disini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja merupakan suatu periode transisi perkembangan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist &
Feist, 2006), remaja berada pada tahap identity versus identity confusion.
Menurutnya, pencarian identitas ego mencapai klimaks selama masa remaja.
Remaja akan berusaha untuk mencari tahu siapa dirinya. Pencarian identitas diri ini
mendorong remaja untuk melakukan eksplorasi, remaja yang tidak mampu
mengeksplorasi pengalaman hidup dan citra dirinya kedalam suatu identitas yang
konsisten akan mengalami difusi peran, serta akan timbul kebingungan (Feist &
Feist, 2006).
Akibat dari kebingungan yang dialami, banyak remaja yang sering terlibat
hal negatif, yaitu kenakalan remaja (Sunaryo, 2002). Menurut Nunally dan Hawari
(dalam Marini & Andriani, 2005) penyebab para remaja terjerumus ke hal-hal
negatif seperti tawuran, narkoba, seks bebas, pencurian dan lain-lain salah satunya
disebabkan karena kepribadian yang lemah. Ciri-ciri kepribadian yang lemah
diantaranya rendahnya daya tahan terhadap tekanan, harga diri yang rendah, kurang
bisa mengekspresikan diri, sulit menerima umpan balik, kurang bisa menyampaikan
kritik, sukar menghargai hak dan kewajiban, kurang bisa mengendalikan emosi dan
agresivitas serta tidak dapat mengatasi masalah dan konflik dengan baik, yang erat
kaitannya dengan asertivitas (Marini & Andriani, 2005).
Asertivitas merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang
diinginkan secara jujur, tidak menyakiti orang lain dan menyakiti diri sendiri serta
mendapatkan apa yang seseorang inginkan (Jay, 2007). Menurut Rathus dan Nevid
(1983) asertif adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur
dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran-pikiran apa adanya,
mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak
masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu
kelompok.
Menurut Alberti dan Emmons (dalam Marini & Andriani, 2005) perilaku
asertif lebih adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Hal ini dapat
terjadi karena perilaku asertif menyebabkan dimilikinya harga diri yang tinggi dan
hubungan interpersonal yang memuaskan, karena perilaku asertif memungkinan
orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan jelas
sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan orang lain.
Remaja perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stres ataupun
konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif (Marini &
Andriani, 2005). Perlunya pengembangan kepribadian pada remaja, seperti perilaku
asertif, menjadi perhatian bagi sekolah. Sekolah yang bersifat keagamaan kental
dengan pengembangan kepribadian. Menurut Feisal (1995), sekolah yang bersifat
keagamaan seperti pesantren mempunyai tujuan untuk pengembangan kepribadian.
Salah satu pesantren yang memperhatikan pengembangan diri siswanya adalah
Pesantren X di Bogor (Widiarti, 2013).
Siswa dan siswi yang biasa disebut dengan santriwan dan santriwati di
Pesantren X ini sangat kental dengan Aqidah dan Akhlak, dalam arti santriwan dan
santriwati diajarkan untuk bertingkah laku, bermoral, dan mempunyai budi pekerti
yang baik. Hal ini menjadi landasan Pesantren X dalam membentuk suatu
pengembangan diri santriwan dan santriwati. Di
Pesantren X dikembangkan
beberapa kegiatan ekstrakurikuler wajib, yaitu muhadharah dan jurnalistik. Kegiatan
tersebut menurut Widiarti (2013) bertujuan untuk pengembangan diri santriwan dan
santriwati Pesantren X.
Kegiatan muhadharah merupakan kegiatan dimana siswa dilatih untuk
melakukan ceramah, pidato, mengaji, dan MC. Melalui kegiatan muhadharah, siswa
dilatih untuk berkomunikasi, mengemukakan pendapatnya dengan baik, mendidik
santri menguasai public speaking, serta berani tampil berbicara di depan pendengar
(Widiarti, 2013). Hal ini sesuai dengan ciri-ciri perilaku asertif yang diungkapkan
Lange dan Jakubowski (1978) bahwa seorang yang asertif dapat berani
mengemukakan pendapat secara langsung, perilaku asertif memungkinkan individu
mengkomunikasikan perasaan, pikiran, dan kebutuhan lainnya secara langsung dan
jujur.
Sedangkan kegiatan jurnalistik merupakan kegiatan dimana siswa dilatih
untuk dapat berbicara dengan baik dan dapat menempatkan perilaku yang tepat
dihadapan narasumber ketika sedang wawancara (Widiarti, 2013). Hal ini sesuai
dengan aspek perilaku asertif yang diungkapkan oleh Eisler, Miller, Hersen,
Johnson, dan Pinkton (dalam Martin & Poland, 1980), yaitu non verbal behavior,
dimana seseorang yang asertif mampu menempatkan ekspresi wajah, kontak mata,
jarak fisik, isyarat badan dan sikap tubuh. Serta aspek latency of response, dimana
seorang yang asertif mampu memberikan jarak waktu antara akhir ucapan seseorang
sampai giliran kita untuk memulai berbicara.
Asertivitas akan berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor, dimana
salah satunya adalah tipe kepribadian (Rathus & Nevid, 1983). Menurut Jung
terdapat berbagai tipe kepribadian, yang terbentuk dalam dua sikap, yaitu introvert
dan ekstrovert (Feist & Feist, 2006). Menurut Jung (dalam Feist & Feist, 2006)
ekstrovert berarti mengarahkan energi psikis ke luar dan berorientasi kepada objek
dan jauh dari subjektif. Seorang dengan kepribadian ekstrovert lebih dipengaruhi
oleh sekeliling mereka daripada dunia dalam diri mereka. Sedangkan introvert
(Feist & Feist, 2006) berarti mengalihkan energi psikis ke dalam diri yang bersifat
subyektif dalam memandang dunia. Seorang dengan kepribadian introvert hidup di
dunia dalam diri mereka sendiri bersama dengan bias, khayalan, mimpi, dan
persepsi individual mereka. Mereka juga menerima dan mempersepsi dunia
eksternal, tetapi mereka melakukannya secara selektif dan dengan pandangan
subjektif mereka.
Ciri kepribadian ekstrovert menurut Eysenck (dalam Feist & Feist 2006)
antara lain mudah bersosialisasi, lincah, aktif, periang, terbuka, dominan, berani,
humoris, optimis, dan impulsif. Sedangkan kepribadian introvert mempunyai ciri
antara lain tenang, pasif, tidak suka bersosialisasi, hati-hati, pendiam, bijaksana,
pesimis, damai, tenang, dan terkendali.
Kepribadian ekstrovert sering diasosiasikan dengan perilaku asertif. Sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan Arfaniyah (2012) bahwa remaja dengan tipe
kepribadian ekstrovert lebih asertif dibanding remaja dengan tipe kepribadian
introvert. Salah satu ciri dari kepribadian ekstrovert tersebut sejalan dengan
karakteristik asertif. Menurut Eysenck (dalam Feist & Feist 2006) seorang dengan
kepribadian ekstrovert adalah seorang yang terbuka, sedangkan menurut Jay (2007)
asertif dikarakteristikkan sebagai seorang yang dapat mengkomunikasikan apa yang
diinginkan secara jujur. Ketika seorang dengan kepribadian ekstrovert yang terbuka,
maka akan mudah baginya untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan secara
jujur.
Namun tidak selalu orang yang ekstrovert akan mudah menjadi asertif,
karena terdapat beberapa ciri kepribadian introvert yang sejalan dengan perilaku
asertif. Menurut Eysenck (dalam Feist & Feist 2006) seorang dengan kepribadian
introvert adalah seorang yang hati-hati dan mempunyai kontrol diri. Sedangkan
menurut Jay (2007) asertif di karakteristikan sebagai seorang yang mampu berbicara
dengan tidak menyakiti hati orang lain. Ketika seorang dengan kepribadian introvert
yang berhati-hati dan mempunyai kontrol diri, maka mereka akan mampu berbicara
tanpa menyakiti hati orang lain.
Mengingat pentingnya perilaku asertif bagi remaja, termasuk pada siswa dan
siswi di Pesantren X di Bogor, maka peneliti ingin mengetahui keterkaitan
kepribadian ekstrovert dengan perilaku asertif, serta keterkaitan antara kepribadian
introvert dengan perilaku asertif pada siswa dan siswi Pesantren X di Bogor. Tipe
kepribadian sendiri memiliki peran terhadap perilaku asertif, sehingga dengan
mengetahui keterkaitan antara ekstrovert dengan introvert diharapkan dapat
diberikan metode pengembangan perilaku asertif yang berbeda sesuai dengan tipe
kepribadiannya.
1.2 Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan perilaku
asertif pada siswa-siswi pesantren X di Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara tipe
kepribadian ekstrovert dan introvert dengan perilaku asertif pada siswa-siswi pesantren
X di Bogor.
Download