Uploaded by jea

Eksistensi lembaga perwakilan rakyat

advertisement
Eksistensi lembaga perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam
konteks sistem demokrasi merupakan sesuatu yang amat penting. DPR merupakan
representasi lembaga yang menyuarakan atau mengagregasi dan mengartikulasi
kepentingan publik, perlu dibentuk dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat. Di
samping itu DPR merupakan salah satu pilar demokrasi bagi negara yang berdasarkan atas
kedaulatan rakyat. DPR sebagai institusi keterwakilan politik (political representation)
berfungsi melakukan transformasi aspirasi rakyat melalui proses-proses politik yang
diperjuangkannya guna mencapai keputusan politik yang dijamin oleh konstitusi. Dominasi
kekuasaan politik di DPR tidak serta merta bersih dari penyalahgunaan kekuasaan. Oleh
karena itu, kekuasaan DPR sebagai wujud dari kedaulatan politik, selain harus dibatasi
sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan negara (trias politica) sebagaimana dipelopori
oleh Montesquieu, juga harus sesuai dengan aturan dalam konstitusi.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat Indonesia, DPR kembali melakukan tindakan
yang mendapat kritikan dari berbagai pihak. Pada 12 Februari 2018, DPR
mengesahkan Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang memuat sejumlah
pasal yang mencoreng prinsip demokrasi. Pihak pemerintah yang dalam proses
pembahasan diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM juga bersikap
mengecewakan dengan menyetujui materi kontroversial dalam Revisi UU MD3
Adapun perdebatan dari berbagai kalangan mengenai perevisian uu MD3 yaitu
mengenai 3 pasal didalamnya yaitu:
Pertama, Pasal 73 ayat 4, yang mewajibkan kepolisian untuk memaksa lembaga atau orang
untuk memenuhi panggilan DPR. Bunyi pasal tersebut, “Dalam hal pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR
berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pasal 73 berisikan tentang penambahan kata “wajib” dalam hal
pemaksaan paksa oleh penegak hukum terkait pihak yang hendak diperiksa DPR.
Bahkan dalam pasal tersebut berisi pemaparan Jika pihak yang menolak hadir
untuk diperiksa DPR paling lama 30 hari maka polisi berhak menyandra pihak
tersebut.
Ini akan merusak sistem penegakan hukum di Indonesia. Dalam sistem penegakan
hukum yang pro justitia, penahanan terhadap seseorang hanya dapat dilakukan jika
sudah terdapat dua alat bukti yang mengarahkan bahwa seseorang tersebut adalah
pelaku tindak pidana. Penahanan juga mesti dikuatkan dengan tiga alasan objektif
lainnya: 1) Ada kekhawatiran tersangka akan mengulangi tindak pidana yang
sama; 2) Tersangka akan menghilangkan atau merusak alat bukti; 3) Tersangka
akan melarikan diri. Selain itu, penahanan hanya dapat dilakukan terhadap orang
yang diancam sanksi pidana 5 tahun atau lebih. Lalu, penyanderaan yang
diperintahkan kepada Kepolisian terhadap orang yang menolak dipanggil oleh
DPR ini ada di posisi dan status hukum yang seperti apa? Ini tentu ketentuan yang
sangat keliru.
Kedua, satu pasal revisian lainnya, Pasal 122, juga tak lepas dari pergolakan prokontra. Sebenanya dari perevisian UU MD3 pasal inilah yang kerap menjadi
kritikan utama disamping dua pasallainnya. Melalui pasal ini dibangun sebuah
aturan baru bahwa MKD (Majlis Kehormatan DPR) bertugas mengambil langkah
hukum dan atau langkah lain teradap orang yang merendakan kehormatan DPR
dan anggota DPR.
Mengutip salah satu pendapat yaitu Direktur Institute for Transformation Studies (Intrans)
Andi Saiful Haq yang mengkritik munculnya Pasal 122 ini dalam Undang-Undang tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3) yang baru saja disahkan pemerintah dan DPR. Pasal tersebut
mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau
langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Menurut Andi "Pasal ini berpeluang menjadi
pasal karet untuk membungkam kritikan dengan delik sebagai tindak pidana,"
Saya setuju dengan pendAPAT INI karena Dpr yang sejatinya merupakan wakil rakyat, yang
wajib menerima segala aspirasi maupun kritik dari rakyat, ibarat kata rakyat adalah majikan, hal
dapat dikatakan pula sebagai sebenar-benarnya pemimpin dan DPR adalah pelayan
publik.Pasall ini bertentangan sekalai dengan fungsi dan tuga sutama dari DPR yang anti akan
kritik Apabila rakyat, organisasi dilarang menyuaraka hal yang berkaitan dengan kinerja
anggota dewan jadi apa peran dari tlrakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apabila oknum anggota dewan melakukan kinerja yang tidak sesuai atau melenceng dari
keppentingan rakyat dan lebih condong pada kepentingan pribadi maka rakyat berhak untuk
mempertanyakan melalui kritikan-kritikan secara langsung maupun tidak langsung. Kinerja
wakil rakyat selama ini masih mebjadi sorotan publik dengan berbagai kasus mulai dari yang
kecil hingga yang besar. Sebuah lembaga maupun institusi yang berhububgan langsung
dengan masyarakat harusnya tidak takut untuk dikritik oleh rakyat. Anggota dewan tersebut
bisa duduk manis dikursi DPR karena dipilih oleh rakyat untuk menyuarakan suara-suara
rakyat. sudah ada pembatas antara rakyat dan wakil rakyat maka hal ini tidak relevan dengan
demokrasi yang kita anut.
Ketiga, pasal 245 berisikan perihal pemeriksaan anggota DPR yang harus melewati
pertimbangan MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) terlebih dahulu sebelum
dilimpahkan ke presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.
Pemeriksaan dan permintaan dari penegak hukum terhadap anggota DPR harus
yang melalui pertimbangan MKD sebelum izin presidenmerupakan bentuk
perlawanan terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014. Dalam putusan ini,
disebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu mengajukan izin atau
pertimbangan kepada MKD, melainkan cukup kepada presiden. Kemungkinan
perluasan terhadap pertimbangan MKD untuk permintaan keterangan terhadap
penegak hukum terhadap anggota DPR justru akan berdampak pada terhambatnya
proses penegakan hukum, dan membuat ketidaksamaan perlakukan negara
terhadap setiap warga negara di hadapan hukum.
Download