Abses Retrofaring (PDF Available)

advertisement
ABSES
RETROFARING
Dr. Andrina Yunita Murni Rambe
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher bagian
dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring
berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini biasanya atrofi pada
umur 4 – 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada anak-anak
dan relatif jarang pada orang dewasa. 1-3
Akhir – akhir ini abses retrofaring sudah semakin jarang dijumpai . Hal ini
disebabkan penggunaan antibiotik yang luas terhadap infeksi saluran nafas atas.
Pemeriksaan mikrobiologi berupa isolasi bakteri dan uji kepekaan kuman sangat
membantu dalam pemilihan antibiotik yang tepat.4 Walaupun demikian, angka
mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih cukup tinggi
sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. 5,6
Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa dan
operatif . Insisi abses retrofaring dapat dilakukan secara intra oral atau pendekatan
eksternal bergantung dari luasnya abses. 1,4,5 Pada umumnya abses retrofaring
mempunyai prognosis yang baik apabila didiagnosis secara dini dan dengan
penanganan yang tepat sehingga komplikasi tidak terjadi. 7
ANATOMI
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis
dan fasia servikalis profunda.2,8
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.2,8
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu : 2
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.
trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga
lapisan eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior.
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian
©2003 Digital by USU digital library
1
superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat
pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian
posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada
kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks,
menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian posterior
faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.
3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar
terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang
berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi
viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian
posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan
dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari
danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra.
Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis
( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris
sampai ke toraks.
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
divisi muskular
divisi viscera
3. Lapisan profunda :
divisi alar
divisi prevertebra
Tabel 1. dikutip dari kepustakaan 2
RUANG RETROFARING
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :1,2,5,6,9
- anterior
: fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda ) yang mengelilingi faring, trakea,
esofagus dan tiroid
- posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
- lateral
: selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum setinggi
bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar bersatu.
Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh
midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe retrofaring
yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini menampung
©2003 Digital by USU digital library
2
aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustakius
dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior.1,2,5,6,9,10
Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu : 1,2
- danger space
: dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang
ruang retrofaring ).
- prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan
korpus vertebra pada bagian posterior ( tepat di bela kang danger space ). Ruang ini berjalan sepanjang
kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebar an infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.
ETIOLOGI
Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu : 1,3,6,9 -14
1. Akut.
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini
terjadi
akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid,
nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke
kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga menyebabkan supurasi
pada daerah tersebut.
Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena
trauma akibat penggunaan instrumen ( intubasi endotrakea, endoskopi,
sewaktu adenoidektomi ) atau benda asing.
2. Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan
ini terjadi akibat infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana
pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior.
Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe
retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal.
Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara
bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah
:1,4,5,9,15
1. Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A ( paling sering ),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non –
hemolyticus, Staphylococcus aureus , Haemophilus sp
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus,
Fusobacteria
KEKERAPAN
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak
dibawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe. 7,10
Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Children’s
Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan
71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati
sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai
pada periode neonatus.5
©2003 Digital by USU digital library
3
Doodds, dkk ( 1988 ) seperti yang dikutip oleh Purnama H, melaporkan
selama 15 tahun penelitiannya dijumpai sebanyak 93 kasus abses leher dalam dan
dari jumlah tersebut sebanyak 9 anak ( 9,6% ) menderita abses retrofaring. 7
Kusuma H ( 1995 ) dalam suatu penelitiannya selama 3 tahun ( Januari 1992
– Desember 1994 ) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapati sebanyak 57 kasus
infeksi leher bagian dalam dimana sebanyak 3 orang ( 5,26 % ) menderita abses
retrofaring. 4
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan
tanda klinis yang sering dijumpai pada anak : 1,5,7 -9,13,14,16
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. suara sengau
4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.
5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa
dijumpai adanya :
7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan
8. air liur menetes ( drooling )
9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea
Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila
dibandingkan pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda
asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat
batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah : 4,5,7
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. rasa sakit di leher ( neck pain )
4. keterbatasan gerak leher
5. dispnea
Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas
sampai terjadi pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran
nafas. 10,14,16
DIAGNOSIS BANDING 1,8-10,15
1. Adenoiditis
2. Abses peritonsil
3. Abses parafaring
4. Epiglottitis
5. Croup
6. Aneurisma arteri
7. Tonjolan korpus vertebra
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan klinis
3. Laboratorium : 1-3,5,6,9,11
a. darah rutin : lekositosis
b. kultur spesimen ( hasil aspirasi )
4. Radiologis :1-3,5-7,9,11,13,15,16
a. Foto jaringan lunak leher lateral
©2003 Digital by USU digital library
4
Dijumpai penebalan jaringan lunak retrofaring ( prevertebra ) :
- setinggi C2 : > 7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anak-anak dan
dewasa
- setinggi C6 : > 14 mm ( anak-anak , N : 5 – 14 mm ) dan
> 22 mm ( dewasa, N : 9 – 22 mm )
Pembuatan foto dilakukan dengan posisi kepala hiperekstensi dan
selama inspirasi. Kadang-kadang dijumpai udara dalam jaringan
lunak prevertebra dan erosi korpus vertebra yang terlibat.
b. CT Scan
c. MRI
PENATALAKSANAAN
I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat : 1,2,5,9
- posisi pasien supine dengan leher ekstensi
- pemberian O2
- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik
- trakeostomi / krikotirotomi
II. Medikamentosa
1. Antibiotik ( parenteral )
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya
tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup
terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu
diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi
sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B – laktamase
kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin
yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
kedua ( seperti cefuroxime ) atau beta – lactamase – resistant penicillin seperti
ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam.
Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 1,3
2. Simtomatis
3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan
cairan elektrolit.
4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
III. Operatif :1,2,5,7,9,12,14,16
a. Aspirasi pus ( needle aspiration )
b. Insisi dan drainase :
Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang
kecil dan terlokalisir.
Pasien diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher
dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih rendah dari bahu.
Insisi vertikal
dilakukan pada
daerah
yang
paling
berfluktuasi dan
selanjutnya pus yang keluar harus segera
diisap dengan alat penghisap untuk menghindari aspirasi pus.
Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk
memudahkan evakuasi pus.
Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara
anterior atau posterior : untuk abses yang besar dan
meluas ke arah hipofaring.
©2003 Digital by USU digital library
5
Pendekatan
anterior
dilakukan
dengan membuat
insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau
pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis
dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m.
sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.
sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem erteri
bengkok, m. sternokleidomastoideus dan selubung karotis
disisihkan ke arah lateral. Setelah abses terpapar dengan cunam
tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi
dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain ).
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada
batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke
arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.
sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi
tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.
KOMPLIKASI
Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat : 1,5,9,13,16
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :
a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema,
abses mediastinum
b. lateral
: trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses
parafaring
c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase
awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang
tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna.7
Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40 - 50%
walaupun dengan pemberian antibiotik. 1,5,9 Ruptur arteri karotis mempunyai angka
mortalitas 20 – 40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
mortalitas 60%. 1
KESIMPULAN
1. Abses retrofaring paling sering dijumpai pada anak – anak, terutama
disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas yang menjalar ke ruang
retrofaring. Pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh trauma, benda
asing atau infeksi TBC pada korpus vertebra.
2. Gejala klinis yang ditimbulkan dapat berupa gejala yang ringan seperti
demam, sulit dan sakit menelan sampai timbul gejala yang berat seperti
obstruksi jalan nafas dan dapat menimbulkan kematian.
3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis disertai
aspirasi dan pemeriksaan radiologis.
4. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medikamentosa dan operatif
bergantung dari luasnya abses.
©2003 Digital by USU digital library
6
5. Prognosis bergantung dari penanganan yang cepat dan tepat sehingga
komplikasi yang membahayakan jiwa tidak terjadi.
KEPUSTAKAAN
1. Berger TJ, Shahidi H. retropharyngeal abscess. eMedicine Journal.
August 13 2001, Volume 2, Number 8 : http://author.emedicine.com/PED/
topic2682.htm
2. Scott BA, Stiernberg CM. Deep neck space infections. Dalam : Bailey BJ,
Ed. Head and neck surgery – otolaryngology, Vol 1. Philadelphia: JB
Lippincott Company , 1993 . h.738-49.
3. Retropharyngeal abscess. University of Maryland Medicine : http://umm.
drkoop.com/conditions/ency/article/000984.htm
4. Kusuma H. Infeksi leher bagian dalam. Disampaikan pada Kongres
Nasional PERHATI XI, Yogyakarta, 4 – 7 Oktober, 1995.
5. Kahn J. retropharyngeal abscess. eMedicine Journal. February 1 2001,
Volume 2, Number 2 : http://www.emedicine.com/EMERG/topic506.htm
6. Velankar HK. retropharyngeal abscess. Padmashri DY Patil Medical
College, Mumbai: http://www.bhj.org/journal/2001 4303 july01/review
371.htm
7. Purnama H, Fachrudin D, Rusmarjono. Abses retrofaring. Disampaikan
pada Kongres Nasional PERHATI XI, Yogyakarta, 4 – 7 Oktober, 1995
8. Ballenger JJ. Leher, orofaring dan nasofaring. Dalam : Ballenger JJ, Ed.
Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1, Edisi ke –13.Jakarta : Binarupa
Aksara, 199 . h. 295 9. Boonprakong OL, Yamamoto LG. a complication of a retropharyngeal
abscess. Radiology cases in pediatric emergency medicine, Vol 7, Case10
: http://www.hawaii.edu/medicine/pediatrics/pemxray/v7c10.html
10. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke – 3. Jakarta : FK UI , 1997.h. 185-6.
11. Cowan DL, Hibbert J. Acute and chronic infection oh the pharynx and
tonsils. Dalam : Hibbert J,Ed. Scott – Brown’s Otolaryngology, Vol 5, Edisi
ke 6, Great Brittain : Butterworth Heinemann, 1997. h. 5/4/5 – 6.
12. Groves J, Gray RF.A synopsis of otolaryngology. Edisi ke 4.Great Brittain:
John Wright & Sons,1985, h. 297 – 8.
13. Freeland AP. Acute laryngeal infections. Dalam: Adams DA, Cinnamond
MJ,Ed.Scott – Brown’s Otolaryngology,Vol 6, Edisi ke-6, Great Brittain:
Butterworth Heinemann, 1997, h. 6/24/7 – 14.
14. Maran AGD. Diseases of the nose, throat and ear. Edisi ke-10.Singapore:
PG Publishing Pte Ltd, 1990, h. 104 – 5.
15. Boychuk RB. Drooling, stridor and a barking cough : croup??. Radiology in
Ped Emerg Med,Vol 1,Case 10: http://www.hawaii.edu/medicine/pediatrics/
pemxray/v1c10.html
16. Adams GL. Penyakit – penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies LR,
Adams GL, Higler PA, Ed. Buku ajar penyakit THT, Edisi ke – 6, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, h. 347 – 8.
17. Ballantyne JC. Surgical treatment of parapharyngeal and retropharyngeal
abscesses. Dalam : Ballantyne JC, Harrison DFN, Ed. Rob & Smith’s
Operative Surgery, Edisi ke – 4, London : Butterworths, 1986, h. 203 – 5.
©2003 Digital by USU digital library
7
Download