pendidikan di maluku utara pada masa kesultanan ternate dalam

advertisement
PENDIDIKAN DI MALUKU UTARA PADA MASA KESULTANAN TERNATE
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN BUDAYA
Oleh
Prof. Dr. A. Rasyid Asba.MA
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin
Makalah ini di sampaikan pada Seminar Internasinal
dan Workshop yang Diselengarakan oleh STAIN Ternate
Bekerjasama Dengan Turki Foundation
Pada tanggal 21 Oktober-23 Oktober 2011
1
PENDIDIKAN DI MALUKU UTARA PADA MASA KESULTANAN
TERNATE DALAM PERSPEKTIF SEJARAH DAN BUDAYA
Oleh
Prof. Dr. A. Rasyid Asba.MA
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin1
Email rasbawecu @yahoo.com
Hp 081310301354
A. Awal Munculnya Kesultanan Ternate di Maluku
Van Fraassen menyebutkan bahwa nama Maluku mulai dikenal sejak ditemukannya
dalam Negara Kertagama 1364 dengan nama Maloko Nama ini diadopsi dari bahasa Arab Al
Muluk yang ketika itu sedang ramai mengunjingi Maluku. Selain Informasi dari pedagangpedagang Arab juga ditemulan dari berita Cina dari hikayat Dinasti Tang yang disebutnya
Pulau Mi-li-ki. Pada awalnya yang disebut dengan Maluku yang terdiri dari Ternate, Tidore,
Makian, dan Bacan. Keempat negeri ini disebut dengan "Moloku Kie Raha", artinya " empa
buah
kerajaan (kolano).2
Setelah perjanjian Moti Kalano makian dan dan Moti pindah
kerajaannya yaitu masing-masing ke Bacan dan Jailolo pada masa inilah mulai masuk
perdagang-pedagang Arab jawa dan Melayu.3
Raja pertama Ternate adalah Masyhur Malamo yang memerintah pada tahun 1257-1272.
Pada masa pemerintahan raja ini Ternate sudah mulia mempunyai landasan politik yang
espansionis.. Sepeninggal Masyhur Malamo, Ternate dipimpin secara berturut-turut oleh Kaicil
Yamin (1272-1284), Kaicil Siale (1284-1298, Kamalu (1298-1304), dan Kaicil Ngara Lamo (13041317).. Sepeninggal Mashur Malamo mereka digantikan oleh Sida Arif Malamo. Pada masa ini
Ternate mulai berkembang sebagai bandar niaga yang didatangi oleh berbagai pedagang dari
1
Makalah ini di sampaikan pada Seminar Internasinal dan Workshop dengan Thema Pendidikan di Maluku Utara
Dalam Perpektif Sejarah dan Budaya yang diselengrakan oleh STAIN Ternate bekerjasama dengan Turki
Foundation di Kota Ternate pada tanggal 21 Oktober -23 Oktober 2011.
2
Untuk lebih Jelasnaya Istilah penamaan Maluku dapat dilihat dari Ch. F. Van Fraassen Ternate en
Onderhoorigheden. 1824 : lihat pula M. Adnan Amal, Kepulauaan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku
Utara 1250-1950. Nara Cipta Litera dengan Bursa Kawasan Timur Indonesia (BakTI) 2007
3
Kolonial Tijdschrift, 1934 .hal 129-147
2
Makassar, Jawa, Melayu, Cina, Gujarat, dan Arab. Para pedagang ini mulai menetap dan
membuka pos-pos perdagangan dengan membawa Ternate sebagai Kota dagang
4
Sesudah perjanjian Moti pada abad XIV kolano makiang pindah ke Bacan dan kolano Moti pindak
ke Jailolo. Raja dari kempat kolano itu telah memeluk agama islam, meskipun pada akhirnya abad XV
barulah empat kolano itu menjadi kesultanan demikianlah sejak pertengahan abad XIII itu islam telah di
terima oleh pri bumi. Menurut Valentinjn pada dekade pertama abad XIV telah terdapat orang-orang Jawa
dan melayu sedangkan orang arab dan Jawa telah ditemui pada decade ke empat abad itulah juga. Sangat
boleh jadi orang-orang Jawa dan Melayu serta cina yang telah berada di Ternate .
Memperhatikan posisi Ternate sebagai pelabuhan dagang utama di Nusantara dan peranan orang
Arab dalam perdagangan dan pelayaran di Maluku Utara patut di duga bahwa orang-orang Arab muslim
yang pertama berada di Ternate. Dari sumber oral taradition dituturkan tentang kedatangan empat orang
ulama dari Irak masing-masing syaikh Mansur yang menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera Utara
(pesisir barat Halmahera yang berhadapan dengan Ternate) Syaikh Ya’kub berdakwa di Tidore dan
Makean, Syaikh Amin bersama Syaikh Umar menyiarkan Islam di Halmahera belakang (pesisier Timur
Halmahera). Dalam memori kolektif masyarakat Ternate ke empat syaikh itu merupakan orang arab Islam
yang pertama kali berada di Ternate. Sebagaimana sejarah lisan pada umumnya tidak diketaui waktu
kedatangan empat mubaligh islam itu.
Ketika Kesultanan Islam mulai terbentuk di Ternate pada tahun 1486, Ternate semakin
maju dan menerima Islam sebagai alat politik kerajaan . ketika itu Ternate mulai mendapat nama
gelar Sultan yakni Sultan Zainal Abidin . Setelah diangakat menjadi raja Ternate, nama gelar
kolano diganti menjadi Sultan. Sultan Zainal Abidin tidak hanya melakukan perubahan dalam
masalah gelar, tetapi juga melakukan beberapa perubahan yang mendasar, yaitu: menjadikan
Islam sebagai agama resmi dan melembaga dalam kerajaan dan membentuk lembaga baru yang
di sebut Bobato . Sultan Zainal Abidin adalah seorang sultan yang memiliki perhatian yang besar
terhadap ajaran Islam. Untuk memperdalam ajaran Islam, pada tahun 1495, Sultan Zainal Abidin
4
Sida Arif Malamo membuka Dalam buku Elite dalam Perpektif Sejarah di sunting oleh sartono Kartodirdjo Jakarta
LP3ES 1983.hal 129pasar sebagai tempat pertemuan para pedagang dari luar dengan rakyat Ternate. Sida Arif
Malamo juga bergaul secara luwes dengan para pedagang yang datang dari luar, bahkan ia juga belajar bahasa
Arab dan Cina, serta mengenakan jubah Arab dan pakaian yang digunakan para pedagang Cina. Sida Arif Malamo
sangat menyarankan kepada rakyatnya untuk mempelajari teknologi pembuatan perahu dan cara menggunakan
layar serta navigasi
3
meninggalkan istananya dan pergi berguru pada Sunan Giri di Jawa dan Malaka, yang dipimpin
oleh Sultan Alauddin Riayat Syah
B. Sufisme Dalam Pendidikan di Kesultanan Ternate
Gerakan sufisme pada masa Sultan Zainal Abidin mulai muncul di Ternate. Menurut A.H.
Johns para syaikh sufi pengembara yang berasal dari Timur Tengah memaikan peranan penting
dalam penyebaran agama Islam di Nusantara adalah karena paranan para guru sufi sebagai
pelaksana pendidikan baik yang berkaitan siar Islam maupun pembelajaran dalam masyarakat., Bukti
literature Islam di Jawa dan berbagai Kesultanan di Nusantara menurut Pigeaud memeprlihatkan
adanya karya sastra Islam.Salah satu literature penting adalah Al Tuhfat Al Mursalah Ila Ruh al-Nabi
karya Fadhi Allah Al-Burhanpuri yang ditulis pada tahun 1590. Karya ini sangat terkenal di Nusantara
dan berkembang di berbagai Kesultanan Islam yang dibawa oleh para ulama.
Ulama yang sangat berpengaruh dalam penyebaran sufisme filosofis di Nusantara adalah Hamzah
Alfansuri yang diperkirakan berperan pada abad ke-17 dan Syamsuddin Al Sumartani yang wafat tahun
1630 dan Abdul Rauf Singkel di Aceh yang wafat ada tahun 1693. Ahmad Al-Qusyasyi memperoleh
kemasyhuran atas pengetahuaan dan kerendahan hatinya. Itulah sebabnya banyak muridnya yang
datang dari berbagai negara seperti Hijaz, Yaman, Afrika Utara, India dan Hindia Belanda. Dalam
konteks ajarannya ia menggabungkan syariat dan tasauf dalam keulamaannya. Meraka menguasai
ilmu hadist dan tafsir serta ilmu Tasauf. Dalam hal Mahzad hukum dia menganut ajaran Maliki. Dalam
ilmu tasauf ajaran ini berafiliasi dengan berbagai terekat seperti Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah dan
Yathariyyah. Tidak diragukan lagi bahwa dia dipengaruhi oleh ajara—ajaran aliran Ibnu Arabi, terutama
yang dirumuskan oleh Abd. Al- Karim Al-Jili. Aliran ini berupaya mendamaikan ajaran Wahda Al-Wujud
(kesatuan mahluk) dengan ajaran syariat yang menekankan pentingnya pelaksanaan ajaean-ajaran
syariat dalam sufi.
Ada perbedaan
antara Al-Muradi dan Al-Jabarti mengenai kebangsaan dan tempat kelahiran Mullah
Ibrahim bin Hasan
Syahrani Al-Madani Al-Kurani adalah
seorang Kurdis. Lahir di Syahrazur di
Pegunumgam Kurdistan di perbatasan Persia. Sebaliknya, Aljabarti menunjukkan bahwa dia adalah
seorang Persia yang lahir di Teheran. Ibrahim Al-Kurani belajar di beberapa tempat di Persia, Turki, Irak,
Suriah , Mesir lalu menetap di Medinah. Ibrahim Al-Kurani adalah seorang ulama besar tempat berguru
4
para kalim Ternate. Kebesarannya itu diberikan gelar Syekh para Syekh. Dia sangat ahli dalam berbagai
pemahaman Islam. Pada umumnya karya-karyanya berkaitan dengan Fiqh , tauhid dan tasauf..5
Kepemimpinan kharismatik para kalim memang dihargai lebih tinggi dari pada penguasa lokal,
elite tradisional atau pemimpin informal lainnya. Karena kepatuhan kepada para kalim pada hal-hal yang
dianggap negatif sekalipun seringkali dipercayai dapat mendatangkan sesuatu yang barangkali boleh
dikatakan positif. Dengan keyakinan bahwa setiap perintah Syeikh biasanya mengandung misteri yang
hanya dia sendiri yang lebih tahu.
Interaksi buadaya Islam dalam budaya lokal, ajaran dan tarekat, hinga terbentuknya
kota kesultanan Ternate, menarik dilihat untuk mehami awal berkembangnya pendidikan di
Kesultanan Ternate. Ulama adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan perkembangan
pendidikan di Kesultanan. Ulama merupakan suatu kelompok orang pandai dalam suatu disiplin
atau beberapa ilmu pengetahuan. Dalam perkembangan pendidikan di Kesultanan Ternate
ulama pernah dimanefestasikan tidak hanya seorang ahli di bidang agama dalam pengertian
khususs dan sempit (ukhrowi) , melainkan seorang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan
duniawi. Karena itu dalam dunia Islam dikenal sebutan ulama u-al-kimiyai (ilmuan kimia, Ulama
u-al-tarikhi (sejarawan), Ulama u-al-ijtimari (ilmuan kemasyarakatan),ulama al-fiqhi atau fuqaha
dan lain sebagainya6
Pada sisi lain Ulama dari sudut perpektif keagamaan secara ideal dianggap
sebagai ahliwaris nabi. Nabi juga pernah bersabda raja dan bangsawan yang paling baik adalah
yang mendatangi pintu ulama dan ulama yang paling buruk adalah adalah mereka yang
mengungjungi gapura dan para bangsawan kedudukan ulama lebih unggul darp pada yang lain ,
sesudah ulama baru para raja7
Jika kita cermati secara sosiologis ulama menempati posisi yang penting . Mereka menjadi
pusat dalam hubungan Islam dengan umat Islam atau penganut Islam . itulah sebabnya ulama
lebih sering dianggap sebagi figure yang menentukan dalam pergumulan terbentuknya
Kesultanan Islam yang berperan mengatur berbagai kehidupan seperti pemerintahan, politik
social, cultural dan pendidikan bahkan masalah modernisasi
C. Bobato Kelembagaan Pendidikan Kesultanan
Untuk memahami Islam dalam budaya local akan dijelaskan konsep bobato di Kepulauaan
Maluku. Istilah bobato hanya digunakan dalam masyarakat yang penduduknya beragaman Islam.
Kecuali di pulau Ternate dan pulau Tidore, Selain penduduk yang beragama Islam di luar kedua pula
5
Ibid, hal 102-106
Poeradisastra. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern. Jakarta: Giri Mukti Pasaka 1981
7
Saletore, “ulama” Dalam buku Elite dalam Perpektif Sejarah di sunting oleh sartono Kartodirdjo Jakarta LP3ES
1983.hal 129
6
5
itu juga terdapat penduduk yang tidak memeluk Islam dan yang lazimnya dinamakan halefuru. Untuk
wilayah yang secara nominal dikatakan berpenduduk Islam pun tidak mudah menentukan lapisan
atau golongan mana saja yang terpengaruh oleh agama itu. Namun dapat dipastikan bahwa
golongan bobato di Halmahera bersama keluarga mereka, seperti tampak pada nama-nama mereka
yang akan diajukan kemudian, telah beragama Islam. Sebab itu dapat diasumsikan bahwa golongan
ini juga telah menginternalisasikan nilai-nilai yang berpangkal pada agama Islam
Selain bentuk agama Islam yang resmi dianut golongan bangsawan dan para bobato itu, dapat
diasumsikan pula bahwa di Maluku terdapat pula berbagai tarekat. Paling kurang di Maluku Utara ada
bukti-bukti yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam menjalankan agama itu. Kenyataan
itu tentu berdampak pula pada kolektivitas-kolektivitas di wilayah itu. Kedua masalah tersebut, Islam
seperti yang dilaksanakan di kalangan penguasa dan perkembangan berbagai tarekat .
Bagaimana pun juga, dalam abad-abad 16 dan 17, ketika tersedia lebih banyak keterangan
mengenai wilayah ini melalui dokumen-dokumen Portugis dan VOC, Islam telah menjadi bagian penting
dalam sistem budaya sebagian penduduk Maluku Utara. Kalau di pulau Tidore dan pulau Ternate
seluruh penduduk telah memeluk agama ini secara nominal, maka di pulau-pulau lainnya, terutama di
Halmahera, hanya suatu gelintir dari penduduk pesisir yang secara langsung berhubungan dengan
kedua pusat kekuasaan itu, yang telah terserap di dalamnya, khususnya golongan bobato.
Ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa di masa VOC dengan sistem monopili
perdagangannya, interaksi wilayah Maluku dengan bagian-bagian lain dari Nusantara, khususnya dalam
aspek agama, terhenti. Dalam masa VOC nampaknya penyebaran Islam telah menghasilkan suatu
wajah mendua di Halmahera, yaitu masyarakat pesisir yang memeluk agama Islam, dan masyarakat
pedalaman yang masih menganut agama-agama suku, yang menurut berbagai literatur yang berasal
dari paroh kedua abad 19, cukup kompleks pula keadaannya. Keadaan itu mulai berubah lagi sejak
pertengahan abad 19 ketika pihak Zending mulai menyebar di Halmahera dan menjangkau berbagai
kolektivitas halefuru tersebut
Seperti dikemukakan di atas, untuk komunitas-komunita yang penduduknya beragama Islam,
para pejabat VOC dan Hindia Belanda menggunakan istilah-istilah yang berasal dari bahasa Melayu,
yaitu negeri dan kampung. Keterangan-keterangan yang diperoleh untuk kurun waktu ii menunjukkan
bahwa dalam setiap negeri terdapat paling kurang sebuah bangunan keagamaan Islam. Sayangnya
dalam dokumen-dokumen itu tidak terdapat deskripsi mengenai bangunan keagamaan itu, sehingga
tidak bisa dikatakan apakah yang dimaksud adalah mesjid atau surau. Demikian pula tidak terdapat
6
penjelasan-penjelasan lebih lanjut mengenai ciri-ciri lainnya pada masyarakat negeri atau kampung
yang bisa dijadikan patokan untuk menguraikan kehidupan keagamaan mereka.
Bersamaan dengan kehadiran bangunan-bangunan keagamaan Islam tersebut, dapat pula
suatu jajasan penguasa agama yang melestarikan ajaran-ajaran dan melayani berbagai tirusnya, serta
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat. Dalam dokumen-dokumen tersebut
nampak bahwa setiap negeri atau kampung yang dilengkapi dengan satu atau dua buah mesjid juga
mempunyai para penguasa agama dengan berbagai fungsi seperti modin, imam dan hatibi (khatib).
Selain itu ada pula kalim yang di wilayah-wilayah lainnya di nusantara dinamakan kadi. Tampaknya
kalim lebih tinggi kedudukannya dari para penguasa agama. Perbedaan ini nampak jelas di kalangan
kedatondi Tidore dan Ternate. Kedudukan kalim sering diberikan pada salah satu anggota bangsawan
(dengan gelar kaicili) yang masih sekeluarga dengan sultan yang sedang memerintah; dalam kapasitas
itu tokoh tersebut mendapat gelar kalim ma-ngofa (ma-ngofa menunjukkan status kebangsawanannya).
Di Ternate pun kedudukan kalim diberikan pada keluarga sultan seperti kaicili Abu Bakar, adik
Sultan Ternate, yang pada tahun 1820-an diangkat dalam kedudukan tersebut. Malah putra Raja
Jailolo, yang melanjutkan perjuangan ayahnya yang ditangkap Inggris pada tahun 1811 itu, juga
dijadikan kalim diantara para pengikutnya yang berada di Seram Utara; dalam salah satu suratnya
kepada gubernur Ambon ia menamakan dirinya Kalim Mangofa. Kedudukan kalim sebagai pemimpin
agama yang tertinggi dalam kerajaan rupaya sama sekali tidak terkait dengan terlepas kedudukankedudukan kerajaan lainnya (politik). Dalam berbagai laporan pejabat VOC mengenai pertemuanpertemuan sultan dengan gubernur Ternate, tidak pernah dicantumkan nama orang dengan gelar kalim,
sedangkan nama-nama dan gelar kebangsawanan maupun gelar kedudukan para penguasa kerajaan
lainnya secara lengkap dicatat dengan teliti.. Para pedagang Arab juga baru muncul sejak paroh kedua
abad 19, sekalipun semasa Nuku berkuasa di Tidore ini menganjurkan para orang pedagang Arab
berdagang di Halmahera dan kepulauan Raja Ampat.
C.1 Bobato akhirat
Tidak dapat ditelusuri sampai berapa jauh ikatan-ikatan tarekat juga mencakup pada bobato
akhirat di Halmahera. Suatu hal yang jelas adalah bahwa sebagai penguasa yang disahkan
kedudukannya oleh sultan maka loyalitas para penguasa ini juga ditujukan pada penguasa kerajaan itu,
dan merupakan perpanjangan dari alat kekuasaan sultan di kedaton. Sistem nilai yang memberi
7
legalitas kedudukan sultan sebagai kepala agama (Amir Mukminin) atau pengganti rasul (Tubaddilur
Rasul) juga menjadi sumber legalitas pada kesultanan.
Tidak mudah menelusuri ciri-ciri umum dari golongan ulama tersebut. Untuk kur
un waktu ini
tidak banyak tersedia keterangan dalam sumber sejarah mengenai para penguasa agama tersebut,
kecuali berupa nama-nama yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu. Tampaknya, seperti umumnya
dalam masyarakat tradisional, peran ulama terkait dengan keluarga-keluarga inti tertentu dalam setiap
kampung atau negeri, sekalipun hal ini juga tidak mudah dibuktikan disini karena keadaan sumber
sejarahnya tidak menjangkau sampai ke taraf sistem kekerabatan. Selain itu, keterangan-keterangan
mengenai kegiatan keagamaan mereka pun praktis tidak ada. Demikian pula keterangan-keterangan
mengenai fungsi sosialisasi dari para bobato akhirat dalam masyarakat Halmahera sangat langka dalam
berbagai laporan para pejabat Belanda tersebut.
. Ia terkesan pada kegiatan para bobato akhirat yang dengan tekun melaksanakan pengajian,
melayani upacara-upacara ibadah di mesjid, upacara sunatan, dan pernikahan. Suatu hal yang
terutama menarik perhatian pejabat Belanda tersebut adalah pelaksanaan puasa yang selalu diawasi
dengan ketat oleh para penguasa keagamaan itu. Bahwa para bobato akhirat di Halmahera Timur juga
terkait dengan proses sosialisasi terlihat dari kenyataan, bahwa kebanyakan juga bertindak sebagai
guru bahasa Tidore untuk putra-putra para penguasa negeri. Salah satu fungsi dari pada bobato akhirat
dalam pendidikan adalah
pengembangan dalam pembinaan agama Islam. Sebelum
gerakan
pembaharuan di bidang pendidikan dilaksanakan , pendidikan Islam di Ternate secara garis besarnya
dapat dilakukan dua tingkatan yaitu mengaji Al- Quran dan mengaji lanjutan atau menngaji kitab.
Menngaji Quran atas persetujuan Imam kampong atau Kadi untuk membuka pendidikan apakah di
musallah, rumah atau mesjid. Pendidikan Islam tingkat dasar ini diperuntukkan bagi anak-anak yang
berusi 7-14 tahun. Lamanya proses pendidikan tidak ditentukan tergantung pada ketekunan dan
kemampuan anak didik . Anak yang tekun dan cerdas bias menempuh seluruh proses pendidikan
kurang dari satu tahun.
Dalam lembaga pendidikan mengaji Al Quran pelajaran dimulai dengan belajar mengenal huruf
hijayiah setelah pengenalan terhadap huruf hijayiah murid yang bersangkutan dipindakan ketahap
berikutnya dengan menghafal surat –surat pada Juz Amma. Lembaga pendidikan Mengaji Al Quraan
seperti telah dikemukakan di atas ditemukan hamper seluruh Indonesia seperti digambarkan oleh
Snouck Hurgronje
8
Pengajian Al Quraan ini diberikan secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul
pada salah satu langgar atau serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat
suci dihadapan guru satu persatu dibawah bimbingan selama 1/4 atau 1/5 jam. Keteka salah seorang
murid menghadap guru murid lainnnya dengan sura keras mengulang bacaan kemarin atau lanjutan
pelajaran yang telah diperbaiki gurunya
Di Ternate. Ada angjuran kesultanan hendaknya para ulama dan Kadhi mengajar mengaji di dalam
dusun mengaji dan menyurat tiada dengan pembayaran . tugas ini biasa dilakukan para hatib dan bilal
sebagai anggota penghulu kerajaan di desa dan dusun
Model kedua dalam pengembangan pendidikan di Kesultanan Ternate adalah mengaji Kitab yaitu
jenjang pendidikan yang tinggi.. Materi pelajaran yang dipelajari bukan lagi Al-Quraan melainkan
kitab-kitab bahasa arab yang tidak berharakat yang disebut kitab gundul atau kitab kuning. Kandungan
materi pembelajaran terdiri bahasa Arab fikhi, tasauf , tauhid dan sejarah. Berbeda dengan lebaga
pendidikan tingkat dasar yang hanya dibina oleh para khatib atau bilal tetepi Menngaji kitab dibina
oleh ulama yang telah dipersiapkan Kesultanan, bahkan bahkan Kesultanan mengutus para kalim (kadi)
mempedalam ilmunya ke Mekkah.
Meteri pembelajarannya dimulai dengan pengenalan terhadap
tata bahasa Arab dengan mata
pelajaran yang disebut syaraf (perubahan kata) dan nahwu (tata bahasa). Kita yang dipelajari pada
tahap wal ini natara lain kitab syaraf Galappo, Almutammina, Alfiyah, Al Kaelani dan Al-Jurumiyah.
Setelah murid menguasai bahasa Arab barulah diajarkan kitab-kitab bahasa Arab yang merupakan
materi pendidikan meliputi Fikih,, tafsir hadist. Kitabkitab yang dipelajari antara lain Kitab syafinah
Annajah untuk mata pelajaran fikih . tafsir jalalain untuk mata pelajaran tafsir dan Al-hadist Al-Arbain
An-Nabawiyah untuk mata pelajaran hadist .
C.2. Bobato Dunia
Golongan bobato dunia taraf negeri-induk dapat dikenal dari gelar yang disandangnya, yaitu
sangaji, sedangkan bobato dunia lainnya menggunakan gelar-gelar kimelaha atau ngofamanyira. Antara
berbagai peran penguasa tersebut terdapat suatu pola interaksi yang tetap. Namun, karena keadaan
sumber sejarah, maka yang dapat ditampilkan dengan cukup jelas hanyalah hubungan-hubungan
antara para bobato dalam negeri induk. Antara sangaji dengan berbagai bobato dunia di negeri-negeri
atau kampung –kampung dalam suatu distrik tentu terdapat suatu pola hubungan pula, sekalipun
sumber sejarahnya tidak terlalu banyak.
9
Seperti halnya dengan bobato akhirat, dasar legalitas bobato dunia adalah sultan pula.
Sekalipun mereka berasal dari keluarga-keluarga inti tentu tertentu yang menonjol dalam suatu negeri,
namun pengangkatannya baru dianggap sah kalau telah disahkan oleh sultan. Sayangnya, berbeda
dengan keadaan di Maluku Tengah, di sini tidak terdapat surat-surat pengangkatan yang dibuat oleh
pejabat VOC sehingga sejarah keluarga-keluarga batih ini tidak bisa ditelusuri lebih jauh.
Negeri induk atau soasiwa (hoofdnegeri) merupakan suatu organisasi sosial yang menarik.
Negeri-induk pada umumnya terdiri dari sejumlah kampung di negeri-induk mempunyai kekhususan
sebagai tempat pemukiman berbagai penguasa distrik yang bersangkutan. Pola yang umum berlaku
dalam kurun waktu ini adalah sebagai berikut; penguasa distrik (sangaji) dan keluarganya berdiam di
salah satu kampung dari negeri induk yang pada umumnya dinamakan “Kampung Sangaji” dan hamir
selalu terletak di sebuah sungai atau kali yang juga dinamakan “Air Sangaji (air = sungai). Kampung
utama lainnya dalam negeri-induk didiami oleh anggota-anggota staf penguasa distrik (sangaji)
bersama keluarga mereka. Keadaan di Halmahera Utara lebih kompleks lagi karena di sekitar negeri
induk setiap distrik, terdapat pula pemukiman wakil sultan (utusan) beserta stafnya dan beberapa
gelintir pedagang kecil yang mewakili pedagang-pedagang yang berkedudukan di kota Ternate.
Para bobato dunia di negeri induk mempunyai suatu tanda pengenal status yang khas. Ketika
mendapat pengesahan dari sultan, mereka juga dianugerahi pakaian kebesaran yang terdiri dari sebuah
jubah panjang berwarna hitam dengan sorban berwarna hitam pula yang dikenal dengan nama (destar
noongare) hanya sultan yang berhak menggunakan jubah dan sorban berwarna putih. Para bobato
negeri-induk mempunyai fungsi politik ganda. Sebagai penguasa yang disahkan oleh sultan, mereka
berkewajiban mengawasi kepentingan-kepentingan kedaton diwilayahnya yang berupa upeti dan
pengerahan tenaga untuk hongi (armada kerajaan) serta externatie atau ekspedisi penebangan hutanhutan pala dan cengkeh.
D. Simpulan
Kesultanan Ternate yang eksis sejak abad ke 15 memilki pradaban Islam yang disebut
Bobato. Melaui Para ulama (kalim) Islam berkembang dengan dengan adat local (kalano). Para
kalim bertindak sebagai pujangga istana dengan membentuk kelembagaan Islam sebagai media
pendidikan masyarakat
Untuk memahami Islam dalam budaya local Istilah bobato hanya
digunakan dalam masyarakat yang penduduknya beragaman Islam, Selain penduduk yang
beragama Islam terdapat penduduk yang tidak memeluk Islam dan yang lazimnya dinamakan
halefuru. Untuk wilayah yang secara nominal dikatakan berpenduduk Islam pun tidak mudah
10
menentukan lapisan atau golongan mana saja yang terpengaruh. Namun dapat dipastikan bahwa
golongan bobato di Ternatu sangat berperan mengembangkan pendidikan baik pendidikan Al
Quraan maupun pendidikan al-kitab.
Membaurnya Islam dalam kebudayaan masyarakat local dalam bentuk bobato perlu mendapat
apresiasi dalam rangka pengayaan nilai-nilai kearifan local
yang dapat
dapat memperkaya
berbagai hasanah jatidiri masyarakat local maupun hubungan antara masyarakat local negan
Negara. Kesmuanya itu dapat memperkut integrasi nasional yang menganut prinsip Bhinneka
Tunggal Ika.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, Paramita R. (2008). Bunga Angin Portugis di Indonesia: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis
di Indonesia. Jakarta: LIPI Press bekerjasama dengan Asosiasi Persahabatan dan Kerja Sama
Indonesia-Portugal dan Yayasan Obor Indonesia.
Abdul Rauf, Disertasi tentang Peran Hukum Adat Larvul Ngabal Dalam Penyelesaian Konflik Antar Umat
Beragama Di Kepulauan Kei. (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijga 2008),
A. Rasyid Asba , Ekspor Kopra Makassar, Perebutan Pusat dan daerah Kajian Sejarah Ekonomi
Politik Regional di Indonesia Yayasan Obor 2007
________________, Lapatau Menetang Belanda Sebuah Gerakan Sosial di Tanah Bugis Yogyakarta:
Ombak 2010
________________, Kerajaan Nepo di kabupaten barru , Sebauh kearifan Lokal dalam Sistem Politik
Trdasional Bugis. Yogyakarta: Ombak 2010
A. Difinubun, SP, dkk, Tim Penyusun Sejarah/Hukum Adat Lar Vul Ngabal ( Pemerintah Daerah
Kabupaten Maluku Tenggara 2008), .
Agusta, I. 2007. Aneka Metode Partisipasi Untuk Pembangunan Desa. Blogspot
Al-Qur’an dan Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia.
Amal, Adnan. 2007. Kepulauan Rempah-rempah: Perjanalan Sejarah Naluku Utara 1250-1950. Makassar:
Gelora Pustaka Indonesia-Nala Cipta Letara-BaKTI.
___________. 2010. Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta: Komunitas Bambu.
Azra, Azyumardi. 1999. Jarigan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
_____________. 2002. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.
Bahar, S. (ed), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( Jakarta : Citra Lamtoro Agung Persada 1995).
Bernard L Tanya. Hukum Dalam Ruang sosial. Srikandi, Maret 2006
Braudel, Fernand. (1972). The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Philip II Vol.I.
Paris: Fotana/Collins.
B. Tar haar, Adat Law di Indonesia, Bharatara, Djakarta, 1962.
Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid I (Disadur dan disesuaikan oleh Pradjudi
Atmosudirdjo). Djakarta: Pradja Paramita.
Burke, Peter 2001. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Burhanuddin at all. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Cathart, R.S., and Larry A. Samovar, 1974. Small Group Communication : A Reader.
Chamala, R.S., 1995. Overview of Participative Action Approaches in Australian
Daldjoeni, N. 1998. Geografi Kota dan Desa. Bandung: Alumni.
Dick, Howard.W. “Perdadangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu
Perekonomian Nasional” dalam Anne Booth at all (peny.), 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia
(Diterjemahkan oleh Mien Joebhar). Jakarta: LP3ES (Hal.399-434).
Effendy, Muslimin A.R. 2005. Jaringan Perdagangan: Makassar Abad XVI-XVII. Wonogiri: Bina Citra
Pustaka.
12
Evers, Hans Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara. Makna dan Kekuasaan dalam
Ruang-ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Groeneveldt, W.P. 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa (Diterjemahkan oleh Gatot Triwira dari
"Notes on the Malay Achipelago and Malaka Compiled from Chinese Sources", London, 1888).
Jakarta: Komunitas Bambu.
Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu:
University of Hawai Press
Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara (Diterjemahkan oleh I.P.Soewarsha). Surabaya: Usaha
Nasional. H. Geurtjens, Unit Een Vreemde Wereld.
H.J. Daeng, Dalam A.Montagu (Ed), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2000),
Heribertus Letsoin dkk, Perkawinan Adat Orang Kei ( Tual- Maluku Tenggara, Diterbitkan oleh Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan- 2004)
Jawahir Thontowi, Hukum,Kekarasan dan Kearifan Lokal (Yogyakarta: UII Pres, 2005)
J.A. Pattikayhatu dkk, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara (Ambon : Lembaga
Kebudayaan Maluku, 1998)
Lapian, Adrian Bernard. ”Ternate Sekitar Pertengahan Abad XVI: Catatan Antonio Galvano, Kapitan di
Ternate (1536-1539)” dalam G.A. Ohorella (peny.), 1997. Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutra
(Kumpulan Makalah Diskusi). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Leirissa, R.Z. 1997. "Jalur Sutra: Integrasi Laut dan Darat dan Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutra. "
Ddalam G.A. Ohorella (Edpeny.). 1997. Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutra. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Hal: 27-38).
Leirissa, R.Z. 1996, Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal Abad 19.
Jakarta: Balai Pustaka.
Leirissa, Z.R. at all (tim peny.), 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Leur, J.C. van. 1967. Indonesian Trade and Society: Essays in Asia Social and Economic History. The
Hague W. van Hoeven.
Lihat UUD RI 1945, Pasal 4 ayat (1), presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD.
Muhammad, Syahril. 2004. Kesultanan Ternate: Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik. Yogyakarta: Ombak.
Munoc, P.aul Michel. 2009. Kerajaan-Keajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia:
Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah - Abad XVI)
(Terjemahan). Yogyakarta: Mitra Abadi.
Putuhena, M Saleh. 2006. “Interaksi Islam dan Budaya di Maluku” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gauf AS (ed). Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara. Bandung: Mizan.
(hlm: 335-376).
Rahardjo. 1981. Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya. Yogyakarta: Fakultas Sosial dan
Politik Universitas Gadjah Mada.
Ramlan Surbakti, Pluralisme Daerah Otonom dan Pluralisme Otonomi Daerah, Jakarta: Media Indonesia,
Senin 10 Desember Tahun 2001.
Reid, Anthony. 1993a. Southeast Asia in the Age of Commerce, Vol. II: Expansion and Crisis.
New Haven-London: Yale University Press.
13
Download