56.7 KB - Digital Repository - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

advertisement
PENANGANAN KELUHAN PELANGGAN
PADA KASUS INSIDEN TERBAKARNYA TANGAN BAYI
DI INKUBATOR RUMAH SAKIT X
CUSTOMER COMPLAINT HANDLING IN CASE BABY HAND
INCIDENT BURNING IN INCUBATOR X HOSPITAL
Irwan Setiabudi, Elsye Maria Rosa
Program Studi Manajemen Rumah Sakit universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
Email : [email protected], [email protected]
ABSTRACT
There was an incident of burning the hands of the baby in the incubator X
hospital on May 26, 2007, which led to complaints and medical disputes.
Complaints at the hospital is divided into three phases: the first form of the
invention of the burning incident at hand baby incubator, phase II a discovery
pain in the baby's head, and a phase III the presence of a reporting by parents of
infants related medical disputes to the police. The research is a qualitative case
study. Respondents consisted of seven informants. Data validation using
triangulation method. This research found complaints phase I is not handled
properly. Delay in delivery of information and poor communications staff
continues into the cause of complaint. Complaints resolved with an apology,
acquisition costs, and homecare. Phase II complaint is not handled properly.
Directors who are not sympathetic attitude and making decisions to answer a
subpoena late lead to complaints continued. Complaints resolved with a guarantee
fee and refer patients. Complaints stage III dealt with negotiations and mediation.
Case closed with an issued warrant termination of the investigation by the police
and the provision of compensation to the parents of infants.
Keywords: complaint handling, incident
1
2
ABSTRAK
Terjadi insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator RS X pada tanggal 26
Mei 2007 yang menyebabkan keluhan dan sengketa medik. Keluhan pada rumah
sakit terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap I berupa ditemukannya insiden
terbakarnya tangan bayi di inkubator, tahap II berupa ditemukannya sakit di
kepala bayi, dan tahap III berupa adanya pelaporan oleh orang tua bayi terkait
sengketa medik ke polisi. Jenis penelitian adalah kualitatif studi kasus. Informan
terdiri tujuh Responden, Validasi data menggunakan triangulasi metode. Dari
penelitian ditemukan keluhan tahap I tidak ditangani dengan baik. Keterlambatan
penyampaian informasi dan buruknya komunikasi staf menjadi penyebab keluhan
berlanjut. Keluhan diselesaikan dengan permintaan maaf, pembebasan biaya, dan
homecare. Keluhan tahap II tidak ditangani dengan baik. Sikap direktur yang
tidak simpatik dan terlambat mengambil keputusan menjawab somasi
menyebabkan keluhan berlanjut. Keluhan diselesaikan dengan jaminan biaya dan
merujuk pasien. Keluhan tahap III ditangani dengan melakukan negosiasi dan
mediasi. Kasus ditutup dengan terbitnya surat perintah penghentian penyidikan
oleh polisi dan pemberian ganti rugi kepada orang tua bayi.
Kata Kunci : penanganan keluhan, insiden
3
PENDAHULUAN
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk
rumah sakit. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan
di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit. Sejak
awal tahun 1900, institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada tiga
elemen yaitu struktur, proses, dan outcome dengan berbagai macam program
regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan
Rumah Sakit, ISO, Indikator Klinis dan lain sebagainya. Namun harus
diakui,
pada
pelayanan
yang
berkualitas
masih
terjadi Kejadian Tidak
Diduga (KTD)1.
Di
Indonesia,
telah
dikeluarkan
Keputusan
Menteri
nomor
496/Menkes/SK/IV/2005 tentang pedoman Audit Medis di Rumah Sakit yang
bertujuan untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari
insiden dan memberikan keselamatan pada pasien2. Undang-undang Republik
Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 43 juga
mengamanahkan bahwa “Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan
pasien”. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil3.
Hampir setiap tindakan medik di rumah sakit menyimpan potensi resiko.
Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, jumlah pasien dan staf
rumah sakit yang cukup besar merupakan hal yang potensial bagi terjadinya
insiden keselamatan pasien. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1691/Menkes/PER/VII/2011 tentang Keselamatan Pasien,
insiden keselamatan pasien didefinisikan sebagai : “Setiap kejadian yang tidak
disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera
yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian
4
Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera”. Insiden
tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnosis, tahap pengobatan, tahap preventif,
atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan komunikasi, kegagalan alat, atau
sistem yang lain3.
Ketika
terjadi
insiden
keselamatan
pasien,
maka
kemungkinan
mengakibatkan keluhan/komplain pasien. Penelitian sebuah organisasi independen
yang mengamati kualitas pelayanan kesehatan dan kesehatan masyarakat di
Inggris dan Wales, The Healthcare Commission (HCC)4 menampilkan bahwa dari
16.000 keluhan yang diteliti terbagi atas : 1) keselamatan atas praktek klinik (22
persen), 2) buruknya komunikasi dari provider dan tidak banyak informasi buat
pasien (16 persen), 3) praktek klinik yang tidak efektif dan prosedur administrasi
(5 persen), 4) penanganan keluhan yang tidak baik (5 persen), 5) pembebasan dan
koordinasi perawatan (4 persen), 6) kurangnya kebebasan dan respek (4 persen),
7) sikap staff yang buruk (4 persen), 8) kegagalan untuk mengikuti persetujuan (4
persen), 9) lingkungan yang buruk buat pasien, termasuk tempat yang tidak
higienis (3 persen), 10) kurangnya akses dan terjadi perselisihan tentang catatan
kesehatan pasien (3 persen).
Keluhan pasti ada seberapapun kecilnya dan akan berdampak terhadap
jumlah kunjungan dan citra rumah sakit apabila tidak dikelola dengan baik.
Penanganan segera terhadap keluhan juga merupakan salah satu strategi reaktif
terhadap munculnya risiko yang lebih besar lagi. Menurut Zimowski5 beberapa
fakta tentang keluhan di rumah sakit adalah a) setiap satu pasien yang melakukan
keluhan, 20 pasien yang tidak puas tidak melakukannya, b) setiap pasien yang
tidak melakukan keluhan, 10 persen akan kembali dan 90 persen memilih pindah
rumah sakit lain, c) Penanganan yang buruk pada keluhan pasien membutuhkan
waktu rata-rata 10 tahun untuk memperbaiki kembali citra rumah sakit.
Penanganan keluhan terhadap kasus insiden keselamatan pasien terjadi di
Rumah Sakit X. Bentuk insiden adalah terbakarnya tangan bayi di inkubator.
Insiden ditemukan pada tanggal 26 Mei 2007 pada pukul 02.30 WIB. Insiden
menyebabkan timbulnya keluhan dari orang tua bayi kepada pihak rumah sakit.
5
Penanganan kasus ini berjalan satu tahun lebih yaitu dari bulan Mei 2007
hingga Oktober 2008 dan terbagi dalam tiga tahap penanganan keluhan. Tahap
pertama adalah penanganan keluhan yang disebabkan ditemukannya insiden
terbakarnya tangan bayi di inkubator. Tahap kedua adalah penanganan keluhan
yang disebabkan ditemukannya sakit di kepala bayi. Dan tahap ketiga adalah
penanganan keluhan yang disebabkan adanya laporan orang tua bayi ke pihak
kepolisian.
Insiden tangan bayi terbakar adalah insiden yang jarang terjadi tetapi
berdampak besar bagi citra rumah sakit jika tidak dilakukan penanganan segera
terhadap keluhan yang disampaikan. Berdasar hal itu maka perlu dilakukan
penelitian tentang Penanganan Keluhan Pelanggan pada Kasus Insiden Tangan
Bayi Terbakar di Inkubator Rumah Sakit X. Masalah penelitian yang diteliti
adalah bagaimana penanganan keluhan pelanggan pada kasus insiden tangan bayi
terbakar di inkubator Rumah Sakit X.
BAHAN DAN CARA
Jenis Penelitian
Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif retrospektif dengan
desain penelitian studi kasus.
Subjek Penelitian
1. Responden/informan
Subjek atau informan dalam penelitian ini terdiri dari pihak-pihak yang
berpartisipasi aktif dalam penanganan keluhan pada insiden. Informan terdiri dari
pihak-pihak yang terkait dan memiliki peran pada saat kasus insiden terjadi
hingga terselesaikan yaitu Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), Direktur RS
X, Bagian Elektromedik, Kepala Kamar Bayi, Wakil Direktur Keuangan, dan
Kepala Complaint Center. Untuk melengkapi sudut pandang, informan ditambah
dari ahli hukum kesehatan.
2. Sampling
Sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jenis
judgment sampling. Ferdinand6 mengungkapkan bahwa judgment sampling dipilih
6
dengan menggunakan pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian atau masalah penelitian yang dikembangkan.
Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Artinya peneliti
menanyakan penanganan keluhan pelanggan pada kasus insiden terbakarnya
tangan bayi didasarkan pada pedoman wawancara yang mengarah pada tujuan
penelitian.
Analisis Data
Analisis data penelitian ini berdasar Denzin dan Lincoln7 yaitu terdiri atas
tiga sub-proses yang saling terkait yaitu reduksi data (perangkuman data (data
summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan
(clustering), dan penyajian cerita secara tertulis), penyajian data, dan pengambilan
kesimpulan/verifikasi.
HASIL
1. Profil Bayi
Pasien dalam penelitian ini adalah bayi yang dilahirkan di Rumah Sakit X
Yogyakarta pada tanggal 10 Mei 2007 secara prematur dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) yaitu 1500 gram, bayi selanjutnya dirawat di inkubator. Selain
premature dengan BBLR, bayi juga mengalami kelainan bawaan lahir (congenital
anomaly) akibat terinfeksi cmv (cytomegalovirus) dari ibunya. Infeksi cmv belum
ditemukan di RS X, melainkan ketika bayi dirawat di RS JJ pada tahap keluhan
kedua (ditemukannya sakit di kepala bayi)
2. Kronologis Insiden
Insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator ditemukan pada tanggal 26
Mei 2007 pukul 02.30 WIB, sedang monitor terakhir pada bayi pada pukul 01.45
WIB. Sesaat setelah insiden ditemukan, perawat sudah menghubungi dokter jaga
UGD, tetapi belum bisa segera datang karena jumlah dokter hanya satu dan belum
bisa meninggalkan UGD. Perawat belum berani menghubungi keluarga
dikarenakan takut dan belum ada penanganan dari dokter jaga UGD.
DPJP Pengganti mengetahui terjadinya insiden setelah ditelepon oleh
Kepala Kamar Bayi pada pukul 06.30 WIB, setelah sebelumnya Kepala Kamar
7
Bayi mendapat pemberitahuan melalui telepon oleh koordinator shif malam pada
pukul 05.00 WIB. Melalui komunikasi telepon kepala kamar bayi memberi saran
agar menghubungi dokter jaga UGD kembali. Pertolongan oleh dokter jaga UGD
pada pukul 06.00 WIB. Advise pemberitahuan keluarga pertama kali dikeluarkan
oleh DPJP Pengganti, namun Kepala Kamar Bayi mengambil kebijakan untuk
tidak menghubungi orang tua melalui telepon melainkan ditunggu kedatangannya
pada pukul 09.00 WIB, alasannya adalah karena pada hari sebelumnya ibu bayi
sudah bilang akan datang pada pukul 09.00 WIB.
Pada pukul 09.00 WIB, Ibu bayi sampai di rumah sakit. Ibu bayi kaget
mengetahui kondisi bayinya yang terbakar tangannya, lalu menelepon suaminya.
Pihak rumah sakit melakukan pemberitahuan secara lisan tentang terjadinya
insiden disertai dengan permintaan maaf.
Setelah bapak bayi datang, rumah sakit melalui dokter jaga UGD dan
perawat memberi penjelasan secara medis tentang insiden yang terjadi dan kondisi
bayi. Penjelasan medis dari dokter dan perawat tidak membuat orang tua bayi
puas. Ketika konfirmasi ke perawat dan dokter jaga, pihaknya tidak memperoleh
jawaban yang jelas terkait luka bakar yang dialami anaknya, bahkan mereka
berbelit-belit. Semula dikatakan akibat korsleting inkubator, tapi kemudian
dikatakan akibat ulah tangan si bayi yang menyentuh bagian pemanas inkubator di
bagian pinggir karena tidak dilapisi handuk.
Gambar 1. Alur kronologis
8
3. Keluhan tahap I (insiden terbakarnya tangan bayi)
a. Alasan penyampaian keluhan
Keluhan disebabkan oleh ditemukannya insiden keselamatan pasien
berupa terbakarnya tangan bayi di inkubator, keterlambatan penyampaian
informasi, dan buruknya komunikasi staf. Keterlambatan penyampaian
informasi terbagi dua yaitu kepada orang tua bayi dan DPJP pengganti.
Karena hal tersebut, orang tua mengajukan keluhan tertulis yaitu kenapa
orang tua tidak segera diberitahu padahal kejadian ditemukan dinihari dan
kenapa dokter tidak segera visite.
Buruknya komunikasi staf terbagi dua yaitu komunikasi dokter jaga
UGD dan perawat karena kurangnya informasi penyebab insiden dan
komunikasi sekretaris direktur karena kurang respek dan kurang koordinasi.
Karena hal tersebut, orang tua bayi mengajukan keluhan tertulis kenapa
tidak ada laporan ke atasan, bagaimana dengan kecacatan bayi, bagaimana
biaya rumah sakit serta kompensasi. Keluhan tertulis disampaikan pada
tanggal 23 Agustus 2007 pukul 14.20 WIB di bagian complain center.
b. Akses
Media yang digunakan untuk penerimaan akses adalah tatap muka.
Tampak ada ketidakpuasan orang tua bayi dari tiap tahapan penerimaan
akses keluhannya kepada rumah sakit. Kegagalan bertemu dengan direktur
sebagai puncak kekecewaan atas penanganan keluhan tahap I di RS X.
Rumah sakit melalui complain center sudah menerima keluhan tertulis
c. Investigasi
Investigasi kejadian sudah dilakukan tetapi laporan kejadian baru
dibuat pada tanggal 28 Mei 2007. Investigasi kejadian dibuat oleh Kepala
Kamar Bayi. Laporan disampaikan kepada Direktur RS X.
Investigasi alat dilakukan pada pagi hari setelah petugas bagian
elektromedik sampai di rumah sakit. Investigasi dilakukan setelah mendapat
laporan dari perawat bahwa telah terjadi insiden di inkubator.
Investigasi medik belum dilakukan. Hingga bayi pulang, rumah sakit
belum melakukan investigasi medik.
9
Orang tua bayi
Ya
Komplain
Puas
Perawat dan Dokter Jaga
Tidak
Direktur
Ya
Puas
Tidak
Complaint Center
Gambar 2. Alur keluhan tahap I
d. Respon
Pada tanggal 30 Mei 2007, direktur RS X membuat keputusan
pembebasan biaya. Kemudian pada pukul 10.00 WIB di hari yang sama
rumah sakit melalui Kepala Complaint Center dan Kepala Kamar bayi
memberi penjelasan secara lisan kepada orang tua bayi terkait respon dan
keputusan-keputusan yang diambil terhadap tuntutan orang tua bayi.
Pada tanggal 31 Mei 2007, rumah sakit membuat permintaan maaf
secara tertulis. Permohonan maaf terkait terjadinya insiden terbakarnya
tangan bayi.
e. Penyelesaian
Bayi pulang dari RS X tanggal 9 Juni 2007 atau berusia satu bulan.
Keluhan tahap I diselesaikan dengan pemberian kompensasi dan perawatan
di rumah (homecare).
10
4. Keluhan tahap II (ditemukan sakit di kepala bayi)
a. Alasan penyampaian keluhan
Pada awal Agustus 2007, bayi kembali di rawat di RS X disebabkan
oleh ditemukannya sakit di kepala bayi. Orang tua berpendapat penyakit di
kepala bayi adalah akibat efek dari terjadinya insiden terbakarnya tangan
bayi di inkubator pada tanggal 26 Mei 2007.
Tuntutan orang tua bayi adalah 1) bayi di rujuk ke RS JJ, 2) Dokter yang
menangani adalah dokter spesialis bedah plastik dan konstruksi kulit, dokter
spesialis bedah anak, dan dokter spesialis anak, dan 3) pembebasan seluruh biaya
perawatan di RS X dan jaminan biaya perawatan di RS JJ. Tuntutan disampaikan
saat melakukan pertemuan dengan direktur pada tanggal 6 Agustus 2007.
Karena belum ada kejelasan respon dari direktur, pada tanggal 18 Agustus
2007, orang tua bayi mengajukan somasi yang berisi permintaan supaya ada
kepastian jawaban dari pihak rumah sakit terkait tuntutan pada tanggal 6 Agustus
2007 dan diberi batas waktu (deadline) hingga tanggal 21 Agustus 2007, apabila
tidak ada kepastian jawaban, maka insiden yang dialami oleh bayi mereka akan
dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
b. Akses
Pada tanggal 6 Agustus 2007, akses orang tua dalam menyampaikan
keluhan kepada Direktur RS X dilakukan secara langsung. Pertemuan
antara orang tua dan direktur dilakukan dengan tatap muka.
Sedangkan pada tanggal 18 Agustus 2007, orang tua sudah
melibatkan pihak baru yaitu pengacara. Akses keluhan dilakukan dalam
bentuk surat somasi kepada Direktur RS X.
c. Investigasi
Investigasi dilakukan oleh Komite Medis RS X dengan melakukan
audit medis pada tanggal 8 Agustus 2007. Audit medis dilakukan pada
apakah ditemukan prosedur yang salah pada ditemukannya insiden
terbakarnya tangan bayi di inkubator.
d. Respon
Direktur memutuskan untuk memberi jawaban atas somasi yang
disampaikan yaitu pembebasan biaya di rumah sakit X pada tanggal 20
11
Agustus 2007. DPJP membuat surat rujukan bayi ke RS JJ pada tanggal 21
Agustus 2007. Direktur RS X memberi jaminan pembiayaan bayi di RS JJ
dengan catatan biaya yang terkait dengan peristiwa insiden ditanggung dan
selain itu menjadi tanggung jawab orang tua bayi pada tanggal 21 Agustus
2007.
Pembuatan keputusan pembebasan biaya, surat rujukan, dan jaminan
pembiayan di RS JJ sangat mendekati batas waktu yang ditentukan oleh
orang tua bayi dan pengacaranya. Hal ini menyebabkan kemungkinan
terbukanya kesalahan dan keterlambatan dalam penyampaian informasi ke
pihak terkait.
e. Penyelesaian
Keluhan tahap II diselesaikan dengan merujuk bayi ke RS JJ pada
tanggal 21 Agustus 2007 dan menjamin biaya perawatannya. Bayi pulang
dari RS JJ pada tanggal 10 September 2007 atau saat keluhan sudah masuk
tahap III. Biaya perawatan selama di RS JJ adalah sebesar dua puluh satu
juta rupiah.
5. Keluhan tahap III (adanya laporan orang tua bayi ke polisi)
a.
Alasan penyampaian keluhan
Ketidakpuasan pada penanganan keluhan tahap II menjadi penyebab orang
tua bayi melaporkan RS X kepada polisi. Alasannya adalah bahwa upaya
penyelesaian kasus secara damai tidak ditanggapi oleh pihak rumah sakit.
Tuntutannya adalah kasus ini diselesaikan secara hukum oleh pihak yang
berwajib.
Selain ke polisi, orang tua bayi menggunakan media massa untuk
mengungkapkan rasa kecewanya kepada penanganan keluhan RS X. Judul
media massa lebih banyak memberitakan bahwa insiden yang terjadi
adalah akibat korsleting inkubator.
Laporan ke polisi dan penyampaian ke media massa dilakukan pada
tanggal 23 Agustus 2007. Berita yang dimuat di media online akan
memiliki masa berita yang panjang dan susah dihapus, sehingga peristiwa
insiden tetap bisa dibaca hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
12
b. Akses
Akses keluhan yang diberikan rumah sakit adalah melalui tatap
muka dengan polisi dan media. Selain tatap muka, akses keluhan juga
melalui media surat panggilan dari kepolisian.
c.
Investigasi
Investigasi keluhan tahap III dilakukan dengan investigasi mediko
legal dan investigasi hukum. Investigasi mediko legal dilakukan oleh RS,
IDI, dan PPNI. Investigasi hukum dilakukan oleh polisi.
Investigasi medik dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 2007, dan
audit keperawatan pada tanggal 14 Januari 2008. Hasilnya adalah tidak
tidak ditemukan unsur kelalaian, kesalahan, atau mal praktek medis dan mal
praktek keperawatan.
Investigasi hukum dilakukan polisi dengan tahapan penyelidikan dan
penyidikan. Penyelidikan dimulai dengan menerima pengaduan dan penetapan
pasal rujukan. Penyidikan dilakukan dengan pengumpulan alat bukti, penetapan
tersangka, dan penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Pengumpulan alat bukti dilakukan dengan meminta keterangan saksi, menyita
rekam medis dan inkubator.
Pasal rujukan yang dipakai adalah UU no. 29/2004 tentang Praktek
Kedokteran Pasal 79 huruf c juncto pasal 518 dan UU no. 8/99 tentang
perlindungan konsumen Pasal 62 juncto pasal 8 huruf a9.
Keterangan saksi dilakukan dengan memanggil pihak-pihak yang
dinilai memiliki keterangan. Surat panggilan pertama disampaikan kepada
direktur RS pada tanggal 10 September 2007 untuk menghadap penyidik
pada tanggal 15 September 2007. Surat panggilan berikutnya kepada
perawat kamar bayi dinas siang dan malam, perawat jaga, kepala kamar bayi,
perawat saat insiden (YF dan YM), bagian elektromedik, wadir pelayanan medik,
perawat YM, perawat YF, Direktur RS, bagian inventaris, wadir pelayanan
medik, dr. TT, Sp.A (DPJP Pengganti), dr. KK, Sp.A (DPJP).
Polisi menetapkan tersangka perawat YF pada tanggal 4 Agustus 2008, dan
DPJP Pengganti (dr. TT, Sp.A) pada tanggal 11 Agustus 2008. Dan pada tanggal
13
27 September 2008, polisi menerbitkan SP3. Alasan SP3 adalah sesuai SPO tidak
cukup bukti.
d. Respon
Kasus ini berdurasi lebih dari satu tahun. Pada tanggal 16 Juni 2008
terjadi pergantian Direktur RS X. Pergantian ini berarti respon keluhan
tahap III terbagi atas dua periodesasi, yaitu direktur lama dan direktur
baru.
Respon direktur lama dilakukan dengan penggunaan pengacara
untuk pendampingan hukum dan negosiasi, mediasi melalui mediator
(bupati dan dekan), mengirim alat bukti berupa surat IDI tentang penyakit
di kepala bayi tidak terkait dengan insiden.
Respon direktur baru dilakukan dengan konsolidasi internal
menanggapi status tersangka, negosiasi dengan orang tua bayi, dan
mediasi melalui tokoh agama yang dekat dengan orang tua bayi.
e.
Penyelesaian
Keluhan tahap III diselesaikan dengan pemberian ganti rugi kepada
orang tua bayi. Ganti rugi yang diberikan berupa uang sebesar seratus juta
rupiah. Uang ganti rugi diperoleh dari asuransi profesi DPJP (dr. KK,
Sp.A). Secara hukum, kasus ditutup dengan terbitnya SP3 tertanggal 27
September 2008 dengan nomor polisi B/02/IX/2008.
f.
Perbaikan rumah sakit pasca kasus
Dari wawancara dengan direktur RS X, belajar dari insiden
perbaikan rumah sakit pasca kasus yang dilakukan adalah 1) perbaikan alat
dengan mengganti semua inkubator lama dengan inkubator yang baru, 2)
perbaikan penanganan keluhan dengan baik terutama dalam pemberian
informasi kepada pasien, 3) perbaikan pengisian berkas rekam medis, 4)
dibuat kebijakan untuk dokter mengikuti asuransi profesi, 5) dijalin
kerjasama dengan pengacara untuk menangani kasus hukum.
14
PEMBAHASAN
1. Penanganan keluhan tahap I
a. Alasan penyampaian keluhan
Insiden terbakarnya tangan bayi di inkubator menunjukkan bahwa
rumah sakit mengalami masalah dalam program keselamatan pasien (patient
safety). Menurut WHO10, keselamatan adalah prinsip dasar perawatan
pasien dan komponen penting manajemen mutu. Ditambahkan oleh Depkes
RI1, bahwa keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan di rumah sakit dan hal itu terkait dengan isu mutu dan citra
rumah sakit. Namun harus diakui, pada pelayanan yang berkualitas
masih terjadi Kejadian Tidak Diduga (KTD).
Penanganan keluhan pada insiden di RS X kurang baik disebabkan
adanya
keterlambatan
informasi
dan
buruknya
komunikasi
staf.
Keterlambatan penyampaian informasi kepada orang tua bayi disebabkan
oleh perasaan takut perawat, tidak segeranya dokter jaga UGD melakukan
penanganan bayi, tidak dilaksanakannya advise dr TT, Sp.A untuk
menghubungi keluarga.
Keterlambatan informasi kepada DPJP Pengganti disebabkan oleh
waktu respon (respond time) penanganan dokter jaga UGD yang terlalu
lama dalam menangani bayi yang mengalami insiden, tidak ditemukan
keberadaan dokter jaga ruang rawat inap yang menyebabkan perawat hanya
melakukan penyampaian informasi kepada dokter jaga UGD, dan tidak
ditemukan catatan penyampaian informasi secara telepon oleh dokter UGD
kepada DPJP Pengganti.
Buruknya komunikasi staf (dokter jaga UGD dan perawat) akibat
kurangnya
informasi
tentang
penyebab
insiden.
Perbedaan
waktu
penyampaian informasi dan staf yang melakukan komunikasi dengan orang
tua bayi membuka peluang terjadinya kurangnya informasi (the lack of
information). Komunikasi serah terima pasien (patient hand-over) menurut
WHO11, pastikan bahwa organisasi kesehatan menerapkan pendekatan
15
standar untuk komunikasi serah terima antara staf, perubahan shift, dan
antara berbagai unit perawatan pasien dalam proses transfer pasien.
Buruknya komunikasi staf (sekretaris direktur) dengan menjawab
belum ada laporan ke direktur seharusnya tidak terjadi. Sekretaris direktur
seharusnya bisa menjadi penghubung komunikasi antara direktur, kepala
kamar bayi, DPJP Pengganti, dan Orang Tua Bayi. Komunikasi bisa
dilakukan dengan telepon atau tatap muka dengan unit pelayanan yang
menjadi titik keluhan yaitu kamar bayi. Sehingga jawaban bahwa belum ada
laporan ke direktur bisa ditata kelola dengan lebih baik.
b. Akses
Akses antara rumah sakit dan orang tua bayi dalam penanganan
keluhan pada kasus ini lebih banyak menggunakan metode tatap muka
daripada menggunakan media lain seperti telepon. Alasan pihak rumah
sakit (perawat) melakukan pilihan tatap muka sebagai pilihan akses
komunikasi karena merasa hubungan ibu bayi dan perawat sudah dekat.
Dalam penelusuran peneliti, jarak rumah sakit dengan rumah orang tua bayi
bisa ditempuh kendaraan dengan waktu kurang dari satu jam, maka
alangkah lebih baik bila rumah sakit menggunakan pilihan tatap muka
dengan mengirim staf ke rumah orang tua bayi untuk memberitahukan telah
terjadi insiden yang menimpa bayi mereka.
c. Investigasi
Investigasi medik terhadap keluhan tahap I belum dilakukan oleh
komite medis rumah sakit. Peraturan tentang investigasi medik atau audit
medik diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 496 tahun 2005.
Dalam pandangan peneliti, investigasi medik semestinya sudah dilakukan
pada penanganan keluhan tahap I dengan tujuan untuk mengetahui
penyebab terjadinya insiden. Hal ini penting, mengingat orang tua bayi
masih belum mendapatkan penyebab insiden.
d. Respon
Respon rumah sakit adalah dengan memberi penjelasan terkait dengan
langkah-langkah yang sudah diambil oleh rumah sakit, mengabulkan
16
permintaan kompensasi berupa pembebasan biaya rumah sakit dan
permohonan maaf secara tertulis dari rumah sakit.
Commonwealth Ombusdman12, ketika penelitian atas pengaduan
selesai, pengadu harus diberitahu secara khusus mengenai hasil
penyelidikan, termasuk temuan atau keputusan yang dicapai. Bahkan ketika
aspek lain dari keluhan tersebut masih diselidiki, pelapor biasanya akan
menyambut penjelasan sementara dari apa yang telah diselesaikan. Apakah
penjelasan harus diberikan secara lisan atau tertulis, atau keduanya akan
tergantung pada keadaan. Penjelasan lisan biasanya akan lebih efisien dan
akan diharapkan jika itu adalah metode komunikasi disukai oleh pengadu
atau diadopsi dalam transaksi sebelumnya. Di sisi lain, penjelasan tertulis
seringkali lebih cocok jika keluhan berkaitan dengan masalah serius,
kompleks atau disengketakan.
2. Penanganan keluhan tahap II
a. Alasan penyampaian keluhan
Kegagalan keselamatan pasien (patient safety) menjadi alasan bayi
kembali di rawat di Rumah Sakit X. Sakit di kepala bayi, pada keluhan
tahap II menjadi perselisihan paham antara rumah sakit dan orang tua bayi.
Rumah sakit menilai bahwa sakit di kepala bayi tidak terkait dengan
insiden yang terjadi. Menurut data penelitian, sakit di kepala bayi baru
diketahui setelah kasus memasuki keluhan tahap III, yaitu saat bayi
menjalani perawatan di Rumah Sakit JJ. Ditemukan bahwa penyakit bayi
akibat infeksi virus cmv di otak bayi sebagai transmisi kehamilan ibu ke
bayinya.
b. Akses
Media tatap muka pada pertemuan antara orang tua bayi dan direktur
RS X tidak direspon secara simpatik oleh direktur. Komplain ditanggapi
direktur dengan respon tidak simpatik yang menyebabkan orang tua bayi
emosi dan mennggunakan jasa pengacara untuk selanjutnya mengajukan
somasi kepada rumah sakit.
17
Ketika orang tua bayi sudah melibatkan pengacara berarti sudah ada
kepentingan lain selain kepentingan orang tua bayi terhadap rumah sakit.
Dengan masuknya pihak lain seperti pengacara akan membuka keterlibatan
pihak lain seperti polisi dan jaksa dalam penanganan kasus. Dan itu berarti
semakin banyak pihak yang berkepentingan dalam penanganan kasus
insiden.
c. Investigasi
Audit medik baru dilaksanakan 2 bulan setelah insiden. Menurut
RVII sebagai ahli hukum kesehatan dijelaskan bahwa 1) tidak ada kata
terlambat untuk waktu pelaksanaan audit medis sejauh seluruh data
pendukung/alat-alat bukti itu sudah lengkap sehingga informasi yang
dibutuhkan selama proses audit medis itu jika diperlukan semua tersedia, 2)
tujuan audit adalah untuk melakukan sebuah analisa dan lain-lain faktorfaktor yang diduga dari penyebab dari terjadinya KTD, 3) audit medis tidak
boleh ditunda-tunda jika terkait dengan persoalan lain, intistitusi lain,
terkait juga dengan keluarga pasien, apakah juga menyangkut pihak
kepolisian ataupun dengan organisasi profesi atau mungkin dinas
kesehatan, maka tuntutan informasi yang cepat itu dibutuhkan, 4) audit
medik ini bisa dijadikan sebagai petunjuk awal bahwa sesungguhnya apa
yang terjadi sebenarnya dan apa yang harus diantisipasi untuk kalau
dilakukan penyidikan lebih lanjut.
d. Respon
Respon direktur adalah dengan membuat keputusan pembebasan
biaya di RS X, merujuk bayi ke RS JJ, dan memberi jaminan pembiayaan
bayi di RS JJ dengan catatan biaya yang terkait dengan peristiwa insiden
ditanggung dan selain itu menjadi tanggung jawab orang tua bayi
Tanggal diterbitkannya keputusan dan pembuatan surat pembebasan
biaya sangat mendekati batas waktu yang ditentukan oleh orang tua bayi
dan pengacaranya. Sehingga memungkinkan terbukanya keterlambatan
proses administrasi dan penyampaian informasi ke pihak-pihak terkait.
18
3. Penanganan keluhan tahap III
a. Alasan penyampaian keluhan
Orang tua merasa bahwa somasi yang disampaikan kepada direktur
rumah sakit belum mendapat tanggapan yang serius, sehingga melanjutkan
keluhannya ke ranah hukum. Orang tua melaporkan kasus ini ke polisi pada
tanggal 23 Agustus 2007.
Perselisihan antara orang tua bayi dan rumah sakit biasa dikenal
dengan istilah sengketa medik. Pemicu terjadinya sengketa adalah
kesalahpahaman,
perbedaan
penafsiran,
ketidakjelasan
pengaturan,
ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut,
curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan
terjadinya keadaan yang tidak terduga. Nasser13 menyatakan bahwa
sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga
pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit /
fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil
akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan
prosesnya. Padahal dalam hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan
atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan hanya
bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (Inspanning
Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir (Resultalte
Verbintennis). Biasanya pengaduan dilakukan oleh pasien atau keluarga
pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya sudah
dapat diduga pers menghukum tenaga kesehatan mendahului pengadilan
dan menjadikan tenaga kesehatan sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang
merusak reputasi nama dan juga karir tenaga kesehatan ini.
Selain itu, orang tua juga menyampaikan keluhannya melalui media
massa. Orang tua bayi menggunakan media massa untuk mengungkapkan
rasa kecewanya kepada penanganan keluhan rumah sakit. Dengan dimuat
di media massa insiden akan diketahui lebih banyak orang dan
mempengaruhi nama baik serta kepercayaan orang terhadap layanan
Rumah Sakit X. Menurut Hasanbasri14, keluhan pelanggan disampaikan
19
kepada media massa disamping menyebarkan berita buruk ada juga yang
sifatnya minta kompensasi atau keadilan dari pihak rumah sakit
b. Akses
Media keluhan rumah sakit adalah dengan polisi dan media. Jika
sudah melibatkan polisi, kemungkinan keterlibatan jaksa sangat besar.
Banyaknya pihak luar yang terlibat dalam penanganan keluhan pasti
semakin memberatkan rumah sakit.
c. Investigasi
Menurut RVII, diterangkan bahwa jika terjadi medical eror atau
KTD maka dalam sudut pandang hukum dan sudut pandang medik bisa
berbeda-beda. Artinya bisa saja secara profesi kedokteran dokter itu
dinyatakan tidak bersalah tapi dari kacamata hukum, dokter dinyatakan
bersalah atau sebaliknya dari kacamata hukum dinyatakan tidak bersalah
tapi dari sisi profesi dokter dinyatakan salah.
Penggunaan Undang-Undang nomor Nomor 29 Tahun 2004 tentang
praktek kedokteran Pasal 79 huruf c juncto pasal 51 menurut peneliti
kurang tepat, mengingat tidak ada peran dokter saat kronologis insiden
terjadi.
Dalam pandangan RVII sebagai ahli di bidang hukum kesehatan,
dokter dalam kasus ini tidak patut untuk dijadikan tersangka, dokter sudah
bekerja sesuai SOP, dia tidak tahu menahu tentang persoalan proses
terjadinya kesalahan itu sama sekali tidak ada unsur dokter di dalamnya.
Karena yang dokter berikan adalah standar perawatan pelayanan yang
seharusnya dilakukan oleh perawat sehingga dokter tidak bersalah.
Bila
pihak
kepolisian
menggunakan
tanggung
gugat
maka
seharusnya pihak kepolisian dalam menetapkan tersangka adalah direktur
RS.
d. Respon
Rumah sakit menggunakan mediasi untuk menyelesaikan kasus
sengketa medik. Afandi15, proses mediasi merupakan upaya yang tepat
dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali
20
dalam proses pidana murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan
rahasia kedokteran, aborsi serta kelalaian berat, keterangan palsu, penipuan
dan lain-lain. Penyelesaian melalui jalur litigasi akan merugikan kedua
belah pihak.
e. Perbaikan pasca kasus
Menurut RVII, perbaikan yang dilakukan adalah 1) pengacara rumah sakit
tidak diperlukan, karena sama saja rumah sakit menyiapkan perang di ranah
hukum, 2) Rumah sakit lebih baik membangun komunikasi yang baik
dengan setiap pelanggan, bila ada masalah yang berpotensi menjadi sebuah
gugatan segeralah laporkan pendekatan untuk agar bisa ada solusinya, 3)
Rumah sakit perlu mendidik pasien bahwa rumah sakit tidak pernah ada
niat melukai pasien, jika ada musibah semata-mata adalah ujian dari Allah,
4) Jika ada keluhan karena KTD maka rumah sakit lebih memilih memakai
jalur silaturrahim untuk damai.
KESIMPULAN
Penanganan keluhan insiden terbakarnya tangan bayi belum dilaksanakan
dengan baik disebabkan a) keterlambatan penyampaian informasi disebabkan
sikap takut perawat, tidak dilaksanakannya advise DPJP Pengganti, dan
keterlambatan waktu respon dokter jaga UGD, b) buruknya komunikasi staf
karena kurangnya informasi tentang penyebab insiden, kurang respek, dan kurang
koordinasi. Keluhan diselesaikan dengan permintaan maaf, pemberian kompensasi
pembebasan biaya perawatan, dan homecare.
Penanganan keluhan
ditemukannya sakit di kepala bayi belum
dilaksanakan dengan baik disebabkan sikap direktur yang kurang simpatik, kurang
respon dalam menanggapi tuntutan, dan terlambat dalam mengambil keputusan
menjawab somasi. Keluhan diselesaikan dengan pemberian kompensasi jaminan
biaya perawatan dan merujuk pasien ke rumah sakit lain.
Penanganan keluhan laporan ke polisi diselesaikan dengan cara negosiasi
dan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa medik yang efektif
dibanding melalui litigasi (pengadilan).
Download