A. Memahami Khalayak Khalayak Primer- Petani Hal yang

advertisement
A. Memahami Khalayak
Hal yang diketahui
mengenai khalayak
primer
Khalayak Primer- Petani
Pada umumnya petani dikawasan target, mengelola sawah dan kebun
dilahan milik orang lain dan atau di lahan ex Perum Perhutani, yang saat
ini kewenangan pengelolaanya berada di bawah Balai Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (melalui SK Menhutbun No.175/Kpts-II/2003).
Luasan lahan yang dikelola untuk pemenuhan kebutuhan subsisten,
sebagian besar berkisar antara 0,25 ha-1 ha. Lusan lahan ini, rta-rata
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup subsistan petani. Terkadang untuk
memenuhi kebutuhan primer dan sekunder, petani juga bekerja mengolah
emas, berdagang, atau menjadi buruh. Biasanya pekerjaan tersebut
dilakukan diluar musin tanam dan musin panen. Sawah dan kebun ini
pada umumnya adalah warisan nenek moyang mereka. Berdasarkan
sejarah kampung, petani mulai mendiami kawasan target ini sejak tahun
1942, jauh sebelum taman nasional ditetapkan (1992).
Disamping itu, banyak juga petani yang melakukan pembukaan lahan
garapan baru di dalam kawasan hutan halimun untuk memenuhi
kebutuhan hidup subsisten mereka yang kurang. Dan sejak diketahui
kawasan hutan halimun juga kaya dengan mineral tambang seperti emas,
bentonit, dan zeolit, banyak petani juga melakukan pembukaan kawasan
hutan untuk pelakukan penambangan atau hanya sekedar mengolah sisa
hasil tambang dari PT Aneka Tambang. Selebihnya petani membuka
kawasan hutan untuk mengambil kayunya.
Pada umumnya petani berusia 20- sampai diatas 55 tahun, dengan latar
belakang pendidikan formal sekolah dasar. Secara budaya, dari tahapan
bertani di sawah dan kebun, petani berjenis kelamin perempuanlah yang
paling berperan. Lebih dari 60% tahapan bertani sawah dan kebun
dilakukan oleh petani perempuan. Namun demikian, petani lak-lakilah
yang masih mengambil peran dan keputusan dalam menentukan hal-hal
yang terkait dengan pertanian mereka.
Pengeluaran rata-rata petani adalah Rp 250 ribu- Rp 1 juta per bulan,
yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
Walaupun sebagain besar petani mengikuti program keluarga berencana,
namun sebagian besar petani memiliki 3 – 5 anak.
Kekhawatiran yang dirasakan oleh petani adalah tidak adanya kepastian
hokum atas lahan garapan dan pemukiman mereka. Walaupun secara
tradisonal petani memiliki pengetahuan mengelola alam secara lestari
seperti yang tertera dalam norma dan siloka-siloka adat mereka, karena
ketidak pastian hokum Negara atas lahan garapan dan pemukiman
mereka, berdampak pada kecenderungan pola bertani yang ekstensif dan
memilih tanaman jangka pendek (sawah dan holtikultura). Sementara itu,
kebun-kebun tradisonal mereka-seperti kebun talun cenderung
ditinggalkan.
Disamping itu pula, secara budaya petani berkeyakinan memberikan
warisan dalam bentuk tanah adalah lebih berharga dibadingkan warisan
bentuk lainnya. Petani percaya, tanah/lahan garapan adalah symbol
status social buat mereka. Petani juga percaya,”nyawa” petani adalah di
tanah/lahan. Hal ini terlihat dari banyak petani yang memiliki simpanan
dalam bentuk tanah sawah atau kebun. Sehingga kepastian hokum atas
lahan garapan mereka sangatlah penting, untuk mencegah perluasan
lahan garapan baru di dalam kawasan untuk warisan keluaraga mereka.
Disamping itu, perluasan lahan garapan di dalam kawasan hutan juga
terjadi karena banyak petani yang tidak mempunyai lahan garapan dan
juga karena hasil panen di lahan garapan sebelumnya tidak mencukupi
kebutuhan hidup primer mereka.
Pengetahuan
Pengetahuan petani tentang status hokum kawasan hutan sebagai
Taman Nasional, peraturan pengelolaan kawasan TN terkait boleh
tidaknya petani membuka lahan pertanian di dalam kawasan, fungsi
kawasan, dan fungsi zonasi, rata-rata sangat kurang. Pengetahuan
petani tentang penyebab dan dampak kawasan hutan halimun menjadi
terbuka, cukup tinggi. Namun demikian petani lebih memilih diam jika
melihat tindakan pembukaan lahan garapan baru di dalam kawasan.
Terkait isu pengelolaan kolaboratif, sebagaian besar petani juga belum
mengetahui persis apa itu pengelolaan kolaboratif. Tetapi petani yakin,
dengan adanya kejelasan tatabatas kawasan TN dan adanya kejelasan
status hokum lahan garapan mereka bisa mengurangi kegiatan perluasan
lahan garapan baru di dalam kawasan.
Sikap
Terkait isu kelestarian kawasan hutan, petani tidak setuju jika pembukaan
lahan garapan baru adalah ancaman terhadap kelesatarian hutan.
Menurut petani, ancaman utama terhadap kelesatarian hutan halimun
adalah ketidak jelasan tatabatas kawasan hutan halimun dan status
hokum lahan garapan mereka. Hal ini ditunjukan oleh petani, bahwa pada
tahun 2002 saat terjadi proses tebang habis hutan oleh Perhutani, hal
itulah yang menyebabkan kawasan hutan halimun menjadi terbuka luas,
termasuk kebun-kebun dan sawah mereka.
Petani sangat setuju bahwa hutan adalah daerah tangkapan air untuk
kehidupan mereka, dan harus dijaga kelestariannya. Untuk itu, petani
juga setuju, program pengelolaan kolaboratif dapat dijadikan cara untuk
menjaga kelestarian hutan bersama-sama antara petani dan pemerintah
(BTNGHS), walaupun secara prilaku petani masih tidak tahu jika
pengelolaan kolaboratif dapat menjadi cara untuk kelestarian hutan
Prilaku
Sangat sedikit petani membicarakan isu-isu terkait status hokum lahan
garapan, tatabatas kawasan hutan TN, dan pengelolaan kolaboratif.
Petani juga merasakan sangat sulit untuk melakukan tindakan –tindakan
terkait penataan ulang pemukiman dan lahan garapan, pengelolaan
kolaboratif, dan berhenti membuka lahan garapan di dalam kawasan
hutan halimun.
Hambatan dirasakan petani untuk melakukan tindakan yang diinginkan
adalah : karena ketidak jelasan status hokum lahan garapan mereka,
ketidak jelasan tatabatas kawasan hutan halimun, dan petani merasa
tidak setara dengan pihak TN.
Bahkan untuk memikirkan atau mendengar isu terkait status lahan
garapan mereka, tatabatas kawasan hutan, dan pengelolaan kolaboratif
sekalipun, mereka belum pernah. Dengan demikian, tahapan prilaku
petani di kawasan target masih pada tahap pra perenungan.
Sumber Terpercaya
Secara umum sumber terpercaya petani dalam menyampaikan isu terkait
lingkungan hidup, pengelolaan hutan, kebun, dan pertanian adalah
keluarga, ustadz/kiayi, guru, LSM, dan penyuluh pertanian & kehutanan.
Sedangkan sumber terpercaya dalam menyampaikan isu terkait
pelestarian kawasan hutan halimun adalah LSM, staf Taman Nasional,
dan Kepala Desa.
Sumber Media
Dalam 3 bula terakhir, media yang sering memberikan informasi kepada
petani adalah televisi, handphone, dan radio. Stasiun radio yang sering
didengar oleh petani adalah stasiun Megaswara, RRI , dan El Shinta
diwaktu segang petani pada pukul 18.00-21.00 WIB. Acara radio yang
banyak diminati petani adalah music, ceramah agama, wayang golek,
berita nasional, dan drama radio.
Walaupun beberapa informasi tekait kelestarian kawasan hutan halimun,
zonasi dan pengelolaan kolaboratif sudah pernah didapat oleh petani
melalui media dakwah agama, kalender, cerita dari sekolah, dan program
radio, tetapi hanya sedikit yang bisa petani ingat isi informasinya.
B.
Persona Khalayak
Pagi-pagi sekali saya harus sudah bangun. Kopi segelas dan sedikit rebusan ketela hasil kebunku selalu
menemaniku dan keluargaku setiap pagi. Hari ini, saya dan suami akan ke petak legok heulang. Saya
harus menanam ketela dan padi ladang untuk memenuhi kebutuhan pangan saya. Sejak hutan-hutan itu
dibabat habis oleh Perum Perhutani, saya bisa memperluas lahan garapan saya. Tetapi saya harus bekerja
sangat keras untuk menanam padi, singkong, pisang, dan tanaman pangan lainnya. Saat ini, tidak ada
petugas yang berseragam hijau kecoklatan yang mengejar-ngejar kami kala berkebun. Tidak seperti dulu!,
saat pengalaman yang tidak pernah saya lupa, saat suami saya dikejar dan dipukul petugas itu. Karna
takut, sambil menggendong anak kedua saya, saya lari menuju perkampungan untuk meminta perlindungan
tetua kampung. Saya tidak mengerti mengapa kami harus dikejar dan dipukul. Padahal yang kami lakukan
hanya membuka dan menggarap kembali lahan yang dulu biasa orang tua kami garap. Hmmmm….. tapi
sekarang saya kira keadaan sudah berubah. Petugas itu sudah lama tidak terlihat, tetapi hutannyapun
sekarang gundul.
Desakan kebutuhan hidup mendorong kami untuk bekerja lebih keras memperluas lahan. Mak’ Manarsi
pernah mengajak saya untuk membuka lahan juga di blok picung. Tapi, itu terlalu jauh, saya lebih memilih
membuka yang dekat dengan rumah kami saja. Banyak orang-orang dikampung saya juga membuka lahan
di blok legok heulang , juga di blok picung. Luasanyapun beragam, ada yang hanya ½ gedeng, tetapi ada
pula yang mampu mebuka seluas 2 gendeng. Saya kira alasannya sama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari keluarga. Memang, lahan pertanian kami kecil, hasilnya pun pasti kecil. Sementara itu,
kebutuhan terus meningkat. Belum lagi pemerintah sudah menaikan lagi harga minyak tanah. Walaupun
saya masih menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan dapur, tetapi dengan harga minyak tanah naik, ya
pastinya harga-harga barang pokok lainnya ikut juga naik.
Hidup memang perjuangan, hidup susah memang sudah jadi biasa buat saya sejak kecil. Kerja sekeras
apapun, sepertinya tidak pernah mencukupi kebutuhan hidup, apalagi sejahtera. Untung ada emas disini.
Sejak ada Antam, kami jadi tahu mengolah emas. Berawal dari memanfaatkan tanah sisa olahan Antam
menjadi butiran emas, kemudian banyak pemuda disini akhirnya menggali langsung sumber –sumber emas
di hutan. Walaupun resikonya adalah nyawa, tetapi pemuda-pemuda kami sangat berani masuk ke
lubang-lubang sempit di dalam hutan untuk mendapatkan emas. Sudah puluhan pemuda dari kampung
kami yang tewas dalam lubang, tetapi toh tidak jera.
Kami tahu, adat istiadat orang tua kami mengajarkan untuk menjaga kelestarian hutan halimun. Hutan
halimun adalah awisan yang harus dijaga untuk anak cucu,karena disana akan keluar air-air kehidupan.
Tetapi apa yang bisa kami lakukan sekarang? Toh, yang membabat hutan bukan kami, kami hanya
memanfaatkan lahan yang sudah terbuka itu sedikit sedikit saja untuk lahan garapan baru kami.
Download