pengaruh penggunaan terapi sevelamer terhadap

advertisement
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PENGARUH PENGGUNAAN TERAPI SEVELAMER TERHADAP KUALITAS
HIDUP PASIEN HEMODIALISIS YANG DINILAI MENGGUNAKAN KDQOL
SF-36
Melisa1), Tri Murti Andayani2), dan Fredie Irijanto3)
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
email :[email protected]
2)
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
email :[email protected]
3)
Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
email : [email protected]
1)
Abstrak
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat menyebabkan komplikasi berupa hiperfosfatemia. Agen
pengikat fosfat adalah terapi farmakologi untuk penanganan hiperfosfatemia, salah satunya yaitu
Sevelamer. Terapi agen pengikat fosfat memperbaiki survival pasien yang mengalami
hiperfosfatemia dan berhubungan dengan rendahnya mortalitas. Penyakit ginjal kronik berhubungan
dengan penurunan kualitas hidup pasien. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan
penggunaan terapi pengikat fosfat dengan kualitas hidup pasien hemodialisis yang dinilai
menggunakan KDQOL SF-36. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan
menggunakan rancangan quasi experimental. Responden dalam penelitan ini yaitu pasien yang
menjalani hemodialisis di RS UGM Yogyakarta pada bulan Oktober-Desember 2016 sejumlah 21
responden pada kelompok kontrol (CaCO3) dan 16 responden pada kelomopok perlakuan
(Sevelamer). Evaluasi dilakukan pada pre-intervensi dan post-intervensi. Penilaian kualitas hidup
menggunakan instrumen kuesioner KDQOL-SF 36 versi 1.3. Hasil penelitian dianalisis
menggunakan SPSS 16 dengan uji chi square, independent t-test dan paired t-test. Subyek penelitian
terdiri dari 16 pasien pria (45%) dan 21 pasien wanita (55%). Usia rata-rata 47,16 ± 13,06 tahun.
Rata-rata lama menjalani hemodialisa berkisar tahun 2012 hingga 2016. Kadar kalsium dan fosfat
rata-rata berturut-turut sebesar 4,32 ± 0,56 mg/dL dan 5,15 ± 1,68 mg/dL. Kualitas hidup baseline
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berturut-turut yaitu 57,25±1,05 dan 65,56±9,97
(p=0,420). Berdasarkan hasil pengukuran dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi Sevelamer
pada pasien hemodialisis di RS UGM Yogyakarta berpengaruh secara bermakna terhadap kualitas
hidup pasien khususnya pada domain kesejahteraan mental (p=0,026) dan domain penyakit ginjal
pada skala gejala/problem (p=0,001) dan efek penyakit ginjal (p=0,022). Nilai rata-rata kualitas
hidup keseluruhan pada kelompok dengan intervensi sevelamer selama 8 minggu yaitu 63,06 ± 8,74
menunjukkan nilai kualitas hidup yang baik.
Kata Kunci : PGK, kualitas hidup, pengikat fosfat, KDQOL SF-36
PENDAHULUAN
Penyakit
ginjal
kronik
(PGK)
merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
kriteria kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan yang
dilihat dari abnormalitas secara struktural atau
fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan
glomerulus filtration rate (GFR) yang
manifestasinya berupa abnormalitas secara
patologi atau adanya marker kerusakan ginjal
berupa abnormalitas komposisi darah atau urin
pada pemeriksaan laboratorium. Selain itu PGK
juga dapat ditandai dengan kriteria berupa nilai
GFR < 60 mL/menit/1,73m2 selama ≥ 3 bulan
THE 5TH URECOL PROCEEDING
dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National
Kidney Foundation, 2002).
Berdasarkan National Kidney &
Urologic Diseases Information Clearinghouse,
sebanyak 527.283 penduduk Amerika Serikat
pada akhir tahun 2007 menerima perawatan
akibat gagal ginjal kronis tahap akhir dan dari
jumlah tersebut, 17.513 orang telah melakukan
transplantasi ginjal. Data dari Departemen
Kesehatan pada tahun 2006, penyakit gagal
ginjal menduduki nomor 4 angka penyebab
kematian di rumah sakit Indonesia (Data dkk.,
2010)
427
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Berdasarkan National Kidney &
Urologic Diseases Information Clearinghouse,
pada tahun 2007 sebanyak 368.544 orang dari
527.283 penduduk Amerika Serikat yang
mengalami gagal ginjal kronis tahap akhir
merupakan pasien dengan dialisis rutin. Laporan
Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014
jumlah
pasien
baru
yang
menerima
hemodialisis mencapai 17.193 pasien dan pasien
aktif mencapai 11.689 pasien. Hasil statistik dari
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
mencatat bahwa prevalensi pasien PGK di
Yogyakarta merupakan peringkat terbesar ketiga
di Indonesia (Kesehatan dan RI, 2013).Hasil
statistik
dari
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) 2013 mencatat bahwa prevalensi
pasien PGK di Yogyakarta merupakan peringkat
terbesar ketiga di Indonesia (Kesehatan dan RI,
2013). Pada penderita penyakit ginjal sering kali
ditemukan mengalami komplikasi. Komplikasi
yang biasa terjadi salah satunya yaitu
hiperfosfatemia. Kondisi ini terjadi karena
adanya gangguan metabolisme mineral dalam
tubuh pasien PGK. Gangguan metabolisme
fosfat merupakan salah satu komplikasi penyakit
gagal ginjal kronik yang harus mendapat
perhatian karena mempunyai peran yang sangat
besar pada morbiditas dan mortalitas
(Tomasello, 2008).
Penanganan kondisi hiperfosfatemia
yaitu dengan perubahan diet. Mengurangi
asupan fosfor merupakan salah satu langkah
yang paling penting dalam mengontrol kadar
fosfat. Hampir semua makanan mengandung
fosfat tetapi sangat tinggi dalam susu, keju,
buncis, kacang polong, kacang-kacangan, selai
kacang, minuman seperti coklat, minuman
bersoda, dan bir juga mengandung fosfat yang
tinggi. Selain itu terapi secara farmakologi juga
sudah banyak digunakan dalam penanganan
kondisi hiperfosfatemia, antara lain dengan obat
yang disebut phosphate binder contohnya seperti
kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer
karbonat, dan lantanum karbonat. Obat-obat ini
biasanya diresepkan untuk dikonsumsi bersama
dengan makanan. Obat-obat ini menurunkan
penyerapan fosfat ke dalam darah (NIDDK,
2009). Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penggunaan terapi
sevelamer terhadap kualitas hidup pasien
hemodialisis yang dinilai menggunakan
KDQOL SF-36.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
KAJIAN LITERATUR
1. Penyakit Ginjal Kronik
a. Definisi
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau
chronic kidney disease (CKD) atau chronic
renal insuficiency (CRI), adalah suatu kondisi
penurunan fungsi ginjal secara progresif yang
terjadi selama beberapa bulan hingga tahun yang
ditandai dengan perubahan secara bertahap
struktur ginjal normal dengan fibrosis intestitial
(Wells, 2009). Kidney Disease Improving
Global
Outcames
(KDIGO)
(2013)
mendefinisikan penyakit ginjal kronis sebagai
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau
pertanda kerusakan ginjal seperti proteinuria.
Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosa penyakit ginjal kronik ditegakkan jika
nilai laju filtrasi glomerolus (LFG) / glomerular
filtration rate (GFR) kurang dari 60
mL/menit/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan.
Penyakit ginjal kronik dapat berujung pada gagal
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease
(ESRD) jika GFR di bawah 15 mL/menit/1,73
m2 atau telah menjalani dialisis. Penyakit ginjal
kronis (PGK) disebabkan oleh hilangnya
sejumlah besar nefron fungsional yang bersifat
irreversible. Gejala-gejala klinis yang serius
sering tidak muncul sampai sejumlah nefron
fungsional berkurang sedikitnya 70% dibawah
normal. Konsentrasi kebanyakan elektrolit
dalam darah dan volume cairan tubuh dapat
dipertahankan pada keadaan relatif normal
sampai jumlah nefron fungsional menurun
dibawah 20-30% dari normal. Penurunan jumlah
nefron lebih lanjut menimbulkan retensi elekrolit
dan cairan. Kematian biasanya terjadi jika
jumlah nefron turun sampai dibawah 5-10%
(Coladonato, 2005) (Ahlström dkk., 2009)
b. Patofisiologi
Kerusakan ginjal dapat terjadi akibat
penyebab yang heterogen. Contohnya, nefropati
diabetik, nefroklerosis hipertensi, dan kista
ginjal. Oleh karena itu, kerusakan struktural
awal mungkin tergantung pada penyakit utama
yang mempengaruhi ginjal. Sebagian besar dari
nefropati progresif berbagai jalur akhir yang
umum untuk kerusakan parenkim ginjal
irreversible dan ESRD. Elemen-elemen kunci
dari jalur ini : (a) hilangnya massa nefron, (b)
hipertensi kapiler glomerolus, (c) proteinuria.
Pemaparan kesalah satu faktor resiko inisiasi
428
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
dapat menyebabkan hilangnya massa nefron.
Sisa nefron hipertropi untuk mengkompensasi
hilangnya fungsi ginjal dan massa nefron.
Awalnya kompensasi hipertropi ini mungkin
adaptif. Seiring waktu, hipertropi dapat
berkembang kearah hipertensi intraglomerular,
mungkin dimediasi oleh angiotensin II.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor poten dari
kedua aferen dan eferen tetapi mempengaruhi
arteriol eferen yang menyebabkan peningkatan
tekanan dalam glomerulus dan peningkatan
kosekuen filtrasi fraksi. Pengembangan
hipertensi intraglomerular biasanya berkolerasi
dengan perkembangan hipertensi arteri sistemik.
Angiotensin II juga dapat memediasi
perkembangan penyakit ginjal melalui efek non
hemodinamik.
Proteinuria
saja
dapat
meningkatkan hilangnya nefron progresif
sebagai akibat kerusakan sel secara langsung.
Protein yang sering seperti albumin, transferin,
faktor komplemen, imonoglobulin, sitokin, dan
angiotensi II merupakan racun bagi sel-sel
tubular ginjal. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa kehadiran protein ini dalam tubulus ginjal
mengaktifkan sel-sel tubulus yang mengarah ke
regulasi produksi sitokin inflamasi dan
vasoaktif,
seperti
endotelin,
monocyte
chemoattactant protein (MCP-1) dan RANTES
(regulated upon activation, normal T-cell
expressed
and
secreted).
Proteinuria
berhubungan dengan aktivasi komponen
komplemen membran apikal proksimal tubulus.
Kumpulan bukti menunjukkan bahwa aktivasi
komplemen intratubular mungkin merupakan
mekanisme utama kerusakan pada proteinurik
nefropati progresif. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan jaringan parut dari interstitium,
hilangnya unit nefron struktural progresif, dan
pengurangan laju filtrasi glomerolus (Wells
dkk., 2014).
2.
Hiperparatiroid Sekunder dan
Osteodistrofi Ginjal
a. Definisi
Definisi gangguan mineral dan tulang
pada penyakit ginjal kronik berdasarkan Kidney
Disease Improving Global Outcomes Chronic
Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder
(KDIGO CKD-MBD) tahun 2009 adalah kondisi
klinik yang terjadi akibat gangguan sistemik
mineral dan metabolisme tulang pada penyakit
ginjal kronik. Kondisi ini mencakup salah satu
atau kombinasi dari hal-hal berikut yaitu:
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
i.
Kelainan laboratorium yang terjadi akibat
gangguan metabolisme kalsium, fosfat,
hormon
paratiroid
(PTH),
dan
metabolimsme vitamin D.
ii. Kelainan dalam hal bone turnover,
mineralisasi, volume, pertumbuhan linier,
dan kekuatannya.
iii. Kalsifikasi vaskular atau jaringan lunak
lainnya.
Hiperfosfatemia pada PGK adalah
sebagai hasil kegagalan ginjal dalam
mengeliminasi fosfat, atau tingginya asupan
fosfat atau peningkatan eliminasi fosfat didalam
intraseluler (Wells dkk., 2014). Penurunan
eksreksi fosfat dapat diatasi dengan peningkatan
sekresi PTH, yang menurunkan reabsorpsi
proksimal fosfat. Ginjal masih mampu
mempertahankan keseimbangan fosfat diatas
GFR 30 ml/menit atau PGK tahap 3.
Konsekuensi dari hiperfosfatemia adalah
hiperparatiroid sekunder, renal osteodistrofi,
kalsifikasi kasrdiovaskular, dan jaringan ikat
lunak lainnya (Coladonato, 2005).
Hiperparatiroid sekunder adalah salah
atau kondisi dimana terjadi peningkatan aktivitas
kelenjar paratiroid dan sekresi PTH, paling
sering disebabkan oleh penuruan kadar 1,25dihidroksivitamin D, hiperfosfatemia, dan
hipokalsemia pada PGK. Penyebab lainnya
adalah defisiensi vitamin D sekunder terhadap
asupan makanan, malabsopsi, penyakit hati, dan
penyakit kronik lainnya (Wells dkk., 2014).
Renal osteodistrofi adalah perubahan morfologi
tulang pada pasien penyakit ginjal kronik. Renal
osteodistrofy merupakan salah satu pemeriksaan
komponen skeletal dari gangguan sistemik
mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik
yang diukur melalui histomorfometri dari biopsi
tulang (Young dan Beris, 2003).
b. Terapi
Keseimbangan PTH, kalsium, dan
fosfat harus dijaga dan meminimalisasi paparan
aluminum pada pasien adalah penting dalam
mencegah
perkembangan
hiperparatiroid
sekunder dan memperlambat atau mencegah
hiperparatiroid sekunder, renal osteodistrofi,
serta
kalsifikasi
kardiovaskular
dan
ekstravaskular. Pasien pada tahap ESRD
biasanya
mempertimbangkan penggunaan
kombinasi pengobatan pengikat fosfat, vitamin
D, dan kalsimimetik untuk mencapai tujuan
terapi. Mengkontrol serum fosfat merupakan hal
penting karena hiperfosfatemia adalah awal dari
429
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
kejadian perkembangan gangguan metabolisme
(Hudson
dkk.,
2008).
Terapi
yang
direkomendasikan dalam mengelola kelainan
serum fosfat, kalsium dan PTH adalah dengan
pembatasan asupan fosfat, paratiroidektomi,
agen pengikat fosfat, dan dialisis. Agen pengikat
fosfat dibagi menjadi :
(a) Calcium containing phospate binder
(kalsium karbonat, kalsium asetat)
Calcium containing phospate
binder, kalsium karbonat (CaCO3) dan
kalsium asetat yang biasa digunakan untuk
pencegahan hiperfosfatemia. Hipokalsemia
terkoreksi merupakan salah satu manfaat
dari agen fosfat yang mengandung kalsium,
meskipun risiko hiperkalsemia dan
kalsifikasi kardiovaskular terkait dalam
penggunaan jangka lama. Kalsium sitrat
merupakan Calcium containing phospate
binder yang sama dengan CaCO3, namun
karena juga meningkatkan absorpsi
aluminum dari saluran pencernaan maka
tidak direkomendasikan untuk pasien gagal
ginjal kronik (Wells, 2009).
Risiko
hiperkalsemia
pada
penggunaan agen pengikat fosfat yang
mengandung kalsium harus sering
dievaluasi. Penggunaan bersamaan dengan
vitamin D dan kalsium juga meningkatkan
risiko hiperkalsemia. Koreksi serum
kalsium dilakukan sebelum memulai terapi
dan secara berkala setelah penggunaannya.
Menghitung kalsium terkoreksi disesuaikan
untuk perubahan perbandingan kalsium
bebas dengan protein-bound calcium akibat
pengurangan konsentrasi albumin. K/DOQI
merekomendasikan untuk koreksi kalsium
total sampai nilai normal untuk PGK tahap
3 dan 4 dan total kalsium koreksi dari 8,4
sampai 9,5 mg/dL untuk tahap 5.
Secara umum, penghitungan nilai
produk kalsium-fosfat (CaxP) digunakan
sebagai indikasi kapan kalsium dan fosfat
terpresipitasi kedalam jaringan lunak,
memicu calcific uremic arteriolopathy
(CUA). CUA atau calciphylaxis merupakan
karakteristik kalsifikasi arteriola dan arteri
dengan intima proliferasi dan fibrosis
endovaskular dan manifestasi klinik visual
sebagai nekrosis kulit hal ini juga terjadi
pada
awal
pengobatan.
K/DOQI
merekomendasikan untuk target CaxP
kurang dari 55 mg/dL2, sedangkan CaxP
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
lebih dari 60-70 mg/dL2 menunjukkan
peningkatan risiko CUA.
Pada pasien yang menjalani
dialisis, pengurangan konsetrasi garam
kalsium dialisat juga meningkatkan risiko
hiperkalsemia. Meskipun menghindari
risiko hiperkalsemia tetapi risiko kalsifikasi
kardiovaskular tetap berisiko pada pasien
PGK. Sehingga pembatasan asupan agen
pengikat fosfat yang mengandung kalsium
tidak lebih dari 1.500 mg/hari dan total
harian dari sumber lain tidak lebih dari
2.000 mg/hari. Pada pasien hemodialisa
tidak direkomendasikan pemberian agen
pengikat fosfat yang mengandung kalsium
ketika pengukuran serum kalsim >10,2
mg/dL atau PTH <150 mg/dL (Wells dkk.,
2014).
(b) Non calcium containing phospate binder
(lanthanum
karbonat,
magnesium
hidroksida, aluminum hidroksida).
Aluminium hidroksida sebagian
besar tidak digunakan lagi karena
ketoksikan aluminium dengan hasil berupa
osteomalacia, demensia, miopati, dan
anemia, meskipun dalam kondisi berat
(serum fosfat 0,7 mg/dL) dan refraktori
hiperfosfatemia. Magnesium hidroksida
juga
pada
umumnya
dihindari
penggunaannya
karena
risiko
hipermagnesemia dan diare (Ossareh,
2014).
Lanthanum karbonat adalah agen
pengikat fosfat yang baru untuk pasien
PGK tahap akhir. Penggunaan jangka
pendek (6 -28 minggu) dan jangka panjang
(2-3 tahun) menunjukkan efikasi dalam
mengkontrol fosfat dan PTH dalam nilai
normal, dan lebih sedikit risiko terhadap
hiperkalsemia
dibandingkan
dengan
calcium containing phospate binder. Dosis
awal lanthanum karbonat 750-1500 mg
(dosis terbagi makanan) dengan dosis 15003000 mg untuk menjaga kadar fosfat pada
pasien PGK. Efek yang ringan terhadap
saluran pencernaan, efek terhadap sistemik
terbatas, dan ikatan yang tinggi dengan
fosfat
merupakan
efek
yang
menguntungkan dan sebagai lini kedua
setalah gagal dengan calcium containing
phospate binder. Lanthanum karbonat
tersedia sebagai tablet chewable yang bisa
sesuai untuk beberapa pasien (Wells, 2009).
430
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
3.
(c) Non-absorbable polymers (Sevelamer)
Sevelamer hidroklorida (Renagel)
atau karbonat (Renvela) merupakan nonabsorbable polymers yang mengikat fosfat
didalam saluran pencernaan. Manfaatnya
dalam mengurangi kadar fosfat tanpa efek
signifikan terhadap peningkatan serum
kalsium pada pasien PGK. Selain itu juga
sevelamer signifikan pada pasien yang
berisiko terhadap kejadian kardiovaskular,
dalam menurunkan LDL kolesterol dan
meningkatkan HDL kolesterol oleh ratarata masing-masing sekitar 30% dan 18%.
Pada pasien hemodialisa yan menerima
sevelamer
menunjukkan
penurunan
terjadinya
kalsifikasi
kardiovaskular
dibandingkan terhadap pemberian calcium
containing phospate binder.
Sevelamer
direkomendasikan
sebagai terapi lini pertama pasien dialisa
dengan vaskular yang parah atau kalsfikasi
jaringan lunak, dan juga digunakan sebagai
lini pertama agen pengikat fosfat pada
pasien PGK tahap 5. Agen ini mengandung
carbonate buffer yang membantu dalam
menjaga kadar bikarbonat dalam kadar
normal dan mengurangi efek samping
terhadap saluran pencernaan (Wells, 2009).
Sevelamer hidroklorida tersedia
dengan dosis tablet 400-800 mg. Sevelamer
karbonat tersedia dengan dosis tablet 800
mg dan serbuk 0,8g. Sevelamer karbonat
disetujui oleh FDA pada bulan Oktober
2007. Pada pemberian dosis awal bervariasi
dan tergantung pada baseline serum
konsentrasi serum fosfat yaitu, dosis 800
mg jika serum fosfat <7,5 mg/dL, dosis
1.600 mg jika serum fosfat >7,5 mg/dL.
Penyesuaian dosis dilakukan
bertahap dengan interval dua minggu
pemberian dengan melihat kadar serum
fosfat. Penyesuaian dosis juga untuk pasien
yang mengganti dari calcium containing
phospate binder ke sevelamer. Untuk
penurunan serum fosfat dosis 800 mg
sevelamer setara dengan 667 mg kalsium
asetat (169 mg elemental kalsium).
Pemberian sevelamer 1 jam sebelum atau 3
jam setelah pemberian agen lain dengan
indeks terapi sempit (Wells dkk., 2014).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan persepsi
individu sebagai laki-laki atau perempuan dalam
hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem
nilai di mana mereka tinggal, dan hubungan
dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan
perhatian mereka. Hal ini terangkum secara
kompleks mencakup kesehatan fisik, status
psikologis, tingkat keberhasilan, hubungan
sosial dan hubungan kepada karakteristik
mereka (Center of Disease Control and
Prevention (CDC), 2011). Kualitas hidup dapat
diartikan sebagai derajat dimana seseorang
menikmati kepuasan dalam hidupnya. Untuk
mencapai kualitas hidup maka seseorang harus
dapat menjaga kesehatan tubuh, pikiran, dan
jiwa sehingga seseorang dapat melakukan segala
aktivitas tanpa ada gangguan (Cruz dkk., 2011).
a. Health related quality of life (HRQOL)
Health related quality of life (HRQOL)
adalah kepuasan individu yang mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh kesehatan. HRQOL
merupakan sebuah konsep multidimensi yang
mencakup domain yang berikatan dengan fisik,
mental, emosional, dan sosial. Lebih jauh lagi,
domain tersebut mengukur kesehatan populasi,
harapan hidup, penyebab kematian dan fokus
pada kesehatan yang memiliki dampak pada
kualitas hidup. Konsep terkait HRQOL adalah
well-being, yang menilai aspek positif dari
kehidupan seseorang, seperti emosi positif dan
kepuasan hidup. Menurut Center of Disease
Control and Prevention (CDC) (2011),
pengukuran terhadap HRQOL merupakan suatu
langkah penting untuk mencapai beberapa
tujuan, yaitu mengevaluasi kemajuan bangsa
dalam mencapai tujuan kesehatan penduduknya
dan mengukur efektifitas intervensi perawatan
kesehatan suatu penyakit tertentu (Jiang dan Li,
2004).
b. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
penderita PGK
Beberapa penelitian melaporkan bahwa
kualitas hidup pasien hemodialisis lebih buruk
dibandingkan dengan populasi secara umum,
dimana hal tersebut berhubungan dengan
perubahan fisik, psikologi dan sosial yang terjadi
pada pasien. Faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup pasien PGK dibagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama adalah sosio demografi yaitu
jenis klamin, usia, suku/etnik, pendidikan,
pekerjaan dan status perkawinan. Kedua adalah
medik yaitu lama menjalani hemodialisa,
431
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis
yang dijalani (Desita, 2010). Beberapa faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup penderita
PGK, antara lain karakteristik penderita,
komorbid, dan frekuensi hemodialisis.
i. Karakteristik penderita
Karakteristik
penderita
dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderita
PGK, seperti usia yang lebih tua, jenis
kelamin perempuan, status sosial ekonomi
rendah dan semakin lama menjalani
hemodialisis dihubungkan dengan skor
kualitas hidup yang lebih rendah (Jiang dan
Li, 2004).
ii.
iii.
Komorbid
Komorbid sangat mempengaruhi
fungsi fisik dan menambah jumlah gejala
yang dialami oleh penderita PGK,
keduanya menghasilkan skor kualitas hidup
yang rendah (Jiang dan Li, 2004).
Frekuensi hemodialisis
Frekuensi hemodialisis umumnya
berkisar 2 kali perminggu atau 3 kali
perminggu.
Idealnya
hemodialisis
dilakukan 3 kali perminggu dengan durasi
4-5 jam HRQOL meningkat seiring dengan
pelaksanaan hemodialisis yang lebih sering,
karena kontrol terhadap anemia dan
metabolisme kalsium/fosfat yang lebih baik
(Jiang dan Li, 2004).
HIPOTESIS
Hipotesis awal penelitian yaitu ada
pengaruh penggunaan terapi sevelamer terhadap
kualitas hidup pasien hemodialisis di Rumah
Sakit Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang
dinilai dengan menggunakan KDQOL-SF 36.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan
adalah Quasi Eksperimental. Pada penelitian ini
menggunakan rancangan pretest dan postest
pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Proposal dan protokol penelitian telah
mendapatkan surat kelayakan etik dari Komite
Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Gadjah
Mada dengan nomor Ref : KE/FK/934/EC/2016.
Responden dalam penelitian ini yaitu pasien
yang menjalani hemodialisa rutin di Rumah
Sakit UGM, Yogyakarta yang sebelumnya telah
mengisi dan menandatangani informed consent
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
sebagai pernyataan kesediaannya menjadi
subjek uji dalam penelitian. Penelitian ini
meliputi pretes dan postes dengan kuisioner
KDQOL-SF 36 yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya. Tahapan pertama, kedua
kelompok diberikan kuisioner yang telah
divalidasi. Selanjutnya, untuk kelompok
perlakuan diberikan terapi sevelamer dan
kelompok kontrol diberi terapi standar
penanganan hiperfosfatemia yaitu kalsium
karbonat. Penentuan kelompok dalam penelitian
dilakukan dengan metode purposive sampling.
Selanjutnya dilakukan pengisian kembali
kuisioner sebagai tahapan post-intervensi.
Penilaian kuisioner dilakukan sesuai dengan
panduan pada A Manual for Use and Scoring
KDQOL-SF 36 yang dikembangkan oleh
Research and development (RAND) dan
Universitas Arizon. Analisis data menggunakan
prangkat lunak SPSS 16 yaitu chi-square, paired
t-test dan independent t-test untuk data yang
terdistribusi normal, sedangkan uji wilcoxon dan
uji mann whitney untuk data tidak terdistribusi
normal.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan
yaitu bulan Oktober-Desember 2016. Pemilihan
responden dilakukan sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi
dalam penelitian ini yaitu usia ≥ 18 tahun, pasien
menjalani hemodialisa rutin minimal 3 bulan
sebelum penelitian dan merupakan pasien
dengan hemodialisis rutin rawat jalan selama
penelitian berlangsung, frekuensi hemodialisa 2
kali seminggu, mendapatkan terapi pengikat
fosfat, dapat membaca dan menulis, dapat
berkomunikasi dengan baik, dan ersedia ikut
serta dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent.
Pasien yang menjalani hemodialisa non
penyakit ginjal kronik, pasien dengan komorbid
penyakit jantung, mengalami gangguan
kesadaran / mental / kognitif, pasien yang
menjalani transplantasi ginjal, kemoterapi,
penderita Human Immuno Deficiency Virus
(HIV) / acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS) dan penderita penyakit keganasan di
eksklusi dari penelitian.
Berdasarkan hasil analisis statistik tidak
terdapat perbedaan bermakna secara signifikan
pada seluruh karakteristik kecuali pada variabel
kadar fosfat antara kelompok perlakuan dan
432
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
kelompok kontrol dengan nilai p-value 0,000
(p<0,05). Meskipun terdapat hasil yang berbeda
secara signifikan pada perbadingan baseline
karakteristik pasien antar kelompok perlakuan
dan kontrol namun penelitian ini tetap
dilanjutkan karena dalam pengukuran kualitas
hidup tidak hanya dipengaruhi oleh parameter
UAD, Yogyakarta
kadar fosfat saja namun kualitas hidup
dipengaruhi oleh keseluruhan hal-hal yang
terkait dengan kenyamanan pasien dalam
menjalani kehidupannya sehari-hari. Hasil
pengukuran kualitas hidup baseline pada kedua
kelompok tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dengan p-value 0,420.
Tabel 1. Karakteristik Responden yang Menjalani Hemodialisis RS UGM Yogyakarta
Selama Penelitian
Karakteristik
Kelompok
pvalue
Kontrol
%
Perlakuan
%
(n=21)
(n=16)
Jenis kelamin
Laki-laki
8
38,09 8
50
0,469
Perempuan
13
61,9
8
50
Usia
1-14 Tahun
0
0
0
0
0,175
15-24 Tahun
0
0
2
12,5
25-34 Tahun
3
14,28 2
12,5
35-44 Tahun
3
14,28 6
37,75
45-54 Tahun
6
28,57 3
18,75
55-64 Tahun
6
28,57 3
18,75
≥ 65 Tahun
3
14,28 0
0
Durasi HD
2012
0
0
2
12,5
0,264
2013
0
9
0
0
2014
8
38,09 8
50
2015
11
52,38 5
31,25
2016
2
9,52
1
6,25
Komorbid
CKD st 5
1
4,76
1
6,25
0,836
CKD st 5, HT
12
57,14 10
62,5
CKD st 5, DM
1
4,76
0
0
CKD st 5, HT dan
7
33.33 5
31.25
DM
Kadar Ca
< 8,1 mg/dl
21
100
16
100
8,1 – 9,7 mg/dl
0
0
0
0
> 9,7 mg/dl
0
0
0
0
Kadar PO4
< 2,5 mg/dl
1
4,76
0
0
0,000*
2,5 – 4,5 mg/dl
13
61,9
0
0
> 4,5 mg/dl
7
33,33 16
100
Kualitas Hidup
> 59
57,25±1,05
65,56±9,97
0,420
Analisis menggunakan uji Chi-Square; *berbeda bermakna secara statistik (p<0,05); HT=hipertensi; DM=
Diabetes Melitus; CKD st 5= Chronic Kidney Disease Stage 5; HD= hemodialisa; Ca= kalsium; PO4= Fosfat.
Pengukuran kualitas hidup pasien PGK
menggunakan KDQOL SF-36 terdapat 4 domain
utama yang diperhatikan yaitu kesehatan secara
umum, penyakit ginjal, pengaruh penyakit ginjal
terhadap kehidupan sehari-hari (kesehatan
mental), dan kepuasan pasien.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Analisis hasil antar pre intervensi
kontrol dengan pre-intervensi perlakuan ini
dilakukan dengan menggunakan uji T- tidak
berpasangan dan uji mann whitney pada
perangkat lunak SPSS. Adapun hasil uji analisis
statistik untuk kelompok perlakuan (sevelamer)
disajikan dalam tabel 2.
433
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Tabel 2. Perbandingan Kualitas Hidup Kel. Kontrol (CaCO3) dan Kel. Perlakuan (Sevelamer)
Pada Tahap Pre-intervensi
Domain
Skala
Pre-intervensi
Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan
pvalue
Rata-rata ± MinRata-rata ± MinSD
Max
SD
Max
Kesehatan
Fungsi Fisik
65,93 ± 1,79 45-95
76,87 ± 2,07 25-100
0,094b
Fisik
Status Pekerjaan
37,50 ± 2,23 0-50
53,12 ± 1,25 50 -100 0,036b*
Peran Fisik
32,81 ± 4,25 0-100
62,50 ± 4,08 0-100
0,009b*
Presepsi Kesehatan 58,44 ± 1,48 30-85
65,62 ± 1,68 35-90
0,036a*
Umum
Nyeri
62,94 ± 2,28 20-100 79,75 ± 2,06 32-100
0,007b*
Energi/Kelelahan
66,56 ± 1,59 40-90
76,25 ± 1,50 40-100
0,031a*
Fungsi Sosial
74,87 ± 2,04 50-100 83,44 ± 1,76 50-100
0,097b
Total
56,93 ± 1,77 28-85
72,12 ± 1,70 35-92
0,442a
Penyakit
Fungsi Kognitif
31,75 ± 2,08 6-60
37,68 ± 3,04 0-80
0,951b
Ginjal
Gejala/Problem
47,06 ± 1,93 18-81
40,50 ± 1,67 6-75
0,165a
Fungsi Seksual
34,37 ± 4,64 0-100
57 ± 4,74
0-100
0,159b
Efek Penyakit
72,87 ± 1,77 50 72,08 ± 1,31 50-93
0,484a
Ginjal
100
Tidur
63,37 ± 1,57 37-90
72,43 ± 2,30 20-95
0,148a
Total
50,12 ± 1,52 24-71
55,44 ± 1,50 21-79
0,343a
Kesejahteraan Kesejahteraan
76,25 ± 2,14 36-100 83 ± 1,63
40-100
0,146b
Mental
emosional
Kualitas Interaksi
23,06 ± 1,79 0-60
17,12 ± 1,35 0-40
0,123b
Sosial
Beban Penyakit
42,25 ± 2,36 0-75
41,81 ± 2,03 6-81
0,388b
Ginjal
Dukungan Sosial
94,75 ± 1,32 50-100 95,75 ± 9,81 66-100
0,982b
Peran emosional
58,25 ± 4,64 0-100
79 ± 3,20
0-100
0,093b
Total
54,06 ± 5,49 45-63
55,94 ± 7,44 42-68
0,835a
Kepuasan
Kepuasan Pasien
60,73 ± 1,61 49,98- 60,76 ± 1,35 49,980,359b
pasien
100
83,30
Dorongan Staff
92,19 ± 1,76 50-100 97,62 ± 6,85 75-100
0,777b
Analisis
Total
77,81 ± 1,04 50-100 80,81 ± 7,98 75-100
0,257a
Skor rata-rata kualitas hidup
57,25 ± 1,05 38-78
65,56 ± 9,97 44-78
0,420a
keseluruhan
a
analisis dengan Independent t-test ; banalisis dengan uji mann-whitney ; *berbeda bermakna secara
statistik (p<0,05)
Nilai rata-rata kualitas hidup pada
awal/baseline responden kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan dalam penelitian berturutturut adalah 57,25±1,05 dan 65,56±9,97 dengan
THE 5TH URECOL PROCEEDING
nilai p-value sebesar 0,420 (p>0,05). Hal ini
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
bermakna secara statistik antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan dalam hal nilai
rata-rata kualitas hidup secara keseluruhan.
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan
terdapat beberapa skala dalam domain kesehatan
434
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
fisik yang bermakna secara statistik antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada
penilaian awal penelitian yaitu skala status
pekerjaan dan skala presepsi kesehatan umum
dengan nilai p-value 0,036, dan skala nyeri
memiliki nilai p-value 0,007. Rasa sakit yang
dirasakan pasien selama kurun waktu 4 minggu
terakhir mempengaruhi pekerjaan pasien baik di
luar maupun di dalam rumah. Selain itu skala
energi/kelelahan juga bermakna secara statistik
dengan nilai p-value
0,031. Skala ini
menunjukkan seberapa sering pasien masih
merasakan perasaan bersemangat, bertenaga
maupun kelelahan. Kondisi penyakit ginjal yang
dialami oleh pasien menjadi penyebab yang
menghambat pasien dalam bekerja sehingga
banyak pasien yang tidak dapat melakukan
pekerjaannya. Skala peran fisik memiliki nilai pvalue 0,009. Pasien memiliki kendala dalam
kegiatan rutin sehari-hari akibat kesehatan fisik
yang menurun, sehingga mengakibatkan pasien
harus mengurangi atau membatasi sebagian
besar pekerjaan dan kegiatan rutin yang biasa
dilakukannya.
Keseluruhan skala yang bermakna
secara statitstik merupakan skala-skala yang
termasuk dalam domain kesehatan fisik. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Shresta (2008) dan Pehzeski (2009) bahwa
domain kualitas hidup yang paling bermakna
yaitu pada domain kesehatan fisik. Kondisi PGK
menyebabkan penurunan kesehatan fisik seperti
penurunan kemampuan berjalan, menaiki
tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan
dan kemampuan aktifitas berat. Penurunan
aktifitas fisik ini menyebabkan keterbatasan
yang pada akhirnya mengganggu pekerjaan dan
aktifitas sehari-hari, seperti memperpendek
waktu untuk bekerja atau beraktifitas dan
kesulitasn dalam beraktifitas (Hays et al, 1997).
Analisis dilanjutkan dengan uji paired ttest dan uji wilcoxon untuk melihat perbedaan
hasil pengukuran awal/baseline dengan hasil
pengukuran setelah pemberian sevelamer selama
8 minggu. Berdasarkan hasil uji statistik pada
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
kelompok perlakuan (sevelamer) menunjukkan
bahwa domain kesejahteraan mental bermakna
secara statistik antara pre-intervensi dan postintervensi dengan p-value 0,026 (p<0,05).
Sevelamer memiliki efek yang baik pada
penanganan kondisi Mineral and Bone Disorder
yang biasa terjadi pada pasien PGK, namun
sevelamer tentunya juga memiliki beberapa efek
samping. Efek samping sangat lazim (dapat
terjadi pada lebih dari 1 dari 10 orang) yang
dilaporkan pada penggunaan sevelamer antara
lain muntah, sembelit, nyeri perut bagian atas,
dan mual. Efek samping lazim (terjadi pada 1
dari 10 orang) berupa diare, sakit perut,
gangguan pencernaan, dan perut kembung,
selain itu juga terdapat beberapa efek samping
yang pernah dilaporkan terjadi pada penggunaan
sevelamaer berupa gatal-gatal, ruam, motilitas
usus menurun dan sembelit. Beberapa efek
samping tersebut juga terjadi pada pasien dalam
kelompok perlakuan yang mendapatkan terapi
sevelamer. Terjadinya efek samping yang tidak
diinginkan dalam penggunaan suatu terapi obat
tentunya berpengaruh pada fungsi fisik pasien.
Hal yang sama juga ditunjukkan dalam
penelitian yang dilakukan Leigh, dkk tahun 2016
bahwa terdapat penurunan nilai kualitas hidup
pada domain kesejahteraan emosional yang
berpengaruh signifikan secara statistik dengan pvalue 0,001. Beberapa faktor yang dihubungkan
dengan adanya penurunan nilai pada domain
kesejahteraan mental ini yaitu adanya rentang
waktu tertentu seseorang menderita penyakit
ginjal kronik yang harus menjalani hemodialisis
baik laki-laki maupun perempuan memiliki
ambang batas kemampuan menerima kondisi
stress. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
keterbatasan fungsi fisik, keterbatasan energi
yang dimiliki, variasi rasa nyeri yang dirasakan,
dan variasi dukungan sosial selama menderita
penyakit ginjal kronik yang berdampak pada
kesejahteraan mental pasien. Adapun hasil uji
analisis statistik untuk kelompok perlakuan
(sevelamer) disajikan dalam tabel 3.
435
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Tabel 3. Perbandingan Kualitas Hidup Pre-intervensi dan Post-intervensi Kelompok
Perlakuan (Sevelamer)
Domain
Skala
Kelompok Perlakuan
Pre-intervensi
Post-intervensi
pvalue
Rata-rata ±
MinRata-rata ± MinSD
Max
SD
Max
Kesehatan
Fungsi Fisik
76,87 ± 2,07 25-100 81,87 ± 1,30 60-100 0,135b
Fisik
Status Pekerjaan
53,12 ± 1,25 50 -100 40,62 ± 2,01 0-50
0,046b
Peran Fisik
62,50 ± 4,08 0-100
53,12 ± 4,27 0-100
0,470b
Presepsi Kesehatan 65,62 ± 1,68 35-90
66,25 ±1,93 25-90
0,850a
Umum
Nyeri
79,75 ± 2,06 32-100 78,75 ± 2,21 32-100 0,637b
Energi/Kelelahan
76,25 ± 1,50 40-100 75,31 ± 1,62 50-100 0,857a
Fungsi Sosial
83,44 ± 1,76 50-100 82,94 ± 1,99 37-100 0,877b
Total
72,12 ± 1,70 35-92
68,44 ± 1,49 48-87
0,194a
Penyakit
Fungsi Kognitif
37,68 ± 3,04 0-80
18,93 ± 1,58 0-40
0,035b
Ginjal
Gejala/Problem
40,50 ± 1,67 6-75
25,75 ± 2,13 00-75
0,001a*
Fungsi Seksual
57 ± 4,74
0-100
58,56 ± 4,29 0-100
0,832b
Efek Penyakit
72,08 ± 1,31 50-93
77,81 ± 1,28 59-96
0,022a*
Ginjal
Tidur
72,43 ± 2,30 20-95
76,69 ± 1,86 35-100 0,388a
Total
55,44 ± 1,50 21-79
52,56 ± 1,36 28-68
0,483a
Kesejahteraan Kesejahteraan
83 ± 1,63
40-100 84 ±1,61
56-100 0,674b
Mental
emosional
Kualitas Interaksi
17,12 ± 1,35 0-40
14,19 ± 1,25 0-33
0,345b
Sosial
Beban Penyakit
41,81 ± 2,03 6-81
48,62 ± 1,66 25-81
0,550b
Ginjal
Dukungan Sosial
95,75 ± 9,81 66-100 96,87 ± 2,87 50-100 0,343b
Peran emosional
79 ± 3,20
0-100
62,37 ± 4,53 0-100
0,151b
Total
55,94 ± 7,44 42-68
50,19 ± 4,68 41-56
0,026a*
Kepuasan
Kepuasan Pasien
60,76 ± 1,35 49,9860,76 ± 1,35 49,98- 1,000b
pasien
83,30
83,30
Dorongan Staff
97,62 ± 6,85 75-100 92,94 ± 1,58 50-100 0,279b
Analisis
Total
80,81 ± 7,98 75-100 79,25 ± 1,3
50-100 0,576a
Skor rata-rata kualitas hidup
65,56 ± 9,97 44-78
63,06 ± 8,74 47-74
0,453a
keseluruhan
a
analisis dengan paired t-test ; banalisis dengan uji Wilcoxon ; *berbeda bermakna secara statistik
(p<0,05)
gejala/problem antara pre-intervensi dan postSkala yang memiliki kebermaknaan intervensi kelompok perlakuan (sevelamer)
secara statistik juga ditunjukkan pada skala yaitu berturut-turut 40,50±1,67 dan 25,75±2,13.
gejala/problem dengan nilai p-value 0,001 Semakin rendah nilai rata-rata pada skala
(p<0,05). Hal ini serupa dengan penelitian yang gejala/problem berarti bahwa semakin baik atau
dilakukan oleh Cheung, dkk tahun 2012 dengan terdapat penurunan gejala/problem pada pasien
nilai p-value 0,001 pada skala gejala/problem. sebelum dan setelah adanya intervensi
Terdapat penurunan nilai rata-rata pada sevelamer. Gejala/problem yang dimaksud
THE 5TH URECOL PROCEEDING
436
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
antara lain nyeri otot, nyeri dada, kram, kulit
gatal, kulit gering, sesak nafas, sakit kepala,
nafsu makan menurun, lemah, mati rasa di
tangan atau kaki, mual atau perasaan tidak
nyaman di perut, dan permasalahan yang
mengganggu pada tempat pemasangan jarum
hemodialisa yang dirasakan pasien selama kurun
waktu 4 minggu terakhir..
Skala efek penyakit ginjal juga memiliki
kebermaknaan secara statistik dengan p-value
0,022 (p<0,05). Terdapat peningkatan nilai ratarata pada skala efek penyakit ginjal antara preintervensi dan post-intervensi kelompok
perlakuan (sevelamer) yaitu berturut-turut
72,08±1,31 dan 77,81±1,28. Semakin tinggi
nilai rata-rata pada skala efek penyakit ginjal
berarti bahwa semakin baik atau terdapat
peningkatan kemampuan pasien dalam hal
penerimaan adanya pembatasan minum dan
makan, penurunan kemampuan bekerja diluar
rumah dan perjalanan jauh, ketergantungan pada
dokter dan paramedis, kondisi stress dan cemas,
serta kehidupan seksual dan kepribadian pada
pasien sebelum dan setelah adanya intervensi
sevelamer. Hal serupa juga ditunjukkan dalam
penelitian yang dilakukan Nayana, dkk tahun
2016 bahwa skala efek penyakit ginjal memiliki
nilai rata-rata yang cukup tinggi dibandingkan
dengan skala lainnya yaitu 46,32±18,20. Skala
ini berhubungan dengan kondisi penyakit ginjal
kronik yang mengakibatkan pasien harus
membatasi asupan cairan dan makanan, menjadi
tergantung pada dokter dan paramedis,
keterbatasan kemapuan bekerja dan perjalanan
jauh, serta berhubungan dengan kehidupan
seksual dan kepribadian.
Analisis
selanjutnya
yaitu
membandingkan antara post intervensi kontrol
dengan post-intervensi perlakuan ini dilakukan
dengan menggunakan uji T- tidak berpasangan
dan uji mann whitney. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa domain kesehatan fisik
untuk skala peran fisik dan nyeri antara
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
bermakna signifikan secara statistik dengan nilai
p-value berturut-turut yaitu 0,037 dan 0,015 (p <
0,05). Skala peran fisik antara kelompok kontrol
dibandingkan kelompok perlakuan memiliki
nilai rata-rata berturut-turut yaitu 21,87±3,01
dan 53,12±4,27. Berdasarkan hasil tersebut
diketahui bahwa kelompok perlakuan memiliki
nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol. Semakin tinggi nilai rata-rata
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
pada skala peran fisik menunjukkan bahwa
kelompok perlakuan memiliki kemampuan
dalam hal mengatasi masalah-masalah yang
berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan
rutin sehari-hari lebih baik dibandingkan
kelompok kontrol. Skala nyeri antara kelompok
kontrol dibandingkan kelompok perlakuan
memiliki nilai rata-rata berturut-turut yaitu
61,12±2,19 dan 78,75±2,21. Berdasarkan hasil
tersebut diketahui bahwa kelompok perlakuan
memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol. Semakin tinggi
nilai rata-rata pada skala nyeri menunjukkan
bahwa kelompok perlakuan merasakan beratnya
sakit jasmani dan pengaruh rasa sakit tersebut
terhadap pekerjaan di dalam maupun diluar
rumah selama 4 minggu terakhir ini lebih baik
dibandingkan kelompok kontrol.
Pada domain penyakit ginjal untuk skala
fungsi kognitif, gejala/problem, dan tidur juga
memiliki kebermaknaan yang signifikan secara
statistik (p < 0,05). ). Pada skor rata-rata skala
fungsi kognitif dan gejala/problem menunjukkan
bawa nilai kelompok sevelamer lebih rendah
yaitu 18,93±1,58 dan 25,75±2,13. Pada skala
fungsi kognitif dan gejala/problem, semakin
rendah nilai rata-rata menunjukkan semakin baik
fungsi kognitif dan gejala/problem pasien. Hal
ini berarti bahwa kelompok sevelamer lebih baik
dalam hal fungsi kognitif dan gejala/problem
dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah
adanya intervensi. Selain itu skala yang memiliki
kebermaknaan secara statistik juga ditunjukkan
pada skala tidur dengan nilai rata-rata kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan berturut-turut
yaitu 59,68±2,01 dan 76,69±1,86. Berdasarkan
hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa
kelompok sevelamer memiliki nilai yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Pada
skala tidur, semakin tinggi nilai rata-rata
menunjukkan semakin baik tingkat kualitas tidur
pasien. Hal ini berarti bahwa kelompok
sevelamer lebih baik dalam hal kualitas tidur
pasien dibandingkan dengan kelompok kontrol
setelah adanya intervensi.
Hasil analisis keseluruhan untuk ratarata kualitas hidup antara kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok perlakuan pada
tahapan pre-intervensi maupun post-intervensi
tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara
statistik dengan p-value berturut-turut 0,420 dan
0,146 (p>0,05). Nilai rata-rata kualitas hidup
secara keseluruhan kelompok kontrol dan
437
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
kelompok perlakuan setelah intervensi diberikan
yaitu berturut-turut 57,75±9,15 dan 63,06±8,74.
UAD, Yogyakarta
Adapun hasil uji analisis statistik untuk disajikan
dalam tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Kualitas Hidup Kel. Kontrol (CaCO3) dan Kel. Perlakuan (Sevelamer)
Pada Tahap Post-intervensi
Domain
Skala
Post-intervensi
Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan
pvalue
Rata-rata ± MinRata-rata ± MinSD
Max
SD
Max
Kesehatan
Fungsi Fisik
70,31 ± 2,05 25-100 81,87 ± 1,30 60-100 0,082b
Fisik
Status Pekerjaan 37,50 ± 2,23 0-50
40,62 ± 2,01 0-50
0,380b
Peran Fisik
21,87 ± 3,01 0-100
53,12 ± 4,27 0-100
0,037b*
Presepsi
58,44 ± 1,39 30-75
66,25 ±1,93
25-90
0,084a
Kesehatan
Umum
Nyeri
61,12 ± 2,19 20-100 78,75 ± 2,21 32-100 0,015b*
Energi/Kelelahan 71,56 ± 1,63 45-95
75,31 ± 1,62 50-100 0,249a
Fungsi Sosial
76,25 ± 1,86 25-100 82,94 ± 1,99 37-100 0,099b
Total
58,56 ± 1,34 34-85
68,44 ± 1,49 48-87
0,578a
Penyakit
Fungsi Kognitif
34,68 ± 2,69 0-80
18,93 ± 1,58 0-40
0,017b*
Ginjal
Gejala/Problem
39,75 ± 1,86 2-70
25,75 ± 2,13 00-75
0,019a*
Fungsi Seksual
36,69 ± 4,90 0-100
58,56 ± 4,29 0-100
0,528b
Efek Penyakit
85,19 ± 1,46 56-100 77,81 ± 1,28 59-96
0,294a
Ginjal
Tidur
59,68 ± 2,01 25-92
76,69 ± 1,86 35-100 0,047a*
Total
49,18 ± 1,11 30-69
52,56 ± 1,36 28-68
0,890a
Kesejahteraan Kesejahteraan
87,25 ± 1,65 40-100 84 ±1,61
56-100 0,951b
Mental
emosional
Kualitas
17,25 ± 2,08 0-80
14,19 ± 1,25 0-33
0,898b
Interaksi Sosial
Beban Penyakit
41,87 ± 1,86 12-75
48,62 ± 1,66 25-81
0,121b
Ginjal
Dukungan Sosial 86,31 ± 2,68 0-100
96,87 ± 2,87 50-100 0,064b
Peran emosional 49,75 ± 3,65 0-100
62,37 ± 4,53 0-100
0,147b
Total
54,44 ± 7,48 42-67
50,19 ± 4,68 41-56
0,036a*
Kepuasan
Kepuasan Pasien 60,73 ± 1,61 49,98- 60,76 ± 1,35 49,980,359b
pasien
100
83,30
Dorongan Staff
97,62 ± 6,84 75-100 92,94 ± 1,58 50-100 0,583b
Analisis
Total
80,56 ± 9,26 69-100 79,25 ± 1,3
50-100 0,401a
Skor rata-rata kualitas hidup
57,75 ± 9,15 40-69
63,06 ± 8,74 47-74
0,146a
keseluruhan
a
analisis dengan Independent t-test ; banalisis dengan uji mann-whitney ;*berbeda bermakna secara
statistik (p<0,05)
pasien hemodialisis dikatakan baik apabila
Berdasarkan KDQOL SF 36 vers 1,3 A memiliki nilai lebih dari 59±19,54. Berdasarkan
Mannual for Use and Scoring, kualitas hidup kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-
THE 5TH URECOL PROCEEDING
438
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
rata pasien hemodialisis di RS UGM
dikatagorikan memiliki kualitas hidup yang baik
karena memiliki nilai > 59±19,54. Penelitian
Nayana (2016) menyimpulkan bahwa pasien
yang menjalani hemodialisis dilaporkam
memiliki penurunan kualitas hidup yang tinggi.
Hal ini diakibatkan oleh penyakit ginjal yang
berefek pada fisik dan status mental pasien.
Terapi obat sebisa mungkin dapat meningkatkan
kapasitas fungsional pasien, namun tidak dapat
memodifikasi progresifitas kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan pasien.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan hasil pengukuran kualitas
hidup yang didapatkan berdasarkan hasil
penelitian pada pasien hemodialisis di RS UGM
Yogyakarta yang diberikan terapi Sevelamer
adalah terdapat pengaruh secara bermakna
antara kualitas hidup pasien pada domain
kesejahteraan mental (p=0,026) dan domain
penyakit ginjal khususnya untuk skala
gejala/problem (p=0,001) dan efek penyakit
ginjal (p=0,022). Namun, tidak terdapat
pengaruh secara bermakna antara kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan postintervensi pada nilai rata-rata kualitas hidup
keseluruhan dengan p-value 0,146 (p>0,05).
Saran
Disarankan untuk penelitian selanjutnya
dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang
lebih besar untuk mengetahui hubungan kualitas
hidup pasien yang menjalani hemodialisa
dengan terapi sevelamer. Disarankan untuk
penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan
durasi intervensi yang lebih lama untuk
mengetahui hubungan kualitas hidup pasien
yang menjalani hemodialisa dengan terapi
sevelamer jangka panjang.
Referensi
Data, P., Kemkes, S.E.S., dan Jenderal, I.K.K.S.,
2010. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2009-[BUKU].
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Johansen, K.L. dan Chertow, G.M., 2007.
Chronic kidney disease mineral bone
disorder and health-related quality of
life among incident end-stage renaldisease patients. Journal of Renal
Nutrition: The Official Journal of the
Council on Renal Nutrition of the
National Kidney Foundation, 17: 305–
313.
Kesehatan, D. dan RI, K.K., 2013. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
National Kidney Foundation, 2002. Clinical
Practice Guidelines for Chronic
Kidney
Disease:
Evaluation,
Classification and Stratification.
National Kidney Foundation, New
York.
National Kidney Foundation, 2003. K/DOQI
clinical practice guidelines for bone
metabolism and disease in chronic
kidney disease. American Journal of
Kidney Diseases: The Official Journal
of the National Kidney Foundation,
42: S1–201.
Pezeshki, L.M and Rostami, Z. 2009,
Contributing Factors in Health-Related
Quality of Life Assesment of ESRD
Patients: A Single Center Study,
International Journal Nephrology and
Urology; 1:129-136.
Shrestha, S., Ghoteka, L. R., Sharma, S.K,
Shangwa, P.M. and Karki, P.J. 2008,
Assessment of Quality of Life in
Patients of End Stage Renal Disease on
Different Modalities of Treatment,
Nepal Medical Association, 47:1-6.
Tomasello,
S.,
2008.
Secondary
Hyperparathyroidism and Chronic
Kidney Disease. Diabetes Spectrum,
21: 19–25.
439
ISBN 978-979-3812-42-7
Download