Uploaded by habibisfyn98

cara berijtihad

advertisement
Cara - cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain
sebagai berikut :
a. Qiyas = reasoning by analogy.
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan
oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah
diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh :
Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9;
َّ ‫ص ََل ِة ِمن َي ْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا إِلَى ِذ ْك ِر‬
َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نُودِي ِلل‬
ِ‫َّللا‬
َ ‫َوذَ ُروا ْالبَ ْي َع ذَ ِل ُك ْم‬
}9/‫خي ٌْر لَّ ُك ْم إِن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمونَ {الجمعة‬
seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya
perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan
Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita
berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat
Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat
mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23;
seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul,
menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap
hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw
pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu
ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah
melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam
keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang
berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah
puasamu.
b. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif.
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah
ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang
kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-
Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu
kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan
untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma
tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi
termasuk para ulamanya.
c. Istihsan = preference.
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas
dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain.
Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau
disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas
pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih
salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang
lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.
d. Mashalihul Mursalah = utility,
yaitu
menetapkan
hukum
terhadap
sesuatu
persoalan
ijtihadiyah
atas
pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan
antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar
kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum,
sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan
tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.
2.9 Syarat Mujtahid
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi
sebagai berikut:
Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
1. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
2. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
3.
Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh,
muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya
4. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
5. Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits
6. Mengetahui bahasa arab
7. Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
8. Mengetahui usul fiqih
9. Mengetahui maksud-maksud sejarah
10. Mengenal manusia dan alam sekitarnya
11. Mempunyai sifat adil dan taqwa
syarat tambahan :
12. Mengetahui ilmu ushuluddin
13. Mengetahui ilmu mantiq
14. Mengetahui cabang-cabang fiqih
Syarat-syarat untuk menjadi seorang Mujtahid
pertama, menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghahnya
karena Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin orang akan memahami AlQur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.
Kedua, menguasai dan memahami Al-Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan
menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Contohnya, do’a
terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang menyatakan bahwa berdo’a kepada
orang mati, bersedekah dan membaca Al-Qur’an tidak berguna dengan dalil.
}39/‫س َعى {النجم‬
َ ‫ان إِ ََّّل َما‬
َ ‫ْلن‬
َ ‫َوأَن لَّي‬
ِ ْ ‫ْس ِل‬
ِ ‫س‬
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 39)
Hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat yang menyuruh kita mendo’akan orang
mati. Dalam ayat lain tercantum:
‫س َبقُونَا‬
َ َ‫َوالَّذِينَ َجاؤُوا ِمن بَ ْع ِد ِه ْم َيقُولُونَ َربَّنَا ا ْغ ِف ْر لَنَا َو ِ ِِل ْخ َوانِنَا الَّذِين‬
‫ُوف َّر ِِي ٌم‬
ٌ ‫اِلي َما ِن َو ََّل تَ ْجعَ ْل فِي قُلُوبِنَا ِغ اَل ِللَّذِينَ آ َمنُوا َربَّنَا ِإنَّ َك َرؤ‬
ِ ْ ‫ِب‬
}10/‫{الحشر‬
“Orang-orang yang datang setelah mereka berkata, yaa Allah ampunilah kami dan
saudara kami yang telah mendahului kami dnegan beriman.” (Al-Hasyr: 10)
Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku umum atau ‘aam (‫ )عام‬dan yang khusus
atau khas (‫ ;)خاص‬yang mutlak (tanpa kecuali) dan yang muqayyad (yang terbatas); yang
nasikh (hukum yang mengganti) dan yang mansyukh (hukum yang diganti); dan
asbaabun nuzul (sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam memahami ayat tersebut.
Ketiga, menguasai Hadits Rasulullah SAW baik dari segi riwayat hadits untuk
dapat membedakan antara hadits yang shahih dan yang dlaif. Mengapa harus menguasai
hadits? Karena yang berhak pertama kali untuk menjelaskan Al-Qur’an adalah Rasulullah
SAW, maka apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan menarik kesimpulan suatu
hukum bertentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad tersebut tidak dapat
dibenarkan artinya bathil.
ُّ ‫ت َو‬
‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَعَلَّ ُه ْم‬
ِ ‫الزبُ ِر َوأَنزَ ْلنَا إِلَي َْك‬
ِ ‫بِ ْالبَيِنَا‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلتُبَيِنَ ِللن‬
}44/‫َيتَفَ َّك ُرونَ {النحل‬
“Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al-Qur’an) supaya engkau terangkan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka
memikirkan.” (An-Nahl: 44)
َّ ‫َّللاَ إِ َّن‬
َّ ‫ع ْنهُ فَانتَ ُهوا َواتَّقُوا‬
ُ‫يدِيد‬
َ َ‫َّللا‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫َو َما آتَا ُك ُم‬
َ ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم‬
}7/‫ب {الحشر‬
ِ ‫ْال ِعقَا‬
“Dan apa yang Rasul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasul
larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya
Allah keras siksa-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Keempat, mengetahui Ijma’ (kesepakatan hukum) Para Sahabat. Supaya kita
dalam menentukan hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh
sahabat, karena mereka yang lebih mengetahui tentang syareat Islam. Mereka hidup
bersama Nabi dan mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan datangnya hadits.
Kelima, Mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bisa dijadikan
hukum (
‫ )العادة محكمه‬selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ijtihad pada zaman Nabi SAW tidak diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai
persoalan langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi langsung menjawab.
Ijtihad diperlukan setelah Nabi wafat karena permasalahan selalu berkembang.
Sejak abad ke II dan ke III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah mulai perumusan
hukum, diantaranya hasil dari Al-Madzahibul–Arba’ah baik dalam ibadah maupun
mu’amalah. Dan telah diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul Fiqih yang mampu
memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini adalah
periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad. Walaupun, jika berijtihad itu
hanya akan menghasilkan barang yang sudah berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’, bila
ada ijtihad, maka tidak akan keluar dari pendapat madzab empat atau al-madzhibul
arba’ah.
Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup mutlak. Tentu tidak. Dalam masalah-masalah
yang berkembang baru di abad teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lainlain, ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu
dalam ilmu Ushul Fiqih.
Download