UNIVERSITAS ESA UNGGUL
SELF-EFFICACY PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
TERHADAP SELF MANAGEMENT : LITERATURE REVIEW
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S1 keperawatan
NAMA : HASNI NURHASANAH
NIM : 20160303020
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2020
Universitas Esa Unggul
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik
yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Hasni Nurhasanah
NIM
: 20160303020
Tanda Tangan
:
Tanggal
: Agustus 2020
i
Universitas Esa Unggul
ii
Universitas Esa Unggul
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, katas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan proposal ini. Proposal ini dilakukan untuk
memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan pada
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, cukup
sulit bagi saya untuk menyelesaikan Proposal ini. Oleh sebab itu, saya
mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Bapak Dr. Arief Kusuma Among Praja, M.B.A selaku rektor Universitas Esa
Unggul
2.
Ibu Dr. Aprilita Rina Yanti Eff., M.Biomed, Apt selaku dekan Fakultas Ilmu
– Ilmu Kesehatan.
3.
Ibu Ety Nurhayati, S.Kp.,M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Mat selaku Ketua Prodi Jurusan
Keperawatan.
4.
Bapak Dr. Rian Adi Pamungkas., S.Kep., Ns., M.N.S., P.H.N selaku dosen
pembimbing skripsi.
5.
Ibu, Bapak, Teteh Risma, Uni Vina dan seluruh keluarga saya yang telah
memberikan dukungan moril dan material sehingga saya dapat menuntaskan
tugas akhir.
6.
Seluruh sahabat saya Istiqomah Sejati, Evi Debora Munthe, Barokatus
Salamiyah, Eka Septiani, Setyami Wanudya Dharmmika, Mala Nurwita,
Syahna Qurratu’ain, Ainiyatul Maghfiroh, Alya Labibah, Dita Rizkia Liandi,
Ulya Ardlillah, Kezia Clarita dan Meyssy Arsita yang selalu mensupport
sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
7.
Teman – teman keperawatan 2016 yang telah saling membantu dalam
kelancaran proses tugas akhir ini.
Jakarta, 8 Septembet 2020
iii
Universitas Esa Unggul
(Hasni Nurhasanah)
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Esa Unggul, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
NIM
Program Studi
Fakultas
Jenis Karya Ilmiah
: Hasni Nurhasanah
: 20160303020
: Ilmu Keperawatan
: Ilmu-Ilmu Kesehatan
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, menyetujui untuk
memberikan kepada Universitas Esa Unggul Hak Bebas Royalti Noneksklusif atas
karya ilmiah saya yang berjudul:
Self-Efficacy Pasien Diabetes Melitus Terhadap Self Management :
Literature Review
beserta perangkat yang ada (apabila diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini, Universitas Esa Unggul berhak menyimpan, mengalihmediakan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas
akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan
sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
Pada tanggal
Yang menyatakan
: Jakarta
: 8 September 2020
(Hasni Nurhasanah)
iv
Universitas Esa Unggul
ABSTRAK
Judul
:Self-Efficacy Pasien Diabetes Melitus Terhadap Self Management :
Literature Review
Nama
: Hasni Nurhasanah
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Latar belakang: Diabetes yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan
berbagai komplikasi bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pasien DM harus
menjalankan manajemen diri dengan baik agar resiko terjadinya komplikasi dapat
dikurangi. Untuk melakukan segala kegiatan manajemen diri diperlukannya sebuah
keyakinan penderita DM akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan
perilaku yang mendukung kesehatannya berdasarkan tujuan dan harapan yang
diinginkannya, yang disebut dengan efikasi diri (Self-Efficacy). Tujuan:
menganalisis dan mensintesis penelitian sebelumnya terkait self-efficacy pada
pasien diabetes melitus terhadap self management , dan metode peningkatan selfefficacy terhadap self management. Metode: Literature review dilakukan pada
beberapa artikel yang dipublikasikan di PubMed, Science Direct, dan Google
Scoolar, antara tahun 2012 - 2020. Pembahasannya berhubungan dengan selfefficacy pada manajemen diri pasien DM terdiri dari diet, aktifitas fisik, kontrol
glikemik, pengobatan, serta perawatan kaki; dan peningkatan self-efficacy dalam
manajemen diri DM. Hasil: Manajemen diri suatu hal yang mutlak yang harus
dilakukan oleh pasien DM yang terdiri dari kontrol gula darah, pengaturan diet,
pengobatan, aktivitas fisik dan perawatan kaki. Salah satu faktor yang mendukung
efektifitas pelaksanaan self management tersebut adalah self-efficacy. Hal ini juga
akan mendukung tercapainya hasil yang baik dalam pelaksanaan perawatan diri
pada berbagai domain. Meningkatkan self-efficacy merupakan tindakan mandiri
yang dapat dilakukan oleh perawat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
memberikan edukasi mengenai perawatan diri pasien DM yang sebelumnya telah
dikaji tingkat self-efficacy nya. Hal ini merupakan intervensi yang dapat dilakukan
dan diintegrasikan pada layanan kesehatan.
Kata Kunci : Self Efficacy, Diabetes Melitus, Self Management.
v
Universitas Esa Unggul
ABSTRACT
Tittle
Name
Study Program
: Self-Efficacy of Diabetes Mellitus Patients Against Self
Management: Literature Review
:Hasni Nurhasanah
:Nursing Department
Background: Diabetes that is not managed properly can cause various
complications and even lead to death. DM patients must carry out self-management
well so that the risk of complications can be reduced. To carry out all selfmanagement activities, it is necessary to have a belief in DM sufferers in their
ability to regulate and carry out behaviors that support their health based on the
goals and expectations they want, which is called self-efficacy. Purpose: to analyze
and synthesize previous research related to self-efficacy in diabetes mellitus
patients on self-management, and methods of increasing self-efficacy for selfmanagement. Methods: Literature reviews were conducted on several articles
published in PubMed, Science Direct, and Google Scoolar, between 2012 - 2020.
The discussion related to self-efficacy in DM patient self-management consists of
diet, physical activity, glycemic control, medication, and foot care; and increased
self-efficacy in DM self-management. Results: Self-management is an absolute
thing that must be done by DM patients which consists of blood sugar control, diet
management, medication, physical activity and foot care. One of the factors that
support the effectiveness of the implementation of self-management is self-efficacy.
This will also support the achievement of good results in the implementation of selfcare in various domains. Increasing self-efficacy is an independent action that can
be done by nurses. One way that can be done is to provide education about selfcare for DM patients who have previously assessed their level of self-efficacy. This
is an intervention that can be carried out and integrated into health services.
Keywords: Self Efficacy, Diabetes Mellitus, Self Management.
vi
Universitas Esa Unggul
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN .............................. Error! Bookmark not defined.
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ........................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ....................................................................................................... 3
1.1.1
Bagi Institusi ..................................................................................... 3
1.1.2
Bagi Pelayanan Kesehatan ................................................................ 3
1.4.3
Bagi Peneliti Lain .............................................................................. 3
BAB II .................................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 .............................................................................. 4
2.1.1
Pengertian .......................................................................................... 4
2.1.2
Etiologi .............................................................................................. 6
2.1.3
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Diabetes ............................. 7
2.1.4
Patofisiologi ...................................................................................... 8
2.1.5
Diagnosis ......................................................................................... 10
2.1.6
Komplikasi ...................................................................................... 11
2.1.7
Penatalaksanaan .............................................................................. 12
2.2 Self-efficacy .............................................................................................. 12
vii
Universitas Esa Unggul
2.2.1
Pengertian ........................................................................................ 12
2.2.2
Sumber Self-efficacy....................................................................... 13
2.2.3
Efficacy-Activated Process ............................................................. 14
2.2.4
Self-efficacy Pada Pasien Diabetes Melitus..................................... 15
2.3 Self Management ...................................................................................... 16
BAB III ................................................................................................................. 20
METODE ............................................................................................................. 20
3.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 20
3.2 Sumber Data .............................................................................................. 20
3.3 Kata Kunci dan Strategi Pencarian ........................................................... 20
3.4 Kriteria Seleksi Penelitian ......................................................................... 21
3.4.1
Kriteria Inklusi ................................................................................ 21
3.4.2
Kriteria Eksklusi.............................................................................. 21
3.5 Sintesis Hasil Penelitian ............................................................................ 21
BAB IV ................................................................................................................. 22
HASIL .................................................................................................................. 22
4.1 Desain Penelitian ....................................................................................... 22
4.2 Instrumen .................................................................................................. 22
4.3 Durasi Intervensi ....................................................................................... 23
4.4 Hasil Penelitian ......................................................................................... 23
4.5 Data Ekstraksi ........................................................................................... 31
BAB V................................................................................................................... 39
PEMBAHASAN .................................................................................................. 39
5.1 Self Efficacy Pada Manajemen Diri Pasien Diabetes Melitus .................. 39
5.2 Intervensi Peningkatan Self Efficacy dalam Manajemen Diri Pasien
Diabetes Mellitus ...................................................................................... 44
BAB VI ................................................................................................................. 46
PENUTUP ............................................................................................................ 46
6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 46
6.2 Saran .......................................................................................................... 46
6.2.1 Bagi Institusi ............................................................................................. 46
6.2.2 Bagi Pelayanan Kesehatan ........................................................................ 46
viii
Universitas Esa Unggul
6.2.3 Bagi Peneliti Lain ...................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
ix
Universitas Esa Unggul
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Strategi Pencarian ................................................................................. 20
Tabel 3.2 PICO ..................................................................................................... 20
Tabel 4.1 Durasi Intervensi ................................................................................... 23
Tabel 4.2 Data Ekstraksi ....................................................................................... 31
x
Universitas Esa Unggul
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut (World Health Organization, 2016), pada tahun 2012 glukosa
darah yang lebih tinggi dari batas maksimum mengakibatkan 2,2 juta kematian.
Pada 2014, 8,5% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas menderita diabetes.
Pada 2016, diabetes adalah penyebab langsung 1,6 juta kematian. Sedangkan
menurut (IDF, 2019) diperkirakan 463 juta orang menderita diabetes dan
jumlah ini diproyeksikan mencapai 578 juta pada tahun 2030 dan 700 juta pada
tahun 2045. Dua pertiga dari pengidap diabetes tinggal di daerah perkotaan dan
tiga dari empat di antaranya berusia kerja. Lebih dari empat juta orang berusia
20-79 tahun diperkirakan meninggal penyebab terkait diabetes pada tahun 2019.
Menurut (World Health Organization, 2016) 422 juta orang dewasa berusia
diatas 18 tahun hidup dengan diabetes melitus pada tahun 2014 dan sebagian
besar diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan pasifik barat. Menurut
(World Health Organization, 2016) menunjukan bahwa diabetes merupakan
salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia yaitu berada di nomor 5
dengan presentase sebesar 6% dari keseluruhan total kematian dan pada semua
umur. Menurut IDF, Indonesia termasuk 10 negara teratas untuk jumlah orang
dewasa (20 – 79 tahun) dengan diabetes pada tahun 2019 dengan jumlah 10,7
juta orang. Menurut Hasil (Riset Kesehatan Dasar, 2018) terjadi peningkatan
prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia pada penduduk umur ≥ 15
tahun yaitu menjadi 2%. Berdasarkan kategori usia, penderita DM tertinggi
berada pada rentang umur 55 – 64 tahun dan 65 – 74 tahun. Berdasarkan jenis
kelamin, perempuan lebih banyak yang menderita DM dibandingkan laki – laki
dengan jumlah presentase perempuan 1,8% dan laki – laki 1,2%. Berdasarkan
daerah domisili penderita DM lebih banyak berada di perkotaan dengan
presentase 1.,9%.
Diabetes yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai
komplikasi, yang secara umum dibagi dua yaitu komplikasi mikrovaskuler dan
komplikasi makrovaskuler (American Diabetes Association (ADA), 2014;
Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010), bahkan dapat mengakibatkan
kematian. Oleh karena itu, pasien yang didiagnosa DM harus menjalankan
manajemen diri dengan baik agar resiko terjadinya komplikasi dapat dikurangi.
Penderita DM tipe 2 harus mempunyai manajemen diri yang baik agar dapat
melakukan aktivitas untuk menjaga kondisi kesehatan, mengelola gejala atau
tanda dari penyakit yang diderita, mengelola dampak dari penyakit yang
diderita kepada fungsi emosi dan hubungan interpersonal serta taat mengikuti
1
Universitas Esa Unggul
pengobatan (Kumala et al., 2016). Self management merupakan bagian integral
dari pengendalian diabetes. Self management dapat menggambarkan perilaku
individu yang dilakukan secara sadar, baik unversal, dan terbatas pada diri
sendiri. Self management diabetes adalah tindakan yang dilakukan seseorang
untuk mengontrol diabetes meliputi tindakan pengobatan dan pencegahan
komplikasi (Mildah Hidayah, 2019). Self-management merupakan
keterampilan dan strategi yang dapat dilakukan oleh individu dalam
mengarahkan secara efektif pencapaian tujuan aktivitas yang mereka lakukan.
Untuk melakukan segala kegiatan manajemen diri diperlukannya
sebuah keyakinan penderita DM tipe 2 akan kemampuannya untuk mengatur
dan melakukan perilaku yang mendukung kesehatannya berdasarkan tujuan dan
harapan yang diinginkannya, yang disebut dengan efikasi diri atau SelfEfficacy. Self-Efficacy mempengaruhi bagaimana individu berfikir, merasa,
memotivasi diri sendiri dan bertindak (Dede, 2013). Penelitian Wu, et al.
menunjukkan 78% pasien DM memiliki self-efficacy yang rendah. Lebih lanjut,
penelitian Astuti menyebutkan bahwa self-efficacy yang rendah berkorelasi
dengan buruknya perawatan diri pasien DM dalam mematuhi diet, olahraga,
kontrol gula darah, dan pengambilan keputusan. Sebaliknya, diabetesi yang
memiliki self-efficacy yang tinggi berkorelasi positif dan signifikan dalam
perawatan dirinya dengan baik. Perawatan yang buruk berkorelasi dengan
ketidakmampuan pasien dalam merawat dirinya secara mandiri sehingga
perawatan menjadi tidak efektif atau bahkan cenderung mengalami kegagalan.
Berdasarkan pemikiran diatas maka peneliti ingin membahas mengenai
self-efficacy dalam manajemen diri pasien DM perlu dilakukan, mengingat
bahwa meningkatkan self-efficacy merupakan salah satu tindakan mandiri
keperawatan (Bulecheck, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana self-efficacy pasien diabetes melitus terhadap self
managament.
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mensintesis penelitian
sebelumnya terkait self-efficacy pada pasien diabetes melitus terhadap self
management , dan metode peningkatan self-efficacy terhadap self management.
2
Universitas Esa Unggul
1.4 Manfaat
1.1.1 Bagi Institusi
Sebagai bahan masukan bagi program studi dalam mengembangkan
kurikulum terkait perawatan diabetes melitus tipe 2.
1.1.2 Bagi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan dapat menjadi masukan untuk perencanaan dan
pengembangan pelayanan kesehatan terhadap pasien diabetes melitus
tipe 2.
1.4.3 Bagi Peneliti Lain
Menambahkan referensi atau pengetahuan dan wawasan tentang selfefficacy pada pasien DM tipe 2 terhadap self management.
3
Universitas Esa Unggul
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1 Pengertian
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti
“mengalirkan atau mengalihkan”. Melitus berasal dari bahasa latin yang
memiliki makna “manis atau madu”. Penyakit diabetes melitus memiliki
arti yaitu individu yang mengalirkan volume urine yang mengandung
kadar glukosa yang tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit
hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau
penurunan relatf insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009)
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolik yang
terjadi akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak
dapat menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah
yang dikenal dengan istilah hiperglikemi (World Health Organization,
2016).
Diabetes mellitus adalah golongan penyakit kronis yang ditandai
dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya
gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak
mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Keadaan
tersebut dapat menyebabkan disfungsi aliran saliva. Berkurangnya saliva
pada penderita diabetes dipengaruhi faktor angiopati dan neuropati
diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena poliuria yang berat
(Tamansari et al., 2018).
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan
defek sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Wijaya, 2015).
4
Universitas Esa Unggul
Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di
tandai oleh peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi
insulin yang progresif di latar belakangi oleh resistensi insulin (Katuuk
& Kallo, 2019).
Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit multifaktorial dengan
komponen genetik dan lingkungan yang sama kuat dalam proses
timbulnya penyakit tersebut. Pengaruh faktor genetik terhadap penyakit
ini dapat terlihat jelas dengan tingginya penderita diabetes yang berasal
dari orang tua yang memiliki riwayat diabetes melitus sebelumnya.
Diabetes melitus tipe 2 sering juga di sebut diabetes life style karena
selain disebabkan faktor keturunan, juga dapat disebabkan faktor
lingkungan meliputi usia, obesitas, resistensi insulin, makanan, aktifitas
fisik, dan gaya hidup penderita yang tidak sehat juga bereperan dalam
terjadinya diabetes ini (Betteng, Pangemanan, 2014).
Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit kronis yang
menyebabkan mayoritas pasien yang membutuhkan pengobatan insulin
karena penurunan progresif fungsi sel β pancreas. Australia Diabetes
Society
(ADS)
mengungkapkan
dan
International
Diabetes
Federation
(IDF),
bahwa insulin dapat digunakan dengan baik yaitu
insulin long-acting (misalnya, insulin glargine, detemir insulin, degludec
insulin) diberikan sekali sehari (OD), atau premix insulin diberikan OD
atau dua kali sehari, tetapi ketika tidak melakukan perubahan gaya hidup
dan kurangnya pengobatan dengan glikemik, obat antidiabetes oral
(OADs) (biasanya dalam terapi kombinasi) tidak lagi cukup untuk
membantu pasien mencapai target glikemik yang direkomendasikan
(Wibisono, 2017).
Awal mula terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah terjadinya
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin yang dimana keduanya
saling berkaitan. Pada DMT2, awalnya sekresi insulin meningkat sebagai
respon terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan kadar glukosa
darah tetap normal. Gangguan sekresi insulin pada fase awal bersifat
5
Universitas Esa Unggul
ringan dan selektif melibatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa
(Saraswati, 2017).
2.1.2
Etiologi
Penyebab terjadinya DM tipe 2 yaitu karena terjadi penurunan
fungsi sel beta. Penurunan fungsi sel beta tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut :
1. Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1β dan NF-Kb dengan akibat
peningkatan apoptosis sel beta.
2. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa
dalam proses lipolisis akan mengalami metabolisme non oksidatif
menjadi ceramide yang toksik terhadap sel beta hingga terjadi
apoptosis.
3. Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat hingga kadar
glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin sehingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti
dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitaran
sel beta hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta
itu sendiri hingga akhirnya jumlah sel beta dalam pulau lagerhans
menjadi berkurang. Sel beta akan berkurang 50 – 60 % pada DM tipe
2.
4. Resistensi Insulin
Faktor resistensi insulin ini sebenarna sudah mencakup dari ke tiga
faktor diatas karena baik glukotoksisitas, lipotoksisitas dan
penumpukan amiloid semuanya disebabkan oleh resistensi insulin.
Penyebab terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya
6
Universitas Esa Unggul
tidak begitu jelas, tetapi faktor – faktor dibawah ini banyak berperan,
yaitu :

Obesitas terutama yang bersifat sentral

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Kurang gerak badan

Faktor keturunan
5. Efek Inkretin
Inkertin mempunyai efek langsung pada sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta (Suyono, 2009).
2.1.3
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Diabetes
Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes tipe 2
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan riwayat keluarga dan garis
keturunan dari tipe 1, dan studi tentang kembar menunjukkan bahwa
genetika memainkan peran yang sangat kuat dalam pengembangan
diabetes tipe 2. Namun itu juga tergantung pada faktor lingkungan. Gaya
hidup juga mempengaruhi perkembangan diabetes tipe 2. Obesitas
cenderung terjadi dalam keluarga, dan keluarga cenderung memiliki
kebiasaan makan dan olahraga yang serupa. Jika Anda memiliki riwayat
keluarga dengan diabetes tipe 2, mungkin sulit untuk mengetahui apakah
diabetes anda disebabkan oleh faktor gaya hidup atau kerentanan genetik.
Kemungkinan besar itu karena keduanya. Namun, dengan berolahraga
dan menunurunkan berat badan memungkin untuk mencegah terjadinya
diabetes tipe 2.
Menurut penelitian (Wicaksono, 2011) faktor yang berhubungan
terjadinya DM tipe 2 yaitu usia ≥ 45 tahun, aktivitas olahraga dan riwayat
keluarga. Sedangkan menurut penelitian (Imelda, 2019) tentang faktor –
faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes melitus mendapatkan
hasil yaitu faktor kurangnya aktivitas, adanya riwayat keturunan dan pola
makan yang tidak sehat lah yang paling mempengaruhi.
7
Universitas Esa Unggul
2.1.4
Patofisiologi
Pada diabetes melitus tipe 2 ada dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Dalam keadaan normal insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukan sel, sehingga terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin yang
terjadi pada diabetes melitus tipe 2 disertai dengan menurunnya reaksi
intrasel, sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Faktor – faktor yang mempengaruhi
proses terjadinya resistensi insulin yaitu seperti faktor genetik, usia
(resistensi insulin cenderung meningkat pada usia 65 tahun, obesitas, dan
riwayat keluarga). Dalam mengatasi resistensi insulin dan mencegah
terbentuknya glukosa dalam darah, jumlah insulin yang disekresikan
harus mengalami peningkatan jumlah. Penderita yang mengalami
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi karena sekresi insulin
yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Tetapi jika sel – sel beta tidak dpat
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadi diabetes melitus tipe 2. Gangguan sekresi
insulin memang merupakan ciri khas DM tipe 2, tetapi masih terdapat
insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan produksi badan keton yang menyertainya. Oleh sebab itu
ketoasidosis diabetes jarang terjadi pada DM tipe 2. Jika DM tipe 2 tidak
terkontrol dapat menimbulkan masalah akut yang lainnya makan
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (HHNK).
Obesitas merupakan faktor utama penyebab terjadinya DM tipe 2, pada
kondisi obesitas atau kegemukan respon sel beta pankreas pada
peningkatan gula darah sering mengalami penurunan. Reseptor insulin
pada target sel diseluruh tubuh termasuk otak juga berkurang jumlah dan
keaktifannya (kurang sensitif) maka keberadaan insulin didalam darah
kurang atau tidak dapat dimanfaatkan (Ernawati, 2013)
8
Universitas Esa Unggul
Menurut (PERKENI, 2015) patogenesis Diabetes Melitus tipe-2
secara garis besar disebabkan oleh delapan hal (omnious octet), yaitu
sebagai berikut:
1. Kegagalan Sel Beta Pankreas
Pada saat diagnosis DM tipe – 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agnosi, dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver
Penderita DM tipe – 2 akan mengalami resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam
keadaan basal oleh liver (HGP = Hepatic Glucose Production) terjadi
peningkatan. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses gluconeogenesis.
3. Otot
Penderita DM tipe – 2 didapatkan terjadi gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintetis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja adalah metformin dan tiazolidindion.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resistensi kepada efek antiliposis dari insulin,
menyebabkan terjadinya peningkatan proses lipolysis dan kadar asam
lemak bebas (FFA = Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis dan mencetuskan
resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga dapat mengganggu
sekresi insulin. Gangguan yang di sebabkan FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity.
5. Usus
Glukosa yang ditelan dapat menimbulkam respon insulin yang jauh
lebih besar dibandingkan kalau diberikan intravena. Efek yang
dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh dua hormon yaitu
GLP – 1 (Glucagon Like Polypeptide – 1) dan GIP (Glucose9
Universitas Esa Unggul
dependent Insulinotrophic Polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe – 2 didapatkan
defisiensi GLP - 2 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut
incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP - 4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP – 4 adalah kelompok DPP – 4 inhibitor. Saluran
pencernaan juga mempunyai peran dalam proses penyerapan
karbohidrat melalui kerja enzim alfa – glukosidase yang memcah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan mengakibatkan terjadi peningkatan glukosa darah setelah makan.
6. Sel Alpha Pancreas
Sel – α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Terjadinya peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal.
7. Ginjal
Ginjal adlah organ yang berperan dalam pathogenesis DM tipe 2.
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90% dari glukosa
terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui prean SGLT – 1 padaa
tubulus desenden dan asenden sehingga tidak ada glukosa dalam urin.
8. Otak
Insulin adalah penekan nafsu makan yang kuat. Pada seseorang yang
mengalami obesitas baik yang DM ataupun tidak, didaptkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
2.1.5
Diagnosis
Dalam
menegakan
diagnosis
diabetes
melitus
diperlukan
pemeriksaan kadar glukosa dalam darah pada pasien yang mengalami
keluhan klasik diabetes melitus yaitu poliuria, polidipsiam polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau
10
Universitas Esa Unggul
pasien dengan keluhan lainnya seperti badan lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada
wanita. Dalam menegakan diagnosis diabetes melitus terdapat kriteria
hasil yaitu pemerikasaan glukosa darah puasa dengan hasil ≥ 126 mg/dl
(puasa adalah kondisi dimana tidak ada asupan kalori minimal 8 jam),
pemeriksaan glukosa darah dengan hasil ≥ 200 mg/dl 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram,
pemeriksaan glukosa darah sewaktu dengan hasil ≥ 200 mg/dl dengan
keluhan klasik dan/atau pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan
menggunakan
metode
yang
terstandarisasi
oleh
National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) (PERKENI, 2015)
2.1.6
Komplikasi
Ketika diabetes melitus tidak di kelola dengan baik maka akan
terjadi komplikasi yang akan mengancam kesehatan dan membahayakan
kehidupan. Kadar glukosa darah yang tinggi mempunyai dampak yang
mengancam jiwa jika memicu kondisi seperti Diabetic Ketoacidosis
(DKA) pada DM tipe 1 dan tipe 2 serta koma hiperosmolar yang terjadi
pada DM tipe 2. Seiring waktu diabetes melitus dapat merusak jantung,
pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf serta dapat meningkatkan resiko
penyakit jantung dan stroke. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan
berkurangnya aliran darah yang dikombinasikan dengan kerusakan saraf
(neuropati) dikaki sehingga kemungkinan akan terjadi ulkus di kaki,
infeksi dan pada akhirnya membutuhkan amputasi. Komplikasi lainnya
juga bisa terjadi kebutaan yang disebabkan oleh retinopati diabetik yang
mengakibatkan kerusakan jangka panjang ada pembuluh darah kecil di
retina (World Health Organization, 2016).
Menurut American Diabetes Association (ADA) diabates melitus
dapat meningkatkan banyak resiko masalah kesehatan yang serius.
Resiko kesehatan atau komplikasi yang dapat terjadi akibat dari penyakit
diabetes melitus meliputi komplikasi penyakit kulit, komplikasi penyakit
mata, neuropathy yang dapat menyebabkan mati rasa dikaki sehingga
11
Universitas Esa Unggul
terjadi komplikasi pada kaki, ketoasidosis & keton, penyakit ginjal,
tekanan darah tinggi sampai dengan stroke.
2.1.7
Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada pasien diabetes melitus tipe 2 secara tepat adalah
dengan mencegah atau memperlambat munculnya komplikasi baik
dengan menerapkan perilaku self management dalam kehidupan sehari –
hari meliputi diet sehat, aktivitas fisik, motivasi yang tinggi untuk tetap
pada kondisi sehat. Kemampuan tubuh pasien diabetes untuk bereaksi
dengan insulin dapat menurun, keadaan ini dapat menimbulkan
komplikasi akut (seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar
nonketotik) maupun kronik (seperti
komplikasi
makrovaskuler,
mikrovaskuler, dan neuropati). Selain dari perilaku yang mampu
mencegah penyakit tersebut seperti pengaturan pola makan yang sehat,
aktivitas fisik, minum obat yang teratur, pemantauan glukosa darah dan
perawatan diri sendiri dengan kemampuan dan keyakinan yang tinggi
pada diri sendiri atau yang disebut dengan efikasi diri (Katuuk & Kallo,
2019).
2.2 Self-efficacy
2.2.1 Pengertian
Self-efficacy adalah keyakinan tentang kemampuan pribadi untuk
melakukan tugas dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Panadero
et al., 2017). Self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan
seseorang terhadap kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan yang
berpengaruh terhadap dirinya (Yaqin et al., 2017). Self-efficacy
merupakan keyakinan atau kepercayaan individu mengenai kemampuan
dirinya untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu
tujuan, menghasilkan sesuatu dan mengimplementasi tindakan untuk
menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1997).
12
Universitas Esa Unggul
Self-efficacy adalah kepercayaan seseorang atas kemampuannya dalam
menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan
(Santrock, 2007).
2.2.2
Sumber Self-efficacy
Terdapat 4 sumber yang dapat mempengaruhi self-efficacy menurut
(Fiedler, 2018), yaitu sebagai berikut :
1. Mastery Experience (penguasaan pengalaman)
Cara yang paling efektif dalam menciptakan rasa keyakinan yang
kuat yaitu dengan penguasaan pengalaman atau pengalaman pribadi.
Seseorang yang mempunyai pengalaman tentang suatu hal akan lebih
mempunyai
keyakinan
diri
untuk
melakukan
sesuatu
dan
kemungkinan memiliki peluang keberhasilan dalam tugasnya. Tetapi
seseorang yang kurang mempunyai pengalaman kemungkinan akan
mengalami kegagalan karena tidak adanya keyakinan di dalam
dirinya.
2. Role Modelling (panutan)
Dalam mengembangkan kekuatan self efficacy salah satunya
didapatkan dari pengalaman orang melalui contoh sosial. Seseorang
akan mencari panutan atau role model yang sama dengan dirinya
karena keberhasilan orang lain dalam mencapai tujuan yang memiliki
kondisi yang sama dapat menjadi teladan. Melihat orang lain berhasil
dengan upayanya yang berkelanjutan akan timbur rasa keyakinan
dalam diri.
3. Verbal Persuation (persuasi verbal)
Ketika seseorang ada yang memberikan dukungan secara verbal
untuk melakukan tugas kepada orang lain, maka orang yang
mendapat dukungan tersebut akan lebih percaya dirinya mempunyai
kemampuan untuk menyelesai suatu tugasnya.
4. Physiological Arousal (semangat fisiologis)
Physiological arousal terbagi menjadi dua, yaitu physical arousal
atau gairah fisik dan emotional arousal atau gairah emosional.
Kekuatan dan stamina seseorang menentukan kemampuannya dalam
13
Universitas Esa Unggul
menggapai tujuan, contoh orang yang mengeluh lelah cenderung
malas dan tidak cukup energi untuk melakukan aktifitas. Mood,
cemas, takut stress dan depresi menjadi bagian yang membuat
seseorang kehilangan keyakinan yang tinggi dan tidak memiliki
kemampuan.
2.2.3
Efficacy-Activated Process
1. Proses Kognitif (Cognitive Processes)
Menurut beberapa ahli psikologis pengaruh dari self-efficacy pada
proses kognitif bisa dengan berbagai cara. Banyak dari perilaku
manusia di regulasi oleh pemikiran sebelumnya untuk mewujudkan
tujuan. Tujuan seseorang dipengaruhi dengan penilaian diri terhadap
kemampuannya. Semakin kuat self efficacy seseorang, semakin
tinggi pula tujuan seseorang untuk dirinya dan seseorang itu akan
lebih tahan dengan cobaan serta hambatan dalam proses mencapai
tujuannya.
2. Proses Motivasi (Motivational Processes)
Motivasi seseorang berasal dari proses berfikir kognitif. Seseorang
berusaha memotivasi dirinya dengan cara menetapkan keyakinan,
merencakan dan merealisasikan tindakan yang akan dilakukannya.
Semakin kuat self efficacy seseorang maka semakin tinggi
motivasinya dalam mencapai sebuah tujuan yang diinginkan. Tetapi
seseorang yang memiliki self efficacy yang rendah mereka akan
menilai kegagalan yang dialaminya karena kurangnya kemampuan
seseorang itu dalam mengatasi sebuah masalah.
3. Proses Afektif (Affective Processes)
Keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam mengatasi
masalah akan mempengaruhi tingkat stres dan depresi yang
dialaminya dalam situasi yang mengancam atau sulit. Seseorang yang
memiliki kepercayaan dengan dirinya bahwa mereka dapat
mengontrol diri atas situasi yang mengancam mereka tidak akan
muncul pola pikir yang mengganggu. Tetapi mereka yang memiliki
kepercayaan bahwa mereka tidak dapat mengelola ancaman mereka
14
Universitas Esa Unggul
akan mengalami kecemasan tinggi. Afektif mencakup semua
perasaan atau tanggapan, positif atau negatif yang terkait oleh emosi,
perilaku pengetahuan dan keyakinan. Afektif berhubungan dengan
kemampuan seseorang dalam mengatasi emosi di dalam dirinya.
4. Proses Seleksi (Selection Processes)
seseorang merupakan bagian dari lingkungan. Oleh sebab itu
keyakinan seseorang akan kemampuannya juga ditentukan dan
dipengaruhi dengan kegiatan dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi seseorang mengalami
perubahan perilaku serta tujuan hidupnya. Dengan keampuan,
ketertarikan dan jaringan sosial yang dimiliki seeseorang membuat
mereka
akan
memilih
kegiatan
dan
tujuannya.
Seseorang
kemungkinan akan menolak atau menghindari aktivitas yang
melebihi kemampuannya, semua dikarenakan pengaruh sosial yang
ada dilingkungannya yang terus mengalami perkembangan (Fiedler,
2018).
2.2.4
Self-efficacy Pada Pasien Diabetes Melitus
Self efficacy memiliki pengaruh kepada perubahan perilaku dan
bertindak dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang mengalami
diabetes melitus memiliki rutinitas yang harus dilakukan yaitu
melakukan terapi sesuai dengan pedoman penatalaksanaan penyakit
diabetes melitus dan juga mencari dukungan sosial emosional dari orang
lain, berusaha untuk belajar dari pengalaman stres dan berusaha
menerapkan perilaku hidup sehat, dengan mengelola tuntutan
pengobatan lewat perilaku, kognitif dan emosi untuk mengurangi
terjadinya sebuah masalah yang menyebabkan stres, oleh sebab itu
seseorang yang mengalami diabetes melitus perlu mempunyai self
efficacy yang baik. Seseorang yang megalami diabetes melitus jika
mempunyai self efficacy yang rendah akan mempunyai masalah dalam
mengatasi berbagai macam tuntutan (Sekeon, 2019).
15
Universitas Esa Unggul
Self efficacy penting pada pasien diabetes melitus supaya mempunyai
keyakinan yang kuat kalau penyakit yang dideritanya dapat dirawat tanpa
timbul komplikasi. Pengelolaan diabetes melitus secara mandiri dapat
diperoleh dengan efektif jika pasien mempunyai pengetahuan,
keterampilan dan self efficacy dalam melakukan perilaku pengelolaan
diabetes melitus. Menurut teori Health Belief Model (HBM) kalau
seseorang hanya mempunyai pengetahuan, sikap dan keterampilan tanpa
mempunyai self efficacy yang baik pada dirinya maka proses pengobatan
dan perawatan tidak akan berjalan dengan efektif dan akan memiliki
kemungkinan tidak patuh pada regimen perawatan (Yaqin et al., 2017).
Dari hasil penelitian (Ngurah & Sukmayanti, 2014) dari 57
responden didapatkan efikasi diri baik pada pasien DM tipe 2 ada pada
rentang usia 56 – 65 tahun sebanyak 17 responden (29,82%), pada jenis
kelamin perempuan sebanyak 22 responden (38,60%), pada tingkat
pendidikan SMA sebanyak 19 responden (33,33%), dengan pekerjaan
swasta sebanyak 14 responden (24,56%), dan lama menderita DM tipe 2
≥ 5 tahun sebanyak 18 responden (31,58%). Efikasi diri pada pasien DM
tipe 2 pada 57 responden didapatkan bahwa sebagian besar efikasi diri
pada pasien DM tipe 2 baik sebanyak 35 responden (61,40%). Dan hasil
penelitian (Nurhayani, 2017) gambaran efikasi diri pada pasien DM tipe
2 yaitu 16 orang mempunyai efikasi diri kura baik dan 16 orang lainnya
mempunyai efikasi diri yang baik.
2.3 Self Management
2.3.1 Pengertian
Self-management suatu keterlibatan individu didalam kegiatan
maupun praktek yang bertujuan mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan, kesejahteraan dengan membuat penderita aktif dan
berpartisipasi dalam mengambil keputusan perihal program khusus untuk
pengobatan mereka; membangun dan mempertahankan kemitraan atau
hubungan dengan orang yang terlibat dalam membantu mengatasi
meningkatkan kesehatan serta memiliki kapasitas pengetahuan, sumber
16
Universitas Esa Unggul
daya dan kepercayaan diri yang baik dalam mengelola dampak dari
masalah kesehatan mereka, fungsi sehari-hari seperti mengontrol emosi
dan hubungan interpersonal (Quensland Health dalam Primanda &
Kritpracha, 2012).
Self-management adalah suatu perilaku terampil, menekankan pada
peran, serta tanggung jawan individu dalam pengelolaan penyakitnya
sendiri (Kisokanth et al., 2013). Proses ini biasanya difasilitasi oleh
tenaga kesehatan yang sudah terlatih dalam menangani program terkait
selfmanagement, dukungan keluarga merupakan bagian terpenting dari
terlaksananya program (Primanda & Kritpracha, 2012). Tujuan dari selfmanagement adalah mempertahankan kesejahteraan dalam segala
dimensi salah satunya adalah psikologis (Peñarrieta et al., 2015).
Onuoha dan Ezenwaka (2014) menuliskan bahwa Diabetes
Selfmanagement merupakan salah satu strategi yang tepat untuk
mengendalikan penyakit DM. Penelitian sebelumnya yang dilakukan di
Eropa menunjukkan bahwa pengetahuan, dukunga, motivasi dan
pemberdayaan
merupakan
faktor
penting
yang
mempengaruh
selfmanagement pada pasien diabetes.
2.3.2
Faktor yang dapat meningkatkan self-management
Hasil identifikasi bahwa usia, jenis kelamin, pendapatan,
pendidikan, dukungan sosial, keparahan gejala dan komorbiditas
merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi self-management
pada pasien dengan penyakit kronis, salah satunya penyakit DM
(Peñarrieta et al., 2015). Chlebowy et.all dalam Adwan dan Najjar, 2013
menjelaskan bahwa faktor eksternal dan faktor internal dapat
mempengaruhi self-management. Faktor eksternal meliputi kepatuhan
penderita terhadap self-management itu sendiri yang meliputi dukungan
keluarga, kelompok sebaya, dan tim medis yang dapat memberikan
arahan yang dapat memberikan arahan, penghargaan serta pengetahuan
terkait penyakit yang mereka derita. Faktor internal terkait rintangan
untuk melakukan self-management itu sendiri seperti ketakutan untuk
17
Universitas Esa Unggul
melakukan cek glukosa darah, rendahnya kesadaran untuk mengontrol
diri sendiri terkait kebiasaan makan, fikiran-fikran terkait kegagalan
dalam melakukan program, serta perasaan merasa kurangnya kontrol diri
terhadap control penyakitnya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi diabetes self
management seseorang, faktor-faktor ini dijelaskan oleh (Kisokanth
et.all, 2013) sebagi berikut:
1. Edukasi Self-management, dapat tercapai dengan dengan edukasi
terkait diabetes self-management (Norris et.all dalam Adwan &
Najjar 2013). Edukasi dapat menyiapkan pasien terkait penyakitnya
dan bagaimana pasien harus berprilaku, memberikan pengetahuan
bagaimana cara merubaha gaya hidup (Kisokanth et.all, 2013).
Harapan dari edukasi ini adalah agar pasien dapat lebih memahami
terkait penyakitnya dan dapat berperan aktif dalam perawatan
diabetes. Pengetahuan serta pemahaman yang baik merupakan
komponen terpenting untuk memberikan kesadaran pada pasien
mengenai self-management pada penyakit mereka (Kisokanth et.all,
2013).
2. Self monitoring of blood glucose (SBMG) Self monitoring of blood
glucose (SBMG) dan mengukur tekanan darah merupakan
komponenen terpenting untuk memantau kondisi penderita
(Upadhyay et.all dalam Kisokanth et.all 2013). Monitoring terhadap
glukosa darah merupakan hal penting pada pasien DMT2, penderita
akan lebih mandiri dalam menangani penyakit mereka dengan cara
memonitori kadar glukosa darah. mereka akan mendapatkan
pemahaman
yang
baik
terkait
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi penyakit mereka sehingga mereka dapat merasakan
kualitas hidup yang lebih baik (Kisokanth et.all, 2013).
3. Kebudayaan, sangat berpengaruh dalam kesehatan serta dapat
mempengaruhi tujuan dari kesembuhan DM (Kisokanth et.all,
2013). Beberapa jenis etnis tertentu dan kelompok minoritas disuatu
daerah biasanya akan dapat mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan
18
Universitas Esa Unggul
nilai-nilai terkait kesehatan (Catherine et.all dalam Kisokanth et.all
2013).
4. Dukungan keluarga, ketika keluarga terlibata dalam proses selfmanagement mereka dapat memberikan dukungan yang nantinya
akan dapat membantu mencapai tujuan pengobatan (Aklima et.all,
2012). Pasien dengan tingkat dukungan keluarga yang baik
menunjukkan perilaku self management yang baik (Rosland dalam
Aklima et.all 2012). (Bodenheimer et.all dalam Aklima et.all 2012)
juga menjelaskan mengenai karakter dari keluarga yang sehat
meliputi komunikasi yang baik, perilaku saling mendukung seperti
memberikan kepercayaan, menghibur dan bermain, berbagi
tanggung jawab, bersedia menolong anggota keluarga lainnya dalam
menyelesaikan masalahnya. Anggota keluarga dapat mendukung
kegiatan self-management pasien dengan meningkatkan kesadaran
pasien dan membantu pasien dalam menentukan tujuan dari
pengobatan serta rencana yang akan dilakukan (California Health
Care foundation dalam Aklima et.all 2012).
19
Universitas Esa Unggul
BAB III
METODE
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kajian literature review untuk
mengumpulkan, mengindentifikasi, mengevaluasi dan juga menginterpretasi
self-efficacy pasien diabetes melitus terhadap self management.
3.2 Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini didapatkan melalui google scholar, PubMed
dan Science Direct yang digunakan untuk mencari jurnal yang relevan. Jurnal –
jurnal yang didapat akan dipilih sesuai berdasarkan kriteria inklusi.
3.3 Kata Kunci dan Strategi Pencarian
Pencarian jurnal pada penelitian ini menggunakan keyword atau kata kunci
yaitu “Self-Efficacy”, “Diabetes Melitus”, “Self Management”, yang didapat
melalui google scholar, PubMed dan Science Direct.
Data Base
Google Scholar
PubMed
Science Direct
Tabel 3.1
Strategi Pencarian Jurnal
Strategi Pencarian Jurnal
Self Efficacy AND Diabetes Melitus
Self Efficacy AND Self Management
Self Efficacy AND Manajemen diri
Self Efficacy AND Diabetes Mellitus
Self Efficacy AND Self Management
Self Efficacy AND Diabetes Mellitus
Self Efficacy AND Self Management
Tabel 3.2
PICO
P
Pasien diabetes melitus
I
Intervensi peningkatan self efficacy dalam manajemen diri
C
Tidak ada perbandingan
O
Self-efficacy pasien
Dalam strategi pencarian menggunakan format PICO (ParticipantIntervention-Comparison-Outcome.
20
Universitas Esa Unggul
3.4 Kriteria Seleksi Penelitian
Terdapat kriteria inklusi dan eksklusi untuk menilai jurnal yang akan dipilih
dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Jurnal penelitian dipublikasikan pada tahun 2012 – 2020.
2. Jurnal international dan nasional yang membahas topik self-efficacy
pasien diabetes melitus terhadap self management.
3. Jurnal dalam bentuk full text.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Jurnal internasional dan nasional yang tidak membahas topik tentang
self efficacy terhadap self management pasien DM.
2. Jurnal yang ditampilkan tidak full text.
3. Jurnal yang terbit dibawah tahun 2012.
4. Penelitian dengan metode yang tidak jelas tercantum dalam jurnal.
3.5 Sintesis Hasil Penelitian
Hasil literature review akan dijelaskan dengan mengikuti tema sebagai berikut:
1. Self efficacy pada manajemen diri pasien diabetes melitus yang meliputi;
pengaturan diet, aktivitas fisik, kontrol gula darah, pengobatan dan
perawatan kaki.
2. Peningkatan self efficacy dalam manajemen diri pasien diabetes melitus.
21
Universitas Esa Unggul
BAB IV
HASIL
Berdasarkan penelitian jurnal yang sudah dilakukan melalui data base, penelitian
yang ditemukan sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 15 penelitian.
4.1 Desain Penelitian
Hasil review ini di dapatkan bahwa desain penelitian yang digunakan
pada jurnal yang diperoleh terdiri dari survei cross sectional (Yao et al, 2019;
Firmansyah, 2018), deskriptif korelasi dengan cross sectional (Handayani,
Putra & Laksmi., 2019; Anindita, Diani & Hafifah., 2019; Agustina, 2017),
cross sectional (Amer, Elbur, Elrayah., 2018; Al-Khawalde, Al-Hassan,
Froelicher., 2012), 1 menggunakan desain penelitian deskriptif (Malayanita,
2017), korelasional deskriptif (Wendling & Beadle., 2015), kuantitatif
korelasional (Pertiwi, 2015), analitik cross sectional (Purwanti, 2014), quasi
experimental post test (Yaqin, Niken & Dharmana, 2017), quasi experiment two
pretest dan posttest with control group (Damayanti, 2017) dan quasi experiment
pretest posttest (Rondhianto, 2013 & Ningsih 2016).
4.2 Instrumen
Dari 15 penelitian yang digunakan pada jurnal, instrument yang
digunakan untuk mengukur self efficacy pasien 8 diantaranya menggunakan
Diabetes Management Self Efficacy Scale (DMSES) (Amer et al., 2018; Alkhawaldeh, Al-Hassan & Froelicher., 2012; Agustina., 2017; Purwanti., 2014;
Firmansyah., 2018; Rondhianto, 2013; Damayanti, 2017; Anindita, Diani &
Hafifah (2019) dimana kuisioner ini berisi keyakinan terhadap : kemampuan
pengecekan gula darah (3 item), pengaturan diet dan menjaga berat badan ideal
(11 item), aktivitas fisik (2 item), perawatan kaki (1 item), dan mengikuti
program pengobatan (3 item). Penelitian lainnya untuk mengukur self efficacy
menggunakan instrument yaitu General Self Efficacy (GSE) (Handayani, Putra
& Laksmi, 2019), Diabetes Empowerment Scale-Short Form (DES-SF) (Yao et
al, 2019), self-efficacy for diabetes scale (Ningsih, 2016), The Diet Self Efficacy
Scale (DIET-SE) (Yaqin, Niken & Dharmana, 2017), Perceived Therapeutic
Efficacy Scale (PTES) (Damayanti, 2017).
Dalam pengukuran self managament atau perawatan diri pasien 3
diantaranya menggunakan instrument Diabetes Self Care Activities (SDSCA)
(Amer et al., 2018; Al-khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher., 2012; Ningsih
(2016) dan 1 menggunakan Diabetes Self Management Questionnaire (DSMQ)
(Handayani, Putra & Laksmi, 2019). Selain intrument self efficacy dan self
manangement, terdapat instrumen lainnya yang digunakan dalam jurnal
penelitian yang sudah dipilih, antara lain yaitu Percieved Dietary Adherence
22
Universitas Esa Unggul
Questioner (PDAQ) untuk mengukur kepatuhan diet (Yaqin, Niken &
Dharmana, 2017), Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) untuk
mengukur ketidakpatuhan pasien dalam minum obat (Agustina, 2017),
Treatment Self Regulation Questionare untuk mengukur motivasi pasien
(Purwanti, 2014), The Foot Care Confidence Scale (FCCS) untuk menentukan
tambang tingkat kemanjuran diri individu dalam kaitannya dengan kinerja
perawatan kaki sendiri, The Nottingham Assessment of Functional Footcare
(NAFF) untuk menentukan perilaku perawatan kaki yang sebenarnya dilakukan
oleh responden (Wendling & Beadle, 2015),
Diantara 15 jurnal penelitian terdapat 3 jurnal penelitian yang tidak
dijelaskan secara jelas menggunakan instrumen apa didalam jurnal nya. Seperti
Malayanita (2017) di jurnal penelitiannya tidak menjelaskan instrumen apa
yang digunakan. Lalu Anandita et al (2019) di jurnal penelitiannya hanya
menjelaskan menggunakan kuisioner efikasi diri dan kepatuhan melakukan
latihan fisik dan Pertiwi (2015) hanya menjelaskan menggunakan kuisioner
Skala dukungan pasangan, skala efikasi diri dan skala kepatuhan .
4.3 Durasi Intervensi
Dari 15 jurnal penelitian yang telah dipilih terdapat 4 jurnal yang
digunakan untuk mereview intervensi peningkatan self efficacy.
Peneliti
Tabel 4.1
Durasi Intervensi
Frekuensi
Durasi
Lama
Pemberian
60 – 100 menit
Yaqin et al
12 hari
6x dalam 12
(2017)
hari
Rondhianto
4 minggu
4 x dalam
30 – 60 menit
(2013)
sebulan
Damayanti
4 hari
1 x dalam
± 60 menit
(2017)
sehari
*Ningsih (2016)
*Dalam jurnal penelitian tidak dijelaskan frekuensi, durasi serta lama
pemberian intervensi
4.4 Hasil Penelitian
4.4.1 Self Efficacy Pada Manajemen Diri Pasien Diabetes Melitus
Handayani, Putra & Laksmi (2019) menjelaskan hasil
penelitiannya terdapat 139 responden. Untuk tingkat efikasi diri pasien
diabates mellitus terdapat hasil lebih banyak berada pada kategori
sedang yaitu sebanyak 52 orang atau 37,4%. Sedangkan untuk tingkat
23
Universitas Esa Unggul
kepatuhan manajemen diri pasien diabetes mellitus lebih banyak berada
pada kategori patuh yaitu sebanyak 59 orang atau 42,5%. Hasil analisis
data dengan menggunakan uji statistik spearman rank diperoleh nilai p
value 0,0001 (p<0,05) yang berarti antara efikasi diri dengan kepatuhan
manajemen diri pada pasien diabetes mellitus memiliki hubungan yang
signifikan. Nilai korelasi pada penelitian ini juga mempunya nilai 0,748
artinya kekuatan korelasi dalam penelitian ini kuat dengan arah korelasi
positif yang berarti hubungan kedua variabel bersifat searah.
Yao et al (2019) melakukan penelitian terhadap 2.166 pasien
diabetes mellitus tipe 2, yang terdiri dari pasien dari daerah perkotaan
(1.070) dan pasien dari daerah pedesaan (1.096). Berdasarkan hasil skor
DES-SF yang lebih tinggi secara signifikan dikaitkan dengan
kemungkinan yang lebih tinggi dari perilaku manajemen diri aktif.
Dalam hasil univariat, kemungkinan pasien untuk perilaku tersebut
meningkat 1,25 kali untuk setiap peningkatan satu poin dalam skor
DES-SF. Faktor lain yang secara signifikan berhubungan dengan
perilaku manajemen diri aktif adalah tempat tinggal, tingkat pendidikan,
pendapatan per kapita rumah tangga, lamanya diabetes dan
komorbiditas diabetes. Peserta yang memiliki tingkat pendidikan lebih
tinggi (P <0,001), pendapatan rumah tangga per kapita yang lebih tinggi
(P <0,05), durasi diabetes yang lebih lama (P <0,001) dan komorbiditas
diabetes (OR = 1,26; 95% CI: 1,04-1,52) lebih cenderung memiliki
perilaku manajemen diri aktif daripada rekan mereka. Mereka yang
tinggal di pedesaan cenderung lebih kecil (OR = 0,73; 95% CI:0.61–
0.88) memiliki perilaku pengelolaan diri yang aktif dibandingkan di
wilayah perkotaan.
Amer et al (2018) melakukan penelitian dengan melibatkan 392
pasien. Pada tingkat self efficacy didapatkan hasil 199 (48,7%)
responden memiliki tingkat self efficacy yang tinggi di semua domain.
Skor rata-rata efikasi diri untuk mengelola nutrisi, latihan fisik dan
pengendalian berat badan dan pengobatan adalah 67,8 (SD 17.0), 18.6
(SD 7.3) dan 18.0 (SD 3.4), masing-masing. Skor rata-rata efikasi diri
manajemen diabetes di semua domain adalah 136,8 (SD 29,7). Dari
semua pasien yang diwawancarai, 191 (48,7%) diklasifikasikan
memiliki efikasi diri yang tinggi di semua domain untuk mengelola
diabetes. Partisipan dengan tingkat self-efficacy tinggi dalam
manajemen nutrisi, latihan fisik dan pengendalian berat badan, dan
perawatan medis masing-masing adalah 188 (48,0%), 199 (50,8%) dan
281 (71,7%). Analisis multivariat menunjukkan bahwa, pendidikan
selama 9 tahun, dan menerima sesi pendidikan kesehatan formal tentang
diabetes secara signifikan terkait dengan self efficacy pengelolaan
diabetes tingkat tinggi. Analisis univariat menunjukkan bahwa satu-
24
Universitas Esa Unggul
satunya prediktor pengendalian diabetes adalah efikasi diri manajemen
diabetes, pasien (28,8%) yang memiliki efikasi diri tinggi, lebih sering
menunjukkan penyakit yang dikendalikan, dibandingkan dengan 32
(15,9%) ) dengan self-efficacy rendah.
Kontrol Gula Darah
Firmansyah (2018) melakukan penelitian dengan jumlah 89
responden. Pengukuran self efficacy pada responden didapatkan hasil
yaitu sebanyak 58 responden (65,2%) memiliki efikasi diri yang baik
dan dari pemeriksaan gula darah pada responden didapatkan hasil
sebanyak 59 responden (66,3%) mempunyai kadar gula darah yang
tinggi dan 30 responden (33,7%) mempunyai kadar gula darah normal.
Hasil analisis hubungan antara efikasi diri dengan kadar gula darah
menunjukan hasil bahwa responden yang memiliki efikasi diri baik
dengan kadar gula darah normal sebanyak 25 responden (43,1),
sedangkan yang mempunyai efikasi diri kurang baik dengan kadar gula
darah normal sebanyak 5 responden (16,1%). Hal ini menunjukan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kadar
gula darah pasa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan p value = 0,002.
Al-khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher (2012) melakukan
penelitian dengan jumlah responden sebanyak 223. Berdasarkan hasil
pengkuran self efficacy nilai tertinggi apa pada self efficacy untuk
melakukan perawatan medis dan nilai terendah yaitu pada self efficacy
untuk berolahraga. Pada tingkat perilaku self management paling sering
dilaporkan adalah penggunaan obat diikuti oleh perilaku diet, sedangkan
yang paling jarang yaitu perilaku pengujian gula darah, perilaku latihan
dan perawatan kaki.. Berdasarkan hasil penelitian 56,5% responden
menunjukan bahwa DM mereka tidak terkontrol. Rendahnya tingkat
perilaku DSM mengakibatkan rendahnya kepatuhan terhadap perawatan
diri dan kemudian berkontribsi pada kontrol glikemik yang buruk.
Pengaturan Diet
Yaqin, Niken & Dharmana (2017) melakukan penelitian kepada
99 responden yang terdiri dari kelompok intervensi sebanyak 48
responden dan kelompok kontrol sebanyak 51 responden. Pada self
efficacy responden ada perbedaan rata-rata nilai mean self efficacy pada
kelompok kontrol dan perlakuan. Self efficacy pada kelompok
intervensi memiliki nilai mean lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan nilai self efficacy yang bermakna pada kelompok perlakuan
yang mendapatkan pelatihan self efficacy training dengan metode peer
support group. Pada kelompok intervensi terdapat nilai mean pre 27.21
25
Universitas Esa Unggul
dan post 32.19 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean
pre 27.51 dan post 27.92. Pada kepatuhan diet responden terdapat
perbedaan rata-rata nilai mean kepatuhan diet pada kelompok kontrol
dan perlakuan. Kepatuhan diet pada kelompok intervensi memiliki nilai
mean yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol Hasil uji Paired TTest Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai kepatuhan
yang bermakna pada kelompok intervensi yang mendapatkan pelatihan
self efficacy training dengan metode peer support group. Pada kelompok
intervensi terdapat nilai pre 24 dan post 30.25 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat nilai pre 23.53 dan post 24.31. Dari hasil analisis efek
Self Efficacy Training terhadap Self Efficacy dan kepatuhan
menunjukkan bahwa variabel self efficacy dan kepatuhan diet setelah
perlakuan mengalami peningkatan rerata nilai mean, baik pada
kelompok intervensi maupun kontrol. Pada self efficacy terdapat nilai
mean pada kelompok intervensi yaitu 32,19 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat nilai mean 27,92. Pada kepatuhan terdapat nilai mean
pada kelompok intervensi yaitu 30,25 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat nilai mean 24,31. Hasil uji MANOVA menunjukkan
nilai asymp sig 0,000 yang berarti ada yang sangat bermakna self
efficacy training dengan metode peer support group pada self efficacy
dan kepatuhan diet, walaupun jika dibandingkan dengan selisih nilai
rerata mean kelompok intervensi dan kelompok kontrol, variabel
kepatuhan diet memiliki selisih yang lebih besar daripada slisih nilai
mean pada self efficacy.
Malayanita (2017) melakukan penelitian kepada 30 orang. Pada
hasil penelitian self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan
makan terdapat 15 responden (50%) memiliki self efficacy kurang, 10
responden (33,3%) memiliki self efficacy cukup dan 5 responden
(16,7%) memiliki self efficacy yang baik. Pada penelitian tersebut
peneliti mengukur self efficacy pasien DM dalam pengelolaan makanan
berupa jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makan yang di
konsumsi pasien. Diantara jumlah makan, jenis makan dan jadwal
makan pada pasien dm terdapat parameter self efficacy kurang yaitu
pada jadwal makan sebanyak 56,7% atau 17 orang.
Aktivitas Fisik
Anindita, Diani & Hafifah (2019) melakukan penelitian kepada
60 responden. Dari hasil penelitian efikasi diri pasien diabetes melitus
tipe2 sebagian besar kurang baik dengan jumlah sebanyak 39 responden
(65%). Dalam kepatuhan dalam melakukan latihan fisik didapatkan
hasil sebagian besar pasien DM tidak patuh yaitu sebanyak 38
responden (63,3%). Dari hasil analisis hubungan efikasi diri dengan
26
Universitas Esa Unggul
kepatuhan melakukan latihan fisik didapatkan hasil p value <0,001 yang
berarti adanya hubungan antara efikasi diri dengan kepatuhan
melakukan latihan fisik pada pasien DM tipe 2.
Pengobatan
Pertiwi (2015) melakukan penelitian dengan jumlah 50
responden. berdasarkan hasil perhitungan teknik anlisis regresi linier
diperoleh niai yang menunjukan adanya hubungan yang sangat
signifikan antara dukungan pasangan dan efikasi diri terhadap
kepatuhan. Pada tingkat dukungan pasangan responden sebagian besar
mendapat dukungan pasangannya sangat tinggi yaitu sebanyak 48 orang
(96%). Begitupula dengan tingkat efikasi diri responden didapatkan
hasil sebanyak 48 orang (96%) memiliki tingkat efikasi diri yang sangat
tinggi. Sumbangan efektif dari variabel dukungan pasangan terhadap
kepatuhan dilihat dari koefisien determinasi R2 sebesar 0,205 yang
menunjukkan bahwa variabel dukungan pasangan mempengaruhi
variabel kepatuhan sebesar 20,5% dan variabel efikasi diri terhadap
kepatuhan dilihat dari koefisien determinasi R2 sebesar 22 %.
Agustina (2017) melakukan penelitian dengan jumlah responden
sebanyak 125 pasien DM. Dari hasil penelitian tingkat self efficacy
pasien yaitu terdapat 64 responden (51,2%) memiliki tingkat self
efficacy yang rendah. Dari hasil penelitian tingkat kepatuhan pasien
didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden masih memiliki
tingkat kepatuhan rendah dalam memakai insulin secara mandiri yaitu
sebanyak 75 responden (60%). Berdasarkan Berdasarkan hasil uji
korelasi Spearman Rank didapatkan nilai signifikan sebesar 0,000 yang
berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel self efficacy
dengan kepatuhan pemakaian insulin secara mandiri dengan nilai
korelasi sebesar 0,824.
Perawatan Kaki
Purwanti (2014) melakukan penelitian dengan jumlah responden
sebanyak 55 orang. Dari hasil penelitian mayoritas responden memiliki
motivasi yang baik yaitu sebanyak 46 responden (83,6%) dan memiliki
efikasi diri yang baik dalam melakukan perawatan kaki yaitu sebanyak
35 responden (63,6%). Hasil analisis hubungan motivasi dengan efikasi
diri menunjukan bahwa responden memiliki motivasi yang baik dan
menunjukan efikasi diri yang baik yaitu sebanyak 32 responden
(58,2%). Dari hasil analisa statistik menunjukan adanya hubungan
antara motivasi dengan efikasi diri pasien.
Wendling & Beadle, (2015) melakukan penelitian dengan
jumlah responden sebanyak 223. Dari hasil penelitian Mengenai kondisi
27
Universitas Esa Unggul
kesehatan kaki responden saat ini, 66,8% membantah penyakit
pembuluh darah perifer dan 50,5% menolak memiliki perifer neuropati,
meskipun 53,6% dilaporkan mengalami sensasi nyeri, kesemutan atau
kehilangan perasaan di kaki mereka. 87,5% responden tidak pernah
menderita ulkus kaki dan 95,1% menyatakan tidak pernah amputasi
ekstremitas bawah. Mayoritas penduduk (61,1%) melaporkan bahwa
mereka melakukan perawatan kaki sendiri dan 89,7% menemui dokter
mereka setiap tiga sampai enam bulan untuk perawatan terkait diabetes.
Hasil analisis data menggunakan pengukuran statistik uji-T dilakukan
untuk menentukan adanya efek kausal dari tipe diabetes (1 atau 2),
riwayat ulserasi / amputasi kaki, atau jenis kelamin individu, baik
tingkat efikasi diri maupun kaki yang dihasilkan. perilaku perawatan diri
di antara responden dalam menganalisis data tidak ada signifikansi
statistik teridentifikasi yang akan menunjukkan variabel yang
disebutkan di atas telah mempengaruhi tingkat efikasi diri atau perilaku
perawatan diri kaki dibandingkan dengan skor FCCS dan NAFF yang
diberikan dengan pengecualian jenis kelamin peserta dan skor NAFF.
4.4.2 Intervensi Peningkatan Self Efficacy Dalam Manajemen Diri Pasien
Diabetes Mellitus
Damayanti, 2017 melakukan penelitian dengan jumlah
responden sebanyak 20 orang dengan 10 orang kelompok intervensi dan
10 orang kelompok kontrol. Berdasarkan analisis univariat nilat ratarata pre test DMSES 94,70 dengan nilai terendah 72 dan nilai tertinggi
124. Setelah dilakukan intervensi SEEIP terjadi peningkatan hasil nilai
rata-rata DMSES menjadi 133,50 dengan nilai terendah 110 dan nilai
tertinggi 150. Begitupun dengan nilai rata-rata PTES terjadi
peningkatan hasil, pada pre test terdapat nilai rata – rata 79,40 dengan
nilai terendah 68 dan nilai tertinggi 115 dan setelah diberikan intervensi
nilai rata-rata menjadi 114,10 dengan nilai terendah 98 dan nilai
tertinggi 124. Berdasarkan analisa bivariat paired test terdapat
perbedaan nilai rata-rata pretest dan posttest pada DMSES dan juga
PTES.
Rondhianto, 2013 melakukan penelitian dengan jumlah
responden sebanyak 30 orang dengan 15 orang kelompok perlakuan dan
15 orang kelompok kontrol. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat self
efficacy sebelum intervensi sebagian besar responden pada kelompok
perlakuan berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 10 orang
(66,67%) dan setelah diberikan intervensi terjadi peningkatan menjadi
di kategori sangat tinggi yaitu sebanyak 15 orang (100%) sedangkan
pada kelompok kontrol pada saat pre test sebagian besar berada dalam
kategori tinggi yaitu sebanyak 11 orang (73,33%) dan pada saat post test
28
Universitas Esa Unggul
terjadi peningkatan hanya pada 8 orang (53,33%) menjadi dalam
kategori sangat tinggi. Dari hasil tersebut berarti terdapat perbedaan
tingkat self efficacy sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok
perlakuan maupun kontrol yang dibuktikan dengan hasil uji t test
dependen yaitu dengan nilai t hitung -20,595 dan p 0,000 < 0,05 pada
kelompok perlakuan dan nilai t hitung -12,564 dan p 0,000 < 0,05 pada
kelompok kontrol. Berdasarkan hasil uji t test independen terhadap
variabel self efficacy antara kelompok perlakuan dan kontrol yaitu niali
t 10,215 dengan p 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan self
efficacy yang signifikan antara kedua kelompok, dimana self efficacy
kelompok perlakuan lebih tinggi dari pada kelompok kontrol.
Yaqin, Niken & Dharmana (2017) melakukan penelitian kepada
99 responden yang terdiri dari kelompok intervensi sebanyak 48
responden dan kelompok kontrol sebanyak 51 responden. Pada self
efficacy responden ada perbedaan rata-rata nilai mean self efficacy pada
kelompok kontrol dan perlakuan. Self efficacy pada kelompok intervensi
memiliki nilai mean lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Hasil uji
Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
nilai self efficacy yang bermakna pada kelompok perlakuan yang
mendapatkan pelatihan self efficacy training dengan metode peer
support group. Pada kelompok intervensi terdapat nilai mean pre 27.21
dan post 32.19 sedangkan pada kelompok kontrol terdapat nilai mean
pre 27.51 dan post 27.92. Pada kepatuhan diet responden terdapat
perbedaan rata-rata nilai mean kepatuhan diet pada kelompok kontrol
dan perlakuan. Kepatuhan diet pada kelompok intervensi memiliki nilai
mean yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol Hasil uji Paired TTest Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai kepatuhan
yang bermakna pada kelompok intervensi yang mendapatkan pelatihan
self efficacy training dengan metode peer support group. Pada kelompok
intervensi terdapat nilai pre 24 dan post 30.25 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat nilai pre 23.53 dan post 24.31. Dari hasil analisis efek
Self Efficacy Training terhadap Self Efficacy dan kepatuhan
menunjukkan bahwa variabel self efficacy dan kepatuhan diet setelah
perlakuan mengalami peningkatan rerata nilai mean, baik pada
kelompok intervensi maupun kontrol. Pada self efficacy terdapat nilai
mean pada kelompok intervensi yaitu 32,19 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat nilai mean 27,92. Pada kepatuhan terdapat nilai mean
pada kelompok intervensi yaitu 30,25 sedangkan pada kelompok
kontrol terdapat nilai mean 24,31. Hasil uji MANOVA menunjukkan
nilai asymp sig 0,000 yang berarti ada yang sangat bermakna self
efficacy training dengan metode peer support group pada self efficacy
dan kepatuhan diet, walaupun jika dibandingkan dengan selisih nilai
29
Universitas Esa Unggul
rerata mean kelompok intervensi dan kelompok kontrol, variabel
kepatuhan diet memiliki selisih yang lebih besar daripada slisih nilai
mean pada self efficacy.
Ningsih (2016) melakukan penelitian dengan jumlah responden
sebanyak 73 terdiri dari 55 orang kelompok intervensi dan 18 orang
kelompok kontrol. Intervensi pendidikan kesehatan dan self efficacy
berpengaruh terhadap perubahan perilaku kesehatan (pengetahuan, pola
makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah, perawatan kaki) dengan
p value <0.05. Intervensi pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap
kadar gula darah sewaktu, p value 0.027. Terdapat perbedaan
pengetahuan,sikap, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah,
perawatan kaki dan kadar gula darah sewaktu sebelum dan sesudah
intervensi dengan p value 0.000. Terdapat perbedaan pengetahuan, pola
makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah,perawatan kaki dan
kadar gula darah sewaktu pada kelompok intervensi dan kontrol dengan
p value < 0.05. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney tidak terdapat
perbedaan kebiasaaan merokok pada kelompok intervensi pendidikan
kesehatan dan kontrol dengan p value 0,485. Berdasarkan uji
signifikansi parameter individual (Uji Statistik t) terdapat pengaruh self
efficacy terhadap diet (p value 0.000 <0.05), aktivitas fisik (p value
0.002 < 0.05) , pemeriksaan gula darah (p value 0.000<0.05 ) dan
perawatan kaki ( p value 0.000< 0.05).
30
Universitas Esa Unggul
4.5 Data Ekstraksi
Tabel 4.2
Data Ekstraksi
No
1.
Penulis
Desain
Sample
Instrumen Penelitian
Penelitian
Penelitian
Yao et al., Survei
cross2166
Diabetes
Empowerment
(2019)
sectional
Scale-Short Form (DESSF)
31
Intervensi
Durasi
Hasil
-
2 bulan
Sebanyak 2166 pasien
DMT2 dilibatkan dalam
analisis. Rata-rata skor
DES-SF
adalah
31.9
(deviasi
standar:
5.2).
Proporsi
T2DM
yang
diperkirakan
pada
kelompok aktif dan tidak
aktif masing-masing adalah
54,8% dan 45,2%. Regresi
logistik
multivariat
menunjukkan bahwa skor
DES-SF yang lebih tinggi
secara signifikan terkait
dengan
kemungkinan
perilaku manajemen diri
aktif yang lebih tinggi.
Universitas Esa Unggul
2.
3.
Handayani
Penelitian
et al., (2019) deskriptif
korelasi dengan
pendekatan
Cross Sectional
139
Amer et al., Cross sectional
(2018)
392
-
-
-
General Self Efficacy
(GSE)
Diabetes
Self
Management
Questionnaire
(DSMQ)
-
Diabetes Management
Self Efficacy Scale
(DMSES)
Diabetes Self Care
Activities (SDSCA)
-
32
1 bulan
Hasil penelitian diperoleh pvalue 0,0001 (p<0,05),
sehingga dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan efikasi
diri dengan kepatuhan
manajemen diri pada pasien
diabetes melitus.
Responden
yang
diklasifikasikan
dengan
tingkat self-efficacy tinggi
di semua domain adalah 191
(48,7%). Selain itu, tingkat
pendidikan yang tinggi dan
pendidikan
kesehatan
formal tentang diabetes,
ditemukan
secara
signifikan. terkait dengan
efikasi diri manajemen
diabetes tingkat tinggi.
Pasien
yang
memiliki
tingkat efikasi diri yang
tinggi untuk mengelola
nutrisi, aktivitas latihan
fisik,
dan
pengobatan
ditemukan lebih patuh pada
diet
umum,
aktivitas
olahraga, dan konsumsi
obat.
Pasien
dengan
Universitas Esa Unggul
penyakit
terkontrol
sebanyak.
Satu-satunya
prediktor dari pengendalian
diabetes adalah efikasi diri
manajemen diabetes
4.
Firmansyah,
(2018)
5.
AlKhawaldeh
et al., (2012)
Metode
kuantitatif
dengan survey
analitik
dan
desain
cross
sectional
Cross Sectional
89
Diabetes Management Self
Efficacy Scale (DMSES)
-
1 bulan
Berdasarkan uji statistik
didapatkan hubungan yang
signifikan antara efikasi diri
dengan kadar gula darah (p
value = 0.002
223
-
-
2 bulan
Efikasi diri diet dan perilaku
manajemen
diri
diet
memprediksi
kontrol
glikemik yang lebih baik, di
mana penggunaan insulin
adalah prediktor signifikan
secara
statistik
untuk
kontrol glikemik yang
buruk. Selain itu, subjek
dengan efikasi diri yang
lebih tinggi melaporkan
perilaku manajemen diri
yang lebih baik dalam diet,
olahraga, tes gula darah, dan
minum obat. Penemuan ini
menunjukkan bahwa lebih
-
Diabetes Management
Self Efficacy Scale
(DMSES)
Diabetes Self Care
Activities (SDSCA)
33
Universitas Esa Unggul
dari separuh subjek tidak
dapat
mengontrol
diabetesnya dan hanya 42%
yang mengikuti program
edukasi diabetes
6.
7.
Yaqin et al., Kuantitatif
(2017)
quasy
experimental
dengan post test
desain
Malayanita,
(2017)
Penelitian
menggunakan
desain
deskriptif
99
-
(48
responden
kelompok
intervensi
dan 51
responden
kelompok
kontrol)
30
The Diet Self Efficacy
Scale (DIET-SE)
Percieved
Dietary
Adherence Questioner
(PDAQ)
-
Self
Efficacy 1 bulan
Training dengan
metode
peer
support group
1 bulan
34
Hasil uji multivariat dengan
MANOVA didapatkan ada
efek
SETpada
kedua
variabel dependen yang
sangat bermakna (p=0,000),
namun jika dilihat dari hasil
selisih
mean
dengan
kelompok kontrol, variabel
kepatuhan
memiliki
peningkatan nilai mean
yang
lebih
besar
dibandingkan variabel SE.
Hasil
penelitian
menunjukan bahwa self
efficacy pasien DM dalam
pengelolaan makan yaitu
50% (15 orang) kurang,
33,3% (10 orang) cukup dan
16,7% (5 orang) baik.
Universitas Esa Unggul
8.
9.
Anindita et Penelitian
al., (2019)
menggunakan
rancangan
deksriptif
dengan metode
cross sectional
Wendling & Korelasional
Beadle,
deskriptif
(2015)
60
-
Efikasi diri
Kepatuhan melakukan
latihan fisik
1 bulan
Kami menemukan bahwa
ada korelasi antara efikasi
diri dan kepatuhan terhadap
latihan fisik pada pasien
diabetes tipe 2 (p <0,001).
223
-
The
Foot
Care
Confidence
Scale
(FCCS)
The
Nottingham
Assessment
of
Functional Footcare
(NAFF)
5 bulan
Tidak
ada
korelasi
signifikan
yang
diidentifikasi antara tingkat
efikasi diri dan kinerja
perilaku perawatan kaki.
signifikansi
statistik
ditemukan antara perilaku
perawatan kaki dan jenis
kelamin dengan skor lakilaki lebih tinggi dari
perempuan.
Hasil penelitian menunju
ada hubungan yang sangat
signifikan antara dukungan
pasangan dan efikasi diri
dengan
kepatuhan
menjalani pengobatan pada
penderita diabetes mellitus
tipe 2.
-
10. Pertiwi,
(2015)
Penelitian
kuantitatif
korelasional
50
-
Skala
dukungan
pasangan
Skala efikasi diri
Skala kepatuhan
35
Universitas Esa Unggul
11. Agustina,
(2017)
12. Purwanti,
(2014)
13. Rondhianto,
(2013)
Deskriptif
Korelatif
dengan
pendekatan
Cross Sectional
125
Penelitian
menggunakan
desain analitik
dengan
pendekatan
cross sectional
55
Penelitian quasi
experiment
dengan desain
penelitian non
randomized
control group
pretest posttest
design.
30
-
-
-
-
(15
kelompok
perlakuan
dan 15
kelompok
kontrol)
-
The
Diabetes
Management
Selfefficacy
Scale
(DMSES)
Morisky Medication
Adherence
Scale
(MMAS)
Treatment
Self
Regulation
Questionare
The
Diabetes
Management
Self
Efficacy
Scale
(DMSES)
Diabetes Management Diabetes
Self 3 bulan
Self Efficacy Scale Management
(DMSES)
Education
(DSME)
didalam
discharge
planning.
36
Hasil penelitian terdapat
hubungan yang signifikan
antara efikasi diri dengan
kepatuhan penggunaan
insulin mandiri pada pasien
DM di RSUD Batu Baptist.
Semakin tinggi efikasi diri
pasien, semakin tinggi
kepatuhan pasien terhadap
suntikan insulin
Hasil penelitian didapatkan
bahwa
sebagian
besar
responden
mempunyai
motivasi dan efikasi diri
yang baik, serta terdapat
hubungan antara motivasi
dan efikasi diri pasien DM
Tipe2 dalam melakukan
perawatan kaki
Hasil penelitian dengan Uji
t
Test
Independent
menunjukkan nilai t = 10,
215 (p = 0, 000), yang
berarti terdapat perbedaan
self efficacy yang signifikan
antara kelompok yang
mendapatkan
perlakuan
penerapan DSME di dalam
Universitas Esa Unggul
discharge planning dengan
kelompok
kontrol
(kelompok yang tidak
mendapatkan perlakuan).
14. Damayanti,
(2017)
Quasi
Experiment
Design
menggunakan
rancangan Two
pretest-posttest
with
control
group
20
-
(10
kelompok intervensi
dan 10
kelompok
kontrol)
Diabetes Management
Self Efficacy Scale
(DMSES)
Perceived Therapeutic
Efficacy Scale (PTES)
37
Self
Efficacy 1 bulan
Enhancement
Intervention
Program
(SEEIP) dengan
edukasi meliputi
melihat video,
ceramah,
menerima
booklet
dan
konseling.
Ada perbedaan efikasi diri
manajemen DM sebelum
dan sesudah diberikan
SEEIP. Ada perbedaan
terapi
efikasi
yang
dirasakan sebelum dan
sesudah diberikan SEEIP.
ada
perbedaan
diri
manajemen DM dan terapi
efikasi yang dirasakan
antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol.
Universitas Esa Unggul
15. Ningsih,
(2016)
Quasi
experimental
pretest
dan
posttest
73
(55
Intervensi
dan 18
kontrol)
-
-
Kuisioner demografi
Pendidikan
Kuisioner pengetahuan Kesehatan
tentang DM
Kuisioner sikap
The
Summary
of
Diabetes Self Care
Activities (SDSCA)
Self
Efficacy
for
Diabetes Scale
38
4 bulan
Berdasarkan uji paired t-test
pada kelompok intervensi
terdapat
perbedaan
pengetahuan,sikap,
pola
makan, aktivitas fisik,
pemeriksaan gula darah,
perawatan kaki dan kadar
gula darah sewaktu sebelum
dan sesudah intervensi
dengan p value 0.000.
Berdasarkan
uji
independent t-test terdapat
perbedaan
pengetahuan,
pola makan, aktivitas fisik,
pemeriksaan
gula
darah,perawatan kaki dan
kadar gula darah sewaktu
pada kelompok intervensi
dan kontrol dengan p value<
0.05.
Universitas Esa Unggul
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Self Efficacy Pada Manajemen Diri Pasien Diabetes Melitus
Self-management adalah suatu perilaku terampil, menekankan pada peran, serta
tanggung jawab individu dalam pengelolaan penyakitnya sendiri (Kisokanth et al., 2014).
Manajemen diri merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh setiap pasien penyakit kronik,
tak terkecuali pasien DM. Hal ini mengacu pada pentingnya pengelolaan berbagai aktifitas
dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan hasil yang baik pada berbagai indikator
keberhasilan manajemen diri pasien DM. Barlow et al. mendefinisikan manajemen diri
(self-management) sebagai kemampuan individu untuk mengelola gejala-gejala,
pengobatan, konsekuensi fisik dan psikososial, serta perubahan gaya hidup yang berkaitan
dengan keadaan kronik (Hicks, 2010). Manajemen diri dianggap sebagai dasar dari
perawatan diabetes, dan diasumsikan bahwa peningkatan manajemen diri pasien dapat
melalui peningkatan efikasi diri. Efikasi diri atau Self-efficacy adalah keyakinan tentang
kemampuan pribadi untuk melakukan tugas dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Panadero et al., 2017). Self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan seseorang
terhadap kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan yang berpengaruh terhadap dirinya
(Yaqin et al., 2017). Self efficacy memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan
manajemen diri dimana semakin tinggi efikasi diri maka tingkat kepatuhan dalam
manejemen diri pasien DM-pun akan meningkat (Handayani et al., 2019; Yao et al., 2019;
Amer et al., 2018). Seperti penelitian Handayani et al (2019) didapatkan bahwa dimana
banyaknya pasien yang berada pada kategori patuh dikarenakan banyaknya pula pasien
yang memiliki tingkat efikasi diri yang baik. Kepatuhan manajemen diri pada penelitian
tersebut merupakan kepatuhan pasien dalam mengelola kondisi mereka selama memiliki
penyakit diabetes mellitus. Berdasarkan indikator – indikator yang digunakan dalam
instrumen DSMQ pasien lebih sering melakukan aktivitas fisik, pemantauan gula darah
dan pengelolaan makan. Pasien meyakini bahwa mengetahui kadar gula darah, melakukan
pengaturan pola makan dan melakukan aktivitas fisik pasien dapat mengetahui kondisinya
dan dapat meningkatkan kesehatannya.
Sumber – sumber terbentuknya efikasi diri melalui pengalaman individu dan
pengalaman orang lain dapat meningkatkan keyakinan diri individu untuk melaksanakan
tugas dan tujuannya dengan baik seperti kepatuhan dalam manajemen diri. Penelitian
Amer et al (2018) juga menunjukan bahwa pasien DM yang memiliki efikasi diri yang
tinggi, lebih sering menunjukan penyakit yang terkendalikan dibandingkan dengan efikasi
diri yang rendah. Faktor penting lainnya selain pengalaman individu dan pengalaman
orang lain, dari penelitian Amer et al (2018) didapatkan bahwa partisipasi dalam sesi
pendidikan kesehatan diabetes dan tingkat pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun)
merupakan prediktor penting dari efikasi diri karena kedua faktor tersebut penting untuk
memahami semua aspek yang berkaitan dengan penyakit, komplikasi, manajemen medis
dan pentingnya kepatuhan terhadap rekomendasi gaya hidup. Sesuai dengan teori dimana
39
Universitas Esa Unggul
efikasi diri manajemen diabetes dilaporkan sebagai penentu terpenting dari pengendalian
penyakit dan dipengaruhi oleh status pendidikan (Venkataraman et al., 2012). Tingkat
pendidikan yang sebagian besar lebih dari 9 tahun dan mayoritas pasien yang menghadiri
pendidikan kesehatan formal tentang diabetes secara signifikan terkait dengan efikasi diri
pengelolaan diabetes tingkat tinggi terbukti dengan dimana hampir setengah (48,7%)
responden memiliki efikasi diri yang tinggi di semua domain untuk mengelola diabetes
mereka. Diantara semua domain didapatkan bahwa tingkat efikasi yang paling tinggi yaitu
ada pada pengobatan, begitupula dengan tingkat kepatuhan didapatkan kepatuhan
terhadap pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas perawatan diri lainnya.
Dari hasil tersebut menunjukan keterkaitan antara efikasi diri dengan manajemen diri
pasien.
Pada penelitian Amer et al (2018) didapatkan bahwa tingkat pendidikan merupakan
faktor yang mempunyai hubungan terkait efikasi diri, begitu pula pada penelitian Yao et
al (2019) didapatkan bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan perilaku manajemen diri aktif. Selain tingkat pendidikan, pendapatan
perkapita rumah tangga, lamanya diabetes, kormobitas diabetes dan tempat tinggal juga
merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku manajemen diri aktif. Yao et al
(2019) melakukan penelitian antara pasien yang tinggal di perkotaan dengan pasien yang
tinggal di daerah pedesaan, hasilnya pasien yang tinggal didaerah pedesaan memiliki
kinerja yang lebih buruk dalam manajemen diri daripada pasien yang tinggal di daerah
perkotaan. Pasien pedesaan memiliki kinerja yang lebih buruk dalam manajemen diri
daripada pasien perkotaan. Kesenjangan ini mungkin terkait dengan perbedaan tingkat
pembangunan sosial ekonomi antara perkotaan dan pedesaan. Pasien di daerah perkotaan
biasanya memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yang terbukti
berhubungan positif dengan perilaku manajemen diri. Selain itu, perbedaan ini mungkin
disebabkan oleh ketidakadilan perkotaan-pedesaan dalam kualitas layanan kesehatan.
Dalam hal manajemen diri pasien DM, self-efficacy lebih mengarah kepada
kepercayaan diri pasien untuk melaksanakan berbagai perilaku/aktifitas yang merupakan
bagian dari manajemen diri diabetes (Al-Khawaldeh, Al-Hassan, & Froelicher, 2012).
Perilaku yang diharapkan dapat dirubah oleh pasien DM adalah mengenai gaya hidup dan
kebiasaan yang dapat memperburuk kondisi pasien, diantaranya adalah pengaturan diet,
aktifitas atau latihan (olahraga) secara teratur, pemantauan gula darah, pengobatan, dan
perawatan kaki (American Association of Diabetes Educators, 2013).
Kontrol Gula Darah
Kontrol gula darah merupakan pilar utama pada perawatan pasien diabetes sehingga
dapat dicapai kadar gula darah dan mempertahankannya dalam kondisi yang normal (AlKhawaldeh et al., 2012; Shrivastava, Shrivastava, & Ramasamy, 2013). Seperti pada
aktifitas perawatan diri yang lain, self-efficacy juga menjadi determinan yang kuat dalam
pelaksanaan pengontrolan kadar gula darah. Pada penelitian yang dilakukan terhadap
pasien DM tipe 2, ditemukan bahwa self-efficacy memiliki hubungan yang positif terhadap
kontrol gula darah pasien DM. Pasien yang memiliki keyakinan bahwa mereka mampu
melakukan perawatan diri terkait diabetes dinyatakan tiga kali lebih baik dalam melakukan
kontrol dibandingkan pasien yang kurang yakin (Venkataraman et al., 2012). Menurut
hasil penelitian Firmansyah (2018) menunjukan bahwa responden yang mempunyai
40
Universitas Esa Unggul
efikasi diri baik dengan kadar gula darah normal sebanyak 25 responden (43,1%)
sedangkan yang mempunyai efikasi diri kurang baik dengan kada gula darah normal
sebanyak 5 responden (16,1%) yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara
efikasi diri dengan kadar gula darah pasien DM tipe 2. Dilihat dari hasil penelitiannya
mengenai hubungan efikasi diri dengan kadar gula darah penderita DM ditemukan bahwa
bukan hanya perilaku pasien dalam menjaga kesehatannya saja tetapi efikasi diri yang baik
juga terpengaruh terhadap bagaimana penderita bertindak untuk kesehatan dirinya serta
pola fikir penderita dalam melakukan perawatan diri DM. Efikasi diri yang kurang baik
terutaman dalam pengontrolan gula darah dikarenakan penderita hanya diberitahu apa
yang harus dilakukan tanpa memahami alasan kenapa harus dilakukannya pengontrolan
kadar gula darah. Tingkat perilaku manajemen diri yang rendah yang dapat berkontribusi
pada tingkat HbA1c mereka yang lebih tinggi. Rendahnya tingkat perilaku DSM dapat
dikaitkan dengan sejumlah hambatan potensial untuk perilaku DSM seperti faktor sosial,
budaya, keuangan, medis, dan lain yang tidak diukur dalam penelitian ini yang
mempersulit rejimen subjek dan mungkin mengakibatkan rendahnya kepatuhan terhadap
rekomendasi perawatan diri dan kemudian berkontribusi pada kontrol glikemik yang
buruk. Prediktor kontrol glikemik yang paling signifikan secara statistik adalah efikasi diri
diet, perilaku manajemen diri diet, dan penggunaan insulin. Ditemukan hasil bahwa bahwa
subjek dengan efikasi diri diet yang lebih besar dan perilaku manajemen diri diet yang
lebih besar memiliki kadar HbA1c yang lebih rendah, sedangkan yang menggunakan
insulin dikaitkan dengan kadar HbA1c yang lebih tinggi. penggunaan insulin adalah
prediktor signifikan dari kontrol glikemik yang buruk; penjelasan yang mungkin adalah
bahwa insulin ditambahkan ke terapi pengobatan pada subjek dengan DM tipe 2 sebagai
akibat dari kontrol glikemik yang memburuk.
Pengaturan Diet
Inti dari pengaturan makan sehat pada pasien diabetes adalah membuat keputusan
tentang pilihan makanan, paham tentang ukuran porsi, dan memahami kapan waktu
terbaik untuk makan. Pasien juga harus memiliki kemampuan untuk menghitung berat
porsi karbohidrat dan lemak dalam makanan, membaca label, dan mengukur porsi.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, diantaranya makanan yang
tersedia, pola makan keluarga, kebiasaan, emosi, makanan yang disukai, kontrol gula
darah dan pengetahuan mengenai pengaruh makanan terhadap kontrol diabetes dan
kesehatan secara keseluruhan. Dengan membuat pemilihan makanan yang tepat,
mengontrol berat badan, dan mencapai kadar gula darah yang optimal, banyak pasien DM
yang mungkin dapat mengatur kondisi mereka tanpa obat (American Association of
Diabetes Educators, 2013).
Menurut hasil penelitian Malayanita (2017) didapatkan bahwa self efficacy pasien
DM dalam pengelolaan makan berdasarkan jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal
makanan sebanyak 16,7% dalam kategori baik, sebanyak 33% dalam kategori cukup dan
sebanyak 50% dalam kategori kurang. Self efficacy tentang jadwal makanan kurang
dibuktikan dengan pasien DM makan lebih dari 3 kali sehari dan diselingi ngemil
berlebihan setiap waktu. Jadwal makan meliputi pola makan 3x makan besar dan 3x makan
kecil, jadwal makan jam 07.00, jam 13.00 dan 19.00, memberi jarak antara makan dengan
ngemil lebih dari 3 jam, makan tidak lebih dari 3x sehari. Yang dimaksud dengan jadwal
41
Universitas Esa Unggul
adalah waktu – waktu makan yang tetap yaitu makan pagi, siang dan makam serta makan
selingannya. Berdasarkan hasil kuisioner pertanyaan “saya tidak pernah membuat jadwal
makan” masih ada 21 dari 30 orang yang menjawab “tidak”. Padahal jadwal makan sangat
dibutuhkan untuk mengelola makan yang dikonsumsi setiap harinya. Menurut ADA
(2010) perlu pengaturan jadwal makan bagi penderita DM karena keterlambatan atau
keseringan makan akan mempengaruhi kadar glukosa darah. Self efficacy tentang jenis
makanan yaitu meliputi tidak makan makanan mengandung tinggi karbohidrat, berlemak
dan gula, dan disarankan banyak mengkonsumsi makanan mengandung protein dan dan
vitamin, mengkonsumsi makanan pengganti karbohidrat. Faktanya berdasarkan hasil dari
kuisioner pada pernyataan “saya setiap hari masih mengkonsumsi makanan gorengan dan
sayur bersantan” masih ada 19 dari 30 orang. Self efficacy pasien DM dalam pengelolaan
makan pada penelitian ini yang memiliki hasil baik yaitu pasien mampu mengurangi
asupan gula yang dikonsumsi setiap harinya. Untuk kategori cukup yaitu pasien mampu
memiliki jenis makanan yang boleh dan tidak boleh untuk dikonsumsi seperti sayuran,
ikan dan buah. Untuk hasil kategori yang kurang yaitu pasien DM masih belum bisa
mengendalikan jumlah makanan yang dia konsumsi, seperti makan nasi 1 porsi piring
penuh ditambah mie instan goreng serta pengaturan jadwal makan yang sering diabaikan,
seperti sehari makan lebih dari 3 kali dan ngemil setiap hari. Self efficacy memiliki peranan
yang sangat penting dalam merubah perilaku kesehatan seseorang. Self efficacy erat
hubungannya dengan kepatuhan, termasuk kepatuhan diet pada diabetesi. Semakin baik
self efficacy yang dimiliki seseorang maka semakin baik juga perilaku kesehatannya.
Memberikan kemampuan pada pasien DM terkait dalam menghitung jumlah kalori dan
memakan menu makanan serta motivasi dapat memberi pengaruh untuk lebih memotivasi
diri pasien untuk patuh terhadap pola diet yang dianjurkan (Yaqin et al., 2017).
Aktivitas Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu dari 4 pilar penatalaksanaan DM. Aktifitas fisik
melibatkan pergerakan tubuh yang dapat membuat kontraksi pada muskuloskeletal,
dengan demikian pengeluaran energi akan meningkat. Aktifitas dapat membantu
meningkatkan pencapaian indeks massa tubuh yang normal, membantu mengontrol lemak
dan tekanan darah, dan mengurangi stres. Selain itu, jenis aktifitas fisik, misalnya aerobik,
juga diketahui dapat meningkatkan sensitivitas insulin, kontrol gula darah, dan
menghasilkan perubahan yang baik pada komposisi tubuh. Hal yang harus dipahami oleh
pasien DM mengenai hal-hal yang menghambat aktifitas fisik antara lain keadaan fisik
pasien, lingkungan, psikologis, dan batas/lama waktu aktifitas (American Association of
Diabetes Educators, 2013). Untuk itulah dibutuhkan self-efficacy pada pasien agar dapat
membantu meningkatkan aktifitas fisik pada pasien.
Hasil penelitian Anindita, Diani & Hafifah (2019) didapatkan responden yang patuh
dalam melakukan latihan fisik yaitu sebanyak 22 responden, 15 diantaranyya memiliki
efikasi diri yang baik. Sementara responden yang tidak patuh dalam melakukan aktivitas
fisik yaitu sebanyak 38 responden, 32 diantaranya memiliki efikasi diri yang kurang baik.
Sebagian besar pasien mengatakan bahwa mereka tidak melakukan latihan fisik
dikarenakan cepat merasa lelah dan akibat usia mereka yang bertambah tua serta
menurunnya status kesehatan. Sesuai dengan Majid (2017) yang mengatakan bahwa salah
satu faktor yang berhubungan dengan masih rendahnya latihan fisik pada penderita DM
42
Universitas Esa Unggul
adalah karena faktor usia. Terdapat pula ditemukan pasien yang memiliki efikasi diri yang
kurang baik tetapi patuh melaksanakan latihan fisik, disebabkan oleh faktor lamanya
menderita DM, dimana sebagian besar pasien memnderita DM lebih dari 5 tahun. Pasien
dengan durasi penyakit yang panjang cenderung lebih patuh daripada durasi yang pendek,
hal ini dikarenakan pada durasi penyakit yang pendek pasien masih belum mengalami
komplikasi jangka panjang sehingga pasien lebih santai dalam menjalankan terapi yang
ditentukan (Firdaus, 2014). Lama seseorang menderita DM akan membuatnya memiliki
banyak pengalaman terkait dengan masalah pada penyakit DM dan dengan pengalaman
tersebut membuat penderita lebih patuh dalam mengelola atau menangani penyakitnya
(Notoatmodjo, 2010).
Pengobatan
Hasil penenilitian Pertiwi (2015) dan Agustina (2017) menyatakan adanya
hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan kepatuhan dalam menjalanin
pengobatan pada penderita DM. Dukungan sosial yang lebih besar terutama dukungan dari
pasangan memiliki hubungan dengan kepatuhan dalam pengobatan, juga berfungsi untuk
mengurangi dampak buruk dari stres dan dapat membantu memanajemen penyakit
diabetes. Selain dukungan pasangan faktor lainnya yang mempengaruhi yaitu faktor
terapi, faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi (Pertiwi, 2015). Dalam penelitian
Agustina (2017) juga didapatkan hasil adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi
pasien menyatakan tidak yakin melakukan pengobatan injeksi insulin. Hal ini berkaitan
dengan salah satu dimensi self efficacy yaitu dimensi strenght dan faktor yang
mempengaruhi self efficacy yaitu lingkungan sekitar. Penelitian yang dilakukan
Nurlitahen (2014) tentang “Hubungan antara perceived family support sebagai pengawas
minum obat dan efikasi diri penderita TBC di Bkpm Semarang” menyatakan bahwa
persepsi dukungan keluarga sebagai PMO memberikan sumbangan efektif sebesar 30,3%
terhadap variabel efikasi diri pada penderita TB di BKPM wilayah Semarang. dari
penelitian Amer et al (2018) diantara semua domain didapatkan bahwa tingkat efikasi
yang paling tinggi yaitu ada pada pengobatan, begitupula dengan tingkat kepatuhan
didapatkan kepatuhan terhadap pengobatan lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas
perawatan diri lainnya, dimana efikasi diri yang tinggi dinilai dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan pasien.
Perawatan Kaki
Perawatan kaki merupakan aktivitas harian pasien DM untuk mencegah terjadinya
terjadinya ulkus pada kaki, yang terdiri dari deteksi kelainan kaki diabetes, perawatan kaki
dan kuku serta latihan kaki. Selain berhubungan dengan pengetahuan mengenai perawatan
kaki, perilaku perawatan kaki juga dihubungkan dengan self-efficacy pasien. Menurut
hasil penelitian Purwanti (2014) didapatkan bahwa efikasi diri berhubungan dalam
melakukan perawatan kaki. Efikasi diri yang baik pada pasien DM dalam melakukan
perawatan kaki didukung dengan motivasi pasien yang baik pula. Motivasi merupakan
salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap efikasi diri pasien (Da Silva, 2003).
Pada penellitian Purwanti (2014) didapatkan bahwa responden yang memiliki motivasi
yang kurang disebabkan oleh kurangnya pendidikan kesehatan dari perawat untuk
meningkatkan kesadaran diri responden tentang penyakit DM, penatalaksanaannya dan
komplikasi yang terjadi akibat perawatan yang tidak baik. Akibatnya responden memiliki
43
Universitas Esa Unggul
pengetahuan yang kurang tentang perawatan diri dan tidak mengetahui dengan jelas
tentang tujuan perawatan kaki, serta hasil yang diharapkan. Karena individu yang
memiliki motivasi yang tinggi akan memiliki keyakinan yang baik bahwa dirinya mampu
untuk melakukan suatu tugas atau tindakan tertentu.
5.2 Intervensi Peningkatan Self Efficacy dalam Manajemen Diri Pasien Diabetes
Mellitus
Melihat pentingnya self-efficacy dalam perawatan pasien DM maka peningkatan
self-efficacy pasien sangat dibutuhkan. Berbagai intervensi dilakukan untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalankan perawatan mandiri pasien DM, dan untuk
meningkatkan self-efficacy pasien pada berbagai domain perawatan diri. Salah satu
intervensi yang dapat diberikan adalah pemberian edukasi dan pelatihan bagi pasien.
Pendidikan kesehatan adalah salah satu manajemen penyakit DM (Hinkle, 2014).
Perawat memiliki peranan penting dalam manajemen pasien yaitu membantu pasien
menerima dan melakukan perubahan gaya hidup (perubahan perilaku) untuk mencegah
komplikasi dalam waktu yang lama dengan menjaga kadar gula darah dan kolesterol dalam
tingkat yang normal (Ignatavicius & Workman, 2010; Hinkle & Cheever, 2014 ; Craven &
Hirnle, 2009,). Pernyataan ini didukung oleh Nola J Pender dalam teori keperawatan“
Health Promotion Model” yang menyatakan bahwa perawat merupakan sumber yang dapat
berpengaruh terhadap interpersonal yang dapat meningkatkan atau mengurangi komitmen
pasien untuk terlibat dalam peningkatan perilaku kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh
perawat melalui pemberian pendidikan kepada pasien (Alligood, 2014).
Dari hasil penelitian Ningsih (2016) dinyatakan bahwa intervensi pendidikan
kesehatan dan self efficacy berpengaruh terhadap perubahan perilaku kesehatan berupa
pengetahuan, pola makan, aktivitas fisik, pemeriksaan gula darah dan perawatan kaki.
Dimana terjadi peningkatan skala self efficacy antara sebelum dan sesudah dilakukannya
pendidikan kesehatan. Diaebetes Self Management Education (DSME) salah satu bentuk
intervensi pendidikan kesehatan yang dapat meningkatkan self efficacy pasien DM. Pada
penelitian Rondhianto (2013) penerapan DSME didalam discharge planning memberikan
pengaruh yang signifikan dalam peningkatan self efficacy pasien DM dibandingkan dengan
pemberian discharge planning tanpa menggunakan DSME. Penerapan DSME dalam
pendidikan kesehatan pada penelitian Rondhianto (2013) terbukti terjadi peningkatan skala
self efficacy pada responden yang sebelumnya sebagian responden memiliki tingkat self
efficacy pada kategori sedang setelah dilakukan intervensi menjadi dikategori sangat
tinggi. Menurut Funell (2010) DSME merupakan suatu proses yang memfasilitasi
pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan perawatan mandiri (self care) yang sangat
dibutuhkan oleh penderita diabetes. Selain DSME, intervensi yang dapat meningkatkan self
efficacy pada pasien DM yaitu Self Efficacy Enhancement Intervention Program (SEEIP).
Dalam penelitian Damayanti (2017) Setelah dilakukan intervensi SEEIP terjadi
peningkatan hasil nilai rata-rata DMSES pada pasien DM. Sementara itu ditemukan
intervensi lain yang dapat meningkatkan self efficacy pasien DM yaitu Self Efficacy
Training (SET). Self efficacy training merupakan suatu kegiatan atau pelatihan yang
dilakukan oleh seorang trainer (pelatih) kepada seseorang atau kelompok sehingga
44
Universitas Esa Unggul
seseorang atau kelompok tersebut mampu memiliki keyakinan (belief) terhadap
kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan (Combs & Luthans, 2007). Pada penelitian
Yaqin et al (2017) melakukan penenlitian efek Self Efficacy Training terhadap self efficacy
dan kepatuhan diet diabetesi didaptkan hasil bahwa SET dapat meningkatkan kepatuhan
diet pasien DM melalui peningkatan Self Efficacy, dimana terdapat peningkatan nilai self
efficacy yang mendapatkan pelatihan SET dengan metode peer support group.
45
Universitas Esa Unggul
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Manajemen diri merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan oleh pasien
DM. Manajemen diri pada pada pasien DM terdiri dari kontrol gula darah,
pengaturan diet, pengobatan, aktivitas fisik dan perawatan kaki. Salah satu
faktor yang mendukung efektifitas pelaksanaan self-management tersebut
adalah self-efficacy. Hal ini juga akan mendukung tercapainya hasil yang baik
dalam pelaksanaan perawatan diri pada berbagai domain. Meningkatkan self
efficacy merupakan tindakan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat. Salah
satu cara yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi mengenai
perawatan diri pasien DM yang sebelumnya telah dikaji tingkat selfefficacynya. Hal ini merupakan intervensi yang dapat dilakukan dan
diintegrasikan pada layanan kesehatan.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Institusi
Hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai tambahan ilmu
pengetahuan serta sumber pelajaran bagi mahasiswa dalam memahami
tentang self efficacy pasien DM terhadap self management.
6.2.2
Bagi Pelayanan Kesehatan
Bagi pelayanan kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan
serta asuhan keperawatan dalam hal pemberian edukasi mengenai self
efficacy untuk meningkatkan keyakinan diri pasien DM untuk
melakukan self management yang baik.
6.2.3
Bagi Peneliti Lain
Saran kepada peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian
dengan pendekatan systematic review dan meta-analisis sehingga dapat
di indentifikasi efektivitas dari self efficacy terhadap peningkatan self
management pada pasien Diabetes Mellitus.
46
Universitas Esa Unggul
DAFTAR PUSTAKA
(IDF), I. D. F. (2019). Idf diabetes atlas.
Agustina, D. F. (2017). Hubungan antara self-efficacy dengan kepatuhan
pemakaian insulin secara mandiri pada pasien dm di rumah sakit baptis batu.
Dm.
Al-Khawaldeh, O. A., Al-Hassan, M. A., & Froelicher, E. S. (2012). Self-efficacy,
self-management, and glycemic control in adults with type 2 diabetes mellitus.
Journal of Diabetes and Its Complications, 26(1), 10–16.
https://doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2011.11.002
Amer, F. A. M., Mohamed, M. S., Elbur, A. I., Abdelaziz, S. I., & Elrayah, Z. A.
B. (2018). Influence of self-efficacy management on adherence to self-care
activities and treatment outcome among diabetes mellitus type 2 sudanese
patients.
Pharmacy
Practice,
16(4),
1–7.
https://doi.org/10.18549/PharmPract.2018.04.1274
Anindita, Diani, & Hafifah. (2019). Hubungan efikasi diri dengan kepatuhan
melakukan latihan fisik pada pasien diabetes militus tipe 2. Nusantara Medical
Science Journal, 4(1), 1–6.
Betteng, Pangemanan, M. (2014). Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya
Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Wanita Usia Produktif Dipuskesmas Wawonasa.
Jurnal E-Biomedik, 2(2). https://doi.org/10.35790/ebm.2.2.2014.4554
Damayanti, S. (2017). EFEKTIVITAS (SELF-EFFICACY ENHANCEMENT
INTERVENTION PROGRAM (SEEIP) TERHADAP EFIKASI DIRI
MANAJEMEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 Santi Damayanti *). Jurnal
Keperawatan
Respati
Yogyakarta,
4(2),
148–153.
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index
Fiedler, B. A. (2018). Translating national policy to improve environmental
conditions impacting public health through community planning. Translating
National Policy to Improve Environmental Conditions Impacting Public
Health
Through
Community
Planning,
84(2),
1–312.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-75361-4
Firmansyah, M. R. (2018). Volume 1, Nomor 1, Februari 2018 M. Ramadhani
Firmansyah. 1, 1–7.
Handayani, N. K. D. T., Putra, P. W. K., & Laksmi, I. A. A. (2019). Efikasi Diri
Berhubungan dengan Kepatuhan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes
Melitus di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng III. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
47
Universitas Esa Unggul
Kesehatan, 7(1), 28–38. https://doi.org/10.32668/jitek.v7i1.194
Imelda, S. I. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya diabetes
Melitus di Puskesmas Harapan Raya Tahun 2018. Scientia Journal, 8(1), 28–
39. https://doi.org/10.35141/scj.v8i1.406
Katuuk, M. E., & Kallo, V. D. (2019). Hubungan Motivasi Dengan Efikasi Diri
Pada Pasien Dengan Diabetes Melitus Tipe Ii Di Rumah Sakit Umum Gmim
Pancaran Kasih Manado. Jurnal Keperawatan, 7(1).
Kumala, Mustamiah, & Aquarisnawati. (2016). Jurnal poseidon. 10.
Malayanita, R. (2017). Self Efficacy in Patients with Diabetes Mellitus
Management Healthy Eating In UPTD Sananwetan District of Blitar Town.
Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 4(3), 260–267.
https://doi.org/10.26699/jnk.v4i3.art.p260-267
Ngurah, I. G. K. G., & Sukmayanti, M. (2014). Efikasi Diri pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar, 21.
Ningsih, O. S. (2016). Pengaruh Intervensi Pendidikan Kesehatan dan Self Efficacy
terhadap Perubahan Perilaku Kesehatan dan Kadar Gula Darah pada Pasien
DM di Kabupaten Manggarai, NTT. Wawasan Kesehatan, 1(2), 107–125.
Nurhayani, Y. (2017). Gambaran Efikasi Diri Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe
II Di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon. Journal of Chemical
Information
and
Modeling,
53(9),
1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Panadero, E., Jonsson, A., & Botella, J. (2017). Effects of self-assessment on selfregulated learning and self-efficacy: Four meta-analyses. Educational
Research Review, 22, 74–98. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2017.08.004
PERKENI. (2015). Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2
Di
Indonesia
2015.
In
Perkeni.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://pbperkeni
.or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-danPencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI2015.pdf&ved=2ahUKEwjy8KOs8cfoAhXCb30KHQb1Ck0QFjADegQIBh
AB&usg=AOv
Pertiwi, I. (2019). Gambaran Self Efficacy Peserta Prolanis pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe II di Puskesmas Gamping 2 Sleman Yogyakarta. 1–15.
Purwanti, L. E. (2014). Hubungan Motivasi Dengan Efikasi Diri Pasien Dm Tipe 2
Dalam Melakukan Perawatan Kaki Di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo
Utara.
Gaster,
11(2),
68–77.
http://www.jurnal.stikes48
Universitas Esa Unggul
aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/viewFile/71/66
Riset Kesehatan Dasar. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 1–100. https://doi.org/1 Desember 2013
Rondhianto. (2013). Keterkaitan Diabetes Self Management Education Terhadap
Self Efficacy Pasien Diabetes Mellitus. Jurnal Keperawatan, 1(1), 216–229.
Tamansari, J., No, G., Tamansari, K., & Tasikmalaya, K. (2018). ARSA (Actual
Research Science Academic). 3(1).
Wendling, S., & Beadle, V. (2015). The relationship between self-efficacy and
diabetic foot self-care. Journal of Clinical and Translational Endocrinology,
2(1), 37–41. https://doi.org/10.1016/j.jcte.2015.01.001
Wibisono. (2017). Pendekatan Klinis Dan Diagnosis Sindrom Cushing (Issue
April).
Wicaksono. (2011). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN DIABETES MELITUS TIPE 2 UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2011. 2.
Wijaya, I. (2015). Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Cdk-229,
42(6), 412–417.
World Health Organization. (2016). Global Report on Diabetes. Isbn, 978, 6–86.
http://www.who.int/about/licensing/copyright_form/index.html%0Ahttp://w
ww.who.int/about/licensing/copyright_form/index.html%0Ahttps://apps.who
.int/iris/handle/10665/204871%0Ahttp://www.who.int/about/licensing/
Yao, J., Wang, H., Yin, X., Yin, J., Guo, X., & Sun, Q. (2019). The association
between self-efficacy and self-management behaviors among Chinese patients
with
type
2
diabetes.
PLoS
ONE,
14(11),
1–12.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0224869
Yaqin, A., Niken, S., Dharmana, E., Magister, M., Fakultas, K., Diponegoro, U.,
Pengajar, S., Keperawatan, D., Kedokteran, F., Diponegoro, U., Pengajar, S.,
Kedokteran, F., & Diponegoro, U. (2017). Efek Self Efficacy Training
Terhadap Self Efficacy Dan. Jurnal Ilmu Kesehatan, 1(1), 1–10.
http://ojshafshawaty.ac.id/index.php/jikes/article/view/45/1
49
Universitas Esa Unggul
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1. Riwayat Hidup Penulis
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Data Pribadi
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Agama
Status
Alamat
Melayu Timur,
: Hasni Nurhasanah
: Tangerang/16 Mei 1998
: Perempuan
: Islam
: Belum Menikah
: Komplek Mutiara Garuda Blok C 12 No 28, Kp.
Teluknaga, Tangerang, 15510.
: 08557892757 / 087842061916 (WA)
No Handphone
Riwayat Pendidikan
Riwayat
Pendidikan
Nama Institusi
Jurusan
Tahun MasukLulus
Pendidikan Formal
SD
SD Negeri 1 Kampung
Melayu Timur
Umum
2004 - 2010
SMP
SMP Negeri 1 Teluknaga
Umum
2010 - 2013
SMK
SMK Yayasan Pendidikan
Karya Tangerang
Keperawatan
2013 - 2016
Keperawatan
2016 - 2020
Perguruan
Tinggi
Universitas Esa Unggul
Pendidikan Non Formal
50
Universitas Esa Unggul
Les Privat
(Kursus
Bahasa
Inggris)
Practical Education
Center (PEC)
Umum
2009 - 2010
Pengalaman Organisasi
Nama Organisasi
Nama Institusi
Jabatan
Tahun
SMP Negeri 1 Teluknaga
Anggota
2011 - 2012
SMK Yayasan Pendidikan
Karya Tangerang
Sekretaris
2014 - 2015
Himpunan Mahasiswa
Jurusan
Universitas Esa Unggul
Wakil
Ketua
2017 - 2018
Ikatan Lembaga
Mahasiswa Ilmu
Keperawatan Indonesia
(ILMIKI)
Organisasi nasional
Anggota
2017 - 2019
Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS)
Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS)
Semua data yang tercantum dalam biodata ini adalah benar, dan dapat
dipertanggung jawabkan. Bila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidaksamaan
dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Atas perhatiannya saya
ucapkan terimakasih.
Jakarta, Agustus 2020
Penulis,
Hasni Nurhasanah
20160303020
51