kepastian hukum

advertisement
KEPASTIAN HUKUM
Disusun oleh : Heri Triyanto
Tingkat/Program : l/S1 HUKUM
Dosen Pembimbing : Bpk. Holy One .NS,SH
Mata Kuliah
:
Pengantar Ilmu Hukum
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya
masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
KEPASTIAN HUKUM
” Konfrontasi kepastian hukum dan keadilan hukum”
( Study pertentangan antara asas legalitas formal dan asas legalitas materiil )
Abstrak Prinsip “Legality” merupakan konsep dasar, baik ia dikemukakan oleh “Rule of
Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist
Legality”, bahkan dalam syariah islamiyah. Indonesia dewasa ini masih berpegang teguh
dengan asas legalitas, walaupun asas legalitas sering mengabaikan keadilan hukum. Kata
Kunci: asas legalitas, kepastian hukum, keadilan sosial
A. Pendahuluan
Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang teercakup dalam rumus (formule)
: nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa
suatu peraturan yang terlebih dahuklu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai delik
dan memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Pada mulanya saya respek
dan sempat kaget terhadap pasal ini karena menurut saya yang baru belajar hukum pidana
pasal ini hampir mirip dengan ayat yang pernah saya pelajari di hukum islam yang bertumpu
pada ayat ” wa maa kunnaa mu’adzibina hatta nab’atsa rasuula” ” kami (allah) tidak
menjatuhkan siksa sebelum kami mengutus seorang rasul” yang kemudian ayat ini
melahirkan kaidah fiqhiyyah ” la hukma li af’al al’uqola qobla wurudi al-nash” (tidak ada
hukum bagi orang brakal sebelum ada ketentuan nashnya).
Terlepas dari membanding-bandingkan antara asas legalitas yang ada di hukum islam dan
KUHP, ada sedikit permasalahan yang yang dapat saya tuliskan ketika kita memahami bunyi
pasal 1 ayat 1 KUHP : Pertama, Tentang konfrontasi antara kepastian hukum dan keadilan
sosial bagi orang atau barang siapa yamg ingin menegakkan atau menjalankan undangundang pidana, karena pasal 1 ayat 1 merupakan tiang-tiang dari hukum pidana. Pertentangan
tersebut terjadi karena pasal 1 ayat 1 menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang
dianggap melanggar hukum itu terjadi hal ini menunjukkan tentang kepastian hukum dan
mengesampingkan keadilan, hal itu disebabkan karena proses hukum pidana bermuara pada
penjatuhan pidana. Sungguh kiranya hal ini tidak akan mencerminkan nilai-nilai keadilan
bagi korban apabila pemidanaan itu saat terpidana tersebut melakukan perbuatan, akan tetapi
aturan hukumnya yang mengancam perbuatannya belum ada.
Pasal 1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keeadilan sosial, Jika kita
berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas,
yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari
jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan
bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan
membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan. Perlu
diingat hal itu akan mencederai keadilan hukum yang ada di masyarakat khususnya hukum
yang hidup dalam masyarakat (The Living Law). Sekarang permasalahan yang konkrit yang
akan saya angkat dalam makalah ini adalah bagaimana menyikapi pertentangan tersebut?
Mana yang kita dahulukan antara kepastian hukum dan keadilan hukum?
B. ISI
Saya awali pembahasan ini dengan lebih detail dari sejarah asas legalitas dan akan saya
lanjutkan ke dalam pembahasan penerapan asas legalitas yang ada pada pasal 1 ayat 1 di
dalam hukum indonesia. Sejarah dan perkembangan asas legalitas Memaknai Asas Legalitas
memang tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Kalau redaksionalitas kata-katanya asli
dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia, makan berbunyi : ”Tiada suatu
perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang mendahuluinya”. Perlu pula untuk menjadi perhatian bahwa menurut
Moeljatno istilah feit itu juga diartikan dengan kata ”peristiwa”, karena dengan istilah feit itu
mengandung suatu pengertian sebagai perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh
hukum pidana maupun perbuatan yang mengabaikan sesuatu yang diharuskan. Penerapan
hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat
perbuatan dilakukan.
Berlakunya Hukum Pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi
lain. Hazewinkel- Suringa berpendapat, jika suatu perbuatan (feit) yang memenuhi rumusan
delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal
itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat
dipidana, itulah legalitas yang mengikat perbuatan yang ditentukan secara tegas oleh undangundang. Makna Asas Legalitas yang tercantum di alam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di
dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
ketentuan pidana yang mendahuluinya”.
Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan
dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai katakata dalam bahasa Belanda ”Geen delict, geen straf zonder een voorfgaande strafbepaling”
untuk rumusan yang pertama dan ”Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling”
untuk rumusan kedua. Ada dual hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan
tersebut : 1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan
dan diancam dengan pidana maka perbatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di
dalam undang-undang pidana. 2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu
kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Moelyatno menulis bahwa asas
legalitas itu mengandung tiga pengertian : 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Meskipun rumus itu dalam
bahasa Latin, namun ketentuan itu, menurut Andi Hamzah, tidaklah berasal dari hukum
Romawi. Hukum Romawi tidak mengenal Asas Legalitas, baik pada masa republik maupun
sesudahnya.
Rumus itu dibuat oleh Paul Johann Aslem von Feuerbech (1775-1833), seorang pakar hukum
pidana Jerman di dalam bukunya : ”Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada tahun 1801. Jadi
merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan belas (Beccaria). Adagium
dari von Feuerbach itu dapat dialirkan menjadi tiga asas seperti yang dirumuskan oleh W.A.
van der Donk, yaitu nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine
poena legali. Ternyata pengapilkasian adaqium ini memiliki berbagai pandangan tentang
”nulla poena sine lege”, bahwa di dalam dasar yang sama itu disatu pihak lebih menitik
beratkan kepada asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenangwenang (Monstesquieu dan Rousseau), dan di lain pihak menitik beratkan kepada asas
hukum yang terbagi atas titik berat pada hukum acara pidana dengan maksud peraturan
ditetapkan lebih dahulu agar individu mendapat perlindungan dan para penerap hukum terikat
pada peraturan itu, dan yang paling terkenal adalah fokus yang menitik beratkan pada hukum
pidana pidana materiel dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan
pemidanaannya itu didasarkan pada undang-undang yang ada (Beccaria dan von Feurbach).
Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran yang terkandung di dalam rumusan tersebut
ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan
hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana, pembuat undang-undang menciptakan
hukum. Pembuat undang-undang tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan
sebagai norma-norma sebelumperbuatan. Manifestasi pertama kali di dalam Konstitusi
Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalam Pasal 8 Declaration
desdroits de l’homme et du citoyen tahun 1789.
Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke
KUHP Indonesia, dan KUHP Belgia pada Pasal 2. Sebagaimana telah dikemukakan diatas,
Asas Legalitas dalam KUHP Indonesia (yang berasal dari WvS. Ned.) ini sebenarnya
merupakan peraturan yang tercantum dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et Du
Citoyen tahun 1789, yang berbunyi: ”Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas
kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”. Pandangan ini dibawa oleh Lafayette
dari Amerika ke Perancis setelah ia membaca dan mempelajari Bill of Rights Virginia tahun
1776 (Bill of Rights = Piagam Hak Asasi Manusia). Dalam Bill of Rights hanya ditentukan,
bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau ditangkap selain dengan dan dalam peristiwaperistiwa yang terdapat dalam undang-undang. Jadi asas ini memberikan perlindungan
terhadap tuntutan dan penangkapan sewenang-wenang.
Asas ini berasal dari Habeas Corpus Act tahun 1679 (UU. Inggris yang menetapkan bahwa
seseorang yang ditangkap harus diperiksa dalam waktu singkat), yang pada gilirannya berasal
dari Pasal 39 Magna Charta tahun 1215, yang memberikan perlindungan terhadap
penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dikeluarkannya seseorang dari
perlindungan hukum atau undang-undang (vogelvrij), selain dari jika dijatuhkan putusan
pengadilan yang sah oleh “orang-orang yang sederajad” dari orang yang bebas dituntut itu.
Diketahui dalam perjalanan sejarah bahwa Belanda pun yang menganut asas itu didalam
KUHP, didalam situasi yang darurat, pernah meninggalkan asas itu, yaitu pada tanggal 22
Desember 1943 di London saat dikeluarkan Keputusan Luar Biasa tentang Hukum Pidana
(S.d 61), mengenai beberapa delik terhadap keamanan Negara dan kemanusiaan diberlakukan
ketentuan yang berlaku surut. Bahwa pidana mati yang tidak kenal di dalam KUHP Belanda
dapat dikenakan sebagai hukum negara dalam keadaan darurat, sebagaimana kita kenal
dengan istilah “abnormal recht voor abnormal tijden”., walaupun menurut Pasal 1 ayat (1)
KUHP di Indonesia dianut asas legalitas, namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan
Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1951
Pasal 5 ayat (3) nurit b, hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum 3 (tiga) bulan dan/
atau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Penerapan asas legalitas di dalam hukum indonesia. Dari uraian di atas dapat ditegaskan halhal penting yang merupakan dasar kelahiran asas legalitas sebagai bangunan fondasi hukum:
1. Asas legalitas sebgai sarana utama untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa
dalam pemidanaan, maksudnya segala kewenangan penguasa harus berdasarkan peraturan
perundang-undanganyang telah ditetapkan. 2. Sebagai sarana kepastiam hukum bagi rakyat,
hal ini berarti asas legalitas dapat menjadi sarana mewujudkan keadilan dalam pemidanaan
dalam satu segi. 3. Sebagai sarana pencegahan kejahatan. Uraian sedikit diatas Nampak
fungsi asas legalitas sangat urgen, akan tetapi ada dampak negatif jika ditinjau dari sisi lain
seperti berikut: 1. Keberadaan asas legalitas khususnya formil/ hukum tertulis menyebabkan
hukum pidana dan praktek penegakanya menjadi kaku. Karena tidak semua tindakan tercela
selalu sudah ada aturan hukumnnya secara tertulis. 2. Keberadaanya asas legalitas secara
tidak langsung akan menyebabkan lenyapnya fakta social berupa eksistensi hukum pidana
adat yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini. 3. Keberadaanya akan menyuburkan faham
individualitas yang berseberangan dengan paham kolektifitas Perlu dipahami untuk bisa
membuktikan seseorang benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, pertama harus
diperhatikan dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang
menegaskan sebagai perbuatan tercela/terlarang.
Maksud dari ini adalah “hukum” sebagai dasar menilai perbuatan orang tersebut adalah
adakalanya bisa berupa Hukum tertulis atau Undang-undang (berarti asas legalitas formil)
tetapi juga berupa hukum tidak tertulis( asas legalitas material) kedua, fakta menunjukkan
perbuatan orang tersebut memenuhi unsure tindak pidana sesuai dengan hukum. Namun yang
perlu digarisbawahi yaitu pemahaman tentang wujud pengertian asas legalitas material, yang
tidak kaku harus berdasarkan hukum yang tertulis saja. Menurut hemat saya asas legalitas
materiel mengakui keberadaan hukum adat atau bahkan hukum yang tidak tertulis. Perlu
disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan colonial Belanda.
Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks
Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen
dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang.
Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan
dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak
pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk
sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur
dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.
Sebagai peraturan peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam
penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen.
KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh
masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis
tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan
pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh
karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti
yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.
Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat.
Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya
terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RUHP tidak lain adalah untuk
menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat
mata RKUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme
penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. asas legalitas dihadapkan dengan
pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia, dapat dikatakan hukum
yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat.
Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat, penyebutan delik adat
atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena
sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat,
berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku
kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau
pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal
dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan
antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturanaturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat
terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar
keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dipakai katakata “perundang-undangan pidana” bukan undang-undang pidana, ini berarti bukan undangundang dalam arti formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel
merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan
Daerah dan lain-lain peraturan yang memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik
yang masuk dalam lingkup Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi (Civil Penal Law
dan Administrative Penal Law). Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya pemdapat
para pengarang yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas legalitas tersebut di dalam
KUHP Indonesia.
Hampir semua penulis yang disebut di dalam tulisan ini dapat digolongkan pro dianutnya
asas legalitas, dan khusus untuk Indonesia, dapat disebut seorang penulis, yaitu Utrecht yang
keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang
sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula
asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup.
Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan
dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht
tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin
dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat
dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari
perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan
adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan
para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu
ditinggalkan.
D. Kesimpulan
Bahwa Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum
Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari
adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa
dalam konteks yang lebih luas. Untuk mempertegas permasalahan di atas yaitu apabila terjadi
pertentangan mana yang didahulukan antara kepastian hukum dan keadilan, perlu saya tulis
bunyi pasal 12 draft RUU KUHP 2005-2006 yang kurang lebih berbunyi ” Dalam
mempertimbangkan hukum yang diterapkan, hukum sejauh mungkin menerapkan keadilan di
atas kepastian hukum”. RUU KUHP mungkin kedepan bisa di jadikan guidance (penunjuk)
apabila ada dilemma pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal itu haruslah
diperhatikan karena sering kali keadilan terdesak, maka apabila keadilan dan kepastian
hukum saling mendesak maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas
kepastian hukum. Karena muara akhir dari tujuan hukum adalah keadilan social.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,A Zainal, 2007, Hukum pidana 1 , Jakarta : Sinar grafika Arief, Barda Nawawi,
1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti; Atmasasmita, Romli, 1998, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional,
Bagian Kesatu, Bandung: Putra A Bardin; Hamzah, Andi; 1992, Hukum Pidana Politik,
Jakarta: Pradnya Paramita; Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum
Pidana, Bandung: Alumni; Moelyatno. 1978 Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara,
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni; ———, 1990, Hukum Pidana
I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip E.Utrecht,1986, Hukum pidana 1
Surabaya : Pustaka tinta
Download