Uploaded by User93659

MAKALAH

advertisement
MAKALAH
ISU KONTEKSTUAL KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN
BERADAB :
Kehancuran Nilai Kemanusiaan Dalam Sejarah
Politik Indonesia
Disusun oleh:
Nama
:Deanova Fitriandaru
NIM
: 20/458273/BI/10506
Prodi/Jurusan
: Biologi
Fakultas
: Biologi
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020
I.PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Sejak era kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa
menetapkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Penetapan Pancasila
sebagai dasar negara telah dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya
alinea ke 4. Pancasila yang terdiri dari 5 prinsip atau nilai tidak terjadi dalam
waktu yang singkat, tetapi para pendiri bangsa seperti Muhammad. Yamin, dr.
Soetomo, Ir. Soekarno, dan banyak tokoh lain telah merumuskannya secara
mendalam, sehingga diperoleh bentuk seperti yang dikenal sekarang ini. Pancasila
dapat bertahan sampai sekarang karena sesungguhnya semua nilai yang
terkandung di dalam Pancasila berakar dari tata nilai dan budaya bangsa. Semua
nilai dalam kelima sila sudah menjadi karakter dan kepribadian bangsa. Karena
itu, walaupun sejarah mencatat peristiwa-peristiwa penting di mana ada
kelompok-kelompok yang ingin menggeser Pancasila dan menggantikannya
dengan ideologi lain, Pancasila tetap membuktikan kesaktian dan
ketangguhannya.
Perjalanan Pancasila dalam menjadi dasar negara Indonesia bukan tanpa
rintangan. Teror dan pembunuhan, penghilangan nyawa tanpa hak yang
dibenarkan oleh hukum melalui ledakan bom telah menodai perjalanan politik
Indonesia dalam mengamalkan nilai-nilai luhur pancasila. Penghilangan nyawa
melalui terror telah merusak nilai-nilai kemanusiaan, serta merusak sendi-sendi
berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tentu sangat berseberangan dengan nilainilai yang terkandung dan diperjuangkan dalam setiap butir-butir sila yang
terdapat pada Pancasila. Teror dan pembunuhan yang terjadi menunjukkan bahwa
nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi pada pancasila terutama sila
kemanusiaan yang adil dan beradab telah tercoreng. Hal ini tentu melenceng jauh
dari gagasan pancasila sebagai aturan dasar dalam berbangsa dan bernegara.
Peletakan gagasan berbangsa yang menegara Indonesia diletakkan dengan
fondasi Tauhid. Peletakan keyakinan bangsa melalui Pancasila dengan sila KeTuhanan Yang Maha Esa diikuti oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
menjadikan manusia Indonesia sebagai bangsa yang bertuhan, sekaligus
memuliakan manusia. Ia menjalin hubungan-hubungan batiniyah dengan
Tuhan(hablumminallah) sekaligus pada saat yang bersamaan ia juga menyebarkan
nilai kebajikan kepada sesama umat manusia (hablum minalannas). Dalam kaitan
dengan hal tersebut, maka penting untuk kembali melihat gagasan pemikiran
tokoh-tokoh bangsa dalam membangun sebuah rumah bernama Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu kita ingat bahwa Indonesia sudah
merdeka selama 75 tahun. Sebagai generasi yang hidup saat ini, semua warga
negara bertanggung jawab untuk menjadikan Pancasila tetap hidup sesuai dengan
visi awal para pendiri bangsa. Bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan
sangat beragam sudah menjadi takdir yang digariskan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Bahwa sejak awal, Indonesia didirikan sebagai sebuah negara yang mengakui
6 agama dan kepercayaan. Tanpa menyebut nama-nama agama tersebut, sudah
seharusnya setiap individu paham bahwa yang dipentingkan di sini bukanlah
agama seseorang, tetapi lebih kepada penghayatan dan praktik hidup setiap hari.
Pancasila merupakan salah satu bagian dari Konsensus Nasional yang menjadi
unsur pengikat, di samping ketiga unsur lainnya, yaitu NKRI, Bhinneka Tunggal
Ika, dan UUD 1945.
I.II Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketidaksesuaian implementasi nilai kemanusiaan yang adil
yang beradab dalam dunia perpolitikan di Indonesia?
2. Apa peristiwa yang mencerminkan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan
dalam perjalanan politik Indonesia?
I.III Tujuan
Mempelajari serta menjelaskan mengenai ketidaksesuaian dalam
implementasi pancasila dalam sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab serta memahami peristiwa-peristiwa yang mencerminkan
kehancuran nila-nilai kemanusian dalam sejarah perjalanan perpolitikan di
Indonesia
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pancasila pada hakekatnya adalah dasar negara sekaligus ideologi bangsa
Indonesia. Dengan demikian maka seluruh kegiatan yang ada di negeri ini wajib
dijiwai oleh Pancasila. Pada masing-masing sila pancasila terkandung nilai-nilai
luhur yang digali langsung oleh pendiri bangsa dari dalam diri Indonesia sendiri.
Pancasila sebagai dasar negara, berarti Pancasila dijadikan pedoman dalam
bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 menegaskan, bangsa Indonesia memiliki dasar
dan pedoman dalam berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila. Pancasila sebagai
dasar negara mendasari pasal-pasal dalam UUD 1945. Serta menjadi cita-cita
hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia juga berarti bahwa ideologi dan nilai-nilai yang ada pada
Pancasila dijadikan sebagai panduan, pedoman serta landasan dalam mengatur
dan menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagai dasar
negara maka pemerintah wajib berlandaskan pada pancasila saat mengatur
penyelenggaran negara. Adapun warga negara wajib menjadikan pancasila
sebagai landasan moral dalam berperilaku sehari-hari.
B. Sila Kemanusiaan yang Adil Dan Beradab Serta Nilai Kemanusiaan yang
Dikandungnya
Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” mengandung
pengertian bahwa manusia Indonesia seharusnya diakui dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya selaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
yang memliki derajat yang sama, mempunyai hak dan kewajiban yang sama,
tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan keturunan. Sila kedua dibutuhkan
guna menangkal berbagai ancaman kemanusiaan serta untuk menegakkan nilainilai universal kemanusiaan di negara ini. Selain itu sila ini juga harus mampu
menjamin hukum yang adil bagi masyarakat secara keseluruhan, utamanya demi
penegakan HAM yang bermartabat.
“Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” juga mengandung arti universal
bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia dan
menginginkan kesejahtraan bagi seluruh umat. Sila “Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab” menunjukan pengakuan, yaitu menetapkan manusia pada harkat dan
martabat manusia. Peraturan perundang-undangan di Indonesia harus dapat
mewujudkan tujuan tercapainya harkat dan martabat manusia. Hukum di
Indonesia manusia mempunyai kedudukan yang sama serta mempunyai hak yang
sama sebagai warga negara Indonesia. Manusia harus bersikap adil terhadap diri
sendiri, sesama manusia, masyarakat bangsa, negara dan lingkungan serta kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Konsekuensi nilai yang terkandung dalam “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab” adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghargai kesamaan hak dan
derajat tanpa membedakan suku, agama, ras keturunan, dan status sosial.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa makna Pancasila sila kedua
yaitu masyarakat Indonesia memiliki kedudukan yang sama dan menghargai
sesama serta, mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, saling
meghormati, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
C. Pancasila dan Penerapannya Pada Politik Indonesia
Pada negara demokrasi seperti Indonesia, politik memegang peranan
penting sebagai jembatan (bridge) yang menghubungkan pemerintah rakyatnya.
Namun seiring dengan terbukanya kebebasan sebagai konsekuensi dari reformasi,
kegiatan politik yang dilakukan oleh para politisi (aktor politik) lepas dari
Pancasila sebagai nilai sehingga menyebabkan kegaduhan politik dan berujung
pada perpecahan. Media massa telah banyak mempertontonkan seorang politisi
menghujat politisi lain, atau partai politik yang satu menghantam partai politik
yang lain. Cara-cara “barbarian” dalam komuniiasi politik tersebut membuka
ruang perpecahan dan koflik yang tajam sehingga secara politik merugikan bangsa
Indonesia. Karena tidak jarang, ketika elit berkonflik akan merugikan rakyat kecil
yang sesungguhnya mereka tidak memahaminya. Rakyatlah yang menjadi korban.
Jika diamati, “kuda liar” komunikasi politik yang cenderung destruktif ini
disebabkan oleh hilangnya dimensi nalar Pancasila dalam praktek komunikiasi
politik. Cara-cara politisi dalam berpolitik saat ini cenderung pragmatis yang lebih
mementingkan diri dan kelompoknya, sehingga komunikasi yang terbangun
memposisikan menangkalah. Bahkan untuk meraih kemenangan seorang politisi
melancarkan komunikiasi politik yang meruntuhkan harkat, martabat dan harga
diri politisi lain. Filosofi komunikasi politik berangkat pada pemahaman yang
meletakan penggunaan seluruh sumber daya komunikasi untuk mencapai cita-cita
bersama dalam lingkup bangsa dan negara. Oleh karena itu, komunikasi harus
dilakukan secara jujur, arif, egaliter, saling menghargai dan menghormati satu
sama lain. Politisi harus mampu beranjak untuk mejelma menjadi seorang
negarawan yang memiliki komitmen menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas segala-galanya.
“Back to nalar Pancasila” merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Komunikasi politik didasari dan dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan sehingga
komunikasi politik yang terbangun tidak melenceng dari nilainilai religiusitas
yang bersifat universal. Komunikiasi politik harus mampu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaa, menjunjung persatuan, dilakukan secara arif dan bijaksana,
hingga mampu menciptakan rasa keadilan.Bangsa ini memerlukan kesadaran
kolektif akan nalar Pancasila. Untuk menjadikan hal tersebut, maka Pancasila
pertama kali harus dimengerti dan dipahami, dirasakan dan dihayati melalui
kejernihan batin sehingga menjadi sikap, dan tentau saja Pancasila itu harus
mewujud dalam seluruh sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.Memicu dan memantik sehingga menjadi sadar akan Pancasila bukan
persoalan mudah, tetapi harus tetap diikhtiarkan tanpa lelah. Pendidikan Pancasila
dari mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi harus tetap dipacu melalui
metode pembelajaran yang lebih variatif, contohcontoh yang aktual dan gagasangagasan yang segar. Bila saat ini, dunia perguruan tinggi disibukan oleh
kurikulum berbasis kompetensi, maka suatu saat mungkin digagas tentang
kurikulum berbasis Pancasila, atau keduanya diintegrasikan secara harmonis.
D. Ketidaksesuaian Implementasi Nilai Kemanusiaan Pada Pancasila dalam
Politik Indonesia
Nilai kemanusiaan adalah sebuah sikap universal yang harus dimiliki setiap umat
manusia di dunia yang dapat melindungi dan memperlakukan manusia sesuai
dengan hakikat manusia yang bersifat manusiawi. Kesadaran akan kehendak
tentang kemanusiaan adalah jiwa yang dirasakan bahwa manusia itu ingin selalu
berhubungan. Menurut Susanti (2013:28) “manusia saling membutuhkan, maka
manusia harus bermasyarakat”. Manusia adalah mahluk yang tertinggi dari
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka manusia memiliki indentitas tersendiri yang
disebut kemanusian (cita, rasa, dan karsa) dan kelebihan ini tidak dimiliki oleh
ciptaan Tuhan yang lainnya. Sesuai dengan hakikat dan martabat manusia, maka
diperlukan ketentuan dan peraturan agar tidak sewenang-wenang. Ketentuan ini
akan menimbulkan hak-hak dan kewajiban asasi manusia, baik sebagai individu
maupun warga negara. Nilai Pancasila yang terkandung dalam sila kedua menurut
Mughai (2007,15) adalah sebagai berikut :
(a) mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, (b) mengakui persamaan hak asasi setiap
manusia, tampa membeda-bedakan sesama, (c) mengembangkan sikap saling
mencintai sesama manusia, (d) mengembangkan sikap saling khawatir antar
sesama dan saling menjaga, (e) mengembangkan sikap tidak seenaknya antar
sesama, (f) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, (g) gemar melakukan
kegiatan kemanusian, (h) berani membela kebenaran dan keadilan, (i) bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, (j)
mengembangkan sikap hormat menghormati dan berkerja sama dengan bangsa
lain.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa implementasi nilai Pancasila sila
kedua yaitu masyarakat Indonesia memiliki kedudukan yang sama dan menghargai
sesama serta, mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai masyarakat yang berbangsa
Indonesia, maka harus mengembangkan sikap saling menghormati sesama.
Namun pada kenyataanya, implementasi nilai kemanusiaan pada sila kedua pancasila
masih memiliki banyak kekurangan. Hal tersebut tercermin dari masih banyaknya
kejahatan di bidang hak azasi manusia (HAM) dan suasana yang berbau SARA,
seperti kampanye dari kubu-kubu tertentu yang menggunakan isu-isu SARA.
Kasus pelanggaran HAM merupakan hal yang sangat erat dengan penyelewengan
sila kedua dari Pancasila. Kasus pelanggaran HAM berdasarkan sifatnya dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu kasus pelanggaran HAM berat seperti genosida,
pembunuhan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
dan perbudakan, sementara kasus pelanggaran HAM biasa antara lain berupa
pemukulan, penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang dalam
mengekspresikan pendapatnya, dan menghilangkan nyawa orang lain. Beberapa
contoh kasus-kasus besar pelanggaran HAM dan isu SARA, antara lain kasus
peristiwa G30S/PKI tahun 1965, tragedi 1998, bom Bali, kasus Salim Kancil, dan
kerusuhan di kota Tanjungbalai, serta masih banyak lagi kasus-kasus pelanggaran
HAM lainnya yang sampai saat ini masih marak terjadi.
E. Peristiwa G30S/PKI
Peristiwa G30S/PKI atau biasa disebut dengan Gerakan 30 September merupakan
salah satu peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi pada bulan September
sesudah beberapa tahun Indonesia merdeka. Peristiwa G30S PKI terjadi di malam
hari tepatnya pada tanggal 30 September tahun 1965.Dalam sebuah kudeta,
setidaknya ada 7 perwira tinggi militer yang terbunuh dalam peristiwa tersebut.
Partai Komunis saat itu sedang dalam kondisi yang amat kuat karena
mendapatkan sokongan dari Presiden Indonesia Pertama, Ir. H Soekarno. Tidak
heran jika usaha yang dilakukan oleh segelintir masyarakat demi menjatuhkan
Partai Komunis berakhir dengan kegagalan berkat bantuan Presiden kala itu.
Peristiwa G30S PKI bermula pada tanggal 1 Oktober. Dimulai dengan kasus
penculikan 7 jendral yang terdiri dari anggota staff tentara oleh sekelompok
pasukan yang bergerak dari Lapangan Udara menuju Jakarta daerah selatan. Tiga
dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masingmasing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan. Sementara itu
ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S.Parman dan Sutoyo ditangkap secara
hidup-hidup. Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama kelompok
pasukan tersebut berhasil kabur setelah berusaha melompati dinding batas
kedubes Irak. Meskipun begitu, Pierre Tendean beserta anak gadisnya, Ade Irma
S. Nasution pun tewas setelah ditangkap dan ditembak pada 6 Oktober oleh regu
sergap. Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak serta
membunuh seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu
menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. Tak sedikit mayat jenderal yang
dibunuh lalu dibuang di Lubang Buaya. Sekitar 2.000 pasukan TNI diterjunkan
untuk menduduki sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Lapangan
Merdeka, Monas. Walaupun mereka belum berhasil mengamankan bagian timur
dari area ini. Sebab saat itu merupakan daerah dari Markas KOSTRAD pimpinan
Soeharto. Jam 7 pagi, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pesan
yang berasal dari Untung Syamsuri, Komandan Cakrabiwa bahwa G30S PKI telah
berhasil diambil alih di beberapa lokasi stratergis Jakarta beserta anggota militer
lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan tersebut sebenarnya didukung oleh
CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari posisinya.
Tinta kegagalan nyaris saja tertulis dalam sejarah peristiwa G30S/PKI. Hampir
saja pak Harto dilewatkan begitu saja karena mereka masih menduga bahwa
beliau bukanlah seorang tokoh politik. Selang beberapa saat, salah seorang
tetangga memberi tahu pada Soeharto tentang terjadinya aksi penembakan pada
jam setengah 6 pagi beserta hilangnya sejumlah jenderal yang diduga sedang
dicuilik. Mendengar berita tersebut, Soeharto pun segera bergerak ke Markas
KOSTRAD dan menghubungi anggota angkatan laut dan polisi. Soeharto juga
berhasil membujuk dua batalion pasukan kudeta untuk segera menyerahkan diri.
Dimulai dari pasukan Brawijaya yang masuk ke dalam area markas KOSTRAD.
Kemudian disusul dengan pasukan Diponegoro yang kabur menuju Halim
Perdana Kusuma. Karena prosesnya yang berjalan kurang matang, akhirnya
kudeta yang dilancarkan oleh PKI tersebut berhasil digagalkan oleh Soeharto.
Sehingga kondisi ini menyebabkan para tentara yang berada di Lapangan
Merdeka mengalami kehausan akan impresi dalam melindungi Presiden yang
sedang berada di Istana.
F. Tragedi 1998
Kerusuhan mei 1998 merupakan peristiwa yang teramat menyakitkan bagi etnis
Tionghoa Indonesia yang terjadi pada 13-15 Mei 1998. Berbagai bentuk
penindasan ditujukan kepada mereka baik itu penjarahan, penghancuran toko dan
rumah, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan dan lainnya.
Kerusuhan mei 1998 terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Kerusuhan
ini di latar belakangi oleh keruntuhan ekonomi krisis finansial Asia 1997, adanya
kritik terhadap pemerintahan orde baru yang saat itu dipimpin oleh Presiden
Soeharto dan juga dipicu oleh tragedi Trisakti yang hingga sampai saat ini masih
dikenang yang mengakibatkan empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh
pada unjuk rasa 12 Mei 1998. Selain itu, kerusuhan ini juga menimbulkan tindak
penindasan terhadap etnis-Tionghoa. sentimen anti-Tionghoa yang sudah lama
berlangsung dimanfaatkan memicu kerusuhan yang disebabkan oleh kritis
ekonomi yang meresahkan. Beberapa jenderal yang tidak memiliki hubungan
dengan perekonomian, memprovokasi masyarakat dengan mengatakan bahwa
etnis-Tionghoa lah penyebab krisis moneter ini. Hal itu dikarenakan, orang
Tionghoa lah yang melarikan uang rakyat ke luar negeri, sengaja menimbun
sembako sehingga rakyat Indonesia sengsara dan kelaparan, dan sebagainya.
Krisis keuangan yang melanda hampir seluruh Asia Timur pada Juli 1997,
tentunya mengakibatkan kekacauan dan kepanikan yang dirasakan negara-negara
ASEAN. Indonesia adalah salah satu dari tiga negara yang terkena dampak krisis
yang paling parah. Terjadinya penurunan rupiah terhadap dolar mengakibatkan
berbagai perusahaan yang meminjam dolar harus membayar biaya yang lebih
besar dan juga para pemberi pinjaman menarik kredit secara besar-besaran
sehingga terjadi penyusutan kredit dan kebangkrutan. Inflasi rupiah yang
diperparah dengan banyaknya masyarakat yang menukarkan rupiah dengan dolar
AS, ditambah kepanikan masyarakat terkait tingginya kenaikan harga bahan
makanan, menimbulkan aksi protes terhadap pemerintahan orde baru. Kritikan
dan aksi unjuk rasa pun mulai bermunculan dan kian memanas. Berdasarkan
berbagai keterangan dan kronologis kerusuhan mei 1998 yang sudah saya baca di
berbagai sumber terkait, kerusuhan ini diawali di Medan, Sumatera Utara pada 2
mei 1998. Pada saat itu, para mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa yang berujung
anarkis. Kemudian, pada 4 mei 1998, sekelompok pemuda melakukan aksi
pembakaran di beberapa titik di kota Medan. Adanya sentimen anti-polisi juga
menimbulkan kebencian massa terhadap polisi sehingga berbagai infrastruktur
dan fasilitas aparat keamanan dirusak dan dihancurkan.
Setelah itu, keadaan semakin mencekam setelah aksi demo krisis moneter yang
dilakukan mahasiswa menelan 4 korban jiwa. Empat korban itu adalah mahasiswa
dari Universitas Trisakti yang ditembak mati oleh aparat keamanan. Peristiwa
tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti itu dikenal sebagai Tragedi
Trisakti. Tidak terima dengan peristiwa kematian empat mahasiswa tersebut,
massa pun semakin mengamuk.
Tidak hanya berhenti sampai aksi unjuk rasa dan bentrokan dengan aparat
keamanan, kerusuhan juga bergulir dengan menindas etnis Tionghoa terutama
wanita. Sentimen bangsa pribumi terhadap pendatang sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda. Etnis Tionghoa yang datang ke Indonesia dijadikan
pemungut pajak, pengambil insentif dari warga dan juga perantara perdagangan.
Hal ini tentu saja, menimbulkan stigmatisasi dan sentimen negatif bangsa
Indonesia terhadap etnis Tionghoa yang dianggap melakukan penindasan dan
pengambil alih kekuasaan di Indonesia serta berkembangnya isu anti-Tionghoa
yang dikenal licik. Ditambah lagi, etnis Tionghoa jika dilihat secara ekonomi
berada dalam posisi yang stabil dan strategis serta sukses sehingga menjadikannya
dislike minority (kaum minoritas yang tidak disukai) dan kelompok yang
disisihkan. Selain itu, rasa benci dan curiga mulai bergulir terkait etnis Tionghoa
diduga bagian dari rezim Soekarno yang komunis dan bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Penindasan yang dilakukan
kepada etnis-Tionghoa sungguh memilukan dimana toko-toko, dan rumah mereka
dijarah, dibakar, dan dihancurkan. Bukan hanya itu saja, nasib wanita Tionghoa
pun sangat menyayat hati. Mereka menjadi korban pemerkosaan, pelecehan,
penganiayaan dan pembunuhan. Para perusuh menargetkan wanita Tionghoa
sebagai sasaran utama dikarenakan wanita Tionghoa adalah target yang lemah dan
tidak bisa melawan.
G. Kasus Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib yang lebih dikenal sebagai munir. Ia adalah seorang
aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir banyak menangani berbagai kasus,
terutama kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Namun, kematian Munir masih
menjadi sebuah misteri hingga sekarang. Munir tewas dibunuh setelah hasil otopsi
menyebutkan bahwa ada racun arsenik di dalam tubuhnya. Munir dibunuh di
udara, ia tewas di pesawat terbang ketika bertolak ke Amsterdam, Belanda untuk
melanjutkan studi. Munir sempat diduga sakit sebelum mengembuskan napas
terakhirnya sekitar pukul 08.10 waktu setempat, dua jam sebelum mendarat di
Bandara Schiphol, Amsterdam. Munir itu sempat terlihat seperti orang sakit
setelah beberapa kali ke toilet, setelah pesawat lepas landas dari transitnya di
Bandara Changi, Singapura. Saat pesawat GA 974 mendarat, penumpang tak
dibolehkan turun, sesuai prosedur otoritas bandara saat ada penumpang meninggal
di dalam pesawat. Setelah menjalani pemeriksaan selama 20 menit, baru
penumpang dibolehkan turun. Jenazah Cak Munir pun diturunkan dan dalam
pengurusan otoritas bandara. Proses otopsi dilakukan untuk mencari tahu
penyebab tewasnya penerima berbagai penghargaan terkait HAM di Indonesia.
Meski demikian, hasil otopsi kemudian menyatakan bahwa Munir tewas akibat
diracun. Makamnya pun dibongkar, jenazahn\ya diotopsi. Tak temui titik terang
Hingga saat ini memang kasus kematian Munir belum menemui titik terang.
Pengadilan memang telah menjatuhkan vonis 14 tahun terhadap Pollycarpus
Budihari Priyanto yang disebut sebagai pelaku pembunuhan. Sudah 21 tahun
kematiannya dilingkupi misteri dan teori konspirasi yang belum bisa dibuktikan
hingga kini.
III. PENUTUP
III.I Kesimpulan
Implementasi dan penerapan nilai kemanusiaan pada sila kedua pancasila dalam
dunia politik Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Hal tersebut tercermin
dari masih banyaknya kejahatan di bidang hak azasi manusia (HAM) dan suasana
yang berbau SARA, seperti kampanye dari kubu-kubu tertentu yang
menggunakan isu-isu SARA.
Contoh kasus ketidaksesuaian implementasi Kemanusiaan yang adil dan beradab
ditunjukkan dengan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan yang dibuktikan dengan
kasus G30SPKI, peristiwa kerusuhan 1998, serta pembunuhan Munir
III.II Saran
Sebagai warga negara Indonesia kita harus menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi hak asasi manusia,
menghargai kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, agama, ras
keturunan, dan status sosial. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk implementasi
Pancasila sila kedua yaitu masyarakat Indonesia memiliki kedudukan yang sama
dan menghargai sesama serta, mengembangkan sikap saling mencintai sesama
manusia, saling meghormati, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Latif, Yudi. Wawasan Pancasila (Edisi Komprehensif). Jakarta, Indonesia: Mizan,
2020
Pour, Julius. 2011.Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang . PT
KompasMedia Nusantara. Jakarta.
Poesponegoro, MD dan Nugroho Notosusanto. 1993. Seajarah Nasional
Indonesia Jilid V. Jakarta : Balai Pustaka.
Smith, Rohna K.M. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII)
Yogyakarta
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida, (2014).Komunikasi Politik, Media, dan
Demokrasi. Jakarta: Kencana.
Syarbaini, Syahrial, (2011). Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Bogor:
Ghalia Indonesia
Zon, Fadli. 2009. Politik Huru Hara Mei 1998. Jakarta : Instute for Policy Studies
Download