Chapter Five - Repository UNIMAL

advertisement
Chapter
Five
Pelaksanaan
Perjanjian
Internasional
Article 26 Vienna Convention on Treaty
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them
in good faith.”
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
53
A. Prinsip Perjanjian Internasional
Konvensi Wina yang terdiri dari 85 pasal, delapan bagian, dan
sebuah ketentuan tambahan termasuk lima asas atau prinsip dasar
perjanjian internasional. Adapun prinsip-prinsip perjanjian
internasional yang akan dibahas di sini termasuk free consent, good faith,
pacta sunt servanda, dan rebus sic stantibus. Free consent dan good faith adalah
prinsip utama dalam perjanjian yang selalu ditaati oleh engara-negara
dalam berhubungan satu sama lainnya. Sedangkan prinsip yang lainnya
berasal dari kebiasaan hukum Romawi, khususnya pacta sunt servanda.
Prinsip-prinsip ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab ini.
1.
Free Consent (Kebebasan Berkontrak)
Prinsip ini terkandung dalam Mukaddimah Konvensi Wina
Paragraf ketiga yang berbunyi, noting that the principles of free consent
and of good faith and the pacta sunt servanda rule are universally recognized.
Menurut prinsip ini, perjanjian internasional mengikat bagi para
pihak dan hanya bagi mereka saja. Para pihak ini tidak bisa
membentuk hak ataupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa
persetujuan pihak ketiga tersebut. Aturan ini biasanya disebut
asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt dan ditegaskan dalam Pasal
34 Konvensi Wina yang menyebutkan, “A treaty dosen not create
either obligations or rights for a third State without its consent.” Lebih
lanjut Pasal Pasal 35 menjelaskan jika perjanjian internasional
dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi Negara ketiga,
dengan syarat memang dimaksudkan untuk itu dan diterima
oleh negara ketiga tersebut dengan pernyataan tertulis. Pasal 35
menyebutkan: “An obligation arises for a third State from a provision of a
treaty if the parties to the treaty intend the provision to be means of
establishing the obligation and the third State expressly accepts that
obligation in writing.”
54
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
Konvensi Wina memberikan beberapa kemungkinan untuk
menunjukkan persetujuannya, seprti tanda tangan, pertukaran
piagam perjanjian atau naskah perjanjian, ratifikasi, penerimaan,
persetujuan, aksesi, dan beberapa metode lain yang telah
disepakati sebelumnya.33 Sebagai perbandingan, ada juga
konstitusi negara yang tidak mengijinkan semua metode atau
cara persetujuan yang disebutkan dalam Pasal 11 Konvensi Wina,
dalam hal ini Portugal. Konstitusi Portugal hanya
memungkinkan persetujuan perjanjian internasional dalam
bentuk ratifikasi.
Satu-satunya pengecualian terhadap prinsip free consent yang
secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 22 (1) Konvensi Wina
yang merupakan perwujudan dari prinsip favor contractus dan
terkait dengan penarikan reservasi. Pasal 22 menyebutkan: (1)
Unless the treaty otherwise provides, a reservation may be withdrawn at any
time and the consent of a State which has accepted the reservation is not
required for its withdrawal.
Asas lain yang dapat dikurangi dari prinsip free consent adalah
asas yang dikenal dalam Bahasa Latin lex posterior derogat legi priori.
Berdasarkan asas ini, perjanjian yang lebih baru dapat
mengalahkan perjanjian yang terdahulu, bilamana kedua
perjanjian tersebut mengatur materi yang sama. Asas ini
terkandung dalam Pasal 30 (3) Konvensi Wina, yang
menyatakan: … (3) When all the parties to the earlier treaty are parties
also to the later treaty but the earlier treaty is not terminated or suspended
in operation under Article 59, the earlier treaty applies only to the extent
that its provisions are compatible with those of the later treaty.” Asas ini
banyak digunakan terhadap perjanjian amademen yang dibuat
belakangan.
33
Pasal 11 Konvensi Wina 1969
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
55
Harus dipahami juga bahwa dengan memberikan persetujuan
(consent), sebuah negara akan mengikatkan dirinya secara
keseluruhan wilayah dan tidak berlaku surut, kecuali maksud
dan tujuan perjanjian menyebutkan lain. Pasal 29 menyatakan:
“Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise
established, a treaty is binding upon each party in respect of its entire
territory.” Asas ini sering diingatkan dalam ketentuan khusus
sebuah perjanjian internasional. Contohnya perjanjian terdahulu
sering mengandung ketentuan terkait daerah jajahan, yang
menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku pada wilayah nonjajahan, tapi dimungkinkan bagi para pihak untuk memperluas
penerapan perjanjian ke wilayah jajahannya.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa
meskipun prinsip free consent merupakan prinsip utama dalam
perjanjian internasional, namun masih ada pembatasanpembatasan terhadap prinsip tersebut.
2. Good Faith (Itikad Baik)
Sebagaimana prinsip free consent, prinsip good faith merupakan
asas dasar dalam melaksanakan hubungan internasional secara
umum dan diakui sebagai prinsip hukum internasional yang
fundamental.34 Jika negara-negara tidak memiliki good faith
(itikad baik), keamanan dan perdamaian internasional yang
merupakan tujuan utama Piagam PBB dapat terancam
keberlangsungannya.
Dalam sebuah resolusi pada Bulan Juli 2001, Dewan
Perlindungan Ikan Paus Internasional yang beranggotakan lebih
dari 40 negara menyatakan bahwa itikad baik mensyaratkan
adanya keadilan, alasan yang logis, ketulusan, dan kejujuran
dalam tingkah laku internasional. Penyalahgunaan hak sangat
34
Lihat Paragraf Ketiga Mukaddimah Konvensi Wina 1969.
56
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
berlawanan dengan prinsip itikad baik. Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982 secara khusus mengatur tentang itikad baik
dan penyalahgunaan hak dalam Pasal 300, yang berbunyi:
“Negara-negara Peserta harus memenuhi dengan itikad baik (in
good faith) kewajiban-kewajiban yang dipikulkan berdasarkan
Konvensi ini dan harus melaksanakan hak-hak, yurisdiksi dan
kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Konvensi ini dengan
cara yang bukan merupakan suatu penyalahgunaan hak.”
Sebagai unsur yang sangat subjektif, keberadaan itikad baik
akan sangat sulit untuk dibuktikan. Dalam berbagai analisis
untuk menentukan sebuah itikad tersebut baik ataupun jahat,
hanya dapat ditemukan dari pikiran seseorang, yang secara
khusus memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan politik
luar negeri dan orang tersebut ditugaskan untuk menegosiasikan
dan menerapkan perjanjian internasional. Berdasarkan Pasal 26
Konvensi Wina, setiap perjanjian yang telah mengikat harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 31(1), menuntut itikad
baik dalam penafsiran perjanjian internasional.
3. Pacta Sunt Servanda
Dalam menjalankan perjanjian internasional dikenal sebuah
prinsip yang sangat penting yaitu pacta sunt servanda, yang
maksudnya setiap perjanjian harus ditepati. Prinsip ini sangat
mendasar dalam hukum internasional dan menjadi norma
imperatif dalam praktik perjanjian internasional. Prinsip ini
memastikan bahwa sebuah perjanjian akan ditaati setelah
berlakunya.
Dalam Pasal 26 Konvensi Wina disebutkan bahwa: “Every
treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by
them in good faith.” Menurut Paul Reuter, prinsip ini dapat
ditafsirkan bahwa: “treaties are what the authors wanted them to be and
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
57
only what they wanted them to be and because they wanted them to be the
way they are.” Para pihak tidak diijinkan untuk mendasarkan pada
ketentuan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk
kegagalannya dalam melaksanakan perjanjian. Pasal 27 Konvensi
menyebutkan bahwa: “a party may not invoke the provisions of its
internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is
without prejudice to article 46.”
Satu-satunya pembatasan terhadap prinsip pacta sunt servanda
ini adalah ketentuan peremptory norm of general international law atau
jus cogens. Pasal 64 Konvensi Wina menyatakan bahwa: “if a new
peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty
which is in conflict with that norm becomes void and terminates.” Jelas
disini ditentukan bahwa perjanjian akan batal dan dihentikan
apabila terdapat ketentuan yang bertentangan dengan norma
umum hukum internasional yang berlaku. Namun perjanjian
tersebut tidak akan batal secara retroaktif atau berlaku surut.
Pada perkembangan terakhir, negara-negara mulai menyadari
bahwa terdapat perjanjian-perjanjian yang dibuat terkait
bidang-bidang tertentu, khususnya dalam bidang pelestarian
lingkungan, tidak akan dapat dijalankan dengan sepatutnya oleh
negara-negara anggota, walaupun sudah terdapat asas pacta sunt
servanda. Hal ini kemudian yang menjadi dasar dimasukkannya
kewajiban untuk bekerjasama dalam perjanjian internasional
untuk menfasilitasi pelaksanaan perjanjian secara bersama-sama.
4. Rebus Sic Stantibus
Menurut prinsip rebus sic stantibus, keadaan yang luar biasa
dapat menyebabkan penghentian perjanjian internasional.
Beberapa abad terdahulu, ahli berusaha menjelaskan asas ini
dengan mengatakan bahwa setiap perjanjian memuat ketentuan
secara tersirat bahwa perjanjian akan terus berlanjut sepanjang
58
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
keadaannya sama (rebus sic stantibus) dengan kondisi pada saat
perjanjian tersebut disetujui. Hal ini tentu saja sudah tidak
sesuai dengan perkembangan jaman. Para pihak tidak terikat lagi
dengan perjanjian hanya jika memang telah terjadi sebuah
kondisi yang sangat fundamental ketika proses pelaksanaannya.
Kondisi ini bisa saja terkait dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh salah satu negara pihak terhadap perjanjian sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 60 Konvensi Wina.35 Perjanjian juga
dapat dihentikan apabila objek yang diperjanjian musnah secara
permanen36, ataupun terjadi perubahan kondisi yang sangat
fundamental sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat
dituntaskan.37
Perubahan keadaan yang fundamental juga dapat terjadi
karena terjadinya suksesi negara baru, atau timbulnya kewajiban
internasional dari negara anggota, atau timbulnya permusuhan
di antara sesama negara anggota perjanjian, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 73 Konvensi Wina, yaitu: “the provisions of
the present Convention shall not prejudge any question that may arise in
regard to atreaty from a succession of States or from the international
responsibility of a State or from the outbreak of hostilities between States.”
Beberapa
pakar
berpendapat,
perubahan
kondisi
fundamental akan otomatis menghentikan perjanjian. Sedangkan
sebagian pakar lagi menganggap bahwa perubahan kondisi
hanya akan memberikan pilihan bagi negara untuk meneruskan
atau menghentikan perjanjian tersebut. Konvensi Wina pada
dasarnya mengadopsi pendapat yang menyatakan bahwa kondisi
tersebut hanya memberikan pilihan saja kepada para pihak,
tidak otomatis menghentikan perjanjian.
35
36
37
Pasal 60 (1) menyebutkan: “A material breach of a bilateral treaty by one of the parties entitles the
other to invoke the breach as aground for terminating the treaty or suspending its operation in whole or in
part.”
Lihat Pasal 61 Konvensi Wina
Lihat Pasal 62 Konvensi Wina.
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
59
Namun demikian, kondisi ini tidak dapat dijadikan dasar
utama dalam menghentikan perjanjian apabila di dalam
perjanjian tersebut telah diatur mengenai kemungkinan
terjadinya sengketa bersenjata, seperti pengalaman pada Kasus
Konvensi Jenewa 1949 (Konvensi Palang Merah) atau Konvensi
Den Hague 1988 dan 1907. Pada konvensi ini telah dimasukkan
ketentuan tentang akibat dari konflik bersenjata terhadap
perjanjian internasional.38
Berdasarkan Pasal 62 (2)(a), alasan perubahan kondisi yang
fundamental tidak dapat diajukan bila terkait perjanjian batas
wilayah negara karena apabila hal ini diperbolehkan akan dapat
mengancam keamanan dan perdamaian wilayah, serta
mengancam integritas dan kedaulatan wilayah sebuah negara,
yang juga merupakan asas fundamental dalam hubungan
internasional.39 Begitu juga dengan kasus suksesi negara, dimana
Konvensi Wina tentang Suksesi Negara Terhadap Perjanjian
Internasional Tahun 1978 telah menegaskan bahwa suksesi
negara tidak akan mempengaruhi perjanjian batas wilayah atau
ketentuan wilayah lainnya yang telah dihasilkan oleh perjanjian
internasional.
B. Penafsiran Perjanjian
Sebuah pasal yang sudah memiliki arti yang jelas, maka pasal
tersebut tidak perlu diinterpretasikan. Namun apabila pasal tersebut
masih belum jelas dan terdapat perbedaan penafsiran tentang itu, maka
diberi kemungkinan untuk diinterpretasikan. Pasal 31 (1)
menyebutkan: “A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the
ordinary meaning to be given to the terms of the treaty intheir context and in the
light of its object and purpose.” Disini persyaratan untuk melakukan
penafsiran harus dilakukan dengan itikad baik, dan harus sesuai
38
39
Walter Gehr, the International Law of Treaty, on the internet: www.public-internationallaw.net. 2009. Hlm. 13.
Lihat Pasal 2 (4) Piagam PBB.
60
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
dengan maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Sedikit rancu ketika
ada persyaratan harus sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian,
karena bila maksud dan tujuan telah diketahui dengan jelas, tentunya
tidak diperlukan lagi penafsiran.
Agar maksud dan tujuan perjanjian diketahui dengan jelas,
tentunya yang berhak untuk menafsirkan perjanjian hanyalah para
pihak pembuat perjanjian. Merekalah yang mengerti sekali dengan
landasan filosofis, sosiologis, dan politis dari pembuatan perjanjian
tersebut. Namun bila interpretasi diharapkan dari pembuat perjanjian
saja, akan muncul permasalahan apabila pembuat perjanjian terdiri dari
banyak negara dengan banyak pendapat. Untuk itu, diberikan juga
kemungkinan bagi hakim internasional untuk menafsirkan sebuah
perjanjian, sebagai bentuk penemuan hukum oleh para hakim. Hal ini
didukung oleh Pasal 36 Statuta Mahkamah Internasional yang
berbunyi: “Mahkamah mempunyai wewenang untuk memeriksa sengketa-sengketa
yang berkenaan dengan interpretasi suatu perjanjian.”
Berdasarkan badan penyelesaian sengketa tinggi WTO, the
appellate body, konteks instrumen hukum yang dapat ditafsirkan juga
termasuk perjanjian lain yang dilekatkan atau diikutkan oleh para
pihak dalam perjanjian induk (utama). Dalam contoh kasus “Standars for
Reformulated and Conventional Gasoline”, the appellate body menjelaskan
bahwa Marrakesh Agreement tentang pendirian WTO (WTO Agreement)
jangan diartikan secara terpisah atau semata-mata masalah
perdagangan. Maksudnya, ketentuan perdagangan dalam WTO
Agreement juga harus ditafsirkan dalam lingkup perlindungan
terhadap lingkungan hidup, dan ini juga menjadi kewajiban para pihak
untuk melaksanakannya.
Selain itu juga terdapat cara penafsiran yang dimuat dalam Pasal
32 Konvensi Wina, yaitu: “… including the preparatory work of the treaty and
the circumstances of its conclusion,…” Maksudnya, ada beberapa hal yang
bisa dipertimbangkan dalam melakukan penafsiran, apabila penafsiran
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
61
yang dilakukan sesuai dengan Pasal 31 belum mendapatkan hasil yang
memuaskan atau belum jelas dan masih ambigu. Hal tersebut
diantaranya adalah mempertimbangkan proses persiapan pembuatan
perjanjian dan juga kondisi pada saat perjanjian tersebut dibuat.
Adapun ketentuan yang dapat dilakukan penafsiran adalah
naskah atau batang tubuh perjanjian, pembukaan dan ketentuan
tambahan, bahkan dokumen dan perjanjian tambahan lain yang terkait
dengan perjanjian tersebut. Terhadap naskah perjanjian yang dibuat
dalam dua atau lebih bahasa, maka semuanya harus ditafsirkan dalam
maksud dan tujuan yang sama. Apabila terdapat perbedaan penafsiran,
maka harus kembali ditafsirkan sesuai dengan Pasal 31 dan Pasal 32
Konvensi Wina.40 Dan bila hal tersebut juga tidak mendapatkan
kesamaan persepsi, maka harus diambil penafsiran yang paling
mendekati maksud dan tujuan perjanjian tersebut.
Pengaturan mengenai penafsiran tidak diatur lebih lanjut dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Mekanisme penafsiran pada praktiknya lebih merujuk kepada
mekanisme Konvensi Wina, sehingga penafsiran lebih banyak
diselesaikan melalui kesepakatan para pihak.
C. Akibat Perjanjian Internasional Terhadap Negara Ketiga
Pada prinsipnya, sebuah perjanjian internasional tidak akan
menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga, yaitu negara yang
tidak termasuk para pihak perjanjian. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 34 Konvensi Wina, “A treaty does not create either obligations or rights
for a third State without its consent.” Namun ada beberapa pengecualian
terhadap ketentuan umum ini, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35
sampai Pasal 37 Konvesi.
40
Pasal 33 (4) Konvensi Wina yang berbunyi: “Except where a particular text prevails in accordance
with paragraph 1, when a comparison of the authentic texts discloses a different of meaning which the
application of articles 31 and 32 does not remove, the meaning which best reconcile the texts, having regard to
the object and purpose of the treaty, shall be adopted.”
62
Chapter Five – Pelaksanaan Perjanjian Internasional
Pasal 35 dan Pasal 36 menyebutkan bahwa perjanjian
internasional dapat memunculkan hak dan kewajiban bagi negara
ketiga, atau kelompok negara-negara, atau kepada semua negara,
apabila ketentuan dalam perjanjian tersebut memang dimaksudkan
untuk itu dan negara ketiga tersebut menyetujuinya. Sedangkan Pasal
37 menyebutkan bahwa terhadap kewajiban yang timbul bagi negara
ketiga hanya dapat diubah atau ditarik berdasarkan persetujuan negara
peserta dan negara ketiga, kecuali diperjanjikan sebaliknya. Sedangkan
hak yang timbul bagi negara ketiga tidak dapat ditarik atau diubah oleh
negara para pihak tanpa persetujuan negara ketiga.
Sebagai contoh dapat kita lihat pada Pasal 2 (6) Piagam PBB,
yang sering dikatakan dapat diberlakukan pada pihak ketiga yang
bukan merupakan negara anggota PBB, tanpa persetujuan mereka.
Selengkapnya bunyi Pasal 2 (6) Piagam PBB adalah sebagai berikut:
“The organization shall ensure that States which are not Members of the
United Nations act in accordance with these Principles [that is, the principles
of the United Nations, set out in Article 2 of the Charter] so far as may be
necessary for the maintenance of International peace and security.”
Pada kenyataannya, Pasal 2 (6) tidak mengandung maksud untuk
mewajibkan negara ketiga (bukan anggota PBB), melainkan hanya
mengumumkan kebijakan yang akan dijalankan oleh PBB dalam
berhubungan dengan negara bukan anggota PBB.
Download