.
Buchanan, R.E. and N.E. Gibbons. 1975. Bergey’s manual of Determinative
Bacteriology. Eight Edition. Waverly Press, Inc, USA.
Bylund, G. 1995. Dairy Prosessing . Handbook. Tetra Pak prosesing System AB,
Lund Swedia.
Cabo, M. L., A. F. Braber, and P. M. Koenreaad. 2000. Apparet antifungal
activity of several lactic bacterial agaiinds penicilium discolor is due to
acid in the medium. Journal Food Protection, 65, 1309-1316.
Cahyanti, A.N. 2008. Kajian pertumbuhan probiotik Lactobacillus acidophilus
dan kandungan asam lemak dalam susu kambing fermentasi selama
penyimpanan. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil pertanian 5(2), 72-81.
DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. ITB, Bandung.
Djide, M.N. 1991. Pengaruh Penambahan Getah Pepaya dan Beberapa Macam
Pengawet pada Pembuatan Dangke. Laporan Penelitian Fakultas MIPA,
Universitas Hasanuddin, Ujungpandang.
Fatma, 2012. Potensi dan Pengembangan Whey Dangke Menjadi Minuman
Fungsional. Disertasi Program Pascasarjana, Fakutas peternakan.
Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT. Raja Garfindo Pesada,
Jakarta.
Farnworth, E.R., I. Mainville, M.P. Desjardins, N. Gardner, I. Fliss, and C.
Champagne. 2007. Growth of probiotic bacteria and bifidobacteria in a
soy yogurt formulation. International Journal of Food Microbiology, 116,
174-181.
31
Febriasari A, Novy. 2008. Penerapan model gompertz pada pertumbuhan bakteri
L. Acidophilus Dan B. Longum Di Media Adonan Es Krim (Ice Cream
Mix Atau Icm) Jenis Standar. Skripsi Universitas Brawijaya,Malang.
Gallardo-Escamilla, F.J., A.L. Kelly and C.M. Delahunty. 2007. Mouthfeel and
flavour of fermented whey with added hydrocolloids. International Dairy
Journal, 17, 308-315.
Gaman, P.M. dan K.B. Sherrington. 1994. Ilmu Pangan. Pengantar Ilmu Pangan
Nutrisi dan Mikrobiologi. Penerjemah Garjito, M., S. Naruki, A.
Murdiati dan Sarjono. Gadja Mada University Press, Yogyakarta.
Gaspersz, V. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Arminco, Bandung.
Godfrey, T., and J. Reiched. 1986. Industri Enzymology, The Aplicaton of
Enzimes in Industry. Stocon Press, New York.
Goutara dan S. Wijandi. 1985. Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian IPB, Bogor.
Heller, K.J. 2001. Probiotic bacteria in fermented foods: product characteristics
and starter organisme. J.Am.Soc.Clinical Nut. 73, 374s-379s.
Hui, Y.H. 1993. Dary Science and Technology Handbook. VCH, New York.
Jack, R.W., J.R. Gadahi, M.Khaskeli, M.B.Bhutto, S.Kumbher, and A.H.
Panhwar. 2009. Physycal Veterinary Journal, 29(1), 27-31.
Kar, T. and A.K. Misra. 1999. Terapeutic properties of whey used as fermented
drink. Revista Microbiologia, 30, 163-169.
Klaenhammer, T.R. 1998. Bacteriocis of lactic acid bacteria. Biochemie, 20(3),
337-349.
Lee, H.S., S.E. Gilliand and S. Carter. 2001. Amylolytic cultures of Lactobacillus
acidophilus: potential probiotic to improve dietary starch utilization.
Journal of Food science, 66(2), 338-344.
Leroy,F., B. Degeets and L. De Vuyst. 2002. A Novel of peredictive modeling:
describing the functionality of beneficial microorganism in food.
International of Food Mickrobiology, 73, 251-259.
Malaka, R. 2010. Pengantar Teknologi Susu. Masagena Press, Makassar.
Matirani, L., M. Varcamonti, G. Naclerio and M. De Felice. 2002. Purification
and partial characterization of Bacillon 490, a novel bactericion produced
by thermophilic strain of Bacillus licheniformis. Microbial Cell
Factories, 1(1):1.
32
Muchtadi, D., N.S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam industri pangan.
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Nawangsari, D.N., A.M. Legowo dan S. Mulyani. 2012. Kadar laktosa kesaman
dan total bahan padat whey fermentasi dengan penambahan jus kacang
hijau. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol 1. No 1.
Nurhidayati, T. 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Susu Fermentasi
terhadap kualitas Keju Cottege. KAPPA, 4, 13- 17. ISSN 1411 – 4046.
Nwokocha,L. M., A comparastive study of some properties of cassava (Manihot
esculenta, Crantz) Carbohydrate Polymers(2009).doi: 10.1016.
Panesar, P.S., J.F. Kennedy, D.N. Gandhi, and K.Bunko. 2007. Bioutilisation of
whey for lactacid production. Food Chemestry, 105, 1-14.
Olson, D.W. and K.J. Aryana. 2008. An excessively high Lactobacillus
acidophilus inoculation lvel in yoghurt lowers product quality during
stronge. LWT, 41, 911-918.
Prado., F.C., J.L. Parada, A.Pandey and C.R.Soccol. 2008. Trends in non-dairy
probiotic beverage. Food Research Internasional, 41, 111-123.
Quwenhand, A. C., and S.J. Salminen. 1998. The health effect of cultured milk
product with viable and non-vable bacteria. Internasional Dairy Journal,
8, 749-758.
Rahman. A., S. Fardiaz, W.P. Rahaju, Suliantari dan C.C. Nurwitiri. 1992.
Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antara Universitas Pangan
dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ridwan, M. 2004. Analisis kinerja kualitas industri kecil makanan khas
tradisional dangke di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Tesis,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sastrohamidjojo, H. 2005. Kimia Organik. Sterokimia, Karbohodrat, Lemak dan
Protein. Gadjah mada University Press, Yogyakarta.
Sendra, E., P. Fayos, Y. Lario, J. Fernandez-Lopes, E. Sayas-Barbera, and J.A.
Perez-Alverz. 2008. Incorporstion of citrus fibers in fermented milk
cotaining probiotic bacteria. Food Microbiology, 25, 13-21.
Soeharsono, L.andiani, R. Safitri, O. Sjofjan. S. Abdullah, R. Rostika, H. A. W.
Lengkey dan A. Mushawwir. 2010. Probiotik, Basis Ilmiah, Aplikasi dan
Aspek dan Praktis. Widya Pajajaran, Bandung.
Srinivas, D., BK. Mital. And S.K.Garg. 1990. Utlition of sugars by
Lactobacillusacidophilus strain. Internasional Journal of Food
Microbiology, 10,51-58.
33
Sneath PHA, Mair NS, Sharpe ME Holt JG (1986). Bergey’s Manual of Systemic
Bacteriology Vol, 2. Williiams and Wilkins Co. Baltimore, USA.
Staszewski, M. and R.J. Jagus. 2008. Natural antimicrobial: Effect of Microgard
and nisin against Listeria inocua in liquid cheese whey. Internasional
Dairy Journal, 18, 255-259.
Sudarmadji,S. 1984, Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan Pertanian, Edisi ke
tiga, Yogkyakarta, Liberty.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan dan Suhardi. 1997. Prosudur Analisa untuk
Bahan Makan dan Penelitian. Liberty, Yogyakarta.
Tamime, A.Y. and R.K. Ribinsom. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolaan dan
Keamanan Pangan Alumni, Bandung.
Tamime, A.Y. 2005. Probiotik Dairy Product. Blackwell, UK.
Tamime, A.Y. 2006. Fermented Milks. Blackwell, UK.
Vinderola, C. G., P. M. Guemoide, T. Delgado, J.A. Reinheimer and C.G. de los
Reyes-Gavilan. 2000. Characteristics of carbonated fermented milk and
survival of probiotik bacteria. International Dairy Journal, 10, 213-220.
Vinderola, C. G., P. Mocchiutti , and J. A. Reinheimer. 2002. Interactions among
lactic starter and probiotic bacteria use for fermented dairy products.
Journal Dairy Science, 8, 721-729.
Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Lactacia Pres, Yogyakarta.
Winarno. 1995. Enzim pangan . Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yusmarini dan R. Efendi. 2004. Evaluasi mutu soygurt yang dibuat dengan
penambahan beberapa jenis gula. Jurnal Natur Indonesia, 6(2), 104-110.
Zanini, K., M. Marzotto, A. Castellazzi, A.Borsari, F. Dellaglio and S.Torriani.
2007. The effect of fermented milks with simple and complex probiotic
mixture on the intestinal microbiota and immune response of healthy
adulth and children. Internasioanl Dairy Journal, 17, 1332-1343.
34
Lampiran 1. Analisa ragam Jumlah bakteri
Anova
Lactobacillus acidophilus
Type III Sum of
Squares
Source
df
1.075E16a
2.731E17
1.075E16
1.051E16
2.943E17
2.126E16
Corrected Model
Intercept
Level Sukrosa
Error
Total
Corrected Total
Mean Square
3
1
3
16
20
19
F
3.584E15
2.731E17
3.584E15
6.571E14
Sig.
5.454
415.597
5.454
.009
.000
.009
a. R Squared = .506 (Adjusted R Squared = .413)
LSD
Lactobacillus acidophilus
(I)
levelS
UKRO
SA
LSD
0%
9%
12%
15%
(J)
levelS
UKRO
Mean
SA
Difference (I-J) Std. Error
*
95% Confidence Interval
Sig.
Lower Bound Upper Bound
9%
-6.3000E7 1.62120E7
.001
-9.7368E7
-2.8632E7
12%
-3.7000E7* 1.62120E7
.036
-7.1368E7
-2.6320E6
13%
-1.9400E7 1.62120E7
.249
-5.3768E7
1.4968E7
0%
6.3000E7* 1.62120E7
.001
2.8632E7
9.7368E7
12%
2.6000E7 1.62120E7
.128
-8.3680E6
6.0368E7
*
15%
4.3600E7 1.62120E7
.016
9.2320E6
7.7968E7
0%
3.7000E7* 1.62120E7
.036
2.6320E6
7.1368E7
9%
-2.6000E7 1.62120E7
.128
-6.0368E7
8.3680E6
15%
1.7600E7 1.62120E7
.294
-1.6768E7
5.1968E7
0%
1.9400E7 1.62120E7
.249
-1.4968E7
5.3768E7
.016
-7.7968E7
-9.2320E6
-5.1968E7
1.6768E7
9%
*
-4.3600E7 1.62120E7
12%
-1.7600E7 1.62120E7
.294
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 657075000000000.000.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
35
Lampiran 2. Kandungan laktosa
Anova
Kandungan Laktosa
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean
Square
Corrected Model
.006a
3
Intercept
369.886
1
LEVEL SUKROSA
.006
3
Error
.001
16
Total
369.893
20
Corrected Total
.007
19
a. R Squared = .797 (Adjusted R Squared = .759)
F
.002
369.886
.002
9.000E-5
Sig.
20.944
4.110E6
20.944
.000
.000
.000
LSD
Kandungan Laktosa
(I)
(J)
LEVE LEVE
LSU LSU
Mean
KRO KRO Difference
SA
SA
(I-J)
LSD 0%
9%
12%
15%
95% Confidence Interval
Std.
Error
Sig.
Lower
Bound
Upper
Bound
9%
-.0240*
.00600
.001
-.0367
-.0113
12%
-.0400*
.00600
.000
-.0527
-.0273
15%
-.0420*
.00600
.000
-.0547
-.0293
0%
.0240
*
.00600
.001
.0113
.0367
12%
-.0160*
.00600
.017
-.0287
-.0033
15%
*
.00600
.008
-.0307
-.0053
0%
.0400
*
.00600
.000
.0273
.0527
9%
.0160*
.00600
.017
.0033
.0287
15%
-.0020
.00600
.743
-.0147
.0107
0%
.0420*
.00600
.000
.0293
.0547
9%
*
.00600
.008
.0053
.0307
.0020
.00600
.743
-.0107
.0147
12%
-.0180
.0180
36
Lampiran 4. Kandungan sukrosa
ANOVA
Kandungan Sukrosa
Type III Sum
of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model
266.552a
3
88.851
Intercept
690.665
1
690.665
LEVELSUKROS
266.552
3
88.851
A
Error
.003
16
.000
Total
957.220
20
Corrected Total
266.555
19
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F
Sig.
4.869E5
3.784E6
.000
.000
4.869E5
.000
LSD
Kandungan Sukrosa
(I)
LEVE
LSUK
ROSA
(J)
LEVE
LSUK
Mean
ROSA Difference (I-J) Std. Error
95% Confidence Interval
Sig.
Lower Bound Upper Bound
-5.8700
*
.00854
.000
-5.8881
-5.8519
12%
-7.9600
*
.00854
.000
-7.9781
-7.9419
15%
-9.6760*
.00854
.000
-9.6941
-9.6579
0%
5.8700
*
.00854
.000
5.8519
5.8881
12%
-2.0900*
.00854
.000
-2.1081
-2.0719
15%
*
.00854
.000
-3.8241
-3.7879
0%
7.9600*
.00854
.000
7.9419
7.9781
9%
*
.00854
.000
2.0719
2.1081
*
.00854
.000
-1.7341
-1.6979
0%
9.6760*
.00854
.000
9.6579
9.6941
9%
*
.00854
.000
3.7879
3.8241
12%
1.7160*
.00854
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .000.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
.000
1.6979
1.7341
LSD
0%
9%
12%
9%
15%
15%
-3.8060
2.0900
-1.7160
3.8060
37
Lampiran 3. Kandungan pati
ANOVA
Kandungan Pati
Type III Sum
of Squares
Source
df
Mean Square
3Corrected Model
.002a
3
Intercept
3.854
1
Level Sukrosa
.002
3
Error
.001
16
Total
3.858
20
Corrected Total
.003
19
a. R Squared = .774 (Adjusted R Squared = .731)
.001
3.854
.001
4.500E-5
F
Sig.
18.222
8.565E4
18.222
.000
.000
.000
LSD
Kandungan Pati
(I)
LEVE
LSUK
ROSA
(J)
LEVE
LSUK
Mean
ROSA Difference (I-J) Std. Error
0%
9%
95% Confidence Interval
Sig.
Lower Bound Upper Bound
-.0240*
.00424
.000
-.0330
-.0150
12%
-.0240
*
.00424
.000
-.0330
-.0150
15%
-.0280*
.00424
.000
-.0370
-.0190
*
.00424
.000
.0150
.0330
12%
.0000
.00424
1.000
-.0090
.0090
15%
-.0040
.00424
.360
-.0130
.0050
*
.00424
.000
.0150
.0330
9%
.0000
.00424
1.000
-.0090
.0090
15%
-.0040
.00424
.360
-.0130
.0050
0%
.0280*
.00424
.000
.0190
.0370
9%
.0040
.00424
.360
-.0050
.0130
12%
.0040
.00424
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 4.50E-005.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
.360
-.0050
.0130
LSD
9%
12%
15%
0%
0%
.0240
.0240
38
Lampiran 5. Gambar jumlah bakteri
Gambar 10. Jumlah bakteri setelah fermentasi 12 jam
Gambar 11. Jumlah bakteri level sukorosa 0%
39
Gambar 12. Jumlah Bakteri level sukrosa 9%
Gambar 13. Jumlah Bakteri level sukrosa 12%
Gambar 14. Jumlah Bakteri level sukrosa 15%
40
41
Download