HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA Secara global, pembagian hadits dengan melihat jumlah rawi yang meriwayatkannya pada setiap thabaqât (tingkatan) sanad dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Selanjutnya hadits mutawatir dibagi lagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits gharib, hadits aziz, dan hadits masyhur. A. Hadits Mutawatir Pengertian Hadits Mutawatir Secara bahasa, kata mutawatir dapat berarti mutatâbi, yaitu sesuatu yang datang beriringan antara satu dengan yang lainnya tanpa adanya jarak seperti turunnya air hujan.23 Sedangkan secara istilah, hadits mutawatir dapat didefinisikan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, hal itu seimbang dari permulaan sanad hingga akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan pada setiap thabaqat.24 Sedangkan menurut Dr. Mahmud Thahan, yang dimaksud dengan hadits mutawatir adalah: ی ددع روا ه ما ال كذب ع ىل ت واط ؤهم أل عاد ه ت ح يل گ ر "Hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi, yang menurut kebiasaan A. Shalahuddin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 126. Ahmad bin Muhammad Fayumi, Al-Mishbahul Munir fi Gharibis Syarhil Kabir lir Rahim, juz II (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1398 H.), hlm.321. Dr Ali Al-Khatib, Ushulul Hadits 'Ulumuha wa Mushthalahuhu (Beirut: Darul Fikr, 1981). hlm. 301. 23 mereka tidak mungkin bersepakat te dak mungkin bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta (mengadakan hadits tersebut). Syarat-syarat Hadits Mutawatir Ada perbedaan pendapat, baik di kalangan ulama mutaqaddimin (terdahulu) maupun mutaakhkhirin (belakangan) tentang syarat-syarat hadits mutawatir. Menurut ulama mutakadimin bahwa hadits mutawatir kan syarat-syarat tertentu. Sebab, hadits mutawatir tidak! termasuk ke dalam pembahasan ilmu isnad hadits. Ilmu ini lebih banyak membicarakan shahih atau tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidak, dan juga membicarakan adil dan tidaknya rawi. Sedangkan dalam hadits! mutawatir tidak dibicarakan masalah-masalah tersebut. Jika suatu hadits diketahui berstatus sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandunganya dan tidak boleh ada keraguan. Berbeda dengan ulama mutakadimin, bagi ulama muta'akhirin dan ahli usul, suatu hadits dapat disebut hadits mutawatir, apabila hadits tersebut memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: a. Diriwayatkan oleh banyak rawi Sesuai dengan definisi hadits mutawatir, syarat pertama hadits tersebut harus diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi. Ada perbedaan di kalangan para ulama tentang jumlah ini. Ada yang menetapkan dengan jumlah nominal tertentu dan ada yang tidak menentukan secara tertentu, yang terpenting adalah jumlah tersebut menurut kebiasaan dapat memberikan keyakinan bahwa mereka mustahil bersepakat untuk berbuat dusta. Sedangkan ulama yang menetapkan jumlah nominal tertentu berbeda pendapat, berapa jumlah rawi yang bisa mencapai ketentuan tidak berbohong. Ada yang berpendapat bahwa jumlah rawi hadits mutawatir minimal empat orang. Kesimpulan ini dianalogikan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk memberikan vonis kepada terdakwa dalam masalah zina. Mahmud Thahan. Taisir Musthalah Hadits (Riyadh Maktabah Al-Ma'arif, 1996), hlm 18 d Nor Ichwan Studi Ilmu Hadis (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm. 101 25 Menurut Imam Suyuthi pendapat yang terpilih tentang jumlah minimal dalam hadits mutawatir adalah sepuluh orang rawi, sebab bilangan sepuluh merupakan batas minimal jamak taksir katsrah.27 b. Jumlah yang banyak tersebut ada pada semua thabaqat sanad. c. Adanya keyakinan bahwa mereka tidak berdusta. Syarat ini masih terkait dengan syarat yang disebutkan pertama di atas. Bahwa jumlah rawi yang banyak, pada umumnya tidak memungkinkan mereka untuk bersepakat dusta atas suatu berita. d. Berita yang disampaikan harus didasarkan pada tangkapan indra, harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, informasi yang didasarkan pada hasil pemikiran akal (logika), tidaklah disebut dengan mutawatir. Misalnya, informasi tentang! barunya alam semesta. Kesimpulan ini didasarkan pada penalaran akal bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baru, karena alam semesta ini bisa rusak, maka ia baru. Pengetahuan yang didasarkan pada pengetahuan indra ini, dalam سم ع نا,(kami melihat) ; رأي ناhadits biasanya ditandai dengan lafazh (kami mendengar), 3 (kami memegang), dan sebagainya.28 Pembagian hadits mutawatir Para ahluhadits membagi hadits mutawatir menjadi dua: 1. Mutawatir lafdzi Hadits mutawatir lafzhi adalah: وم ع نا ه ل ف ظ ه ت وات ر ما "Hadits yang lafazh dan maknanya mutawatir.” Maksudnya, hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi, di mana susunan redaksi lafazh dan maknanya sama, antara riwayat satu dengan yang lainnya. Misalnya hadits tentang larangan membuat hadits palsu berikut ini: 27 Suyuthi, Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi (Beirut: Darul Fikr. 1409 H./1988 M.), hlm. 352. Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Hadits, Riyadh: Maktabah Al-Ma'arif, 1996. hlm. 20 28 اال ر من م ق عد ه ف ل ي ت بوأ م ع تمدا ع ىل ک ذب من “Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka bersiaplah berdiri menempati neraka.” (HR. Muslim) Hadits ini telah disampaikan oleh 73 sahabat dengan redaksi yang sama.29 2. Mutawatir maknawi Hadits mutawatir maknawi adalah: ل ف ظ ه دون م ع نا ه ت وات ر ما "Hadits yang mutawatir maknanya saja, tidak lafazhnya. Maksudnya hadits yang banyak diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda, namun berbicara dalam satu tema (mempunyai makna yang sama). Misalnya hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits tentang mengangkat tangan ini disampaikan dalam banyak periwayatan dan redaksinya berbeda-beda. Tetapi, semuanya berbicara tentang tema yang sama, yaitu “mengangkat tangan”. Perhatikan beberapa hadits berikut: Mengangkat tangan ketika berdoa dalam shalat Istisqa': “Anas bin Malik berkata: Nabi tidak mengangkat tangan ketika doa kecuali dalam doa Istisqa'. Dan sesungguhnya beliau mengangkat tangan hingga terlihat warna putih ketiaknya.” (HR. Bukhari) Hadits lainnya yang semakna: "Yahya bin Said mendengar Anas bin Malik berkata: Pada hari Jumat, seorang Arab badui (pedesaan) datang kepada Rasulullah seraya berkata: 'Wahai Rasulullah, telah binasa binatang-binatang ternak, keluarga, dan masyarakat (karena dilanda kekeringan). Maka Rasulullah mengangkat kedua tangannya seraya berdoa (memohon turun hujan). Dan orang-orang juga mengangkat tangan memohon 29 ibid (turun hujan) bersama Rasulullah. Anas berkata: 'Kami keluar masjid dan turunlah hujan." (HR. Bukhari) Mengangkat tangan ketika berdoa: Abu Musa Al-Asy'ari berkata: "Nabi berdoa, dan beliau mengangkat kedua tangan dan aku melihat putih kedua ketiak beliau." (HR. Bukhari) Dan banyak lagi hadits lain tentang disunahkannya mengangkat tangan. Kebanyakan redaksinya berbeda, tetapi berbicara tentang disunahkannya mengangkat tangan ketika berdoa. Selain mutawatir lafzhi dan maknawi, di antara ulama hadits, ada yang menambahkan jenis yang ke tiga, yaitu mutawatir 'amali. Mutawatir amali adalah hadits mutawatir yang terkait dengan perbuatan Rasulullah yang disaksikan dan dicontoh oleh para sahabat, diteruskan juga oleh generasi setelahnya dengan tanpa ada perbedaan. Di antara contohnya adalah haditshadits yang berkenaan dengan pelaksanaan waktu-waktu shalat fardhu, jumlah rakaatnya, shalat Jenazah, shalat Id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan kadar zakat mal (harta).30 Kedudukan Hadits Mutawatir Dengan adanya beberapa syarat dalam hadits mutawatir, misalnya harus diriwayatkan oleh banyak rawi dan tidak mungkin berbohong maka hadits mutawatir dapat memberikan faedah ilmu dharuri. Yakni suatu keharusan untuk membenarkan dan mengamalkan isinya sesuai dengan yang diberitakan, sehingga membawa pada keyakinan yang qath'i (pasti). Ini berarti, hadits yang diriwayatkan secara mutawatir seluruhnya maqbul dan tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Karenanya, para rawi yang menyampaikan hadits mutawatir ini tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya (adalah dan dhabt). 30 Zuhdi, Mengenal Ilmu Hadits, (Jakarta: Al-Ghuraba, 2009 M.) hlm. 108 31 Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah Al-Ma'arif, 1996) hlm. 20. B. Hadits Ahad Pengertian Hadits Ahad Ahad menurut bahasa mempunyai arti satu, Dan khabarul Wahid adalah Khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadits ahad menurut istilah: َ ََ واتر ت َر َو َر َُ َع َم َج ل َم َما المت ل Hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. Hadits ahad terbagi menjadi tiga macam: masyhur, aziz, dan gharib.22 Kedudukan Hadits Ahad Bila hadits mutawatir bisa dipastikan sepenuhnya berasal dari Nabi maka tidak demikian halnya dengan hadits ahad. Dengan kata lain, kebenarannya masih bersifat zhannt (diduga dari Nabi ). Maka hadits ahad perlu diteliti, apabila terpenuhi syarat-Syarat qabil (penerimaan) yang telah ditentukan oleh para ulama hadits maka dia termasuk hadits yang maqbul. Namun apabila tidak terpenuhi syarat-Syarat tersebut maka ia masuk kategori hadits yang mardud. Dengan demikian, hadits ahad dari segi kualitasnya, ada yang shahih, hasan, dan dhaif sebagaimana akan dijabarkan pada bab berikutnya. Peinbagian Hadits Ahad Berdasarkan pengertian hadits ahad yang telah dijelaskan sebelumnya maka bisa dipahami, batasan rawi dalam hadits ahad tidak lebih dari sepuluh rawi, karena menurut pendapat yang dipilih Imam Suyuthi, batas minimal dalam hadits mutawatir adalah sepuluhrawi, Daripengertian inilah, kemudian hadits ahad itu dibagi tiga: hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib. a. Hadits Masyhur Menurut bahasa, masghar adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer, 32 Syaikh Manna Al-Qathan, Mabahis fi Ulamil Hadits, Terj. Mindhol Abdurrahman (alo Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 113. Adapun menurut istilah: "Hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih, pada tiap thabagat sanad, namun tidak mencapai derajat mutawatir."33 Hadits masyhur disebut juga dengan nama mustafidh. Di tengah-tengah masyarakat, kita sering mendengar istilah hadits masyhur, tapi yang dimaksud adalah masyhur secara bahasa yang berarti populer, bukan yang berarti hadits yang memiliki tiga jalur periwayatan. Sehingga, apabila kita periksa ternyata ada yang memiliki banyak jalur periwayatan, ada yang dua, satu, bahkan ada yang tidak memiliki sanad atau palsu. Seperti hadits: "Barang siapa mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya. Hadits ini masyhur di kalangan sufi. Namun, oleh para ulama menganggapnya sebagai hadits yang bathil karena tidak diketahui sumbernya sama sekali. Bahkan menurut Imam Suyuthi, hadits ini maudhu (palsu). b. Hadits Aziz Pengertian Hadits Aziz Secara bahasa, kata 'aziz berasal dari 'azza - ya'izzu' yang berarti:'qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Ada juga yang menyebutkan bahwa kata 'aziz berasal dari kata 'azza - ya'azzu, yang berarti 'qawiya atau isytadda (kuat)'34. Sehingga hadits aziz secara bahasa dapat didefinisikan sebagai 'hadits yang mulia, hadits yang kuat, hadits yang sedikit, atau jarang sekali 33 Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah Al-Ma'arif, 1996), hlm. 22. 34 Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Al-Manhalul Latifu fi Ushulil Haditsisy Syarif. Cet. Keempat (Matabi Sihr, 1402 H/1982 M.), hlm. 95. Adapun menurut istilah: ال ش ند ط ب قات جم يج نف اث ن ر ن ي عن روا ه ُ قل ال أن ي "Hadits yang jumlah rawi dalam setiap thabagat sanadnya tidak kurang dari dua rawi.935 Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits aziz bukan saja hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqatnya. Jadi, meskipun pada beberapa thabagat diriwayatkan oleh banyak rawi namun salah satu tahabaqatnya diriwayatkan oleh dua rawi maka ia tetap disebut hadits aziz. Contoh hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, juga diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi: واال ی ووال د ه ول د ه من إل ي ه أحب أك ون ىك أحد ي ؤمن ال أجم ع ر ن ي "Tidaklah beriman salah satu di antara kalian, hingga aku lebih ia cintai daripada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini diterima oleh Abu Hurairah dan Anas bin Malik dari Rasulullah, kemudian Anas meriwayatkan kepada Qatadah dan Abdulaziz bin Suhaib. Selanjutnya Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu'bah dan Husain Al-Mualim. Sedang van dari Abdulaziz diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Abdulwaris dan Ismail bin Ulaiyah. Seterusnya dari Husain diriwayatkan oleh Yahya bin sa'id dan dari Syu'bah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Ja'far dan juga Yahya bin Sa'id. Sedang dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb. Dan dari Abdulwaris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abu Syaiban. Dari Yahya diriwayatkan oleh Musadad. Dan dari Ja'far diriwayatkan oleh Ibnu Mutsanna dan Ibnu Basyar, sampai kepada Bukhari dan Muslim. 35 Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah Al-Ma'arif, 1996), hlm. 26 c. Hadits Gharib Pengertian Hadits Gharib Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangka secara istilah: واجد او ب رواي ت ه ي ن فرد ما "Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi."36 | Keadaan seperti ini tidak disyaratkan dalam setiap thabaqat sanadnya. akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Bila dalam tingkatan yang lain jumlah rawinya lebih dari satu maka itu tidak! mengubah statusnya (sebagai hadits gharib) selama pada salah satu tingkatan sanadnya terdapat periwayatan dengan satu rawi. Sebagian ulama juga menyebut jenis hadits ini dengan nama lain, yaitu hadits fard. Pembagian Hadits Gharib Hadits gharib dilihat dari letak kesendirian rawinya terbagi menjadi dua macam: 1) Gharib mutlaq, di sebut juga fard mutlaq, yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanadnya (sahabat). Misalnya hadits nabi: ب ال ن يات األع مار إن ما “Sesungguhnya setiap perbuatan itu bergantung dengan niatnya” Hadits diriwayatkan oleh Umar sendirian. Kriteria hadits gharib mutlaq ini adalah apabila hadits tersebut diriwayatkan oleh seorang sahabat sendirian, meskipun setelahnya diriwayatkan beberapa rawi. 2) Gharib nisbi, disebut juga fard nisbi, yaitu apabila kesendirian (gharabah) periwayatan terjadi pada pertengahan sanad, bukan pada asal sanad. 36 Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits (Riyadh: Maktabah Al-Ma'arif, 1996), hlm. 128.