PKS, PARTAI POLITIK YANG UNIK, JUGA MENARIK

advertisement
Islam, Ilmu dan Praksis Sosial
Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi
Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
(FISHUM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dimuat dalam harian Suara Mandiri berturut-turut tanggal 11 dan 12 Maret 2009.
Disini tidak dimasukkan semua isi tulisan dengan alasan tertentu.
Evolusi teori pengetahuan telah berlangsung dengan begitu cepat pasca revolusi
Perancis, revolusi industri di Inggris dan revolusi intelektual atau kemenangan
rasionalisme atau positivisme atas cara berpikir tradisional yang mengandalkan mitos
dan takhayul, khususnya ilmu-ilmu sosial. Ilmu yang dianggap sahih dan benar adalah
ilmu yang dapat dijangkau oleh panca indera manusia. Ilmu yang otentik adalah ilmu
yang didasarkan pada fakta-fakta obyektif dan empirik yang bisa diverifikasi, kalau
sesuatu itu dipandang tidak dapat dijangkau oleh panca indera manusia atau yang apositivis dianggap bukanlah ilmu pengetahuan yang sahih.
Perkembangan ilmu pengetahuan dengan beragam metodologi sebagai alat
untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial telah membawa pada suatu kesimpulan
umum bahwa ilmu pengetahuan memiliki horison yang luas. Berkaitan dengan
luasnya horison ini, beberapa ilmuwan mencoba membedakan antara nomothetic
sciences dari ideographic sciences. Yang disebut nomothetic sciences adalah ilmuilmu alam yang menyelidiki gejala-gejala pengalaman yang dapat diulangi terusmenerus sehingga dihasilkan hukum-hukum, sementara ideographic sciences adalah
ilmu-ilmu budaya yang meneliti peristiwa-peristiwa individual dan unik yang sekali
terjadi. Dari sini setidaknya terdapat dua bangunan ilmu yang kokoh yaitu ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial. Belum lagi muncul kerangka analisis yang bersifat
komprehensif sebagai anti-tesa terhadap perkembangan positivisme yang diklaim oleh
para pendukungnya sebagai puncak dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi lahir dari “rahim” filsafat positivisme yang
dikembankan oleh August Comte yang kemudian dikenal sebagai Bapak sosiologi
modern, kendati demikian – konstribusi Ibn Khaldun dalam studi sosiologi tidak dapat
diabaikan begitu saja, khususnya konsep-konesp kunci sosiologi seperti teori konflik,
solidaritas yang oleh Khaldun disebut ashobiyah maupun teorinya tentang sosiologi
politik. Positivisme dianggap sebagai puncak pembersihan pengetahuan dari
kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi
pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Positivisme
menganggap pengatahuan mengenai fakta obyektif sebagai pengetahuan yang murni
dan otentik, walaupun begitu, dalam positivisme masih mengalir darah ontologis.
Poatulat dasar kaum positivis meletakkan apa yang disebut pengetahuan ilmiah
yang sahih harus bersumber dari bekerjanya rasio dalam memahami dan menjelaskan
fakta-fakta empiris, artinya kaum positivis dengan tegas mengatakan bahwa
pengetahuan murni dapat diperoleh melalui rasio manusia, dan corak berpikir yang
mengatakan bahwa pengalaman empiris menjadi sumber dari pengetahuan yang sahih.
Dengan mengikuti alur atau corak berpikir kaum positivis dalam menemukan
suatu pengetahuan ilmiah yang bebas kepentingan sebenarnya mengandung makna
bahwa semua pengetahuan yang melampaui fakta obyektif atau melampaui fakta
inderawi bukanlah suatu pengetahuan yang murni, ini mengakhiri riwayat ontologi
dan metafisika. August Comte menganggap bahwa sosiologi merupakan puncak dari
kulminasi perkembangan berbagai disiplin ilmiah, puncak dari perkembangan
positivisme sendiri.
*****
Perkembangan ilmu pengetahuan dengan perangkat metodologi telah membuka
ruang bagi beragamnya perspektif dalam memandang kehidupan sosial, khususnya
perkembangan social science. Karena begitu beragamnya perspektif yang dapat
dipergunakan, maka ilmu pengetahuan memiliki kepentingan sendiri seperti disebut
oleh Jurgen Habermas dalam Human and Interest bahwa ilmu pengetahuan tidak
bersifat netral, tetapi memiliki kepentingan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, ilmu
pngetahuan dalam roh ontologisnya tetap memiliki kepentingan-kepentingan moral,
praktis dan pragmatis. Ilmu pengetahuan akan tetap bermain pada ranah ontologis,
epistemologi dan aksiologi, karena itu ilmu akan mengabdi untuk ilmu itu sendiri.
Dalam paradigma ilmu sosial kritis atau mereka yang menjadi penganut aliran
kritis memandang bahwa ilmu pengetahuan harus mampu merefleksikan diri agar
dapat membebaskan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah
kutub, entah transendental, entah empiris. Paradigma kritis yang diwakili oleh mazhab
Frankfurt School menggabungkan dua entitas yang dianggap berkontribusi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan yaitu transendensi dan yang empirik, yang positivis
dan apositivis.
Perkembangan pemikiran ini sebagai upaya untuk membersihkan pengetahuan
dari kecendrungan positivistik yang dianggap oleh kaum moralis sebagai sesuatu yang
a-historis dari proses kemunculan pengetahuan itu sendiri dan perkembangan
peradaban manusia. Tugas ilmu adalah menjelaskan persoalan-persoalan empirik
yang menjadi kenyataan hidup manusia sehari-hari yang terus mengalami
perkembangan dan perubahan, tetapi juga mengembang tugas untuk menjelaskan
fenomena-fenomena sosial yang sama – didalamnya mengandung nilai-nilai, normanorma dan hukum yang bersifat transendensi, dimana kekuatannya terletak pada yang
adikodrati. Argumen kuatnya adalah rasio manusia terbatas dalam kapasitas dan
kemampuannya untuk menangkap seluruh realitas eksistensi.
Dalam soal ini kita dapat mengambil contoh dari kasus kaum Ad dan kaum
Tsamud yang telah diberitakan oleh Allah melalui wahyunya, berita mengenai
kehidupan manusia yang membangkang terhadap perintah Tuhan-Nya, mereka
mendustakan adanya hari kiamat (Kadzabat tsamudu waadum bilqaari’ati), akibat
kedustaan itu, kaum Ad dan Tsamud ditimpa angin selama tujuh malam delapan hari
terus-menerus dan mereka semua mati bergelimpangan. Memahami peristiwa
kemanusiaan yang diberitakan agama tersebut, dapat kita kembangkan menjadi suatu
pengetahuan yang dapat dikonstruksi untuk memahami konteks yang sama pada masa
kini dan masa datang, peristiwa-peristiwa seperti itu akan terus-menerus berulang
hingga akhir zaman. Untuk itulah, Ilmu yang bersumber dari yang adikodrati itu dapat
dipergunakan untuk memahami fenomena-fenomena alam dan fenomena sosial yang
kita alami sehari-hari.
*****
Dalam tradisi Islam, berkembang cara berpikir untuk membangun kerangka
epistemologi Islam, bagaimana proses integrasi Islam dengan ilmu, mana yang lebih
penting antara Islamisasi ilmu dengan meng-Ilmu-kan Islam? Pada sebagian ilmuwan
Muslim ada yang lebih condong pada model Islamisasi ilmu seperti yang dilakukan
oleh Osman Bakar (Classification of Knowledge in Islam, 1992) dan ilmuwan lain
dengan gigih mengutamakan atau mengedepankan usaha meng-ilmu-kan Islam seperti
yang dilakukan oleh Kuntowijoyo (Islam sebagai Ilmu, 2004). Saya sendiri tidak
terlalu mempersoalkan apakah Islamisasi ilmu atau meng-ilmu-kan Islam yang lebih
penting, dua istilah itu dapat dipergunakan secara bergantian, apakah kita berangkat
dari konteks untuk memahami teks atau berangkat dari teks untuk memahami konteks,
keduanya sama penting dan strategisnya bagi dunia Islam.
Paradigma Islam berusaha menawarkan alternatif penjelasan tentang fenomena
sosial yang terjadi dengan pendekatan yang bersifat integratif, memadukan antara
yang empirik dan yang ghaib. Perkembangan pemikiran ini mengalami transformasi
yang sangat dominan pada abad pertengahan, lalu mengalami “kevakuman” dalam
dunia Islam setelah Barat bangkit dan menguasai peradaban dunia dengan berbagai
perangkat
teori
dan
metodologinya,
belakangan
sebagian
kalangan
Islam
menggelorakan “Islamisasi ilmu” atau “meng-ilmu-kan Islam” dalam rangka
memahami realitas sosial, tentu dengan bantuan teori dan metodologi Barat.
Mari kita coba memahami sumber pengetahuan yang begitu banyak yang
tersebar dalam sejumlah ayat dalam al-Qur’an, kita akan menemukan bahwa sistem
pengetahuan yang bersumber dalam Islam mencerminkan pengetahuan itu bersifat
positivis dan apositivis, untuk hal itu dapat dirujuk dalam Qur’an Surat al-Baqarah
ayat 2-5. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, Dan mereka yang
beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya,dan merekalah orang-orang
yang beruntung (lihat Syarifuddin Jurdi [ed.al], Sosiologi Profetik, 2009).
Dari ayat tersebut karakteristik orang yang siap mendapat petunjuk merupakan
simbol dari keilmuan yang bisa memberi arah transformasi sosial, yaitu bersifat:
pertama, apositivistik (Beriman kepada yang ghaib); kedua, transenden (Mendirikan
shalat); ketiga, mengusung Kolektivisme (Menafkahkan sebagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka); keempat, spiritualisme-Dialetik (Beriman kepada Kitab
[al-Qur'an] yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya [kehidupan] akhirat) (Ibid.).
Wallahu a’lam bi shawab
Download