9 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia adalah sumber untuk mencapai keunggulan kompetitif
karena kemampuannya untuk mengkonversi sumber daya lainnya (uang, mesin,
metode dan material) ke dalam hasil berupa produk ataupun jasa. Pesaing dapat
meniru sumber lain seperti teknologi dan modal tetapi tidak dengan sumber daya
manusia yang unik.
Mengacu pada pendapat Mathis dan Jackson (2006, p.3) Manajemen Sumber daya
manusia adalah rancangan sistem- sistem formal dalam sebuah organisasi untuk
memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai
tujuan – tujuan organisasional.
Gary Dessler (2011:5) mendefinisikan manajemen sumber daya manusia sebagai
kebijakan dan praktik menentukan aspek manusia atau sumber daya manusia dalam
posisi manajemen, termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan
dan penilaian.
Menurut Yuniarsih dan Suwatno (2008:1), manajemen sumber daya manusia
merupakan bagian dari ilmu manajemen yang memfokuskan perhatiaannya pada
pengaturan peranan sumber daya manusia dalam kegiatan suatu organisasi.
Manajemen sumber daya manusia menganggap bahwa karyawan adalah kekayaan
(asset) utama organisasi yang harus dikelola dengan baik, jadi manajemen sumber
daya manusia sifatnya lebih strategis bagi organisasi dalam mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan.
Ada beberapa praktek SDM yang penting, dan strategi yang mendasari praktek
ini perlu dipertimbangkan
untuk memaksimalkan
pengaruh mereka terhadap
kinerja perusahaan. Praktek SDM yang efektif dengan mengolah kontriibusi
karyawan telah terbukti berhubungan dengan kinerja perusahaan, kepuasan
pelanggan, inovasi, produktivitas dan pengembangan reputasi baik di masyarakat
maupun perusahaan.
9
10
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan manajemen sumber daya
manusia adalah proses dalam manajemen yang mengatur tenaga kerja untuk
dapat meningkatkan kinerja mencapai tujuan organisasi. Terlebih lagi, sumber
daya manusia menjadi hal yang penting untuk dilakukan
perusahaan
demi
memaksimalkan dan menjaga sumber daya manusia yang mereka miliki.
2.1.1.1 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Mathis dan Jackson (2006: 50) manajemen sumber daya manusia
memainkan peran beberapa peranan bagi organisasi yaitu sebagai berikut:
1. Peran Administratif
Meliputi aktivitas-aktivitas administrasi, seperti program bantuan karyawan,
administrasi pensiun, pemeriksaan latar belakang/surat keterangan, administrasi
imbalan kerja, perencanaan dan administrasi kompensasi, dan penanganan
persoalan cuti yang terkait dengan urusan keluarga.
2. Peran Penasihat Karyawan
Profesional-profesional SDM dianggap sebagai surat atas persoalan-persoalan
karyawan, biasanya dipandang sebagai petugas moral perusahaan untuk
menangani manajemen krisis SDM yang berhubungan dengan masalah pekerjaan
karyawan maupun masalah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
3. Peran Operasional
Peran operasional terdiri dari beberapa aktivitas SDM berikut ini.:
1. Perencanaan dan analisis SDM
Lewat perencanaan SDM, manajer berusaha untuk mengantisipasi
kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan tuntutan para karawan
dimasa depan. Sistem Informasi Sumber Daya Manusia sangat penting
guna memberikan informasi ang akurat dan tepat pada waktunya untuk
perencanaan SDM. Sebagai bagian dari usaha mempertahankan daya saing
organisasional, harus ada analisis dan penilaian efektivitas SDM
2. Kesetaraan kesempatan kerja
Contohnya seperti rencana SDM yang strategis harus menjamin
ketersediaan perbedaan individu-individu yang memadai untuk memenuhi
11
persyaratan tindakan afirmatif.
3. Pengangkatan pegawai
Tujuannya adalah untuk memberikan persediaan yang memadai atas
individui-individu yang berkualifikasi untuk mengisi lowongan pekerjaan
di sebuah organisasi. Kemudian, deskripsi pekerjaan dan spesifikasi
pekerjaan dapat dipersiapkan untuk digunakan ketika merekrut pada
pelamar. Proses seleksi berhubungan dengan pemilihan individu yang
berkualifikasi untuk mengisi lowongan pekerjaan.
4. Pengembangan SDM
Dimulai dengan orientasi karyawan baru, pengembangan SDM juga
meliputi pelatihan keterampilan pekerjaan. Mendorong pengembangan
karyawan, termasuk top management juga penting dalam mempersiapkan
organisasi-organisasi agar dapat menghadapi tantangan masa depan.
5. Kompensasi dan tunjangan
Kompensasi sebagai penghargaan dapat diberikan kepada karyawan dalam
bentuk gaji, insentif, dan tunjangan. Program insentif digunakan dalam
pembagian keuntungan dan penghargaan produktivitas.
6. Kesehatan, keselamatan, dan keamanan
Berfokus pada kesehatan yang lebih luas, manajemen SDM dapat
membantu karyawan yang mengalami penyalahgunaan obat dan masalah
lain melalui program bantuan karyawan. Persoalan tradisional mengenai
keselamatan berfokus pada peniadaan kecelakaan di tempat kerja. Selain
itu, keamanan tempat kera menjadi lebih penting, akibat dari jumlah
tindakan kekerasan yang meningkat di tempat kerja.
7. Hubungan karyawan dan buruh/manajemen
Hubungan antara karyawan dan manajer harus ditangani secara efektif.
Apakah beberapa karyawan diwakili oleh satu serikat pekerja atau tidak,
hak karyawan harus disampaikan. Dalam beberapa organisasi, hubungan
serikat pekerja/manajemen harus disampaikan dengan baik juga.
4. Peran strategis
Agar SDM dapat memainkan peran strategis, ia harus fokus pada implikasi
12
jangka panjang dari persoalan SDM. Pentingnya peran strategis telah menjadi
pokok diskusi ekstensif di lapangan. Berikut komponennya:
•
Meningkatkan kinerja organisasional
Kinera organisasi dapat dilihat dari seberapa efektif produk dan
layanan organisasi disampaikan ke para pelanggan. Oleh karena itu,
satu tujuan dari manajemen SDM adalah untuk menentukan aktivitas
yang memberikan kontribusi pada kinerja organisasi yang tinggi.
•
Terlibat dalam perencanaan strategis
Hal yang penting bagi SDM untuk menjadi rekan strategis adalah
memiliki suara yang terdengar ketika terjadi perencanaan strategis
organisasional. Kemudian, SDM harus dilihat secara strategis dan
konteks yang sama seperti financial, teknologi, dan sumber-sumber
lain yang dikelola dalam organisasi.
•
Membuat keputusan tentang merger, akuisisi, dan pengecilan
perusahaan
Dalam semua merger dan akuisisi, banyak persoalan SDM yang
berhubungan
dengan
penggabungan
budaya
dan
operasi
organisasional.
•
Merancang ulang organisasi dan proses kerja
Implikasi dari konsep ini adalah perubahan dalam struktur organisasi
dan bagaimana pekerjaan dibagi menjadi beberapa tugas merupakan
sarana melalui dimana organisasi bergerak menuju rencana dan tujuan
strategisnya.
•
Menjamin akuntabilitas financial untuk SDM
Manajemen SDM yang berhubungan dengan kinerja organisasional
adalah untuk menunjukkan secara terus-menerus bahwa aktivitas dan
upaya SDM memberikan kontribusi pada hasil financial organisasi.
2.1.1.2 Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Yani (2012) pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya
manusia dalam mencapai tujuan organisasi tidaklah mudah, hal ini dikarenakan
13
adanya beberapa faktor atau tantangan baik yang berasal dari internal maupun
eksternal organisasi, yaitu :
1. Tantangan internal
a. Posisi organisasi dalam bisnis yang kompetitif
Dalam mewujdukan organisasi atau perusahaan yang kompetitif, diperlukan
kegiatan MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia)
yang dapat
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Usaha itu dapat dilakukan
dengan mendesain sistem pemberian ganjaran yang mampu memotivasi
berlangsungnya kompetisi prestasi antara para pekerja.
b. Fleksibiltas
Organisasi
memerlukan
pengembangan
sistem
disentralisasi
yang
mengutamakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab secara berjenjang
fleksibilitas juga menyangkut penggunaan tenaga kerja, dengan mengurangi
kecenderungan
mengangkat
tenaga
regular.
Pengangkatan
sebaiknya
difokuskan pada tenaga kerja temporer.
c. Pengurangan tenaga kerja
Manajemen sumber daya manusia sering dihadapkan pada keharusan
mengurangi tenaga kerja.
d. Restrukturisasi
Merupakan usaha untuk menyesuaikan organisasi karena dilakukan perluasan
dan sebaliknya juga pengurangan kegiatan bisnisnya.
e. Budaya organisasi
Budaya perusahaan akan mewarnai dan menghasilkan perilaku atau kegiatan
berbisnis secara operasional, yang tanpa disadari akan menjadi kekuatan yang
mampu atau tidak mamou menjamin kelangsungan eksistensi organisasi.
f. Teknologi
Tantangan teknologi ini tidak sekedar menyangkut pembiayaan, karena bagi
manajemen sumber daya manusia hubungannya terkait pada keharusan
menyediakan tenaga kerja yang terampil menggunakannya, baik dari luar
maupun melalui pengembangan tenaga kerja di dalam perusahaan. Pada
14
giliran
berikutnya
tantangan
teknologi
berhubungan
juga
dengan
pengembangan sikap dalam menerima perubahan cara bekerja.
g. Serikat pekerja
Organisasi atau perusahaan minimum harus berusaha agar serikat pekerja
tidak menjadi penghambat proses produksi, dengan tidak menempatkannya
sebagai lawan.
2. Tantangan eksternal
a. Perubahan bisnis yang cepat
Dalam menghadapi perubahan bisnis yang cepat diperlukan untuk menetapkan
kebijakan sumber daya manusia. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pengaruh negative seperti perasaan tidak puas pada kondisi yang telah dicapai
perusahaan. Perusahaan harus mampu mengatasi agar dapat mempertahankan
pasar atau keuntungan yang sudah diraih.
b. Keragaman tenaga kerja
Perusahaan harus siap dan mampu dalam mengantisipasi keragaman tenaga
kerja dalam rangka globalisasi, karena keragaman akan meluas dengan
masuknya investor asing yang berarti juga dengan masuknya tenaga kerja
asing dari berbagi etnis dan bangsa.
c. Globalisasi
Perusahaan harus mampu mengantisipasi dengan berusaha untuk memiliki
sumber daya manusia yang mampu mengatasi perngaruh perkembangan bisnis
internasional.
d. Regulasi pemerintah
Perusahaan harus memiliki sumber daya manusia yang mampu membuat
keputusan dan kebijakan serta bahkan melakukan operasional bisnis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari pemerintah. Untuk
itu diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan mengarahkan
agar perusahaan terhindari dari situasi konflik, keresahan dan komplen dari
para pekerja dengan atau tanpa keterlibatan serikat pekerja.
15
e. Perkembangan pekerja
Semakin banyak pasangan suami istri yang bekerja, akan berdampak pada
kesulitan dalam bertanggung jawab secara optimal. Hal ini dikarenakan oleh
sebagian waktunya digunakan untuk melaksanakan tanggung jawabnya
dilingkungan keluarga.
f. Kekurangan tenaga terampil
Kebutuhan akan tenaga kerja yang terampil akan semakin banyak dibutuhkan,
baik untuk pekerjaan teknis maupun untuk pekerjaan manajerial, yang tidak
mudah mendapatkan yang kompetitif diantara yang tersedia di pasar tenaga
kerja.
2.1.2 Tingkat Stres kerja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 4 (2008), tingkat adalah susunan
yang berlapis-lapis atau berlenggek-lenggek.
Menurut Robbins dan Judge (2008) stres adalah kondisi yang dinamis dimana
seseorang dihadapkan pada peluang, permintaan, atau sumber yang dimiliki oleh
individu terhadap sesuatu diinginkan dan hasilnya adalah merasa tidak pasti dan
penting.
Menurut Rivai (2013:1008) stres adalah suatu istilah yang merangkum tekanan,
beban, konflik, keletihan, ketegangan, panik, perasaan gemuruh, kemurungan dan
hilang daya.
Menurut Ivancevich (2011) stres adalah suatu respon adaptif, dimoderasi oleh
perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau
peristiwa yang memberikan tuntutan khusus terhadap seseorang yang berpengaruh
terhadap kinerja seseorang
Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungan. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang
berbagai macam segala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Orang-orang yang mengalami stres bisa menjadi nervous dan merasakan
kekhawatiran kronis. Mereka sering menjadi mudah marah dan agresif, tidak dapat
rileks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. (Rivai, 2013)
16
Menurut Rivai (2013:1008) stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang
menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang memengaruhi emosi,
proses berpikir, dan kondisi seorang karyawan.
Menurut Luthans (2006: 441) stres kerja didefinisikan sebagai respons adaptif
terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan
atau perilaku pada anggota organisasi.
Stres kerja menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2008:157) adalah sebuah
perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja
ini tampak dari simptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka
menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang,
gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat ditarik unsur persamaan dalam hal
ketegangan, respon adaptif, kondisi, fisik, psikologis, tekanan, dan emosional.
Berdasarkan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah kondisi
ketegangan dan respon adaptif seseorang karena adanya tekanan yang mempengaruhi
kondisi fisik dan psikologis dalam hal emosional, proses berfikir, dan sikap. Dan juga
stres kerja diakibatkan karena terdapat ketidakseimbangan antara karakteristik
kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat
terjadi pada semua kondisi pekerjaan.
2.1.2.1 Dimensi Stres Kerja
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat dibuat kesimpulan mengenai
dimensi stres kerja, yaitu:
1. Emosional :
Mudah emosi/marah, mudah tersinggung, depresi/tertekan, bermusuhan dan sikap
tidak bersahabat, cenderung menyalahkan orang lain, cemas, merasa dirinya tidak
berharga, dan mencurigakan.
2. Proses Berfikir :
Keterbatasan seseorang dalam mengatasi masalahnya dalam menyelesaikan tugas
dan kemampuannya dalam mengerjakan tugas dirasakan tidak sesuai dengan
tugas yang diberikan sehingga memerlukan proses berpikir yang lebih keras.
17
3. Kondisi Fisik :
Meliputi tekanan darah tinggi, tensi otot meningkat, respirasi meningkat atau
denyut nadi meninggi, telapak tangan sering berkeringat, tangan dan kaki
dingin,sakit kepala, perut merasa tidak enak, suara serak meninggi, perubahan
nafsu makan menurun, sering buang air kecil, gelisah, dan sulit tidur.
4. Sikap atau perilaku :
Meliputi menurunnya produktivitas, cenderung membuat kekeliruan, suka lupa,
kurang perhatian terhadap segala sesuatu, melamun, suka menyendiri, tidak
berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas, kreativitas berkurang, pengguna alcohol
dan obat-obat terlarang meningkat, absensi meningkat dan sering sakit, badan
lemah, kehilangan kepentingan, dan cenderung mengalami kecelakaan.
2.1.2.2 Faktor-faktor Stres Kerja
Menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2008:157) terdapat beberapa
penyebab stress kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat,waktu kerja
yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklimkerja yang tidak sehat,
otoritas kerja yang tidak memadai yangberhubungan dengan tanggung jawab, konflik
kerja, perbedaan nilai antarakaryawan dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja.
Arnold (2005:P395-410), terkait dengan seluruh jenis pekerjaan, menjabarkan tujuh
faktor yang menyebabkan terjadinya stres kerja, antara lain:
1. Faktor-faktor intrisik pekerjaan antara lain adalah:
•
Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik
Misalnya lingkungan kerja yang bising, pencahayaan yang kurang bail, tercium
bau-bauan, dan lain sebagainya.
•
Kerja shift/ kerja malam
Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja shift lebih
sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja
pagi/ siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin
menyebabkan gangguan-gangguan perut.
18
•
Jam kerja yang lama dan kerja yang terlalu overload
Adapun dua tipe kerja yang telalu overload (work overhead), yaitu overload
kuantitatif yaitu banyaknya yang harus dikerjakan, dan overload kualitatif yaitu
mengacu pada pekerjaan yang terlalu sulit untuk seseorang.
•
Tingkat resiko dan bahaya yang dihadapi
Pekerjaan yang mempunyai resiko atau bahaya yang tinggi akan menghasilkan
tingkat stres yang tinggi.
•
Teknologi baru
Mengajarkan teknologi baru dengan cara dan metode yang lama akan
menambah beban karyawan yang sedang dilatih.
2. Peraturan dalam organisasi
•
Konflik peran dan ketidakjelasan peran
Konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan
berbagai pihak atau adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan
kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya.
•
Tanggung jawab
Pada dasarnya, tanggung jawab terdiri dari 2, yaitu tanggung jawab terhadap
orang, dan tanggung jawab terhadap sesuatu, termasuk anggaran, perlengkapan,
dan bangunan.Tanggung jawab terhadap orang lebih menyebabkan stres daripada
tanggung jawab terhadap sesuatu..
3. Kepribadian
Seperti bisa diduga, penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan tingkat
kecemasan tinggi lebih menderita akibat konflik peran. Kecemasan pengalaman
individu-individu yang rawan konflik peran lebih akut dan bereaksi dengan
ketegangan yang lebih besar daripada orang-orang yang kurang kecemasan.
4. Hubungan dalam pekerjaan
•
Hubungan dengan superior
Sosik dan Godshalk dalam Arnold (2005:406) telah menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan yang penuh inspirasi dapat secara signifikan mengurangi jumlah
stres kerja yang dialami oleh bawahannya.
19
•
Hubungan antara bawahan dan rekan
Stres di antara rekan kerja dapat timbul dari kompetisi, komunikasi yang kurang
lancar dan konflik kepribadian.Karena kebanyakan orang menghabiskan begitu
banyak waktu di tempat kerja, hubungan antara rekan kerja dapat menjadi
dukungan yang sangat berharga.
5. Pengembangan Karir
•
Job Insecurity
Re-organisasi dirasakan perlu untuk dapat menghadapi perubahan lingkungan
dengan lebih baik. Sebagai akibatnya adalah adanya pekerjaan lama yang
hilangdan adanya pekerjaan baru.
•
Over and Under Promotion
Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan
maupun karena dilupakan, dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja
yang merasa sudah waktunya untuk mendapatkan promosi. Sedangkan stres yang
timbul karena over-promotion memberikan kondisi beban kerja yang berlebihan
serta adanya tuntutan pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dekat
bakatnya.
6. Budaya dan Iklim Organisasi
Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan, dan iklim
dari organisasi adalah
penting dalam memahami sumber-sumber stres
potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi.
7. Home-Work Interface
Home-Work Interface atau pekerjaan rumah antar muka biasanya diberi label
‘konflik’ dalam literatur stres. Konflik ini dapat berupa salah satu atau dari dua
arah gangguan bekerja dengan keluarga di mana tuntutan pekerjaan menciptakan
kesulitan untuk kehidupan rumah dan gangguan keluarga dengan pekerjaan di
mana tuntutan kehidupan rumah menciptakan kesulitan untuk bekerja.
2.1.2.3 Dampak Stres Kerja
Luthans (2006:456) mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian diindikasikan
tingkat kesulitan, sifat tugas yang dikerjakan, disposisi personal, disposisi psikologis
20
dan neorotisme mungkin mempengaruhi hubungan
antara
stres
dan
kinerja.
Masalah karena tingkat stres yang tinggi dapat ditunjukkan secara fisik, psikologis
atau perilaku individu.
•
Masalah kesehatan fisik yang berhubungan dengan stres kerja adalah sebagai
berikut:
a. Masalah sistem kekebalan tubuh, di mana terdapat pengurangan
kemampuan untuk melawan sakit dan infeksi.
b. Masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung.
c. Masalah sistem musculoskeletal (otot dan rangka), seperti sakit kepala
dan sakit punggung.
d. Masalah sistem gastrointestinal (perut), seperti diare dan sembelit.
•
Masalah Psikologis
Tingkat stres tinggi mungkin disertai dengan kemarahan, kecemasan, depresi,
gelisah, cepat marah, tegang, dan bosan. Sebuah studi menemukan
dampak
bahwa
stres yang paling kuat adalah pada tindakan agresif, seperti
sabotase, agresi antar-pribadi, permusuhan, dan keluhan. Jenis masalah
psikologis tersebut relevan dengan kinerja yang buruk, penghargaan diri yang
rendah, benci pada pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan
membuat keputusan, dan ketidakpuasan kerja.
•
Masalah perilaku
Perilaku langsung yang menyertai tingkat stres yang tinggi mencakup makan
sedikit atau perubahan makan berlebihan, tidak dapat tidur, merokok dan
minum, dan penyalahgunaan obat-obatan.
2.1.3 Komitmen Organisasi
2.1.3.1 Definisi Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi menurut Robins, dan Judge (2008:100) adalah tingkat
dimana seseorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan
keinginan untuk mempertahankan keanggotan dalam organisasi tersebut. Jadi,
keterlibatan seorang pekerja sangat tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu
21
seorang individu, sementara organisasi yang tinggi berarti memihak organisasi yang
merekrut individu tersebut.
Menurut Luthans (2006:249) menyatakan bahwa, komitmen organisasi paling
sering diartikan sebagai “keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi
tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi, keyakinan
tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi”.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006), komitmen organisasi
adalah tingkat sampai di mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional,
serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi
penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya
akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi.
Dari definisi-definisi diatas dapat ditarik unsur persamaan dalam hal tingkat,
keinginan, keyakinan, anggota organisasi, menerima, tujuan dan organisasi.
Berdasarkan persamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi
adalah tingkat keinginan dan keyakinan seorang karyawan untuk menjadi anggota
organisasi dan menerima tujuan organisasi.
2.1.3.2 Dimensi Komitmen Organisasi
Menurut Robins dan Judge (2008:101) ada tiga komponen yang mempengaruhi
komitmen organisasi, sehingga karyawan memilih tetap tinggal atau meninggalkan
organisasi berdasarkan norma yang dimilikinya, tiga (3) komponen tersebut adalah
1. Komitmen Afektif
Yaitu keterkaitan emosional karyawan, indentifikasi, dan keterlibatan dalam
organisasi. Keterkaitan
emosional ini terbentuk karena karyawan setuju
dengan tujuan dasar dan nilai-nilai organisasi tersebut, serta mengerti untuk
apa organisasi tersebut berdiri. Karyawan dengan tingkat komitmen afektif
yang tinggi akan memilih untuk tetap tinggal dalam organisasi untuk
menyokong organisasi dalam mencapai misinya.
2. Komitmen Kelanjutan
Yaitu komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya
karyawan dari organisasi. Semangkin lama seseorang tinggal dalam sebuah
22
organisasi, ia akan semakin tidak rela kehilangan apa yang telah mereka
investasikan diorganisasi tersebut selama bertahun-tahun, misalnya senioritas,
kesempatan promosi, rencana pensiun, hubungan persahabatan dengan rekan
kerja. Karyawan dengan tingkat komitmen kelanjutan yang tinggi akan
memilih untuk tetap tinggal dalam organisasi hanya karena tidak ingin
mengambil risiko kehilangan hal-hal tersebut.
3. Komitmen Normatif
Yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang
harus begitu. Tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan.
Keharusan untuk tetap tinggal dalam organisasi disebabkan karena tekanan
dari orang atau pihak lain. Karyawan dengan tingkat komitmen normative
yang tinggi sangat peduli pada apa yang akan dipikirkan orang lain bila ia
keluar dari organisasi tempatnya bekerja. Karyawan ini akan merasa enggan
untuk mengecewakan atasannya dan khawatir akan dianggap buruk oleh rekan
sekerjanya bila ia keluar dari pekerjaan tersebut.
2.1.3.3 Pedoman dalam meningkatkan komitmen organisasi
Menurut Dessler dalam Luthans (2006: 250) memberikan pedoman khusus untuk
mengimplementasikan sistem manajmen yang mungkin membantu memecahkan
masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan:
1. Berkomitmen pada nilai manusia: Membuat aturan tertulis, memperkerjakan
manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2. Memperjelas dan mengkomunikasikan misi anda, memperjelas misi dan ideologi,
berkharisma, menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai, menekankan
orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan, membentuk tradisi.
3. Menjamin keadilan organisasi: memiliki prosedur penyampaian keluhan yang
komprehensif, menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif.
4. Menciptakan rasa komunitas: membangun homogenitas berdasarkan nilai;
keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, berkumpul
bersama.
23
5. Mendukung perkembangan karyawan: melakukan aktualisasi; memberikan
pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukkan dan memberdayakan;
mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan
keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
2.1.4 Retensi Karyawan
2.1.4.1 Definisi Retensi Karyawan
Ketidakmampuan untuk mempertahankan karyawan menyebabkan perputaran
karyawan yang mengganggu dan cukup memakan banyak biaya untuk setiap
organisasi. Berkaitan dengan upaya perusahaan untuk meminimalkan tingkat
perputaran karyawan, Departemen SDM (Sumber Daya Manusia) memiliki tugas
yang sangat penting, yakni menciptakan retensi karyawan.
Berdasarkan Mathis & Jackson (2006:126-128), retensi karyawan merupakan
upaya untuk mempertahankan karyawan di dalam organisasi.Retensi karyawan
mengacu pada berbagai kebijakan dan praktik yang mengarahkan karyawan agar
bertahan di organisasi untuk jangka waktu yang lebih lama.
Menurut Pohan (2010, p.13), pada dasarnya tidak ada rumusan khusus untuk
mendefinisikan arti employee retention. Sebuah survei yang pernah dilakukan
terhadap beberapa manajer menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat
memberikan definisi yang tepat atas konsep ini. Beberapa di antara mereka
berpendapat bahwa retensi karyawan adalah sebuah usaha untuk mencegah
seorang karyawan berpindah ke perusahaan lain. Ada pula yang mengatakan bahwa
retensi karyawan berarti menyelaraskan kompensasi dan benefit yang diterima oleh
karyawan terhadap perkembangan pasar tenaga kerja. Di l ain hal, ada juga
manajer yang berpendapat bahwa retensi karyawan adalah segala sesuatu yang
berhubungan
dengan
budaya
perusahaan,
termasuk
bagaimana
perusahaan
memperlakukan para karyawannya.
2.1.4.2 Faktor-faktor Retensi Karyawan
Adapun faktor-faktor penentu retensi karyawan yang dikemukakan oleh Mathis
dan Jackson (2006:128) adalah sebagai berikut:
24
1. Komponen organisasi
Beberapa komponen organisasional mempengaruhi karyawan dalam memutuskan
apakah
bertahan
atau
meninggalkan
perusahaan.
Berikut
komponen
organisasional:
•
Budaya dan nilai organisasional
Budaya organisasional adalah pola nilai dan keyakinan bersama yang
memberikan arti dan peraturan perilaku bagi anggota organisasional. Nilai
organisasional utama
yang
memengaruhi keinginan
karyawan untuk
bertahan adalah kepercayaan. Karyawan yang yakin bahwa mereka dapat
memercayai para manajer, rekan kerja, dan sistem keadilan organisasional
tidak begitu berkeinginan meninggalkan para pemberi kerjanya saat ini.
•
Strategi, peluang, dan manajemen organisasional
Dimana organisasi memiliki perencanaan masa depan dari kepemimpinan
organisasional dan tujuan yang ditetapkan dengan jelas yang membuat para
manajer dan karyawan untuk bertanggung jawab atas pencapaian hasil
dianggap sebagai tempat bekerja yang lebih baik, terutama oleh individu
yang ingin maju, baik secara finansial maupun karir.
•
Kontinuitas dan keamanan kerja
Semua pengurangan karyawan, pemberhentian sementara, merger dan
akuisisi, serta penyusunan ulang organisasional telah memengaruhi loyalitas
dan retensi
karyawan. Selain
itu, ketika
rekan kerja mengalami
pemberhentian sementara dan pengurangan pekerjaan, tingkat kegelisahan
para karyawan yang masih bekerja meningkat. Akibatnya, karyawan mulai
berpikir untuk meninggalkan perusahaan sebelum mareka dikeluarkan. Di
sisi lain, organisasi yang memiliki kontinuitas dan keamanan kerja yang
tinggi cenderung memiliki angka retensi karyawan yang lebih tinggi.
2. Peluang karir organisasi
Survei terhadap karyawan di semua jenis pekerjaan tetap menunjukkan bahwa
usaha pengembangan karier organisasional dapat memengaruhi tingkat retensi
karyawan
secara
signifikan.
organisasional, antara lain:
Berikut
komponen
dari
peluang
karier
25
•
Pengembangan karier
Usaha
pengembangan
karier
organisasional
dirancang
untuk
memenuhi harapan para karyawan bahwa para pemberi kerja mereka
berkomitmen untuk mempertahankan pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuannya saat ini.
•
Perencanaan karier
Organisasional
juga
meningkatkan
retensi
karyawan
dengan
mengupayakan perencanaan karier formal. Para karyawan dan manajer
mereka saling mendiskusikan peluang karier dalam organisasi dan
aktivitas
pengembangan
karir
apa
saja
yang
akan
meningkatkan perkembangan masa depan para karyawan.
3. Penghargaan
Penghargaan nyata yang diterima karyawan berbentuk gaji, insentif dan
tunjangan. Ketiga hal tersebut memang merupakan alasan untuk bertahan atau
keluar
dari
organisasi,
namun
bukan
merupakan
satu-satunya
alasan.
pertimbangan lain juga cenderung melibatkan keputusan untuk bertahan atau
keluar, antara lain:
•
Tunjangan Kompetitif
Persoalan kompensasi lain yang memengaruhi retensi karyawan adalah
program tunjangan kompetitif. Para pemberi kerja juga mempelajari
bahwa memiliki sedikit fleksibilitas tunjangan membantu retensi
karyawan.
•
Tunjangan dan Bonus Spesial
Beberapa pemberi kerja menggunakan banyak tunjangan dan bonus
spesial untuk menarik dan memelihara karyawan. Dengan memberikan
tunjangan dan bonus spesial ini, para pemberi kerja berharap dapat
mengurangi waktu yang dihabiskan oleh para karyawan seusai jam
kerja untuk menyelesaikan pekerjaan pribadi. Mereka juga berharap untuk
dianggap sebagai pemberi kerja yang lebih diinginkan di mana karyawankaryawannya akan bekerja lebih lama.
26
•
Kinerja dan Kompensasi
Banyak
individu
mengharapkan
penghargaannya
berbeda
dengan
penghargaan orang lain berdasarkan pada kinerja. Untuk mencapai
hubungan kinerja yang lebih baik dengan kinerja organisasional dan
individual, sejumlah perusahaan sektor swasta menggunakan program
penggajian variabel dan insentif. Program ini dalam bentuk bonus uang
atau
pembayaran
tunai
sekaligus
merupakan
mekanisme
yang
digunakan untuk menghargai kinerja ekstra. Pertumbuhan perusahaan
teknologi telah menyoroti segi perbedaan kinerja yang lain-memberi
karyawan
insentif
dalam
bentuk
opsi
saham,
kepemilikan
organisasional, dan penghargaan jangka panjang yang lain.
•
Pengakuan
Pengakuan juga dapat bersifat nyata maupun tidak nyata. Umpan balik
dari para manajer dan supervisor yang mengakui usaha dan kinerja
ekstra dari individu adalah dengan memberikan pengakuan, walaupun
penghargaan moneter tidak diberikan.
4. Rancangan tugas dan pekerjaan
Faktor mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan adalah sifat dari tugas dan
pekerjaan yang dilakukan. Beberapa faktor rancangan tugas / pekerjaan yang
memengaruhi retensi karyawan, antara lain:
•
Fleksibilitas Kerja
Fleksibilitas
dalam
jadwal
kerja
dan
bagaimana
pekerjaan
dilaksanakan menjadi lebih penting. Kebijakan SDM yang fleksibel
seperti pakaian kasual juga mendukung retensi karyawan. Studi
menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja membantu retensi karyawan.
Sebagai gambaran, studi terhadap fleksibilitas tempat kerja yang
berlangsung selama dua tahun melaporkan bahwa hubungan kerja yang
fleksibel memberikan pengaruh yang positif pada retensi karyawan.
Studi tersebut juga menemukan bahwa fleksibilitas kerja menghasilkan
kualitas dan produktivitas kerja yang lebih tinggi.
27
•
Keseimbangan Kerja atau Kehidupan
Program kerja/kehidupan yang diberikan oleh para pemberi kerja dapat
mencakup banyak hal. Beberapa di antaranya meliputi opsi pekerjaan atau
tugas, seperti penjadwalan kerja yang fleksibel, pembagian kerja, atau
telecommuting. Komponen lain meliputi tunjangan yang fleksibel,
pusat kebugaran di tempat, pertolongan pengasuhan anak dan orang tua,
serta kebijakan cuti sakit. Tujuan dari semua penawaran ini adalah untuk
menyampaikan bahwa para pemberi kerja mengakui tantangan yang
dihadapi para karyawan ketika menyeimbangkan tuntutan kerja atau
kehidupan.
5. Hubungan Karyawan
Faktor terakhir yang diketahui mempengaruhi retensi karyawan didasarkan pada
hubungan yang dimiliki para karyawan dalam organisasi. Hubungan karyawan
termasuk perlakuan adil atau tidak diskriminatif bagi setiap karyawan, dukungan
yang berasal dari supervisor atau manajemen, serta hubungan karyawan dengan
sesama rekan kerja.
2.1.4.3 Proses Manajemen Retensi Karyawan
Menurut Mathis & Jackson (2006: 136-143), selain daripada faktor penentu
retensi karyawan, penting bagi para professional SDM dan organisasi untuk memiliki
proses yang digunakan dalam mengatur retensi para karyawannya. Apabila dibiarkan
begitu saja, retensi karyawan kemungkinan besar tidak berhasil. Berikut ini adalah
proses manajemen retensi karyawan:
•
Pengukuran dan penilaian retensi karyawan
Guna memastikan bahwa tindakan yang tepat diambil untuk meningkatkan
retensi karyawan dan mengurangi perputaran, keputusan manajemen harus
membutuhkan data dan analisis daripada kesan subjektif, anekdot dari situasi
individual yang dipilih atau reaksi terhadap hilangnya beberapa orang penting.
Oleh karena itu, penting untuk memiliki beberapa jenis ukuran dan analisis
yang berbeda, seperti:
28
a. Mengukur perputaran
b. Biaya perputaran
c. Survey karyawan
d. Wawancara keluar kerja
•
Intervensi retensi karyawan
Berbagai intervensi SDM dapat dilakukan untuk memperbaiki retensi
karyawa. Perputaran dapat dikendalikan dan dikurangi dengan beberapa cara,
yaitu:
a. Proses perekrutan dan seleksi
b. Orientasi dan pelatihan
c. Kompensasi dan tunjangan
d. Perencanaan dan pengembangan karir
e. Hubungan karyawan
•
Evaluasi dan tindak lanjut
Setelah usaha intervensi retensi karyawan diimplementasikan, penting untuk
melakukan evaluasi atas usaha tersebut, serta tindak lanjut dan penyesuaian
yang tepat. Evaluasi dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan cara:
a. Tinjauan data perputaran
b. Menelurusi hasil intervensi
2.2 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah hasil dari penelitian-penelitian terdahulu yang dianggap relevan
dengan penelitian ini:
No.
Nama Peneliti: A. Khatibi, H. Asadi, dan M. Hamidi (2009)
Judul Jurnal: The Relationship Between Job Stress and Organizational
1.
Commitment in National Olympic and Paralympic Academy
Hasil:
Terdapat indikasi yang signifikan dan hubungan negatif antara stres
kerja dan komitmen organisasi. Apabila stres kerja pada karyawan
meningkat, maka komitmen pada dirinyapun akan menurun, begitu
pula sebaliknya.
29
Nama Peneliti: Asim Masood (2013)
2.
Judul Jurnal: Effects of Job Stress on Employee Retention: A Study On
Banking Sector of Pakistan
Hasil:
Mereka lebih terfokus untuk menghindari stres dan di tempat kerja ,
stres secara langsung mempengaruhi kinerja mereka. Jika dihindari
maka turnover biasanya tidak terlalu tinggi. Jika rasio turnover
karyawan tinggi, maka organisasi bisa runtuh. Hal ini akhirnya
membuat perusahaan untuk meningkatkan kondisi kerja dan hubungan
kerja antara karyawan di dalam organisasi. Jika karyawan menjadi
terlalu stres selama pekerjaan, mereka lebih memilih untuk berhenti
selama beberapa hari dan mengambil istirahat di rumah.
Nama Peneliti: Atif Anis, Kashif-ur-Rehman, Muhammad Asif Khan,
3.
dan Asad Afzal Humayoun (2011)
Judul Jurnal: Impact of organizational commitment on job satisfaction
and employee retention in pharmaceutical industry
Hasil:
Studi ini menjelaskan bahwa retensi karyawan dapat ditingkatkan jika
karyawan memiliki komitmen organisasi. Jika karyawan berkomitmen
dengan organisasi mereka mereka enggan untuk keluar dari pekerjaan
mereka saat ini. Peningkatan komitmen juga akan meningkatkan
efisiensi mereka, tapi untuk meningkatkan komitmen organisasi,
kompensasi dan dukungan pengawasan menjadi peranan penting,
seperti yang ditunjukkan hasil yang kedua adalah variabel inti dalam
meningkatkan komitmen.
30
2.3 Kerangka Pemikiran
ε2
ε1
Tingkat Stres
Kerja
(X)
ρyx
Komitmen
Organisasi
(Y)
ρzy
Retensi
Karyawan
(Z)
ρzx
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber: Penulis, 2014
2.4 Hipotesis
Berikut ini adalah hipotesis penelitian berdasarkan tujuan-tujuan dari penelitian:
•
Hipotesis untuk T-1.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat stres kerja terhadap komitmen
organisasi.
Ho : Tidak ada pengaruh antara tingkat stres kerja terhadap komitmen
organisasi.
Ha : Ada pengaruh antara tingkat stres kerja terhadap komitmen organisasi.
•
Hipotesis untuk T-2.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat stres kerja terhadap retensi
karyawan.
Ho : Tidak ada pengaruh antara tingkat stres kerja terhadap retensi karyawan.
Ha : Ada pengaruh antara tingkat stres kerja terhadap retensi karyawan.
•
Hipotesis untuk T-3.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh komitmen organisasi terhadap retensi
karyawan.
Ho : Tidak pengaruh antara komitmen organisasi terhadap retensi karyawan.
Ha : Ada pengaruh antara komitmen organisasi terhadap retensi karyawan.
31
•
Hipotesis untuk T-4.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tingkat stres kerja terhadap komitmen
organisasi dan dampaknya pada retensi karyawan.
Ho : Tidak ada pengaruh antara tingkat stres kerja terhadap komitmen
organisasi yang berdampak pada retensi karyawan.
Ha : Ada pengaruh antara tingkat stres kerja terhadap komitmen organisasi
yang berdampak pada retensi karyawan.
32
Download