Bahasa dan Otak: Sebuah Perspektif Historis

advertisement
“OTAK DAN BAHASA”
(Martriwati)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Use it or lose it” (Gunakan atau ia akan hilang) . Demikianlah sebuah
frasa yang dari dulu sampai sekarang masih sering terdengar di masyarakat.
Sudah jelas yang dimaksud disini adalah nalar atau otak seseorang. Otak
adalah organ tubuh yang kehadirannya ibarat kemudi, sehingga amat vital
dan dibutuhkan peran dan fungsinya. Dengan kecerdasan otak, manusia
diciptakan Tuhan untuk mampu mengatur diri, lingkungan dan dunianya.
Manusia bisa berperan mulia laksana malaikat namun juga bisa terdampar
nista seperti layaknya hewan. Semua itu terjadi, sekali lagi, berkat bantuan
dan peran otak. Oleh karena itu tidak disangsikan lagi otak adalah senjata
dan perbekalan yang demikian berharga yang dimiliki manusia. Maka sudah
sepantasnya apabila manusia mensyukuri karunia Tuhan tersebut dengan
cara mempergunakan dengan benar dan seoptimal mungkin.
Laksana belati, otak adalah peranti tubuh yang statis dan pasif. Ia
hanya akan tajam dan aktif apabila digunakan dan diasah sebaik mungkin.
Namun sebaliknya, bila ia hanya dibiarkan terlantar tanpa perawatan dan
latihan yang memadai, ia pun lama-lama akan lumutan dan berkarat.
Otak adalah organ yang mengontrol seluruh kerja tubuh. Proses
pembentukan sel-sel otak ini hanya terjadi sekali seumur hidup, yakni sejak
dari kandungan hingga usia kurang lebih tiga tahun. Sel-sel otak yang mati
tidak dapat tergantikan oleh sel yang baru. Setelah selesai terbentuk, sel-sel
tersebut akan terus bertambah besar dan kompleks dengan jumlah lebih dari
100 milyar sambungan antar sel. Perkembangan sel-sel otak sangat
bergantung dari setiap rangsangan yang diterima, baik rangsangan yang
positif maupun rangsangan negatif dari sekelilingnya.
Otak terdiri atas beberapa bagian yang masing-masing mempunyai
peran atau fungsi dan lokasinya masing-masing. Gangguan pada masingmasing bagian otak akan menyebabkan fungsi organ tubuh lainnya menjadi
terganggu, termasuk kemampuan berbahasanya. Untuk itu, dalam makalah
ini akan dibahas tentang otak dan perkembangannya, peranan hemisfer kiri
dan kanan, cara penelitian otak serta gangguan atau penyakit yang ada di
otak yang berhubungan dengan kemampuan berkomunikasi (kebahasaan)
seseorang.
B. Permasalahan
Dari uraian diatas yang melatarbelakangi pentingnya peranan otak
bagi manusia dalam berkomunikasi, timbullah pertanyaan-pertanyaan yang
akan didiskusikan dalam makalah ini lebih lanjut.
1. Bagaimana perkembangan otak sejak zaman dulunya?
2. Bagaimana hubungan antara otak dan kemampuan
seseorang?
3. Masalah-masalah apa saja yang terdapat pada otak?
4. Bagaimana lokalisasi dan lateralisasi yang terjadi pada otak?
bahasa
II.PEMBAHASAN
A. Bahasa dan Otak: Sebuah Perspektif Historis
Sejarah panjang studi tentang hubungan antara fungsi bahasa dan
otak dipelopori oleh sejumlah ilmuwan terkemuka yang memiliki pandangan
intelektual tinggi, yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah perkembangan
Psikolinguistik. Pada bagian ini akan dibahas secara ringkas tentang
beberapa ilmuwan dengan keberhasilannya.
Penderitaan yang dialami seseorang mengarahkan pada pandangan
awal bagaimana cara otak bekerja untuk mengendalikan perilaku. Diawali
pada jaman batu, lalu berkembang dengan teknologi yang lebih canggih,
manusia dapat mengetahui berbagai macam cedera pada kepala. Dari
gangguan serta akibat berbagai macam penyakit, para peneliti menemukan
pola perilaku khusus merupakan akibat dari kerusakan otak.
1. Observasi Awal Neorolinguistik
Seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika bernama Edwin Smith pada
tahun 1862 menemukan suatu papyrus scroll yang diduga sebagai akibat
awal dari kerusakan otak. Bagian-bagian dari scroll ini malah telah ditemukan
pada tahun 3000 SM, dan terdapat empat puluh delapan (48) kasus yang
dibahas pada papyrus ini. Kasus-22 menjelaskan bahwa kehilangan
keterampilan wicara kemungkinan disebabkan oleh trauma pada kepala.
Banyak peneliti menyebut trauma ini sebagai ”aphasia” (kehilangan
kemampuan wicara oleh karena kerusakan otak). Trauma (gangguan pada
otak yang disebabkan oleh faktor eksternal) yang dialami manusia melandasi
berkembangnya pandangan manusia terhadap fungsi otak.
Masyarakat Yunani Kuno memiliki suatu pandangan sederhana yang
lebih merupakan spekulasi tentang fungsi otak disamping berbagai
kontribusinya yang lain dalam berbagai bidang. Sebagai contoh, Aristotle
(384 – 322 SM) mengakui bahwa jantung yang melakukan tugas, yang
sekarang diketahui merupakan fungsi otak. Otak dianggap sebagai suatu
sistem penyejuk seperti radiator. Beberapa abad kemudian, teori Aristotle ini
memicu Shakespeare mempertimbangkannya dalam the Mechant of
Venice:”Tell me where is fancy bred, or in the heart or in the head?”
(Shakespeare mempertanyakan letak asal muasal pikiran, di jantung atau di
kepala).
Para sarjana hipokratik (460 – 370 SM) mengobservasi dengan tepat
bahwa cedera otak sering mengakibatkan contralateral paresis yaitu semi
kelumpuhan yang berlawanan sisi. Mereka menemukan bahwa gangguan
wicara umumnya disebabkan oleh cedera otak sebelah kiri dan kelumpuhan
2
pada tubuh sebelah kanan. Namun mereka belum pernah menghubungkan
dua hasil observasi penting tersebut.
Herophilus & Galen, pada abad kedua, mengembangkan ventrikel
atau Teori Sel tentang fungsi otak yang melokalisasi aktivitas otak pada
lubang-lubang yang disebut ventrikel, yaitu tempat dimana diproduksi cairan
otak yang disebut Central Spinal Fluid (CSF). Pada tahun 1452 – 1519,
Leonardo da Vinci, menolak teori Yunani yang menyatakan ventrikel
berperan penting dalam fungsi otak. Melalui analisis pada binatang, ia
mendemonstrasikan teorinya dan membuktikan bahwa jalur-jalur saraf yang
bergerak dari retina mata (saraf optik) tidak berdekatan dengan ventrikel.
Mendekati abad 18, hampir semua gangguan bahasa dan wicara telah
dapat dideskripsikan (Benton & Joynt, 1960). Pada abad 16, sarjana
kedokteran terkemuka bernama Johann Schenk Grafernberg (1530 – 1598)
adalah orang pertama yang menyatakan bahwa gangguan wicara
disebabkan oleh kerusakan otak (afasia), bukan oleh kelumpuhan lidah.
Temuan ini membedakan antara afasia dengan gangguan wicara
motorik/gerak yang disebut dengan disartria, yaitu gangguan kemampuan
mengartikulasi bunyi-bunyi ujaran.
Pada waktu yang hampir bersamaan, G. Mercuriale (1588) pertama
kali mendeskripsikan apa yang sekarang disebut alexia murni (pure alexia)
atau alexia tanpa agrafia (alexia without agraphia). Beliau sangat tercengang
ketika pasiennya dapat menulis tetapi tidak bisa membaca apa yang telah
ditulis. Pada masa ketika sarjana menggunakan bahasa Latin dan bahasa
lokal, kasus pertama afasia bilingual (afasia yang mempengaruhi
penggunaan dua bahasa) didokumentasikan (Gesner, 1770 lihat Benton,
1981). Sarjana ini juga pertama kali mendeskripsikan afasia jargon dan
agrafia jargon dimana ujaran dan tulisan pasien yang terinfeksi mengandung
kata-kata yang tidak bermakna. Selanjutnya pada tahun 1683, Peter Rommel
menemukan pasien dengan afasia akut memiliki kemampuan yang baik
dalam mengulang materi-materi yang sudah dipelajari seperti doa-doa. Sejak
saat itu, retensi ujaran otomatis ini telah didokumentasikan berkali-kali.
Pandangan bahwa bahasa kemungkinan dilokalisasi pada bagian
tertentu dari otak, utamanya di lobus depan (frontal lobe) dikembangkan pada
tahun 1819 oleh Franz Josef Gall. Ahli neuroanatomi terkemuka ini, yang
pertama kali menemukan perbedaan antara jaringan putih dan abu-abu
dalam otak. Beliau adalah penemu cranioscopy (sekarang lebih dikenal
dengan phrenology). Gall yakin bahwa orang-orang yang mempunyai
kemampuan lebih dalam menghafalkan materi-materi verbal dapat dibedakan
dengan jelas bahkan secara kasat mata. Penjelasan tentang fakta ini
beberapa tahun kemudian dikenal dengan hypertrophy (pertumbuhan
berlebihan) dari jaringan otak yang ada di belakang mata. Gall
mempostulasikan sekitar 27 organ mental yang mengarahkan individualitas
seperti kebanggaan, persahabatan, kebijaksanaan dan agama. Hypertrophy
atau atrophy dapat mempengaruhi pola perilaku individu.
Seperti temuan penting sebelumnya, kemungkinan format dasar
temuan Jerison (1977) benar bahwa konsep lokalisasi fungsi dalam otak
3
masih memiliki validitas. Yang terbukti salah adalah tipe kemampuankemampuan mental yang dilokalisasikan Gall. Bahasa dilokalisasikan secara
meyakinkan pada otak dalam berbagai cara yang kompleks, sebagai
fenomena gabungan. Namun, Gall dapat mendokumentasikan kasus-kasus
trauma dan stroke pada korteks depan yang menyebabkan kehilangan
memori verbal. Temuan ini memberikan bukti yang lebih kuat tentang
peranan dari bagian tertentu otak dalam fungsi bahasa.
2. Lokalisasi Fungsi (Neurologi pada Abad ke-19 dan ke-20)
Selama abad ke-17 para peneliti berkonsentrasi untuk memahami
bagian bahasa yang diorganisir dalam otak dengan mempelajari pasien yang
mengalami afasia. Perilaku pertama yang dilokalisasi dalam otak manusia
adalah bahasa artikulasi (lisan) (Young, 1974).
Ahli bedah Perancis Pierre Paul Broca (1824-1880) membuat sebuah
temuan penting. Broca menemukan satu dari berbagai instrumen untuk
craniometry (pengukuran tengkorak kepala dan otak)
Sebagai bapak penemu Antropologi Fisika, Broca sangat terkesan
dengan ukuran otak dan hubungannya dengan umur, jenis kelamin,
intelegensi, ras, dan lingkungan. Area penelitian ini dianggap kontroversial
(lihat Hahn dkk., 1979; Passingham, 1982 untuk pandangan terkini). Broca
adalah milik masyarakat Antropologi yang anggota-anggotanya meneliti
tengkorak kepala dan kadang-kadang melakukan penelitian pada otak
pasien-pasien medis yang telah meninggal. Melalui penelitian-penelitian
tersebut mereka menemukan berbagai perilaku yang berhubungan dengan
bentuk atau ukuran dari otak ataupun tempat kerusakan dalam otak. Selama
pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan masyarakat ini pada tahun
1861, anggota yang lain yaitu Dr Ernest Aubertin menyebutkan bahwa
seorang pasiennya mengalami gangguan traumatik pada bagian depan
otaknya. Ketika Aubertin mengaplikasikan tekanan-tekanan ringan pada area
depan tengkorak saat pasien berbicara, dia akan berhenti pada pertengahan
kata, dan melanjutkan pembicaraannnya apabila tekanan tersebut dihentikan.
Setelah temuan tersebut, Broca menemukan seorang pasien di Paris
bernama Leborgne. Dia telah menjadi pasien tetap di sebuah panti selama 21
tahun dan melalui pasien ini Broca bisa mendapatkan pandangan umum
tentang perkembangan penyakitnya. Pasien ini masuk ke panti perawatan
pada usia 31 tahun oleh karena kehilangan kemampuan berbicara. Dia bisa
memahami apa yang dikatakan orang kepadanya, tetapi dia hanya bisa
menjawab dengan satu kata ”tan” ditambah gerakan tubuh. Jika dirangsang
secukupnya, dia juga bisa memproduksi beberapa kata-kata kasar.
Broca mengundang Dr. Aubertin untuk memeriksa Leborgne untuk
membandingkan gangguan bahasa pasien ini dengan tipe yang dipercayai
sebagai akibat dari cedera lobus depan oleh fisikawan ini. Setelah
pemeriksaan, Aubertin memperkuat diagnosis ini. Ketika Laborgne
meninggal, Broca melakukan otopsi dan mengkonfirmasi tempat cedera
lobus depan terletak pada area konvolusi depan ketiga (gyrus) di bagian
hemisfer kiri.
4
Pada tahun 1863, Broca telah meneliti 20 kasus seperti Leborgne, dan
dari 19 kasus ditemukan cedera menempati bagian posterior dari konvolusi
depan ketiga sebelah kiri (Broca, 1863). Sampel wicara dari afasia Broca dan
sampel-sampel gangguan komunikasi lainnya, yang akan didiskusikan pada
bagian selanjutnya, dapat dilihat pada uraian di bawah ini:
Empat Contoh Gangguan Komunikasi pada Pembicara Bahasa Inggris
A. Afasia Broca. Yes...ah...Monday...er...Dad and Peter H... (his own name),
and Dad...er...hospital...and ah...Wednesday, nine o’clock. Ah
doctors…two…an doctors…and er…teeth…yah. (usaha pasien untuk
menjelaskan bahwa dia ke rumah sakit untuk operasi gigi).
B. Afasia Wernicke. Well, this is... mother is away here working her work out
here to get her better, but when she is looking, the two boys looking in the
other part. One their small tile into her time here. She’s working another
timw because she’s getting, too… (Penjelasan pasien tentang dua orang
anak yang mencuri biskuit ketika punggung ibunya berbalik).
C. Afasia Jargon. All right. Azzuh bezzuh dee pasty hass rih tau dul too,
Aulaz foley ass in duh porler dermas died duh paulmasty kide the, the,
baidy pashty bide uh… laidy faid uh… tiny bride. Uh…uh…orlihmin fee in
a do…but uh, ordimis fihd and it was ahrdimidehsty by uhbuhtray dis
(unintelligible) you do you know. (dalam menjawab pertanyaan: What kind
of work did you do?)
D. Dementia. Well, it’s about half and half. It’s a marble and it’s half and half.
Uhm, that uhm, I’m trying to think what the and ya know and I’ve been
doing all this color work and uhm, I’m trying to think. There’s a white and
there’s a black and there’s a, uhm, uhm, I’m trying to think, uh, it, it’s, like
uhm, oh, what that called? Ym,more of a, oh damn, in the colors that I
have in my book is uhm more vivid, and this is a little darker, and I’m trying
to think, what’s it called purple, more on the purple order this is (dalam
menjawab pertanyaan: Tell me about this marble.)
Perlu dicatat bahwa ujaran pasien pada sampel A kelihatan ragu-ragu,
sederhana dan menggunakan struktur kalimat yang tidak bisa dikenali. Tipe
agramatik dan tidak lancar ini merupakan ciri dari afasia Broca. Pada tahun
1885 Broca yakin bahwa dia telah memiliki cukup bukti untuk menyatakan
bahwa manusia berbicara dengan hemisfer kiri (Broca, 1885, p.384).
Sementara Gall belum melateralisasi bahasa pada lobus depan, Broca telah
menjelaskan bahwa manusia biasanya mengalami lateralisasi kiri untuk
mengartikulasikan bahasa, tetapi bukan untuk pelateralan gerak artikulasi
yang tergantung pada kedua hemisfer dalam derajat yang sama (Broca,
1885, p.384).
Broca yang pertama kali menghubungkan lateralisasi bahasa dengan
pemanfaatan tangan. Dia menemukan teori ini dengan cara yang tidak
sesederhana yang dilakukan Dax (1836, lihat Benton, 1981), yang
5
mengatakan bahwa bahasa selalu pada lateralisasi kiri. Broca juga tidak
mengasumsikan bahwa pengguna tangan kanan adalah mereka yang
lateralisasi kiri dan pengguna tangan kiri adalah mereka yang lateralisasi
kanan. Broca menghubungkan dua jenis penggunaan tangan dan lateralisasi
bahasa dengan perkembangan luar biasa dari hemisfer kiri. Dia juga
mengembangkan kemungkinan plastisitas fungsi otak dengan menyatakan
bahwa:
...cedera pada konvulasi depan ketiga otak sebelah kiri dapat
mengakibatkan afemia permanen (istilah Broca untuk afasia) pada
orang dewasa, cedera ini tidak akan menghambat seorang anak kecil
dalam usahanya belajar berbicara...(Broca, 1885, p.392).
Pada tahun-tahun setelah itu, ada beberapa contoh tambahan tentang
fleksibilitas otak yang masih muda dalam merespon kerusakan otak.
Lenneberg (1967) membuat hipotesis bahwa ada suatu periode kritis dalam
pemerolehan bahasa, dimana saat itu belajar bahasa sudah siap terjadi dan
kerusakan otak tidak memproduksi gangguan komunikasi permanen. Anakanak dapat sembuh kembali dari cedera otak, walaupun perubahanperubahan yang terjadi secara perlahan pada kemampuan linguistik mungkin
dapat terdeteksi.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa di Yunani Kuno bahkan telah
terdapat cukup bukti untuk menentukan lateralisasi fungsi. Mengapa asosiasi
ini tidak dibuat? Kemungkinan untuk alasan yang sama bahwa pandanganpandangan Broca ditahan ketika dia mengemukakannya. Sebagai contoh
dalam mendiskusikan pandangan-pandangan ini pada tahun 1865, Laborde
(dikutip dalam Berker dkk, 1968) menyatakan kesulitan untuk menerima
bahwa ”dua bagian organ yang sama yang situasi, ukuran dan struktur
anatominya identik dan simetris, dapat mempunyai fungsi yang berbeda.”
Premis bahwa hemisfir identik secara anatomis menjadi keliru, dan
Broca mendemonstrasikan bahwa kenyataannya memang demikian. Dia
menganalisis 37 otak dan menemukan bahwa berat rerata hemisfer kanan
lebih berat dari pada hemisfer kiri, namun berat rerata lobus depan kiri lebih
besar dari yang kanan (Broca, 1875). Kedua temuan ini didukung oleh
penelitian terkini.
Otak Laborgne yang diawetkan dianalisis lagi dengan teknik
neuroimaging yang dikenal dengan CT Scan atau Computerized trans-axial
tomography. Analisis CT Scan modern ini menunjukkan area terdekat lain
dari otak yang berimplikasi pada bahasa dan proses ujuran. Analisis ini
dilakukan oleh seorang ahli saraf bernama Carl Wernicke (1848 – 1904),
area otak ini kemudian disebut area Wernicke. Wernicke adalah orang
Jerman yang belajar dengan Sigmund Freud (1856 – 1939) dan Theodore
Meynert (1833 – 1892), adalah seorang ahli neurologi yang mempelajari
saraf auditori yaitu saraf otak yang paling kompleks dan elusif, yang dimulai
dari telinga menuju ke korteks. Area paling tinggi dari pendengaran
dinamakan girus Heschi dan tertanam jauh di dalam lubang Sylvian. Area
yang menjadi daya tarik penelitian Wernicke berdekatan dengan area kortikal
6
pendengaran ini. Kerusakan pada area ini mengakibatkan gejala-gejala yang
tidak sama dengan hasil observasi Broca.
Contoh khusus afasia Wernicke digambarkan pada sampel B di atas.
Berbeda dengan afasia Broca, pasien-pasien ini lancar dan aktif berbicara
sehingga mereka diistilahkan logorrheic. Hal yang paling penting adalah
ujaran pasien tersebut mempunyai struktur gramatika yang dapat diamati,
namun ujarannya tidak bermakna, seperti ditunjukkan oleh susunan kata
random pada frase ”one their small tile into her time here.” Pasien dengan
afasia Broca sangat menyadari masalah bahasa mereka, sementara pada
pasien dengan afasia Wernicke biasanya tidak sadar bahkan cenderung
mengingkari bahwa mereka sakit (anosognosia). Baik afasia Broca maupun
afasia Wernicke mengalami masalah pemahaman, tetapi masalah tersebut
lebih serius pada afasia Wernicke. Banyak pasien Wernicke memahami
sesuatu yang disampaikan kepada mereka tetapi kehilangan arah ketika
mereka memberikan respon. Beberapa pasien memproduksi jargon seperti
pada sampel C yang menggunakan kata-kata ”Jabberwocky” yang tidak
terdapat dalam bahasa Inggris, seperti kata-kata porler, demass, dan
ahrdimidehsty. Bahkan ketika jargon itu tidak ada, ujaran mereka dengan
cepat menjadi tidak bermakna dan penuh dengan kata-kata yang tidak tepat.
Sesuai dengan contoh ujaran dan pembahasan yang telah
diilustrasikan sebelumnya, afasia Broca dan Wernicke sangat berbeda.
Pasien afasia Broca tidak lancar berbicara dan menggunakan bahasa yang
terkadang terlihat mudah, kadang sulit dan tidak gramatika (kehilangan
morfem gramatika penting), walaupun pemahamannya cukup beralasan.
Sedangkan afasia Wernicke, kelihatannya lancar berbahasa dan
menggunakan ujaran-ujaran sulit yang panjang, namun memiliki sedikit
makna. Ujaran mereka penuh dengan neologisme (kata-kata tidak
bermakna). Mereka kelihatan tidak teratur pada kemampuannya memahami
pembicaraan orang lain maupun hasil pembicaraannya sendiri.
Kemudian, Wernicke bekerjasama dengan ahli neorologi Ludwig
Lichtheim (1885) dan menghasilkan sebuah klasifikasi berbagai afasia yang
telah diobservasi dan afasia-afasia lainnya yang belum dideskripsikan
(Wernicke,
1906).
Model
Wernicke–Lichtheim
didasarkan
pada
pertimbangan-pertimbangan neuroanatomi dan memprediksi beberapa akibat
komunikatif dari cedera pada berbagai bagian otak. Model ini telah menjadi
model klasik afasia dalam neurologi dan telah dielaborasi oleh seorang ahli
neurologi Amerika terkemuka, Norman Geschwind (Geschwind, 1974). Dari
awal, model ini ditentang banyak orang (Goldstein, 1948; Head, 1963; Cole &
Cole, 1971) dan saat inipun masih tetap ditentang. Meskipun model ini diakui
sederhana, dan terbukti cukup fleksibel (Goodglass, 1988). Hal ini
disebabkan karena model tersebut mempunyai makna neurologi yang baik.
Model ini merupakan perkiraan awal dari tujuan utama melokalisasi ujaran
dan fungsi-fungsi bahasa dalam otak.
Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas
pertimbangan-pertimbangan
anatomis yang berkontribusi terhadap
perkembangan model afasia tersebut, yang didalamnya akan meneliti
7
anatomi otak dan sistem saraf pusat, serta menganalisa lebih mendalam
perilaku-perilaku yang disebabkan oleh kerusakan berbagai bagian dari
sistem ini.
B. Neuroanatomi Fungsional dan Neuropatologi
1. Struktur Neuroanatomi yang Berhubungan dengan Ujaran
dan Bahasa.
Sistem saraf pusat (CNS) adalah sistem saraf yang terletak di dalam
struktur tengkorak kepala (cranium) dan tulang punggung (vertebral column).
Sistem saraf ini juga disusun oleh tiga lapisan membran yang disebut
meninges, yang berada dalam Cerebral Spinal Fluid (CSF), yang
diproduksi pada empat ventrikel otak. Meskipun berat otak sangat kecil
dengan rata-rata 3,5 pon, namun otak memanfaatkan seperlima dari suplai
darah pada tubuh.
Struktur yang paling tinggi (rostral), disebut korteks serebral. Dalam
bahasa Latin korteks bermakna batang seperti batang pohon. Tampilan
umumnya ditandai oleh bukit-bukit (girus) dan lembah-lembah (lubanglubang) yang namanya mendapat pengaruh dari ahli anatomi abad
pertengahan. (Sesungguhnya, kebanyakan struktur dasar sistem saraf pusat
mendapatkan makna awal namanya dari bahasa Yunani atau Latin.
Mempelajari makna ini, membantu kita mengingat nama-nama tersebut).
Pada hakekatnya, penjelasan tentang tampilan korteks yang ukurannya
sekitar 2,5 kaki persegi ditentukan dengan cara seperti melipat suatu
lembaran yang sama ukurannya pada perbatasan-perbatasan kranium.
Korteks dibagi dua yaitu belahan kiri dan belahan kanan. Dua belahan
ini adalah hemisfer serebral yang dihubungkan oleh jalur fiber (commissures),
yang paling besar yang disebut corpus collosum.
Walaupun dua hemisfer kelihatannya identik tetapi sesungguhnya dua
hemisfer tersebut tidak identik. Perbedaan bentuk diantara keduanya saat ini
didaftarkan secara ekstensif. Walaupun bahasa pada kebanyakan manusia
dilateralisasikan pada hemisfer kiri, namun tidak demikian halnya untuk
artikulasi yang dilakukan oleh kedua hemisfer ini. Telah terbukti bahwa
penggunaan tangan terkait dengan pemanfaatan otak. Perilaku bahasa
dilakukan oleh area kortikal yang berbeda (loci) yang terletak di dalam lobus
korteks yang berbeda.
Ketika Gall memperkenalkan perbedaan antara bagian jaringan putih
dan abu-abu dalam otak, Gall merujuk pada fiber-fiber saraf dan kelompokkelompok sel saraf (neurons). Secara umum, otak menyerupai sebuah kue
lapis dengan lapisan-lapisan yang berganti-ganti antara dua bagian ini. Pada
bagian terdalam dari otak, terdapat sejumlah neuron, diencephalon (diantara
otak). Neuron ini merupakan lapisan pertama jaringan berwarna abu-abu.
Struktur ganda ini dibentuk oleh sejumlah komponen yang berfungsi sebagai
pusat dari semua sensasi yang datang kecuali sensasi penciuman (olfaction)
sebelum bergerak menuju ke korteks. Neuron juga berperan penting yaitu
memberikan umpan balik motorik ke korteks. Dorsal thalamus, salah satu
komponen dienchephalon, dilateralisasi seperti bagian luar korteks.
8
Kerusakan pada bagian luarnya dapat menyebabkan afasia dan gangguan
artikulasi disartria (Kennedy & Murdoch, 1989). Lapisan-lapisan otak
berwarna putih terbentuk dari fiber-fiber naik turun dari dan menuju ke
korteks. Fiber-fiber ini mengelilingi diencephalon yang disebut dengan kapsul
internal.
Lapisan selanjutnya dari otak berwarna abu-abu disebut basal ganglia.
Struktur kompleks ini berperan ganda yaitu mengontrol gerak dan juga
berperan dalam fungsi kognitif. Kerusakan pada basal ganglia akan
menyebabkan ketidakmampuan gerak (hypokinesia) seperti pada penyakit
parkinson, atau kelebihan gerak (hyperkinesia) seperti pada penyakit chorea
Huntington dan gemetaran (tremor). Kerusakan daerah ini juga dapat
menyebabkan disartria dan afasia.
Di sekeliling basal ganglia terdapat lapisan otak berwarna putih lain
yaitu kapsul eksternal yang di luarnya terletak lapisan kortikal, yaitu korteks
serebral. Di bawah hemisfer serebral terdapat serebelum (otak kecil). Struktur
ini memegang peranan penting dalam kontrol motorik bekerjasama dengan
basal ganglia, diencephalon dan korteks. Kerusakan pada serebelum
mengakibatkan gangguan koordinasi gerak (afaxia) dan tremor pada
gerakan-gerakan bebas. Disartria bisa terjadi karena kerusakan pada
serebelum. Saat ini belum ada masalah-masalah bahasa yang dilaporkan
sebagai akibat dari kerusakan area ini.
Struktur otak yang paling dasar adalah batang otak (brain stem) yang
dibentuk dari otak tengah, pon (jembatan), dan medulla (marrow). Bagian ini
adalah bagian terpenting oleh karena bagian ini berfungsi mengatur jantung
dan paru-paru.
Bagian-bagian lainnya dari sistem saraf pusat terdiri dari saraf tulang
belakang (spinal cord) yang terletak di dalam tulang belakang. Spinal cord
mengontrol langsung fungsi-fungsi motorik dan sensori dari seluruh tubuh
kecuali area wajah. Spinal cord manusia sesungguhnya tidak otomatis
(nonautonomous), artinya bahwa semua fungsi-fungsi tubuh pada akhirnya
dikontrol dari otak melalui spinal cord. Spinal cord pada manusia tidak dapat
berfungsi terpisah dari otak. Itulah sebabnya pada kasus patah leher dapat
menyebabkan kelumpuhan seluruh tubuh bagian bawah leher.
Sistem saraf periferal (PNS) mengarahkan semua komponenkomponen sisten saraf yang terletak di luar tengkorak dari sistem saraf pusat.
Termasuk di dalamnya adalah saraf kranial yang keluar secara langsung dari
kranium dan saraf spinal yang keluar secara langsung dari tulang punggung.
Saraf kranial berperan penting dalam mengontrol fungsi-fungsi pengelihatan,
penciuman, pendengaran dan sensasi wajah. Saraf kranial khusus berfungsi
krusial dalam phonation (aktivitas laring atau suara) dan gerak lidah untuk
artikulasi.
2. Bagaimana Ujaran Dikontrol oleh Otak
Bahasa bukanlah satu-satunya aspek spesifik spesies perilaku
komunikatif manusia; namun ujaran merupakan aspek khusus perilaku
manusia (Dingwall, 1957). Darley, dkk. (1975b) memperkirakan bahwa ujaran
9
melibatkan paling sedikit 100 otot dan setiap otot tersebut dikontrol oleh
banyak neuron motorik. Pada suatu ujaran normal dihasilkan sekitar 14 bunyi
per detik, ini berarti bahwa diperlukan peristiwa neuromuscular sebanyak
140.000 per detik untuk berbicara.
Penelitian mengungkapkan (Kuypers, 1981) terdapat minimal tiga
sistem berbeda pada semua primata termasuk manusia. Sistem pertama
mengontrol gerak khusus jari-jari (digits), sistem kedua mengontrol gerak
bebas tangan dan lengan, dan sistem ketiga mengontrol gerakan-gerakan
postur dan batang tubuh timbal balik (bilateral trunk), serta gerakan-gerakan
anggota badan lainnya (limb). Kekacauan pada ketiga sistem kontrol motorik
ini biasanya dapat dilihat pada afasia global dimana pasien, yang hanya
memiliki kemampuan ujaran, bahasa atau kemampuan melaksanakan
gerakan-gerakan anggota badan tertentu yang minimal (ideomotor praxis),
mampu merespon suruhan-suruhan aksial kompleks seperti stand up, turm
around, go to the door, bow, dan seterusnya.
Sistem yang paling baik untuk sistem kontrol motorik ujaran adalah
sistem ”finger”. Sistem ini merupakan sistem yang paling sempurna pada
primata khususnya simpanse dan manusia. Sistem ini berhubungan dengan
fiber-fiber jalur piramida yang melewati batang otak ataupun saraf tulang
belakang. Fiber-fiber yang menjadi pusat perhatian bukan hanya fiber yang
melewati, tetapi juga yang berkontak langsung dengan neuron-neuron
motorik baik pada batang otak ataupun saraf tulang belakang.
Sistem ini merupakan skema homonculus gerak terkenal (”manusia
kecil”) dari pengaturan gerak yang diajukan oleh ahli bedah saraf Wilder
Penfield (1891 – 1976). Penfield menerangkan area-area fungsional pada
otak dengan merangsangnya secara elektrik. Oleh karena otak tanpa
reseptor rasa sakit, rangsangan tersebut dapat dilakukan pada pasien yang
sadar dengan anastesi lokal sebelum dilakukan proses pengelihatan medis
dari jaringan neuron yang sakit. Ahli bedah saraf harus menghindari merusak
area ujaran dan bahasa pada korteks dan cara melokasikan area-area ini
adalah melalui stimulasi otak elektrik (ESB). Penfield merupakan seorang
pelopor di bidang ini, dan bukunya Speech and Brain Mechanism meringkas
temuan-temuannya yang sangat terkenal (Penfield & Roberts, 1959). Pada
bukunya dijelaskan bahwa area korteks homunculus kecil yang kaku, yang
mengontrol fungsi berbagai bagian tubuh. Besar kecilnya ukuran kepala dan
lidah cenderung berkaitan dengan tubuh, ini disebabkan oleh adanya lebih
banyak area kortikal secara proporsional diperuntukkan pada fungsi kepala
dan lidah dari pada bagian tubuh. Perlu dicatat bahwa meskipun banyak area
berdekatan antara satu dengan yang lain secara kortikal yang mengatur
bagian-bagian tubuh yang berdekatan (pinggang ke dengkul ke mata kaki
dan ke jari-jari kaki), namun homunculus bukanlah fotokopi akurat dari
seorang manusia. (Sebagai contoh perhatikan perkiraan dari leher dan ibu
jari tangan dalam representasi kortikalnya).
Aspek jalur piramida yang menjadi topik menarik dalam pembahasan
muncul dari bagian motorik (area Brodman 4), tempat dimana homunculus
berada dan secara khusus bagian rendah tubuh dimana wajah dan beberapa
10
organ wicara direpresentasikan. Fiber-fiber pada area ini bergerak ke bawah
dan melewati batang otak yang menghubungkannya dengan saraf (dalam hal
ini saraf kranial) yang terdapat pada tengkorak untuk mengontrol otot-otot
ujaran. Ada 12 pasang saraf kranial pada manusia (binatang-binatang lain
mempunyai lebih). Dari 12 pasang saraf tersebut, beberapa saraf sensori,
beberapa saraf motor (gerak), dan beberapa lainnya merupakan gabungan
keduanya. Semua saraf ini dapat dikatakan berkaitan dengan aspek
komunikasi manusia. Disini akan dibahas saraf-saraf yang berhubungan
dengan produksi ujaran misalnya saraf kranial kelima (trigeminal) yang
mengatur dengan baik fungsi gerak dan fungsi sensori untuk bagian rahang
dan wajah. Saraf ketujuh (facial), mengontrol fungsi gerak dan sensori hampir
pada semua otot wajah yang mampu menggerakkan aspek artikulasi dan
ekspresi wajah. Saraf kesepuluh (vagus), mengontrol aspek-aspek fungsi
laryngeal yang penting untuk memperoduksi suara, dan saraf keduabelas
(hypoglossal), mengontrol gerak lidah yang penting untuk artikulasi. Saraf
kranial kedelapan adalah saraf auditori yang telah dibahas sebelumnya.
Masih ada lagi saraf kranial lain yang bertanggung jawab untuk aspek
pengelihatan, gerak, mata, dan olfaction (penciuman), namun tidak akan
dibicarakan secara detail.
Walaupun beberapa saraf kranial memegang peranan penting dalam
vokalisasi dan artikulasi, saraf-saraf ini belum cukup diteliti pada manusia
ataupun primata bukan manusia untuk menentukan perannya yang tepat
dalam produksi ujaran. Fisiologis Chechnya, J. Krmpotic (1959) memaparkan
bahwa panjang dari saraf-saraf ini dan diameternya sangat bervariasi. Ada
dua faktor yang terkait dalam kecepatan konduksi gerak saraf. Kondisi ini
memunculkan satu masalah yang belum terpecahkan yaitu bagaimana
aspek-aspek yang bervariasi dari jalur vokal saling bekerjasama dalam
produksi ujaran.
Evolusi Kemampuan Komunikatif Manusia
Pendekatan yang lain yang dapat memberikan pandangan
bagaimana kemampuan komunikatif manusia dimediasi oleh otak
adalah dengan mempelajari perilaku komunikasi pada spesies lain
yang berhubungan dekat dengan manusia. Tidaklah mungkin bahwa
ujaran dan bahasa muncul sebagai mutasi genetik tunggal tetapi
lebeih cenderung merupakan perilaku kompleks yang berkembang
bertahap sesuai dengan waktu. Toulamin (1971) memberikan opininya
bahwa perilaku-perilaku fisiologis tertentu ketika digunakan untuk
tujuan-tujuan nonlinguistik akhirnya menjadi berhubungan secara
behavioral dengan fungsi-fungsi bahasa.
Penelitian terbaru yang menggunakan kera dapat mengidentifikasi
area-area yang apabila mengalami kerusakan dapat mengakibatkan
gangguan atau hilangnya vokalisasi. Area vokalisasi serupa juga
terdapat pada manusia, dan kerusakan pada area ini mengakibatkan
gangguan yang sama pula. Korteks cingulate kera dan area gerak
suplementer (secara sederhana menyerupai area Brodmann 6 pada
manusia) berperan penting untuk inisiasi vokalisasi terkondisi tetapi
11
bukan untuk produksi bunyi-bunyi dalam (innate calls).
Kontrol dari vokalisasi primata bukan manusia berakhir pada
tingkat subkortikal, yang cenderung tidak sama dengan representasi
kortikal manusia dari kemampuan-kemampuan bahasanya. Kerusakan
tunggal atau ganda pada area-area korteks kera, yang dapat
dibandingkan dengan area bahasa manusia, tidak mengakibatkan
efek-efek serius pada vokalisasi mereka (Steklis & Raleigh,1979;
Passingham, 1982; Dingwall, 1988).
3. Sel-Sel Saraf dan Hubungannya: Landasan Semua Perilaku
Otak dibentuk oleh dua tipe sel yaitu sel saraf (neuron) dan sel perekat
(glia). Menusia memiliki jumlah sel yang paling besar walapun binatang lebih
besar dari manusia dalam ukuran tubuh dan berat otak. Semua sel-sel ini
dapat disambungkan bersama-sama, namun kenyataannya sel-sel tersebut
tidak bersatu. Sebuah lubang (synapze) dalam proporsi kecil ada diantara
sel saraf dengan prosesnya (axon dan dendritis) dan sel-sel ini (biasanya
banyak) terkait dengan lubang tersebut. Berseberangan dengan lubang ini,
terdapat transmisi yang dihasilkan melalui perantara kimiawi, dan perantara
kimiawi ini disebut dengan neuro-transmitters. Hakekat kehidupan
sesungguhnya terletak pada sel-sel mikroskopik ini, yakni membran dan saraf
kimiawi. Komentar Sherrington pada awal bagian ini menggambarkan
keingintahuan yang dia rasakan terhadap peristiwa-peristiwa yang
berlangsung pada sel-sel ini.
Satu cara untuk menganalisis area otak adalah melalui
cytoarchitecture yaitu pengorganisasian sel-sel, bentuk dan lapisannya. Satu
cara yang sering digunakan sebagai rujukan adalah cara yang ditemukan
oleh ahli anatomi Jerman, Korbinian Brodman, pada tahun 1909 (gambar
2.9). Sampai saat ini jumlah dari pemetaan Brodman (52 area keseluruhan)
biasanya digunakan sebagai pokok-pokok rujukan. Tabel yang mengikuti
gambar 2.9 dapat digunakan untuk membantu pemahaman tentang lokasi
dan fungsi dari area yang ditunjukkan Brodman pada korteks serebral.
4. Masalah pada Otak: Neuropatologi
Banyak masalah yang mungkin terjadi pada sistem yang kompleks ini.
Pada tabel 2.2 pada buku Psycholinguistics (Gleason dan Ratner, 1998: 70)
disebutkan beberapa tipe neuropatologi umum yang berhubungan dengan
gangguan komunikasi yang diakibatkannya.
Penyakit cerebrovascular membunuh neuron dengan mengurangi
suplai darah, sehingga menyebabkan neuron kekurangan glukosa dan
oksigen. Penyakit lain seperti trauma, tumor, dan hidrosefalus
menghancurkan jaringan saraf dengan memproduksi gumpalan-gumpalan
yang terdiri dari darah, sel glial atau cairan zerebrospinal dalam kranium.
Gumpalan ini bahkan dapat mengakibatkan pembengkakan jaringan saraf di
sekitar meninges atau melalui foramen magnum (lubang pada bagian bawah
tengkorak yang menghubungkan spinal cord dengan batang otak). Beberapa
penyakit seperti multiple sclerosis mengganggu konduksi impuls saraf
dengan merusak penutup myelin dan axon yang dibentuk dari sel-sel
12
oligodendroglial pada CNS dan sel-sel Schwann pada PNS. Parkinson dan
chorea Hantington disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmitter
yang mengganggu fungsi basal ganglia. Penyakit-penyakit lainnya seperti
myasthenia gravis terjadi karena penurunan fungsi reseptor neurotransmitter
yang terletak pada otot-otot (lihat Gitroy & Holliday, 1982, pedoman yang
komprehensif dan lengkap tentang neuropatologi)
5. Penelitian terhadap Konsekuensi dari Kerusakan Kortikal.
Sebelumnya telah dibahas afasia Broca (yang diberi nama afasia
gerak kortikal). Beberapa istilah umum untuk kondisi yang sama adalah
afasia ekspresif atau afasia tidak lancar (expressive atau non fluent aphasia).
Broca mengemukakan bahwa kondisi ini diakibatkan oleh cedera pada
konvolusi depan ketiga. Daerah ini terletak di depan area permukaan dari
area gerak dan dinamakan area Broca. Cedera pada bidang gerak ini dapat
menyebabkan gangguan gerak saraf ujaran yang disebut disartria. Pasien
disartria mengalami kesulitan dan ketidaktepatan dalam artikulasi, walaupun
kemampuannya memformulasi bahasa masih utuh.
Area yang dijelaskan Wernicke mengakibatkan afasia sensori kortikal
(cortical sensory aphasia)juga disebut dengan afasia reseptif atau afasia
lancar, terletak pada posterior ketiga dari girus temporal pertama. Area ini,
yang ditunjukkan dapat meluas pada lembah dalam yang disebut lubang
Sylvian, terletak di belakang area kortikal untuk auditori (girus Heschi) dan
dikenal dengan nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya. Di
belakang area Wernicke terdapat girus angular yang memegang peran
penting dalam proses mengakses kata-kata atau mengingat kata. Kerusakan
pada area ini dapat menyebabkan gangguan yang disebut anomia, dimana
pasien mengalami kesulitan dalam menamai benda-benda, walaupun dia
mampu memahami kata-kata dengan baik.
Anggaplah bahwa area Wernicke dan girus Heschi masih utuh, tetapi
keduanya dipisahkan oleh kerusakan yang disebabkan oleh stroke atau luka
tembak. Apakah pasien dapat mendengar? Dapatkah dia memahami ujaran
yang dikatakan kepadanya? Tidak, sebab sinyal-sinyal auditori terhalang
untuk sampai pada area Wernicke oleh kerusakan tersebut. Gangguan ini
disebut afasia sensori subkortikal (subcartical sensory aphasia) dan sekarang
dikenal dengan tuli kata murni (pure word deafness). Pasien dengan
gangguan ini dapat menyatakan: “I can hear what you say but it just doesn’t
compute.” Pasien ini mampu berbicara, menulis, dan membaca secara
normal. Mereka mungkin mampu membedakan bunyi-bunyi yang bukan
ujaran tetapi mereka tidak mampu mengintepretasikan ujaran mereka sendiri.
Apa yang mungkin terjadi pada bagian gerak (output), jika area Broca
terputus dengan permukaan area dari saraf motor atau jikalau penghubung
antara area Wernicke dan area Broca terganggu? Pada kasus pertama,
pasien dapat memahami apa yang dikatakan kepadanya karena area
Werniche utuh, namun pasien tidak mampu dalam ujaran volitional, dan
dalam mengulang ujaran sebab area Broca tidak bisa mengontrol output
gerak ke saluran vokal. Ini terjadi karena area Broca tidak tersambung
13
dengan saraf gerak. Lichtheim (1885, pp. 449-459) mendokumentasikan
sejumlah kasus afasia gerak subkortikal.
Pada kasus kedua yaitu afasia konduksi, yang memiliki ciri yang
berbeda. Oleh karena area produksi ujaran dan pemahaman auditori utuh,
output pasien ini masih terbentuk dengan baik dan mereka memahami
hampir semua yang mereka dengar. Tetapi karena pesan-pesan tidak dapat
bergerak melalui arcuate fasciculus antara area auditori dengan area
produksi ujaran, pasien tidak mampu mengulang apa yang didengar,
walaupun mereka dapat memahami pesan tersebut.
Wernicke dan Lichtheim juga mengusulkan sebuah konsep bahwa
kerusakan otak juga dapat mengakibatkan dementia atau agnosia. Contoh
percakapan dari seorang pasien dementia diberikan pada tabel 2.1 sampel D
di atas. Yang menjadi masalah pada bahasa pasien ini adalah konsep dari
bahasa. Jadi, walaupun kemampuan memproduksi bahasa masih ada, tetapi
proses berpikir atau pengambilan ide mengalami gangguan.
Kita telah mengobservasi bahwa kerusakan otak dapat memutuskan
hubungan antara ujaran dan bahasa (pada kasus disartria) dan antara
bahasa dengan ujaran (pada kasus afasia jargon). Dapatkah kita bayangkan
ujaran dan bahasa tanpa ide atau sebaliknya? Pemutusan hubungan seperti
ini bisa terjadi.
Sebagai contoh adalah seseorang yang menderita kerusakan pada
hampir seluruh area di bawah garis tanda pemisah pada gambar 2.10
(Gleason dan Ratner, 1998: 71). Area perysylvia ini (area yang mengelilingi
lubang sylvian) berisi hampir seluruh korteks yang menyangkut bahasa.
Umpamanya, kerusakan ini dapat dibalik. Seperti apakah gangguan yang
terjadi? Pasien mengalami kerusakan pada area Broca dan Wernicke serta
semua bagian diantara dua area ini. Pasien ini akan kehilangan semua
kemampuan ujaran dan bahasa. Tipe afasia ini (yang tidak ditemukan oleh
Wernicke) bisa terjadi dan diberi nama afasia global.
Seorang pasien dengan afasia berlawan yang tidak lumrah ini
disebabkan oleh epilepsi, yaitu aphasia paroxysmal, ditemukan oleh Lecours
dan Jonnette (1980). Kasus ini memberikan pandangan pada konsekuensikonsekuensi seperti afasia dan juga keterpisahan antara pikiran dan proses
bahasa. Brother John, seorang biarawan Katolik secara periodik mengalami
serangan-serangan dari epilepsi. Serangan ini tidak membuatnya tidak
sadarkan diri namun membuatnya mengalami afasia global. Lecours dan
Jonnette mendeskripsikan sebuah serangan yang terjadi selama dalam
perjalanan dengan kereta api dari Italia ke Swedia. Walaupun kehilangan
produksi ujaran, pemahaman, dan kemampuan membaca, Brother John
dapat turun dari kereta api pada pemberhentian yang tepat, menemukan
hotel, menemukan tempat-tempat lain untuk tinggal ketika diberitahu dengan
gestur bahwa hotel tersebut penuh, dan memesan makan malam di restoran
dengan menunjuk pada item-item pada menu dan berharap mendapatkan
apa yang dia sukai. Pada pagi berikutnya, semua keterampilan bahasanya
kembali normal.
14
Kasus ini memberikan konfirmasi yang lebih akurat terhadap kasuskasus afasia global lainnya (Gordon, 1990) sehubungan dengan proses
penyimpanan ide atau pikiran tanpa kehadiran bahasa, dan untuk
keterpisahan antara bahasa dan kompetensi kognitif. Keterpisahan antara
kapasitas kognitif dan bahasa juga akan dibahas pada bab 8 pada
pembahasan tentang pemerolehan bahasa pada anak-anak.
Keterpisahan yang sebaliknya yaitu retensi kemampuan-kemampuan
bahasa dengan proses berpikir yang utuh, juga telah diobservasi. Cedera
yang terjadi pada kasus ini terletak di atas garis pemisah yang ditunjukkan
pada gambar 2.10 dan diberi nama isolasi area ujaran atau afasia
transkortikal gabungan. Deskripsi yang paling rinci dari kasus ini ditemukan
oleh Whitaker (1976). Pasien yang diberi kode HCEM, yang ditemukan
berpenyakit Pick setelah otopsi, merupakan pasien yang tidak mampu
berkomunikasi sama sekali. Pasien ini tidak mampu berbicara spontan dan
juga tidak memiliki pemahaman bahasa. Pasien ini menghabiskan hampir
semua waktunya dengan menonton TV di ruang tamu dari tempat perawatan.
Namun dapat didemonstrasikan bahwa HCEM tidak kehilangan semua
aspek perilaku komunikatif. Jika seseorang mendekatinya dan secara
langsung berbicara kepadanya, HCEM melakukan echolalic (yaitu, dia
mengulang apa yang dikatakan kepadanya). Kemampuan mengulang adalah
merupakan ciri semua kasus afasia transkortikal, yang pertama kali diusulkan
oleh Lichtheim (1885). Tabel 2.3 mempresentasikan pertukaran percakapan
antara Dr. Whitaker dengan pasien ini (Gleason dan Ratner, 1998: 72).
Contoh Percakapan Pasien Afasia Transkortikal Gabungan
A. HW: What’s your name?
HCEM: What’s your name?
HW: The car was brought by John.
HCEM: The car was bought by John.
B. HW: *This is a yellow tencil.
HCEM: yellow pencil.
HW: *That’s a piece of dandy.
HCEM: That’s a piece of candy.
C. HW: * I talk to her yesterday.
HCEM: I talked to her yesterday.
HW: *She had four childs.
HCEM: She had four children.
Pada sampel A, kita dapat melihat bagaimana HCEM mahir pada
pengulangan. Dia dapat mengulang kata-kata asing tetapi dengan aksen
Amerika. Sampel B dan C mendemonstrasikan lebih jelas lagi. HCEM tidak
hanya mengulang. Dia mengulang dengan menerapkan aturan-aturan dari
dialek bahasa Inggris-nya. HCEM bukan seekor burung beo tetapi manusia
yang tidak bisa menggunakan kompetensi linguistik untuk berkomunikasi,
walaupun tidak kehilangan sistem kaidah kompleks dari bahasa ibunya.
15
Gangguan HCEM adalah afasia transkortikal gabungan yang
merupakan kombinasi antara afasia gerak transkortikal dan afasia sensori
transkortikal. Yang membedakan afasia transkortikal dengan afasia jenis lain
adalah kekuatan kemampuannya dalam mengulang ujaran. Jadi, afasia gerak
transkortikal seperti afasia Broca dan afasia sensori transkortikal seperti
afasia Wernicke terkait dengan kemampuan komunikatif pasien, yaitu
kemampuan pasien transkortikal untuk mengulang apa yang dikatakan pada
mereka. Seperti contoh yang telah diberikan HCEM tidak bisa memproduksi
dan memahami bahasa, dia hanya bisa mengulang.
C. Lateralisasi Fungsi Otak
Di awal telah disebutkan bahwa Broca dan Dax mengenalkan adanya
2 serebral hemisfer, hemisfer kanan dan hemisfer kiri, yang masing-masing
mempunyai fungsi yang berbeda. Broca mengungkapkan adanya hubungan
antara otak dan tangan (brainedness dan handedness). Namun, bertahuntahun para ahli (peneliti) menemukan bahwa otak tidak hanya berhubungan
dengan pergerakan tangan tapi juga berhubungan dengan variasi usia,
gender, ras (Tsunoda,1985), perbedaan pendidikan (Bogen dkk,1972),
manusia dan hewan dan sebagainya.
Hasil penelitian terbaru mengatakan hemisfer kiri dan kanan berbeda
dalam fungsinya. Perbedaan ini bukanlah suatu hal yang dikotomi tapi
merupakan suatu hal yang continuum. Perbedaan fungsi otak ini dalam
dalam studi neurolinguistik disebut lateralisasi (lateralization).
Banyak pakar yang meragukan teori lateralisasi, bahwa pusat-pusat
bahasa dan ucapan berada pada hemisfer kiri. Mereka berpendapat bahwa
seluruh otak bertanggung jawab dan terlibat dalam proses pemahaman dan
produksi bahasa. Namun demikian, dari bukti-bukti eksperimental yang
dilakukan terhadap otak, kebenaran teori lateralisasi itu patut
dipertimbangkan. Berikut dikemukakan beberapa eksperimen yang pernah
dilakukan untuk menyokong teori lateralisasi itu.
1. Tes Wada
Tes wada ini pertama kali diperkenalkan oleh pakar Jepang bernama
Juhn.Wada (1959). Tes ini digunakan untuk menentukan bagian mana dari
otak yang mengontrol fungsi bahasa dan juga melihat seberapa jauh peranan
tiap bagian otak dalam hal fungsi memori. Pada kebanyakan orang,
kemampuan bahasa dikontrol oleh otak kiri. Namun melalui tes wada akan
dapat diketahui bagian otak sebelah mana yang benar-benar mengontrol
kemampuan kebahasaan orang tersebut.
Dalam tes ini cairan obat sodium amitol diinjeksikan kedalam sistem
peredaran salah satu belahan otak. Belahan otak yang mendapatkan obat ini
menjadi lumpuh untuk sementara waktu. Jika hemisfer kanan yang
dilumpuhkan, maka anggota badan sebelah kiri tidak berfungsi sama sekali.
Namun, fungsi bahasa tidak terganggu sama sekali, dan orang yang diteliti ini
dapat berbicara seperti biasa. Apabila hemisfer kiri yang diberi sodium amitol,
maka anggota badan sebelah kanan menjadi lumpuh, termasuk fungsi
bahasa.
16
Hasil penelitian dari tes ini terhadap dua kelompok yang diteliti
menunjukkan individu yang kidal dan tidak kidal mempunyai kemampuan
bahasanya dikontrol oleh hemisfer kiri (Rasmussen & Milner,1977). Penelitian
yang terbaru oleh Loring et.al (1990) memperlihatkan dari 103 pasien yang
diteliti 79 orang mempunyai kemampuan berbahasa di hemisfer kiri, 2 orang
di hemisfer kanan dan 22 orang bersifat bilateral.
2. Pemisahan Belahan Otak ( Commissurotomy Procedure)
Commissurotomy diperkenalkan pertama kali tahun 1949 oleh ahli
bedah otak Van Wagenen sebagai suatu tindakan atau upaya pencegahan
menyebarnya gangguan epilepsi pada suatu bagian hemisfer ke bagian
hemisfer lainnya. Melalui proses penghancuran terhadap corpus callosum
diharapkan gangguan epileptik dapat dikontrol.
Tujuan operasi ini adalah memutuskan hubungan antara kedua
serebral hemisfeir. Namun, setelah dilakukan penyelidikan terhadap dua
orang pasien, tidak ditemukan pengaruh operasi ini terhadap gangguan
bahasanya (Akelaitis, 1964). Sampai disini para peneliti menyimpulkan
bahwa corpus callosum hanya berperan untuk menghubungkan kedua
hemisfir dan tidak berpengaruh terhadap bahasa seseorang.
Tahun 1955, Ronald Myers, menemukan 200 juta serat yang ada di
corpus callosum ternyata tidak hanya berfungsi menghubungkan hemisfer
yang ada namun juga berperan menyampaikan informasi yang diperoleh
melalui indera ke belahan otak. Informasi yang ditangkap oleh mata kiri
misalnya akan dikirim ke otak kanan begitu juga sebaliknya. Demikian juga
dengan kemampuan bahasa seseorang, jika diperlihatkan suatu objek
melalui pandangan mata sebelah kanan, otak sebelah kiri dengan mudah
memberikan ucapan nama objek tersebut, namun jika objek yang sama
diperlihatkan melalui mata kiri, otak sebelah kanan akan menyebutkan benda
tersebut dengan sedikit terhambat. Dalam hal ini otak kanan memproses
kemampuan bahasanya dengan rentangan waktu yang cukup lama.
3. Pengangkatan Setengah Bagian Otak (Hemispherectomy)
Melalui pengangkatan salah satu bagian otak yang ada terhadap salah
satu pasien epilepsinya tahun 1927, Johns Hopkins mengagetkan dunia
kedokteran sekaligus mendapat pujian dan tantangan. Sejak keberhasilannya
melakukan hemispherectomy, banyak ahli bedah melakukan hal yang sama
terhadap pasien anak-anak sampai dewasa.
Dari hasil hemisferektomi ini terbukti bahwa bila hemisfer kiri yang
diambil maka kemampuan berbahasa orang itu menurun dengan drastis.
Sebaliknya bila diambil hemisfer kanan, orang tersebut masih dapat
berbahasa meskipun tidak sempurna. Dan kemampuan kebahasaan ini akan
lebih cepat pulih jika hemisferektomi dilakukan terhadap anak kecil dibawah
usia 12 tahun.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Dennis dan Whitaker ( 1976)
terhadap 3 orang anak berusia 9 dan 10 tahun. Salah satu anak diangkat
belahan otak kanan dan dua lainnya pengangkatan pada otak kiri. Hasil
penelitian memperlihatkan semua anak dapat melakukan tugas yang sama
17
baiknya dalam hal fonologi dan semantik. Namun, pada anak yang otak
kirinya diangkat, otak kanan mengerjakan tugas berbentuk sintaksis dengan
lambat dan terbatas.
4. Teknik Mendengar Rangkap (The Dichotic Listening Technique)
Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Donald Broadbent (1954), lalu
banyak dilakukan oleh Kimura (1961) dan Ling (1969). Tes ini didasarkan
pada teori bahwa hemisfer kiri menguasai kerja anggota tubuh sebelah
kanan, dan hemisfer kanan menguasai kerja anggota tubuh sebelah kiri.
Tes ini dilakukan dengan memperdengarkan pasangan kata yang
berbeda (misalnya boy dan girl) pada waktu yang betul-betul bersamaan di
telinga kiri dan kanan orang yang dites dengan kenyaringan yang sama.
Umpamanya kata girl di telinga kanan dan kata boy di telinga kiri. Hasil
pengujian memperlihatkan bahwa kata girl yang diperdengarkan pada telinga
sebelah kanan dapat diulangi dengan baik daripada kata boy yang
diperdengarkan ditelinga sebelah kiri. Tes yang dilakukan berulang-ulang
terhadap orang yang berbeda ternyata tetap memberikan hasil yang
sama.Hasil tes ini membuktikan bahwa telinga kanan (yang dilandasi oleh
hemisfer kiri ) lebih peka terhadap bunyi-bunyi bahasa dibandingkan dengan
telinga kiri (yang dilandasi oleh hemisfer kanan).
Tes menyimak rangkap ini juga dilakukan oleh Kimura (1964) untuk
menyelidiki bunyi-bunyi yang bukan ujaran bahasa seperti pola-pola melodi
(lagu) dan sebagainya. Ternyata pola-ola lagu ini, bukan ujaran bahasa,
diproses di hemisfer kanan, karena telinga kiri mengenalnya lebih tepat
daripada telinga kanan. Oleh karena itu Kimura mengambil kesimpulan
bahwa hal ini bukanlah disebabkan oleh perbedaan ketajaman telinga kiri dan
kanan, melainkan benar-benar karena kepekaan hubungan sel-sel saraf otak
yang terdapat pada hemisfer yang bertentangan.
Meskipun kasus-kasus di atas mendukung peran hemisfer kiri sebagai
hemisfer bahasa, dari penelitian-penelitian
mutakhir diketahui bahwa
pandangan ini tidak seluruhnya benar. Hemisfer kanan pun ikut berperan.
Lateralisasi belum terjadi ketika manusia dilahirkan , dengan kata lain
belum ada pembagian tugas pada otak. Hal ini terbukti dengan adanya
kasus-kasus dimana sebelum umur belasan (11,12,13 tahun), anak yang
cedera hemisfer kirinya dapat memperoleh bahasa seperti anak yang normal.
Hal ini menujukkan bahwa hemisfer kanan pun mampu untuk melakukan
fungsi kebahasaan.
Di samping itu, ada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa yang
ternyata ditangani oleh hemisfer kanan. Dari orang-orang yang hemisfer
kanannya tergangggu didapati bahwa kemampuan mereka dalam
mengurutkan peristiwa sebuah cerita atau narasi menjadi kacau. Mereka
tidak mampu lagi untuk menyatakan apa yang terjadi pertama, kedua,ketiga
dan seterusnya. Orang-orang ini juga mendapat kesukaran dalam menarik
inferensi. Misalnya kalau mendengar atau membaca sesuatu tentang
seseorang yang sering menelpon, menemui dan mengajak pergi seorang
wanita, Maka orang yang mempunyai gangguan hemisfer kanan akan
18
kesukaran untuk menarik kesimpulan bahwa pria tersebut menyukai wanita
itu .
Dari gambaran diatas tampak bahwa hemisfer kanan juga mempunyai
peran bahasa, tetapi memang tidak seintensif seperti hemisfer kiri. Namun
demikian, tetap saja hemisfer kanan memegang peranan yang cukup
penting.
Fungsi-Fungsi yang terjadi di Hemisfer Kanan
Dari proses penelitian commissurotomy dan hemispherectomy jelas
kelihatan bahwa proses kebahasaan tidak seluruhnya terjadi pada otak
sebelah kiri (dominant hemisphere). Melalui teknik neuroimaging metabolic
semakin memperlihatkan keaktifan kedua belahan otak selama proses
kebahasaan. Oleh karena itulah proses lateralisasi disebut sebagai suatu
proses yang kontinum dan bukan dikotomi.
Walaupun afasia (ketidakmampuan berbicara karena gangguan pada
otak) jarang terjadi diakibatkan oleh kerusakan pada hemisfer kanan, namun
kerusakan otak kanan mempengaruhi kemampuan berkomunikasi
seseorang. Pasien yang mempunyai gangguan pada belahan otak kanan
tidak akan bermasalah dengan fonologi, leksikal, atau sintaksis, namun
seringkali menghadapi kendala dalam mengurutkan kejadian-kejadian dari
suatu cerita, memformulasikan nilai moral dalam cerita tersebut dan tidak
mampu melakukan inferensi atau menarik kesimpulan Mereka juga
berkendala dalam menangkap kalimat ambigu, metafora dan istilah-istilah
figuratif serta cenderung menginterpretasikan sesuatu kalimat atau ucapan
secara sempit dan literal.
D. Intrahemisferik Lokalisasi Fungsi
Melateralisasikan suatu fungsi berarti memberikan suatu tugas (fungsi)
tersebut kepada belahan otak. Melokalisasikan suatu fungsi adalah
menentukan dengan tepat dimana seharusnya fungsi tersebut berada
didalam otak;hemisfer kiri atau kanan. Berbagai macam fungsi dapat
diletakkan dalam belahan otak. Fungsi pandangan misalnya melibatkan
keseluruhan bagian occipital lobe, temporal lobe bagian depan,saraf untuk
menggerakkan mata dan berbagai aspek lainnya. Penglihatan bukan fungsi
yang sederhana, namun jika dibandingkan dengan tingkahlaku komunikasi
manusia, penglihatan benar-benar merupakan suatu hal yang sederhana
karena ia merupakan salah satu bagian alat berkomunikasi.
1. Pengukuran aktifitas listrik dalam otak
Satu metode yang telah berlangsung lama untuk melihat aktivitas otak
dalam melakukan tugas-tugas kebahasaan dikenal dengan istilah
electroencephalogram (EEG). Metode memonitor kegiatan otak melalui
alat elektoda yang diletakkan dikepala telah banyak digunakan yang
bertujuan untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan yang terjadi di belahan
otak ketika melakukan tugas kebahasaan. Model pengukuran yang terbaru
juga telah dikembangkan oleh peneliti agar hasil yang diperoleh lebih
spesifik. Alat yang digunakan dalam metode baru ini adalah Event-Related
19
Potentials (ERPs) mengukur perubahan-perubahan voltase pada otak yang
berkaitan dengan hal-hal yang sensori, motorik atau kognitif, dimana alat ini
hanya memanfaatkan sejenis sinar untuk melihat aktifitas otak dalam
memahami tugas bahasa yang diberikan. Dari hasil data yang diperoleh
ditemukan bahwa otak memberikan reaksi secara berbeda untuk setiap tugas
yang berhubungan dengan sintaksis dan semantik. Misalnya, ERPs akan
menunjukkan perbedaan ketika subyek diminta untuk membaca kalimatkalimat yang secara sintaksis dan semantik mempunyai kejanggalan. Kuda
hijau saya merokok selusin jeruk, reaksi negative muncul dari lobe
frontal,girus sentral, dan lobe parietal, tetapi munculnya agak lambat. Derajat
ketidakcocokkan semantic ini berpengaruh pada reaksi yang ada di otak.
Reaksi yang keras muncul untuk contoh kalimat di atas tetapi akan melemah
bila ketidakcocokkan itu mengecil (misalnya, kalimat diatas diganti, kuda
hitam saya makan nasi goreng)
2. Pengukuran aliran darah dalam otak
Pada tahun 1879, Broca menciptakan suatu alat yang dia namakan
thermometric crown, dimana dengan alat ini dapat diketahui naik atau
turunnya aliran darah di wilayah otak (rCBF). Apa yang telah dia lakukan
tersebut pada akhirnya menjadi langkah awal dalam pengembangan metode
modern untuk mengukur aktifitas metabolik dalam otak.
Aliran darah dalam otak pada dasarnya dikontrol oleh aktifitas
metabolik dari jaringan saraf. Dan berbagai macam teknik tersedia pada saat
ini untuk meneliti perubahan-perubahan fungsi yang terjadi dalam otak jika
perubahan itu diakibatkan oleh aliran darah.
Alat kedua yang juga dapat digunakan untuk melihat alairan darah di
otak adalah Positron Emission Tomography (PET), dapat mempertunjukkan
kegiatan otak secara langsung.Pada PET bahan yang berisi radioaktif ringan
disuntikkan ke pembuluh darah dan kemudian pola aliran darah pada otak
ditelusuri dengan alat detektor khusus yang diletakkan di kepala pasien.
Detektor ini selanjutnya akan memberikan gambaran yang berwarna-warna.
Pada waktu pasien melakukan kegiatan verbal sesuai dengan yang
diinstruksikan, bagian-bagian otak yang melakukan kegiatan ini akan
mendapatkan aliran darah yang lebih banyak dan menyebabkan daerah itu
“menyala”
3. Peranan struktur subkortikal dalam berbicara dan bahasa.
Pada daerah lateral dan permukaan tengah hemisfer terdapat struktur
subkortikal yang berperan tidak hanya dalam berbicara tapi juga fungsi
bahasa. Gangguan dysarthria merupakan akibat dari kerusakan pada basal
ganglia dan juga dapat diakibatkan oleh thalamic hemorrhages dan
infarctions. Artikulasi yang terjadi pada orang yang mengalami gangguan
dysarthria biasanya berjalan lama, dan tidak tepat.
Selain itu juga ada gangguan ujaran neuromotor yang terjadi pada
daerah basal ganglia, thalamus, dan daerah sekitarnya. Gangguan ini akan
mengakibatkan penderita mengalami afasia
20
Bagaimana struktur-struktur ini dapat berperan dalam formulasi
bahasa hingga saat ini masih kurang dimengerti oleh peneliti. Namun yang
pasti, basal ganglia dan thalamus keduanya terlateralisasi fungsinya.
E. Cara memandang hubungan antara otak dan bahasa
Berbagai macam pendekatan ilmu dilakukan untuk meneliti tingkah
laku dan fungsi bahasa. Disiplin ilmu seperti psikolinguistik secara tipikal
mencoba menjelaskan tingkah laku dalam hal deskripsi pemerosesan
informasi, sedangkan neurolinguistik mencoba menjelaskan tingkah laku
yang sama namun dalam hal proses-proses secara neurologi.
Afasiologi linguistik
Sekitar tahun 1980-an berbagai macam pendekatan berkembang
yang merupakan pencampuran
dari ilmu
psikologi kognitif dan
neuropsikologi. Neuropsikologi kognitif ini mempunyai dua tujuan dasar yaitu;
a. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk performens kognitif yang
bermasalah, terlihat melalui gangguan (luka) di otak
b. Untuk mencari kesimpulan tentang proses-proses kognitif yang
sempurna (normal) dari bentuk-bentuk yang bermasalah dan
kemampuan normal yang terlihat pada otak yang terluka. (Ellis &
Young,1988)
Penelitian fungsi bahasa justru lebih jauh dari apa yang disebutkan
diatas. Penelitian bahasa dalam pendekatan ini diberi nama afasiologi
linguistic. (Caplan, 1987). Dan para ahli linguistik afasilogi ini biasanya
meneliti populasi yang mengalami gangguan otak. Prinsip dasar dari ilmu ini
adalah pikiran tersusun atas sekumpulan elemen-elemen prosessing,
module-module yang tidak dapat dihubungkan (dissociable).
Module-module ini dicoba untuk dihubungkan dengan area otak. Jika
kita berasumsi bahwa kerusakan otak dapat memberikan gambaran pada kita
bahwa betapa kompleksnya proses-proses kognitif seperti kemampuan
bahasa dalam kondisi normal, maka jelas bahwa module neural juga dapat
dihancurkan secara berbeda (proses fraksionasi), dan melalui kerusakkan
tersebut dapat dilihat kemampuan kebahasaan apa yang hilang dari pasien
tersebut.
Model dari hasil pendekatan penelitian seperti ini umumnya tidak
berhubungan dengan struktur neurological. Para peneliti dalam paradigm ini
mengatakan bahwa diagram yang dihasilkan terlalu susah untuk menganalis
proses-proses bahasa. Beberepa dari mereka mengatakan yang dibutuhkan
adalah pemahaman yang lebih baik dan lebih lengkap tentang proses yang
terlibat dalam produksi dan pemahaman bahasa (temuan psikolinguistik)
sebelum mereka menghubungkannya dengan struktur neural (temuan
neurolinguistik).
Afasiologi linguistik juga memberikan kritik terhadap istilah sindrom
afasik tradisional dalam beberapa hal;
a. Sindrom-sindrom ini tidak cukup spesifik dalam menganalisis disfungsi
bahasa.
21
b. Banyak komponen dalam sindrom yang tidak perlu ada pada pasien dan
ditempatkan dalam pengelompokan
c. Banyak komponen dipakai bersama oleh berbeda sindrom
d. Banyak pasien yang tidak terklasifikasi dengan baik berdasarkan jenis
sindromnya.
III. KESIMPULAN
Otak adalah struktur fisik yang kompleks yang tersusun atas bermilyar
sel, dengan sambungan tiap selnya melakukan transmisi ke seluruh jaringan
tubuh. Satu hal yang menjadi perhatian kita bahwa otak mempengaruhi
kemampuan kebahasaan dalam berkomunikasi manusia. Sebagian besar
otak mempunyai peranan penting dalam artikulasi, formulasi susunan
grammatical, penemuan kata-kata yang tepat dan pemahaman ujaran lawan
bicara. Area lainnya mempunyai tanggungjwabb khusus dalam hal
melakukan aktifitas yang berhubungan dengan menulis, membaca, dan
kemampuan mengulang ucapan
Kedua belahan otak, walaupun dapat dibandingkan ukuran dan
bentuknya, mempunyai peran tersendiri dalam aktifitas-aktifitas yang
berhubungan dengan kebahasaan dan non kebahasaan.Bagi kebanyakan
individu, kemampuan berbahasa diproses di otak belahan kiri,walaupun ada
beberapa keterampilan bahasa lainnya yang diproses di otak kanan. Jika
otak kiri mengalami kerusakkan, maka otak kanan dapat mengambil tugas
yang ada walaupun tidak secara total.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2003
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.
Gleason, Jean Berco dan Nan Bernstein Ratner. Psycholinguistics. Florida: Holt,
Rinehart and Winston. 1998.
22
“DASAR-DASAR BIOLOGI TINGKAH
LAKU KOMUNIKASI MANUSIA”
Oleh
MARTRIWATI,M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2008
23
24
Download