Uploaded by Fika

Produksi protein rekombinan dalam sistem ekspresi Pichiapastoris

advertisement
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/282121300
Produksi protein rekombinan dalam sistem ekspresi Pichia pastoris
Book · January 2010
CITATIONS
READS
2
26,000
1 author:
Shabarni Gaffar
Universitas Padjadjaran
51 PUBLICATIONS 252 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
ktivitas Antikanker Ekstrak Etanolbuah Ranti Hitam (Solanum blumei Nees ex Blume) Terhadap Sel Leukimia L1210 View project
Thrombin View project
All content following this page was uploaded by Shabarni Gaffar on 24 September 2015.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
i
SHABARNI GAFFAR
Produksi Protein Rekombinan
dalam Sistem Ekspresi
Pichia pastoris
UNPAD PRESS
ii
Produksi Protein Rekombinan
dalam Sistem Ekspresi
Pichia pastoris
iii
SHABARNI GAFFAR
Produksi Protein Rekombinan
dalam Sistem Ekspresi
Pichia pastoris
UNPAD PRESS
iv
TIM PENGARAH
Ganjar Kurnia
Mahfud Arifin, Engkus Kuswarno
Memed Sueb
TIM EDITOR
Wilson Nadeak (Koordinator), Tuhpawana P. Sendjaja,
Fatimah Djajasudarma, Benito A. Kurnani,
Denie Heriyadi, Wahya, Cece Sobarna,
Dian Indira
Judul : Produksi Protein Rekombinan dalam Sistem
Ekspresi Pichia pastoris
Penulis : Shabarni Gaffar
UNPAD PRESS
Copyright © 2010
ISBN 978-602-8743-23-5
v
PENGANTAR
Semenjak 20 tahun terakhir ini, ragi metilotropik
Pichia pastoris sudah berkembang menjadi salah satu
inang untuk memproduksi protein rekombinan. P.
pastoris telah dimanfaatkan pada berbagai laboratorium di
seluruh dunia untuk memproduksi protein rekombinan
untuk kepentingan penelitian dasar dan aplikasi medis.
Penggunaan sistem ekspresi P. pastoris lebih
menguntungkan dibandingkan E. coli dan sistem
eukariota lain (seperti S. cerevisiae, sel serangga dan sel
manusia) karena tingkat ekspresinya tinggi, mudah
dilakukan peningkatan skala produksi dan murah.
Disamping itu penggunaan sistem ekspresi eukariota lebih
cocok digunakan untuk ekspresi protein manusia karena
memiliki sistem modifikasi pasca-translasi.
Penelitian tentang penggunaan sistem ekspresi
ragi untuk produksi protein rekombinan akan membuka
peluang kearah produksi protein terapi dan enzim industri.
Oleh karena itu pengetahuan tentang sistem ekspresi ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang manfaat
penggunaan sistem ekspresi ragi khususnya Pichia
pastoris untuk produksi protein rekombinan.
Buku ini disusun oleh penulis berdasarkan
berbagai informasi dari beberapa jurnal terbaru. Sehingga
diharapkan dapat memberikan informasi terbaru tentang
vi
penggunaan sistem ekspresi ini. Buku ini merupakan
bagian dari Program Hibah Penulisan Disertasi Program
Doktor 2009/2010. Penulis menyampaikan terima kasih
kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas
sebagai penyelenggara program hibah penelitian untuk
mahasiswa program doktor. Penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim promotor;
Prof. Dr. O Suprijana, MSc., Prof. Dr. Soetijoso Soemitro,
Dessy Natalia, PhD., dan Dr. Toto Subroto yang telah
menyetujui dan menelaah buku ini. Selain itu penulis juga
berterima kasih kepada Program Pascasarjana Unpad
sebagai pengelola dan penyelenggara hibah penelitian
doktor, serta kepada tim pengarah dan editor yang telah
mengoreksi dan mewujudkan penerbitan buku ini.
Buku ini penulis persembahkan kepada suamiku
Deni Herdian Putra dan anak-anakku Fathur dan Putty,
terima kasih atas segala perhatian, pengorbanan dan
pengertiaannya selama penulis menyelesaikan buku ini.
Teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang
dengan sangat pesat, untuk itu setiap informasi dan
masukan mengenai buku ini akan sangat penulis hargai
sebagai bahan perbaikan.
Bandung, Januari 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vii
GLOSARI
x
BAB I
Produksi Protein Rekombinan
1
BAB II
Perbandingan Sistem Ekspresi E. coli, S. cerevisiae dan P.
pastoris
9
1. Sistem ekspresi E. coli
9
2. Sistem ekspresi Saccaromyces cerevisiae
13
3. Sistem ekspresi P. pastoris
17
BAB III
Pichia pastoris Sebagai Organisme Eksperimen
23
1. Metabolisme metanol pada P. pastoris
26
2. Sel dengan densitas tinggi dapat tumbuh pada kultur
fermentor
31
BAB IV
Konstruksi galur ekspresi
35
1. Galur-galur ekspresi P. pastoris
35
Fenotipe berdasarkan penggunaan methanol
36
Galur inang defisien protease
38
+
s
Pengaruh fenotip Mut dan Mut
39
2. Vektor ekspresi untuk P. pastoris
41
3. Transformasi/Integrasi ke genom P. pastoris
51
4. Pemilihan promotor
56
Promotor GAP
58
Promotor FLDI
60
viii
Promotor PEX8 dan YPT1
Promotor DHAS
5. Pemilihan kodon dan transkripsi terpotong
6. Integrasi gen multikopi
7. Ekspresi intraselular
8. Pemilihan kondisi kultur untuk ekspresi
BAB V
Transformasi Pichia pastoris
1. Metoda umum
2. Pergantian gen
3. Prosedur kerja
Larutan-larutan
Metoda
Persiapan DNA
Prosedur speroplas
Prosedur elektroporasi
Prosedur PEG
Prosedur kation alkali
BAB VI
Modifikasi Pascatranslasi dari Protein yang
Disekresikan
1. Jalur sekresi protein
Jalur sekresi protein pada P. pastoris
2. Peptida sinyal
Seleksi peptida sinyal
Pemrosesan -MF pre-pro leader sekuen
Peran perulangan Glu-Ala dan sisi pemotongan Kex2
3. Pelipatan protein
Protein Disulfida Isomerase
61
62
63
65
70
71
77
78
79
82
82
85
85
86
91
94
96
99
99
101
102
106
114
115
118
120
ix
Peranan PDI pada sekresi protein
4. Glikosilasi
Sequon
Lokasi struktur tersier
Jumlah unit manosa dan tipe oligosakarida
Termostabilitas
Oligosakarida ikatan-O
Imunogenisitas
Kondisi kultur untuk mencegah glikosilasi
De-glikosilasi melalui enzim atau SDM
Gel shift assay
BAB VII
Penutup
Daftar Pustaka
Indeks
125
128
132
133
136
139
143
146
147
148
150
153
154
160
x
GLOSARI
-MF ( -mating factor): 13 asam amino feromon yang
disekresikan oleh sel S. cerevisiae tipe haploid alfa, yang
berikatan dengan protein transmembran Ste2p, suatu protein G
yang berikatan dengan reseptor yag terdapat pada sel haploid
alfa, untuk mengaktivasi jalur sinyal transduksi yang
dibutuhkan untuk konyugasi dan perkawinan.
Auxotropi: Galur yang tidak mampu menyintesis senyawa
organik tertentu yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya.
Auxotrop:
auxotropi.
Organisme
yang
menunjukkan
karakteristik
Badan inklusi: agregat (gumpalan) pada inti atau sitoplasma,
biasanya berupa protein.
Biopharmaceutical:
Obat-obatan
menggunakan proses bioteknologi.
yang
diproduksi
cDNA: Complementary DNA, DNA untai tunggal (singlestranded) yang disalin dari untai RNA.
Chaperone: Protein yang membantu proses folding/unfolding
non kovalen dan perakitan molekul.
De novo: sintesis molekul kompleks dari molekul sederhana.
DNA artificial: DNA sintetik
Elektroporasi: peningkatan konduktivitas listrik dan
permeabilitas secara signifikan dan cepat dari membran plasma
sel yang disebabkan oleh arus listrik dari luar. Dalam biologi
molekuler biasanya digunakan untuk memasukkan DNA asing
ke dalam sel inang.
xi
Ekspresi gen: proses dimana informasi dari gen digunakan
untuk menyintesis produk gen, yaitu protein atau RNA.
Ekspresi konstitutif: gen yang diekspresikan secara terus
menerus.
Eukariot: organisme yang terdiri dari satu/banyak sel, yang
mengandung struktur yang kompleks dalam membran sel.
Fenotipe: sifat yang dapat diamati dari organisme dan
turunannya.
Folding: Proses fisik, dimana polipeptida melipat menjadi
bentuk karakteristik dan struktur tiga dimensi yang fungsional.
Gen: potongan DNA yang mengode protein atau RNA
Genom: seluruh informasi genetik yang terdapat pada
organisme.
Genotipe: sifat genetik dari sel, organisme atau indifidu.
Biasanya berhubungan dengan karakter.
Immunogenisitas: kemampuan substansi tertentu seperti
antigen atau epitop untuk memancing respon kekebalan.
Inang (host): organisme yang menampung gen asing yang
dikloning menggunakan suatu vektor berupa plasmid, cosmid,
atau virus.
Kaset ekspresi: gen asing dan urutan yang mengontrol
ekspresinya. Kaset ekspresi terdiri dari tiga komponen, yaitu:
urutan promotor, open reading frame, dan daerah 3′ yang tidak
ditranslasi, pada eukariot pada umumnya mengandung sisi
poliadenilasi (poli-A)
Kloning: teknik penggandaan gen yang menghasilkan
keturunan yang sama sifatnya, baik dari segi hereditas maupun
fenotipenya.
xii
Kodon: kelompok tiga nukleotida pada gen yang mengode satu
asam amino spesifik.
Lokus gen: lokasi spesifik dari gen
MCS (Multiple cloning site): (polylinker), bagian pendek dari
DNA dalam plasmid/vektor hasil rekayasa yang mengandung
sisi pengenal enzim restriksi untuk menyisipkan gen asing pada
vektor.
ORF (Open reading frame): sekelompok urutan nukleotida
pada genom yang mengode protein
Peroksisom: organel yang terdapat pada sel eukariota.
Peroksisom merupakan tempat metabolisme asam lemak. Pada
organisme metilotropik, metabolisme metanol juga terjadi
dalam peroksisom
Peptida sinyal: peptida pendek (3-60 asam amino) pada sisi N
terminal protein, yang mengarahkan translokasi protein.
Poliadenilasi: tambahan ekor poli-A pada molekul RNA
eukariota.
PCR (Polymerase Chain Reaction): metoda rutin yang
digunakan untuk perbanyakan fragmen DNA. Metoda PCR
menggunakan
prinsip
perubahan
temperatur
untuk
mendenaturasi DNA, menempelkan primer oligonukleotida dan
polimerisasi DNA dengan bantuan enzim DNA polimerase
termostabil.
Promotor gen: urutan nukleotida pada awal gen yang
memfasilitasi transkripsi gen tertentu. Urutan promotor
dikenali oleh enzim RNA polimerase untuk memulai proses
transkripsi gen.
Protein heterolog: protein yang diproduksi dalam organisme
yang berbeda dengan asal protein tersebut.
xiii
Proteolisis: degradasi atau pemotongan protein oleh enzim
protease dalam sel, atau melalui penghancuran dalam molekul.
Pustaka genom: populasi sejumlah sel inang yang membawa
molekul DNA yang disisipkan pada vektor kloning. Sehingga
merupakan koleksi molekul DNA hasil kloning yang
menggambarkan keseluruan genom dari organisme tertentu.
Pyrogen: Substansi yang menyebabkan penyakit.
Protein terapeutik: protein yang digunakan untuk terapi
pengobatan manusia.
Prototropi: Galur organisme yang memiliki kemampuan
metabolisme, dan kebutuhan nutrisi yang sama dengan galur
wild type.
Ragi metilotrop: Sekelompok mikroorganisme yang dapat
menggunakan senyawa satu karbon seperti metanol dan metana
sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya.
Re-folding: proses pelipatan ulang protein
Reading frame: pola pembacaan kodon yang berdekatan yang
tidak saling bertindihan, pada gen. Terdapat tiga kemungkinan
reading frame pada mRNA dan enam kemungkinan pada rantai
DNA untai ganda.
Rekombinasi homolog: tipe rekombinasi genetik dimana
urutan nukleotida berpindah tempat antara dua untai DNA yang
identik.
Single cell protein (SCP): Sumber campuran protein yang
diekstrak dari kultur murni atau kultur campuran dari alga,
ragi, jamur atau bakteri (yang ditumbuhkan pada limbah
pertanian) dan digunakan sebagai makanan pengganti yang
kaya protein untuk makanan manusia maupun ternak.
xiv
Shuttle vektor: vektor (biasanya plasmid) yang dikonstruksi
sehingga dapat berpropagasi dalam dua jenis inang yang
berbeda. Sehingga DNA yang disisipkan ke shuttle vektor
dapat di uji dan dimanipulasi dalam dua tipe inang.
Southern blotting: Metode rutin yang digunakan dalam biologi
molekuler untuk mendeteksi urutan DNA spesifik dalam
sampel DNA. Pada metoda Southern blotting, fragmenfragmen DNA yang telah dipisahkan dengan elektroforesis,
didenaturasi dan ditransfer ke menbran nilon dan kemudian
dihibridisasi dengan urutan DNA spesifik (disebut probe).
Metode ini dinamai sesuai penemunya, Edwin Southern.
Speroplas: bentuk sel yang bagian dindingnya telah dibuang.
Vaksin: preparat biologi yang meningkatkan kekebalan
terhadap
penyakit
tertentu.
Vaksin
bisa
berupa
virus/bakteri/toksin yang dilemahkan atau dimatikan.
Vaksin rekombinan: (vaksin subunit), vaksin yang dibuat
dengan teknologi DNA rekombinan, hanya mengandung
bagian protein yang bersifat virulen.
Vektor: mulekul DNA yang digunakan sebagai pembawa gen
asing ke dalam sel inang.
Vektor ekspresi: vektor yang mengandung urutan untuk
mengekspresikan gen asing, yaitu promotor dan terminator,
sehingga gen asing akan diekspresikan menghasilkan protein
oleh perangkat transkripsi dan translasi sel inang.
Unfolding: lawan dari folding.
Wild type: Tipe liar/awal
xv
1
Produksi Protein Rekombinan
PROTEIN rekombinan merupakan protein yang
diperoleh dari hasil teknologi DNA rekombinan.
Kemajuan teknologi DNA rekombinan telah mendorong
berkembangnya berbagai metode produksi protein
rekombinan menggunakan inang yang aman dan relatif
mudah dikultur sehingga protein dapat diproduksi pada
skala industri. Sebagian besar enzim yang digunakan
untuk proses industri merupakan hasil rekayasa, baik
rekayasa pada tingkat genetik maupun protein. Melalui
teknologi DNA rekombinan dapat dilakukan pemindahan
gen pengode enzim/protein dari satu organisme ke
organisme lain. Sehingga bila enzim/protein tersebut
diidentifikasi sebagai kandidat enzim untuk digunakan
dalam industri, gen pengode enzim/protein tersebut dapat
dikloning dalam suatu mikroorganisme inang yang cocok,
dan diproduksi dalam skala industri. Dengan cara ini
produksi enzim industri dengan kualitas dan kemurnian
yang tinggi dapat dilakukan.
1
Protein yang digunakan untuk bidang farmasi dan
kedokteran (protein terapeutik dan vaksin) juga telah
diproduksi secara rekombinan. Biopharmaceutical
diistilahkan untuk obat-obatan yang merupakan protein
rekombinan,
vaksin
rekombinan
dan
antibodi
monoklonal. Protein yang digunakan untuk kepentingan
pengobatan dan terapi ini disyaratkan mempunyai
kemurnian yang tinggi. Teknologi DNA rekombinan juga
telah menyediakan berbagai strategi untuk meningkatkan
produksi dan mempermudah pemurnian protein.
Salah satu contoh penggunaan teknologi produksi
enzim rekombinan adalah produksi enzim detergen
Lipolase oleh Novo Nordisk A/S, yang mempercepat
pembuangan lemak yang tertinggal pada kain. Enzim ini
pertama kali diidentifikasi pada jamur Humicola
languinosa dengan jumlah yang tidak cukup untuk
produksi komersial. Fragmen DNA dari gen pengode
enzim ini dikloning dalam jamur Aspergillus oryzae
sehingga dapat diproduksi secara komersial. Enzim ini
terbukti efisien pada berbagai kondisi pencucian pakaian.
Enzim ini juga stabil pada beberapa variasi suhu dan pH,
serta resistan terhadap proteolisis (Smith, J.E., 1996).
Sistem ekspresi protein yang sudah umum
digunakan pada umumnya berbasis sel, yang merupakan
satu paket yang terdiri dari vektor ekspresi, DNA yang
dikloning dan sel inang, sehingga gen asing dapat
2
diekspresikan oleh sel inang dan diproduksi dalam jumlah
banyak. Ekspresi protein asing biasanya dirancang supaya
terjadi dalam jumlah besar sehingga diistilahkan
overekspresi.
Terdapat beberapa cara untuk memasukkan DNA
asing ke dalam sel untuk ekspresi protein, dan terdapat
beberapa sel inang yang dapat digunakan untuk ekspresi
protein rekombinan. Masing-masing sistem ekspresi
memiliki keunggulan yang berbeda. Sistem ekspresi pada
umumnya melambangkan inang dan vektor pembawa
materi genetik yang dipakai. Sebagai contoh, inang yang
umum digunakan adalah bakteri (seperti E. coli, B.
substilis), ragi (seperti S. cerevisiae, P. pastoris), atau sel
eukariota. Sedangkan vektor pembawa yang umum
digunakan adalah virus (seperti baculovirus, retrovirus
dan adenovirus), plasmid, kromosom artifisial dan
bakteriofaga (seperti lambda). Pemilihan sistem ekspresi
tergantung pada gen yang akan diekspresikan, contohnya
S. cerevisiae sering digunakan untuk protein yang
membutuhkan modifikasi pascatranslasi dan sel serangga
atau mamalia digunakan bila diperlukan pemrosesan
mRNA. Sedangkan sistem ekspresi bakteri memiliki
keunggulan karena dapat memproduksi protein dalam
jumlah besar yang dibutuhkan untuk penelitian penentuan
struktur protein dengan X-ray crystallography atau NMR
(Nuclear Magnetic Resonance).
3
Konstruksi sistem ekspresi protein heterolog
menggunakan strategi biologi molekul penting dilakukan
untuk investigasi rekayasa protein dan enzimologi. Hal ini
terutama menjadi masalah bila protein tersebut jarang dan
sulit didapatkan dalam jumlah yang cukup untuk
penelitian fisikokimia atau bila sejumlah protein yang
diinginkan akan dimutagenesis untuk keperluan penelitian
ataupun komersial. Untuk memperoleh protein yang
diinginkan dalam jumlah besar, maka sistem ekspresi
yang sesuai dan kondisi optimum untuk ekspresi harus
ditentukan (Koganesawa et al., 2001).
Sistem ekspresi prokariota biasanya digunakan
untuk memproduksi protein heterolog (rekombinan) dari
cDNA eukariota yang dikloning. Akan tetapi pada
beberapa penelitian, protein yang disintesis oleh bakteri
tersebut tidak stabil atau tidak punya aktivitas biologi.
Selain itu, meskipun kita menggunakan prosedur
pemurnian protein yang sangat hati-hati, senyawa yang
bersifat toksin pada bakteri dan senyawa yang
menyebabkan kenaikan temperatur tubuh manusia dan
binatang (pyrogen) mungkin dapat mengontaminasi
produk (Glick dan Pasternak, 2003).
Untuk mengatasi masalah ini beberapa peneliti
telah mengembangkan sistem ekspresi protein eukariota,
yaitu ragi, serangga atau sel mamalia untuk memproduksi
protein-protein terapetik yang tidak terkontaminasi,
4
sehingga dapat digunakan oleh manusia atau binatang
dengan jumlah yang banyak dan stabil; aktif secara
biologi untuk studi biokimia, biofisik, dan struktur; dan
protein yang digunakan untuk proses industri.
Selanjutnya, protein manusia yang ditujukan untuk
penggunaan medis harus identik sifatnya dengan protein
natif.
Selama 20 tahun terakhir ini, ragi metilotropik
Pichia pastoris telah luas digunakan untuk memproduksi
protein rekombinan dan juga dimanfaatkan pada berbagai
laboratorium di seluruh dunia untuk memproduksi protein
untuk kepentingan penelitian dasar dan aplikasi medis
(De Schutter et al., 2009). Pichia pastoris juga
merupakan organisme model yang penting untuk
investigasi proliferasi peroksisom dan asimilasi metanol.
Teknologi ekspresi P. pastoris telah tersedia secara
komersial semenjak beberapa tahun yang lalu.
Meningkatnya popularitas sistem ekspresi P.
pastoris disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
(1) P. pastoris dapat tumbuh hingga mencapai densitas sel
yang tinggi, mengekspresikan protein asing dengan
menggunakan penginduksi metanol, dan menyekresikan
protein heterolog pada media tertentu dengan efisien; (2)
Teknik yang dibutuhkan untuk manipulasi genetik P.
pastoris relatif mudah dan mirip dengan Saccharomyces
cerevisiae; (3) kemampuan P. pastoris untuk
5
memproduksi protein asing dalam jumlah banyak, baik
intraselular maupun ekstraselular; (4) P. pastoris
merupakan eukariota sehingga memiliki kemampuan
untuk melakukan modifikasi pasca-translasi seperti yang
terjadi pada kebanyakan protein eukariota, seperti
glikosilasi, pembentukan ikatan disulfida dan pemrosesan
proteolisis; dan (5) tersedianya sistem ekspresi secara
komersial, sehingga memungkinkan untuk memproduksi
sejumlah besar protein target dengan teknik yang relatif
mudah dan dengan biaya yang rendah dibandingkan
sistem eukariota lain (De Schutter et al., 2009; Glick dan
Pasternak, 2003).
P. pastoris merupakan ragi metilotrop yang dapat
tumbuh menggunakan metanol sebagai satu-satunya
sumber karbon. Ragi ini memiliki jalur metabolisme
penggunaan metanol yang diinduksi dengan ketat. Enzim
pertama pada jalur ini adalah alkohol oksidase, ditemukan
mencapai 35 persen dari total protein dalam sel yang
ditumbuhkan dalam sejumlah metanol. Enzim ini tidak
terdeteksi bila sel ditumbuhkan dalam glukosa, etanol
atau gliserol. Promotor gen alkohol oksidase (AOX1) yang
dapat diinduksi dan diregulasi dengan ketat ini telah
digunakan untuk mengonstruksi vektor ekspresi untuk
memproduksi protein heterolog dalam P. pastoris.
Dengan menggunakan sistem ini, sejumlah besar protein
telah berhasil diproduksi dengan tingkat keberhasilan
6
yang berbeda-beda. Walaupun hasil akhir protein
rekombinan sangat dipengaruhi oleh sifat protein tersebut,
namun hasil dapat ditingkatkan dengan memanipulasi
beberapa faktor yang memengaruhi ekspresi gen dan
stabilitas protein.
Beberapa protein terapi yang diproduksi dalam P.
pastoris, baik yang tidak terglikosilasi (seperti serum
albumin manusia) (Watanabe et al., 2001) atau protein
yang memerlukan glikosilasi untuk pelipatan (seperti
beberapa vaksin) (Hardy et al., 2000) sudah beredar di
pasaran. Penemuan penting baru-baru ini telah
mengembangkan galur P. pastoris dengan tipe Nglikosilasi seperti protein-protein manusia. Galur ini
selanjutnya akan meningkatkan peran P. pastoris untuk
memproduksi protein terapi (biopharmaceuticals)
manusia. Protein yang diproduksi dengan sistem ini akan
bergerak ke arah pengembangan klinis (Ratner, 2009).
Sehingga antibodi monoklonal dapat dibuat mencapai
skala gram per liter oleh galur dengan glikosilasi
homogen tersebut (Potgieter et al., 2008).
7
2
Perbandingan Sistem Ekspresi E. coli,
S. cerevisiae dan P. pastoris
1. Sistem ekspresi E. coli
SELAMA tiga dekade terakhir ini, Escherichia
coli telah digunakan secara ekstensif sebagai inang untuk
ekspresi protein rekombinan. Penggunaan E. coli sebagai
sistem ekspresi dipilih karena sistem ini mempunyai
tingkat ekspresi yang tinggi, media pertumbuhannya
murah, serta mudah dilakukan peningkatan skala produksi
untuk industri. Bagaimanapun, penggunaan sistem ini
untuk produksi protein yang berasal dari genom eukariota
yang
membutuhkan
modifikasi
pasca-translasi
menimbulkan masalah karena mikroorganisme yang
sederhana ini tidak memiliki mesin intraselular untuk
melakukan modifikasi pasca-translasi. Sehingga ekspresi
protein rekombinan dalam E. coli sangat tergantung pada
8
struktur primer, sekunder, tersier dan fungsi karakteristik
dari protein tersebut (Daly & Hearn, 2004).
E. coli merupakan prokariota, yang tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan pelipatan protein asing dan
modifikasi pasca-translasi lain, sehingga tipe protein yang
dapat
diekspresikan
E.
coli
juga
terbatas.
Ketidakmampuan prokariota untuk memproduksi versi
autentik dari protein eukariota, pada umumnya
disebabkan oleh pelipatan protein (folding) yang tidak
tepat dan tidak adanya mekanisme modifikasi pascatranslasi. Protein yang diekspresikan E. coli pada
umumnya diperoleh sebagai protein intraselular yang
sering menghasilkan badan inklusi yang tidak larut
(dalam kasus ekspresi tinggi) dan tidak mengalami
pelipatan dengan benar, sehingga harus dilarutkan dan
dilakukan pelipatan ulang (Makrides, 1996).
Pelipatan yang tidak tepat mungkin disebabkan
oleh tidak cukupnya konsentrasi chaperone intraselular
atau kurangnya lingkungan tereduksi dalam sitoplasma
(Bardwell, 1994; White et al., 1994). Sehingga E. coli
tidak cocok digunakan untuk mengekspresikan protein
yang mengandung banyak ikatan disulfida atau protein
yang membutuhkan modifikasi pasca-translasi lain,
seperti glikosilasi, isomerisasi cis/trans prolin, isomerisasi
disulfida, lipidasi, sulfasi atau fosforilasi (Lueking, et al.,
2000). Pada eukariota terdapat enzim Protein Disulfida
9
Isomerase (PDI) yang mengatalisis pembentukan ikatan
disulfida pada protein. Pembentukan ikatan disulfida yang
menyimpang akan meubah konfigurasi protein, sehingga
menyebabkan protein tidak stabil dan kehilangan
aktivitas. Selanjutnya protein yang diekspresikan E. coli
juga cenderung mempertahankan residu metionin pada
sisi N-terminal protein yang diekspresikan. Ekstra
metionin ini dilaporkan memengaruhi kestabilan
konformasi protein, dan menyebabkan immunogenisitas
(Chaudlhuri et al., 1999; Takano et al., 1999).
Terdapat beberapa tipe modifikasi pasca-translasi.
Beberapa urutan asam amino pada N-terminal biasanya
dibuang melalui pemotongan proteolisis protein prekursor
untuk menghasilkan protein fungsional. Penambahan gula
spesifik (glikosilasi) terhadap asam amino tertentu
merupakan modifikasi utama yang memberikan stabilitas
dan sifat pengikatan yang khusus terhadap protein.
Glikosilasi yang umum terjadi adalah pengikatan gula
spesifik ke gugus hidroksil dari asam amino serin atau
asparagin (glikosilasi ikatan-O), dan gugus amida dari
asparagin (glikosilasi ikatan-N) (gambar 2.1). Sekitar 30
persen protein mamalia mengalami glikosilasi.
Ketidakmampuan E. coli untuk melakukan
glikosilasi protein rekombinan, akan menyebabkan
berubahnya fungsi protein tertentu. Hal ini diamati pada
erythropoietin (EPO) yang diekspresikan E. coli. EPO
10
natif merupakan
glikoprotein, EPO bentuk tidak
terglikosilasi yang diekspresikan di E. coli menjadi
kurang resisten terhadap unfolding dibandingkan bentuk
natifnya (Narhi et al., 1991). Selanjutnya protein
rekombinan yang terdapat dalam bentuk badan inklusi
pada protein yang diekspresikan E. coli, harus di refolding, yang memerlukan optimasi kondisi re-folding
(Majerle et al., 1999). Pengembangan kondisi folding
mungkin sulit untuk dilakukan dan menghabiskan banyak
waktu (Tsujikawa et al., 1996) sehingga menurunkan
produktivitas dan menaikkan biaya produksi protein
rekombinan.
11
Gambar 2.1. Beberapa contoh oligosakarida ikatan-O dan
ikatan-N pada ragi (A), serangga (B) dan mamalia (C). T
adalah threonin, S (serin), N (asparagin) dan X (sembarang
asam amino). Monosakarida/oligosakarida yang berbeda
dilambangkan oleh bentuk yang berbeda.
2. Sistem Ekspresi Saccaromyces cerevisiae
Untuk mengatasi kendala dalam sistem ekspresi E.
coli, protein rekombinan yang berasal dari eukariota
banyak diekspresi dalam sistem ekspresi Saccharomyces
cerevisiae. S. cerevisiae telah digunakan sebagai inang
untuk ekspresi gen eukariota dengan alasan-alasan
sebagai berikut:
1. Ber-sel tunggal dan sudah dipelajari secara genetik
maupun fisiologi.
2. Beberapa promotor gen yang kuat telah diisolasi
dari ragi ini dan dikarakterisasi. S. cerevisiae
secara alami mengandung plasmid yang disebut
plasmid 2µm dan dapat digunakan sebagai vektor
ekspresi.
3. S. cerevisiae mempunyai mekanisme modifikasi
pasca-translasi.
4. Ragi ini biasanya menyekresikan beberapa
protein. Jadi apabila protein heterolog direkayasa
untuk dibebaskan secara ekstraselular, maka
produk dapat segera dipurifikasi.
12
5. Karena sudah bertahun-tahun digunakan pada
industri makanan, S. cerevisiae sudah didaftarkan
oleh U.S Food and Drug Administration sebagai
organisme “generally recognize as safe” (GRAS).
Oleh karena itu, penggunaan organisme ini untuk
produksi
agen
terapetik
manusia
(drug
or
pharmaceuticals) tidak membutuhkan penelitian secara
ekstensif seperti yang diwajibkan untuk inang yang belum
terjamin keamanannya. Dewasa ini terdapat sejumlah
protein yang telah diproduksi di S. cerevisiae, dan
digunakan secara komersial sebagai vaksin, agen
terapeutik, dan untuk diagnosis (Tabel 2.1). Sebagai
contoh lebih dari 50 persen suplai insulin dunia
diproduksi oleh S. cerevisiae.
Tabel 2.1. Protein rekombinan yang diproduksi oleh sistem
ekspresi S. cerevisiae.
Protein rekombinan
Kegunaan
Antigen permukaan virus hepatitis B
Protein circumsporozoide malaria
Envelope protein HIV-1
Protein virus hepatitis C
Antigen HIV-1
Faktor pertumbuhan epidermal
Insulin
Insulin-like growth factor
Vaksin
Diagnostik
Agen terapetik
untuk manusia
13
Platelet-derived growth factor
Proinsulin
Fibroblast growt factor
α1 antitripsin
Faktor koagulasi darah XIIIa
Hirudin
Faktor pertumbuhan manusia
Serum albumin manusia
Semua protein yang mengalami glikosilasi pada S.
cerevisiae, disekresikan ke luar sel. Protein ini harus
mempunyai urutan pemula supaya bisa melewati sistem
sekresi. Konsekuensinya urutan pengode dari protein
rekombinan yang membutuhkan gula ikatan-O atau
ikatan-N untuk aktivitas biologi harus dilengkapi dengan
urutan pemula. Biasanya urutan pemula dari gen mating
factor type α ragi (prepro-α-factor) diinsersikan pada
bagian depan cDNA gen yang akan diekspresikan.
Dengan kondisi ini, pembentukan ikatan disulfida yang
tepat, pemotongan proteolitik dari urutan pemula, dan
modifikasi pasca-translasi yang tepat sering terjadi, dan
protein rekombinan yang aktif akan disekresikan. Selama
proses ini peptida pemula dibuang oleh endopeptidase
yang mengenali dipeptida Lys-Arg. Kodon Lys-Arg harus
ditempatkan berdekatan dengan N terminal cDNA,
sehingga setelah peptida pemula dibuang, protein
14
rekombinan akan memperoleh residu asam amino yang
benar pada posisi N terminal (Glick & Pasternak, 2003).
Strategi tambahan juga sudah ditemukan untuk
meningkatkan sekresi protein rekombinan oleh S.
cerevisiae. Sebagai contoh, overproduksi PDI (Protein
Disulfide Isomerase) yang secara natural terdapat pada
sistem sekresi enzim. PDI menyebabkan terjadinya
pelipatan protein (folding) yang tepat selama proses
sekresi, sehingga PDI mungkin meningkatkan pelepasan
protein rekombinan, terutama yang memiliki ikatan
disulfida. Untuk memeriksa hipotesis ini, urutan promotor
dan
terminator
transkripsi
gliseraldehid
fosfat
dehidrogenase yang konstitutif ditempatkan pada ujung
gen PDI ragi yang dikloning dalam vektor YIp, dan
diintegrasikan ke kromosom. Galur transforman
menunjukkan
peningkatan
produksi
PDI
16x
dibandingkan dengan galur wild type. Bila sel yang mengoverproduksi PDI ini ditransformasi dengan vektor YEp
yang membawa gen platelet-growth factor B manusia,
terdapat peningkatan sekresi proten rekombinan 10x lebih
tinggi dibandingkan dengan sel yang mempunyai level
PDI normal. Sehingga overproduksi PDI secara spesifik
meningkatkan sekresi protein dengan pembentukan ikatan
disulfida (Robinson et al., 1994).
Ekspresi protein rekombinan dalam S. cerevisiae
telah berhasil digunakan untuk ekspresi berbagai protein
15
dari sumber yang berbeda. Namun dalam beberapa kasus
level ekspresinya rendah. Pada contoh lain protein
rekombinan mengalami hiperglikosilasi dengan lebih dari
100 residu manosa pada rantai samping oligosakarida
ikatan-N. Kelebihan manosa ini sering mengubah fungsi
protein dan menghasilkan protein rekombinan yang
bersifat antigen. Selain itu protein yang dirancang untuk
sekresi pada S. cerevisiae sering tertahan pada membran
periplasma, sehingga menambah biaya dan waktu untuk
pemurnian. Selanjutnya, bila densitas sel tinggi maka S.
cerevisiae akan memproduksi etanol, yang merupakan
racun bagi sel. Sebagai konsekuensinya menurunkan
jumlah protein yang disekresikan. Untuk alasan ini
beberapa peneliti mencoba spesies ragi yang lain dan sel
eukariota yang dapat berperan sebagai sel inang yang
efektif untuk produksi protein rekombinan (Glick dan
Pasternak, 2003).
3. Sistem ekspresi P. pastoris
Ragi metilotropik Pichia pastoris telah
berkembang menjadi salah satu inang ekspresi protein
yang penting untuk memproduksi protein rekombinan
dengan level tinggi pada penelitian struktur genom dan
bioteknologi (Cereghino dan Cregg, 2000). Penggunaan
sistem ekspresi P. pastoris memberikan keuntungan
dibandingkan dengan sistem ekspresi lain. Sistem ini
16
merupakan satu-satunya sistem yang menggabungkan
keuntungan penggunaan E. coli (tingkat ekspresi tinggi,
mudah dilakukan peningkatan skala produksi, dan murah)
dan sistem ekspresi eukariota (adanya komponen
pelipatan protein dan modifikasi pasca-translasi).
Fleksibilitas sistem ekspresi P. pastoris menjadikannya
alat yang ideal untuk riset laboratorium yang ditujukan
untuk aplikasi industri (Glick dan Pasternak, 2003).
Sejumlah protein yang tidak dapat diekspresikan
E. coli, telah berhasil diekspresikan dalam ragi
metilotropik P. pastoris (Monsalve et al., 1999). Sebagai
contoh adalah studi komparatif yang dilakukan oleh
Leuking et al (2000) di mana vektor ekspresi untuk E.
coli dan P. pastoris dikonstruksi dan diuji dengan
mengkloning sejumlah cDNA dari pustaka genom otak
janin manusia. Dari 29 klon cDNA yang berbeda, yang
memiliki reading frame yang benar, semuanya diperoleh
dalam bentuk protein terlarut dalam P. pastoris. Namun
dalam sistem ekspresi E. coli, hanya sembilan klon yang
menghasilkan protein terlarut, 15 klon terdeteksi
membentuk badan inklusi dan 5 protein tidak
diekspresikan sama sekali. Hasil ini tidak diragukan lagi
karena perbedaan lingkungan folding protein dan
ketidakmampuan E. coli untuk melakukan modifikasi
pasca-translasi (Leuking et al., 2000). Protein-protein
lain, yang dihasilkan dalam bentuk pelipatan yang salah
17
(miss-fold) dan badan inklusi dalam E. coli, diperoleh
dalam bentuk terlarut dan mengalami pelipatan dengan
benar bila diekspresikan di P. pastoris, contohnya antigen
5 (Ag5) dari spesies yellow-jacket, paper-wasp dan whiteface hornet (Monsalve et al., 1999; King et al., 1995),
protein herring antifreeze (Li et al., 2001), prourokinase
(Holmes et al., 1985) dan transferring manusia
(Hershberger et al., 1991; Mason et al., 1996).
Oleh karena itu sistem ekspresi P. pastoris
memiliki kelebihan dibanding sistem ekspresi E. coli
untuk memproduksi sejumlah protein heterolog yang
berasal dari eukariota. Seperti dijabarkan di atas, P.
pastoris cocok digunakan untuk protein target yang
memiliki banyak ikatan disulfida atau protein yang
membutuhkan glikosilasi, fosforilasi, penghilangan amino
terminal metionin atau protein yang tidak memerlukan
pembentukan oligomer untuk perakitan dan pematangan
protein. Di samping sistem ekspresi P. pastoris
memungkinkan untuk menyekresikan protein autentik
yang terlarut, sistem ini juga mampu memproduksi
protein rekombinan dalam jumlah besar (Daly & Hearn,
2004).
Berbagai jenis protein (termasuk enzim, protease,
inhibitor protease, reseptor, antibodi rantai tunggal, dan
protein regulator) telah berhasil diproduksi dengan sistem
ekspresi P. pastoris dengan tingkat ekspresi hingga
18
mencapai hasil dalam besaran gram per liter (Tabel 2.2)
(Invitrogen, 2006). Lin-Cereghino (2006) melaporkan
lebih dari 550 protein heterolog yang berasal dari bakteri,
ragi, protista, tumbuhan, invertebrata, manusia dan virus
telah berhasil disintesis dan diproduksi dalam ragi ini
(http://faculty.kgi.edu/cregg/index.htm).
Sistem ekspresi P. pastoris memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan dengan S. cerevisiae, yaitu: (1)
P. pastoris memiliki promotor gen yang diregulasi dengan
ketat, yaitu gen AOX1 yang mengode alkohol oksidase
yang dapat diinduksi oleh metanol. Apabila ada metanol,
30 persen dari protein selular adalah alkohol oksidase.
Sedangkan bila tidak ada metanol, gen AOX1 tidak
bekerja. Selanjutnya promotor gen AOX1 dengan cepat
merespon penambahan metanol ke medium. Dengan kata
lain, promotor AOX1 merupakan kandidat yang baik
untuk menjalankan transkripsi gen yang diklon dan
memproduksi protein rekombinan dalam jumlah besar; (2)
Tingkat sekresi protein rekombinan pada P. pastoris
tinggi, hal ini disebabkan pada konsentrasi sel yang
tinggi, P. pastoris tidak menghasilkan etanol yang
merupakan racun bagi sel; dan (3) P. pastoris biasanya
menyekresikan sangat sedikit proteinnya sendiri, sehingga
memudahkan pemurnian protein rekombinan yang
disekresikan (Glick dan Pasternak, 2003).
19
Tabel 2.2. Protein rekombinan yang diproduksi oleh sistem
ekspresi P. pastoris (Invitrogen, 2006).
Protein rekombinan
Protein bakteri:
Toksin tetanus fragmen C
-amilase
T2A peroksidase
Fragmen neurotoxin C. botulinum
Protein Ragi:
Catalase L
Glukoamilase
Lipase
Protein tumbuhan:
Hidroksinitril liase
Aeroallergen
Wheat lipid transfer protein
Protein mamalia:
Mouse gelatin
Human tumor necrosis factor
Human IGF-1
Human CD-38
Tingkat ekspresi (mg/L)
12000
2500
2470
78
2300
400
60
22000
720
60
14000
10000
600
455
Informasi tentang genom P. pastoris juga telah
berhasil dielusidasi baru-baru ini, yang bermanfaat untuk
merekayasa galur. De Schutter et al (2009) telah berhasil
menentukan urutan nukleotida genom salah satu galur
Pichia pastoris yang biasa digunakan untuk produksi
protein rekombinan. Galur tersebut, yaitu GS115
mempunyai genom dengan ukuran 9,43 Mpb (Mega
pasang basa) yang terdapat pada empat kromosom, dan
20
memiliki 5.313 gen pengode protein. Informasi yang
tersedia dengan adanya urutan genom P. pastoris akan
mempercepat pengembangan P. pastoris sebagai inang
ekspresi protein, membangun kapasitas natural P. pastoris
untuk produksi protein heterolog yang dapat digunakan
untuk kepentingan biofarmasi.
21
3
Pichia pastoris Sebagai Organisme
Eksperimen
TIGA puluh delapan tahun yang lalu, Koichi
Ogata menggambarkan kemampuan spesies ragi tertentu
untuk memanfaatkan metanol sebagai satu-satunya
sumber karbon dan energi (Ogata et al., 1969). Metilotrop
langsung menjadi perhatian sebagai sumber potensial SCP
(single cell protein) yang terutama dipasarkan sebagai
makanan ternak dengan kadar protein tinggi. Selama
1970-an Phillips Petroleum Company mengembangkan
media dan protokol untuk menumbuhkan Pichia pastoris
dalam metanol menggunakan kultur kontinu pada densitas
sel yang tinggi (berat sel kering mencapai 130 g/L,
Gambar 3.1). Namun krisis minyak dunia menyebabkan
harga metana meningkat tajam. Bersamaan dengan itu
harga kedele sebagai sumber alternatif makanan ternak
22
turun. Sehingga nilai ekonomi produksi SCP dari metanol
terlalu tinggi.
Gambar 3.1. Densitas kultur yang tinggi dari P. pastoris.
Botol sentrifugasi yang di sebelah kiri memperlihatkan kultur
P. pastoris yang ditumbuhkan mencapai densitas OD600 1 unit.
Botol sebelah kanan mengandung galur P. pastoris yang
ditumbuhkan pada fermentor mencapai densitas berat kering
sel 130 g/L (OD600 ± 500 unit).
Dalam beberapa dekade selanjutnya Phillips
Petroleum membuat kontrak dengan Salk Institute
Biotechnology/ Industrial Associateds Inc. (SIBIA, La
Jolla, CA) untuk mengembangkan P. pastoris sebagai
organisme untuk ekspresi protein heterolog. Peneliti pada
23
SIBIA mengisolasi gen dan promotor untuk alkohol
oksidase, dan membuat vektor, galur dan protokol untuk
manipulasi genetik P. pastoris. Kombinasi metode
fermentasi yang dikembangkan untuk proses SCP dan
kuatnya promotor alkohol oksidase, digunakan untuk
mengatur ekspresi protein heterolog. Pada tahun 1993
Phillips Petroleum menjual posisi paten sistem ekspresi
P. pastoris pada Research Corporation Technologies
(Tucson, AZ), pemegang paten sekarang. Selain itu,
Phillips Petroleum melisensi Invitrogen Corporation
(Carlsbad, CA) untuk menjual komponen sistem ini,
mengatur kelanjutannya di bawah Research Corporation
Technologies (Cereghino & Cregg, 2000).
Teknik-teknik yang dibutuhkan untuk manipulasi
genetika molekul dari P. pastoris, seperti transformasi
yang dimediasi DNA, menargetkan gen, penggantian gen
dan kloning, sama dengan S. cerevisiae. P. pastoris dapat
ditransformasi
dengan
elektroporasi,
metode
pembentukan speroplas, atau metode sel utuh seperti
metode yang menggunakan litium klorida dan polietilen
glikol (Cregg et al., 1985). Seperti pada S. cerevisiae, P.
pastoris menunjukkan kecenderungan rekombinasi
homolog antara genom dengan DNA artifisial yang
diintroduksi. Pemotongan vektor P. pastoris dalam urutan
yang sama dengan genom inang, akan menstimulasi
peristiwa rekombinasi homolog yang merupakan target
24
yang efisien untuk integrasi vektor ke lokus genom
(Cregg & Madden, 1988). Penggantian gen terjadi pada
frekuensi yang rendah dibandingkan yang terjadi pada S.
cerevisiae dan membutuhkan urutan ujung yang lebih
panjang untuk terjadinya integrasi langsung yang efisien.
P. pastoris merupakan ragi homotallus
ascomycetes yang dapat juga dimanipulasi dengan metode
genetika klasik. Tidak seperti galur S. cerevisiae
homotallus yang merupakan diploid, P. pastoris tetap
berbentuk haploid sampai dipaksa untuk kawin. Galur
dengan marker komplemen dapat juga kawin dengan
menempatkannya pada medium yang minim nitrogen.
Setelah satu hari pada medium ini, sel dipindahkan ke
medium minimal standar dengan nutrien yang didesain
untuk menyeleksi sel-sel yang membentuk komplemen
diploid (bukan sel yang kawin sendiri atau induk sel yang
tidak kawin). Diploid yang diperoleh stabil selama sel
tidak ditempatkan pada nutrisi yang menyebabkan stres.
Untuk memperoleh produk spora, diploid dikembalikan
ke medium dengan nitrogen terbatas, yang akan
merangsang sel untuk melakukan miosis dan sporulasi.
Produk spora dapat diperlakukan dengan teknik acak
dibandingkan teknik mikro-manipulasi, karena P. pastoris
asci berukuran kecil dan sulit untuk dipotong. Selanjutnya
metode strandar manipulasi genetika klasik dapat
dilakukan,
termasuk:
isolasi
mutan,
analisis
25
komplementasi, backcrossing, konstruksi galur, dan
analisis spora (Cereghino & Cregg, 2000).
1. Metabolisme Metanol pada P. pastoris
Ragi metilotropik seperti P. pastoris dapat
menggunakan metanol sebagai satu-satunya sumber
karbon. Konsep dasar untuk sistem ekspresi P pastoris
diambil dari observasi bahwa beberapa enzim yang
dibutuhkan untuk metabolisme metanol terdapat pada
level substansial hanya bila sel ditumbuhkan dalam
metanol. Studi biokimia memperlihatkan bahwa
pemanfaatan metanol membutuhkan sejumlah jalur
metabolik yang melibatkan beberapa enzim yang unik.
Enzim alkohol oksidase (AOX) mengatalisis reaksi tahap
pertama pada jalur pemanfaatan metanol, yang
mengoksidasi metanol menjadi formaldehid (Gambar
3.2). Produk samping dari reaksi ini adalah hidrogen
peroksida (H2O2). Untuk mencegah sifat racun dari H2O2,
maka metabolisme metanol ini dilakukan di sebuah
organel sel khusus yang disebut dengan peroksisom.
Alkohol oksidase merupakan flavoprotein
oligomer yang mengandung FAD dan analog mFAD
yang terikat secara nonkovalen dan menyempurnakan
transfer elektron. AOX terdapat dalam peroksisom
bersama dengan katalase, yang mendegradasi hidrogen
26
peroksida menjadi oksigen dan air. Sejumlah formaldehid
yang dihasilkan oleh AOX meninggalkan peroksisom dan
selanjutnya dioksidasi menjadi format dan karbon
dioksida oleh dua dehidrogenase sitoplasma, formaldehid
dehidrogenase (Fld) dan format dehidrogenase (Fdh).
Reaksi ini merupakan sumber energi bagi sel untuk
tumbuh dalam metanol (Cereghino dan Cregg, 2000; De
Schutter et al., 2009).
Gambar 3.2. Jalur metabolisme metanol pada P. pastoris. (1)
AOX, alkohol oksidase; (2) FLD, formaldehid dehidrogenase;
(3) FGH, S-formilglutation hidrolase; (4) FDH, format
dehidrogenase, (5) CAT, katalase; (6) DAS, dihidroksiaseton
sintase; (7) DAK, dihidroksiaseton kinase; (8) TPI, triosa fosfat
isomerase; (9) FBA, fruktosa 1,6-bifosfat aldolase; (10) FBP,
27
fruktosa 1,6-bisfosfatase. DHA, dihidroksiaseton; GAP,
gliseraldehid 3-fosfat; DHAP, dihidroksiaseton fosfat; F 1,6Bpi,
fruktosa 1,6-bisfosfat; F6P fruktosa 6-fosfat; Pi, fosfat; Xu5P,
xilulosa 5-fosfat; GSH, glutation. (De Schutter et al, 2009).
Sisa formaldehid berasimilasi untuk membentuk
konstituen selular melalui jalur siklik yang dimulai
dengan kondensasi formaldehid dengan xilulosa 5monofosfat, reaksi ini dikatalisis oleh enzim peroksisom
dihidroksiaseton sintase (DAS). Produk dari reaksi ini
adalah gliseraldehid 3-fosfat dan dihidroksiaseton, yang
meninggalkan peroksisom dan masuk ke jalur sitoplasma
yang membentuk xilulosa 5-monofosfat dan untuk setiap
tiga siklus diperoleh satu molekul gliseraldehid 3-fosfat.
Dua enzim pada jalur metanol, AOX dan DAS, terdapat
dalam jumlah yang tinggi pada sel yang ditumbuhkan
dalam metanol, namun enzim ini tidak terdeteksi pada sel
yang ditumbuhkan pada sumber karbon lain (seperti
glukosa, gliserol atau etanol) (Cereghino dan Cregg,
2000).
Dalam P. pastoris terdapat dua gen yang mengode
alkohol oksidase, yaitu AOX1 dan AOX2. AOX1
bertanggung jawab terhadap aktivitas utama alkohol
oksidase dalam sel. Ekspresi gen AOX1 dikontrol pada
level transkripsi (Cregg et al., 1989). Pada sel yang
ditumbuhkan dengan metanol, 5 persen dari RNA poly
28
(A) berasal dari AOX1. Namun, pada sel yang
ditumbuhkan dengan sumber karbon lain, RNA AOX1
tidak terdeteksi. Regulasi gen AOX1 melibatkan dua
mekanisme: mekanisme represi/derepresi dan mekanisme
induksi, sama dengan regulasi gen GAL1 pada S.
cerevisiae. Kehadiran metanol penting untuk induksi
transkripsi level tinggi (Tschopp et al., 1987). Biasanya
jumlah AOX1 mencapai 30 persen dari total protein P.
pastoris ketika metanol dijadikan sebagai sumber karbon.
Gen AOX2 memiliki kemiripan dengan AOX1 sampai 97
persen. Namun gen ini terekspresi lebih lambat di metanol
dibandingkan AOX1 (Cregg et al., 1989).
Regulasi metabolisme metanol pada ragi
metilotropik merupakan proses yang kompleks yang
melibatkan kontrol sintesis, aktivasi dan degradasi enzimenzim pada metabolisme metanol (Cereghino & Cregg,
2000). Sintesis enzim untuk metabolisme metanol
diinduksi oleh metanol, formaldehid dan format.
Penelitian regulasi AOX menunjukkan bahwa aktivitas
alkohol oksidase direduksi oleh glukosa dan etanol
melalui mekanisme represi katabolit dan inaktivasi
katabolit. Represi katabolit melibatkan kontrol sintesis
enzim, sedangkan inaktivasi katabolit melibatkan
inaktivasi atau degradasi enzim (Inan & Meagher, 2001).
Enzim-enzim yang terlibat pada metabolisme
metanol diregulasi pada tingkat transkripsi. Lin29
Cereghino et al. (2006), mengidentifikasi dan
mengarakterisasi gen MXR1 (methanol expression
regulator 1). Produk dari gen ini adalah protein Mxr1p
yang merupakan faktor transkripsi yang meregulasi
enzim-enzim pada jalur metabolisme metanol dan
transkripsi gen PEX (gen yang terlibat pada biogenesis
peroksisom). Mxrp1 dibutuhkan untuk ekspresi gen-gen
pada jalur metabolisme metanol dan biogenesis
peroksisom.
Konversi
metanol
menjadi
formaldehid
merupakan tahap penentu laju reaksi penggunaan metanol
dan diregulasi dengan peningkatan jumlah AOX dalam
sel. Hal ini didemonstrasikan melalui observasi bahwa
bila konsentrasi metanol dinaikkan dengan tiba-tiba, maka
pertumbuhan sel akan terhambat (Couderc & Baratti,
1980). Formaldehid yang diproduksi pada reaksi ini
kemudian akan dioksidasi melalui jalur disimilasi sitosol
yang menghasilkan energi atau jalur asimilasi untuk
pembentukan biomassa (Gellissen et al., 1992). Tahap
pertama jalur asimilasi adalah aktivasi DAS, yang
terdapat di sitoplasma dan di bawah kontrol promotor
yang diinduksi oleh metanol (Gellissen, 2000; Tschopp et
al.,
1987).
Formaldehid
dikonversi
menjadi
dihidroksiaseton dan glukosa 3-fosfat. Pada jalur
disimilasi, formaldehid dikonversi menjadi format oleh
FLD dan kemudian menjadi CO2 oleh FMDH. Protein
30
peroksisom seperti AOX diperkirakan mengalami
pergantian yang cepat. Pergantian ini dikombinasi dengan
afinitas enzim yang rendah terhadap O2, sehingga jumlah
protein AOX dapat menjadi tinggi, mencapai 30 persen
dari TCP (total cell protein), dan ukuran peroksisom
dapat mencapai 80 persen dari volume sel bila P. pastoris
ditumbuhkan dengan metanol sebagai sumber karbon
(Gambar 3.3). Karena FMDH dan DAS dibutuhkan untuk
penggunaan metanol, levelnya dapat mencapai 20 persen
TCP (Gellissen et al., 1992; Cereghino & Cregg, 1999).
2. Sel dengan densitas tinggi dapat tumbuh pada
kultur fermentor
Suatu kelebihan utama dibandingkan S. cerevisiae
adalah P. pastoris merupakan ragi fermentor yang jelek.
Pada proses fermentasi oleh S. cerevisiae, bila sel
mencapai densitas tinggi, etanol (produk pada fermentasi
S. cerevisiae) dengan cepat terbentuk sampai mencapai
level toksik sehingga menghambat pertumbuhan sel dan
produksi protein asing. Pada pilihan untuk pertumbuhan
respirasi, P. pastoris dapat dikultur pada densitas sel yang
sangat tinggi (500 OD600 U ml-1 ) pada fermentor dengan
lingkungan yang dikontrol dengan risiko “mabuk”.
Pertumbuhan fermentasi terutama penting untuk protein
yang disekresikan, karena konsentrasi produk pada
31
medium secara kasar sebanding dengan konsentrasi sel
pada kultur (Cereghino & Cregg, 2000).
Gambar 3.3. (A) Sel P. pastoris yang ditumbuhkan pada
media yang tidak mengandung methanol. (B) Sel P. pastoris
yang ditumbuhkan pada media yang mengandung methanol
(P= peroksisom; N= nucleus; V= vakuola; L= badan lipid).
Aspek positif untuk pertumbuhan P. pastoris pada
kultur fermentor adalah level transkripsi yang diawali
oleh promotor AOX1 akan 3-5 kali lebih besar pada sel
yang mengonsumsi metanol pada laju batas pertumbuhan
dibanding dengan sel yang ditumbuhkan pada metanol
yang berlebih. Sehingga, walaupun untuk protein yang
diekspresikan intraselular, produk yang dihasilkan akan
lebih besar pada kultur sel fermentor. Selain itu
metabolisme metanol memerlukan oksigen dengan jumlah
32
maksimal, sehingga ekspresi protein asing akan
dihentikan bila oksigen terbatas. Hanya pada fermentasi
dengan lingkungan yang terkontrol level oksigen dapat
diatur pada kultur medium. Tanda dari sistem P. pastoris
adalah kemudahan galur ekspresi untuk ditingkatkan
(scale-up) dari kultur pada labu (shake-flask) sampai
kultur fermentor dengan densitas tinggi.
Walaupun beberapa protein asing telah berhasil
diekspresikan dengan baik pada kultur shake-flask, level
ekspresinya pada umumnya rendah dibandingkan kultur
fermentor. Usaha maksimal telah dilakukan untuk
mengoptimalkan teknik ekspresi protein, dan protokol
detail kultur fed-batch dan kultur kontinu sudah tersedia
(Brierley, 1998; Stratton et al., 1998). Secara umum,
galur pertama kali ditumbuhkan pada medium tertentu
yang mengandung gliserol sebagai sumber karbonnya.
Selama waktu ini biomassa akan terakumulasi namun
ekspresi gen heterolog direpresi. Dengan berkurangnya
gliserol, fasa transisi dimulai, kemudian tambahan gliserol
diberikan ke kultur pada batas laju pertumbuhan.
Akhirnya metanol atau campuran gliserol dan metanol
diberikan ke kultur untuk menginduksi ekspresi.
Konsentrasi protein asing dimonitor pada kultur
untuk menentukan waktu untuk memanen. Kondisi
pertumbuhan P. pastoris, ideal untuk produksi protein
heterolog dengan skala besar, karena komponen
33
mediumnya tertentu dan tidak mahal, yang terdiri dari
sumber karbon (gliserol dan metanol), biotin, garam,
trace element dan air. Medium ini bebas dari unsur yang
tidak jelas, yang dapat merupakan sumber dari pyrogen
atau toksin, sehingga dapat digunakan untuk produksi
obat manusia. Selain itu, karena P. pastoris dikulturkan
pada media dengan pH yang relatif rendah dan metanol
dengan konsentrasi relatif rendah, maka kontaminasi juga
sedikit (Cereghino & Cregg, 2000).
34
4
Konstruksi Galur Ekspresi
1. Galur-galur ekspresi P. pastoris
SEJUMLAH galur P. pastoris dengan genotipe
yang berbeda telah tersedia secara komersial. Semua galur
ekspresi P. pastoris diturunkan dari NRRL-Y 11430
(Northern Regional Laboratories, Peoria, IL). Galur-galur
tersebut pada umumnya mengandung satu atau lebih
mutasi auksotropi yang berguna untuk seleksi transforman
yang mengandung vektor ekspresi dengan gen penyeleksi
yang tepat. Setelah transformasi semua galur ini akan
tumbuh pada media kompleks tapi membutuhkan
suplemen dengan nutrien tertentu untuk tumbuh pada
minimal media (Cereghino & Cregg, 2000).
Pemilihan galur ditentukan oleh kebutuhan.
Sejumlah karakteristik genotipe dan fenotipe dari
sejumlah galur diperlihatkan pada Tabel 4.1. Sebagai
contoh, galur SMD1168 dan SMD 1168H tidak memiliki
vakuola peptidase A (pep4). Enzim ini bertanggung jawab
35
terhadap aktivasi karboksipeptidase Y dan protease B1,
sehingga galur SMD1168 dan SMD 1168H juga tidak
memiliki protease ini (White et al., 1994). Galur lain
seperti KM71, GS115 dan SMD1168 merupakan galur
yang tidak memiliki gen histidin dehidrogenase (his4).
Penggunaan galur-galur ini menghasilkan transforman
yang dapat diseleksi berdasarkan kemampuannya untuk
tumbuh pada media yang tidak mengandung histidin.
Tabel 4.1. Genotipe dan fenotipe dari galur-galur P. pastoris
Galur
SMD1168
GS115
KM71
X-33
MP-36
SMD1165
SMD1163
Genotipe
His4, pep4
His4
His4, aox1: ARG4;
arg4
Wild type
His4, prb1
His4, prb1, pep4
MC100-3
Arg4 his4 aox1Δ::
SARG4
aox2Δ:: Phis4
(Sumber: Daly et al., 2005)
Fenotipe
Mut+, His-, pep4Mut+, HisMuts, HisMut+, His-, prb1Mut+, His-, pep4,
prb1Mut-, His-
Fenotipe berdasarkan penggunaan metanol
Tiga fenotipe P. pastoris berdasarkan konsumsi
metanol (Mut+, Muts dan Mut-) telah digunakan untuk
produksi protein heterolog. Genom P. pastoris
36
mengandung dua kopi gen untuk alkohol oksidase (AOX).
Promotor gen AOX1 yang meregulasi 85 persen aktivitas
alkohol oksidase dalam sel merupakan promotor yang
digunakan untuk menjalankan ekspresi gen asing pada
Pichia. Promotor AOX1 dan kaset ekspresi gen X bersama
dengan gen HIS4 (histidinol dehidrogenase) untuk seleksi
disisipkan ke genom Pichia galur his-, seperti galur
GS115 (his4). Insersi kaset ekspresi ke lokus HIS4 akan
menghasilkan galur Mut + (metanol utilization plus), yaitu
suatu fenotipe yang sama dengan wild type P. pastoris
(Cregg et al., 1989).
Galur inang P. pastoris pada umumnya tumbuh di
metanol pada laju yang sama dengan wild type (Mut+,
fenotipe metanol utilization plus). Namun tersedia juga
dua galur inang lain yang bervariasi dalam
kemampuannya untuk memanfaatkan metanol karena
adanya delesi pada salah satu atau kedua gen AOX. Galur
dengan mutasi AOX kadang-kadang lebih baik dalam
memproduksi protein asing dibandingkan galur wild type
(Inan & Meager, 2001; Cregg et al., 1993). Selain itu
galur ini tidak membutuhkan sejumlah besar metanol
secara rutin yang digunakan untuk fermentasi skala besar.
Bila kaset ekspresi diinsersikan dalam lokus
AOX1, akan terbentuk galur Mut s ((metanol utilization
slow). Cara lain untuk mendapatkan galur inang fenotipe
Muts adalah dengan merusak gen AOX1. Galur KM71
37
(his4 arg4 aox1Δ:: SARG4) merupakan galur Mut s
dimana AOX1 telah dihapus secara parsial dan diganti
dengan gen ARG4 dari S. cerevisiae. Karena galur ini
harus mengandalkan AOX2 yang lemah dalam
metabolisme metanol, maka galur ini tumbuh dengan
lambat pada sumber karbon metanol (Cregg & Madden,
1988)
Galur yang lain yaitu: MC100-3 (his4 arg4 aox1v:
:SARG4 aox2v:: Phis4) mengalami delesi pada kedua gen
AOX dan sama sekali tidak dapat tumbuh dalam metanol
(Mut-, fenotipe metanol utilization minus). Semua galur
ini, termasuk Mut-, memelihara kemampuan untuk
induksi ekspresi level tinggi dengan promotor AOX1
(Cregg et al., 1989)
Induksi ekspresi protein oleh promotor AOX1
dikontrol dengan menumbuhkan sel pada media yang
mengandung metanol sebagai satu-satunya sumber karbon
dan energi untuk galur Mut + dan Muts. P. pastoris galur
Muts akan tumbuh dengan sangat lambat karena galur ini
tidak memiliki gen AOX1. Terdapat dua keuntungan pada
ekspresi protein menggunakan galur Mut -. Pertama, galur
Muts dan Mut- memberikan hasil ekspresi protein yang
lebih tinggi. Kedua, mengurangi biaya fasilitas
penyimpanan metanol dalam jumlah besar. Dengan
menggunakan galur Mut - jumlah penggunaan metanol
38
untuk induksi dapat dikurangi 35x dibandingkan dengan
galur Muts (Clare et al., 1991).
Galur inang defisien protease
Beberapa galur defisien protease SMD1163
(his4pep4prb1), SMD1165 (his4prb1), dan SMD1168
(his4, pep4) mendegradasi beberapa protein asing dengan
efektif. Hal ini terutama dapat diamati pada kultur
fermentor, karena kombinasi dari sel densitas tinggi dan
lisis sejumlah kecil sel menghasilkan protease vakuola
konsentrasi tinggi. Galur defisien protease SMD1168
Δpep4:: URA3 Δkex1:: SUC2 his4 ura3 baru-baru ini
dikembangkan untuk menginhibisi proteolisis dari
endostatin murine dan manusia. Protease Kex1 dapat
memotong ujung karboksil dari lysin dan arginin.
Sehingga galur dengan delesi Kex1 dibuat untuk
menghambat proteolisis ujung karboksil. Setelah
fermentasi selama 40 jam, pemurnian endostatin dapat
dilakukan. Namun sel defisien protease ini tidaklah
sebagus galur wild type (dalam hal PEP4). Selain itu,
kelangsungan hidupnya juga rendah dan sel ini tumbuh
lambat dan lebih sulit untuk ditransformasi. Sehingga
penggunaan
galur
defisien
protease
hanya
direkomendasikan pada situasi bila cara lain untuk
mengurangi proteolisis memberikan hasil yang tidak
memuaskan (Cereghino & Cregg, 2000).
39
Pengaruh fenotipe Mut+ dan Muts
Bila kaset ekspresi terintegrasi melalui insersi
pada lokus AOX atau lokus His4 maka integrasi multikopi
akan diperoleh dengan frekuensi yang lebih tinggi
dibandingkan integrasi pergantian gen dengan AOX
(Romanos, 1995). Skrining transforman fenotipe
Mut+/Muts penting dilakukan untuk menentukan kondisi
kultur yang akan digunakan. Hasil ini dapat
disempurnakan dengan menanam transforman pada
kondisi ‘minimal dekstrosa dan minimal metanol’ dan
membandingkan karakteristik pertumbuhan dengan galur
kontrol seperti GS115/His-/Muts dan GS115/His+/Mut+
(Vasilleva et al., 2001). Sel dengan fenotipe Muts telah
digunakan untuk merakit antigen permukaan hepatitis B
manusia dengan tepat menjadi partikel, sementara itu
tingkat pertumbuhan yang tinggi dari galur Mut + tidak
dapat memproduksi partikel (Cregg et al., 1989).
Pertumbuhan galur Mut s dapat dibantu dengan
menambahkan manitol atau sorbitol dan induksi dengan
metanol dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan galur
Mut+. Pertumbuhan yang lambat dan produksi protein
oleh Muts dalam metanol lebih disukai terutama pada
protein di mana folding merupakan tahap penentu
(Romanos, 1995). Ketika ditumbuhkan dalam metanol 0,5
persen, galur Mut s yang mengandung karboksipeptidase
40
A2 diekspresikan dengan level yang lebih tinggi
dibandingkan galur Mut +, tapi ekspresi Mut + meningkat
bila konsentrasi metanol dinaikkan (Reverter et al., 1998).
Galur Mut+ kurang disukai karena diracuni metanol
dibandingkan Muts tapi lebih disukai karena tidak terlalu
memerlukan oksigen (Romanos, 1995). Sel dengan
fenotipe Muts juga cenderung untuk memproduksi protein
dalam jumlah yang sama dengan galur Mut + dalam kultur
pengocok-labu, kemungkinan karena labu menyuplai
oksigen lebih sedikit dan fenotipe Mut+ tumbuh terbatas
(Cregg et al., 1993). Ilustrasi dari ketergantungan ini
merupakan hasil dari ekspresi invertase, -galaktosidase
dan antigen permukaan hepatitis B menggunakan P.
pastoris (Tschopp et al., 1987; Cregg et al., 1989).
2. Vektor ekspresi untuk P. pastoris
Ekspresi gen asing pada P. pastoris membutuhkan
tiga tahap penting, yaitu: (1) insersi gen ke vektor
ekspresi; (2) introduksi vektor ekspresi ke genom P.
pastoris; dan (3) pengujian galur yang mempunyai
potensi untuk mengekspresikan produk gen asing.
Sejumlah vektor ekspresi untuk P. pastoris dan galur
inangnya telah tersedia. Diagram umum vektor ekspresi
dan daftar komponen vektor diperlihatkan pada Gambar
4.1 dan Tabel 4.2. Urutan DNA beberapa vektor dapat
ditemukan di website Invitrogen (www.invitrogen.com).
41
Vektor ekspresi P. pastoris pada umumnya
memiliki format yang sama. Semua vektor ekspresi telah
didisain sebagai shuttle vektor E. Coli/P. pastoris, yang
mengandung titik awal replikasi untuk mempertahankan
plasmid di E. coli dan marker fungsional di satu atau
kedua organisme. Replikasi plasmid dalam P. pastoris
membutuhkan tambahan urutan P. pastoris-specific
autonomous replication sequence (PARS) (Cregg et al.,
1985). PARS akan mempertahankan vektor sebagai
elemen sirkular dengan jumlah kopi sekitar 10/sel.
Dibandingkan dengan S. cerevisiae, P. pastoris memiliki
kecenderungan rekombinasi, walaupun terdapat PARS.
Vektor yang mengandung lebih dari sekitar 0,5 kb urutan
DNA P. pastoris akan terintegrasi ke genom P. pastoris
pada beberapa titik selama 100 generasi pertama setelah
transformasi.
Kebanyakan vektor ekspresi memiliki kaset
ekspresi yang terdiri dari 0,9 kb fragmen AOX1 yang
mengandung urutan promotor 5’ dan urutan pendek
fragmen AOX1 yang mengandung urutan yang dibutuhkan
untuk terminasi transkripsi. Di antara urutan promotor dan
terminator terdapat multiple cloning site (MCS) untuk
insersi urutan pengode gen asing. Diagram umum vektor
ekspresi P. pastoris diperlihatkan pada Gambar 4.1, dan
MCS vektor pPICZA diperlihatkan pada Gambar 4.2.
42
Gambar 4.1. Diagram umum vektor ekspresi P. pastoris.
YFG, ‘Your Faforite Gene’
43
Gambar 4.2. Urutan multiple cloning site (MCS) pada vektor
pPICZA (Invitrogen, 2006).
Pada gen natif AOX1, open reading frame (ORF)
untuk AOX1 didahului oleh daerah 5’ yang panjang dan
tidak ditranslasi (116 nt). Biasanya hasil ekspresi yang
bagus akan diperoleh bila ATG pertama dari urutan
pengode protein heterolog diinsersikan sedekat mungkin
dengan posisi ATG AOX1. Posisi ini merupakan sisi
pertama enzim restriksi pada MCS (Cereghino dan Cregg,
2000).
Agar protein heterolog dapat disekresikan ke
medium ekstraselular, maka beberapa vektor ekspresi
telah dirancang dengan penambahan sinyal sekresi
tertentu dari sel eukariota seperti ragi. Terdapat banyak
jenis sinyal sekresi yang telah digunakan dalam sistem
ekspresi ragi, seperti peptida sinyal yang berasal dari gen
PHO1 (asam fosfatase) P. pastoris, invertase ragi, sinyal
sekresi -mating factor ragi, dan lain-lain. Masing masing
sinyal memiliki keunggulan tersendiri dan tidak ada
aturan khusus untuk menentukan urutan sinyal yang
efektif. Di antara semua sinyal ini, peptida sinyal mating factor ragi yang terdiri dari 19 residu asam amino,
yang berperan penting dalam inisiasi pematangan
(Koganeshawa et al., 2001).
44
Tabel 4.2. Komponen umum yang terdapat pada vektor untuk
ekspresi protein dalam P. pastoris.
Signal sekresi
Tidak ada, PHO1, -MF, SUC2, PHA-E
Gen marker
ADE1, ARG4, G418, HIS4, URA3, Zeor
Promotor
AOX1, GAP, FLD1, PEX8, YPT1
Terdapat sejumlah vektor yang tersedia secara
komersial yang dapat digunakan untuk mengekspresikan
protein asing dalam P. pastoris. Berikut akan
didiskusikan beberapa aspek penting dari vektor yang
biasa digunakan. Sejumlah vektor tidak mengandung
signal sekresi sebelum multi cloning site, vektor ini dapat
digunakan untuk ekspresi intraselular atau ekspresi
ekstraselular melalui kloning gen pengode protein berikut
signal sekresi natifnya. Vektor yang lain mengandung
urutan sinyal seperti pre-pro leader sequence -mating
factor ( MF) sebelum sisi MCS, sehingga produk gen
akan disekresikan. Generasi pertama vektor ekspresi P.
pastoris, seperti pHIL-D2 atau pPIC9 (Gambar 4.3),
mengandung gen histidin dehidrogenase (HIS4)
fungsional yang dapat digunakan sebagai marker
penyeleksi setelah transformasi ke dalam P. pastoris his4
(galur yang defisien histidin dehidrogenase) melalui
metode transformasi integrasi yang dipilih.
45
Gambar 4.3. Diagram vektor pHIL-D2 dan pPIC9
Untuk memperoleh ekspresi protein level tinggi
dengan transforman His+ ini, diperlukan analisis lebih
lanjut untuk mendeteksi tandem integrasi multikopi dari
kaset ekspresi. Selanjutnya, gen yang mengubah resistensi
terhadap GS418 (kanamycin) ditambahkan ke vektor ini
untuk menghasilkan vektor ekspresi pPIC9K (Gambar
4.4). Pendekatan ini memungkinkan transformasi dan
seleksi transforman His+ yang resistan terhadap GS418
(kanamycin) konsentrasi tinggi, sehingga diasumsikan
mengandung vektor ekspresi multikopi.
46
Gambar 4.4. Diagram vektor pPIC9K
Beberapa masalah telah didokumentasikan pada
penggunaan vektor-vektor tersebut di atas. Pertama,
ukuran vektor yang besar (9,0-9,3 kb) menyebabkan tahap
kloning in vitro menjadi lebih sulit (Sears et al., 1998)
dan integrasi vektor dengan ukuran besar pada umumnya
menghasilkan transforman yang secara genetik kurang
stabil (Romanos et al., 1992). Kedua, karena tidak semua
aplikasi membutuhkan penargetan melalui pergantian gen,
maka daerah 3’ gen AOX1 pada vektor tidak dibutuhkan.
Penggunaan gen His4 tidak secara langsung dapat
digunakan untuk seleksi integran multikopi (dan gennya
sendiri cukup besar), hambatan ini telah menghasilkan
usaha untuk menemukan marker seleksi alternatif untuk
mendapatkan integran multikopi secara langsung, dan
juga untuk mengurangi ukuran vektor, sehingga
47
menghasilkan generasi vektor yang berdasarkan pada
kemampuan produk gen Sh ble untuk mengubah resistensi
terhadap antibiotik zeocin (Gambar 4.5).
Gambar 4.5. Diagram vektor pPICZ (Invitrogen, 2006)
Vektor resistan zeocin juga tersedia dengan MF
(untuk ekspresi sekresi), tanpa urutan sinyal (untuk
intraselular atau ekspresi ekstraselular menggunakan
urutan sinyal natif), juga dengan pilihan promotor AOX1
atau GAP. Tabel 4.3 di bawah ini menjelaskan sisi-sisi
48
istimewa pada
keuntungannya.
vektor
ekspresi
pPICZA
serta
Tabel 4.3 Sisi-sisi istimewa pada vektor ekspresi pPICZA
serta kegunaannya (Invitrogen, 2006)
Sisi keistimewaan
5′ AOX1
Kegunaan
Fragmen 942 pb dari promotor
AOX1 yang berfungsi untuk induksi
metanol, tingkat ekspresi yang
tinggi pada Pichia. Target integrasi
plasmid pada lokus AOX1.
Multiple cloning site Berfungsi untuk memasukan gen
dengan 10 sisi restriksi asing ke dalam vektor ekspresi.
yang unik.
Ujung C-terminal myc Memungkinkan protein fusi dapat
epitope (Glu-Gln-Lys- dideteksi oleh antibodi anti-myc
Leu-Ile-Ser-Glu-Gluatau antibodi anti-myc-HRP.
Asp-Leu-Asn).
Ujung C-terminal
polihistidin.
Protein fusi rekombinan dapat
dimurnikan resin khelat-logam
seperti ProBondTM. Selain itu,
ujung ini adalah epitop untuk
Antibodi Anti-His(C-term) dan
Antibodi Anti-His (C-term)-HRP.
49
Terminasi transkripsi
AOX1 (TT).
Terminasi transkripsi natif dan
sinyal poliadenilasi dari gen AOX1
(~260 pb) yang memungkinkan
proses efisiensi 3′ mRNA, termasuk
poliadenilasi, untuk meningkatkan
stabilitas mRNA.
Promotor TEF1
Faktor
elongasi
transkripsi
promotor gen 1 dari S. cerevisiae
yang mengendalikan ekspresi gen
Sh ble pada Pichia, yang memberi
resistensi terhadap Zeocin.TM
EM7 (promotor
prokariota sintetik).
Promotor konstitutif yang ini
mengendalikan ekspresi gen Sh
ble pada E. coli, yang memberi
resistensi terhadap Zeocin.TM
Gen Sh ble (gen
Streptoalloteichus
hindustanus ble)
Gen resistensi ZeocinTM untuk
seleksi pada E.coli.
Daerah terminasi
transkripsi CYC1.
Ujung 3′ gen CYC1 S. cerevisiae
yang efisien pada pemprosesan 3′
mRNA gen Sh ble untuk
meningkatkan stabilitas.
ORI pUC
Berfungsi sebagai titik awal
replikasi
dan
pemeliharaan
plasmid E.coli.
50
SacI
PmeI
BstX I
Sisi restriksi yang unik yang dapat
melinearkan vektor pada lokus
AOX1 untuk integrasi yang efisien
kedalam genom Pichia.
Vektor yang resistensi zeocin hanya mengandung
daerah promotor 5′AOX1 dan terminator transkripsi
AOX1, serta gen Sh ble. Walaupun vektor ini tidak dapat
digunakan secara langsung untuk penggantian gen,
transforman yang mengandung kaset ekspresi multikopi
dapat diseleksi berdasarkan resistensi terhadap zeocin
konsentrasi tinggi. Fenotipe Muts (aox1) mungkin masih
diperoleh jika gen AOX1 dirusak (Vassileva et al., 2001).
Pada vektor yang berdasarkan resistensi terhadap zeocin
ini (3,3-3,6 kb), kaset ekspresi juga berada di antara sisi
restriksi BamH1 dan Bgl1, sehingga memungkinkan
untuk mengonstruksi vektor yang mengandung multiple
tandem kaset ekspresi (in vitro multimer) (Gambar 4.6).
Proses ini juga mungkin dilakukan menggunakan vektor
pAO815. Walaupun ukuran vektor ini adalah 7,7 kb,
tahapan kloning menjadi lebih sulit dan multimer vektor
ekspresi yang dihasilkan juga sangat besar, sehingga tidak
stabil secara genetik.
Tipe perakitan kaset multimer vektor juga telah
diaplikasikan dengan sukses untuk ko-ekspresi protein
dalam P. pastoris. Secara spesifik Wu dan koleganya
51
(1999) berhasil memperoleh hidrolisis nitril melalui koekspresi tiga protein (nitril hidratase
subunit, nitril
hidratase subunit, dan protein asesoris P14K) melalui
inkorporasi cDNA masing-masing protein ke dalam satu
vektor ekspresi yang memungkinkan pembentukan
protein oligomer yang tepat. Selain itu, Pakkanen et al
(2003) memperlihatkan bahwa ko-ekspresi rantai 1 (I)
foldon dan 2 (I) foldon pada P. pastoris memicu
terbentuknya kolagen heterodimer tipe 1 dengan rasio
rantai yang tepat.
Gambar 4.6. Diagram vektor multimer dua kopi.
3. Transformasi/ integrasi ke genom P. pastoris
52
P. pastoris ditransformasi melalui integrasi kaset
ekspresi ke kromosom pada lokus spesifik untuk
menghasilkan transforman yang stabil secara genetik.
Integrasi ke kromosom lebih disukai dibandingkan
penggunaan plasmid episom yang cenderung memiliki
jumlah kopi sedikit, sehingga hal ini akan memengaruhi
jumlah produk yang diekspresikan. Ukuran plasmid juga
memengaruhi stabilitas dalam inang, karena plasmid
episom yang besar bisa menghilang selama pembentukan
generasi berikut, karena tidak stabil selama mitosis (Thiry
& Cingolani, 2002; Romanos et al., 1992). Selanjutnya,
dalam rangka mempertahankan populasi sel yang telah
ditransformasi, transforman yang mengandung plasmid
episom harus dikulturkan secara kontinu menggunakan
media seleksi (Romanos et al., 1992). Prosedur ini
membutuhkan penggunaan aditif seperti antibiotik,
sehingga dapat meningkatkan biaya produksi. Oleh
karena itu, pengembangan galur ekspresi yang stabil
secara genetik sangat diinginkan, dengan laju kehilangan
vektor kurang dari 1 persen per generasi tanpa
menggunakan marker penyeleksi (Romanos, 1995). Lebih
lanjut, vektor integrasi biasanya mengandung marker
penyeleksi yang dapat digunakan untuk mendeteksi
transforman. Beberapa vektor dapat digunakan untuk
analisis langsung peristiwa multi-tandem integrasi, namun
analisis lebih lanjut jumlah integrasi perlu dilakukan.
53
Integrasi ke genom dapat terjadi melalui proses
rekombinasi homolog bila vektor/ kaset ekspresi
mengandung daerah yang homolog dengan genom P.
pastoris sehingga integrasi dapat terjadi melalui insersi
gen atau pergantian gen (Gambar 4.7A-C). Integrasi
melalui insersi gen dapat menghasilkan integrasi multitandem karena terjadinya peristiwa rekombinasi berulang
dengan laju 1-10 persen dari transforman (Romanos,
1995).
Integrasi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara
yang paling sederhana adalah dengan memotong vektor
pada sisi yang unik dalam gen penanda (seperti HIS4)
atau pada fragmen promotor AOX1 dan kemudian
mentransformasinya ke mutan auksotropi yang tepat.
Ujung DNA bebas akan menstimulasi rekombinasi
homolog yang menghasilkan integrasi tipe single
crossover (Gambar 4.7A dan B) ke lokus ini dengan
frekuensi tinggi (50 persen-80 persen dari transforman
His+). Sisa transforman akan mengalami konversi gen,
dimana hanya gen marker dari vektor yang terintegrasi ke
lokus inang mutan, sedang urutan vektor yang lain tidak
terintegrasi.
54
Gambar 4.7A. Insersi gen pada lokus his4
Gambar 4.7B. Insersi gen pada lokus AOX1
Transformasi yang menargetkan pergantian gen
biasanya menghasilkan transforman satu kopi, namun
55
transforman hasil pergantian gen biasanya lebih stabil
(Romanos et al., 1992; Clare et al., 1991). Pergantian gen
dicapai melalui pemotongan vektor ekspresi yang ujung 5′
dan 3′ dari vektor merupakan ujung 5′ dan 3′ AOX1 pada
lokus AOX kromosom. Vektor ekspresi dipotong
sedemikian rupa sehingga kaset ekspresi dan gen marker
dibebaskan, diapit oleh urutan 5′ dan 3′ AOX1. Sekitar 1020 persen peristiwa transformasi adalah merupakan hasil
dari peristiwa pertukaran gen (gene replacement) bahwa
gen AOX1 didelesi dan digantikan oleh kaset ekspresi dan
gen marker (Gambar 4.7C) (Romanos, 1995).
Gambar 4.7C. Pergantian gen pada lokus AOX1.
56
Perusakan gen AOX1 akan memaksa galur ini
untuk bergantung pada gen AOX2 yang ditranskripsi
dengan lemah untuk tumbuh pada metanol, sehingga
hasilnya galur ini memiliki fenotipe Muts (Cregg et al.,
1987). Galur dengan penggantian gen akan mudah
diidentifikasi di antara koloni transforman dengan cara
mereplikanya pada media yang mengandung metanol dan
menyeleksi koloni yang sulit tumbuh pada metanol.
Manfaat utama dari galur Mut s adalah mengonsumsi
sedikit metanol dan kadang-kadang mengekspresikan
protein asing dengan jumlah tinggi dibandingkan wild tipe
(galur Mut+) terutama pada kultur shake-flask.
Sisi dan tipe integrasi (insersi atau penggantian)
dapat dikonfirmasi dengan analisis southern blot,
hibridisasi dengan probe yang diambil dari daerah
promotor AOX1 (Paifer et al.,1994). Introduksi kaset
ekspresi ke kromosom ragi dapat dilakukan melalui
berbagai cara termasuk pembentukan speroplas,
elektroporasi dan litium klorida. Transformasi metode
speroplas telah digunakan untuk memperoleh transforman
multikopi dengan menggunakan vektor seperti pPIC9K
dan pPIC9 (Greenwald et al., 1998; Berger et al., 2002).
Metode ini membutuhkan beberapa tahap dengan risiko di
mana kontaminasi ragi mungkin terjadi. Selain itu
pemotongan yang berlebihan dengan enzim pelisis sel
zimolase dapat mengurangi fiabilitas sel. Elektroporasi
57
akhir-akhir ini semakin popular dan dapat digunakan
untuk vektor resistan zeocin. Metode ini membutuhkan
beberapa step dan risiko kontaminasi sedikit. Pengalaman
di laboratorium memperlihatkan bahwa sistem ekspresi
yang sangat efisien dapat dikonstruksi melalui strategi ini,
sehingga sejumlah protein fungsional dengan folding yang
tepat dapat disiapkan dan dipurifikasi, terutama bila
protein tersebut mengandung tag-peptide, seperti
heksahistidin pada posisi N atau C terminal. Contohnya,
prosedur ini telah digunakan untuk persiapan sejumlah
protein mutan reseptor aktivin ActRIa/b dan ActRIIa/b
(Beall & Pearce, 2001).
4. Pemilihan promotor
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, enzim AOX1
mempunyai afinitas yang rendah terhadap oksigen,
sehingga
sebagai
kompensasinya
P.
pastoris
meningkatkan regulasi promotor AOX1 untuk
menjalankan ekspresi gen AOX1 dan memproduksi
sejumlah besar enzim AOX. Kenyataannya, melimpahnya
enzim AOX bisa mencapai 30 persen total protein sel, bila
sel ditumbuhkan pada metanol sebagai satu-satunya
sumber karbon (Gellissen, 2000; Cregg et al., 1993).
Sehingga promotor yang kuat ini dapat digunakan untuk
menjalankan ekspresi protein rekombinan dengan level
yang tinggi walaupun hanya terjadi integrasi satu kopi
58
dari kaset ekspresi. Manfaat lain dari promotor ini adalah
dapat di-off-kan, sehingga sejumlah terbatas sumber
karbon seperti gliserol dan glukosa merepresi promotor
AOX1 pada level transkripsi dan meminimalkan
kemungkinan untuk menyeleksi mutan non-ekspresi atau
kontaminan selama pembentukan biomassa. (Inan &
Meager, 2001; Cregg et al., 1993; Cereghino & Cregg,
2000). Karakteristik ini juga memungkinkan produksi
protein yang toksik terhadap P. pastoris, seperti anti-sel T
immunotoxin (Woo et al., 2002) dengan menumbuhkan
sel pertama-tama dalam media represif dan kemudian
menginduksi ekspresi protein bila biomassa sudah cukup
banyak.
Jika transforman digunakan untuk ekspresi adalah
fenotipe Mut+, sejumlah besar metanol akan dikonsumsi
selama fasa induksi. Pada proses fermentasi skala besar,
jumlah metanol yang dibutuhkan sel dengan fenotipe ini
dapat
membahayakan karena
mudah terbakar.
s
Transforman dengan fenotipe Mut dapat digunakan untuk
mengurangi jumlah metanol yang dibutuhkan untuk
ekspresi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, ekspresi
dengan galur Mut s hanya dapat menoleransi terhadap
metanol dengan level rendah, dan pertumbuhan tidak
dapat ditopang hanya dengan metanol. Untuk mengatasi
kekurangan ini, pertumbuhan dapat didukung dengan
sumber karbon alternatif seperti sorbitol, manitol,
59
trehalosa atau alanin. Semua sumber karbon ini diketahui
mendukung pertumbuhan selama fasa produksi tanpa
merepresi induksi AOX (Sreekrishna et al., 1997; Inan &
Meager, 2001). Sreekrishna et al. (1997) juga
menggunakan sorbitol untuk mendukung pretumbuhan
dalam kultur semi kontinu.
Baru-baru ini alternatif lain telah digambarkan di
mana P. pastoris Mut- (MC100-3), yang gen AOX1 dan
AOX2-nya rusak, telah digunakan untuk produksi protein
yang dijalankan oleh promotor AOX. Pada contoh ini
pertumbuhan dilakukan dengan adanya sumber karbon
yang tidak menghambat pertumbuhan (seperti sorbitol,
manitol) dan sejumlah kecil metanol ditambahkan
secukupnya untuk menginduksi ekspresi protein tanpa
menghambat pertumbuhan sel (Inan & Meager, 2001).
Walaupun promotor AOX1 telah sukses
digunakan untuk mengekspresikan sejumlah gen asing,
kadang-kadang terdapat keadaan di mana promotor ini
tidak cocok. Sebagai contoh penggunaan metanol untuk
menginduksi ekspresi gen mungkin tidak cocok untuk
produksi produk makanan, karena sumber metanol adalah
metana yang merupakan senyawa industri perminyakan.
Selain itu metanol juga berbahaya, terutama dalam jumlah
yang dibutuhkan untuk fermentasi skala besar. Oleh
karena itu, promotor yang tidak diinduksi oleh metanol
lebih menarik untuk ekspresi gen-gen tertentu. Promotor
60
alternatif selain AOX1 adalah promotor GAP, FLD1,
PEX8, dan YYPT1 P. pastoris.
Promotor GAP
Waterham dan kolega (1997) mengisolasi gen
gliseraldehid 3-fosfat dehidrogenase dari P. pastoris
melalui pelacakan pustaka genom P. pastoris dengan gen
GAPDH S. cerevisieae. Daerah promotor dari gen ini
selanjutnya diklon dan digunakan pada vektor ekspresi
untuk menjalankan produksi protein rekombinan secara
konstitutif. Promotor gen untuk gliseraldehid 3-fosfat
dehidrogenase (GAP) P. pastoris menyediakan ekspresi
konstitutif yang kuat pada medium glukosa dengan level
yang sebanding dengan yang diamati pada promotor
AOX1. Pendekatan ini memungkinkan sel ditumbuhkan
tanpa menggunakan metanol sebagai penginduksi dan
terutama baik digunakan untuk produksi protein untuk
fermentor skala besar. Sejumlah sumber karbon telah
digunakan pada produksi protein dengan promotor GAP,
seperti glukosa, gliserol, asam oleat dan metanol, dan
glukosa ditemukan menghasilkan ekspresi yang paling
tinggi. Level aktivitas promotor GAP pada sel yang
ditumbuhkan dengan gliserol dan metanol kira-kira dua
per tiga dan satu per tiga dibanding dengan bila
ditumbuhkan dengan glukosa. Manfaat menggunakan
promotor GAP adalah metanol tidak dibutuhkan untuk
61
induksi, dan juga tidak dibutuhkan pemindahan kultur
dari satu sumber karbon ke yang lain, sehingga galur
tumbuh lebih cepat. Perbandingan tingkat ekspresi Blaktamase P. pastoris menggunakan promotor AOX1 dan
GAP (integrasi satu kopi pada HIS4) memperlihatkan
bahwa protein diproduksi dengan level tinggi di bawah
kontrol promotor GAP (yang ditumbuhkan dalam
glukosa) dibandingkan promotor AOX (ditumbuhkan
dalam metanol). Namun, karena promotor GAP
diekspresikan secara konstitutif, maka promotor ini tidak
bagus digunakan untuk produksi protein yang bersifat
racun terhadap ragi (Waterham et al., 1997).
Promotor FLD1
Promotor FLD1 dari gen yang mengode
formaldehid dehidrogenase (FLD), enzim yang juga
terlibat pada jalur disimilasi metanol, juga telah
digunakan untuk mengekspresikan protein asing dalam P.
pastoris. Enzim ini dapat mencapai 20 persen total protein
sel dan diinduksi oleh metanol dan membutuhkan
ammonium sulfat sebagai sumber karbon (Gellissen,
2000).
Gen FLD1 mengode formaldehid dehidrogenase
yang membutuhkan glutation, merupakan enzim kunci
yang dibutuhkan untuk metabolisme amina termetilasi
62
tertentu sebagai sumber nitrogen dan metanol sebagai
sumber karbon. Promotor FLD1 dapat diinduksi dengan
metanol sebagai sumber karbon (dan ammonium sulfat
sebagai sumber nitrogen) atau metilamin sebagai sumber
nitrogen (dan glukosa sebagai sumber karbon). Setelah
induksi dengan metanol atau metilamin, promotor FLD1
dapat mengekspresikan sejumlah gen reporter Llaktamase dengan jumlah yang sama dengan yang
diperoleh pada induksi dengan metanol pada promotor
AOX1. Promotor FLD1 memberikan fleksibilitas untuk
induksi ekspresi tinggi dengan menggunakan metanol
atau metilamin (sumber nitrogen yang tidak mahal dan
tidak beracun).
Promotor PEX8 dan YPT1
Untuk aplikasi tertentu, promotor AOX1, GAP
dan FLD1 mungkin terlalu kuat. Terdapat bukti bahwa
untuk gen-gen asing tertentu ekspresi level tinggi dari
promotor AOX1, mungkin membuat mesin modifikasi
pasca-translasi sel menjadi kewalahan, sehingga
menyebabkan sejumlah besar protein asing menjadi
misfolding, tidak diproses atau salah lokasi (Brierley,
1998). Untuk aplikasi ini promotor ekspresi menengah
lebih disukai.
Untuk tujuan ini promotor PEX8 dan YPT1
mungkin dapat digunakan. Gen PEX8 mengode protein
63
matriks peroksisom yang penting untuk biogenesis
peroksisom. Gen ini diekspresikan pada level rendah
namun cukup signifikan dalam glukosa dan promotor ini
diinduksi dengan sedang bila sel dipindahkan ke metanol.
Promotor lain yang telah sukses digunakan dalam sistem
ekspresi P. pastoris adalah promotor konstitutif YPT1,
yang dikonstruksi dari produk gen GTPase yang terlibat
dalam jalur sekresi (Segev et al., 1988).
Sears et al (1998) mengonstruksi sejumlah vektor
yang mengandung promotor GAP, YPT1 atau AOX
diikuti dengan multi cloning site dari pUC19 dan
terminator transkripsi dari gen AOX1. Dengan
menggunakan vektor ini, protein -glukuronidase (GUS)
telah diekspresikan dalam P.pastoris dan level
produksinya dibandingkan. Hasilnya ditemukan bahwa
glukosa merupakan sumber karbon yang paling baik
untuk promotor GAP dan manitol untuk promotor YPT1.
Tingkat ekspresi memperlihatkan bahwa produksi
promotor AOX adalah 587 unit/mL, yang jauh lebih besar
dibandingkan 70,4 unit/mL dengan promotor GAP dan
1,67 unit/mL dengan promotor YPT1. Penemuan ini
berlawanan dengan hasil yang diperoleh oleh Waterham
dan kolega (1997). Lebih menarik lagi bila promotor
AOX diinduksi dengan manitol, sejumlah 20,3 unit/mL
GUS diproduksi walaupun tanpa penambahan metanol.
Observasi yang berbeda pada dua studi ini
64
memperlihatkan pemilihan sistem ekspresi
tergantung pada protein yang diekspresikan.
protein
Promotor DHAS
Tschopp et al (1987) telah mengekspresikan galaktosidase menggunakan promotor AOX dan promotor
dihidroksiaseton sintase (DHAS). Protein DHAS sendiri
digunakan pada jalur asimilasi metanol dan dapat
mencapai lebih dari 20 persen total protein sel bila
ditumbuhkan dalam metanol (Gellissen, 2000; Tschopp et
al., 1987). Produksi -galaktosidase diinduksi dengan
metanol pada penggunaan kedua promotor ini. Hasilnya
produksi -galaktosidase dengan promotor AOX lima kali
lebih besar dibandingkan promotor DHAS bila sel
ditumbuhkan dalam metanol. Perbedaan tingkat ekspresi
induksi dari dua promotor ini mungkin bisa dijelaskan
karena protein peroksisom (AOX) mempunyai laju turn
over lebih cepat dibandingkan protein sitoplasma DHAS.
Kekurangan glukosa juga ditemukan menghasilkan
induksi promotor AOX (ekspresi protein AOX ) dan juga
protein rekombinan yang dikontrol promotor AOX1.
Peningkatan jumlah -galaktosidase yang diproduksi di
bawah kontrol promotor AOX, juga telah ditemukan pada
saat kekurangan glukosa. Namun tidak ada pengaruh
induksi -galaktosedase menggunakan promotor DHAS
pada saat kelaparan glukosa. Sehingga promotor DHAS
65
tidak diaktivasi oleh kekurangan karbon. Hasil ini
menyarankan bahwa kedua promotor ini mempunyai
mekanisme regulasi yang berbeda (Tschopp et al., 1987).
5. Pemilihan kodon dan transkripsi terpotong
Bila kita mengekspresikan protein yang bukan
berasal dari ragi, kodon dari gen yang mengode protein
mungkin tidak optimal untuk mengakomodasi ekspresi
protein level tinggi. Kodon yang umum pada beberapa
spesies mungkin jarang digunakan pada P. pastoris
sehingga ekspresi akan dibatasi oleh jumlah amino asil
tRNA yang terdapat pada sel ragi (Romanos et al., 1992).
Terminasi translasi yang prematur dapat terjadi bila
amino asil tRNA tertentu kurang jumlahnya/habis
(Leuking et al., 2000; Clare et al., 1991; Tull et al.,2001;
Eckart et al., 1996), dan juga transkripsi dapat diterminasi
jika DNA memiliki proporsi basa AT tinggi (Sreekrishna
et al., 1997; Romanos, 1995).
Perubahan kodon bias dan peningkatan proporsi
basa GC dalam DNA dapat digunakan untuk
meningkatkan level ekspresi. Salah satu contoh
pendekatan ini dapat ditemukan pada ekspresi mouse
epidermal growth factor (mEGF) pada P. pastoris, di
mana gen dibuat secara sintetik dengan kodon bias yang
dekat ke ragi (Clare et al., 1991). Gen untuk -amilase
juga telah dibuat secara sintetik untuk mengoptimalkan
66
penggunaan kodon dan untuk meningkatkan persentase
basa GC dalam sistem ekspresi yang analog dengan P.
pastoris (Tull et al., 2001). Dengan cara yang sama gen
-glukanase ditambah kandungan CG-nya (Olsen et al.,
1996), sehingga meningkatkan level ekspresi glukanase.
Sementara itu peningkatan kandungan basa GC pada gen
pengode fragmen toksin tetanus juga menghasilkan
peningkatan level ekspresi (Romanos et al., 1992; Clare et
al., 1991).
Anti human anti T cell immunotoxin juga telah
diekspresikan dalam P. pastoris menggunakan urutan
cDNA natif, di mana diperoleh hasil terminasi transkripsi
prematur karena terdapatnya urutan yang kaya AT.
Optimasi kodon menghasilkan transkripsi dan ekspresi
protein rekombinan (Woo et al., 2002). Baru-baru ini
protein glukoserebriosidase manusia juga telah
diekspresikan dalam P. pastoris dan diperoleh bahwa
walaupun level transkripsi mencukupi namun level
produk hasil translasinya sedikit. Optimasi kodon pada
kasus ini menghasilkan peningkatan 10,6 kali jumlah
protein glukoserebriosidase yang diekspresikan (Sinclair
& Choy, 2002).
Pada studi yang dilaporkan oleh Scorer et al
(1993) yang berhubungan dengan produksi protein
pembungkus HIV-1, mRNA ditemukan terpotong bila
diekspresikan dalam P. pastoris dan sisi pemotongan
67
mirip dengan urutan konsensus ragi yaitu 5′-TTTTTATA.
DNA kemudian dire-sintesis untuk membuang urutan
konsensus ini, meningkatkan kodon bias dan
meningkatkan kandungan GC. Setelah perubahan ini
mRNA ditemukan dalam ukuran yang utuh (Scorer et al.,
1993). Translasi mRNA dipengaruhi oleh daerah yang
tidak ditranslasi pada sisi 5′. Urutan konsensus yang
mengawali translasi pada ragi seperti P. pastoris berbeda
dengan organisme lain seperti mamalia. Urutan konsensus
pada ragi adalah A/YAA/UAAUGUCU (Romanos et al.,
1992). Urutan pre-pro MF adalah optimal untuk ragi
seperti S. cerevisiase atau P. pastoris, tapi bila sinyal
sekresi natif digunakan maka inisiasi translasi mungkin
perlu diubah.
6. Integrasi gen multikopi
Untuk mengoptimumkan ekspresi protein, sering
melibatkan isolasi galur yang mengandung kaset ekspresi
multikopi. Biasanya menyeleksi transforman yang
mengandung integrasi multikopi lebih disukai karena klon
seperti ini mempunyai potensi untuk mengekspresikan
protein rekombinan dengan level yang tinggi. Manfaat
lebih lanjut dari seleksi transforman yang mengandung
gen multikopi adalah jika terdapat mutasi pada salah satu
kopi kaset ekspresi, yang terjadi selama proses integrasi,
kemudian protein yang dihasilkan oleh kopi mutan ini
68
mungkin tidak akan berkontribusi terhadap jumlah total
protein yang diekspresikan (Eckart & Bussineau, 1996).
Integrasi multi kopi terjadi relatif jarang dengan
laju 1-10 persen (Chen et al., 2000). Jumlah kopi integran
kaset ekspresi dapat memengaruhi jumlah protein yang
diekspresikan oleh P. pastoris. Contohnya peningkatan
jumlah integran kaset ekspresi (jumlah kopi) dari 1-14
untuk protein fragmen C toksin tetanus meningkatkan
level ekspresi protein 6 kali (Clare et al., 1991). Dengan
cara yang sama 20 kopi integrasi dari tumor necrosis
factor (TNF- ) menghasilkan peningkatan ekspresi
sampai 200 kali (Sreekrishna et al., 1989), 19 kopi
integran dari mEGF meningkatkan level protein 13 kali
dan level protein antigen permukaan hepatitis B
dilaporkan meningkat 11,5 kali dengan 8 kopi integran
(Vassileva et al., 2001).
Lebih penting lagi, walaupun dengan dosis gen
tinggi, tidak terdapat bukti terjadinya kejenuhan jalur
sekresi (Clare et al., 1991), dengan masing-masing
peristiwa integrasi ditemukan berkontribusi sebanding
dengan jumlah protein yang diekspresikan. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak terjadinya kompetisi pada
setiap vektor (Vassileva et al., 2001), dan menyarankan
bahwa multi-integrasi mempunyai sedikit pengaruh
terhadap ekspresi dan sekresi protein dalam P. pastoris.
69
Tiga pendekatan dilakukan untuk mendapatkan
galur P. pastoris multikopi.
Pendekatan pertama
melibatkan konstruksi vektor dengan multi-head-to-tail
dari kaset ekspresi (Brierley, 1998). Kunci untuk
mendapatkan konstruksi ini adalah vektor yang memiliki
kaset ekspresi yang diapit oleh sisi restriksi yang memiliki
ujung komplemen (seperti kombinasi BamH1-BglII, Sal1XhoI). Proses pengulangan pemotongan dan re-insersi
akan menghasilkan sejumlah vektor yang mengandung
peningkatan jumlah kaset ekspresi. Manfaat dari metode
ini adalah terutama pada produksi produk farmasi untuk
manusia, di mana jumlah kaset ekspresi diketahui dengan
tepat dan dapat ditentukan kembali untuk verifikasi
melalui penentuan urutan DNA.
Metode kedua menggunakan vektor ekspresi yang
mengandung gen HIS4 P. pastoris dan gen Tn903kanr
bakteri. Gen resistan kanamycin bakteri juga mengubah
resistensi terhadap antibiotik eukariota G418 (Scorer et
al., 1994). Level resistensi G418 akan berhubungan
dengan jumlah kopi. P. pastoris pertama harus
ditransformasi dengan His prototropi; kemudian
transforman multikopi di tapis dengan replica-plating
pada petri yang mengandung G418. Metode ini akan
menghasilkan sejumlah koloni yang mengandung vektor
ekspresi multikopi. Bagaimanapun jumlah kopi vektor
bervariasi, sehingga sejumlah besar transforman (50-100
70
koloni harus dianalisis jumlah kopi dan level ekspresinya.
Dengan pendekatan ini galur yang membawa lebih dari 30
kopi kaset ekspresi telah diisolasi (Clare et al., 1991).
Pendekatan ketiga untuk konstruksi galur
multikopi melibatkan penggunaan vektor yang memiliki
gen Sh ble bakteri yang mengubah resistensi terhadap
antibiotik zeocin (Gambar 4.8) (Higgins et al., 1998).
Gambar 4.8. Insersi sisi 5’ plasmid ke lokus AOX1 (pada
galur Mut+), sehingga menambahkan PAOX1, gen yang
dikloning dan gen resistan terhadap zeocin ke genom P.
pastoris. Insersi multikopi dapat terjadi karena insersi gen pada
locus AOX1 atau aox1::ARG4 terjadi beberapa kali (Invitrogen,
2006).
71
Tidak seperti seleksi G418, galur yang
ditransformasi dengan kaset ekspresi yang mengandung
marker zeocin dapat diseleksi langsung berdasarkan
resistensi terhadap obat. Resistensi terhadap zeocin
konsentrasi tinggi menyebabkan klon dapat diseleksi
untuk integrasi multikopi, karena produk gen Sh ble
terikat dan menginaktifkan zeocin dengan cara yang
tergantung pada dosis (Monsalve et al., 1999; Vassileva et
al., 2001; Chen et al., 2000). Sehingga jumlah populasi
transforman galur multikopi dapat ditapis dengan
menumbuhkannya pada media seleksi yang mengandung
zeocin dengan konsentrasi yang meningkat. Juga, karena
gen Sh ble dapat bertindak sebagai marker seleksi pada
bakteri dan ragi, maka vektor ekspresi ini menyenangkan
untuk digunakan. Bagaimanapun, sama seperti seleksi
dengan G418, kebanyakan transforman yang resistan
terhadap zeocin konsentrasi tinggi tidak mengandung
vektor multikopi sehingga sejumlah transforman harus
diseleksi. Galur yang mengandung multikopi insersi dapat
dideteksi dengan analisis dot blot kuantitatif dan analisis
Southern Blot.
Contohnya pada studi yang dilakukan oleh
Vassileva et al (2001), pengaruh seleksi terhadap hiperresistensi terhadap zeocin dengan konsentrasi 100, 500,
1000 dan 2000 mg/mL diuji dengan transforman yang
akan dianalisis jumlah kopi gen terintegrasinya.
Ditemukan bahwa transforman yang resisten terhadap
72
zeocin 100 mg/mL pada umumnya mengandung satu
kopi, yang resistan terhadap zeocin 500 mg/mL
mengandung dua kopi, yang resistan terhadap zeocin
1000 mg/mL mengandung tiga kopi dan transforman yang
resistan terhadap zeocin 2000 mg/mL mengandung empat
kopi integran (Vassileva et al., 2001). Sebaliknya, studi
lain yang dilakukan oleh Sarramegna et al (2002)
menemukan bahwa transforman yang resisten terhadap
zeocin 1000 mg/mL mengandung integran 15-25 kopi.
7. Ekspresi intraselular
Bila mengekspresikan protein rekombinan dalam
ragi, perlu dipertimbangkan apakah protein tersebut akan
diekspresikan intraselular atau sekresi ekstraselular.
Pilihan akan tergantung pada protein yang akan
diekspresikan. Jika target protein tidak disekresikan
menggunakan sistem natif, maka induksi protein melewati
sistem sekresi mungkin akan menghasilkan protein yang
telah diubah oleh glikosilasi atau protein yang kekurangan
modifikasi pasca-translasi yang mungkin sangat
diperlukan. Sehingga ekspresi intraselular merupakan
pilihan lain dari sekresi dan biasanya tidak menghasilkan
glikosilasi, yang dalam beberapa kasus menyediakan
beberapa metode yang lebih disukai. Namun purifikasi
protein hasil ekspresi intraselular dapat menjadi lebih sulit
dibanding protein yang disekresikan, karena protein target
73
biasanya hanya mencapai 1 persen dari total protein
intraselular (Rees et al., 1999).
Manfaat dari ekspresi protein rekombinan
intraselular dalam P. pastoris adalah tidak seperti protein
yang diekspresikan E. coli, umumnya residu amino
terminal metionin dipotong oleh metionin aminopeptidase (Romanos et al., 1992). Efisiensi pemotongan
ini meningkat bila asam amino kedua adalah prolin, valin
atau cystein (Sreekrishna et al., 1989). Amino terminal
dari asam amino protein yang diekspresikan dalam P.
pastoris juga dapat di-asilasi oleh N-asetil-transferase
(Romanos et al., 1992; Rees et al., 1999).
Banyak protein yang telah sukses diproduksi
dalam P. pastoris menggunakan sistem ekspresi
intraselular, terutama protein membran seperti antigen
permukaan hepatitis B (Vassileva et al., 2001). Fosforilasi
residu serin, treonin atau tirosin merupakan modifikasi
pasca-translasi yang penting untuk beberapa protein.
Sistem ekspresi P. pastoris sebagai eukariota diketahui
memfosforilasi beberapa protein yang memiliki sisi
fosforilasi. (Zanchin & McCarthy (1995) menemukan
bahwa walaupun ekspresi dari fosfoprotein eukariota
yaitu faktor inisiasi 4E dalam S. cerevisiae menghasilkan
fosforilasi pada sisi yang berbeda dengan protein natif
(Zanchin & McCarthy, 1995), fosforilasi sering terjadi
pada residu tertentu, terutama pada struktur -turn (Li et
74
al., 2001). Pelipatan protein dengan benar yang biasanya
terjadi pada sistem ekspresi ragi ini diharapkan
menghasilkan fosforilasi bentuk natif. Penggunaan P.
pastoris untuk ekspresi fosfoprotein telah cukup banyak
dipelajari, sehingga sistem ini dapat digunakan untuk
ekspresi fosfo-protein di masa yang akan datang.
8. Pemilihan kondisi kultur untuk ekspresi
Kondisi kultur yang digunakan untuk sistem
ekspresi P. pastoris juga merupakan faktor yang penting
untuk dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan
produktivitas protein yang diproses dengan tepat. Metode
ekspresi skala kecil (shake-flask) biasanya digunakan
sebagai tahap awal yang bermanfaat untuk mengoptimasi
level ekspresi dan seleksi kondisi kultur. Level protein
yang diperoleh dari shake-flask pada umumnya 10 kali
lebih rendah dibandingkan yang dapat dicapai dengan
fermentor, karena densitas selnya yang rendah (White et
al., 1994), dan tingkat aerasi pada umumnya menjadi
batasan (Romanos, 1995).
Aerasi yang terbatas pada umumnya merupakan
faktor yang menentukan pada galur Mut + dalam shakeflask karena tidak adanya udara yang konstan atau suplai
metanol dan galur ini mengonsumsi metanol dengan
cepat. Barr et al (1992) mengembangkan kondisi ekspresi
skala kecil yang kondisinya lebih menyerupai kebutuhan
75
sistem fermentor yang menjamin densitas sel yang tinggi
dihasilkan melalui peningkatan yang dramatis dari
volume biomassa awal pada kultur dan meresuspensi
biomassa ke dalam media induksi metanol dengan volume
yang kecil (50-75 mL). Sehingga kultur transforman P.
pastoris yang berdasarkan promotor AOX dapat
dilakukan dalam dua tahap, pertama penggenerasian
biomassa dalam media yang represif, diikuti dengan fasa
produksi di mana sel diinduksi dengan metanol.
Konsentrasi metanol yang digunakan juga merupakan
faktor yang penting untuk mengoptimalkan level ekspresi.
Peningkatan konsentrasi metanol dari 0,15 sampai
1 persen v/v ditemukan meningkatkan level ekspresi
domain V dari -2-glikoprotein I manusia, pada
transforman Mut + (Katakura et al., 1998), sementara level
ekspresi prokarboksipeptidase A2 meningkat 3 kali
dengan meningkatnya konsentrasi metanol pada media
induksi dari 0,5-5 persen v/v pada transforman fenotipe
Mut+ (Reverter et al., 1998). Seperti telah didiskusikan
sebelumnya, fenotipe Muts mungkin membutuhkan
sumber
karbon
alternatif
untuk
mendukung
pertumbuhannya walaupun dalam fase produksi. Dalam
kasus ini sumber karbon yang non represif terhadap AOX
perlu digunakan, seperti sorbitol, manitol, alanin atau
trehalose (Sreekrishna et al., 1997; Inan & Meager, 2001).
76
Tipe labu kultur yang digunakan pada studi
ekspresi skala kecil ini juga penting dalam desain
eksperimen, dan khususnya labu pada shake flask dapat
digunakan untuk meningkatkan transfer oksigen.
Beberapa tipe bentuk labu telah diuji untuk ekspresi
sejumlah protein reseptor activin dan domain ekstraselular
dari reseptornya (Gambar 4.9), di mana ditemukan bahwa
labu tipe 3 sangat meningkatkan produksi biomassa
dibandingkan dengan labu desain lain. Seperti yang
dipelajari oleh Vilatte et al (2001) walaupun hasil
pengukuran level oksigen memperlihatkan bahwa semua
labu (tipe 2-5) menghasilkan level oksigen yang sama,
ekspresi protein rekombinan ditemukan beberapa ribu kali
lebih baik menggunakan labu tipe 2, 3, 5 dibandingkan
dengan labu tipe lain. Observasi ini menunjukkan bahwa
keterbatasan oksigen dalam shake-flask tidak selalu
merupakan faktor penentu untuk memperoleh ekspresi
protein dengan level tinggi.
Komponen dan pH media juga dapat
menyebabkan perbedaan tingkat ekspresi. Bila media di
buffer menjadi pH antara 3 dan 6, maka jumlah proteolisis
dari protein rekombinan akan berkurang (Sreekrishna et
al., 1997; Cregg et al., 1993). Jumlah proteolisis juga
direduksi jika menggunakan media yang menggunakan
pepton dan ekstrak ragi. Cara lain untuk mengurangi
proteolisis adalah dengan menambahkan asam kasamino 1
persen (Clare et al., 1991). Penambahan L-arginin77
hydroklorida atau ion ammonium (dalam bentuk
ammonium fosfat) juga telah digunakan untuk
mengurangi proteolisis. Ion ammonium, sepertinya
memberikan pengaruh yang paling besar untuk
mengurangi proteolisis (Tsujikawa et al., 1996).
Gambar 4.9. Tipe-tipe labu yang dicoba. Gambar diambil
dari Villatte et al (2001).
Lama induksi juga memengaruhi proteolisis.
Proteolisis ditemukan meningkat setiap waktu bila jumlah
sel yang viable berkurang. Hal ini mungkin dapat diatasi
dengan mengganti media dengan media yang baru dibuat
untuk memulai fasa produksi lagi dan mencegah
akumulasi protease ekstraselular. Ekspresi protein dengan
metode kultur semi kontinu juga telah sukses digunakan,
di mana teknik ini menyebabkan media dapat di78
perbaharui beberapa kali tanpa menurunkan level ekspresi
protein rekombinan (Daly & Hearn, 2004).
Peneliti
lain
juga
telah
mengobservasi
kecenderungan yang sama (Sreekrishna et al., 1997; Barr
et al., 1992). Antigen permukaan hepatitis B diproduksi
menggunakan promotor GAP, dengan membuang 70
persen media kultur dan menggantinya dengan media
baru untuk mempertahankan sel pada fasa mid-log
(Vassileva et al., 2001). Lisozim juga sukses
diekspresikan dengan metode semi-kontinu dengan
mengganti media secara periodik (Digan et al., 1989).
Protein rekombinan yang diekspresikan dalam
sistem ekspresi P. pastoris juga ditemukan dengan cepat
didegradasi jika protein tersebut mengandung urutan
PEST. Urutan ini, termasuk motif XFXRQ atau QRXFX
yang diketahui didegradasi dalam lisosom (Sreekrishna et
al., 1989). Aditif lain seperti adanya EDTA 5 mM, juga
dapat
menstabilkan
protein
rekombinan
yang
diekspresikan sehingga meningkatkan hasil ekspresi.
Temperatur pada fasa induksi juga ditemukan
memengaruhi, tidak hanya pada jumlah proteolisis juga
pada jumlah protein yang diekspresikan. Sebagai contoh
level ekspresi galaktosidase A yang diproduksi dalam P.
pastoris meningkat bila temperatur diturunkan menjadi 25
C (Chen et al., 2000). Ekspresi protein fusi reseptor mopioid manusia diuji pada berbagai temperatur di mana
79
ditemukan bahwa protein yang paling fungsional
diproduksi pada 15-20 C dengan level ekspresi 2 kali
lebih tinggi dibanding pada suhu 25 C dan 4 kali lebih
besar dibanding pada suhu 30 C (Sarramegna et al.,
2002). Produksi protein herring anti-freeze juga
dibandingkan antara suhu 30 C dan 23 C dan sekali lagi
ditemukan bahwa 10 kali peningkatan protein yang
diproduksi pada temperatur rendah (23 C). Jumlah
proteolisis yang terjadi setelah 2 hari induksi juga
berkurang pada 23 C dibanding pada 30 C. Observasi
ini berhubungan dengan kultur pada 23 C memiliki
fiabilitas sel yang lebih tinggi dibanding dengan kultur
pada 30 C, walaupun biomassa pada kedua kultur adalah
sebanding (Li et al., 2001).
Temperatur yang lebih rendah juga dapat
menstabilkan membran sel dan mengurangi jumlah
protease yang dibebaskan dari sel ke supernatan (Li et al.,
2001). Pengaruh penurunan temperatur pada fasa induksi
juga telah dilaporkan pada studi yang lain (Brake et al.,
1984).
80
5
Transformasi Pichia pastoris
BEBERAPA metode transformasi Pichia pastoris
yang dimediasi oleh DNA telah dikembangkan yang
tergantung pada tipe DNA yang dapat ditransformasi
(DNA linear vs DNA sirkular), biaya dan dengan tingkat
kesulitan yang berbeda-beda. Sama seperti pada S.
cerevisiae, metode pergantian gen (gene replacement)
yang juga dikenal dengan gene knock-out merupakan
metode yang menyediakan cara yang unik untuk
investigasi fungsi gen spesifik pada P. pastoris. Setelah
plasmid ekspresi dikonstruksi, fungsi dari gen yang
didelesi dipelajari berdasarkan fenotipe dari strain mutan.
Pada S. cerevisiase, metode yang berdasarkan pada
polymerase chain reaction (PCR) untuk konstruksi
fragmen pergantian gen juga telah dikembangkan.
81
Modifikasi metode PCR ini juga telah digunakan untuk P.
pastoris.
1. Metode umum
Kunci dari manipulasi genetik setiap organisme
adalah
kemampuan
untuk
memasukkan
dan
mempertahankan urutan DNA yang diinginkan di dalam
sel inang. Untuk P. pastoris, nasib dari DNA yang
dimasukkan sama dengan pada S. cerevisiae. Vektor
dapat dipertahankan bereplikasi sendiri atau integrasi ke
genom P. pastoris (Cregg et al., 1985). Seperti pada S.
cerevisiae, integrasi pada umumnya terjadi melalui
rekombinasi homolog antara urutan pada vektor dan
genom P. pastoris. Sehingga kontrol integrasi dari urutan
vektor pada posisi tertentu pada genom melalui strategi
penargetan gen dan pergantian gen (gene knock out) akan
segera terjadi pada P. pastoris.
Terdapat empat metode untuk memasukkan DNA
ke dalam P. pastoris, yang bervariasi dalam kenyamanan
pengerjaannya, frekuensi transformasi, dan karakteristik
lain (Tabel 5.1). Dengan menggunakan keempat metode
ini kita dapat memasukkan vektor sebagai elemen
autonom atau mengintegrasikan vektor ke genom P.
pastoris. Metode pembuatan speroplast dengan polietilen
glikol-CaCl2 merupakan metode yang paling bagus dan
menghasilkan transforman dengan frekuensi tinggi
( 105/μg), tapi metode ini memerlukan keahlian lebih dan
82
menghasilkan koloni transforman yang harus dipisahkan
kembali karena terbenam dalam medium agar. Tiga
metode yang lain menggunakan sel utuh (tidak
melibatkan pembentukan speroplas, sehingga lebih
menyenangkan dan menghasilkan koloni transforman
yang terdapat pada permukaan medium padat sehingga
dengan mudah dapat diambil dan direplika untuk analisis
lebih lanjut. Metode sel utuh yang menghasilkan
transforman yang sebanding dengan metode speroplast
adalah metode elektroporasi, sehingga metode ini
merupakan pilihan utama peneliti.
Tabel 5.1. Karakteristik umum metode transformasi P. pastoris
Metode
Frekuensi
transformasi (per μg)
Tingkat
kenyamanan
Integrasi
multikopi?
Speroplast
105
Rendah
Ya
Elektroporasi
105
Tinggi
Ya
PEG1000
103
Tinggi
Tidak
LiCl
102
Tinggi
Tidak
2. Pergantian gen
Frekuensi pergantian gen pada P. pastoris sangat
tergantung pada panjang dari fragmen terminal yang
83
bertanggung jawab untuk penargetan vektor pergantian
gen. Frekuensi pergantian gen bisa lebih besar dari 50
persen dari total populasi transforman bila fragmen yang
ditargetkan lebih besar dari 1 kb, namun akan rendah dari
0,1 persen bila total panjang fragment DNA kurang dari
0,5 kb. Pergantian gen dapat juga terjadi pada vektor
linear yang hanya mengandung satu terminal fragmen
penarget dan fragmen penarget lain berada di bagian
dalam, walaupun frekuensi pergantian akan berkurang.
Pergantian gen juga telah dilakukan dengan
menggunakan vektor linear yang tidak memiliki gen
marker penyeleksi melalui ko-transformasi (Cregg et al.,
1989). Cara ini bermanfaat bila sejumlah manipulasi
genetik pada genom ingin dilakukan, dan lebih banyak
daripada jumlah marker penyeleksi yang tersedia pada
galur inang. Untuk ko-transformasi, sel P. pastoris
ditransformasi dengan campuran dua DNA vektor, yaitu:
vektor yang mengandung titik awal replikasi dan
mengandung marker penyeleksi, dan sekitar 10x atau
lebih vektor pergantian gen. Transforman diseleksi
berdasarkan fenotipe gen marker dan kemudian dilakukan
skrining terhadap transforman yang menerima vektor
pergantian gen. Biasanya kurang dari 1 persen
transforman akan mengalami pergantian gen, frekuensi ini
cukup untuk mengidentifikasi ko-transformasi melalui
perubahan fenotipe yang disebabkan peristiwa pergantian
84
gen. Setelah mengidentifikasi ko-transforman yang cocok,
vektor autonom dibuang dari galur dengan menumbuhkan
pada medium non-selektif.
Metode yang berdasarkan PCR lebih memudahkan
konstruksi galur pergantian gen pada ragi, karena tidak
terjadi tahap rekombinasi DNA yang dibutuhkan pada
konstruksi fragmen pergantian gen. Prosedur umumnya
adalah dengan menyediakan fragmen DNA (atau plasmid
yang mengandung fragmen DNA), yang mengandung gen
marker penyeleksi dan sejumlah oligonikleotida yang
akan memperbanyak fragmen marker penyeleksi dan
sekaligus menambah urutan nukleotida (sepanjang 50 pb
atau lebih) pada urutan terminal fragmen gen marker yang
komplemen dengan ujung 5’ dan 3’ daerah gen yang ingin
didelesi. Produk PCR kemudian ditransformasi ke dalam
galur inang yang cocok, pada umumnya melalui
elektorporasi. Pada P. pastoris, karena frekuensi
rekombinasi dengan daerah komplemen yang relatif
pendek ini lebih rendah dibanding S. cerevisiae, maka
harus diusahakan trik untuk meningkatkan frekuensi
pergantian dengan metode PCR ini. Trik pertama adalah
dengan melakukan transformasi pergantian gen
menggunakan galur P. pastoris diploid dan kemudian
populasi transforman diarahkan untuk mengalami
sporulasi sehingga menjadi haploid. Produk spora haploid
kemudian ditapis untuk mencari fenotipe hasil knock-out.
85
Untuk alasan yang tidak diketahui, frekuensi pergantian
gen lebih tinggi dengan menggunakan inang diploid
dibandingkan haploid. Trik kedua adalah dengan
melakukan PCR ronde kedua pada fragmen pergantian
gen untuk memperpanjang terminal 5’ dan 3’ yang
komplemen menjadi sekitar 100 sampai 200 pasang basa.
Fragmen dengan daerah komplemen yang diperpanjang
ini kemudian ditransformasi ke dalam galur inang haploid
yang cocok dan ditapis terhadap fenotipe hasil pergantian
gen (Johnson et al., 2001; Snyder et al., 1999).
3. Prosedur Kerja
Sebelum semua prosedur transformasi, galur P.
pastoris dikultur dalam medium YPD ( ekstrak ragi 1
persen, pepton 2 persen, dan dekstrosa 2 persen).
Tumbuhkan P. pastoris dalam medium cair dan pada
medium agar padat pada suhu 30 C.
Larutan-Larutan:
Prosedur Speroplas
Siapkan larutan berikut dan sterilisasi dengan autoclave:
1. 1L H2O
2. Sorbitol 2M (2L)
3. Etilen diamin tetra asetat (EDTA) 250 mM (pH 8,0
(100 mL)
4. Tris-HCl 1M (pH 7,5) (100 mL)
86
5. CaCl2 100 mM (100 mL)
6. Yeast nitrogen base (YNB) tanpa asam amino 10x (6,7
g/100 mL)
7. Glukosa 20% (100 mL)
8. Agar regenerasi: 55 g sorbitol, 6 g agar bakto, dan 240
mL H2O
Siapkan larutan berikut dan sterilisasi dengan filter:
1. Na-sitrat 100mM (pH 5,8) (100 mL)
2. Polietilen glikol dengan berat molekul rata-rata 3350
(PEG3350) 40% (100 mL)
3. Dithiothreitol (DTT) 0,5M (10 mL)
4. Persiapkan 1 mL larutan zymolase T100 4 mg/mL
(ICN, Costa Mesa, CA) dan bagi menjadi 100 μL
aliquot dalam tabung mikrosentrifuga.
Semua larutan di atas dapat disimpan pada suhu
ruang kecuali DTT dan zymolase yang harus disimpan
pada -20 C. Semua larutan akan stabil untuk jangka
waktu 1 tahun.
Larutan kerja, staril:
1. Sorbitol 1M (200 mL)
2. SCE: sorbitol 1M, Na-sitrat 10 mM (pH 5,8) dan
EDTA 10 mM (pH 8,0) (100 mL)
3. CaS: sorbitol 1 M dan CaCl2 10 mM (100 mL)
87
4. Polietilen glycol (PEG)-CaT: PEG 20%, CaCl2 10
mM, dan Tris-HCL 10 mM, pH 7,5 (100 mL)
5. SOS: sorbitol 1M, medium YPD 0,3x, dan CaCl 2 10
mM (20 mL)
6. SED: sorbitol 1M, EDTA 25 mM (pH 8,0) dan DTT
50 mM (10 mL). Persiapkan larutan segar dan simpan
dalam es sebelum digunakan
7. Medium agar regenerasi: 240 mL agar regenerasi (dari
stok yang dilarutkan kembali dengan autoklave,
mikrowave, atau didihkan dalam bak air panas), 30 mL
YNB 10x, dan 30 mL glukosa 20 persen. Biarkan pada
bak air panas 45 C sebelum digunakan. Persiapkan
larutan segar pada hari dilakukannya transformasi.
Prosedur Elektroporasi
1. H2O (1L)
2. Sorbitol 1M (100 mL)
3. Medium YND agar: 0,67% YNB, glukosa 2%, dan
bakto agar 2% (0,5 L/ 25 petri)
4. DTT 1M (2,5 mL)
5. Medium YPD (100 mL) dengan 20 mL buffer HEPES
1M (pH 8,0)
6. Peralatan elektroporasi ( contohnya: BTX Electro Cell
Manipulator 600, BTX, San Diego, CA; Bio Rad Gene
Pulser, Bio Rad, Hercules, CA; Electroporator II,
Invitrogen, San Diego, CA)
88
7. Kuvet elektroporasi steril
Semua larutan sebaiknya di-autoclave, kecuali larutan
DTT dan HEPES yang harus difilter.
Heat-shock cepat/Elektroporasi
1. Larutan BEDS (9 mL): bicine-NaOH 10 mM (pH 8,3),
etilen glikol 3%, dan dimetil sulfoksida 5% (DMSO)
2. Sorbitol 1M yang disuplemen dengan 1 mL) DTT
1,0M
Prosedur polietilen glikol
1. Buffer A: sorbitol 1M, Bicine 10 mM (pH 8,35) dan
etilen glikol 3% (100 mL)
2. Buffer B: PEG1000 40%, dan Bicine 0,2M (pH 8,35)
(50 mL)
3. Buffer C: NaCl 0,15M dan Bicine 10 mM (pH 8,35)
(50 mL). Sterilisasi dengan filter dan simpan pada -20
C sebelum digunakan
4. DMSO, simpan pada -70 C
5. Medium agar YND: YNB 0,67%, glukosa 2%, dan
bakto agar 2% (0,5 L/ 25 petri)
Prosedur kation alkali
Persiapkan dan autoclave larutan berikut:
1. H2O (1L)
2. Buffer TE: Tris-HCl 10 mM (pH 7,4) dan EDTA 1
mM (pH 8,0) (100 mL)
89
3. Buffer LiCl: LiCl 0,1 mM, Tris-HCl 10 mM (pH 7,4)
dan EDTA 1 mM (pH 8,0) (100 mL)
4. Buffer PEG+LiCl: PEG 3350 40%, LiCl 0,1M, TrisHCl 10 mM (pH 7,4) dan EDTA 1 mM (pH 8,0) (100
mL)
5. Medium agar YND: YNB 0,67%, glukosa 2% dan
bakto agar 2% (0,5 L/ 25 petri)
Metode
Persiapan DNA
Untuk mendapatkan frekuensi transformasi yang
tinggi, shuttle vektor DNA harus dalam keadaan murni
dan dilarutkan dalam air atau buffer Tris-EDTA (TE).
Kebanyakan prosedur standar untuk purifikasi DNA
plasmid, seperti prosedur yang melibatkan sentrifugasi
CsCl etidium bromida atau kit preparasi plasmid
komersial (seperti QIAGEN; Hilden, Jerman) dapat
digunakan. Walaupun plasmid yang disiapkan dengan
prosedur “mini-prep” seperti metode lisis alkali
menghasilkan frekuensi transformasi yang lebih rendah,
namun pada umumnya sudah mencukupi.
Untuk konstruksi penargetan gen dan pergantian
gen, vektor sebaiknya dipotong dengan enzim restriksi
yang memotong pada urutan DNA P. pastoris dalam
vektor, minimal 200 pasang basa DNA P. pastoris
terdapat
pada
masing-masing
terminal
untuk
90
mengarahkan integrasi. Tepat sebelum transformasi,
vektor linear sebaiknya diekstraksi dengan fenolkloroform-isoamil alkohol (25:24:1), presipitasi alkohol
dan dilarutkan dalam air atau buffer TE. Pada umumnya,
tidak diperlukan tahap pemisahan fragmen pergantian gen
dari fragmen yang tidak tertransformasi. Bagaimanapun
fragmen vektor yang dimurnikan dari gel agarosa, melalui
prosedur elektroelusi standar atau kit komersial yang
tersedia (seperti QIAEX gel extraction kit; QIAGEN,
Hilden, Jerman) dapat ditransformasi ke P. pastoris.
Prosedur Speroplas
Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur
yang dituliskan oleh Hinnen et al. (1978) dan Cregg et al.
(1985). Karakteristik umum dari metode disimpulkan
pada tabel 5.1.
Persiapan speroplas.
1. Inokulasi 10 mL medium YPD dengan koloni tunggal
P. pastoris galur yang akan ditransformasi yang
diambil dari medium padat segar dan tumbuhkan
semalam dengan pengocokan. Kultur ini dapat
disimpan pada 4 C selama beberapa hari.
2. Inokulasi tiga medium YPD 200 mL dalam labu buffle
500 mL dengan 5, 10 dan 20 μL kultur di atas dan
inkubasi semalam dengan pengocokan.
91
3. Pada pagi harinya, pilih kultur yang memiliki OD600
antara 0,2 dan 0,3
4. Cuci kultur dengan sentrifugasi pada 2000g dalam
tabung conical 50-mL pada suhu ruang satu kali
dengan 10 mL air, satu kali dengan 10 mL SED yang
disiapkan segar, satu kali dengan 10 mL sorbitol 1M
dan satu kali denan 10 mL SCE.
5. Tambahkan antara 1 dan 10 μL Zymolase T100 dan
inkubasi pada 30 C tanpa pengocokan. Untuk
memonitor pembentukan speroplas, ambil 100 μL
aliquot sel sebelum penambahan Zimolase dan pada
waktu 5, 10, 15, 20, 30, dan 45 menit setelah
penambahan enzim, dan larutkan dalam sejumlah
tabung gelas yang berisi 900 μL sodium dodesil sulfat
(SDS) 1%. Setelah penambahan masing-masing
sample ke larutan SDS 1%, kocok dan uji secara visual
tingkat lisis sel dengan memperhatikan penurunan
turbiditas dan peningkatan viskositas. Waktu optimum
pembentukan speroplas adalah antara 15 dan 30 menit.
Lanjutkan ke tahap berikut prosedur, segera setelah
speroplas terbentuk.
Transformasi.
1. Cuci speroplas dengan sentrifugasi pada 1500g selama
10 menit satu kali dengan 10 mL sorbitol 1M dan satu
kali dengan 10 mL CaS. Speroplas sangat mudah
92
2.
3.
4.
5.
rusak, dekantasi supernatan dengan hati-hati dan
resuspensi dengan pemipetan (lakukan dengan hatihati).
Sentrifugasidan resuspensi speroplas dalam 1 mL CaS.
Bagi 100 μL aliquot speroplas ke dalam tabung
polipropilen Falcon (atau tabung yang sama).
Tambahkan DNA ke masing-masing tabung dan
inkubasi pada suhu ruang selama 20 menit.
Tambahkan 1 mL PEG-CaT ke masing-masing tabung
dan inkubasi lagi selama 15 menit pada suhu ruang.
Sentrifugasi sampel pada 1500g selama 10 menit,
dengan hati-hati dekantasi PEG-CaT, dan resuspensi
speroplas dalam 200 μL SOS. Inkubasi sampel pada
suhu ruang selama 30 menit dan kemudian tambahkan
800 μL sorbitol 1M.
Penumbuhan pada medium agar.
1. Persiapkan medium agar yang mengandung 10 mL
agar medium regenerasi pada permukaan (satu untuk
masing-masing sampel transformasi, ditambah dua
medium agar untuk uji viabilitas.
2. Untuk masing-masing sampel transformasi, bagikan 10
mL aliquot medium regenerasi (45 C) ke tabung
polipropilen 50 mL. Dengan hati-hati campur sampel
transformasi antara 10 μL dan 0,5 mL dengan agar
regenerasi dan tuang pada permukaan agar. Setelah
93
agar menjadi beku ( 10 menit) inkubasi petri pada 30
C selama 4-7 hari.
3. Monitor kualitas speroplas yang disiapkan dan kondisi
regenerasi seperti berikut. Pisahkan 10 μL aliquot dari
satu sampel transformasi dan tambahkan ke tabung
yang mengandung 990 μL sorbitol 1M (pengenceran
10-2). Aduk, buang 10 μL sampel dari pengencera 10 -2
dan larutkan lagi dengan menambahkan ke tabung
kedua yang mengandung 990 μL sorbitol 1M
(pengenceran 10-4). Sebarkan 100 μL masing-masing
pengenceran pada cawan petri YPD untuk menentukan
konsentrasi sel utuh yang tersisa (tidak membentuk
speroplas). Untuk menentukan konsentrasi speroplas
dengan potensi untuk mengalami regenerasi menjadi
sel yang fiabel, tambahkan 100 μL aliquot kedua ke
masing-masing pengenceran ke dalam tabung yang
berisi 10 mL medium agar regenerasi yang disuplemen
dengan 50 μg/mL nutrien yang dihilangkan (misalnya
histidin). Kocok dengan hati-hati dan tuang ke medium
agar. Inkubasi petri control ini dengan petri
transforman seperti dijelaskan pada tahap 2. Persiapan
speroplas dan reagen regenerasi yang bagus akan
menghasilkan lebih dari 1 x 107 koloni/mL (>100
koloni pada petri 10 -4 regenerasi speroplas) dan kurang
dari 1 x 104 koloni/mL sel utuh yang tidak membentuk
speroplas (<10 koloni pada 10 -2 petri sel utuh).
94
Cara mendapatkan transforman kembali
Koloni transforman akan terbenam dalam agar
bagian atas. Untuk memperoleh masing-masing
transforman kembali, dilakukan dengan mencongkel
menggunakan loop inokulasi dan kemudian disebarkan
pada permukaan medium agar selektif. Untuk
mendapatkan sejumlah koloni yang terbenam dalam agar
untuk analisis lebih lanjut (misalnya untuk menapis
koloni yang mengalami pergantian gen) maka dapat
dilakukan prosedur berikut:
1. Kikis permukaan agar bagian atas, yang mengandung
koloni dan masukkan ke dalam tabung sentrifugasi 50
mL steril menggunakan spatula. Tambahkan 20 mL air
steril dan aduk untuk menghancurkan agar dan
membebaskan sel yang terbenam.
2. Saring suspensi 4x menggunakan kain steril. Cuci sel
dari sisa agar dengan menambahkan sekitar 20 mL air
ke agar. Sentrifugasi filtrat pada 2000g selama 5 menit
dan dekantasi.
3. Suspensi sel dalam 5 mL air steril dan vortex untuk
mendispersikan sel.
4. Sebarkan hasil pengenceran sel pada petri medium
agar pada konsentrasi yang akan menghasilkan 100500 koloni per petri dan inkubasi selama 2-3 hari.
5. Buat replika transforman dalam medium agar yang
cocok untuk identifikasi transforman yang mengalami
pergantian gen. Sebagai contoh, jika mencari
95
transforman yang mengalami pergantian gen pada
AOX1, sebagai hasilnya akan memperoleh fenotipe
metanol utilization slow (Muts), replika koloni dari
medium YND kedua jenis petri, satu yang
mengandung YNB plus metanol dan petri lain
mengandung YND. Setelah 1 atau 2 hari inkubasi,
bandingkan kedua petri tersebut dan pilih koloni dari
petri YND yang tidak tumbuh subur pada petri YNB
plus metanol.
Elektroporasi
Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur
yang dituliskan oleh Becker dan Guarente (1991).
Parameter elektroporasi menggunakan empat jenis
peralatan diperlihatkan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Parameter elektroporasi menggunakan peralatan
yang berbeda.
Persiapan sel kompeten
96
1. Inokulasi 10 mL mediumYPD dengan koloni tunggal
P. pastoris galur yang akan ditransformasi dan
tumbuhkan semalam dengan pengocokan.
2. Pada pagi harinya, gunakan kultur ini untuk
menginokulasi 500 mL mediumYPD dalam labu
Fernback 2,8 L, dengan OD600 awal 0,1 dan
tumbuhkan sampai OD600 1,0.
3. Panen kultur dengan sentrifugasi kecepatan 2000g
pada 4 C dan suspensikan sel dalam 100 mL medium
YPD plus HEPES.
4. Tambahkan 2,5 mL DTT 1M dan kocok dengan hatihati.
5. Inokulasi pada 30 C selama 15 menit.
6. Cukupkan volume menjadi 500 mL dengan
penambahan air dingin. Cuci dengan sentrifugasi pada
4 C satu kali dengan 250 mL air dingin, satu kali
dengan 20 mL sorbitol 1M dingin, dan resuspensi
dalam 0,5 mL sorbitol 1M (volume akhir termasuk sel
akan menjadi sekitar 1-1,5 mL)
7. Untuk
mendapatkan
frekuensi
yang
tinggi,
transformasi sel langsung tanpa proses pembekuan.
8. Untuk membekukan sel, bagi sel dalam 40 μL aliquot
dan simpan di -70 C.
Heat-Shock cepat/Elektroporasi
1. Tumbuhkan kultur 5 mL P. pastoris dalam
medium YPD semalam dengan pengocokan.
97
2. Pada pagi berikutnya encerkan kultur hingga
mencapai OD600 0,15-0,2 dalam 50 mL medium
YPD dalam labu yang memberikan cukup aerasi.
3. Tumbuhkan hingga mencapai OD600 0,8-1,0
dengan pengocokan (4-5 jam).
4. Sentrifugasi sel pada 500g selama 5 menit pada
suhu ruang kemudian dekantasi supernatant
5. Suspensikan sel dalam 9 mL larutan BEDS dingin
yang diberi suplemen DTT.
6. Inkubasi suspensi sel selama 5 menit dengan
pengocokan pada suhu 30 C.
7. Sentrifugasi sel pada 500g selama 5 menit pada
suhu ruang dan resuspensi dalam 1 mL BEDS
(tanpa DTT).
8. Segera lakukan elektroporasi atau bekukan sel
dalam aliquot kecil pada -80 C.
Elektroporasi
1. Campurkan 10 μg DNA (volume 5 μL) ke dalam
tabung yang telah berisi 40 μL sel kompeten dan
pindahkan ke kuvet elektroporasi, tempatkan
kuvet dalam es.
2. Lakukan elektroporasi sesuai parameter peralatan
yang digunakan (Tabel 5.2)
3. Segera tambahkan 1 mL sorbitol 1M dingin dan
pindahkan isi kuvet ke dalam tabung mikro steril
98
4. Sebarkan aliquot sel pada medium agar yang
mengandung YND atau medium selektif lain dan
inkubasi selama 2 sampai 4 hari.
Prosedur PEG
Prosedur ini merupakan modifikasi dari prosedur
Klebe et al (1983).
Persiapan sel kompeten
1. Inokulasi 10 mL medium YPD dengan koloni tunggal
P. pastoris galur yang akan ditransformasi dan
tumbuhkan semalam dengan pengocokan.
2. Pada pagi harinya, gunakan kultur semalam ini untuk
menginokulasi 100 mL medium YPD dengan OD600
awal 0,1 dan tumbuhkan sampai mencapai OD600 0,50,8.
3. Panen sel dengan sentrifugasi pada 2000g pada suhu
ruang dan cuci sel dengan 50 mL buffer A.
4. Resuspensi sel dalam 4 mL buffer A dan distribusikan
dalam 0,2 mL aliquot dalam tabung 1,5 mL steril.
Tambahkan 11 μL DMSO ke masing-masing tabung,
aduk dan segera bekukan sel dalam bak nitrogen cair.
5. Simpan sel kompeten beku pada -70 C.
99
Transformasi
1. Tambahkan 50 μg sampel DNA atau lebih (dalam
volume 20 μL) langsung ke tabung sel kompeten yang
masih beku. DNA pembawa (40 μg DNA sperma
salmon yang sudah didenaturasi dan sonikasi)
sebaiknya langsung dicampur dengan sampel untuk
mendapatkan frekuensi maksimum.
2. Inkubasi sampel pada bak air 37 C selama 5 menit.
Aduk sampel satu atau dua kali selama inkubasi.
3. Keluarkan tabung dari bak air dan tambahkan 1,5 mL
buffer B ke masing-masing tabung, aduk.
4. Inkubasi tabung pada bak air 30 C selama 1 jam
5. Sentrifugasi tabung sampel pada 2000g selama 10
menit pada suhu ruang dan resuspensi sel dengan hatihati dalam 1,5 mL buffer C
6. Sentrifugasi sampel untuk kedua kalinya dan
resuspensi sel dengan hati-hati dalam 0,2 mL buffer C.
7. Sebarkan masing-masing isi tabung pada petri agar
yang mengandung medium pertumbuhan selektif dan
inkubasi petri selama 3-4 hari.
Prosedur kation alkali
Prosedur ini seperti yang digambarkan oleh Ito et
al (1983) kecuali LiCl digunakan untuk menggantikan Li
asetat. Tidak seperti metode lain, frekuensi transformasi
100
dengan metode ini sangat rendah untuk vektor sirkular
yang mengandung PARS maupun tidak.
Persiapan sel kompeten
1. Inokulasi 10 mL medium YPD dengan koloni tunggal
P. pastoris galur yang akan ditransformasi dan
tumbuhkan semalam dengan pengocokan.
2. Pada pagi harinya, gunakan kultur semalam ini untuk
menginokulasi 50 mL medium YPD dengan OD600
awal 0,1 dan tumbuhkan sampai mencapai OD600 0,50,8.
3. Panen kultur dengan sentrifugasi pada 2000g, suhu
ruang dan cuci satu kali dengan 10 mL air, satu kali
dengan 10 mL buffer TE dan satu kali dengan 20 mL
buffer LiCl.
4. Inkubasi sel selama 1 jam pada 30 C. untuk
mendapatkan frekuensi transformasi yang tinggi,
lakukan transformasi langsung tanpa proses
pembekuan sel.
6. Untuk membekukan sel kompeten, bagi 0,2 mL aliquot
sel dalam tabung 1,5 mL. Tambahkan 11 μL DMSO ke
masing-masing tabung, aduk dan segera bekukan sel
dalam bak nitrogen cair.
7. Simpan sel kompeten beku pada -70 C.
101
Transformasi
1. Untuk masing-masing sel transformasi, tambahkan ke
tabung 1,5 mL: 0,1 mL sel kompeten, 0,1-20 μg DNA
vektor dalam volume tidak lebih dari 20 μL. Untuk
memperoleh frekuensi transformasi yang tinggi,
tambahkan 10 μg DNA pembawa (DNA sperma
salmon yang sudah didenaturasi dan sonikasi).
2. Inkubasi sampel pada 30 C selama 30 menit
3. Tambahkan 0,7 mL larutan PEG +LiCl dan vortex
sebentar untuk mencampur
4. Heat-shock pada 37 C selama 5 menit.
5. Sentrifugasi sampel pada 2000g dan resuspesi dalam
0,1 mL H2O
6. Sebarkan sampel pada petri dengan medium selektif
dan inkubasi selama 3 hari.
102
6
Modifikasi Pasca-translasi dari Protein yang
Disekresikan
1. Jalur sekresi protein
PROTEIN yang akan disekresikan keluar sel,
disintesis di ribosom yang terikat kuat ke RE kasar dan
kemudian ditranslokasikan ke lumen RE kasar. Segera
setelah proses translokasi, protein dalam lumen RE mulai
mengalami proses pematangan. Proses pematangan
meliputi modifikasi kovalen seperti pemotongan urutan
sinyal, glikosilasi, folding dan refolding oleh chaperone.
‘Kontrol kualitas’ dari protein yang mengalami pelipatan
yang tidak benar dan protein agregat dilakukan melalui
proteolisis, degradasi dalam RE. Hal ini merupakan kunci
utama di mana kehilangan protein heterolog dapat terjadi.
Protein yang melewati pemeriksaan kualitas bergerak dari
RE kasar ke kompleks Golgi melalui membran. Di Golgi
terjadi juga pemotongan proteolisis atau modifikasi pasca103
translasi, di mana beberapa di antaranya berperan untuk
penempatan protein ke tujuan akhirnya (Gambar 6.1).
Beberapa protein yang disekresikan diarahkan ke
perangkat sekresi yang bergabung dengan membran
plasma dan kemudian mengalami eksositosis (Tuite &
Freedman, 1994).
Sekresi protein oleh ragi terjadi melalui
mekanisme yang sangat mirip dengan sel mamalia. Jalur
sekresi protein ragi melibatkan sejumlah struktur yang
terikat ke membran yang memediasi transfer protein dari
tempat disintesisnya di retikulum endoplasma ke tempat
dibebaskannya di membran plasma. Seperti pada
organisme lain, protein yang disekresikan ini disintesis
sebagai prekursor yang panjang termasuk ”urutan
pemula” yang dipotong oleh protease yang terikat ke
membran untuk menghasilkan produk gen yang matang
(Brake et al., 1984). Urutan pemula (leader sequence)
dari protein ragi yang disekresikan keluar sel akan
memungkinkan terjadinya pemprosesan yang efisien dan
sekresi protein heterolog oleh ragi.
104
Gambar 6.1. Jalur sekresi protein (Tuite & Freedman, 1994)
Jalur sekresi protein pada P. pastoris
Pada produksi protein menggunakan sistem
ekspresi P. pastoris, sekresi protein heterolog pada
umumnya lebih disukai dibandingkan akumulasi protein
sitoplasma. Sehingga sistem sekresi ragi menjadi target
rekayasa yang penting untuk mendapatkan galur yang
dapat melakukan folding dan pemprosesan protein
rekombinan dalam jumlah besar. Dengan ditentukannya
urutan genom P. pastoris, De Schutter et al (2009),
berhasil mengarakterisasi jalur sekresi protein pada P.
pastoris. Protein yang baru disintesis ditranslokasikan ke
RE oleh kompleks Sec61 (protein translokator), dan sisi
N-glikosilasi mengalami glikosilasi dengan dolichol yang
berikatan
dengan
prekursor
oligosakarida
105
Glc3man9GlcNAc2 oleh kompleks OST. Setelah
mengalami pemprosesan peptida sinyal, protein
mengalami folding dengan bantuan chaperone.
Pemprosesan N-glikan menghasilkan glikan tipe
Man8GlcNAc2. Glikosilasi ikatan-O juga dimulai dalam
RE oleh protein-O-manosiltransferase. Setelah ditranspor
ke perangkat Golgi, N-glikan diproses menjadi glikan tipe
hipermanosil khas ragi. Pada galur dengan jalur
glikosilasi humanisasi, 4-6 hipermanosilasi ditiadakan dan
glikan diproses menjadi Gal2GlcNAc2Man3GlcNAc2.
Setelah pemprosesan pro-domain, protein disekresikan ke
medium, di mana protein akan menjadi substrat dari
protease (Gambar 6.2).
106
Gambar 6.2. Jalur sekresi protein pada P. pastoris (De
Schutter et al., 2009).
2. Peptida sinyal
Protein-protein eukariota yang akan disekresikan,
integrasi ke plasma membran atau bergabung dengan
lisosom, akan mengalami tahapan yang sama yang
dimulai di RE. Protein-protein ini memiliki urutan sinyal
(peptida sinyal) yang fungsinya pertama kali ditemukan
oleh Gunter Blobel dan kolega pada tahun 1970. Peptida
sinyal berfungsi mengarahkan translokasi protein ke
tujuan akhirnya di dalam sel. Pada beberapa protein,
peptida sinyal dipotong dari protein selama dalam
perjalanan atau setelah protein sampai di tujuan akhir
(Nelson and Cox, 2000).
Peptida sinyal yang berada pada ujung N
polipeptida yang baru disintesis merupakan urutan yang
berfungsi mengarahkan translokasi protein melewati
membran menuju lumen RE. Panjang urutan sinyal
bervariasi antara 13-36 residu asam amino dan pada
umumnya mengandung 9-12 residu hidrofobik. Satu atau
lebih residu asam amino yang bermuatan positif yang
biasanya berada sebelum daerah hidrofobik, dan urutan
pendek yang relatif polar pada ujung C (dekat sisi
107
pemotongan) yang mengandung asam amino dengan
rantai samping yang pendek (terutama Alanin) pada posisi
yang paling dekat dengan sisi pemotongan.
Peptida sinyal tersusun dari tiga domain yaitu :
ujung amino yang bermuatan positif (N region), daerah
non-polar dan hidrofobik (H region), dan daerah yang
lebih polar yang merupakan daerah pemotongan dan
dekat dengan ujung karboksil peptida sinyal (C region).
Domain N pada umumnya bermuatan positif, karena
adanya residu lisin atau arginin. Pada beberapa kasus,
kehadiran residu lisin atau arginin dapat meningkatkan
kecepatan translokasi. Domain N memiliki beberapa
fungsi, di antaranya ikut terlibat dalam mengarahkan
preprotein (protein yang belum matang karena masih
mengandung peptida sinyal) ke translokase. Domain N
dapat berikatan dengan permukaan membran lipid bilayer
yang bermuatan negatif. Apabila jumlah muatan
positifnya berkurang, maka dapat menyebabkan interaksi
yang kurang efisien dengan membran lipid. Namun hal ini
dapat diimbangi dengan kenaikan hidrofobisitas pada H
region. Muatan positif pada domain N juga diduga
mengorientasikan peptida sinyal dari protein sekresi
sampai ke lipid bilayer dengan tepat (Fekkes and
Driessen, 1999).
Daerah hidrofobik atau domain H dari suatu
peptida sinyal panjangnya bervariasi antara 9 – 12 asam
108
amino. Domain H merupakan bagian paling penting dari
peptida sinyal. Pada kebanyakan kasus, hidrofobisitas
total dari domain H menentukan efisiensi translokasi.
Efisiensi translokasi meningkat dengan bertambahnya
panjang dan hidrofobisitas domain H. Residu-residu asam
amino yang terdapat pada domain H berperan pada
pembentukan konformasi α-heliks yang memanjang dari
domain N. Kadang-kadang kehadiran pemecah heliks
(helix breaker) seperti residu glisin atau prolin yang
terdapat pada posisi tengah domain H dapat menyebabkan
peptida sinyal membentuk struktur seperti benang tipis
(hairpin-like), sehingga peptida sinyal dapat masuk ke
lipid bilayer (Fekkes and Driessen, 1999).
Peptida sinyal memiliki sisi pemotongan yang
terdapat pada daerah C atau domain C. Sisi pemotongan
spesifik hanya terdapat pada domain C. Biasanya sisi
pemotongan terdapat pada residu-residu seperti alanin,
glisin, serin, dan threonin dan yang paling umum adalah
alanin. Peptida sinyal hanya dapat dipotong oleh enzim
yang spesifik yaitu signal peptidase (Fekkes and Driessen,
1999).
Urutan sinyal pada umumnya membentuk
konformasi -heliks. Jika urutan ini cukup hidrofobik,
namun tidak terlalu panjang, maka setelah keluar dari
ribosom urutan sinyal akan dikenali oleh signal
recognition particles (SRP) (Gambar 6.3). SRP akan
109
menghentikan elongasi translasi beberapa saat untuk
mempertahankan panjang dari rantai polipeptida yang
baru disintesis sebelum diinsersikan ke pori translokasi
(1). Kompleks yang terbentuk, yaitu kompleks RNC-SRP
(RNC= ribosome nascent chain) kemudian akan
diarahkan menuju ke SR (SRP- Receptor) yang terdapat
pada membran RE. SRP akan berinteraksi dengan SR
dengan bantuan GTP (2). Kemudian RNC akan
dimasukkan ke translokon (protein translokator/Sec61)
yang juga terikat ke membran (3). Kemudian urutan
sinyal akan dibebaskan dari SRP, GTP dihidrolisis dan
diikuti dengan disosiasi kompleks SRP-SR, dan translasi
dilanjutkan sampai selesai (4) (Egea, et al. 2005).
Akhirnya signal peptidase memotong signal peptida,
membebaskan protein ke dalam RE.
Besarnya interaksi antara SRP dengan urutan
sinyal berhubungan dengan efisiensi translokasi ((Valent
et al., 1995) karena protein dengan urutan sinyal yang
lebih hidrofobik ditranslokasikan dengan lebih efisien
(Doud et al., 1993). Yamamoto et al. (1987) melaporkan
peningkatan sekresi lisozim manusia oleh S. cerevisiae
melalui penambahan jumlah residu hidrofobik pada
urutan sinyal. Di samping itu, informasi yang dikode oleh
domain hidrofobik urutan sinyal juga memengaruhi waktu
dan efisiensi pematangan protein, yaitu glikosilasi dan
pemotongan urutan sinyal. Proses pematangan ini
110
dikontrol oleh interaksi antara urutan sinyal dan
translokon (Rutkowski et al., 2003).
Gambar 6.3. Mekanisme translokasi protein (Egea, et al.
2005).
Seleksi peptida sinyal
Dalam rangka mengarahkan protein ke jalur
sekresi, diperlukan urutan sinyal tertentu. Seperti telah
diuraikan sebelumnya, urutan sinyal biasanya merupakan
amino terminal pendek yang disebut urutan pre yang pada
umumnya mengandung daerah amino terminal yang
bermuatan yang diikuti oleh sejumlah residu hidrofobik
111
dan sisi pengenal pemotongan enzim signal peptidase.
Urutan sinyal ini memediasi translokasi ko-translasi ke
retikulum endoplasma dan dibuang oleh signal peptidase
selama translokasi (Paifer et al., 1994; Romanos et al.,
1992).
Protein yang diekspresikan oleh P. pastoris dapat
diproduksi intra atau ekstraseluler. Karena ragi ini hanya
menyekresikan protein endogen dengan level rendah,
maka protein heterolog yang disekresikan akan
merupakan bagian utama total protein dalam medium.
Sehingga dengan mengarahkan protein heterolog ke
medium kultur dapat berperan sebagai tahapan awal
pemurnian protein. Bagaimanapun, karena kestabilan
protein dan kebutuhan folding, pemilihan sekresi biasanya
berperan pada protein asing yang normalnya disekresikan
oleh inang natifnya. Dalam beberapa kasus, peneliti
memanfaatkan kaset ekspresi yang dibuat dan disediakan
oleh Invitrogen. Dengan menggunakan vektor P. pastoris
tertentu, peneliti dapat mengkloning gen asing in frame
dengan urutan yang mengode signal natif , pre-propeptida -mating factor dari S. cerevisiase atau urutan
signal dari asam fosfatase P. pastoris (Cereghino dan
Cregg, 2000).
Walaupun beberapa urutan peptida sinyal yang
berbeda, termasuk peptida sinyal natif yang terdapat pada
protein heterolog telah sukses digunakan, namun hasil
112
yang diperoleh sangat bervariasi. Urutan sinyal pre-pro
-mating factor S. cerevisiae merupakan urutan sinyal
yang sering digunakan untuk menginduksi Sec61p yang
memediasi translokasi protein ke retikulum endoplasma
P.
pastoris
(http://faculty.kgi.edu/cregg/),
dan
memberikan hasil yang bagus. Urutan signal ini terdiri
dari 19 asam amino urutan sinyal (pre sequence) yang
diikuti oleh 70 residu urutan pro (pro sequence) yang
mengandung tiga konsensus sisi glikosilasi ikatan-N dan
dua sisi pemprosesan endopeptidase. Selama proses
sekresi -mating factor dari S. cerevisiae, peptida sinyal
dihilangkan melalui dua proses pemotongan enzim
(Gambar 5.4). Enzim Kex2 memotong secara spesifik
setelah residu lisin-arginin, kemudian Ste13 memotong
pengulangan asam glutamat-alanin (EAEA) untuk
menghasilkan protein -mating faktor (Gambar 6.4).
Enzim-enzim protease yang sama juga terdapat di P.
pastoris (Brake et al., 1984). Efisiensi proses pemotongan
dapat dihentikan oleh urutan asam amino di sekeliling sisi
pemotongan. Contohnya efisiensi pemotongan Kex2 dan
protein Ste13 dapat dipengaruhi oleh posisi residu prolin.
Selanjutnya struktur tersier yang dibentuk oleh protein
asing mungkin dapat memproteksi pemotongan oleh
protease.
113
Gambar 6.4. Jalur sekresi protein pada S. cerevisiae.
Terlihat sisi pemotongan pre-region oleh signal peptidase, proregion oleh endoprotease Kex2, dan spacer peptida oleh
peptidil endopeptidase (Ste13) (Ostergaard et al., 2000).
Pada beberapa kasus, urutan sinyal -mating
factor merupakan sinyal sekresi yang lebih baik
dibandingkan urutan pemula dari protein heterolog natif.
Namun pada beberapa penelitian lain sinyal sekresi mating factor atau PHO1 tidak dapat bekerja, sehingga
digunakan sinyal sintetik. Martinez-Ruiz et. al (1998),
melakukan mutasi pada urutan pemula (leader) natif
untuk mengonstruksi motif pengenalan Kex2p (Lys-Arg)
yang lebih efisien. Cara ini membantu sekresi protein K114
sarcin (untuk inaktivasi ribosom) dari Aspergilus
giganteus. Solusi yang lebih drastis adalah dengan
merancang urutan leader prepro yang semuanya sintetik.
Untuk ekspresi insulin manusia, ditemukan bahwa leader
sintetik dan urutan spacer sintetik dapat meningkatkan
sekresi dan jumlah protein yang dihasilkan (Kjeldsen et
al., 1999).
Pemilihan ini dapat dilakukan berdasarkan sinyal
sekresi natif (jika ada), urutan pemula pre-pro -mating
factor S. cerevisiae ( -MF), urutan sinyal asam fosfatase
(PHO) atau urutan sinyal invertase (SUC2) (Li et al.,
2001). Urutan sinyal yang paling sering digunakan pada
sistem sekresi P. pastoris adalah urutan pemula pre-pro
-mating factor ( -MF). Urutan sinyal ini terdiri dari 19
asam amino peptida sinyal (pre-sekuen), diikuti oleh 60
asam amino daerah pro. Biasanya daerah pro akan
dipotong oleh endopeptidase. Ketika translasi sedang
berlangsung, urutan sinyal akan dibuang oleh sinyal
peptidase dan sisi pemotongan daerah pro dikenali oleh
protease ragi yaitu kex2, sehingga akan menghasilkan
pembebasan protein matang yang sudah diproses
(Raemaekers et al., 1999). Sisi pemotongan kex2p dapat
juga mengandung dua perulangan Glu-Ala pada bagian C
terminal sisi pemotongan untuk meningkatkan aktivitas
kex2p. Perulangan Glu-Ala kemudian dapat dibuang dari
115
mature protein oleh diaminopeptidase yang merupakan
produk gen ste 13.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ragi seperti S.
cerevisiae mempunyai kebutuhan akan kespesifikan yang
rendah terhadap pengenalan urutan sinyal, dan begitu juga
dengan P. pastoris. Banyak protein rekombinan yang
telah sukses diekspresikan dalam P. pastoris
menggunakan urutan sinyal natif. Sebagai contoh,
ekspresi dan sekresi domain ekstraselular reseptor activin
dalam P. pastoris telah sukses dilakukan menggunakan
urutan sinyal natif dan -MF; namun, produk dari
ekspresi menggunakan urutan sinyal natif ditemukan lebih
aktif secara biologi (Daly et al., 2004). Sehingga tidak
ada cara yang pasti untuk menentukan apakah urutan
sinyal natif akan menghasilkan sekresi karena tingkat
keberhasilannya sangat bervariasi (Sleep et al., 1990;
Tuite et al., 1999; Zsebo et al., 1986).
Ekspresi dan sekresi phytohaemagglutinin (PHA)
merupakan salah satu contoh di mana peptida sinyal natif
(PHA-E) menghasilkan protein yang disekresikan, dengan
folding yang tepat dan asam amino terminal yang diproses
dengan tepat (Raemaekers et al., 1999). Bila
dibandingkan dengan sekresi PHA dengan menggunakan
peptida sinyal -MF, maka penggunaan peptida sinyal
PHA-E hanya menghasilkan sekresi sedikit protein
sementara dengan peptida sinyal
-MF terjadi
116
pemprosesan amino terminal yang berbeda (Leuking et
al., 2000). Signal peptida hasil rekayasa yang kaya leucin
(CLY-L8) yang dirancang berdasarkan urutan peptida
sinyal natif (CLY) telah digunakan untuk menghasilkan
level ekspresi sekresi lisozim manusia 2 kali lebih tinggi
dibandingkan peptida sinyal CLY natif (Yamamato et al.,
1987). Kedua peptida sinyal ini telah digunakan untuk
mengekspresikan dan menyekresikan lisozim manusia
dalam P. pastoris dan dibandingkan dengan pola sekresi
yang diperoleh bila menggunakan
-MF.
-MF
ditemukan menyekresikan 20 kali lebih tinggi
dibandingkan peptida sinyal CLY atau CLY-L8 (yang
menghasilkan sekresi kurang lebih sama besar) (Oka et
al., 1999).
Studi ekspresi lisozim yang lain menemukan
bahwa peptida sinyal natif lisozim ulat sutra
menyekresikan lebih tinggi dibandingkan peptida sinyal
natif lisozim manusia dalam P. pastoris. Sehingga
peptida sinyal natif lisozim ulat sutra dihipotesiskan
meningkatkan sekresi lisozim manusia dalam P. pastoris.
Namun, ditemukan tidak terjadi peningkatan level sekresi.
Berlawanan dengan penggunaan peptida sinyal lain,
urutan pre-pro peptida sinyal -MF telah digunakan
secara ekstensif dalam sistem ekspresi P. pastoris dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi. Beberapa protein
117
rekombinan yang telah diproduksi menggunakan sistem
ini disimpulkan pada Tabel 6.1.
Sebelumnya, peptida sinyal SUC2 telah digunakan
untuk ekspresi protein hibrida interferon manusia (Chang
et al., 1986). Studi yang membandingkan kemampuan
sinyal natif dan peptida sinyal SUC2 untuk
menyekresikan -amilase ditemukan bahwa sinyal SUC2
menyekresikan dengan lebih efisien (level sekresi 95
persen) dibandingkan peptida sinyal natif (level sekresi 75
persen) dari protein yang ditranslasi (Paifer et al., 1994).
Signal peptida SUC2 juga telah digunakan untuk studi
sekresi -1-antitripsin, tapi hanya 20 persen dari protein
yang disekresikan (Moir et al., 1987).
Tabel 6.1. Protein rekombinan yang diekspresikan dan
disekresikan menggunakan peptida sinyal -MF
Protein
Referensi
Reseptor aktivin ACTRIIa/b domain
ekstraselular
Antigen SAG1 Toxoplasma gondii
Protein ghilanten antikoagulanantimetastatik
Chicken Cystatin
Ovine follicle stimulating hormone
a-Lactalbumin
rat mast cell protease 7
human lewis fucosiltransferase
Olive pollen allergen Ole e
Daly et al., 2004
Biemans et al., 1998
Brankamp et al., 1995
Jiang et al., 2002
Fidler et al., 1998
Saito et al., 2002
Lawson et al., 2002
Gallet et al., 1998
Huecas et al., 1999
118
HLA-DR2 mulekul
Human type III procolagen
Beta- lactoglobulin
Insulin
Trichoderma reesei 1,2-a-D-mannosidase
Influenza neuraminidase
Aplysia ADP-ribosyl cyclase
Murine antibody
Marsupial growth factor
Soybean root nodule fosfat
Human fibroblast kolagen
Beta subunit of bovine follicle
Human MU-opioid receptor
Bovine enterokinase catalitik subunit
Alfa-N-asetilgalaktosaminidase
Kalandadze et al., 1996
Keizer-Gunnink et al.,2000
Kim et al., 1997
Kjeldsen et al., 1999
Maras et al., 2000
Martinet et al., 1997
Munshi & Lee, 1997
Ogunjimi et al., 1999
Fidler et al., 2002
Penheiter et al., 1998
Rosenfeld et al., 1996
Samaddar et al., 1997
Talmont et al., 1996
Vozza et al., 1996
Zhu et al., 1996
Peptida sinyal asam fosfatase (PHO) (Payne et al.,
1995),
juga
telah
sukses
digunakan
untuk
mengekspresikan reseptor serotonin tikus (5-HT5A)
(Weiss et al., 1995) dan pepsinogen porcine (Yoshimasu
et al., 2002), namun protein lain yang diekspresikan dan
disekresikan
menggunakan
PHO
menghasilkan
pemprosesan amino terminal yang tidak tepat (Odonohue
et al., 1996). Vektor pHIL-S1 mengandung signal asam
fosfatase dan digunakan untuk mengekspresikan midkine
manusia. Ditemukan bahwa peptida sinyal PHO ini
menghasilkan sekresi 100 kali lebih rendah dibandingkan
peptida sinyal -MF dan 8 kali lebih rendah dibandingkan
peptida sinyal natif midkine manusia (Murasugi et al.,
2001). Untuk meningkatkan pemprosesan amino terminal,
119
perubahan sinyal PHO yang mengandung sisi
pemotongan Kex2p hasil rekayasa telah dikembangkan
dan ditemukan meningkatkan pemprosesan peptida
antikoagulan kutu (Laroche et al., 1994).
Pemprosesan -MF pre-pro leader sekuen
Urutan sinyal -MF sudah banyak digunakan,
namun belum pernah ada studi yang membandingkannya
dengan urutan sinyal lain. Selain itu pemprosesan propeptida yang dimediasi oleh Kex2p/Ste13p pada S.
cerevisiae sering menimbulkan masalah pada Pichia,
sehingga menghasilkan asam amino non-natif pada sisi N
terminal protein heterolog (De Schutter et al., 2009).
Struktur -MF terdiri dari 19 asam amino presekuen peptida sinyal dan 60 asam amino hidrofilik
daerah pro (Julius et al., 1984; Brake et al., 1984). Urutan
peptida sinyal bertanggung jawab terhadap translokasi
pro-protein ke dalam RE dan diikuti dengan pemotongan
oleh signal peptidase selama proses translokasi.
Selanjutnya pro-protein ditranspor ke Golgi di mana
daerah pro dipotong oleh aminopeptidase dua basa, yaitu
kex2 protease (kex2p) untuk membebaskan protein
matang. Kex2p merupakan protein membrane tipe I, yang
berlokasi di kompartemen late Golgi. Kex2p merupakan
protease serin (Henkel et al., 1999; Rockwell et al.,
1998), anggota dari pro hormon famili konvertase dan
120
disintesis sebagai pre-proenzim (Powner et al., 1998)
yang membutuhkan aktivasi untuk mematangkan enzim
melalui autokatalisis (Davey et al., 1998). Kex2p
mengenali pasangan residu asam amino basa seperti LysArg atau Arg-Arg (Davey et al., 1998; Smeekens, 1993;
Henkel, 1999). Selanjutnya terjadi juga pemotongan
amino terminal yaitu perulangan residu Glu-Ala di dalam
Golgi oleh produk gen ste 13 (ste13p). Ste13p berlokasi
pada tempat yang sama dengan Kex2p yaitu di late Golgi
dan merupakan dipeptidil aminopeptidase tipe IV (Li et
al., 2001; Davey et al., 1998).
Peran perulangan Glu-Ala dan sisi pemotongan
Kex2p
Walaupun pre-pro- MF telah digunakan secara
ekstensif, terdapat beberapa contoh di mana aplikasinya
menimbulkan masalah. Alasan utamanya adalah
terdapatnya insersi ulangan dipeptida Glu-Ala antara
amino-terminal protein rekombinan dan sisi pemotongan
Kex2p. Walaupun ulangan Glu-Ala meningkatkan jumlah
materi/protein yang dipotong dengan mencegah halangan
sterik dari sisi pemotongan kex2p (Sreekrishna et al.,
1997), kehadirannya menghasilkan pembentukan protein
rekombinan dengan perpanjangan amino-terminal GluAla. Hal ini dapat menyebabkan cacat ujung N-terminal
karena terjadinya pemprosesan amino-terminal yang
121
berbeda karena tidak mampu-nya ste3p untuk memproses
sejumlah besar protein rekombinan yang diproduksi
(Brake et al., 1984). Contoh sejumlah protein rekombinan
yang telah diekspresikan dengan perpanjangan aminoterminal Glu-Ala terdapat pada tabel 6.2.
Tabel 6.2. Protein rekombinan yang diekspresikan
dengan perpanjangan Glu-Ala
Protein
Referensi
Phaseolus vulgaris agglutinin
Lisozin insek
Venom allergen antigen 5
Herring antifreeze protein
Antifungal protein Psd1
Bovine beta-laktoglobulin
Phytohaemagglutinin
Raemaekers et al., 1999
Koganesawa et al., 2001
Monsalve et al., 1999
Li et al., 2001
Almeida et al., 2001
Kim et al., 1997
Raemaekers et al., 1999
Terdapatnya perpanjangan amino terminal
dipeptida ini tidak diinginkan untuk aplikasi beberapa
protein rekombinan. Ulangan Glu-Ala antara protein
matang dan kex2p dapat dihilangkan pada proses kloning
dalam rangka untuk memperoleh amino terminal yang
lebih autentik. Namun, penghilangan ulangan Glu-Ala
dapat menurunkan efisiensi kespesifikan pemotongan
Kex2p. Pada kasus ini sekresi pro-protein produk
pemotongan yang memiliki perpanjangan amino-terminal
122
yang panjang, yang merupakan 9-11 asam amino dari
daerah pro -MF telah diobservasi (Henkel et al., 1999).
Selain itu, jika pemprosesan selanjutnya terhalang, proprotein kemudian disekresikan ke dalam medium kultur
dalam keadaan utuh dan sangat terglikosilasi (Julius et al.,
1984).
Ulangan Glu-Ala yang tidak terpotong pada sisi
amino-terminal juga dapat menyebabkan masalah lain
dalam hal struktur dan fungsi protein. Contohnya ekspresi
lisozim telah memperlihatkan bahwa termostabilitas yang
dinyatakan sebagai dari temperatur pada saat titik tengah
transisi denaturasi termal (TM) menurun tajam bila
protein mengandung ulangan Glu-Ala. Rendahnya level
ekspresi yang diobservasi pada lisozim juga menyebabkan
penurunan stabilitas, menyebabkan protein dengan
ulangan Glu-Ala lebih rentan terhadap protease
intraselular (Koganesawa et al., 2001).
Ulangan Glu-Ala juga dapat memengaruhi
immunogenisitas protein rekombinan. Sehingga ekspresi
dari protein antigen 5 dari yellow-jacket (Vespula
vulgaris) dan paper wasp (Polistes annularis) dalam P.
pastoris yang mempunyai perpanjangan amino-terminal
ulangan Glu-Ala, mempunyai epitop imunogenik yang
baru yang tidak terdapat pada venom allergen natif.
Dalam kasus ini ulangan Glu-Ala daerah amino terminal
123
menjadi sisi imunogenik yang dominan (Monsalve et al.,
1999).
3. Pelipatan Protein
Pelipatan suatu polipeptida menjadi suatu protein
fungsional melibatkan beberapa protein (disebut juga
komponen pelipatan protein) di dalam sel yang membantu
pelipatan protein. Protein tersebut adalah chaperone
(misalnya, BiP/Kar70), protein disulfida isomerase (PDI)
dan peptidyl-prolyl isomerase (PPI).
Pada eukariota, retikulum endoplasma (RE)
merupakan tempat masuk ke jalur sekresi dan merupakan
kompartemen selular di mana terjadi folding dan
pembentukan ikatan disulfida. Ikatan disulfida dapat
terbentuk secara spontan in vitro dengan adanya senyawa
pengoksidasi seperti molekul oksigen atau glutation
dalam bentuk teroksidasi. Namun proses ini pada
umumnya berlangsung lambat dan tidak efisien. Secara in
vivo, pembentukan ikatan disulfida tergantung pada mesin
sel untuk mengatalisis pembentukan ikatan disulfida baru
(oksidasi) dan penata-ulangan ikatan disulfida non-natif
(isomerisasi). Oksidasi dan isomerisasi dibutuhkan untuk
pembentukan ikatan disulfida natif (Kulp et al., 2006).
Folding protein biasanya dimulai dengan
pembentukan struktur sekunder (Hlodan & Hartl, 1994)
124
dan pembentukan ikatan disulfida terjadi dengan cepat di
retikulum endoplasma (RE) (Holst et al., 1996). Banyak
protein, terutama protein yang disekresikan secara natural,
mengandung daerah pro yang dibutuhkan untuk
mendapatkan folding yang tepat dan pada beberapa kasus
untuk membentuk oligomer. mRNA dari daerah pro dapat
juga membantu menstabilkan mRNA protein melalui
pembentukan struktur sekunder lokal sehingga mencegah
degradasi (Romanos et al., 1992). Walaupun daerah pro
dibuang melalui proteolisis untuk membebaskan protein
mature, ekspresi dari protein tanpa daerah pro-nya akan
memperlambat pengeluaran protein dari retikulum
endoplasma dan pada beberapa kasus akan terjadi
pembentukan folding yang salah (Romanos et al., 1992;
Holst et al., 1996; Oka et al., 1999).
Pro-protein kemudian akan dibawa ke Golgi, di
mana daerah pro dibuang oleh endopeptidase dua basa,
seperti kex2 atau furin. Pemotongan selanjutnya dapat
terjadi melalui amino peptidase (Romanos et al., 1992;
Davey et al., 1998; Steiner et al., 1992; Smeekens, 1993).
Dari Golgi, protein rekombinan dirakit ke dalam vesikel
sekresi dan kemudian dibawa ke permukaan sel
(Romanos et al., 1992).
Pada umumnya, ragi seperti S. cerevisiae
mempunyai kespesifikan yang rendah terhadap
pengenalan urutan sinyal, sehingga penggunaan urutan
125
sinyal natif protein rekombinan dapat menghasilkan
sistem ekspresi yang menyekresikan protein dengan
sukses (Hershberger et al., 1991; Romanos et al., 1992;
Sleep et al., 1990). Penggunaan urutan sinyal natif juga
sukses digunakan dengan sistem ekspresi P. pastoris.
Selanjutnya, bila folding dari protein rekombinan tertentu
berjalan lambat, dan merupakan penentu laju proses,
maka penggunaan galur Mut s untuk ekspresi lebih disukai
karena laju induksi protein lebih rendah sehingga dapat
menghasilkan produk lebih banyak (Romanos, 1995).
Protein Disulfide Isomerase
Protein yang melewati jalur sekresi pada
umumnya mengandung ikatan disulfida yang berperan
penting pada proses pelipatan dan fungsi protein.
Pembentukan ikatan disulfida natif penting untuk
pelipatan banyak protein. Ikatan disulfida memberikan
tambahan kestabilan ekstraselular dari protein melalui
ikatan kovalen silang dua residu cystein. Pembentukan
disulfida kadang-kadang bersifat error-prone, terutama
pada tahap awal folding, dan pemasangan cystein yang
benar ke ikatan disulfida dibutuhkan, dimana setiap
disulfida yang salah pasang harus dihancurkan dan
dibentuk kembali dengan konfigurasi yang berbeda untuk
memperoleh struktur natif.
126
Pembentukan
ikatan disulfida
merupakan
modifikasi kovalen dan merupakan modifikasi pasca
translasi yang dialami oleh protein yang memasuki jalur
sekresi. Pembentukan ikatan disulfida natif merupakan
aspek integral dari jalur pelipatan protein, dan berperan
penting pada perakitan protein, di mana kebanyakan
protein sekresi (contohnya, antibodi, prokolagen)
merupakan oligomer dari dua atau lebih rantai polipeptida
yang digabung bersama oleh rantai ikatan disulfida. Pada
sel-sel sekresi mamalia, jumlah PDI relatif melimpah,
sedang pada ragi jumlah PDI <0,05 persen dari total
protein sel, yang mungkin menggambarkan rendahnya
jumlah protein endogen dengan ikatan disulfida yang
disekresikan oleh eukariota sederhana ini (Tuite &
Freedman, 1994).
Pada bakteri disulfida dibentuk dalam periplasma
melalui elaborasi sistem oksidasi dan isomerasi yang
menjamin dua residu cystein yang tepat disambungkan.
Jalur transpor elektron menghubungkan pembentukan
ikatan disulfida dengan rantai respirasi. Protein membran,
DsbB mengoksidasi sisi aktif CxxC dari protein DsbA
(homolog PDI), kemudian mengatalisis pembentukan
ikatan disulfida pada protein yang akan mengalami
folding. DsbB kemudian direoksidasi oleh ubiquinon yang
dihasilkan selama respirasi (Tu et al., 2000).
127
Pada eukariota, modifikasi pasca-translasi ini
terjadi dalam retikulum endoplasma (RE) di mana
terdapat sejumlah enzim yang mengkatalisis pembentukan
ikatan disulfida yang tepat. Pada ragi dan sel mamalia,
ekivalen oksidasi untuk pembentukan ikatan disulfida
pada prinsipnya dilakukan oleh Ero1p (endoplasmic
reticulum oxidoreductin 1 protein). Disulfida ini
kemudian diberikan ke protein disulfida isomerase
(PDI1), yang merupakan katalis folding yang penting
dalam RE (Gambar 5.5) (Xiao et al., 2004).
Gambar 6.5. Jalur utama pembentukan ikatan disulfida
dalam RE. PDI mentransfer bentuk teroksidasi Ero1p menjadi
bentuk tereduksi (unfolded). Ikatan disulfida non-natif harus
128
diisomerisasi menjadi natif. Protein yang tidak memiliki ikatan
disulfida natif akan didegradasi (Woycechowsky & Raines,
2000).
Ero1p merupakan protein yang terikat ke
membran lumen RE dengan berat molekul 65 kDa yang
berperan penting untuk fiabilitas S. cerevisiae. Secara in
vivo, Ero1p mengoksidasi protein yang mengandung
disulfida. Ero1p pertama kali diidentifikasi menggunakan
skrining genetik di mana bila dioverproduksi, protein ini
dapat mengubah sifat resistensi terhadap DTT (molekul
reduktan) atau bila dimutasi dapat menyebabkan
sensitivitas terhadap DTT. Penambahan oksidan tiol yaitu
diamida ke media pertumbuhan dapat melengkapi
defisiensi Ero1p, kemungkinan karena diamida
melakukan fungsi oksidatif dari produk gen yang hilang.
Hasil ini mengindikasikan bahwa fungsi utama Ero1p
adalah untuk mengoksidasi protein yang baru disintesis
(Frand and Kaiser, 1999).
Penelitian Tu et al. (2000) menyimpulkan bahwa
pada ragi, Ero1p yang memediasi folding oksidatif
tergantung pada level FAD dalam sel namun tidak
tergantung pada ubiquinon atau heme. Penelitian ini juga
memperlihatkan bahwa Ero1p merupakan FAD-binding
protein. Pembentukan ikatan disulfida berlangsung
melalui penghantaran ekivalen oksidasi secara langsung
dari Ero1p ke substrat yang akan mengalami folding via
129
PDI, sehingga pembentukan ikatan disulfida terjadi
dengan cepat walaupun pada lingkungan reduksi.
Sehingga Ero1p merupakan oksidase yang efisien yang
mengatalisis pembentukan ikatan disulfida de novo
melalui mekanisme yang tergantung pada FAD.
Sedangkan PDI berperan sebagai intermediet pada proses
pembentukan ikatan disulfida dengan cara mentransfer
ekivalen oksidasi yang diperoleh dari Ero1p ke substrat
yang akan mengalami folding (Tu et al., 2000).
Protein disulfida isomerase ragi dan mamalia
terdiri dari empat domain (A, B, B’ dan A’) dan ekor
anion (C). Dua domain katalitik (A dan A’) berlokasi
pada ujung molekul dan masing-masing mengandung sisi
aktif CxxC dengan urutan CGHC. Domain katalitik
tioredoksin ini dipisahkan oleh dua domain non-katalitik
tioredoksin (B dan B’) pada struktur multidomain
(ABB’A’C) (Xiao et al., 2004). Oksidasi melibatkan
perpindahan ikatan disulfida sisi aktif dari PDI ke substrat
protein, sementara itu isomerisasi membutuhkan cystein
pada sisi aktif berada dalam bentuk tereduksi sehingga
dapat menyerang ikatan disulfida non-natif pada substrat
protein, sehingga mengatalisis penata-ulangan. Dengan
demikian oksidasi dan isomerisasi membutuhkan bentuk
redoks PDI yang berbeda (Kulp et al., 2006).
Bila cystein pada sisi aktif PDI berada dalam
bentuk disulfida (teroksidasi), enzim dapat memasukkan
130
disulfida ke protein (aktivitas oksidase) melalui
pertukaran tiol/disulfida. Namun, bila cystein pada sisi
aktif PDI berada dalam bentuk ditiol (bentuk tereduksi)
sisi aktif dapat mengatalisis reduksi atau isomerisasi
disulfida substrat. Walaupun PDI menunjukkan aktivitas
oksidase dan isomerase in vitro, dan sejauh ini merupakan
disulfida isomerase aktif yang diketahui, namun
fungsinya secara in vivo belum jelas diketahui
(Woycechowsky and Raines, 2000).
Pembentukan ikatan disulfida pada protein
membutuhkan lingkungan oksidasi yang cukup. Sel
eukariota mengandung sejumlah kompartemen yang
mempunyai potensial reduksi yang bervariasi (E o).
Protein yang akan disekresikan harus ditranslokasikan ke
lingkungan pengoksidasi yaitu retikulum endoplasma
(RE), Eo’ = -0,18 V, pada RE protein mengalami folding
dan membentuk ikatan disulfida natif (Woycechowsky
and Raines, 2000).
Peranan PDI pada sekresi protein
Sekresi protein rekombinan dari sel eukariota
tidak hanya membutuhkan urutan sinyal yang berfungsi
menargetkan protein ke RE dan mengarahkan
translokasinya ke lumen RE. Bila sudah terdapat dalam
lumen RE, protein heterolog harus mengalami pelipatan,
131
modifikasi pasca-translasi dan dalam beberapa kasus
dirakit menjadi oligomer yang fungsional. Kemudian,
protein tersebut akan meninggalkan RE, dan masuk ke
jalur sekresi.
Tahapan penentu utama sekresi protein
rekombinan dari sel eukariota terjadi pada pengeluaran
protein dari lumen RE ke Golgi. Sehingga, protein yang
mengalami kesalahan pelipatan atau kesalahan
modifikasi, atau protein yang dirakit menjadi protein nonnatif, serta agregat dengan berat molekul tinggi akan
dihalangi meninggalkan RE dan dihancurkan oleh sistem
proteolisis. “Protein sampah” ini akan menjadi masalah
bila kita ingin merekayasa sel untuk menyekresikan
protein heterolog dengan level yang tinggi. Protein
heterolog tersebut mungkin akan cenderung mengalami
pelipatan yang salah karena jumlah dari faktor pelipatan
atau modifikasi pasca-translasi terlalu rendah untuk
menanggulangi semua protein yang akan disekresikan.
Selain itu, protein mungkin tidak mengalami pelipatan
dengan benar, karena satu atau lebih faktor yang
dibutuhkan untuk modifikasi pasca-translasi hilang. Hal
ini akan menjadi masalah bila kita mencoba untuk
menyekresikan protein mamalia dari ragi, di mana protein
RE yang dibutuhkan untuk pelipatan protein mamalia
mungkin tidak ada, atau terlalu sedikit jumlahnya dalam
RE ragi (Tuite & Freedman, 1994).
132
Tidak diragukan lagi S. cerevisiae dapat
menyekresikan sejumlah protein mamalia yang memiliki
ikatan disulfida dengan efisien. Contohnya, serum
albumin manusia (HSA) dengan pelipatan yang benar
dapat disekresikan oleh S. cerevisiae dalam jumlah yang
cukup besar. Beberapa publikasi mendemonstrasikan
bahwa overekspresi PDI dalam S. cerevisiae dapat
meningkatkan level sekresi sejumlah protein heterolog
yang memiliki ikatan disulfida yang biasanya
disekresikan dengan level rendah. Pada satu publikasi
dilaporkan sekresi dari protein antikoagulasi antistasin
(protein lintah yang mempunyai sepuluh ikatan disulfida)
meningkat sebanyak 3x bila PDI manusia dikoekspresikan dalam sel yang sama (Schultz et al., 1994)
dan koekspresi dari PDI ragi menghasilkan hampir 25x
peningkatan level sekresi (Tuite & Freedman, 1994).
Pada studi yang sama, Robinson et al. (1994)
memperlihatkan bahwa overekspresi PDI ragi dalam ragi
menghasilkan peningkatan 10x level sekresi human
platelet-derived growth factor (PDGF) dan peningkatan
4x
level
sekresi
phosphatase
asam
dari
Schizosaccharomyces pombe. Lebih menarik lagi, dua
dari delapan jembatan disulfida yang terdapat dalam
PDGF homodimer yang disekresikan merupakan ikatan
disulfida dalam rantai. Robinson et al. (1994) juga
melaporkan bahwa overekspresi PDI tidak meningkatkan
133
sekresi semua protein heterolog yang dicobakan;
contohnya sekresi dari granulocytecolony stimulating
factor (GCSF) manusia tidak berubah. Bagaimanapun,
dua penelitian ini memberikan bukti bahwa galur ragi
yang meng-overekspresikan PDI mungkin merupakan
inang yang lebih baik untuk menyekresikan protein
heterolog yang memiliki ikatan disulfida.
Selanjutnya dilaporkan bahwa fragmen antibodi
untai tunggal (scFv) dapat ditingkatkan dengan kombinasi
overekspresi PDI di S. cerevisiae (Shusta et al., 1998).
Penelitian Natalia et al. (2001-2003) juga melaporkan
peningkatan level ekspresi dari protein membran
peritrofik PM48 dan PM95 dengan ko-ekspresi PDI
dalam S. cerevisiae. Sedangkan Vad et al. (2004)
melaporkan bahwa ekspresi hormon parathyroid manusia
dalam P. pastoris meningkat sangat signifikan melalui koekspresi PDI. Baru-baru ini Powers et al. (2007)
melaporkan bahwa PDI juga berperan sebagai chaperone
karena ko-ekspresi PDI meningatkan sekresi
glukosidase Pyrococcus furius yang hanya memiliki satu
cystein dan tidak memiliki ikatan disulfida dalam S.
cerevisiae.
4. Glikosilasi
Sistem Pichia pastoris untuk ekspresi protein
rekombinan telah banyak digunakan karena memberikan
134
hasil pretein dengan folding yang benar dalam jumlah
besar, sehingga memudahkan persiapan untuk fermentasi
skala besar. Manfaat lain dari sistem ini berpusat pada
tipe glikosilasi yang dihasilkan, pada umumnya
menghasilkan protein yang terikat ke oligosakarida yang
jauh lebih pendek dibanding yang ditemukan pada S.
cerevisiae.
Ragi dapat melakukan glikosilasi pada nitrogen
amida dari residu asparagin pada protein bila ditemukan
dengan urutan konsensus Asn-Xaa-Thr/Ser, sehingga
menghasilkan glikosilasi ikatan-N. Selain itu juga,
glikosilasi pada gugus hidroksil dari threonin dan atau
residu serin pada protein terjadi juga pada ragi,
menghasilkan tipe glikosilasi ikatan-O.
Glikosilasi merupakan modifikasi pasca-translasi
yang paling umum untuk terjadinya sekresi protein. Kirakira 0,5-1,0 persen protein yang ditranslasi genom
eukariota merupakan glikoprotein. Glikosilasi terjadi di
dalam lumen retikulum endoplasma setelah translasi
protein. Tahapan awal glikosilasi-Asn adalah transfer
unit Glc3Man9GlcNAc2 (glukosa(3x)-Manosa(9x)-Nasetilglukosamin(2x)
yang
baru
dirakit
dari
dolichylpyrofosfat ke gugus amida dari residu asparagin
yang tepat pada rantai polipeptida yang sedang tumbuh,
dalam lumen RE pada peristiwa ko-translasi oleh enzim
UDP-GlcNAc:dolichol PGlcNAc-transferase (Dennis et
135
al., 1999; Lis & Sharon, 1993; Herscovics & Orlean,
1993). Tahapan glikosilasi ini terjadi pada ragi dan sel
mamalia. Namun terdapat perbedaan pada pemprosesan
selanjutnya dari protein yang baru diglikosilasi pada ragi
dibanding dengan sel eukariota tingkat tinggi (tumbuhan,
insek dan hewan tingkat tinggi). Pada jalur sekresi,
selanjutnya terjadi pembuangan tiga residu glukosa dari
oligosakarida oleh glukosidase II dan I. Residu manosa
ikatan -1,2 juga dibuang oleh -1,2-manosidase untuk
menghasilkan Man8GlcNAc2 (Gambar 6.6).
Glikoprotein kemudian dipindahkan ke cis-Golgi
yang selanjutnya terjadi pemprosesan lebih lanjut (Dennis
et al., 1999). Pada sistem mamalia pemprosesan tambahan
ini termasuk pembuangan residu manosa dan penambahan
fucosa (fuc), galaktosa (gal), N-asetil-neuraminic acid
(NeuAc), N-glycolylneuraminic acid (NeuGc), N-asetilgalaktosamin (Gal-NAc), N-asetil glukosamin (GlcNAc)
dan asam sialat oleh enzim Golgi seperti fukosiltransferase
dan
N-asetil-glukosaminil-transferase,
galaktosil-transferase dan sialil-transferase (Khandekar et
al., 2001). Pada tahap ini gugus fosfat juga digabungkan
ke struktur oligosakarida dalam bentuk manosa-1-fosfat
untuk menghasilkan ikatan fosfodiester (Martinet et al.,
1998; Kobayashi et al., 1986).
136
Gambar 6.6. Struktur inti oligosakarida ikatan-Asn. Titik
percabangan di mana oligosakarida selanjutnya ditambahkan
diberi tanda bintang.
Sel
CHO
biasanya
digunakan
untuk
mengekspresikan glikoprotein karena tidak memiliki
aktivitas
-1,3-galaktosiltransferase
dan
hanya
menggabungkan sedikit NeuGlc (Li et al., 2001). Pada
Golgi ragi, manosa ditambahkan dan unit oligomanosa
dapat diikatkan dengan ikatan -1,6 ke -1,3 manosa
pada bagian dalam Man -1,3-Man -1,4-GlcNA2
(Herscovics & Orlean, 1993).
Glikosilasi
menghasilkan
bermacam-macam
struktur heterogen dari populasi protein, di mana beberapa
137
dari keheterogenan ini diakibatkan oleh ekspresi jaringan
tertentu dari enzim glikosilasi Golgi (Dennis et al., 1999).
Pada sel, dua molekul protein hasil translasi yang sama
mungkin memiliki oligosakarida yang berbeda, walaupun
protein tersebut telah diekspos terhadap enzim yang sama
dan mesin glikosilasi yang sama. Sehingga beberapa dari
keheterogenan ini membuat protein target menjadi
spesifik dan karena keistimewaan dalam pengenalan
urutan oleh sejumlah enzim glikosilasi (Yan et al., 1999).
Keheterogenan glikosilasi disebabkan oleh
perbedaan tipe, panjang, jumlah dan identitas
oligosakarida dalam populasi oligosakarida-protein pada
sequon tertentu sehingga menghasilkan sejumlah populasi
yang memiliki sifat mikro sedikit berbeda. Glikosilasi
mungkin juga bervariasi dalam hal pemilikan sequon, di
mana mungkin terdapat populasi yang memiliki sequon
yang diisi dan yang tidak diisi (Lis & Sharon, 1993).
Panjang rantai oligosakarida dapat tergantung pada residu
sekeliling di mana residu hidrofilik mungkin
menghasilkan sequon yang memiliki oligosakarida yang
lebih panjang. Selanjutnya, untuk sequon Asn-XaaSer/Yhr, jika Xaa adalah prolin, maka glikosilasi akan
dihambat. Prolin mungkin juga menghambat glikosilasi
jika berada pada C terminal sequon (Shelikoff et al.,
1996). Residu Xaa merupakan residu yang penting,
contohnya jika merupakan residu hidrofobik seperti
138
triptofan (Yan et al., 1999) atau fenilalanin (ShakinEshleman et al.,1996) maka tahap awal penambahan
Glc3Man9GlcNAc2 akan dihambat. Asam amino yang
bermuatan negatif seperti asam glutamat dan asam
aspartat secara parsial juga menghambat pengisian,
sementara asam amino yang bermuatan positif seperti
lisin, histidin dan arginin akan memicu glikosilasi dan
meningkatkan level pengisian (Yan et al., 1999).
Sequon
Sequon pengenalan glikosilasi pada P. pastoris,
sama seperti sistem eukariota lain adalah ...Asn-XaaSer/Thr... (Yan et al., 1999). Gikosilasi lebih mudah
terjadi jika sequon adalah Asn-Xaa-Yhr dibanding AsnXaa-Ser. Bause et al (1981), telah memperlihatkan bahwa
terdapat 10 kali penurunan Km glikosiltransferase
terhadap heksapeptida dengan urutan ...Asn-Xaa-Ser...
sehingga menurunkan efisiensi glikosilasi pada sisi ini
(Bause et al., 1981). Penemuan bahwa karboksipeptidase
Y memiliki 70 persen sequon glikosilasi jika sequon
adalah ... Asn-Xaa-Thr... dan hanya 25 persen glikosilasi
jika sequon adalah ...Asn-Xaa-Ser... telah memvalidisasi
hasil observasi ini (Holst et al., 1996).
139
Lokasi struktur tersier
Disposisi sequon pada struktur tersier protein
merupakan hal yang penting. Terdapat kompetisi antara
folding dan glikosilasi pada RE. Ketika translasi sedang
berlangsung, protein mulai mengalami folding dan jika
sequon terbenam di bagian dalam protein, maka mesin
glikosilasi mungkin tidak mempunyai waktu yang cukup
untuk meng-glikosilasi sequon sebelum sequon tersebut
tersembunyi (Shelikoff et al., 1996).
Sequon sendiri mungkin tidak akan diisi, bahkan
walaupun terdapat pada permukaan protein, jika residu
sequon terlibat pada ikatan hidrogen yang kuat atau jika
berdekatan dengan ikatan disulfida. Doyon et al (2002)
telah memperlihatkan bahwa asparagin dalam sequon
pada posisi 410 dari -amilase pangkreas tikus berikatan
hidrogen dengan asam aspartat pada posisi 430 dan
interaksi ini menghasilkan sequon yang tidak diisi.
Telah ditemukan bahwa sequon yang normalnya
tidak terglikosilasi karena posisinya pada struktur tersier
akan terglikosilasi bila sel ditumbuhkan pada media yang
mengandung dithiothreitol (DTT) (Simons et al., 1995).
DTT mengurangi produk protein tapi tidak menghambat
transkripsi, translasi atau glikosilasi (Holst et al., 1996).
Sifat ini telah didokumentasikan pada ovalbumin, yang
normalnya tidak terglikosilasi pada protein natif, di mana
140
protein ini ditemukan terglikosilasi pada kondisi ekspresi
denaturasi (Pless et al., 1977). Studi yang dilakukan oleh
Holst et al (1996) pada karboksipeptidase Y lebih jauh
memperlihatkan bahwa DTT meningkatkan efisiensi
glikosilasi dari 50 menjadi 70 persen. Hadirnya DTT juga
menyelesaikan glikosilasi pada sequon aktivator
plasminogen jaringan (Allen et al., 1995).
Karena glikosilasi merupakan komponen integral
dari jalur sekresi, maka perubahan protein yang
menghasilkan lambatnya pengeluaran protein dari RE
juga akan menimbulkan glikosilasi yang lebih luas. Studi
yang berhubungan dengan pembuangan daerah pro dari
karboksipeptidase Y (CPY) merupakan contoh di mana
pembuangan daerah pro menyebabkan cacatnya
pengeluaran CPY dari RE dan menghasilkan peningkatan
frekuensi glikosilasi dari 50 sampai 70 persen (Holst et
al., 1996). Bila dua sisi tandem sequon terdapat pada
struktur primer, maka kemungkinan akan terjadi hiperglikosilasi. Beberapa peneliti menyarankan bahwa ...AsnAsn-Thr-Thr... merupakan sequon untuk hiperglikosilasi
(Bretthauer & Castellino, 1999).
Dalam hubungannya dengan C terminal, lokasi
sequon sering merupakan faktor penentu untuk
perpanjangan glikosilasi. Sequon yang berlokasi dekat
dengan amino-terminal akan terpapar terhadap mesin
glikosilasi dalam waktu yang lebih lama dibandingkan
141
dengan sequon yang berlokasi dekat C terminal (Tschopp
et al., 1987; Shelikoff et al., 1996). Laju translasi
polipeptida adalah sekitar enam unit asam amino setiap
detik sehingga jika sequon dekat dengan C- terminal,
mesin glikosilasi mungkin hanya akan memerlukan waktu
mili-detik untuk beraksi (Shelikoff et al., 1996) sebelum
terjadinya pembentukan struktur sekunder dan folding
yang lebih komplit (Holst et al., 1996). Pembentukan
heliks mungkin terjadi sekitar beberapa mili-detik,
sementara pembentukan oligomer dapat memakan waktu
beberapa menit (Shelikoff et al., 1996).
Contoh pengaruh laju sintesis protein dan struktur
sekunder protein terhadap glikosilasi adalah pada
carbohydrate-binding module (CBM). CBM memiliki
sequon glikosilasi yang potensial namun hanya tiga jenis
CBM yang ditemukan terglikosilasi; dari dua sisi yang
ditemukan, salah satunya dekat dengan C terminal
sementara yang lainnya ditemukan terbenam dalam
struktur protein terlipat (Boraston et al., 2001).
Isi dari beberapa sequon mungkin dapat mengubah
laju glikosilasi dari sequon lain dalam protein, sementara
terdapatnya sequon yang berada pada permukaan tidak
menjamin pengisian. Stabilitas dari struktur sekunder juga
ditemukan penting; sebagai contoh proteinase B
ditemukan memiliki sequon ekstra (yang normalnya tidak
terglikosilasi), diisi bila daerah pro dari protein dibuang,
142
yang menandakan bahwa pada beberapa kasus struktur
sekunder lokal yang terbentuk pasca-translasi dapat
menghambat glikosilasi (Nebes & Jones, 1991).
Studi terhadap CPY (Holst et al., 1996), dilakukan
penambahan tujuh sequon ke area urutan primer yang
normalnya tidak dapat diakses pada struktur tersier
protein natif. Sequon baru ini ditemukan terglikosilasi jika
protein terdenaturasi dengan DTT, atau jika CPY
diekspresikan tanpa daerah pro yang menyebabkan
lambatnya pengeluaran dari RE. Variasi laju pengisian
sequon dipengaruhi oleh laju perakitan oligosakarildolikol
dan bila aktivitas transferase kurang dari 100 persen
(Shelikoff et al., 1996). Hal ini juga berhubungan dengan
ketersediaan prekursor oligosakarildolikol, yang mungkin
kehabisan, terutama pada sistem yang meng-overekspresi
protein target dalam waktu yang lama (Hayter et al.,
1992). Ekspresi transferase mungkin tidak cukup tinggi
untuk mengatasi level ekspresi protein rekombinan
sehingga laju sintesis juga menjadi faktor yang penting
terhadap pengisian sequon. Dengan kata yang lebih
sederhana, bila translasi terjadi dengan laju yang lambat,
maka glikosilasi akan lebih mungkin terjadi (Shelikoff et
al., 1996). Penempatan struktur tiga dimensi sequon
dalam protein merupakan hal yang penting terutama bila
dua sequon saling berdekatan, karena glikosilasi pada sisi
143
pertama mungkin secara sterik menghindari glikosilasi
pada sisi kedua (Yan et al., 1999).
Jumlah unit manosa dan tipe oligosakarida
Terdapat variasi pada panjang dan tipe
oligosakarida yang terdapat pada glikoprotein, dan
keheterogenan struktur ini tidak hanya tergantung pada
karakteristik protein target (yang telah didiskusikan di
atas), tapi juga pada inang sistem ekspresi. Pola
glikosilasi P. pastoris sangat bervariasi, sebagai contoh,
Tull et al (2001) menemukan bahwa inti pentasakarida
pada Man3GlcNAc2 (893 Da) umum terdapat pada semua
oligosakarida, sementara jumlah unit manosa bervariasi
antara 3 sampai 13, Man4-9GlcNAc2 merupakan bentuk
umum yang mengisi enam sisi glikosilasi pada -amilase
sehingga menambah berat molekul protein sebanyak 11,4
kDa, dibanding BM teoretis (Tull et al., 2001).
Protease aspartat rekombinan yang diekspresikan
di P. pastoris juga ditemukan pada umumnya
mengandung Man8-9GlcNAc2; namun pada kasus ini
variasi isoform berkisar antara Man6-17GlcNAc2
(Montesino et al., 1999), sementara -laktalbumin pada
umumnya memiliki Man9-12NAc2 (Saito et al., 2002).
Analisis MALDI-TOF MS dari reseptor manosa 6-fosfat
yang tergantung pada kation memperlihatkan bahwa 75
persen dari hasil ekspresi mengandung Man8-10GlcNAc2
144
dan 25 persen mengandung Man11-12GlcNAc2 (Reddy &
Dahms, 2002).
Oligosakarida ditemukan menambah BM 8 kDA
untuk protein reseptor lipopolisakarida CD14, yang
merupakan 30 persen dari total berat molekul (Majerle et
al., 1999). Protease 7 rat mast cell (rMCP7) memiliki satu
sisi glikosilasi Asn. Bila diekspresikan pada P. pastoris,
berat molekul yang berhubungan dengan ikatan-Asn
glikan adalah 36 kDa dibandingkan dengan 4 kDa pada
protein rMCP7 natif (Lawson et al., 2002), hal ini
mengindikasikan bahwa terjadi hiperglikosilasi. Dengan
cara yang sama, bila cystatin ayam dimutasi sehingga
mengandung sisi glikosilasi ikatan-Asn (Asn 106), adanya
sisi ini ditemukan menambah 6,5 kDa terhadap ukuran
protein yang diekspresikan dalam P. pastoris,
dibandingkan dengan hasil ekspresi protein yang tidak
dimutasi (Jiang et al., 2002).
Pada penelitian Daly et al. (2004) ditemukan
bahwa masing-masing sisi glikosilasi ikatan-Asn pada
umumnya menambah sekitar 4-5 kDa terhadap berat
molekul pada sejumlah domain ekstraselular reseptor
activin yang diekspresikan (Daly et al., 2004; Daly &
Hearn, 2004). Glikoprotein membran CD154 tipe II yang
diekspresikan di P. pastoris dan sel CHO memperlihatkan
bahwa P. pastoris memiliki oligosakarida manosa yang
banyak (Man9-11) yang dihasilkan dari penambahan residu
145
manosa terhadap inti oligosakarida (Man8GlcNAc2).
Analisis hasil ekspresi CD154 pada sel CHO
memperlihatkan bahwa oligosakarida utama adalah Man5
dan sisanya pada umumnya merupakan tipe yang
kompleks (mengandung Man3-asam sialat) yang diperoleh
dari Man5 oleh aksi enzim-enzim Golgi (Khandekar et al.,
2001).
Protein yang diekspresikan di S.cerevisiae
mempunyai
kecenderungan
untuk
mengalami
hiperglikosilasi di mana masing-masing oligosakarida
dapat mengandung lebih dari 50 residu manosa (Boraston
et al., 2001). Sebagai konsekuensinya CBM diekspresikan
di P. pastoris dan tidak ditemukan hiperglikosilasi, di
mana glikosilasi hanya menghasilkan pergeseran BM
sekitar 11,5 kDa (Boraston et al., 2001).
Walaupun sistem ekspresi P. pastoris tidak sama
dengan sistem ekspresi S. cerevisiae, yaitu pada
umumnya terjadi hiperglikosilasi, namun terdapat
beberapa protein hasil ekspresi yang juga mengalami
hiperglikosilasi pada P. pastoris dan S. cerevisiae.
Sebagai contoh, protein pembungkus HIV-1 ditemukan
mengalami hiperglikosilasi pada S. cerevisiae dengan
berat molekul lebih dari 600 kDa. Ukurannya berkurang
menjadi 120 kDa bila diekspresikan pada galur mnn9 S.
cerevisiae defisien hiperglikosilasi (Hitzeman et al.,
1990). Protein pembungkus HIV-1 yang diekspresikan
146
secara intraselular pada P. pastoris juga mengalami
hiperglikosilasi dengan berat molekul lebih dari 200 kDa.
Karena de-glikosilasi mereduksi berat molekul menjadi
BM protein sebenarnya, sinyal sekresi ditambahkan untuk
melihat apakah jalur sekresi dapat memodulasi untuk
menghasilkan pola glikosilasi yang berbeda, tapi
ditemukan
bahwa
protein
masih
mengalami
hiperglikosilasi (Scorer et al., 1993). Protein lain yang
diketahui mengalami hiperglikosilasi pada P. pastoris
adalah glikoprotein D herpesvirus 1 (Ruitenberg et al.,
2001), neuraminidase influenza (Martinet et al., 1997)
dan laktoferrin equine (Paramasivam et al., 2002).
Termostabilitas.
Termostabilitas
beberapa
protein
terlihat
meningkat dengan glikosilasi dibanding de-glikosilasi.
Contohnya ekspresi glikosilat
-amilase Bacillus
licheniformis. Bila yang bentuk glikosilat dan deglikosilat dipanaskan sampai 52 C dan kemudian 68 C
dan akhirnya pada 85 C secara periodik, ditemukan
bahwa bentuk glikosilat
-amilase mempertahankan
aktivitasnya lebih lama dibandingkan bentuk de-glikosilat
(Tull et al., 2001). Wang et al (2000) menemukan bahwa
T1/2 dari urokinase plasminogen activator (pro-UK) deglikosilat adalah 30 jam pada suhu ruang, sementara
147
dengan waktu pemaparan yang sama dari glikosilat proUK hanya memiliki aktivitas 80 persen.
Satu bentuk dari pepsinogen porcine yang
diekspresikan pada P. pastoris dan diperkirakan memiliki
glikosilasi ikatan-O ditemukan lebih termostabil
dibandingkan bentuk tidak terglikosilasi yang ditentukan
dengan analisis fungsionalitas sampel yang sudah
dipanaskan dan dengan analisis titik leleh transisi
menggunakan sirkular dichroism (Yoshimasu et al.,
2002). Analisis fungsional dari domain ekstraselular
reseptor aktivin tipe IIA dalam bentuk terglikosilat dan
de-glikosilat memperlihatkan bahwa hanya terdapat
sedikit perbedaan pada kemampuan pengikatan ligan;
namun bentuk de-glikosilat aktif pada periode waktu yang
lebih pendek dan kurang resistan terhadap kondisi
regenerasi yang digunakan (Daly & Hearn, 2004).
Glikosilasi juga dapat meningkatkan stabilitas
protein yang normalnya tidak terglikosilasi pada kondisi
natif. Hal ini ditemukan pada -glukanase bakteri yang
diekspresikan pada S. cerevisiae, menghasilkan protein
yang terglikosilasi yang ditemukan lebih stabil dibanding
bentuk natif glukanase tidak ter-glikosilasi (Olsen &
Thomsen, 1991). Termostabilitas lipase Rhizopus oryzae
(ROL) yang diekspresikan dalam P. pastoris juga lebih
tinggi dari natif ROL tidak ter-glikosilasi (Minning et al.,
148
2001). Cystatin rekombinan ayam (naturalnya tidak
memiliki sequon glikosilasi) dimutasi untuk memiliki sisi
glikosilasi Asn dan ekspresi di P. pastoris. Ditemukan
bahwa mutan cystatin glikosilat lebih termostabil
dibandingkan cystatin non-mutasi, dan dapat bertahan
dengan aktivitas yang hampir penuh setelah siklus beku
cair yang berulang (Jiang et al., 2002).
Protein lain seperti CBM kelompok 2a tidak
memperlihatkan
perubahan
termostabilitas
bila
terglikosilasi (Boraston et al., 2001). Posisi oligosakarida
pada struktur protein juga penting untuk termostabilitas
dibandingkan jumlah atau panjang gugus (Olsen &
Thomsen, 1991). Peningkatan termostabilitas yang
ditemukan pada beberapa protein karena glikosilasi dapat
dihubungkan dengan kontribusi oligosakarida terhadap
kestabilan struktur protein secara keseluruhan (Olden et
al., 1985).
Bila diekspresikan pada sistem ekspresi bakteri,
maka
glikoprotein
cytokine
mungkin
masih
mempertahankan aktivitas tanpa memiliki glikosilasi.
Sehingga glikosilasi mungkin tidak dibutuhkan untuk
fungsionalitas (Khandekar et al., 2001) tapi terjadi
sebagai konsekuensi kebutuhan sekresi protein.
Kenyataannya,
banyak
protein
memperlihatkan
penurunan aktivitas fungsional bila tidak ter-glikosilasi
(Querol et al., 1999). Bagaimanapun kestabilan struktur
149
mungkin dipengaruhi oleh glikosilasi melalui penurunan
proteolisis atau dengan memperlambat unfolding (Jenkins
et al., 1996). Seperti telah dicatat sebelumnya, contoh
EPO yang diekspresikan di E. coli (tidak ter-glikosilasi)
yang kurang resistan terhadap unfolding dibandingkan
EPO terglikosilasi yang diekspresikan di sel mamalia
(Narhi et al., 1991).
Sebaliknya, studi yang menganalisis laju unfolding
dari glikosilat dan de-glikosilat RNase memperlihatkan
bahwa RNase pankreas sapi (glikosilat) mengalami
unfolding lebih lambat dibandingkan bentuk de-glikosilat.
Namun RNase porcine mengalami unfolding dengan laju
yang sama dengan tanpa glikosilasi (Meldgaard &
Svendsen, 1994; Grafl et al., 1987). Hal yang sama
ditemukan pada angiotensin-converting enzyme yang
diproduksi di sel HeLa tidak mengalami glikosilasi dan
tidak aktif secara enzimatik, namun bila diproduksi dalam
P. pastoris maka protein tersebut mengalami glikosilasi
dan aktif. Sehingga tahapan pasca-translasi yang terlibat
pada folding dan glikosilasi dalam ragi tidak ekivalen
dengan eukariota yang lebih tinggi (Sadhukhan et al.,
1996).
Pada beberapa situasi, reseptor membutuhkan
glikosilasi untuk memperoleh folding dan konformasi
yang tepat (Lis & Sharon, 1993). Hal ini terjadi pada
beberapa reseptor termasuk reseptor -adrenergic dan
150
subunit
reseptor asetilkolin otot manusia (PsaridiLinardaki et al., 2002). Reseptor lain seperti reseptor
TGF tipe II dan reseptor hormon pertumbuhan manusia
(Fuh et al., 1990) memiliki aktivitas yang sama dalam
bentuk terglikosilasi dan bentuk de-glikosilasi, sehingga
glikosilasi tidak dibutuhkan untuk kestabilan struktur.
Data baru-baru ini (Daly et al., 2004; Daly & Hearn,
2004) juga menunjukkan bahwa domain ekstraselular
reseptor aktivin, ActR1a/b dan ActRIIa/b, bila
diekspresikan dalam P. pastoris, menunjukkan sedikit
perbedaan afinitas terhadap ligan fisiologinya yang
tergantung pada tingkat glikosilasi. Selain itu juga, pada
beberapa kasus diperlihatkan bahwa glikosilasi mencegah
proteolisis (Yan et al., 1999). Dengan sistem ekspresi P.
pastoris, urutan di sekitar sisi glikosilasi ikatan-Asn dari
streptokinase (Pratap et al., 2000) dan prourokinase
(Wang et al., 2000) memperlihatkan lebih resistan
terhadap degradasi oleh protease. Stabilitas terhadap
serangan proteolisis mungkin disebabkan karena efek
sterik yang dimiliki oligosakarida untuk mencegah
protease dari permukaan protein.
Oligosakarida ikatan-O
Glikosilasi ikatan-O terjadi pada mamalia dan
ragi, tapi dapat terjadi pada sisi pengenalan yang berbeda
(Jenkins et al., 1996). Oligosakarida ditambahkan pada
151
gugus hidroksil dari residu serin atau treonin pada protein
(Li et al., 2001; Dennis et al., 1999). Glikosilasi ikatan-O
mamalia disusun oleh N-asetilgalaktosamin, galaktosa
dan asam sialat (Cregg & Higgins, 1995). Pada ragi
seperti S. cerevisiae, oligosakarida ikatan-O biasanya
terdiri dari satu sampai lima unit residu manosa berikatan
-1,2 (Gambar 6.7) (Duman et al., 1998). Walaupun tidak
ada konsensus sequon yang pasti untuk glikosilasi ikatanO, kemungkinan glikosilasi O-link diperbesar bila
terdapat residu serin/treonin yang sangat melimpah
(Orlean et al., 1991) atau bila terdapat residu prolin di
samping residu serin/treonin (Herscovics & Orlean,
1993).
Gambar 6.7. Struktur O-link oligosakarida yang umum
Glikosilasi ikatan-O mungkin juga terjadi karena
adanya residu asam amino yang bermuatan positif atau
152
negatif di samping residu serin/treonin, karena enzim Oglikosil transferase mungkin membutuhkan asam amino
yang bermuatan (Asami et al., 2000). Residu manosa
terikat langsung ke residu serin/treonin melalui donor
Dol-P-Man. Penambahan residu manosa ditambahkan
melalui donor GDP-manosa (Herscovics & Orlean, 1993;
Bretthauer & Castellino, 1999). Residu manosa yang
pertama dan kedua, ditambahkan dalam RE tapi
penambahan residu manosa selanjutnya terjadi dalam
Golgi di mana oligosakarida dapat juga mengikat fosfat
(Bretthauer & Castellino, 1999). Glikosilasi ikatan-O
terutama terjadi pada glikoprotein yang terlibat pada
sistem perkawinan ragi (Herscovics & Orlean, 1993).
Midkine manusia merupakan glikosilat ikatan-O
bila diekspresikan dalam P. pastoris, walaupun
sebelumnya belum pernah ditemukan mengandung
glikosilasi-O (Asami et al., 2000). Protein lain yang
ditemukan dalam bentuk glikosilasi-O dalam P. pastoris
namun dalam bentuk natifnya bukan merupakan
glikosilasi-O adalah IGF1 (Gellissen, 2000). Baru-baru ini
Letourneur et al (2001) melaporkan hiper O-glikosilasi
pada antigen permukaan I (SAG1) Toxoplasma gondii
yang diekspresikan dalam P. pastoris. cDNA SAG1 juga
telah dimutasi dengan SDM untuk membuang satu sisi
glikosilasi-Asn dan ukuran protein yang diekspresikan
adalah 30 kDa lebih besar dibanding yang diperkirakan.
153
Diperolehnya bentuk/ukuran molekul yang spesifik
menyarankan bahwa beberapa pola glikosilasi ikatan-O
(panjang manosa) lebih umum terjadi. Perbedaan ukuran
keseluruhan antara bentuk mulekul yang paling panjang
(60 kDa) dan bentuk de-glikosilat (29 kDa) menunjukkan
bahwa 185 unit heksosa ditambahkan per mulekul protein
(Letourneur et al., 2001).
Immunogenisitas
Walaupun sistem ekspresi ragi seperti S.
cerevisiae dan P. pastoris memiliki kelebihan jalur
folding eukariota, namun pola glikosilasinya berbeda
dibandingkan manusia dan sistem mamalia lain. Hal ini
mungkin akan menjadi masalah tergantung protein target
dan penggunaan protein tersebut. Sebagai contoh, gugus
karbohidrat tertentu bersifat antigen dan sekarang Food
and Drug Administration (FDA) mensyaratkan
karakterisasi semua karbohidrat dilakukan jika akan
diaplikasikan untuk farmasi (Jenkins et al., 1996; Liu,
1992), karena glikosilasi mungkin dapat mengubah fungsi
dan karakteristik protein rekombinan (Eckart &
Bussineau, 1996).
Sistem ekspresi ragi, terutama S. cerevisiae,
melakukan hiperglikosilat dengan oligosakarida tipe highmanosa dan karena itu protein rekombinan dapat dikenali
dengan reseptor manosa bila diinjeksikan ke spesies
154
mamalia (Cregg et al., 1993; Cregg & Higgins, 1995;
Eckart & Bussineau, 1996). Glikosilasi S. cerevisiae
memiliki residu manosa terminal dengan ikatan -1,3
yang diperkirakan bersifat antigen. P. pastoris tidak
memiliki terminal dengan ikatan ini (Cregg et al., 1993;
Scorer et al., 1993), karena aktivitas
-1,3
manosiltransferase P. pastoris tidak terdeteksi (Cregg &
Higgins, 1995), namun karena bukan merupakan tipe
glikosilasi pada manusia, maka mungkin menyebabkan
respons sistem imun manusia (Cregg et al., 1993; Eckart
& Bussineau, 1996; Dennis et al., 1999; Lis & Sharon,
1993; Gooche et al., 1991). Glikoprotein Bm86 kutu sapi
yang diekspresikan dalam P. pastoris ditemukan
mengalami hiperglikosilasi dan membentuk partikel
imunogenik (Romanos, 1995; Rodriguez et al., 1994).
De-sialat glikoprotein pada umumnya mengalami
penghancuran dengan cepat dari serum kelinci melalui
reseptor asialoglikoprotein hepatic (Lis & Sharon, 1993).
Sehingga glikosilasi mungkin mempunyai efek terhadap
laju penghancuran protein (Jenkins et al., 1996;
Tsujikawa et al., 1996; Khandekar et al., 2001).
Kondisi kultur untuk mencegah glikosilasi
Untuk mengurangi glikosilasi terhadap protein
rekombinan tertentu, sel inang (ragi atau mamalia) dapat
dikultur pada media yang mengandung tunicamycin
155
(Boraston et al., 2001; Elbein, 1984). Tunicamycin
merupakan analog gula yang strukturnya mirip dengan
UDP-GlcNAc dan tidak digabungkan ke oligosakarida,
tunicamycin merupakan inhibitor kompetitif UDPGlcNAc dolichol P-GlcNAc transferase (Villatte et al.,
2001). Ekspresi non-glikosilat dapat juga dicapai dengan
melakukan ekspresi dengan adanya N-benzoil-Asn-LeuThr-N-metilamida yang akan berkompetisi dengan sequon
protein yang diekspresikan untuk membentuk glikosilasi
ikatan-Asn. (Huylebroek et al., 1990).
Cara lain untuk mencegah atau mengurangi
jumlah glikosilasi adalah menggunakan sel ekspresi
mutan, yang tidak memiliki gen yang mengode beberapa
mesin glikosilasi. Contohnya galur mnn9 S. cerevisiae
yang defisien glikosilasi. Galur ini digunakan untuk
mengekspresikan protein pembungkus HIV-1, yang
mengalami hiperglikosilasi (>600 kDa) dalam sel ekspresi
normal tapi berukuran 120 kDa dalam S. cerevisiae mnn9.
(Scorer et al., 1993).
De-glikosilasi melalui enzim atau SDM (site directed
mutagenesis)
Jika protein rekombinan didesain untuk sekresi,
dan protein target mengandung sequon glikosilasi yang
tidak diinginkan (yang mungkin menghasilkan glikosilasi)
maka pemilihan cara glikosilasi dapat dilakukan. Hal ini
156
mungkin melibatkan perubahan kondisi kultur, salah
satunya dengan menggunakan sel mutan (yang tidak
memiliki beberapa mesin glikosilasi) atau dengan
menambahkan inhibitor glikosilasi (seperti telah
didiskusikan di atas). Alternatif lain yang menghasilkan
de-glikosilasi utuh adalah pembuangan sequon melalui
SDM atau secara enzimatik atau de-glikosilasi secara
kimia dari protein setelah diekspresi.
Enzim seperti peptida-Nglikosidase F atau
endoglikosidase H dapat melakukan deglikosilasi utuh,
yang akan membutuhkan refolding atau men-de-glikosilat
protein natif. Jika protein natif akan di-de-glikosilasi
maka perlu diperhatikan waktu inkubasi yang dibutuhkan
untuk de-glikosilasi protein, karena tidak semua protein
stabil untuk jangka waktu yang lama pada temperatur
yang dibutuhkan oleh enzim de-glikosilasi. Jika protein
tidak stabil, maka sebagai kompensasinya dibutuhkan
tambahan sejumlah enzim yang dibutuhkan untuk deglikosilasi keseluruhan protein. Reaksi de-glikosilasi
protein natif juga kurang efisien dibandingkan protein
terdenaturasi karena pada protein mungkin terdapat
halangan sterik pada sisi pemotongan sehingga walaupun
protein tersebut stabil tetap membutuhkan optimasi.
SDM dapat digunakan untuk mengubah sequon
sehingga glikosilasi benar-benar dihambat. Jika hal ini
dilakukan maka fungsionalitas protein perlu dikaji ulang
157
untuk meyakinkan bahwa mutasi tidak memberikan efek
negatif terhadap aktivitas dan struktur protein. SDM
sequon glikosilasi telah dikaji untuk protein CD154 di
mana Asn240 dimutasi menjadi Ala. Jika SDM dipilih,
maka analisis awal sequon yang berhubungan dengan
struktur tersier perlu ditentukan karena posisi sequon
mungkin sedemikian rupa sehingga tidak terglikosilasi
karena terbenam dalam inti protein, atau Asn mungkin
terlibat dalam ikatan hidrogen. Jika kasusnya adalah
seperti ini, maka SDM tidak diperlukan dan jika
dilakukan akan merusak struktur protein.
Deglikosilasi protein juga dibutuhkan untuk
mendapatkan struktur kristal. Glikoprotein pada
umumnya sulit untuk dikristalkan, namun de-glikosilasi
utuh tidak mungkin dilakukan karena akan berpengaruh
terhadap stabilitas dan aktivitas (Bretthauer & Castellino,
1999). Alternatif seperti perlakuan glikoprotein dengan
Endo H (dibanding PNGase F), yang meninggalkan
GlcNAc, dapat membantu menstabilkan protein. Strategi
ini telah dilakukan untuk beberapa protein terglikosilasi,
termasuk domain ekstraselular dari reseptor aktivin A
(Curvers et al., 2001).
Gel-shift assay
Pengetahuan bahwa tipe oligosakarida high
manosa merupakan satu-satunya tipe oligosakarida yang
158
ditemukan pada glikoprotein ragi telah membuka jalan
penggunaan metode eksperimen untuk menentukan
apakah N-glikosilasi terjadi pada protein rekombinan.
Tersedianya enzim yang mengenali inti struktur highmanosa dan mengatalisis hidrolisis ikatan GlcNAc 1,4GlcNAc pada inti struktur, menghasilkan pembebasan
oligosakarida, pada umumnya menghasilkan penuruan
massa yang cukup signifikan dan dapat dideteksi dengan
SDS/PAGE. Endo- -N-asetilglukosaminidase H (endo H)
merupakan suatu enzim yang telah digunakan secara
ekstensif untuk tujuan ini. Enzim tipe lain yang digunakan
untuk membebaskan ikatan-N oligosakarida tidak spesifik
untuk high-manosa atau struktur tipe kompleks, dan
mengatalisis hidrolisis ikatan GlcNAc -Asn. Enzim ini
yaitu peptida-N-glikohidrolase F (glikopeptidase F atau
PNGase F), telah digunakan secara ekstensif untuk
mendemonstrasikan shift pada SDS/PAGE mobility
sebagai indikasi N-glikosilasi. Laporan terjadinya Nglikosilasi telah didemonstrasikan hanya dengan
menggunakan salah satu enzim endo H atau PNGase F
pada gel-shift assay terdapat pada Table 5.3. Hasil
observasi perbedaan yang nyata antara massa sebelum
dan sesudah perlakuan dengan enzim endo diperlihatkan
dengan jelas.
159
Tabel 6.3. Hasil analisis N-glikosilasi pada gel shift assay
dengan menggunakan enzim endo H atau PNGase F.
Protein
Perubahan BM (kDa)
Glikosidase
Invertase S. cerevisiae
Protein pembungkus HIV
-amilase Bacillus
amyloliquifaciens
Subunit katalitik
enterokinase bovine
Enzim angiotensinconverting kelinci
CD5-110 manusia
-antitripsin manusia
Glikoprotein D virus
herpes tipe I bovine
Subunit
prolil 4hidroksilase manusia
Gelatinase B tikus
Angiostatin manusia
100-140 menjadi 58
200 menjadi 59
Endo H
Endo H
Smear menjadi 60
46 menjadi 33
Endo H
Endo H
90 menjadi 77
PNGase
22,9 menjadi 14,8
52 menjadi 46
68 menjadi 39
Endo H
Endo H
Endo H
Tiga pita menjadi 1
pita
110 menjadi 95
51 menjadi 49
PNGase
PNGase
Endo H
160
7
PENUTUP
SISTEM ekspresi P. pastoris dapat melengkapi
sistem ekspresi lain untuk mendapatkan produk protein
rekombinan autentik dalam jumlah besar untuk keperluan
fungsionalitas,
fisiologi
ataupun
penentuan
struktur/kristalografi (Boettner et al., 2002). Khususnya
Pichia pastoris merupakan sistem yang dapat digunakan
untuk investigasi rekayasa protein, terutama studi yang
berbasis molekul dari interaksi protein ligan-reseptor
protein/protein pengikat atau perakitan makromulekul
kompleks protein.
Tersedianya metoda untuk membentuk vektor
ekspresi yang mengandung insersi gen asing multikopi,
memungkinkan produksi protein rekombinan yang
diinginkan dalam jumlah besar dan dalam bentuk terlarut,
161
dengan pelipatan yang tepat dan mengalami modifikasi
pasca-translasi yang tepat.
Sistem P. pastoris merupakan sistem yang
menguntungkan, tidak mahal, merupakan alat yang
berguna untuk investigasi rekayasa protein dimana keautentikan folding dan pematangan protein rekombinan
merupakan komponen yang penting dalam rangka
pencarian untuk mengetahui tingkah laku pengikatan pada
tingkat molekul dan fenomena pengikatan molekul lain
yang berhubungan dengan interaksi protein rekombinan
dengan molekul lain yang terjadi secara natural.
162
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, M.S., Cabral, K.S., de Medeiros, L.N., Valente, A.P., Almeida,
F.C.L., Kurtenbach, E. 2001. cDNA cloning and heterologous
expression of functional cysteine-rich antifungal protein Psd1 in the
yeast Pichia pastoris. Arch. Biochem. Biophys. 395: 199–207.
Allen, S., Naim, H.Y., Bulleid, N.J. 1995. Intracellular folding of tissue-type
plasminogen activator: effects of disulfide bond formation on N-linked
glycosylation and secretion. J. Biol. Chem. 270: 4797–4804.
Asami, Y., Nagano, H., Ikematsu, S., Murasugi, A. 2000. An approach to the
removal of yeast specific O-linked oligomannoses from human midkine
expressed in Pichia pastoris using site-specific mutagenesis. J
Biochem. 128: 823–826.
Barr, K.A., Hopkins, S.A., Sreekrishna, K. 1992. Protocol for efficient
secretion of HSA developed from Pichia pastoris. Pharmac. Engng 12:
48–51.
Bardwell James, C.A., 1994. Building bridges: disulphide bond formation in
the cell. Mol. Microbiol. 14: 199–205.
Bause, E., Legler, G. 1981. The role of the hydroxy amino acid in the triplet
sequence Asn-Xaa-Thr(Ser) for the N-glycosylation step during
glycoprotein biosynthesis. Biochem. J. 195: 639–644.
Becker, D. M. and Guarante, L. 1991. High-efficiency transformation of
yeast by electroporation. Methods Enzymol. 194, 182–187.
Beall, M.J., Pearce, E.J. 2001. Human transforming growth factor-beta
activates a receptor serine/threonine kinase from the intravascular
parasite Schistosoma mansoni. J. Biol. Chem. 276: 31613–31619.
Biemans, R., Gregoire, D., Haumont, M., Bosseloir, A., Garcia, L., Jacquet,
A., Dubeaux, C., Bollen, A. 1998. The conformation of purified
Toxoplasma gondii SAG1 antigen, secreted from engineered Pichia
pastoris, is adequate for sero-recognition and cell proliferation. J.
Biotechnol. 66: 137–146.
163
Boraston, A.B., McLean, B.W., Guarna, M.M., Amandaron-Akow, E.,
Kilburn, D.G. 2001. A family 2a carbohydratebinding module suitable
as an affinity tag for proteins produced in Pichia pastoris. Protein
Express. Purif. 21: 417–423.
Boettner, M., Prinz, B., Holz, C., Stahl, U., Lang, C. 2002. High-throughput
screening for expression of heterologous proteins in the yeast Pichia
pastoris. J. Biotechnol. 99: 51–62.
Boraston, A.B., Warren, R.A.J., Kilburn, D.G. 2001. Glycosylation by Pichia
pastoris decreases the affinity of a family 2a carbohydrate- binding
module from Cellulomonas fimi: a functional and mutational analysis.
Biochem. J. 358: 423–430.
Brake, A.J., Merryweather, J.P., Coit, D.G., Heberlein, U.A., Masiarz, F.R.,
Mullenbach, G.T., Urdea, M.S., Valenzuela, P., Barr, P.J. 1984. Alphafactor-directed synthesis and secretion of mature foreign proteins in
Saccharomyces cerevisiae. Proc Natl Acad. of Sci. USA 81: 4642–
4646.
Brankamp, R.G., Sreekrishna, K., Smith, P.L., Blankenship, D.T., Cardin,
A.D. 1995. Expression of a synthetic gene encoding the anticoagulantantimetastatic protein ghilanten by the methylotrophic yeast Pichia
pastoris. Protein Express. Purif. 6: 813–820.
Bretthauer, R.K., Castellino, F.J. 1999. Glycosylation of Pichia pastorisderived proteins. Biotechnol. Appl. Biochem. 30: 193–200.
Brierley, R.A. 1998. Secretion of recombinant human insulin-like growth
factor I (IGF-1). Methods Mol. Biol. 103, 149-177.
Cereghino, G.P.L., Cregg, J.M. 1999. Applications of yeast in biotechnology:
protein production and genetic analysis. Curr. Opin. Biotechnol. 10:
422–427.
Cereghino, J.L., Cregg, J.M. 2000. Heterologous protein expression in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEMS Microbiol. Rev. 24: 45–
66.
Chaudhuri, T.K., Horii, K., Yoda, T., Arai, M., Nagata, S., Terada, T.P.,
Uchiyama, H., Ikura, T., Tsumoto, K., Kataoka, H., Matsushima, M.,
Kuwajima K., Kumagai, I. 1999. Effect of the extra N-terminal
methionine residue on the stability and folding of recombinant alphalactalbumin expressed in Escherichia coli. J. Mol. Biol. 285: 1179–
1194.
164
Chang, C.N., Matteucci, M., Perry, J., Wulf, J.J., Chen, C.Y., Hitzeman, R.A.
1986. Saccharomyces cerevisiae secretes and correctly processes
human interferon hybrid proteins containing yeast invertase signal
peptides. Mol. Cell. Biol. 6: 1812–1819.
Chen, Y.S., Jin, M., Egborge, T., Coppola, G., Andre, J., Calhoun, D.H.
2000. Expression and characterization of glycosylated and catalytically
active recombinant human alpha-galactosidase a produced in Pichia
pastoris. Protein Express. Purif. 20: 472–484.
Clare, J.J., Rayment, F.B., Ballantine, S.P., Sreekrishna, K., Romanos, M.A.
1991. High-level expression of tetanus toxin fragment C in Pichia
pastoris strains containing multiple tandem integrations of the gene.
BioTechnology: 9: 455–460.
Clare, J.J., Romanos, M.A., Rayment, F.B., Rowedder, J.E., Smith, M.A.,
Payne, M.M., Sreekrishna, K., Henwood. C.A. 1991. Production of
mouse epidermal growth factor in yeast high level secretion using
Pichia-pastoris strains containing multiple gene copies. Gene 105:
205–212.
Cole, P.A. 1996. Chaperone-assisted protein expression. Structure 4: 239–
242.
Couderc, R., Baratti, J. 1980. Oxidation of methanol by the yeast, Pichia
pastoris strain IFP206: purification and properties of the alcohol
oxidase (EC 1.1.3.13). Agric. Biol. Chem. 44: 2279–2290.
Cregg, J.M., Madden, K.R., Barringer, K.J., Thill, G.P., Stillman, C.A. 1989.
Functional characterization of the two alcohol oxidase genes from the
yeast Pichia pastoris. Mol. Cell. Biol. 9: 1316–1323.
Cregg, J.M., Barringer, K.J., Hessler, A.Y., Madden, K.R. 1985. Pichia
pastoris as a host system for transformations. Mol. Cell. Biol. 5: 3376–
3385.
Cregg, J.M. and Madden, K.R. 1988. Development of the methylotrophic
yeast Pichia pastoris, as a host system for the production of foreign
proteins. Dev. Ind. Microbiol. 29, 33-41.
Cregg, J.M., Vedvick, T.S., Raschke, W.C. 1993. Recent advances in the
expression of foreign genes in Pichia pastoris. BioTechnology 11: 905–
910.
Cregg, J.M., Higgins, D.R. 1995. Production of foreign proteins in the yeast
Pichia pastoris. Can. J. Bot. 73: 891–897.
165
Davey, J., Davis, K., Hughes, M., Ladds, G., Powner, D. 1998. The
processing of yeast pheromones. Sem. Cell Dev. Biol. 9: 19–30.
Daly, R. & Hearn, M.T.W. 2004. Expression fo heterologous proteins in
Pichia pastoris: a useful experimental tool in protein engineering and
production. J. Mol. Recognit. 18: 119-138.
Daly R, & Hearn, M.T.W. 2004. Expression and characterization of the
Activin type IIA receptor extracellular domain in Pichia pastoris (in
press).
Daly, R., Wilson, K., Phillips, D.J., Hearn, M.T.W. 2004. Comparison of
native versus yeast signal sequences in the bioactivity of activin
receptor extracellular domains expressed in Pichia pastoris (in press).
De Schutter, K., Yao-Cheng, L., P. Tiels, A., Van Hecke, S., Glinka, J.,
Weber-Lehmann, P., Rouze, Y., Van de Peer & Callewaert, N. 2009.
Genome sequence of the recombinant protein production host Pichia
pastoris. Nat. Biotechnol. 27: 561-569.
Dennis, J.W., Granovsky, M., Warren, C.E. 1999. Protein glycosylation in
development and disease. Bioessays 21: 412–421.
Digan, M.E., Lair, S.V., Brierley, R.A., Siegel, R.S., Williams, M.E., Ellis,
S.B., Kellaris, P.A., Provow, S.A,, Craig, W.S., Velicelebi, G.,
Harpold, M.M., Thill, G.P. 1989. Continuous production of a novel
lysozyme via secretion from the yeast, Pichia pastoris. BioTechnology.
7: 160–164.
Doud, S. K., Chou, M. M., and Kendall, D. A. 1993. Titration of protein
transport by incremental changes in signal peptide hydrophobicity.
Biochemistry 32:1251–1256
Doyon, Y., Home, W., Daull, P., LeBel, D. 2002. Effect of C domain Nglycosylation and deletion on rat pancreatic alpha-amylase secretion
and activity. Biochem. J. 362: 259–264.
Duman, J.G., Miele, R.G., Liang, H., Grella, D.K., Sim, K.L., Castellino,
F.J., Bretthauer, R.K. 1998. O-mannosylation of Pichia pastoris
cellular and recombinant proteins. Biotechnol. Appl. Biochem. 28: 39–
45.
Eckart, M.R., Bussineau, C.M. 1996. Quality and authenticity of
heterologous proteins synthesized in yeast. Curr. Opin. Biotechnol. 7:
525–530.
166
Egea, P. F., Stroud, R. M. & Walter, P. 2005. Targeting proteins to
membranes: structure of the signal regocnition particle. Current
Opinion in Structural Biology. 15: 213-220.
Elbein, A.D. 1984. Inhibitors of the biosynthesis and processing of N-linked
oligosaccharides. CRC Crit. Rev. Biochem. 16: 21–49.
Fekkes, P., & Driessen, A. J. M. 1999. Protein targeting to the bacterial
cytoplasmic membrane. Microbiol. & Mol. Biol. Rev. 63: 161-173.
Fidler, A.E., Lun, S., Young, W., McNatty, K.P. 1998. Expression and
secretion of a biologically active glycoprotein hormone, ovine follicle
stimulating hormone, by Pichia Pastoris. J. Mol. Endocrinol. 21: 327–
336.
Fidler, A.E., Western, A.H., Griffith, N., Selwood, L., Stent, V., McNatty,
K.P. 2002. Production of a biologically active recombinant marsupial
growth factor using the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Reprod.
Fertil. Dev. 14: 327–332.
Frand, A.R., and Kaiser, C.A. 1999. Ero1p oxidizes protein disulfide
isomerase in a pathway for disulfide bond formation in the endoplasmic
reticulum. Molecular Cell 4, 469–477.
Fuh G, MG, M., Bass, S., McFarland, N., Brochier, M., Bourell, J.H., Light,
D.R., Wells, J.A. 1990. The human growth hormone receptor. Secretion
from Escherichia coli and disulfide bonding pattern of the extracellular
binding domain. J. Biol. Chem. 265: 3111–3115.
Gallet, P.F., Vaujour, H., Petit, J.M., Maftah, A., Oulmouden, A., Oriol, R.,
Lenarvor, C., Guilloton, M., Julien, R. 1998. Heterologous expression
of an engineered truncated form of human lewis fucosyltransferase
(FUC-TIII) by the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Glycobiology
8: 919–925.
Gellissen, G., Melber, K., Janowic, Z.A., Dahlems, U.M., Weydemann, U.,
Piontek, M., Strasser, A.W.M., Hollenberg, C.P. 1992. Heterologous
protein production in yeast. Antonie Leeuwenhoek 62: 79–93.
Gellissen, G. 2000. Heterologous protein production in methylotrophic
yeasts. Appl. Microbiol. Biotechnol. 54: 741–750.
Glick, B.R., Pasternak, J.J. 2003. Molecular biotechnology, principles and
applications of recombinant DNA. ASM Press (Washington DC). 163173.
167
Goochee, C.F., Gramer, M.J., Andersen, D.C., Bahr, J.B., Rasmussen, J.R.
1991. The oligosaccharides of glycoproteins: bioprocess factors
effecting oligosaccharide structure and their effect on glycoprotein
properties. Bio Technology 9: 1347–1355.
Grafl, R., Lang, K., Vogl, H., Schmidt, F.X. 1987. The mechanism of folding
of pancreatic ribonucleases is independent of the presence of covalently
linked carbohydrate. J. Biol. Chem. 262: 10624–10629.
Hayter, P.M., Curling, E.M.A., Baines, A.J. 1992. Glucose-limited chemostat
culture of Chinese Hamster Ovary cells producing recombinant human
interferon-gamma. Biotechnol. Bioengng 39: 327–335.
Hardy, E., Martínez, E., Diago, D., Díaz R., González, D., and Herrera L.
2000. Large-scale production of recombinant hepatitis B surface
antigen from Pichia pastoris. J. Biotechnol. 77, 157–167.
Hershberger, C.L., Larson, J.L., Arnold, B., Rosteck, P.R. Jr., Williams, P.,
DeHoff, B., Dunn, P., O’Neal, K.L., Riemen, M.W., Tice, P.A. 1991. A
cloned gene for human transferrin. Ann. NY Acad. Sci. 646: 140–154.
Henkel, M.K., Pott, G., Henkel, A.W., Juliano, L., Kam, C.M., Powers, J.C.,
Franzusoff ,A. 1999. Endocytic delivery of intramolecularly quenched
substrates and inhibitors to the intracellular yeast Kex2 protease.
Biochem. J. 341: 445–452.
Herscovics, A., Orlean, P. 1993. Glycoprotein biosynthesis in yeast. FASEB
J. 7: 540–550.
Higgins, D.R., Busser, K., Comiskey, J., Whittier, P.S., Purcell, T.J. and
Hoeffler, J.P. 1998. Small vectors for expression based on dominant
drug resistance with direct multicopy selection. Methods Mol. Biol.
103, 41-53.
Hinnen, A., Hicks, J. B., and Fink, G. R. 1978. Transformation of yeast.
Proc. Natl. Acad. Sci. USA 75, 1929–1934.
Hitzeman, R.A., Chen, C.Y., Dowbenko, D.J., Renz, M.E., Lui Pai, R.,
Simpson, N.J., Kohr, W.J., Singh, A., Chisholm, H. R., Chang, C.N.
1990. Use of heterologous and homologous signal sequences for
secretion of heterologous proteins in yeast. Meth. in Enzymol. 185:
421–440.
Hlodan, R., Hartl, U.F. 1994. How the protein folds in the cell. In
mechanisms of protein folding, Pain RH (ed.). Oxford University Press:
New York; 194–228.
168
Holst, B., Bruun, A.W., Kiellandbrandt, M.C., Winther, J.R. 1996.
Competition between folding and glycosylation in the endoplasmic
reticulum. EMBO J. 15: 3538–3546.
Holmes, W.E., Pennica, D., Blader, M., Rey, M.W., Guenzler, W.A.,
Steffens, G.J., Heyneker, H.L. 1985. Cloning and expression of the
gene for pro-urokinase in Escherichia-coli. BioTechnology 3: 923–929.
http://faculty.kgi.edu/cregg/
Huecas, S., Villalba, M., Gonzalez, E., Martinez-Ruiz, A., Rodriguez, R.
1999. Production and detailed characterization of biologically active
olive pollen allergen Ole e 1 secreted by the yeast Pichia pastoris. Eur.
J. Biochem. 261: 539–545.
Inan, M., Meagher, M.M. 2001. Non-repressing carbon sources for alcohol
oxidase (AOX1) promoter of Pichia pastoris. J. Biosci. Bioengng 92:
585–589.
Ina, M., Meagher, M.M. 2001. The effect of ethanol and acetate on protein
expression in Pichia pastoris. J. Biosci. Bioengng 92: 337–341.
Invitrogen, A manual of methods for expresion of recombinant proteins in
Pichia Pastoris, 2006. California. 7-10.
Ito, H., Fukuda, Y., Murata, K., and Kimura, A. 1983. Transformation of
intact yeast cells treated with alkali cations. J. Bacteriol. 153, 163–168.
Jenkins, N, Parekh, R.B., James, D.C. 1996. Getting the glycosylation rightimplications for the biotechnology industry. Nat. Biotechnol. 14: 975–
981.
Jiang, S.T., Chen, G.H., Tang, S.J., Chen, C.S. 2002. Effect of glycosylation
modification (N-Q-I-108!N-Q-T-108) on the freezing stability of
recombinant chicken cystatin overexpressed in Pichia pastoris X-33. J.
Agric. Food Chem. 50: 5313–5317.
Johnson, M. A., Snyder,W. B., Lin-Cereghino, J.,Veenhuis, M., Subramani,
S., and Cregg, J. M. 2001. Pichia pastoris Pex14p, a phosphorylated
peroxisomal membrane protein, is part of a PTS-receptor docking
complex and interacts with many peroxins. Yeast 18, 621–641.
Julius, D., Brake, A., Blair, L., Kunisawa, R., Thorner, J. 1984. Isolation of
the putative structural gene for the Lysine–Arginine-cleaving
endopeptidase required for processing of the yeast prepro-alpha-factor.
Cell 37: 1075–1090.
Katakura, Y., Zhang, W.H., Zhuang, G.Q., Omasa, T., Kishimoto, M., Goto,
W., Suga, K.I. 1998. Effect of methanol concentration on the
169
production of human beta(2)-glycoprotein I domain V by a
recombinant Pichia pastoris: a simple system for the control of
methanol concentration using a semiconductor gas sensor. J. Ferment.
Bioengng 86: 482–487.
Kalandadze, A., Galleno, M., Foncerrada, L., Strominger, J.L.,
Wucherpfennig, K.W. 1996. Expression of recombinant HLA-DR2
molecules—replacement of the hydrophobic transmembrane region by
a leucine zipper dimerisation motif allows the assembly and secretion
of soluble DR alpha-beta heterodimers. J. Biol. Chem. 271: 20156–
20162.
Keizer-Gunnink, I., Vuorela, A., Myllyharju, J., Pihlajaniemi, T., Kivirikko,
K.I., Veenhuis ,M. 2000. Accumulation of properly folded human type
III procollagen molecules in specific intracellular membranous
compartments in the yeast Pichia pastoris. Matrix Biol. 19: 29–36.
Khandekar, S.S., Silverman, C., Wells-Marani, J., Bacon, A.M., Birrell, H.,
Brigham-Burke, M., DeMarini, D.J., Jonak, Z.L., Camilleri, P.,
Fishman-Lobell, J. 2001. Determination of carbohydrate structures Nlinked to soluble CD154 and characterization of the interactions of
CD40 with CD154 expressed in Pichia pastoris and Chinese hamster
ovary cells. Protein Express. Purif. 23: 301–310.
King Te, P., Kochoumian, L., Lu, G. 1995. Murine T and B cell responses to
natural and recombinant hornet venom allergen Dol m 5.02 and its
recombinant fragments. J. Immunol. 154: 577–584.
Kim, T.R., Goto, Y., Hirota, N., Kuwata, K., Denton, H., Wu, S.Y., Sawyer,
L., Batt, C.A. 1997. High-level expression of bovine beta-lactoglobulin
in Pichia pastoris and characterization of its physical properties.
Protein Eng. 10: 1339–1345.
Kjeldsen, T, Pettersson, A.F., Hach, M. 1999. Secretory expression and
characterization of insulin in Pichia pastoris. Biotechnol. Appl.
Biochem. 29: 79–86.
Klebe, R. J., Harriss, J. V., Sharp, Z. D., and Douglas, M. G. 1983. A general
method for polyethylene-glycol-induced genetic transformation of
bacteria and yeast. Gene 25, 333–341.
Kobayashi, H., Shibata, N., Suzuki, S. 1986. Acetolysis of Pichia pastoris
IFO 0948 strain mannan containing alpha- 1,2 and beta-1,2 linkages
170
using acetolysis medium of low sulfuric acid concentration. Arch.
Biochem. Biophys. 245: 494–503.
Koganesawa, N., Aizawa, T., Masaki, K., Matsuura, A., Nimori, T., Bando,
H., Kawan,o K., Nitta, K. 2001. Construction of an expression system
of insect lysozyme lacking thermal stability: the effect of selection of
signal sequence on level of expression in the Pichia pastoris expression
system. Protein Engng 14: 705–710.
Kulp, M.S., Frickel, E.M., Ellgaard, L., Waissman, J.S. 2006. Domain
architecture of protein-disulfide isomerase facilitates its dual role as an
oxidase and an isomerase in Ero1p-mediated disulfide formation. The
Journal of Biologycal Chemistry. 281. 2. 876-884.
Lawson, C., Walker, C., Awford, J., Biffen, M., Mallinder, P., Jackson, A.
2002. Purification and characterization of recombinant rat mast cell
protease 7 expressed in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 25:
256–262.
Laroche, Y., Storme, V., Demeutter, J., Messen,s J., Lauwerey,s M. 1994.
High-level secretion and very efficient isotopic labeling of the tick
anticoagulant peptide (TAP) expressed in the methylotrophic yeast,
Pichia pastoris. BioTechnology 12: 1119–1124.
Letourneur, O., Gervas, G., Gaia, S., Pages, J., Watelet, B., Jolivet, M. 2001.
Characterization of Toxoplasma gondii surface antigen I (SAGI)
secreted from Pichia pastoris: evidence of hyper O-glycosylation.
Biotechnol. Appl. Biochem. 33: 35–45.
Li, Z.J., Xiong, F., Lin, Q.S., d’Anjo, M., Daugulis, A.J,. Yang, D.S.C., Hew,
C.L. 2001. Low-temperature increases the yield of biologically active
herring antifreeze protein in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 21:
438–445.
Li, P.Z., Go, X.G., Arellano, R.O., Renugopalakrishnan, V. 2001.
Glycosylated and phosphorylated proteins—expression in yeast and
oocytes of Xenopus: prospects and challenges—relevance to expression
of thermostable proteins. Protein Express. Purif. 22: 369–380.
Lin-Cereghino, G.P.,
Godfrey, L., de la Cruz, B.J., Johnson, S.,
Khuongsathiene, S., Tolstorukov, I., Yan, M., Lin-Cereghino, J.,
Veenhuis, M., Subramani, S., and Cregg, J.M. 2006. Mxr1p, a key
regulator of the methanol utilization pathway and peroxisomal genes in
Pichia pastoris. Mol. Cel. Biol. 26. 883-897.
171
Lis, H., Sharon, N. 1993. Protein glycosylation—structural and functional
aspects. Eur. J. Biochem. 218: 1–27.
Liu, D.T.Y. 1992. Glycoprotein pharmaceuticals—scientific and regulatory
considerations, and the United-States Orphan Drug-Act. Trends
Biotechnol. 10: 114–120.
Lueking, A., Holz, C., Gotthold, C., Lehrach, H., Cahill, D. 2000. A system
for dual protein expression in Pichia pastoris and Escherichia coli.
Protein Express. Purif. 20: 372–378.
Maras, M., Callewaert, N., Piens, K., Claeyssens, M., Martinet, W., Dewaele,
S., Contreras, H., Dewerte, I., Penttila, M., Contreras, R. 2000.
Molecular cloning and enzymatic characterization of a Trichoderma
reesei 1,2-alpha-D-mannosidase. J. Biotechnol. 77: 255–263.
Martinet, W., Saelens, X., Deroo, T., Neirynck, S., Contreras, R., Jou, W.M.,
Fiers, W. 1997. Protection of mice against a letal influenza challenge
by immunization with yeast-derived recombinant influenza
neuraminidase. Eur. J. Biochem. 247: 332–338.
Makrides, S.C. 1996. Strategies for achieving high-level expression of genes
in Escherichia coli. Microbiol. Rev.60: 512ff.
Martinez-Ruiz, A., Martinez del Pozo, A., Lacadena, J., Mancheno, J.M.,
Onaderra, M., Lopez-Otin, C. and Gavilanes, J.G. 1998. Secretion of
recombinant pro- and mature fungal K-sarcin ribotoxin by the
methylotrophic yeast Pichia pastoris: the Lys-Arg motif is required for
maturation. Protein Expr. Purif. 12, 315-322.
Martinet, W., Maras, M., Saelens, X., Jou, W.M., Contreras, R. 1998.
Modification of the protein glycosylation pathway in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. Biotechnol. Lett. 20: 1171–1177.
Majerle, A, Kidric, J, Jerala, R. 1999. Expression and refolding of functional
fragments of the human lipopolysaccharide receptor CD14 in
Escherichia coli and Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 17: 96–
104.
Mason, A.B, Woodworth, R.C., Olive, R.W.A., Green, B.N., Lin, L.N.,
Brandts, J.F., Tam, B.M., Maxwel, A., Macgillivray, R.T.A. 1996.
Production and isolation of the recombinant N-lobe of human
transferrin from the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein
Express. Purif. 8: 119–125.
172
Meldgaard, M., Svendsen, I. 1994. Different effects of n-glycosylation on the
thermostability of highly homologous bacterial (1,3-1,4)-betaglucanases secreted from yeast. Microbiology 140: 159–166.
Minning, S., Serrano, A., Ferrer, P., Sola, C., Schmid, R.D., Valero, F. 2001.
Optimization of the high-level production of Rhizopus oryzae lipase in
Pichia pastoris. J. Biotechnol. 86: 59–70.
Moir, D.T., Dumais, D.R. 1987. Glycosylation and secretion of human alpha1-antitrypsin by yeast. Gene 56: 209–217.
Monsalve, R.I., Lu, G., King, T.P. 1999. Expressions of recombinant venom
allergen, antigen 5 of yellow jacket (Vespula vulgaris) and paper wasp
(Polistes annularis), in bacteria or yeast. Protein Express. Purif. 16:
410–416.
Montesino, R., Nimtz, M., Quintero, O., Garcia, R., Falcon, V., Cremata, J.A.
1999. Characterization of the oligosaccharides assembled on the Pichia
pastoris-expressed recombinant aspartic protease. Glycobiology 9:
1037–1043.
Murasugi, A., Tohma-Aiba, Y. 2001. Comparison of three signals for
secretory expression of recombinant human midkine in Pichia pastoris.
Biosci. Biotechnol. Biochem. 65: 2291–2293.
Munshi, C., Lee, H.C. 1997. High-level expression of recombinant aplysia
ADP-ribosyl cyclase in Pichia pastoris by fermentation. Protein
Express. Purif. 11: 104–110.
Narhi, L.O., Arakawa, T., Aoki, K.H., Elmore, R., Rohde, M.F., Boone, T.,
Strickland, T.W. 1991. The effect of carbohydrate on the structure and
stability of erythropoietin. J. Biol. Chem. 266: 23022–23026.
Natalia, D., Masduki, F. F., Muharsini, S. 2003. Produksi vaksin hama ternak
lalat screw wormfly: overekspresi protein membran peritrofik PM48
dan PM95, serta overekspresi protein disulfida isomerase (PDI) pada S.
cerevisiae. Laporan RUT VIII. Kementrian Riset Dan Teknologi.
Nebes, V.L., Jones, E.W. 1991. Activation of the proteinase B precursor of
the yeast Saccharomyces cerevisiae by autocatalysis and by an internal
sequence. J. Biol. Chem. 266: 22851–22857.
Nelson, D.L. and Cox, M.M. Lehninger principles of biochemistry. 4 th ed.
Wh Freeman. 1068-1070.
Odonohue, M.J., Boissy, G., Huet, J.C., Nespoulous, C., Brunie, S., Pernollet,
J.C. 1996. Overexpression in Pichia pastoris and crystallization of an
173
elicitor protein secreted by the phytopathogenic fungis, Phytophthora
cryptogea. Protein Express. Purif. 8: 254–261.
Ogata, K., Nishikawa, H. and Ohsugi, M. 1969. A yeast capable of utilizing
methanol. Agric. Biol. Chem. 33, 1519-1520.
Ogunjimi, A.A., Chandler, J.M., Gooding, C.M., Recinos, A., Choudary,
P.V. 1999. High-level secretory expression of immunologically active
intact antibody from the yeast Pichia pastoris. Biotechnol. Lett. 21:
561–567.
Oka, C., Tanaka, M., Muraki, M., Harata, K., Suzuki, K., Jigami, Y. 1999.
Human lysozyme secretion increased by alpha-factor pro-sequence in
Pichia pastoris. Biosci. Biotechnol. Biochem. 63: 1977–1983.
Olden, K., Bernard, B.A., Humphries, M.J., Yeo, T.K., Yeo, K.T., White,
S.L., Newton, S.A., Bauer, H.C., Parent, J.B. 1985. Function of
glycoprotein glycans. Trends Biochem. Sci. 8: 16–82.
Orlean, P., Kuranda, M.J., Albright, C.F. 1991. Analysis of glycoproteins
from Saccharomyces cerevisiae. Meth. Enzymol. 194: 682–697.
Olsen, O., Thomsen, K.K., Weber, J., Duus, J.O., Svendsen, I., Wegener, C.,
Vonwettstein, D. 1996. Transplanting two unique beta-glucanase
catalytic activities into one multienzyme, which forms glucose.
BioTechnology 14: 71–76.
Olsen, O., Thomsen, K.K. 1991. Improvement of bacterial beta glucanase
thermostability by glycosylation. J. Gen. Microbiol. 137: 579–586.
Ostergaard, S., Olsson, L., Nielsen, J. 2000. Metabolic engineering of
Saccaromyces cerevisiae. Microbiol. and Mol. Biol. Rev. 64. 34-50.
Paifer, E., Margolles, E., Cremata, J., Montesino, R., Herrera, L., Delgado,
J.M. 1994. Efficient expression and secretion of recombinant alpha
amylase in Pichia pastoris using two different signal sequences. Yeast
10: 1415–1419.
Paramasivam, M., Saravanan, K., Uma, K., Sharma, S., Singh, T.P.,
Srinivasan, A. 2002. Expression purification, and characterization of
equine lactoferrin in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 26: 28–34.
Pakkanen, O., Hamalainen, E.J., Kivirikko, K.I., Myllyharju, J. 2003.
Assembly of stable human type I and III collagen molecules from
hydroxylated recombinant chains in the yeast Pichia pastoris. J. Biol.
Chem. 278: 32478–32483.
174
Payne, W.E., Gannon, P.M., Kaiser, C.A. 1995. An inducible acid
phosphatase from the yeast Pichia pastoris—characterization of the
gene and its product. Gene 163: 19–26.
Penheiter, A.R., Klucas, R.V., Sarath, G. 1998. Purification and
characterization of a soybean root nodule phosphatase expressed in
Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 14: 125–130.
Pless, D.D., Lennarz, W.J. 1977. Enzymatic conversion of proteins to
glycoproteins. Proc. Natl Acad. Sci. USA 74: 134–138.
Potgieter, T.I., M. Cukan, J. E. Drummond, N. R. Houston-Cummings, Y.
Jiang, F. Li, H. Lynaugh, M. Mallem, T. W. McKelvey, T. Mitchell, A.
Nylen, A. Rittenhour, T. A. Stadheim, D. Zha and M. d’Anjou. 2008.
Production of monoclonal antibodies by glycoengineered Pichia
pastoris. J. Biotechnol. 139, 318–325.
Powers, S.L., Robinson, A.S. 2007. PDI improves secretion of redox-inactive
beta-glucosidase. Biotechnol Proq. 23 (2). 364-369.
Powner, D., Davey, J. 1998. Activation of the kexin from
Schizosaccharomyces pombe requires internal cleavage of its initially
cleaved prosequence. Mol. Cell. Biol. 18: 400–408.
Pratap, J., Rajamohan, G., Dikshit, K.L. 2000. Characteristics of glycosylated
streptokinase secreted from Pichia pastoris: enhanced resistance of SK
to proteolysis by glycosylation. Appl. Microbiol. Biotechnol. 53: 469–
475.
Psaridi-Linardaki, L., Mamalaki, A., Remoundos, M., Tzartos, S.J. 2002.
Expression of soluble ligand- and antibody-binding extracellular
domain of human muscle acetylcholine receptor alpha subunit in yeast
Pichia pastoris—role of glycosylation in alpha-bungarotoxin binding.
J. Biol. Chem. 277: 26980–26986.
Querol, S., Cancelas, J.A., Amat, L., Capmany, G., Garcia, I. 1999. Effect of
glycosylation of recombinant human granulocytic colony-stimulating
factor on expansion cultures of umbilical cord blood CD34(þ) cells.
Haematology 84: 493–498.
Raemaekers, R.J.M., de Muro, L., Gatehouse, J.A., Fordham-Skelton, A.P.
1999. Functional phytohemagglutinin (PHA) and Galanthus nivalis
agglutinin (GNA) expressed in Pichia pastoris—correct N-terminal
processing and secretion of heterologous proteins expressed using the
PHA-E signal peptide. Eur. J. Biochem. 265: 394–403.
175
Reverter, D., Ventura, S., Villegas, V., Vendrell, J., Aviles, F.X. 1998.
Overexpression of human procarboxypeptidase A2 in Pichia pastoris
and detailed characterization of its activiation pathway. J. Biol. Chem.
273: 3535–3541.
Reddy, S.T., Dahms, N.M. 2002. High-level expression and characterization
of a secreted recombinant cation-dependent mannose 6-phosphate
receptor in Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 26: 290–300.
Rees, G.S., Gee, C.K., Ward, H.L., Ball, C., Tarrant, G.M., Poole, S.,
Bristow, A.F. 1999. Rat tumour necrosis factor-alpha: expression in
recombinant Pichia pastoris purification, characterization and
development of a novel ELISA. Eur. Cytokine Netw. 10: 383–392.
Romanos, M.A., Scorer, C.A., Clare, J.J. 1992. Foreign gene expression in
yeast: a review. Yeast 8: 423–488.
Romanos, M.A. 1995. Advances in the use of Pichia pastoris for high-level
gene expression. Curr. Opin. Biotechnol. 6: 527–533.
Rosenfeld, S.A., Ross, O.H., Hillman, M.C., Corman, J.I., Dowling, R.L.
1996. Production and purifiction of human fibroblast collagenase
(MMP-1) expressed in the methylotrophic yeast Pichia pastoris.
Protein Express. Purif. 7: 423–430.
Rockwell, N.C., Fuller, R. S. 1998. Interplay between S, 1 and S, 4 subsites
in Kex2 protease: Kex2 exhibits dual specificity for the P4 side chain.
Biochemistry 37: 3386–3391.
Robinson, A. S., Hines, V., Wittrup, K. D. 1994. Protein disulphide
isomerase overexpression increases secretion of foreign proteins in
Saccharomyces cerevisiae. Bio/Technology. 12, 381-384
Rodriguez, M., Rubiera, R., Penichet, M., Montesinos, R., Cremata, J.,
Falcon, V., Sanchez, G., Bringas, R., Cordoves, C. 1994. High level
expression of the B. microplus Bm86 antigenin the yeast Pichia
pastoris forming highly immunogenic particles for cattle. J. Biotechnol.
33: 135–146.
Ruitenberg, K.M., Gilkerson, J.R., Wellington, J.E., Love, D.N., Whalley,
J.M. 2001. Equine herpesvirus 1 glycoprotein D expressed in Pichia
pastoris is hyperglycosylated and elicits a protective immune response
in the mouse model of EHV-1 disease. Virus Res. 79: 125–135.
176
Rutkowski, D.T., Ott, C.M., Polansky, J.R., and Lingappa, V.R. 2003. Signal
sequences initiate the pathway of maturation in the endoplasmic
reticulum lumen. J. Biol. Chem. 278, 30365-30372.
Sadhukhan, R., Sen, G.C., Sen, I. 1996. Synthesis and cleavage- secretion of
enzymatically active rabbit angiotensinconverting enzyme in Pichia
pastoris. J. Biol. Chem. 271: 18310–18313.
Saito, A., Usui, M., Song, Y., Azakami, H., Kato, A. 2002. Secretion of
glycosylated alpha-lactalbumin in yeast Pichia pastoris. J. Biochem.
132: 77–82.
Samaddar, M., Catterall, J.F., Dighe, R.R. 1997. Expression of biologically
active beta subunit of bovine follicule-stimulating hormone in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 10: 345–
355.
Sarramegna, V., Demange, P., Milon, A., Talmont, F. 2002. Optimizing
functional versus total expression of the human mu-opioid receptor in
Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 24: 212–220.
Scorer, C.A., Buckholz, R.G., Clare, J.J., Romanos, M.A. 1993. The
intracellular production and secretion of HIV-1 envelope protein in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. Gene 136: 111–119
Scorer, C.A., Clare, J.J., McCombie, W.R., Romanos, M.A. and Sreekrishna,
K. 1994. Rapid selection using G418 of high copy number
transformants of Pichia pastoris for high-level foreign gene
expression. Biotechnology (NY) 12, 181-184.
Schultz, L. D., Markus, H. Z., Hofmann, K. J., Montgomery, D. L.,
Dunwiddier, C. T., Kniskern, P. J., Freedman, R. B., Ellis, R. W., Tuite,
M. F. 1994. Using molecular genetic to improve the production of
recombinant proteins by the yeast Saccharomyces cerevisiae. Ann. N.
Y. Acad. Sci. 721, 148-157
Sears, I.B., Oconnor, J., Rossanese, O.W., Glick, B.S. 1998. A versatile set of
vectors for constitutive and regulated gene expression in Pichia
pastoris. Yeast 14: 783–790.
Segev, N., Mulholland, J., Botstein, D. 1988. The yeast gtp binding ypt1
protein and a mammalian counterpart are associated with the secretion
machinery. Cell 52: 915–924.
177
Shelikoff, M., Sinskey, A.J., Stephanopoulos, G. 1996. A modeling
framework for the study of protein glycosylation. Biotechnol. Bioengng
50: 73–90.
Shakin-Eshleman, S.H., Spitalnik, S.L., Kasturi, L. 1996. The amino acid at
the X position of an Asn-X-Ser sequon is an important determinant of
N-linked core-glycosylation efficiency. J. Biol. Chem. 271: 6363–6366.
Shusta, E. V., Raines, R. T., Pluckthun, A., Wittrup, K. D. 1998. Increasing
the secretory capacity of Saccharomyces cerevisiae for production of
single chain antibody fragment. Nature Biotechnol., 16, 773-777.
Sinclair, G., Choy, F.Y.M. 2002. Synonymous codon usage bias and the
expression of human glucocerebrosidase in the methylotrophic yeast,
Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 26: 96–105.
Simons, J.F., Forro-Novick, S., Rose, M.D., Helenius, A. 1995. Bip/Kar2p
serves as a molecular chaperone during carboxypeptidase Y folding in
yeast. J. Cell. Biol. 130: 41–49.
Sleep, D., Belfield, G.P., Goodey, A.R. 1990. The secretion of human serum
albumin from the yeast Saccharomyces cerevisiae using five different
leader sequences. BioTechnology 8: 42–46.
Smith, J.E., 1996. Biotechnology. Cambridge University Press. 68-83.
Smeekens, S.P. 1993. Processing of protein precursors by a novel family of
subtilisin-related mammalian endoproteases. BioTechnology 11: 182–
186.
Snyder, W. B., Koller, A., Choy, A. J.1999. Pex17p is required for import of
both peroxisome membrane and lumenal proteins and interacts with
Pex19p and the peroxisomal targeting signal-receptor docking complex
in Pichia pastoris. Mol. Biol. Cell 10, 4005–4019.
Sreekrishna, K., Brankamp, R.G., Kropp, K.E., Blankenship, D.T., Tsay, J.T.,
Smith, P.L., Wierschke, J.D., Subramaniam, A., Birkenberger, L.A.
1997. Strategies for optimal synthesis and secretion of heterologous
proteins in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Gene 190: 55–62.
Sreekrishna, K., Nelles, L., Potenz, R., Cruze, J., Mazzaferro, P., Fish, W.,
Fuke, M., Holden, K., Phelps, D. 1989. High-level expression
purification and characterization of recombinant human tumor necrosis
factor synthetized in the methylotrophic yeast Pichia-pastoris.
Biochemistry 28: 4117–4125.
178
Steiner, D.F., Smeekens, S.P., Ohagi, S., Chan, S.J. 1992. The new
enzymology of precursor processing endoproteases. J. Biol. Chem. 267:
23435–23438.
Stratton, J., Chiruvolu, V. and Meagher, M. 1998. High cell-density
fermentation. Methods Mol. Biol. 103, 107^120.
Takano, K., Tsuchimori, K., Yamagata, Y., Yutani, K. 1999. Effect of foreign
N-terminal residues on the conformational stability of human
lysozyme. Eur. J. Biochem. 266: 675–682.
Talmont, F., Sidobre, S., Demange, P., Milon, A., Emorine, L.J. 1996.
Expression and pharmacological characterization of the human MUopoid receptor in the methylotrophic yeast Pichia pastoris. FEBS Lett.
394: 268–272.
Thiry, M., Cingolani, D. 2002. Optimizing scale-up fermentation processes.
Trends Biotechnol. 20: 103–105.
Tschopp, J.F., Brust, P.F., Cregg, J.M., Stillman, C.A., Gingeras, T.R. 1987.
Expression of the lacZ gene from two methanol regulated promoters in
Pichia pastoris. Nucl. Acids Res. 15: 3859–3876.
Tsujikawa, M., Okabayashi, K., Morita, M., Tanabe, T. 1996. Secretion of a
variant of human single-chain urokinasetype plasminogen activator
without an N-glycosylation site in the methylotrophic yeast, Pichia
pastoris and characterisation of the secreted product. Yeast 12: 541–
553.
Tull, D., Gottschalk, T.E., Svendsen, I., Kramhoft, B., Phillipson, B.A.,
Bisgard-Frantzen, H., Olsen, O., Svensson, B. 2001. Extensive Nglycosylation reduces the thermal stability of a recombinant
alkalophilic Bacillus alpha-amylase produced in Pichia pastoris.
Protein Express. Purif. 21: 13–23.
Tu, B.P., Ho-Schleyer, S.C., Travers, K.J., Weissman, J.S. 2000.
Biochemical Basis of Oxidative Protein Folding in the Endoplasmic
Reticulum, Science, 290, 1571-1574.
Tuite, M.F., Clare, J.J., Romanos, M.A. 1999. Expressing cloned genes in the
yeasts Saccharomyces cerevisiae and Pichia pastoris. Protein Express.
Pract. Approach 202: 61–100.
Tuite, M.F and Freedman, R.B. 1994, Improving secretion of recombinant
prteins from yeast and mammalian cells; rational of empirical design?
Trends in Biotechnology.
179
Vad, R., Nafstad, E., Dahl, L.A., Gabrielsen. O.S. 2005. Engineering of a
Pichia pastoris expression system for secretion of high amounts of
intact human parathyroid hormone. J. Biotechnol. 116 (3). 251-260.
Valent, Q. A., Kendall, D. A., High, S., Kusters, R., Oudega, B., and Luirink,
J. 1995. Early events in preprotein recognition in E. coli: interaction of
SRP and trigger factor with nascent polypeptides. EMBO J. 14:54945505.
Vassileva, A., Chugh, D.A., Swaminathan, S., Khanna, N. 2001. Expression
of hepatitis B surface antigen in the methylotrophic yeast Pichia
pastoris using the GAP promoter. J. Biotechnol. 88: 21–35.
Vassileva, A., Chugh, D.A., Swaminathan, S., Khanna, N. 2001. Effect of
copy number on the expression levels of hepatitis B surface antigen in
the methylotrophic yeast Pichia pastoris. Protein Express. Purif. 21:
71–80.
Villatte, F., Hussein, A.S., Bachmann, T.T., Schmid, R.D. 2001. Expression
level of heterologous proteins in Pichia pastoris is influenced by flask
design. Appl. Microbiol. Biotechnol. 55: 463–465.
Vozza, L.A., Wittwer, L., Higgins, D.R., Purcell, T.J., Bergseid, M.,
Collinsracie, L.A., Lavallie, E.R., Hoeffler, J.P. 1996. Production of a
recombinant bovine enterokinase catalytic subunit in the
methylotrophic yeast Pichia pastoris. BioTechnology 14: 77–81.
Wang, P., Zhang, J., Sun, Z.Y., Chen, Y.H., Liu, J.N. 2000. Glycosylation of
prourokinase produced by Pichia pastoris impairs enzymatic activity
but not secretion. Protein Express. Purif. 20: 179–185.
Waterham, H.R., Digan, M.E., Koutz, P.J., Lair, S.V., Cregg, J.M. 1997.
Isolation of the Pichia pastoris glyceraldehyde-3- phosphate
dehydrogenase gene and regulation and use of its promoter. Gene 186:
37–44.
Watanabe, H., Yamasaki, K., Kragh-Hansen, U., Tanase, S., Harada, K.,
Suenaga, A., Otagiri, M. 2001. In vitro and in vivo properties of
recombinant human serum albumin from Pichia pastoris purified by a
method of short processing time. Pharm. Res. 18, 1775–1781.
White, C.E., Kempi, N.M., Komives, E.A. 1994. Expression of highly
disulfide-bonded proteins in Pichia pastoris. Structure 2: 1003–1005.
Woo, J.H., Liu, Y.Y., Mathias, A., Stavrou, S., Wang, Z.R., Thompson, J.,
Neville, D.M. 2002. Gene optimization is necessary to express a
180
bivalent anti-human anti-T cell immunotoxin in Pichia pastoris.
Protein Express. Purif. 25: 270–282.
Woycechowsky, K.J. and Raines, R.T. 2000. Native disulfide bond formation
in proteins. Current Opinion in Chemical Biology. 4:533-539.
Wu, S., Fallon, R.D., Payne, M.S. 1999. Engineering Pichia pastoris for
stereoselective nitrile hydrolysis by coproducing three heterologous
proteins. Appl. Microbiol. & Biotechnol. 52: 186–190.
Xiao, R., Wilkinson, B., Solovyov, A., Winther, J.R., Holmgren, A.,
Lundstrom-Ljung, J., Gilbert, H.F. 2004. The contributions of protein
disulfide isomerase and its homologues to oxidative protein folding in
the yeast endoplasmic reticulum. The Journal of Biological Chemistry.
279. 48. 49780-49786.
Yamamoto, Y., Taniyama, Y., Kikuchi, M., Ikehara, M. 1987. Engineering of
the hydrophobic segment of the signal sequence for efficient secretion
of human lysozyme by Saccharomyces cerevisiae. Biochem. Biophys.
Res. Communun. 149: 431–436.
Yan, B.X., Zhang, W.Y., Ding, J.P., Gao, P.J. 1999. Sequence pattern for the
occurrence of N-glycosylation in proteins. J Protein Chem. 18: 511–
521.
Yoshimasu, M.A., Ahn, J.K., Tanaka, T., Yada, R.Y. 2002. Soluble
expression and purification of porcine pepsinogen from Pichia pastoris.
Protein Express. Purif. 25: 229–236.
Zanchin, N.I.T., McCarthy, J.E.G. 1995. Characterisation of the in vivo
phosphorylation sites of the MRUA-cap-binding complex proteins
eukaryotic initiation factor-4E and P20 in Saccharomyces cerevisiae. J.
Biol. Chem. 270: 26505–26510.
Zhu, A., Monahan, C., Wang, Z.K., Goldstein, J. 1996. Expression,
purification and characterization of recombinant alpha-Nacetylgalactosaminidase produced in the yeast Pichia pastoris. Protein
Express. Purif. 8: 456–462.
Zsebo, K., Lu, H.S., Fieschko, J., Goldstein, L., Davis, J., Duker, K., Suggs,
S., Lai, P.H., Bitter, G. 1986. Protein secretion from Saccharomyces
cerivisiae directed by the prepro-alpha factor leader region. J. Biol.
Chem. 261: 5858–5865.
181
INDEKS
A
-mating factor ( -MF), 44, 45, 47, 65, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116,
117,
Adenovirus, 3
alkohol oksidase, 6, 19, 24, 27, 28, 29, 30
amino asil tRNA, 63,
AOX1, 6, 19, 29, 33, 36, 37, 38, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56,
58, 59, 60, 61, 63, 68, 91
asimilasi metanol, 5
Asam kasamino, 74
Auksotropi, 35, 52
B
Biomassa, 31, 33, 57, 72, 73, 76
Biotin, 34,
Badan inklusi, 10, 11, 18
Biopharmaceutical, 2, 7
Baculovirus, 3,
Bakteriofaga, 3,
C
CBM (carbohydrate binding module), 135, 138, 141,
Chaperone, 10, 99, 101, 118, 128
cDNA, 4, 15, 18, 50, 64, 145
D
DsbB, 121,
DsbA, 121
De novo, 123,
DTT (ditrioteitol), 83, 84, 92, 123, 133, 134
disimilasi metanol, 60
Diploid, 25, 26, 81
DNA artificial
E
Ero1p, 122, 123, 124
182
Ekspresi konstitutif, 59
Epitop, 48, 118
Elektroporasi, 25, 55, 79, 83, 84, 91, 93, 94
F
FAD-binding protein, 123
Furin, 97, 119
Folding 10, 12, 15, 18, 40, 56, 99, 101, 107, 111, 118, 119, 120, 121, 122,
123, 124, 125, 128, 133, 142, 146
Un-folding, 11, 142
Re-folding, 12, 99, 149
Miss-fold
Fosforilasi, 10, 18, 71,
G
Glikoprotein, 11, 73, 129, 130, 136, 138, 139, 141, 145, 147, 150, 151
Glutation, 28, 60, 118
Genotipe 35, 36
Gen heterolog, 33
GRAS (generally recognized as safe)
H
Heme, 123
Hibridisasi, 55
Hidrogen peroksida (H2O2), 27
Haploid, 26, 81
Hiperglikosilasi, 16, 134, 137, 138, 139, 147, 148
I
Inhibitor kompetitif, 125, 147
In frame, 107
Insersi gen (gene insertion), 41, 52, 53, 68, 153
Integrasi multikopi, 39, 45, 65, 69, 79
Inang 1, 2, 3, 9, 13, 14, 17, 21, 37, 38, 53, 81, 107, 127, 136, 147
Immunogenisitas, 118, 146
Isomerisasi, 10, 119, 122, 124
K
Kex2, 108, 109, 110, 115
kodon bias, 64, 65
183
Kaset ekspresi, 37, 39, 42, 45, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 65, 66, 67, 68, 107
Katalase, 27, 28
L
Late Golgi, 115
Lisosom, 75, 102
Lokus gen, 25
Litium klorida, 25, 55
Lipidasi, 10
O
ORF (Open Reading Frame) 43
Overekspresi 3, 126, 127, 136
P
Peroksisom 5, 27, 28, 29, 30, 31, 32
Biogenesis 30
Proliferasi 5
Peptide-N glikosidase F (PNGase F) 149, 150, 151
PPI (peptidil prolil isomerase) 118
Prototropi 67
Probe 55
plasmid episom 51
Polietilen glikol 78, 82, 84
Pustaka genom 18, 58
Protein terapeutik 2, 14
protein heterolog 4, 5, 6, 13, 18, 19, 21, 24, 33, 34
pyrogen 4, 34
Plasmid 2um 13
Proteolisis 2, 6, 11, 39, 74, 75, 76
R
Replica-plating 67
RNA poly A 29
Reading frame 18
Rekombinansi homolog 25
Retrovirus 3,
Ragi metilotropik 5, 17
184
S
Sequon 131, 132, 133, 134, 135, 136
Signal peptidase 105, 107, 109, 115
Ste13 108, 109, 114, 115
SR (SRP-receptor) 105
SRP (signal recognition particle) 83, 105
Sorbitol 40, 57, 58
Southern blot 55, 69
Single crossover 52
Shuttle vektor 41
SCP (single cell protein) 23
Struktur genom 17
Sulfasi 10
T
Tunamycin 125
Translokon 105, 106
Translokase 103
Trehalose 73
Trace element 34
TCP (total cell protein) 31
U
Ubiquinon 121, 123
V
Vaksin 2, 7, 14,
Vektor ekspresi 2, 6, 13, 17, 35, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 50, 54, 59, 67, 69, 153
Vaksin rekombinan 2
W
Wild type 16, 36, 37, 39
X
Xylulosa 5-monofosfat 28, 29
Z
Zimolase 55, 87
Zeocin 47, 49, 50, 55, 68, 69, 70
185
TENTANG PENULIS
Shabarni Gaffar, lahir di Bukittinggi
Sumatera Barat pada tanggal 25 April 1971.
Gelar Sarjana Sains diperoleh pada bulan
Maret 1995 di Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Andalas, Padang. Sedangkan
Magister Sains Kimia bidang khusus
Biokimia diperoleh pada bulan Oktober
1998
di
Departemen Kimia Institut
Teknologi Bandung dengan beasiswa URGE Bapennas. Sejak
Desember 2004 sampai saat ini penulis menjadi staf pengajar di
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Padjadjaran. Sekarang penulis
sedang mengikuti Program Doktor pada Program Pascasarjana
Unversitas Padjadjaran dengan topik penelitian: peningkatan produksi
-amilase Saccaromycopsis fibuligera dalam sistem ekspresi Pichia
pastoris melalui modifikasi peptida sinyal, multikopi gen dan koekspresi Protein Disulfida isomerase. Semenjak tahun 1999, penulis
aktif melakukan penelitian di bidang biologi molekuler,
memenangkan beberapa sumber dana penelitian dan pernah
mengikuti training Molecular Microbiology di Osaka Jepang (tahun
2000, beasiswa dari Asian Molecular Biology Organization),
Advanced Professional Training in Industrial Biotechnology
,Braunschweig Jerman (tahun 2001, beasiswa dari Carl Duisberg
Gesellschaft e.V) dan memperoleh dana Sandwich DIKTI di
University of Groningen, The Nederlands (2009). Penulis menikah
dengan Deni Herdian Putra, S.Si dan dikaruniai seorang putra dan
seorang putri.
UNPAD PRESS
ISBN 978-602-8743-23-5
186
View publication stats
Download