BAB I - UMN Library

advertisement
STUDI KORELASIONAL BUDAYA PERUSAHAAN DENGAN SIKAP
KEWIRAUSAHAAN KARYAWAN (INTRAPRENEURSHIP)
DI PENERBIT GRAMEDIA GROUP
Oleh: Winarno
Universitas Multimedia Nusantara
ABSTRACT
The objectives of this study is to find out the relationship between the corporate
culture and the Intrapreneurial attitude of the employees.
The study was conducted at Gramedia Group publishing houses with 60
respondents selected randomly from editorial departments of the companies within the
corporate. The data was analyzed using simple regression analysis, Pearson ProductMoment correlation.
The research concluded that there are positive correlations between: corporate
culture with intrapreneurial attitude of the employees. Therefore the corporate culture is
very important factor in increasing the intrapreneurial attitude of the employees.
PENDAHULUAN
Tugas utama manajemen suatu perusahaan adalah menjaga kelangsungan hidup
perusahaan, dengan mencapai tujuan perusahaan dan mengatasi segala perubahan yang
dihadapi perusahaan. Namun hal itu bukan tugas yang mudah, karena manajemen
menghadapi berbagai masalah, mulai dari masalah internal maupun eksternal. Masalah
internal sudah semestinya lebih mudah dikendalikan. Berbeda dengan masalah eksternal
yang kadang-kadang tidak dapat diantisipasi. Salah satu masalah internal yang dihadapi
perusahaan adalah masalah kemampuan sumber daya manusia, khususnya sikap
intrapreneurship (kewirausahaan) karyawan, yang merupakan unsur yang sangat vital
bagi kelangsungan usaha. Karyawan yang memiliki sikap kewira-usahaan tinggi, akan
selalu mengantisipasi situasi dan peluang yang ada, dan mencari pemecahan atas masalah
yang dihadapi perusahaan. Dengan demikian maka perusahaan dapat melewati masamasa sulit dan terus berkembang.
Dalam kaitan itu, teridentifikasi salah satu masalah yang dihadapi manajemen
untuk meningkatkan sikap kewirausahaan karyawan, yaitu: apakah budaya perusahaan
memiliki korelasi dengan sikap kewirausahaan karyawan? Seberapa besarkah pengaruh
budaya perusahaan terhadap tumbuhnya sikap kewirausahaan karyawan. Penelitian ini
akan diarahkan pada pengukuran sikap kewirausahaan karyawan, dan budaya perusahaan
berdasarkan indikator-indikatornya masing-masing.
Dari pembatasan masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara budaya perusahaan dengan sikap
kewirausahaan karyawan?
1
TINJAUAN LITERATUR DAN HIPOTESIS
Budaya Perusahaan
Budaya perusahaan merupakan aplikasi budaya organisasi (organizational
culture) terhadap badan usaha (Ndraha, 1997: 4). Budaya Perusahaan mencakup nilainilai yang dipegang bersama, keyakinan dan sikap sikap bersama. Budaya perusahaan
merumuskan “cara kita mengerjakan segala sesuatu di sini” (Pheysey, 1993: xiii).
Menurut Schein (1992: 15-18), penggunaan kata budaya antara lain dalam: (1)
Keteraturan sikap ketika orang berinteraksi: seperti bahasa yang digunakan, kebiasaan
dan tradisi yang berkembang, dan ritual yang mereka lakukan dalam berbagai situasi,(2)
Norma-norma kelompok: Standar-standar dan nilai-nilai implisit yang berkembang dalam
kelompok kerja, misalnya norma tentang jam kerja per hari kerja untuk upah kerja yang
pantas, (3) Nilai-nilai yang menyertai: prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipublikasikan
yang ingin dicapai kelompok, misalnya kualitas produk, keunggulan harga, (4) Filosofi
formal: kebijakan umum dan prinsip-prinsip ideologi yang memandu tindakan kelompok
terhadap stakeholder, tenaga kerja, pelanggan dan stakeholder lain, seperti filosofi “HP
Way” yang luas dipublikasikan, (5) Aturan main: Aturan-aturan implisit agar bisa
bersama-sama di dalam organisasi, benang merah yang harus dipelajari pendatang baru
agar bisa menjadi anggota yang diterima, “cara kita melakukan sesuatu di sini”, (6) Iklim:
perasaan yang terbawa di dalam kelompok oleh tataletak fisik dan cara ang-gota-anggota
organisasi saling berinteraksi, dengan pelanggan atau dengan pihak luar lainnya,(7)
Ketrampilan yang dimiliki: kompetensi anggota-anggota kelompok yang ditampilkan
dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, kemampuan membuat sesuatu yang
diturunkan dari generasi ke generasi tanpa harus ditulis,(8) Kebiasaan berpikir, model
mental dan atau paradigma bahasa: kerangka kognitif bersama yang memandu persepsi,
pemikiran dan bahasa yang digunakan oleh anggota-anggota kelompok dan diajarkan ke
anggota baru dalam proses sosialisasi awal,(9) Makna bersama: pengertian bersama yang
diciptakan oleh anggota-anggota kelompok ketika mereka saling berinteraksi,(10)
Simbol-simbol (root metaphors and integrating symbols): ide, perasaan dan citra yang
dikembangkan kelompok untuk mengkarakterisasikan diri mereka sendiri, yang dihargai
maupun tidak dihargai secara sadar, namun terkandung dalam bangunan, tataletak kantor,
atau benda-benda artifak kelompok. Budaya tingkat ini mencerminkan respon emosional
dan kein-dahan anggota kelompok sebagai kontras dari respon kognitif dan evaluatif
(Schein, 1992: 8-10).
Schein mendefinisikan budaya organisasi sebagai: “a pattern of basic assumtions
-invented, discovered, or developed - by a given group as it learns to cope with a
problems of external adaptaion and internal intregration that has worked well enough to
be considered perceive, think, and feel in relation to those problems” (1992: 12).
Menurut Hickok (2002), budaya bagi sebuah perusahaan sama seperti kepribadian
bagi seseorang. Sebagaimana sulit mengubah kepribadian, demikian pula sulit mengubah
budaya perusahaan, khususnya bagi para karyawan yang bekerja di dalamnya (Hickok,
2002, http://www. pamij.com/ hickok.html).
2
Sedangkan Greenberg dan Baron (1995:539) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai kerangka kognitif yang terdiri dari sikap-sikap, nilai-nilai, norma-norma sikap
dan harapan yang menjadi milik bersama anggota organisasi.
Budaya dapat dianalisis berdasarkan level yang berbeda-beda. Level adalah istilah
yang menunjukkan derajat dimana fenomena budaya terlihat oleh pengamat. Adanya
kebingungan mengenai definisi budaya karena kita tidak membedakan level-level
manisfestasi budaya. Level-level ini merentang dari wujud yang dapat disentuh, dilihat
dan diraba hingga ke asumsi dasar yang melekat, yang di bawah sadar yang disebut
hakikat budaya. Di antara itu semua, terdapat berbagai nilai-nilai, norma-norma, dan
aturan sikap yang digunakan anggota budaya sebagai cara menggambarkan budaya bagi
diri mereka sendiri dan orang lain (Schein, 1992:16).
Setiap budaya kelompok dapat dipelajari dari ketiga level ini, yaitu level artifakartifak, level nilai-nilai dan level asumsi-asumsi dasar. Bila kita tidak memahami pola
asumsi-asumsi dasar yang berlaku, maka kita tidak tahu bagaimana menafsirkan artifakartifak dengan benar, atau seberapa besar keyakinan yang diberikan terhadap nilai-nilai
yang dicanangkan. Dengan kata lain, hakikat budaya terletak pada pola asumsi-asumsi
dasar, dan sekali kita memahaminya, maka kita dapat dengan mudah memahami levellevel yang lebih permukaan dan menghadapi-nya dengan pantas (Schein, 1992: 26).
Robbins (1994:480) mengungkapkan adanya karakteristik utama yang menjadi
pembeda budaya organisasi, yaitu: (1) Inisiatif individual. Tingkat tanggungjawab,
kebebasan dan independensi yang dimiliki individu; (2) Toleransi terhadap tindakan
beresiko. Sejauh mana para karyawan dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan
mengambil resiko; (3) Arah. Sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas
sasaran dan harapan mengenai prestasi; (4) Integrasi. Tingkat sejauh mana unit-unit di
dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi; (5) Dukungan
dari manajemen. Tingkat sejauh mana para manajer memberi komunikasi yang jelas,
bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka; (6) Peraturan dan pengawasan
langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan sikap karyawan; (7)
Identitas. Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan
dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang
keahlian profesional; (8) Adanya imbalan. Tingkat sejauh mana alokasi imbalan
(misalnya kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi karyawan sebagai
kebalikan dari senioritas, apakah terdapat sikap pilih kasih dan sebagainya; (9) Toleransi
terhadap konflik. Tingkat sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan
konflik dan kritik secara terbuka; dan (10) Pola-pola komunikasi. Tingkat sejauh mana
komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarkhi kewenangan yang formal.
Menurut Hofstede dalam Pheysey (1993:15-18), ada empat tipe budaya
organisasi, yaitu: Budaya Peran, Budaya Pencapaian, Budaya Kekuasaan dan Budaya
Dukungan. Umumnya budaya peran berlaku dalam perusahaan besar. Perusahaan ini
memiliki akte perusahaan yang menetapkan visi dan misi bisnisnya, serta kewenangan
rapat pemegang saham yang telah diserahkan kepada para direksi. Di bawah direksi ada
beberapa tingkat jabatan manager, dan di bawah para manager ada staf serta pegawai
yang menangani kegiatan operasional. Struktur organisasi tersebut membentuk sebuah
piramid. Semakin tinggi tingkatannya, semakin sedikit jumlah orangnya. Selain terdapat
3
divisi-divisi hierarkis, juga terdapat pembedaan departemen. Pekerjaan membuat produk
dilakukan oleh departemen manufaktur; pekerjaan menjual produk dilakukan oleh
departemen penjualan; pekerjaan pengadaan bahan baku oleh departemen pembelian;
pekerjaan pemantauan pendapatan dan pengeluaran oleh departemen akunting; dan
seterusnya.
Contoh dari budaya pencapaian adalah toko tradisional setempat yang tampaknya
lebih terfokus pada pekerjaan yang harus dilakukan daripada menyesuaikan dengan
aturan-aturan. Pemilik toko dan keluarganya sendiri akan melayani pembeli. Bila
dipekerjakan pembantu, maka pembantu itu juga akan tahu keadaan persediaan barang
sama seperti si pemilik. Dalam budaya pencapaian, orang tertarik pada pekerjaannya, dan
memiliki sumbangan perorangan terhadap selesainya pekerjaan. Perusahaan konsultan
kecil dan lembaga riset biasanya termasuk organisasi yang memiliki budaya pencapaian.
Organisasi ini oleh Harrison disebut “hasil interaksi orang-orang yang termotivasi untuk
menyelesaikan masalah mereka sendiri”.
Dalam budaya kekuasaan, orang-orang tertentu dominan, dan yang lainnya
melayani. Terdapat kecenderungan tatanan masyarakat yang berbasis kebiasaan
menghormati kekuasaan. Menurut Harrison dalam Pheysey (1993:15-18), dalam
organisasi kekuasaan, keadaan yang terbaik adalah apabila kepemimpinannya berbasis
kekuatan, keadilan dan kebijaksanaan paternalistik. Pemimpin diharapkan serba tahu, dan
serba bisa. Bawahan diharapkan patuh dan taat. Sebaliknya, keadaan yang terburuk
adalah bahwa organisasi kekuasaan ini cenderung menjurus ke penguasaan dengan
ketakutan.
Organisasi yang berorientasi dukungan menawarkan kepada para anggotanya
kepuasan yang berasal dari hubungan, mutualitas, milik dan koneksi. Dasarnya adalah
bahwa orang akan memberikan sumbangan atas dasar komitmen kepada kelompok atau
organisasi dimana mereka merasa benar-benar menjadi anggotanya, dan mereka yakini
mereka memiliki sumbangan pribadi. Menurut Handy dalam Pheysey (1993:15-18),
koperasi termasuk organisasi yang memiliki budaya dukungan.
Robbins menyatakan bahwa budaya disampaikan kepada karyawan/pegawai
dalam beberapa bentuk, misalnya: (1) Cerita, yakni cerita turun temurun sejak penemu
organisasi; (2) Ritual, keyakinan dan kebiasaan yang dilakukan dalam perusahaan; (3)
Simbol Material, barang-barang atau alat yang digunakan dalam kegiatan perusahaan
yang menunjukkan kepentingan seseorang; (4) Bahasa, setiap kelompok biasanya
mempunyai bahasa khusus yang hanya dimengerti oleh kelompok itu sebagai bukti
penerimaannya atas budaya yang ada (Robbins, 1994: 491).
Schein (1999:29-57) mengungkapkan cara untuk menganalisis budaya perusahaan
adalah dengan mengamati Culture Content-nya, yang meliputi tiga aspek: (1)Bagaimana
bertahan (survival) dalam lingkungan eksternal; (2) bagaimana mengintegrasikan
organisasi manusianya; dan (3) bagaimana asumsi-asumsi dasarnya mengenai realitas,
waktu, ruang, kebenaran, sifat alamiah manusia, dan hubungan manusia.
Aspek survival atau adaptasi eksternal meliputi rumusan misi, strategi dan
sasaran; dengan sarana berupa struktur (organisasi), sistem-sistem dan proses-proses;
disertai alat pengukur keberhasilan pencapaian target berupa deteksi kesalahan dan sistem
koreksi.
4
Aspek integrasi internal meliputi bahasa yang dipakai bersama dan konsepkonsep yang digunakan; batas-batas perusahaan dan identitas perusahaan; pengaturan
kewenangan dan hubungan-hubungan antar karyawan; serta alokasi penghargaan dan
status.
Aspek asumsi-asumsi dasar meliputi konsep hubungan manusia dengan alam;
sifat dari realitas dan kebenaran; sifat alamiah manusia; sifat hubungan manusia (internal
dan eksternal); serta pandangan tentang waktu dan ruang.
Pernyataan misi perusahaan - kadang-kadang disebut pernyataan nilai, kredo atau
prinsip perusahaan - adalah lampu pembimbing keuangan perusahaan yang operasional
dan etis. Ini bukan hanya motto atau slogan; melainkan mengutarakan tujuan, impian,
sikap, budaya dan strategi perusahaan melebihi dokumen apapun juga (Jones, 1999: 5).
Moeljono menyatakan bahwa budaya perusahaan asli diturunkan dari filsafat
pendirinya. Selanjutnya budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam
mempekerjakan karyawan. Menurut Yong dalam Moeljono (2003: 24-25), proses
perkembangan budaya korporat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebijaksanaan perusahaan
(corporate wisdom), gaya perusahaan (corporate style) dan jati diri perusahaan
(corporate identity).
Budaya perusahaan pada gilirannya melahirkan budaya kerja. Menurut Triguno
(1997:3), budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai
nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam
kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap
menjadi sikap, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja
atau bekerja.
Menurut Smither (1996:15), budaya perusahaan berdasarkan asumsi-asumsi
mengenai pelanggan, pesaing dan masyarakat. Ketika asumsi-asumsi itu dihayati secara
luas oleh seluruh karyawan, maka dikatakan budaya itu sangat kuat. Para ahli organisasi
memandang bahwa budaya kuat sangat dibutuhkan karena adanya karyawan yang
memiliki pandangan yang sama mengenai perusahaan dan lingkungannya dapat membuat
organisasi lebih efektif. Namun apabila budaya perusahaan terlalu kuat, maka dapat
mematikan kreativitas karyawan.
Budaya perusahaan pada dasarnya merupakan sistem cybernetic. Kata cybernetic
berasal dari bahasa Yunani kybernetes yang berarti jurumudi. Dengan mengatakan
budaya sebagai cybernetic berarti bahwa budaya mampu mengemudikan dirinya sendiri
dan akan mempertahankan arah yang telah ditentukan tidak peduli ada hambatan atau
gangguan. Sebagai contoh, jarum kompas otomatis akan memberitahu kita ke arah mana
harus mengemudikan kapal agar tidak salah arah atau hanya berputar-putar di sekitar
hambatan. Semua sistem cybernetic mengolah umpan-balik mengenai perubahan di
dalam lingkungan dan membuat koreksi semestinya mengenai arah yang benar (Turner,
1990:7).
Menurut Kotter dalam Gibson (1997:167), sangatlah mungkin untuk menciptakan
budaya perusahaan yang akan memfasilitasi perubahan daripada budaya yang menjadi
jangkar. Dengan demikian perusahaan akan mudah beradaptasi dengan perubahan
lingkungan, bukannya mengikat kita ke belakang. Di abad ke-21 ini akan banyak upaya
dilakukan untuk mencoba menciptakan budaya perusahaan seperti itu. Dua unsur
5
terpenting bagi budaya perusahaan yang memfasilitasi perubahan adalah: Pertama,
manajemen menghargai para pemain penting perusahaan secara mendalam, adil dan
tulus. Kedua, inisiatif dan kepemimpinan benar-benar dihargai dan didorong pada setiap
level organisasi.
Di masa depan, terdapat kecenderungan bahwa masyarakat menuntut
diciptakannya budaya yang tidak hanya mampu memiliki proses produksi tanpa cacat,
pemasaran efisien dan pelayanan lengkap, tetapi juga melibatkan komitmen penuh
tanggung jawab kepada semua orang dengan siapa perusahaan melakukan bisnis. Pemilik
modal dituntut tanggungjawab sosial dan konservasi lingkungan hidup (Laszlo, 1999:59).
Budaya perusahaan harus dipahami oleh seluruh sumberdaya manusia yang ada di
dalam perusahaan. Ada dua jenis budaya perusahaan, yaitu budaya entrepreneur dan
budaya administratif (Susanto, 1997: 15-16).
Perusahaan yang memiliki jenis budaya entrepreneur dalam setiap aktivitasnya
selalu memfokuskan pada peluang-peluang baru. Hal ini tercermin dalam jiwa
kewiraswastaan yang selalu menganggap bahwa dengan menemukan dan memanfaatkan
peluang-peluang baru tersebut perusahaan akan selalu survive dan terdorong untuk selalu
berusaha mencapai sasaran yang berbeda-beda dari satu periode ke periode berikutnya.
Oleh karena itu kegiatan operasional yang terjadi di dalam perusahaan ini cukup dinamis
dan membutuhkan sumberdaya manusia yang cukup cepat dalam mengantisipasi
perubahan yang terjadi, baik dari sisi internal maupun eksternal. Perusahaan yang
memiliki jenis budaya administratif cenderung memfokuskan diri pada peluang-peluang
yang sudah ada.
Bertolak dari beberapa pengertian dan teori-teori di atas, maka
budaya
perusahaan didefinisikan sebagai aturan perilaku, interaksi, peraturan perusahaan dan
identitas yang berlaku dalam suatu perusahaan. Untuk dimensi aturan perilaku, indikatorindikatornya adalah kebebasan karyawan berinisiatif, toleransi terhadap risiko, dan
toleransi terhadap konflik. Untuk dimensi interaksi, indikator-indikatornya adalah
integrasi perusahaan dan komunikasi. Untuk dimensi peraturan perusahaan, indikatorindikatornya adalah dukungan manajemen, peraturan yang jelas dan tegas, dan adanya
penghargaan dan sanksi. Sedangkan untuk dimensi identitas, indikator-indikatornya
adalah identifikasi diri dan kejelasan arah pekerjaan.
Sikap Kewirausahaan Karyawan (Intrapreneurship)
Menurut Kerlinger, sikap (attitude) adalah ancang-ancang atau kecenderungan
yang tertata untuk berpikir, merasa, mencerap dan berperilaku terhadap suatu referen atau
objek kognitif. Sikap merupakan struktur yang awet (tahan waktu) yang terdiri atas
pandangan dan keyakinan, yang menyebabkan individu cenderung untuk berperilaku
selektif terhadap referen-referen sikap. Sedangkan referen (referent) adalah suatu
kategori, kelompok, atau himpunan fenomen seperti objek-objek fisik, kejadian, perilaku,
bahkan konstruk (Kerlinger, 1998: 794).
Entrepreneur akan memperlihatkan semangat inovatif (memiliki innovation
quotient tinggi), keseimbangan antara intuisi dan rasional, visioner, pemimpi, inovator
6
dan pencipta dan pemimpin karismatik. Juga menurut Riyanti (2003:101), sikap inovatif
wirausaha adalah kecenderungan bertindak inovatif atau adaptif dari wirausaha.
Menurut Drucker (1993:26), kita sebaiknya berbicara tentang apa tindakan dan
sikap entrepreneur daripada psikologi entrepreneur. Kita tidak boleh memandang
entrepreneur sebagai privilege atau segelintir orang berbakat yang memiliki sifat-sifat
pribadi yang khusus (entrepreneur yang dilahirkan). Entrepreneur adalah masalah
melakukan dan melaksanakan. Entrepreneur terdiri dari sekumpulan tindakan atau
keahlian tertentu yang dapat diamati, dipelajari dan dinilai. Drucker mengungkapkan
bahwa sebuah perusahaan akan segera mengalihkan perhatiannya dari entrepreneurship
murni ke kegiatan manajemen, seperti pemasaran, perencanaan dan pengembangan tim.
Wirausaha adalah seseorang yang mampu menghasilkan atau menciptakan nilai
tambah melalui pematangan ide-idenya dan menyatukan sumber daya yang dimilikinya
serta mewujudkannya. Definisi tersebut mencerminkan bahwa seorang wirausaha adalah
orang yang kreatif, berani mengambil resiko, inovatif dalam menggunakan sumber daya.
Seorang wirausaha adalah orang yang selalu aktif dalam mengambil peran. Mereka selalu
berkreasi untuk mendapatkan yang diimpikannya (Kao, 1989: 89).
Iwantono juga menekankan bahwa entrepreneur memiliki kemauan dan
keberanian mengambil resiko, baik dalam finansial, karier ataupun reputasi. Tujuannya
adalah ide-ide bisnisnya dapat dijalankan (Iwantono, 2002: 111).
Mutis (1995:18-20) mengatakan kewirausahaan adalah sikap untuk melakukan
suatu usaha karena ada suasana yang mendukung untuk merealisasikannya. Jarillo-Mossi
dalam Mutis memberikan definisi sebagai: “seseorang yang merasakan adanya peluang,
mengejar peluang-peluang yang sesuai dengan situasi dirinya dan percaya bahwa
kesuksesan merupakan suatu hal yang bisa dicapai”. Higgins dalam Mutis
mengemukakan bahwa pembeda utama antara wirausaha dengan manajer terletak pada
pendekatannya terhadap pemecahan masalah. Para wirausahawan tidak hanya
memecahkan masalah atau bereaksi terhadap masalah, melainkan juga mencari peluang
dan mengambil resiko.
Husada mengelompokkan para wirausaha sukses itu dalam tiga kategori. Kategori
pertama adalah kategori kreatif, yakni para pengusaha sukses yang dengan daya
kreatifnya dapat menemukan, menyusun rencana, menjalankan, dan memasarkan produk
atau jasa yang baru. Selain itu, mereka juga dapat memelihara kelangsungan usahanya
dalam jangka waktu relatif lama. Kategori kedua adalah wirausaha inovatif, yakni mereka
yang dapat menemukan peluang usaha dan inovatif dalam pengelolaan usahanya, dan
melibatkan unsur teknologi dalam pengembangan usahanya. Sedangkan kategori ketiga
adalah mereka yang meneruskan tongkat estafet perusahaan (Husada, 1996: xxiii).
Menurut Suryana, kewirausahaan adalah kemampuan dalam berpikir kreatif dan
bersikap inovatif yang dijadikan dasar, sumberdaya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat
dan proses dalam menghadapi tantangan hidup (Suryana, 2001: 4)
Kemudian dalam lampiran Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni
1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan,
disebutkan bahwa: Kewirausahaan adalah semangat, sikap, dan kemampuan seseorang
dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari,
menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan
7
efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
Dari pemaparan di atas, maka Sikap Kewirausahaan karyawan dapat didefinisikan
sebagai kecenderungan berpikir (kognitif), merasa (afektif) dan berperilaku (konatif) dari
karyawan dalam bekerja yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan
cara kerja, teknologi dan produk baru, meningkatkan efisiensi, memberikan pelayanan
yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Untuk dimensi kognitif, indikatornya adalah optimistik dan objektif dalam
mengamati situasi. Untuk dimensi afektif, indikator-indikatornya adalah berani
mengambil resiko yang diperhitungkan, suka mencari peluang baru, dan menghargai
umpan balik. Sedangkan untuk dimensi konatif, indikator-indikatornya adalah
bertanggungjawab terhadap tugas dan proaktif dalam manajemen.
Hipotesis yang akan diuji berbunyi: “Terdapat hubungan positif antara budaya
perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y)”.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Gramedia Group Jakarta dan berlangsung selama
tiga bulan. Sasaran penelitian adalah karyawan di Bagian Editorial. Penelitian dimulai
sejak Januari 2004 hingga Juli 2004. Proses pengumpulan data di lapangan dilaksanakan
pada bulan Februari 2004 dan Juli 2004. Sumber data penelitian adalah para editor yang
ada di Penerbit Gramedia Group.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survai, dengan
konstelasi pemasalahan sebagai berikut:
X
Y
Gambar 1. Hubungan antara variabel penelitian.
X = Budaya Perusahaan
Y = Sikap Kewirausahaan
Karyawan.
Populasi dan Sample
Populasi penelitian ini adalah semua karyawan Bagian Editorial di Penerbit
Gramedia Group sebanyak 84 orang. Seluruh angggota populasi tersebut dapat dijangkau
karena berada di Jakarta. Dari populasi tersebut sebanyak 21 orang diambil untuk sampel
uji coba instrumen dan sebanyak 60 orang untuk sample penelitian.
Penelitian menggunakan sampel karyawan Bagian Editor karena para editor
merupakan ujung tombak bagi sebuah penerbitan, yang menentukan kemajuan
8
perusahaan. Para editor tersebut memiliki tugas dan tanggungjawab yang variatif,
menangani berbagai jenis produk buku yang diterbitkan, mulai dari buku anak-anak,
komik, buku umum, kamus dan buku pelajaran; dengan sumber naskah dari dalam negeri
maupun luar negeri.
Instrumen Penelitian
a. Definisi Konseptual dan Operasional Budaya Perusahaan
Definisi Konseptual: Budaya Perusahaan adalah aturan perilaku, interaksi,
peraturan perusahaan dan identitas yang berlaku dalam suatu perusahaan. Untuk dimensi
aturan perilaku, indikator-indikatornya adalah kebebasan karyawan berinisiatif, toleransi
terhadap risiko, dan toleransi terhadap konflik. Untuk dimensi interaksi, indikatorindikatornya adalah integrasi perusahaan dan komunikasi. Untuk dimensi peraturan
perusahaan, indikator-indikatornya adalah dukungan manajemen, peraturan yang jelas
dan tegas, dan adanya penghargaan dan sanksi. Sedangkan untuk dimensi identitas,
indikator-indikatornya adalah identifikasi diri dan kejelasan arah pekerjaan.
Definisi Operasional: Budaya Perusahaaan adalah total skor yang diperoleh
seseorang setelah menjawab 39 butir instrumen budaya perusahaan yang disusun untuk
mengukur indikator-indikatornya yang terdiri dari: kebebasan karyawan berinisiatif,
toleransi terhadap risiko, toleransi terhadap konflik, integrasi perusahaan, komunikasi,
dukungan manajemen, peraturan yang jelas dan tegas, adanya penghargaan dan sanksi,
identifikasi diri dan kejelasan arah pekerjaan.
Instrumen Budaya Perusahaan mempunyai lima alternatif jawaban, yaitu A
(Selalu), B (Sering), C (Kadang-kadang), D (Pernah) dan E (Tidak Pernah). Responden
yang menjawab A untuk suatu butir pernyataan positif diberi skor 5, B diberi skor 4, C
diberi skor 3, D diberi skor 2 dan E diberi skor 1. Sedangkan untuk butir pernyataan
negatif diberi skor bertur-turut: A = 1, B = 2, C = 3, D = 4, dan E = 5. Dengan demikian
rentang skor teoritik instrumen Budaya Perusahaan adalah antara 39 sampai dengan 195.
Tabel 1. Kisi-kisi Final Instrumen Budaya Perusahaan
No.
Indikator
Nomor Item
Jumlah
1
Kebebasan karyawan berinisiatif
1,2,3
3
2
Toleransi terhadap risiko
4,5,6,7
4
3
Toleransi terhadap konflik
8,9,10,11
4
4
Integrasi perusahaan
12,13,14,15,16
5
5
Komunikasi
17,18,19,20
4
6
Dukungan manajemen
21,22,23,24,25
5
9
7
Peraturan yang jelas dan tegas
26,27,28,29
4
8
Adanya penghargaan dan sanksi
30,31,32,33
4
9
Identifikasi diri
34,35,36
3
10
Kejelasan arah pekerjaan
37,38,39
3
Jumlah
39
Kalibrasi
Proses pengembangan instrumen dimulai dengan penyusunan instrumen
berbentuk skala lima (Likert) sebanyak 40 butir yang mengacu pada indikator-indikator
variabel Budaya Perusahaan. Selanjutnya instrumen tersebut diujicobakan, yaitu
diberikan kepada 21 orang responden.
Proses kalibrasi dilakukan dengan menganalisis data hasil ujicoba instrumen
untuk menguji kesahihan (validitas) instrumen, yakni validitas butir atau validitas
internal. Disini digunakan koefisien korelasi skor butir dengan skor total instrumen.
Metode statistika yang digunakan adalah koefisien korelasi product moment (rit).
Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas butir adalah r tabel dengan  =
0.05. Artinya, jika rit lebih besar dari rtabel maka butir tersebut dianggap valid. Sedangkan
jika rit lebih kecil dari rtabel maka butir tersebut dianggap tidak valid, dan selanjutnya didrop atau tidak digunakan dalam penelitian. Dari hasil analisis validitas terhadap 40 butir
instrumen variabel Budaya Perusahaan yang diujicobakan, diperoleh 39 butir yang valid,
dan 1 butir yang di-drop.
Instrumen Budaya Perusahaan yang terdiri dari 39 butir yang sudah diuji
validitasnya itu selanjutnya dianalisis reliabilitasnya (keandalannya) dengan
menggunakan rumus Alpha Cronbach. Dari hasil perhitungan dengan jumlah responden
(n) 21 orang, diperoleh koefisien reliabilitas  (alpha) adalah 0.983. Oleh karena
Koefisien Reliabilitas  lebih besar dari koefisien tabel, maka 39 butir instrumen ini
dapat diandalkan (reliabel) sebagai instrumen penelitian. Ke 39 butir instrumen inilah
yang disebut instrumen final Budaya Perusahaan yang kisi-kisinya dapat dilihat pada
Tabel 1. Untuk selanjutnya 39 butir instrumen tersebut dipakai dalam penelitian.
Definisi Konseptual dan Operasional Variabel Sikap Kewirausahaan Karyawan
Definisi Konseptual: Sikap kewirausahaan karyawan adalah kecenderungan
berpikir (kognitif), merasa (afektif) dan berperilaku (konatif) dari karyawan dalam
bekerja yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja,
teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi, memberikan pelayanan yang
lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
10
Untuk dimensi kognitif, indikator-indikatornya adalah berpandangan optimis, dan
obyektif dalam mengamati situasi. Untuk dimensi afektif, indikator-indikatornya adalah
berani mengambil resiko yang diperhitungkan dan suka mencari peluang baru, serta
menghargai umpan-balik. Sedangkan untuk dimensi konatif, indikator-indikatornya
adalah bertanggungjawab terhadap tugas, dan proaktif dalam manajemen.
Definisi Operasional: Sikap kewirausahaan karyawan adalah total skor yang
diperoleh seseorang setelah menjawab 35 butir instrumen Sikap Kewirausahaan
Karyawan yang disusun untuk mengukur indikator sikap kewirausahaan karyawan, yaitu
berpandangan optimis, bertanggungjawab terhadap tugas, berani mengambil resiko yang
diperhitungkan, suka mencari peluang baru, serta menghargai umpan-balik, obyektif
dalam mengamati situasi, dan proaktif dalam manajemen.
Instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan mempunyai lima alternatif jawaban,
yaitu A (Sangat setuju), B (Setuju), C (Agak Setuju), D (Tidak Setuju) dan E (Sangat
Tidak Setuju).Responden yang menjawab A untuk suatu butir pernyataan positif diberi
skor 5, B diberi skor 4, C diberi skor 3, D diberi skor 2 dan E diberi skor 1. Sedangkan
untuk butir pernyataan negatif diberi skor bertur-turut: A = 1, B = 2, C = 3, D = 4, dan E
= 5. Dengan demikian rentang skor teoritik instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan
adalah antara 35 sampai dengan 175.
Tabel 2: Kisi-kisi Final Instrumen Variabel Sikap Kewirausahaan Karyawan.
No.
Indikator
Sebaran Butir
Jumla
h
1
Berpandangan optimis
1,2,3,4,5
5
2
Bertanggungjawab terhadap tugas
6,7,8,9,10
5
3
Berani
mengambil
diperhitungkan
4
yang 11,12,13,14,15
5
Suka mencari peluang baru
16,17,18,19,20
5
5
Menghargai umpan-balik
21,22,23,24,25
5
6
Obyektif dalam mengamati situasi
26,27,28,29,30
5
7
Proaktif dalam manajemen
31,32,33,34,35
5
Jumlah Butir
resiko
35
Kalibrasi
Proses pengembangan instrumen dimulai dengan penyusunan instrumen
berbentuk skala lima (Likert) sebanyak 40 butir yang mengacu pada indikator-indikator
variabel sikap kewirausahaan karyawan. Selanjutnya instrumen tersebut diujicobakan,
yaitu diberikan kepada 21 orang responden.
Proses kalibrasi dilakukan dengan menganalisis data hasil ujicoba instrumen
untuk menguji kesahihan (validitas) instrumen, yakni validitas butir atau validitas
11
internal. Di sini digunakan koefisien korelasi skor butir dengan skor total instrumen.
Metode statistika yang digunakan adalah koefisien korelasi product moment (rit).
Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas butir adalah r tabel dengan  =
0.05. Artinya, jika rit lebih besar dari rtabel maka butir tersebut dianggap valid. Sedangkan
jika rit lebih kecil dari rtabel maka butir tersebut dianggap tidak valid, dan selanjutnya didrop atau tidak digunakan dalam penelitian. Dari hasil analisis validitas terhadap 40 butir
instrumen variabel Sikap Kewirausahaan Karyawan yang diujicobakan, diperoleh 35
butir yang valid, dan 5 butir yang di-drop.
Instrumen Sikap Kewirausahaan Karyawan yang terdiri dari 35 butir yang sudah
diuji validitasnya itu selanjutnya dianalisis reliabilitasnya (keandalannya) dengan
menggunakan rumus Alpha Cronbach. Dari hasil perhitungan dengan jumlah responden
(n) 21 orang, diperoleh koefisien reliabilitas  (alpha) adalah 0.964. Oleh karena
Koefisien Reliabilitas  lebih besar dari koefisien tabel, maka 35 butir instrumen ini
dapat diandalkan (reliabel) sebagai instrumen penelitian. Ke 35 butir instrumen inilah
yang disebut instrumen final Sikap Kewirausahaan Karyawan yang kisi-kisinya dapat
dilihat pada Tabel 2. Untuk selanjutnya 35 butir instrumen tersebut dipakai dalam
penelitian.
Teknik Analisis Data
Untuk menguji hipotesis penelitian, dilakukan analisis data dengan menggunakan
metode statistika deskriptif sebagai analisis pendahuluan dengan mendeskripsikan data
masing-masing variabel secara tunggal. Kemudian analisis dilanjutkan dengan metode
statistika inferensial yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.
Statistika deskriptif yang digunakan adalah ukuran gejala pusat yang meliputi
rata-rata-rata, median, modus serta ukuran penyebaran atau variabilitas dengan
menggunakan standar deviasi (simpangan baku), dan rentangan skor. Di samping ukuran
gejala pusat dan ukuran penyebaran, penyajian data juga dilengkapi dengan tabel
frekuensi dan histogram.
Sebelum menguji hipotesis penelitian, terlebih dahulu dilakukan pengujian
persyaratan analisis, yaitu uji normalitas dan homogenitas variansi Y (variabel terikat
Sikap Kewirausahaan Karyawan) atas variabel bebas penelitian, yaitu Budaya Perusahaan
(X). Metode statistika yang digunakan untuk pengujian normalitas galat taksiran regresi
variabel terikat sikap kewirausahaan karyawan atas variabel bebas adalah uji Liliefors,
sedangkan pengujian homogenitas varians antara kelompok-kelompok data variabel
terikat yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan nilai skor variabel bebasnya
dilakukan dengan Uji Bartlet.
Statistika inferensial untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan
korelasi sederhana dan jamak, serta analisis regresi sederhana dan jamak. Pengujian
signifikansi dalam perhitungan regresi menggunakan analisis varian (ANAVA) dengan
Uji-F pada taraf signifikansi  = 0,01. Perhitungan koefisien korelasi sederhana
menggunakan teknik korelasi product moment dengan pengujian signifikansinya
12
menggunakan Uji-t pada  = 0,01, sedangkan pengujian signifikansi koefisien korelasi
ganda menggunakan Uji-F pada  = 0,01.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Budaya Perusahaan (Variabel X)
Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian (dikembangkan sendiri
oleh penulis), rentangan skor teoretik data adalah antara 39 – 195, yang berarti bahwa
secara teoretik skor minimum adalah 39 dan skor maksimum adalah 195. Dari hasil
pengumpulan data, diperoleh skor terendah 70 dan skor tertinggi 190 sehingga rentang
skor adalah 120. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data, diperoleh rata-rata sebesar
136,98; simpangan baku sebesar 28,18; modus sebesar 153 dan median sebesar 138.
Tabel 3: Tabel Distribusi Frekuensi Skor Budaya Perusahaan.
No.
Kelas Interval
Frekuensi
Batas Bawah
Batas Atas
Absolut
Relatif (%)
1
70 – 87
69,5
87,5
4
6,67%
2
88 – 105
87,5
105,5
5
8,33%
3
106 – 123
105,5
123,5
7
11,67%
4
124 – 141
123,5
141,5
18
30%
5
142 – 159
141,5
159,5
15
25%
6
160 – 177
159,5
177,5
7
11,67%
7
178 – 195
177,5
195,5
4
6,67%
60
100%
Jumlah
Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa 6,67% responden merasakan penerapan
aspek-aspek budaya perusahaan sangat tinggi, 36,67% merasakan penerapan aspek-aspek
budaya perusahaan tinggi, 41,67% merasakan penerapan sedang, dan 15% merasakan
penerapan aspek-aspek budaya perusahaan yang rendah.
Pengukuran Sikap Kewirausahaan Karyawan (Variabel Y)
Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian (dikembangkan sendiri
oleh penulis), rentangan skor teoretik data adalah antara 35 – 175, yang berarti bahwa
secara teoretik skor minimum adalah 35 dan skor maksimum adalah 175. Dari hasil
pengumpulan data, ternyata diperoleh skor terendah 45 dan skor tertinggi 161 sehingga
rentang skor adalah 116. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data, diperoleh rata-rata
sebesar 119,47, simpangan baku sebesar 26,6, modus sebesar 118 dan median sebesar
121.5.
13
Tabel 4: Tabel Distribusi Frekuensi Skor Sikap Kewirausahaan Karyawan.
No.
Kelas Interval
Frekuensi
Batas Bawah
Batas Atas
Absolut
Relatif (%)
1
45 – 61
44,5
61,5
2
3,33%
2
62 – 78
61,5
78,5
3
5%
3
79 – 95
78,5
95,5
6
10%
4
96 – 112
95,5
112,5
9
15%
5
113– 129
112,5
129,5
17
28,33%
6
130 – 146
130,5
146,5
15
25%
7
147 – 162
146,5
162,5
8
13,33%
60
100%
Jumlah
Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa 13,33% responden memperlihatkan sikap
kewirausahaan sangat tinggi, 53,33% bersikap wirausaha tinggi, 25% bersikap wirausaha
sedang, 8,33% bersikap wirausaha rendah.
Dari data X dan Y tersebut di atas, maka diperoleh hubungan antara X dengan Y
yang ditunjukkan oleh persamaan regresi Ŷ = 30 + 0,65X. Uji signifikan dan linearitas
persamaan regresi tersebut digambarkan dalam tabel Analisis Varians berikut:
Tabel 5: Analisis Varians Regresi Y atas X dengan model Regresi
Ŷ = 30 + 0,65X.
Sumber
Dk
JK
RJK
Fhitung
Ftabel
Varians
(α=0,05)
Total
60
898088
Koefisien (a)
1
856337,1
Regresi (b |a)
1
19974,72
19974,72
4,01
53,2*
Sisa
58
21776.01
375,45
Tuna Cocok
41
17901.45
434.38
2,10
1.86**
Galat
17
3966.33
233.31
*
= Regresi sangat signifikan (Fhitung = 53,2 > Ftabel = 7,09 )
**
= Regresi berbentuk linier (Fhitung = 1,86 < Ftabel = 2,10 )
dk
= Derajat Kebebasan
JK
= Jumlah Kuadrat
RJK = Rerata Jumlah Kuadrat
Ftabel
(α=0,01)
7,09
2,90
Berdasarkan uji signifikansi, bila Fhitung lebih besar daripada Ftabel maka hubungan
regresi tersebut signifikan. Ternyata Fhitung = 53,2 > Ftabel = 7,09 sehingga dapat
disimpulkan bahwa hubungan regresi kedua variabel tersebut sangat signifikan.
14
Sedangan untuk uji kelinearan regresi, bila Fhitung lebih kecil dari Ftabel maka regresi
tersebut linear. Ternyata Fhitung = 1,86 < Ftabel = 2,10 sehingga dapat disimpulkan regresi
tersebut linear, sehingga dapat disimpulkan regresi Ŷ = 30 + 0,65X sangat signifikan dan
linear.
Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor budaya
perusahaan (X) akan menyebabkan kenaikan 0,65 skor sikap kewirausahaan (Y) pada
konstanta 30 seperti terlihat pada grafik linearitas persamaan regresi berikut:
Y = 30 + 0,65X
Sikap Wirausaha (Y)
160
143.75
140
121
120
100
98.25
80
75.5
60
52.75
40
30
20
0
0
50
100
150
200
Budaya Perusahaan (X)
Gambar 4: Grafik Hubungan antara Budaya Perusahaan (X) dengan Sikap
Kewirausahaan Karyawan (Y) berupa Model Regresi
Ŷ = 30 + 0,65X.
Kuatnya hubungan antara X1 dengan Y ini dihitung dengan menggunakan teknik
korelasi Pearson Product Moment dengan hasil seperti tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6: Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Sederhana antara Budaya Perusahaan
(X) dengan Sikap Kewirausahaan Karyawan (Y).
Cacah Observasi
(n)
Koefisien Korelasi
(ry)
thitung
60
0,69
9,49**
** Koefisien Korelasi sangat signifikan (thit > ttab(0.01))
ttabel
ttabel
α = 0.05
α = 0.01
1,67
2,39
Uji signifikansi korelasi adalah bila thit > ttab(0.01) maka korelasi tersebut dapat
disimpulkan signifikan. Ternyata bahwa thit = 9,49 > ttab(0.01) = 2,39 sehingga korelasi
antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y) sebesar 0,69
15
adalah sangat signifikan pada α = 0.01. Dengan demikian terdapat hubungan positif
antara budaya perusahaan (X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y).
Hasil pengujian di atas memperlihatkan adanya hubungan berbanding lurus antara
budaya perusahaan dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y) sebesar 0,69 yang sangat
signifikan. Artinya semakin tinggi penerapan aspek-aspek budaya perusahaan, maka
semakin tinggi pula sikap kewirausahaan karyawan.
Dari koefisien korelasi sebesar 0,69 dapat diketahui pula koefisien determinasi
(r2) sebesar (0,69)2 = 0,48, atau sebesar 48%. Kondisi ini dapat diartikan bahwa 48%
variasi yang terjadi dalam kecenderungan tinggi atau rendahnya sikap kewirausahaan
karyawan ditentukan oleh budaya perusahaan.
Jadi hipotesis yang diuji: “Terdapat hubungan positif antara budaya perusahaan
(X) dengan sikap kewirausahaan karyawan (Y)” diterima.
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat hubungan positif antara budaya perusahaan (X) dengan sikap
kewirausahaan karyawan (Y) yang ditunjukkan oleh persamaan regresi Ŷ = 30 + 0,65X
dengan koefisien korelasi (ry) = 0,69 dan koefisien determinasi (ry2) = 0,48.
Kondisi ini dapat diartikan bahwa setiap kenaikan 1 skor budaya perusahaan (X)
akan menyebabkan kenaikan 0,65 skor sikap kewirausahaan (Y) pada konstanta 30; dan
48% variasi yang terjadi dalam kecenderungan tinggi atau rendahnya sikap
kewirausahaan karyawan ditentukan oleh budaya perusahaan. Jadi semakin tinggi
penerapan aspek-aspek budaya perusahaan, maka semakin tinggi pula sikap
kewirausahaan karyawan.
Implikasi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap kewirausahaan karyawan menguat
secara signifikan seiring dengan peningkatan penerapan nilai-nilai budaya perusahaan
yang baik. Hasil penelitian ini memberikan petunjuk bagi pimpinan perusahaan
penerbitan agar menerapkan aspek-aspek budaya perusahaan secara konsisten, sehingga
para karyawan dapat mengembangkan potensi atau bakat kewirausahaannya bagi
perusahaan.
Peningkatan penerapan aspek-aspek budaya perusahaan ini sangat mungkin,
karena budaya perusahaan merupakan lingkungan kerja beserta segala peraturannya yang
memungkinkan karyawan melakukan integrasi internal (koordinasi ke dalam) dan
adaptasi eksternal (menghadapi dunia luar, melayani pelanggan, dan menangkap peluang
bisnis yang ada). Budaya perusahaan yang sehat menyebabkan karyawan mampu
menampilkan segala potensi yang dimiliki, dan menerima kepercayaan dari perusahaan
sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Penerapan aspek-aspek budaya perusahaan secara konsisten akan membuat
perusahaan kompak ke dalam maupun keluar, dan karyawan dapat memenuhi berbagai
16
tingkat kebutuhannya, mulai dari kebutuhan fisik hingga aktualisasi diri. Dengan
demikian pada gilirannya akan semakin memperkuat perusahaan.
Budaya perusahaan yang baik akan memberikan dampak kebanggaan bagi
karyawan, sehingga juga akan menciptakan loyalitas karyawan. Selain itu akan
menciptakan suasana kerja yang harmonis, sehingga karyawan dapat memberikan
produktivitas yang optimal, dan efisiensi bagi operasional perusahaan. Sebagai contoh,
karyawan jarang sakit, sehingga biaya pengobatan rendah dan produktivitas tinggi.
Semakin tinggi penerapan aspek-aspek budaya perusahaan, maka semakin tinggi
pula image atau citra perusahaan dan karyawannya. Dengan demikian akan semakin
banyak peluang usaha yang dapat diraih atau dikembangkan, sejalan dengan tingginya
kepercayaan pihak eksternal kepada perusahaan. Adanya peluang usaha dari luar, akan
memberikan tantangan bagi karyawan, sehingga akhirnya karyawan mau tidak mau akan
mengembangkan sikap kewirausahaannya.
Editor sebagai tenaga profesional sangat rentan terhadap perubahan atau
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di satu pihak, mereka memiliki
pengetahuan yang luas, karena setiap hari menyunting buku-buku, sehingga mengetahui
berbagai hal. Namun di pihak lain, mereka juga perlu memiliki visi ke depan, memiliki
pandangan jauh ke depan, dan mampu meramalkan trend ke depan. Jangan sampai
mereka hanya duduk sehari-hari di belakang meja, tenggelam dalam pekerjaan
menyunting buku. Salah satu fungsi budaya perusahaan adalah memfasilitasi pada editor
agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, dan
khususnya menangkap peluang-peluang bisnis yang ada.
Para editor yunior direkrut berdasarkan latar belakang keilmuan tertentu (minimal
lulusan S-1). Selanjutnya mereka diberikan pelatihan mengenai falsafah perusahaan,
peraturan perusahaan, dan teknik penyuntingan. Kemudian mereka diterjunkan untuk
menyunting buku-buku sebagai asisten editor. Melalui para editor inilah, budaya
perusahaan akan terinternalisasi kepada para editor yunior, sebagai lingkungan pertama
yang memperkenalkan budaya perusahaan dalam bentuk tata-tertib, peraturan, target
kerja, cara kerja, cara bersikap, penghargaan, dan sebagainya.
Para editor biasanya sudah terlibat dengan pekerjaan mengembangkan produk
atau membuat konsep produk buku baru, sesuai dengan kebutuhan di pasar.
Pada dasarnya para editor memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai hal,
dan memiliki penguasaan product knowledge yang baik, sehingga sering mengemban
tugas presentasi atau promosi, membantu tim pemasaran. Dengan kemampuan yang
tinggi, maka mereka termasuk kelompok yang dominan dalam menentukan aspek-aspek
budaya perusahaan yang berlaku.
Oleh karena para editor memiliki pengetahuan yang luas dan mengenal berbagai
peluang bisnis yang ada di industri perbukuan, maka para editor seringkali mendapat
kesempatan pertama untuk mengembangkan sikap kewirausahaan.
Dari uraian di atas, maka penerapan aspek-aspek budaya perusahaan dapat
ditingkatkan dengan upaya-upaya sebagai berikut:
Pertama, meningkatkan penerapan aspek kebebasan berinisiatif, mengemukakan
pendapat, berbeda pendapat dan menyampaikan kritik kepada bawahan, kolega maupun
atasan. Hal ini sangat penting, karena berkaitan dengan suasana keterbukaan di tempat
17
kerja, sehingga para karyawan tidak perlu saling bergunjing di belakang punggung.
Demikian pula setiap karyawan dapat merasakan kepuasan karena boleh mengemukakan
ide-ide yang dimilikinya. Selain itu, seyogyanya pimpinan sedapat mungkin
mengakomodasikan ide-ide yang disampaikan karyawan.
Kedua, meningkatkan tradisi memberikan penghargaan, kepercayaan, dan
kesempatan kepada karyawan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka, sehingga karyawan
merasakan kepuasan kerja. Namun demikian, pimpinan tetap bertanggungjawab terhadap
pekerjaan anak buah, dan siap mengatasi resiko-resiko yang timbul. Selain itu, dalam
menyelesaikan persoalan yang timbul, ditempuh langkah-langkah musyawarah, dengan
memperhatikan usulan-usulan dari karyawan.
Ketiga, meningkatkan toleransi terhadap konflik. Dalam hal ini tentunya adalah
konflik dalam rangka argumentasi pekerjaan, bukan konflik emosional. Karyawan diberi
keleluasaan mengembangkan berbagai alternatif solusi, dalam rangka mencari solusi
terbaik.
Keempat, meningkatkan tradisi koordinasi kerja dan bekerja secara tim
(teamwork). Hal ini adalah dalam rangka mencapai integrasi internal yang harmonis.
Setiap karyawan diwajibkan agar mampu bekerjasama dengan bagian-bagian lainnya,
selalu mau menolong bagian lain yang memerlukan pertolongan.
Kelima, meningkatkan lalu-lintas informasi yang jelas dan transparan, dimana
setiap kebijakan yang diambil oleh pimpinan, sedapat mungkin telah dibicarakan dengan
karyawan yang berkaitan, lalu disosialisasikan. Juga di sini menyangkut penyediaan
fasilitas komunikasi yang memadai, seperti surat, telpon, telpon seluler, berlangganan
media massa, dan Internet.
Keenam, tradisi memberikan dukungan moril kepada karyawan oleh pimpinan.
Hal ini dapat berupa ikut turun langsung ke lapangan, memberikan sapaan, atau
dukungan moril ketika karyawan sedang melaksanakan pekerjaan.
Ketujuh, meningkatkan obyektivitas penilaian terhadap kinerja karyawan, serta
pemberlakuan peraturan perusahaan bagi seluruh karyawan tanpa pandang bulu, tidak ada
anak emas atau anak bawang.
Kedelapan, meningkatkan tradisi untuk memberikan penghargaan dan pujian bagi
karyawan yang berprestasi, baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maupun adanya
penghargaan khusus.
Kesembilan, meningkatkan pelaksanaan standard operating procedures, seperti
pelaporan, supervisi, inspeksi, target dan kapasitas serta ketaatan kepada posisi dan
fungsi.
Kesepuluh, para karyawan hendaknya dilibatkan dalam perumusan visi dan misi
perusahaan, pembuatan rencana kerja, serta mendapat pengarahan yang jelas mengenai
tugas dan tanggungjawab yang diemban.
Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan dan implikasinya, maka dapat diajukan
beberapa saran sebagai berikut:
Pertama, faktor budaya perusahaan, gaya kepemimpinan dan Motivasi
Berprestasi
hendaknya mendapatkan perhatian khusus bagi perusahaan, agar
18
karyawannya dapat mengembangkan sikap kewirausahaan yang optimal, dalam rangka
pertumbuhan dan perkembangan perusahaan di masa mendatang, karena perusahaan akan
membutuhkan pimpinan-pimpinan untuk mengambangkan usaha-usaha baru dari
peluang-peluang yang muncul.
Kedua, faktor penerapan nilai-nilai yang baik dalam budaya perusahaan perlu
terus ditingkatkan sehingga tercipta suasana kerja yang kondusif bagi karyawan untuk
mengembangkan sikap kewirausahaannya. Terutama di sini adalah nilai-nilai seperti
keleluasaan berpendapat, berbeda pendapat dan menyampaikan kritik; pemberian
penghargaan kepada karyawan yang berprestasi; pemberian kepercayaan kepada
karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan atau masalah yang dihadapi; pemberian
kepercayaan kepada karyawan untuk mengambil resiko dari pekerjaan yang
dilaksanakan; mekanisme musyawarah dalam penyelesaian berbagai masalah; adanya
partisipasi karyawan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan sesuai dengan
jenjang kewenangannya; pengembangan teamwork; memberikan pelatihan ketrampilan
dan keahlian yang dibutuhkan karyawan untuk melaksanakan tugas dan pengembangan
kemampuannya; penegakan pelaksanaan peraturan perusahaan secara konsisten dan tidak
pandang bulu; kesediaan pimpinan mendengarkan karyawan; saling percaya, saling
hormat, saling menghargai; saling bertukar informasi yang diperlukan; disamping kontrol
yang tersistem untuk menjaga kejujuran karyawan.
Referensi :
Bygrave, William D. The Portable MBA: Entrepreneurship, Terjemahan Dyah Ratna
Permatasari. Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.
Drucker, Peter F. Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles. New York:
HarperBusiness, 1993.
Fishbein, M. and Ajzen, I. Believe, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to
Theory and Research. Philippines: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.,
1975.
Greenberg, Jerald and Robert A. Baron, Behavior in Organizations: Understanding and
Managing the Human Side of Work. Englewood Cliffs –NJ: Prentice-Hall, 1995.
Griffin, Ricky W., Ronald J. Ebert. Bisnis, Edisi 6. Terjemahan Edina C. Tarmidzi.
Jakarta, Prenhalindo, 2002.
Hickok, Thomas A. Downsizing and Organizational Culture. 2003, http://www.
pamij.com/ hickok.html.
Husada, Safaruddin. 36 Profil Wirausahaan Sukses Indonesia. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 1996.
Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang
Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
Iwantono, Sutrisno. Kiat Sukses Berwirausaha: Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil
dan Menengah. Jakarta: Grasindo, 2002.
Jansen, P.G.W. Conditions for Internal Entrepreneurship. Journal of Management
Development Vol.13 No.9. MCB University Press, http://anbar.com, 1994.
Johnson, Spencer. Who Moved My Cheese? Terjemahan Juni Prakoso. Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2001.
19
Jones, Patricia and Larry Kahaner, Misi dan Visi 50 Perusahaan Terkenal di Dunia,
Terjemahan Anton Adiwiyoto. Jakarta: Interaksara, 1999.
Justin G. Longenecker, et al. Small Business Management: An Entrepreneurial Emphasis.
Terjemahan Thomson Learning. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001.
Kao, John J., Entrepreneurship. Creativity and Organization: Text, Cases and Reading.
Englewood Cliffs, NJ, Harvard Business School-Prentice Hall, 1989.
Kerlinger, Fred N. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
McGrath, Rita Gunther. The Entrepreneurial Mindset. Boston: Harvard Business School
Press, 2000.
Moeljono, Djokosantoso. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2003.
Mutis, Thoby. Kewirausahaan Yang Berproses. Jakarta: PT Grasindo, 1995.
Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Pheysey, Diana C. Organization Cultures: Type and Transformations. London:
Routledge, 1993.
QuickMBA.com. Entrepreneurship .( http://www.quickmba.com/ entre/definition, 2004.
Riyanti, Benedicta Prihatin Dwi. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Grasindo, 2003.
Robbins, Stephen P. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan,
1994.
Schein, Edgar H. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass
Publishers, 1992.
Schein, Edgar H. The Corporate Culture Survival Guide. San Fransisco: Jossey-Bass
Publishers, 1999.
Smither, Robert D. et al., Organization Development: Strategies for Changing
Environment. New York: HarperCollins, 1996.
Suryana. Kewirausahaan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2001.
Susanto, A.B. Budaya Perusahaan: Manajemen dan Persaingan Bisnis 1 Jakarta: Elex
Media Komputindo, 1997.
Triguno, Budaya Kerja: Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Meningkatkan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Golden Terayon Press, 1997.
Walters, Kenneth D., (Ed.), Entrepreneurial Management . Cambridge: Ballinger
Publishing Company, 1989.
Wiratmo,Masykur. Pengantar Kewiraswastaan: Kerangka Dasar Memasuki Dunia
Bisnis. Yogyakarta: BPFE, 1996.
20
Download