Uploaded by User22244

PENERAPAN ASAS LEGALITAS PASAL SATU AYAT

advertisement
PENERAPAN ASAS LEGALITAS PASAL SATU AYAT 1 DAN AYAT 2 KUHP
DALAM HUKUM PIDANA
Oleh :
NUR AFIDA
H1A117443
F
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
ABSTRAK
Asas legalitas sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana atau konstitusi
masing-masing negara, merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap dipertahankan
demi kepastian hukum. Makna asas legalitas harus dimaknai secara bijaksana dalam kerangka
penegakan hukum dan keadilan. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asa legalitas, maka
asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum
pidana menurut aliran klasik.
Dari beberapa perbedaan makna dari asas legalitas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
makna asas legalitas: pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
sebelum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang; kedua. Semua perbuatan yang dilarang
harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya; ketiga, aturan-aturan hukum pidana
tidak boleh berlaku surut. Makna sebagaimana tersebut diatas merupakan asas legalitas formil,
seperti dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini menekankan, bahwa dasar untuk
menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang diancam dengan
pidana harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang. Dalam bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP
terdapat syarat berlakunya perubahan undang-undang tersebut dalam suatu kasus. Syaratnya
sederhana, yakni perubahan undang-undang itu terjadi sesudah perbuatan dilakukan, lebih
jelasnya sesudah perbuatan dilakukan tetapi sebelum diadili. jadi dalam pemeriksaan di
pengadilan, seharusnya telah diketahui kapan tepatnya perbuatan itu dilakukan, sehingga jika
terjadi perubahan undang-undang, dapat ditentukan apakah perubahan undang-undang tersebut
berlaku atau tidak.
Kata kunci: Asas Legalitas, Hukum Pidana, KUHP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asas legalitas sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana atau konstitusi
masing-masing negara, merupakan salah satu asas fundamental yang harus tetap
dipertahankan demi kepastian hukum. Makna asas legalitas harus dimaknai secara bijaksana
dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya
asa legalitas, maka asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri
utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik. ”. Selanjutnya asas tersebut dimuat dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP Indonesia (1Eddy O.S. Hiarej, yogyakarta : 2014 hal 12)
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi ‘principle of legality’,
‘legaliteitbeginsel’, ‘non-retroaktif’. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: ‘Tiada suatu
peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang
mendahuluinya.’ (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke
strafbepaling).
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, ‘Tiada
suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undangundang yang telah diadakan lebih dulu’. Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi,
‘Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang mendahuluinya’. Moeljatno menyebutkan pula bahwa,
‘Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan’.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel,
baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu,
maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum
Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum
delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip
‘legality’. Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang
berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas
‘nonretroaktif’, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut.
Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan
larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of
criminal laws and criminal sanctions).
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa
perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege
stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan
hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk
menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana
tersebut harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan.
Asas legalitas ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum sebab dengan demikian
keadilan bagi terdakwa akan tersedia sesuai kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan
(dalam hal ini khususnya mengenai waktu terjadinya peristiwa hukum). dengan demikian
peraturan perundang-undangan yang dipakai juga dapat sesuai dengan waktu terjadinya
peristiwa hukum. Namun pasal 1 ayat (1) KUHP ini, mempunyai pengecualian (lebih
tepatnya penghalusan/pelunakan) yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merumuskan permasalahan yaitu :
1. Bagaimana Defenisi Dan Makna Asas Legalitas?
2. Bagaimanakah Penerapan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Dan Disertai Contoh
Kasusnya?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui defenisi dan makna asas legalitas.
2. Untuk mengetahui penerapan asas legalitas dalam hukum pidana yang disertai
contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi dan makna asas legalitas
1. Defenisi Asas Legalitas
Jonkers yang dikutip oleh Edddy O.S, menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP,
tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan Undang-undang
pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu pasal tentang asas.
Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam
undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum
bukan merupakan peraturan hukum konkrit.
Selanjutnya menurut Moeljatno, asas legalitas (Principle of legality), asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini
dikenal dalambahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege.
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Menurut Wirjono
Prodjodikoro, bahasa latin yang berbunyi nullum delictum, nulla puna sine praevia
lege punali diartikan tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang
hukum pidana terlebih dahulu.
Menurut Moeljatno, perbuatan yang dapat dihukum adalah strafbaar feit dan dalam
perundang-undangan dipakai istilah tindak pidana, jika strafbaar feit diterjemahkan
secara letterlijk, maka terjemahannya adalah peristiwa yang dapat dipidana.10
Moeljatno kemudian memberikan memberi defenisi perbuatan pidana sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan perbuatan pidana barang siapa
melanggar larangan itu, istilah perbuatan pidana untuk menggantikan strafbaar feit
adalah lebih utama daripada istilah tindak pidana.11 Dalam pengertian perbuatan
pidana
tersebut.
Moeljatno
sama
sekali
tidak
menyinggung
mengenai
pertanggungjawaban pidana. Kesalahan adalah faktor penentu pertanggungjawaban
pidana karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian definisi perbuatan pidana.
2. Makna Asas Legalitas
Muljatno, asas legalitas mengandung makna tiga pengertian, yaitu: Pertama, tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut.
Sudarto yang juga mengemukakan ada dua hal yang terkandung dalam asas legalitas.
Pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundangundangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya
tindak pidana
Dari beberapa perbedaan makna dari asas legalitas sebagai mana tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya makna asas legalitas: pertama, tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana sebelum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang; kedua. Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam
rumusan delik yang sejelas-jelasnya; ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak boleh
berlaku surut. Makna sebagaimana tersebut diatas merupakan asas legalitas formil,
seperti dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini menekankan, bahwa dasar
untuk menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang
diancam dengan pidana harus terlebih dahulu diatur dalam undang-undang.
B. Penerapan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
1. Pasal 1 ayat (1) KUHP
Asas legalitas ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
atau yang biasa disingkat dengan KUHP. Bunyi pasal 1 ayat (1) itu adalah :
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Dari bunyi pasal tersebut terdapat frasa pertama dan frasa kedua. Frasa pertama yakni
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana”. Frasa kedua, yakni “kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dalam mengartikan
atau memahami pasal 1 ayat (1), kita tidak dapat mengartikan frasa pertama dan kedua
secara terpisah. Artinya, frasa pertama dan kedua tersebut mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga frasa pertama dan frasa kedua dalam pemahaman keseluruhan pasal
tidak dapat dipisahkan .
Dalam frasa pertama “suatu perbuatan tidak dapat dipidana” ingin menjelaskan bahwa
adanya kelompok perbuatan atau tindakan atau kelakuan, atau tingkah laku yang tidak
dapat dipidana. Kelompok perbuatan ini menjadi kelompok yang lebih umum dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, dalam frasa kedua, yakni
“kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada”, terdapat satu kata yang membedakan frasa
pertama dan kedua yakni kata “kecuali”. Kata kecuali ini menjelaskan bahwa ada
perbuatan yang diistimewakan atau tidak termasuk dalam kelompok perbuatan yang
dijelaskan dalam frasa pertama. Dengan demikian terdapat dua kelompok perbuatan
dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan
yang dapat dipidana. Frasa pertama jelas mengandung perbuatan yang tidak dapat
dipidana. Sementara frasa kedua mengandung perbuatan yang dapat dipidana, tetapi
dengan syarat tertentu. Syarat tersebut ialah telah ada kekuatan ketentuan perundangundangan pidana sebelum perbuatan itu dilakukan.
Jadi, perbuatan yang tidak dapat dipidana dan perbuatan yang dapat dipidana bergantung
pada kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana sebelum perbuatan tersebut
dilakukan. Jika sebelum perbuatan tersebut dilakukan tidak ada kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Sebaliknya, jika sebelum perbuatan tersebut
dilakukan telah ada perbuatan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mengatur mengenai perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Contoh kasus : Penerapan Asas Legalitas Pasal 1 Ayat (1) KUHP
Kasus terhadap presenter televisi Raffi Ahmad. Dalam artikel Narkoba Baru Akan
Dimasukkan dalam UU Narkotika disebutkan bahwa barang bukti zat narkoba yang
ditemukan dalam kasus Raffi belum terdaftar dalam Lampiran UU Narkotika. Karena
alasan itu, akhirnya Raffi dibebaskan pada Sabtu 27 April 2013. Kemudian, dalam artikel
BNN Koordinasi Terkait Zat Baru dalam Kasus Raffi dijelaskan bahwa dalam kasus
Raffi BNN menemukan jenis narkotika baru, salah satunya katinona (cathinone).
Mengenai langkah BNN yang akhirnya membebaskan Raffi, erat kaitannya dengan salah
satu asas hukum pidana, yakni asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ini ditentukan lebih
dulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan.”
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia menjelaskan bahwa dalam bahasa latin, ada pepatah yang sama
maksudnya dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu, “Nullum delictum, nulla puna sine
praevia lege punali” (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum
pidana terlebih dahulu).
Dari uraian tersebut jelas bahwa proses hukum terhadap Raffi tidak dapat dilanjutkan
karena katinona atau cathinone tidak terdapat dalam lampiran UU Narkotika. Artinya,
Raffi tidak bisa dituntut secara pidana karena tidak ada dasar hukum terhadap status zat
kationa atau cathinone yang tidak terdapat dalam UU Narkotika tersebut.
2. Pasal 1 ayat (2) KUHP
Bunyi pasal 1 ayat (2) menyatakan:
“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya”.
Dalam bunyi tersebut, terdapat dua frasa, frasa pertama yakni “bilamana ada
perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan”. Dari frasa
tersebut ada dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yakni “perubahan dalam
perundang-undangan” dan “sesudah perbuatan dilakukan”. Frasa kedua berbunyi,
”maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Dalam frasa kedua ini, hal yang paling penting untuk dilihat adalah “ketentuan yang
paling menguntungkannya”.
Dalam bunyi pasal 1 ayat (2) KUHP terdapat syarat berlakunya perubahan undangundang tersebut dalam suatu kasus. Syaratnya sederhana, yakni perubahan undangundang itu terjadi sesudah perbuatan dilakukan, lebih jelasnya sesudah perbuatan
dilakukan tetapi sebelum diadili. jadi dalam pemeriksaan di pengadilan, seharusnya
telah diketahui kapan tepatnya perbuatan itu dilakukan, sehingga jika terjadi
perubahan undang-undang, dapat ditentukan apakah perubahan undang-undang
tersebut berlaku atau tidak.
Di pengadilan tingkat pertama, perubahan undang-undang ini dapat digunakan,
karena proses persidangan terhadap suatu kasus yang masih baru. Sedangkan di
tingkat banding, perubahan undang-undang ini dapat dipakai jika dalam tingkat
banding dilakukan persidangan terhadap suatu kasus yang dianggap sebagai proses
yang baru. Sedangkan jika hanya sebagai koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama (pengadilan negeri) maka perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai.
Di tingkat kasasi, perubahan undang-undang ini tidak dapat dipakai karena
mahkamah agung hanya akan memperhatikan pasal-pasal yang telah dipakai oleh
hakim-hakim di bawahnya (putusan MA 23 Mei 1970, perkara Kwee Tjin Hok).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makna asas legalitas :
a. Tidakada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Berdasarkan kasus di atas dapat kita rasakan bahwa asas legalitas dalam pidana bagaikan
pedang bermata dua. Satu sisi ia memberikan kepastian hukum pada seluruh masyarakat,
di lain pihak masyarakat juga menjadi tidak pasti di saat terjadi kekosongan
hukum.Kembali kepada teori pembentukan hukum maka asas legalitas ini merupakan
turunan dari pandangan aliran hukum positivisme yang mengedepankan pada prinsip
hukum itu “ada” apabila di wujudkan dalam undang-undang, Hukum itu di buat oleh
penguasa, selain itu hukum bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme adanya
pemisahan antara hukum dengan moral.Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang
dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang.
B. Saran
Untuk contoh kasus narkoba :
1. Apabila UU Narkotika diterapkan secara kaku, maka bisa saja narkotika jenis baru
tidak dapat diancam dengan UU narkotika. Kalau berpegang pada aliran ini, maka
Indonesia akan diserbu jenis narkotika baru yang mengerikan dan membahayakan.
2. Sebaiknya RUU KUHP baru dalam asas legalitas agar lebih diperluas sehingga
mencakup asas legalitas formil dan materiil.
DAFTAR PUSTAKA
Eddy O.S. Hiarej. 2014. Asas Legalitas dan Perkembangannya Dalam Hukum Pidana,
Makalah Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi. UGM. Yogyakarta.
Komariah Emong Sapardjaja. 2002. Ajaran SIfat Melawan Hukum Materiiel Dalam
Hukum Pidana Indonesia. Alumni. Bandung.
Mardjono Reksodiputro. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan
Dan Pengabdian Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2015.
Muladi, 2002 Demokrasi, Hak Asasi Manusi, Dan Reformasi Di Indonesia. Habibie
center. Sudarto. 1990 Hukum Pidana 1. Yayasan Sudarto. UNDIP.
Download