diskusi kasus demam

advertisement
DISKUSI KASUS
DEMAM
DISUSUN OLEH:
Kelompok A:
Alia Nessa
0906507772
Anggi P N Pohan
0906487695
Arcci Pradessatama
0906507816
Benedicta Mutiara S
0906639713
Deriyan Sukma W
0906554270
Jeffry Adijaya S
0906508182
Rynaldo Partogi
0906639890
Narasumber:
Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI
dr. Sulistia Gan, SpFK
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
OKTOBER 2013
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Nn. YAM
Usia
: 18 tahun
Alamat
: Bekasi, Jawa Barat
Agama
: Protestan
Pekerjaan
: Mahasiswa, bekerja paruh waktu sebagai asisten apoteker di klinik swasta
Pendidikan : Tamat SMA
No. RM
: 388-48-xx
Masuk tgl/pk : 21 Oktober 2013 / 22.41 WIB
1.2 Anamnesis (autoanamnesis, 23 Oktober 2013)
Keluhan Utama
Demam tinggi sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak tiga hari SMRS pasien mengeluhkan demam tinggi. Demam sejak awal
langsung tinggi, hanya turun selama beberapa jam saat minum obat demam yang dibeli di
warung, namun setelahnya naik kembali. Pasien tidak mengukur suhu demam di rumah,
namun dirasakan demam sama saja dari hari ke hari, tidak semakin naik atau turun. Suhu
tubuh pasien saat masuk RSCM diukur 38,9oC. Demam disertai dengan keluhan pusing,
sakit kepala, tidak nafsu makan (makan menjadi lebih sedikit, tidak sampai 1 piring sehari
dan minum sekitar 4 gelas sehari), mual dan muntah  3 kali sehari, muntah berisi makanan
tidak berwarna hijau maupun bercampur darah. Nyeri di sekitar bola mata disangkal. Selain
itu, pasien merasakan badannya pegal-pegal dan tidak bertenaga. Pasien juga mengatakan
muncul bintik-bintik merah di lengan dan tungkai sejak 1 hari SMRS. Keluhan gusi
berdarah, mimisan, buang air besar warna hitam, dan perdarahan lain disangkal.
Buang air kecil tidak nyeri ataupun terasa anyang-anyangan, namun menurut pasien
jumlah air seni lebih sedikit dan berwarna lebih kuning tua, tidak berbusa. Buang air besar
dirasakan lebih jarang, yaitu dua hari sekali (sebelum sakit sehari sekali), tidak mencret.
Sejak enam hari SMRS pasien juga mengeluhkan batuk berdahak warna hijau disertai
pilek. Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan ada. Keluhan suara serak, sesak napas,
dan nyeri di daerah dada disangkal. Pasien merasa dari hari ke hari batuk dan pilek semakin
berkurang. Saat dua hari SMRS pilek sudah tidak ada. Sebelum masuk IGD RSCM pasien
belum berobat ke dokter/rumah sakit lain, hanya membeli obat batuk dan obat demam
sendiri.
Selama dirawat pasien telah diberikan cairan infus, obat batuk, dan obat penurun
demam. Saat ini keluhan mual muntah sudah tidak dirasakan dan nafsu makan sudah lebih
baik. Batuk masih ada namun sudah berkurang, dahak sudah tidak ada. Buang air kecil
kembali seperti biasa (warna kuning muda) dan buang air besar seperti biasa (sehari sekali).
Demam masih ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes mellitus, hipertensi, asma disangkal. Alergi ada, yaitu obat Dulcolax.
Pasien sebelumnya tidak pernah dirawat di rumah sakit.
Riwayat Penyakit Keluarga
Menurut pasien tidak ada anggota keluarga, teman kuliah, rekan kerja yang mengalami
sakit yang sama. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma, dan alergi keluarga disangkal.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan
Pasien seorang mahasiswa farmasi, bekerja paruh waktu sebagai asisten apoteker di klinik
swasta. Lingkungan rumah dan tempat kuliah menurut pasien bersih, tidak ada genangan air
dan tidak banyak nyamuk. Namun, pasien mengatakan lingkungan klinik tempat pasien
bekerja kurang bersih, terdapat banyak genangan air, dan di dalam klinik kadang
bernyamuk saat sore hari.
1.3 Pemeriksaan Fisik (23 Oktober 2013)
Status Generalis
Kesadaran
: Kompos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 109x/menit
Suhu
: 37,9oC
Napas
: 16x/menit
Kepala
: Normosefal, tidak ada deformitas
Mata
: Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Hidung
: Lubang hidung lapang, tidak ada sekret
Telinga
: Kedua liang telinga lapang, tidak ada sekret, refleks cahaya positif,
nyeri tekan tragus dan mastoid negative
Mulut-Tenggorok : mukosa tidak kering, lidah tidak kotor, gigi berlubang tidak ada, faring
hiperemis, tonsil tidak membesar (ukuran T1-T1)
Leher
: JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak teraba
Paru
: Vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
: S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Perut
: Datar, supel, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok ginnjal tidak ada, hepar
dan lien tidak teraba, bising usus normal
Ekstremitas
: Akral hangat, tidak ada edema, capilarry refill time<2 detik, terdapat
petekie, tes Rumpel-Leed positif
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (Senin, 21-10-2013, 22.52 WIB)
Na
: 141
Ur
: 15,3
K
: 3,1
Cr
: 0,56
CL
: 102
SGOT
: 33
SGPT
: 15
Ht
: 37,3%
Albumin : 3,6
Leukosit : 2.140
GDS
: 93
Trombosit: 111.000
Tubex
: Negatif
MCV
: 77,9
S. Typhii : Negatif
MCH
: 28,1
Hb
MCHC
: 36,1
: 13,5
Laboratorium (Selasa, 22-10-2013, 10.34 WIB)
Hb
: 11,9
Ht
: 34,8%
Leukosit : 1.600
Trombosit: 70.100
MCV
: 79,1
MCH
: 27,1
MCHC
: 34,3
Laboratorium (Selasa, 22-10-2013, 22.46 WIB)
Hb
: 12,3
Ht
: 35,6
Leukosit : 1.510
Trombosit: 67.100
MCV
: 79,9
MCH
: 27,5
MCHC
: 34,4
Laboratorium (Rabu, 23-10-2013, 22.12 WIB)
Hb
: 12,3
Ht
: 34,1
Leukosit : 2.550
Trombosit: 41.500
MCV
: 77,9
MCH
: 28,1
MCHC
: 36
Laboratorium (Kamis, 24-10-2013, 11.20)
Hb
: 13,3
Ht
: 39,7
Leukosit : 3.920
Trombosit: 31.700
MCV
: 78,6
MCH
: 27,8
MCHC
: 34,2
Laboratorium (Kamis, 24-10-2013, 22.40 WIB)
Hb
: 12,8
Ht
: 38,7
Leukosit : 3.520
Trombosit: 27.400
MCV
: 82,1
MCH
: 27,1
MCHC
: 33,0
Laboratorium (Jumat, 25-10-2013)
Hb
: 12,7
Ht
: 36,9
Leukosit : 3.720 (hitung jenis 0/0/3/32/64/1)
Trombosit: 23.500
MCV
: 78,5
MCH
: 27,0
MCHC
: 34,4
Protrombin Time (PT) : 12,9 (kontrol 11,3)
APTT
: 36,6 (kontrol 31,9)
Prokalsitonin : 0,82 (nilai rujukan: <0,1)
Laboratorium (Jumat, 25-10-2013)
Hb
: 13,5
Ht
: 36,1
Leukosit : 4.540
Trombosit: 35.300
MCV
: 76,6
MCH
: 28,6
MCHC
: 37,4
Foto Thorax (Selasa, 22-10-2013)
Kesan: Infiltrat parakardial kanan dan kiri
1.5 Daftar Masalah
1. Febris hari ke-6 ec demam dengue DD/ DHF
2. ISPA
3. Hipokalemia
1.6 Rencana Diagnosis
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap/24 jam
2. IgM / IgG anti dengue
1.7 Tatalaksana
1. Intravenous fluid drip RL / 6 jam
2. Paracetamol 3x500 mg p.o
3. Domperidone 3x10 mg p.o
4. Ranitidin 2x50 mg IV
5. Flumucil (asetilsistein) 3x CI p.o
6. KSR 3x600 mg p.o
1.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanctionam: dubia ad bonam
Ad functionam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam
Demam adalah respon fisiologis tubuh terhadap penyakit yang ditandai dengan
peningkatan temperatur tubuh di atas batas normal, disebabkan oleh stimulasi pirogen
terhadap pusat termoregulasi pada area preoptik hipothalamus. Suhu tubuh normal rata-rata
(diukur secara oral) adalah 36,8+0,40C, memiliki variasi diurnal dengan suhu terendah pada
jam enam pagi dan suhu lebih tinggi pada jam empat sampai enam sore (Gambar 2.1).
Temperatur oral normal memiliki nilai maksimal 37,20C pada jam enam pagi dan 37,70C
pada jam empat sore. Variasi suhu yang normal biasanya sebesar 0,50C, namun pada
beberapa individual yang baru pulih dari penyakit demam, variasi dapat mencapai 1,00C.
Oleh karena itu, demam didefinisikan sebagai suhu di atas 37,20C pada pagi hari atau di
atas 37,70C pada sore hari. Pengukuran suhu dapat dilakukan melalui beberapa cara, seperti
suhu rektal, oral, dan membran timpani. Temperatur rektal umumnya lebih tinggi 0,40C
daripada temperatur oral dan lebih tinggi 0,80C daripada temperatur membran timpani.
Suhu oral yang lebih rendah dapat disebabkan karena pernapasan melalui mulut, yang dapat
menjadi faktor bermakna pada pasien dengan infeksi pernapasan dan bernapas cepat. 1,2
Gambar 2.1 Variasi Diurnal Temperatur Tubuh1
2.1.1 Patofisiologi Demam
Secara fisiologis, temperatur tubuh dijaga agar tetap dalam batas normal melalui
mekanisme termoregulasi. Untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh tersebut, maka jumlah
panas yang dihasilkan (heat input) harus seimbang dengan jumlah panas yang dikeluarkan
(heat output). Heat input dapat terjadi melalui transfer panas dari lingkungan dan produksi
panas dalam tubuh (internal heat production). Heat output terjadi melalui pelepasan panas
dari permukaan tubuh ke lingkungan luar. Pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan
luar terjadi melalui konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi (Gambar 2.2).3,4
Gambar 2.2 Pengaturan Suhu Tubuh3
Demam dipicu oleh substansi pirogen, yang dapat berasal dari luar tubuh pasien
(pirogen eksogen) ataupun dari dalam (pirogen endogen). Contoh pirogen eksogen adalah
produk mikroorganisme, meliputi toksin (seperti lipopolisakarida/endotoksin oleh bakteri
Gram negatif atau enterotoksin Staph. aureus) atau mikroorganisme secara utuh. Contoh
pirogen endogen adalah arginin vasopresin (AVP), alphamelanocyte-stimulating hormone,
dan corticotrophin releasing factor. Adanya substansi pirogen menyebabkan tubuh
memproduksi sitokin pirogenik, meliputi IL-1, IL-6, TNF, interferon (IFN), dan ciliary
neutrotropic factor (CNTF). Berbagai produk bakteri, fungal, dan virus dapat memicu
produksi sitokin pirogenik, namun dapat pula dipicu tanpa adanya infeksi, misalnya dalam
proses inflamasi, trauma, nekrosis jaringan, dan kompleks antigen-antibodi. Sitokin
pirogenik memasuki sirkulasi sistemik dan memicu sintesis PGE2. Substansi ini pada
jaringan perifer menimbulkan gejala nonspesifik berupa mialgia dan artralgia yang sering
menyertai demam. Kenaikan PGE2 pada sistem saraf pusat akan menaikkan setpoint
temperatur hipothalamus. Naiknya setpoint ini membuat tubuh merespon (respon simpatik,
parasimpatik, neuron motorik, perilaku) agar produksi panas melebihi pengeluaran panas,
sehingga suhu tubuh meningkat (Gambar 2.3). Jika suhu melebihi 41,50C maka disebut
hiperpireksia.1
Gambar 2.3 Patofisiologi Demam1
2.1.2 Tipe Demam
Berdasarkan pola kenaikan suhu tubuh, demam dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:2
1. Demam intermiten, yaitu suhu tubuh meningkat, lalu menurun hingga suhu normal
selama beberapa jam dalam satu hari, kemudian suhuh meningkat kembali. Contoh
demam tipe ini adalah malaria falciparum.
2. Demam remiten, yaitu suhu tubuh meningkat, lalu dapat menurun, tetapi tidak pernah
mencapai suhu normal. Perbedaan suhu yang tercatat dapat mencapai dua derajat
Celcius. Contoh demam tipe ini adalah endokarditis, demam tifoid, tuberkulosis.
Terdapat pula jenis demam bifasik, yaitu demam di mana peningkatan suhu kembali
hanya terjadi satu kali saja (sehingga kurva suhu berbentuk seperti pelana kuda,
contohnya pada leptospirosis, demam dengue.
3. Demam siklik (relapse), yaitu suhu meningkat selama beberapa hari, diikuti oleh periode
bebas demam selama beberapa hari atau minggu, kemudian terjadi kenaikan suhu seperti
semula. Contoh demam tipe ini adalah bruselosis, limfoma, malaria tertiana atau malaria
kuartana.
4. Demam kontinu, yaitu demam yang terjadi terus menerus dan variasi suhu tubuh dalam
satu hari tidak lebih dari satu derajat Celcius. Contoh demam tipe ini adalah ensefalitis,
demam yang diinduksi oleh obat.
Berdasarkan durasinya, demam dapat pula dibedakan menjadi akut dan kronik:1,2
1. Demam akut, yaitu durasi demam kurang dari dua minggu. Pada demam jenis ini dapat
dipikirkan kemungkinan infeksi sistemik maupun infeksi fokal pada organ tertentu.
Infeksi fokal yang dapat terjadi antara lain pneumonia, pielonefritis, apendisitis,
kolesistitis, abses hepar, infeksi saluran kemih, ataupun infeksi pelvis. Jika demam
berlangsung selama satu minggu, infeksi sistemik yang mungkin terjadi antara lain
infeksi viral, malaria, demam dengue, atau leptospirosis. Jika demam masih berlangsung
hingga minggu kedua, infeksi sistemik yang dapat terjadi antara lain adalah demam
tifoid.
2. Demam kronik (prolonged), yaitu durasi demam lebih dari dua minggu. Pada demam
jenis ini dapat dipikirkan penyebab infeksi kronik (seperti tuberkulosis), keganasan,
autoimun, infeksi pada HIV, drug-induced, metabolik, atau malingering.
Selain itu, dikenal pula istilah fever of unknown origin (FUO), yaitu demam dengan suhu
lebih dari 38,30C selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama
3 hari (bila pasien rawat inap) atau minimal 3 kali kunjungan (bila pasien rawat jalan) tetapi
belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab FUO adalah infeksi (40%), neoplasma
(20%), neoplasma (20%), penyakit kolagen (20%), penyakit lain (10%), dan yang tidak
diketahui penyebabnya (10%).2
2.1.3 Pendekatan Klinis Demam
Dalam anamnesis perlu ditanyakan lama demam, sifat harian demam, tinggi demam,
dan keluhan atau gejala lain yang menyertai demam. Selain karakteristik demam tersebut,
perlu ditanyakan pula pekerjaan pasien, tempat tinggal pasien, riwayat perjalanan, adanya
binatang peliharaan atau gigitan binatang, penggunaan obat terlarang secara intravena,
perilaku seksual (termasuk adanya tindak pengamanan atau tidak), riwayat penyakit
terdahulu, riwayat penyakit keluarga, dan riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya
(adanya imunisasi, transfusi, atau alergi obat). Dalam praktik sehari-hari perlu diketahui
penyakit-penyakit infeksi yang endemik pada daerah tempat tinggal pasien, dan perlu
dipikirkan kemungkinan infeksi import dengan pertanyaan apakah pasien baru pulang dari
perjalanan serta daerah mana saja yang telah dikunjunginya.2
Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk mengetahui kelainan-kelainan pada sistem
organ, misalnya dari pemeriksaan abdomen dapat ditemukan hepatomegali atau
splenomegali, yang merupakan manifestasi klinis dari penyakit-penyakit tertentu.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan menyeluruh, termasuk pemeriksaan
pelvis dan jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan colok dubur dan genital (penis,
prostat, skrotum). Perhatian yang teliti sangat diperlukan dalam memeriksa sistem
kardiovaskular, sistem saraf, sistem muskuloskeletal, abdomen, toraks, kelenjar getah
bening, kulit, bantalan kuku, dan konjungtiva mata. Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan sesuai indikasi, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi, ataupun biopsi.2
2.1.4 Tatalaksana Simptomatik Demam
Respon demam memang dapat berguna untuk tubuh, misalnya untuk meningkatkan
aktivitas sistem imun tubuh dalam mengeliminasi mikroba. Namun, suhu yang tinggi juga
dapat
merugikan,
misalnya
mengakibatkan
ketidaknyamanan,
gangguan
sistem
kardiovaskular dan sistem saraf. Oleh karena itu, diperlukan pengobatan simptomatik untuk
menurunkan demam, yang dapat dilakukan dengan obat-obatan antipiretik, antara lain:
1. Salisilat
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah
analgesik antipiretik dan anti-inflamasi yang luas digunakan dan digolongkan dalam obat
bebas (over the counter/OTC). Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi di
lambung, tetapi sebagian besar di usus halus. Kadar maksimal dalam plasma dicapai dalam
2 jam setelah pemberian. Asam salisilat juga dapat diabsoripsi dengan cepat dari kulit
sehat, sehingga keracunan dapat terjadi pada olesan di kulit yang luas. Setelah diabsorpsi,
salisilat segera menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan transelular. Obat ini mudah
menembus sawar darah otak dan sawar plasenta. Sebagian besar (80-90%) salisilat dalam
plasma terikat pada albumin. Metabolisme salisilat terjadi pada hati dan diekskresi terutama
melalui ginjal.5
Dosis salisilat sebagai antipiretik untuk dewasa adalah 325-650 mg, melalui oral
tiap 3-4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, tiap 4-6 jam. Aspirin dikontraindikasikan
sebagai antipiretik pada anak di bawah 12 tahun. Salisilat sering digunakan untuk
mengobati segala keluhan ringan sehingga banyak terjadi penyalahgunaan obat ini. Dalam
dosis tinggi, salisilat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi karbon
dioksida karena perangsangan fosforilasi oksidatif. Peningkatan karbondioksida kemudian
menimbulkan rangsangan pernapasan. Lebih lanjut, salisilat yang mencapai sistem saraf
pusat akan merangsang langsung pusat pernapasan, sehingga terjadi hiperventilasi dan
berlanjut menjadi alkalosis respiratorik. Efek samping lain adalah penghambatan agregasi
latelet melalui inhibisi asetilasi siklooksigenase trombosit, sehingga dapat memperpanjang
masa perdarahan pada orang sehat.5
2. Ibuprofen
Ibuprofen adalah salah satu obat NSAID (non-steroid anti inflammatory drugs)
yang memiliki sifat analgesik dan antipiretik sama seperti aspirin. Obat ini diabsorpsi cepat
di lambung dan terikat pada protein plasma. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam dan
diekskresi melalui ginjal. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim
siklo-oksigenase, sehingga produksi prostaglandin (PGE2) yang akan menaikkan set point
hipothalamus akan terhambat.5
3. Para Amino Fenol
Derivat para amino fenol meliputi fenastatin dan asetaminofen (parasetamol).
Fenazetin kini tidak lagi digunakan karena banyak menimbulkan nefropati, anemia
hemolitik, dan mungkin kanker kandung kemih. Efek anti-inflamasi parasetamol hampir
tidak ada, namun memiliki efek analgesik yang serupa dengan salisilat.Parasetamol
diabsorpsi dengan cepat dan sempurna dalam saluran cerna. Konsentrasi puncak dalam
plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan memiliki waktu paruh 1-3 jam. Obat ini
dimetabolisme oleh hati dan disekresi melalui ginjal.5
Di Indonesia, penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik telah
menggantikan penggunaan salisilat. Dosis parasetamol untuk dewasa adalah 300-1000
mg/kali, dengan dosis maksimum 4 gram per hari. Untuk anak 6-12 tahun adalah 150-300
mg/kali (maksimum 1,2 gram/hari), untuk anak 1-6 tahun 60-120 mg/kali, dan untuk bayi
di bawah 1 tahun 60 mg/kali (maksimum 6 kali per hari). Akibat dosis toksik yang paling
serius adalah nekrosis hati akibat hasil metabolit parasetamol. Metabolit ini sangat reaktif
dan berikatan dengan makromolekul vital sel hati, yaitu glutation. Hepatotoksisitas dapat
terjadi pada pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kgBB). Pada kondisi ini
dapat diberikan N-asetilsistein untuk memperbaiki cadangan glutation hati, yang diberikan
per oral dalam waktu 24 jam setelah minum dosis toksik parasetamol.5
2.2 Demam Berdarah Dengue
2.2.1 Etiologi
Demam berdarah dengue dan demam dengue disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk dalam genus Flavivirus. Terdapat 4 stereotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN3, DEN-4 yang kesemuanya dapat menyebabkan demam dengue maupun demam berdarah
dengue. Semua stereotipe virus tersebut terdapat di Indonesia, namun yang terbanyak
adalah DEN-3.6
2.2.2 Epidemiologi
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah. Insidensi
DBD di Indonesia adalah 60,06 kejadian per 100.000 penduduk (2008).7 Penularan infeksi
virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Faktor Risiko penularan penyakit berkaitan dengan sanitasi lingkungan, yaitu tersedianya
tempat perkembangbiakan nyamuk vektor (genangan dan tempat-tempat penampungan air).
Terdapat 3 faktor yang berperan dalam penularan yaitu:6
1. Faktor vektor: Perkembangbiakan, kebiasaan mengigit, kepadatan vector
2. Faktor pejamu: Penderita di lingkungan, paparan terhadap nyamuk, usia
3. Faktor lingkungan: Curah hujan, suhu, sanitasi, kepadatan penduduk
2.2.3Patofisiologi
Infeksi virus dengue akan menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi virus ke makrofag akan mengaktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel
dan terjadi kebocoran plasma.6
Trombositopenia pada demam dengue terjadi melalu mekanisme supresi sumsum
tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit.6
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Penelitian menunjukkan pada demam berdarah dengue stadium III dan
IV terjadi koagulopati konsumtif.6
2.2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi infeksi virus dengue dapat berupa asimtomatik, demam tidak khas, demam
dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), atau sindrom syok dengue (SSD) seperti
tampak pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Manifestasi klinis infeksi virus dengue7
2.2.5 Diagnosis
Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih: 7
1. Sakit kepala
2. Nyeri retro-orbital
3. Myalgia dan arthralgia
4. Ruam kulit
5. Manifestasi perdarahan (petekie dan uji bending positif)
6. Leukopenia
7. Pemeriksaan serologi positif
8. Ditemukan pasien DD/DBD (sudah konfirmasi) pada lokasi dan waktu yang sama.
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis DBD berdasarkan kriteria WHO 1997 adalah
apabila semua hal ini terpenuhi:7
1. Demam akut 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Manifestasi perdarahan berupa:
-
Uji bending positif
-
Petekie, ekimosis, purpura
-
Perdarahan mukosa (misalnya epistaksis atau perdarahan gusi)
-
Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (<100.000/ul)
4. Terdapat bukti kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas vaskular, yaitu
setidaknya salah satu dari:
-
Peningkatan hematokrit ≥20% dari standard
-
Penurunan hematokrit setelah dilakukan terapi cairan ≥20% dari sebelumnya
-
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia
Perbedaan utama DBD dengan DD adalah kebocoran plasma.
Sindrom syok dengue merupakan keadaan pasien DBD yang mengalami progresivitas
menuju keadaan syok.7 Pada SSD akan didapatkan seluruh kriteria untuk penegakan
diagnosis DBD disertai kegagalan sirkulasi berupa nadi cepat dan lemah, penurunan
tekanan darah ≤20mmHg dari semula atau hipotensi dibandingkan standar usia, kulit dingin
dan lembab, gelisah.6,7
Derajat keparahan DBD dapat dibagi menjadi 4 grade:7
- Grade I : Demam disertai gejala non-spesifik, manifestasi perdarahan hanya berupa
tes torniket positif dan ruam/ mudah memar
- Grade II: Manifestasi grade I disertai perdarahan spontan
- Grade III :Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi lemah dan cepat, kulit
dingin dan lembab, gelisah
- Grade IV: Syok berat dengan tekanan darah dan nadi yang tidak terdeteksi
Perbedaan Grade I dan II dengan DD adalah ada tidaknya hemokonsentrasi berupa
peningkatan hematokrit ≥20%. Grade III dan IV disebut juga dengan SSD.7
Antigen NS1 merupakan salah satu parameter laboratorium yang dapat juga diperiksa untuk
menentukan ada tidanya infeksi virus dengue. Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal
demam hari pertama sampai hari ke delapan. Pemeriksaan ini memiliki spesifitas 100%,
sama tinggi dengan spesifitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak
menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.7
2.2.6 Tatalaksana
Prinsip utama terapi demam dengue adalah terapi suportif. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi merpakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan cairan harus terus dipertahankan, terutama asupan oral. Apabila asupan oral tidak
dapat dilakukan, maka dibutuhkan penambahan cairan intravena untuk mencegah dehidrasi
dan hemokonsentrasi bermakna.
Terdapat protokol penanganan pasien DBD dewasa yang terbagi dalam 5 kategori:6
Protokol 1: Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
Keluhan DBD
(Kriteria WHO 1997)
Hb, Ht, trombo
normal
Hb, Ht normal
trombo 100.000-150.000
Hb, Ht normal
trombo <100.000
Hb, Ht meningkat
trombo normal/turun
Observasi
Rawat jalan
Periksa Hb, Ht,
Leuko,
Tromb/24 jam
Observasi
Rawat jalan
Periksa Hb, Ht,
Leuko,
Tromb/24 jam
Rawat
Rawat
Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa
Suspek DBD
Perdarahan massif (-)
Syok (-)
Hb, Ht normal
Tromb < 100.000
- infus kristaloid
- Hb, Ht, Tromb /24 jam
Hb, Ht meningkat 10-20%
Tromb < 100.000
- infus kristaloid
- Hb, Ht, Tromb /24 jam
Hb, Ht meningkat > 20%
Tromb < 100.000
- protokol pemberian cairan
DBD dengan Ht meningkat
20%
Volume cairan kristaloid/ hari yang diperlukan dihitung dengan 1500 + 20 x (BB kg – 20)
Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Protokol 4: Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Protokol 5: Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa
BAB III
DISKUSI
3.1 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, tipe demam yang dialami oleh pasien tidak dapat
ditentukan secara pasti, dapat berupa demam kontinu atau demam remiten, atau tipe demam
bifasik. karena pasien tidak mengukur suhu tubuhnya setiap hari sebelum masuk rumah
sakit. Namun, dari gejala yang dialami pasien bahwa demam tidak terasa turun/membaik
kecuali dengan obat penurun panas, dapat ditentukan bahwa tipe demam pasien bukanlah
demam intermiten. Berdasarkan durasi demam, maka pasien mengalami demam akut
(kurang dari dua minggu), sehingga pertama-tama dipikirkan kemungkinan terjadinya
infeksi sebagai penyebab demam, baik infeksi sistemik maupun lokal. Penyebab demam
lainnya seperti penyakit kronik, autoimun, keganasan, maupun drug-induced tidak menjadi
arah diagnosis karena tidak adanya riwayat penyakit ataupun penggunaan obat sebelumnya,
juga karena demam terjadi secara akut.
Anamnesis keluhan yang menyertai demam dapat digunakan untuk mengetahui
sumber infeksi yang menyebabkan demam. Adanya gejala konstitusional flu-like syndrome
seperti malaise, penurunan nafsu makan, mual, dan pegal-pegal/nyeri otot (mialgia) di
seluruh tubuh dapat menandakan infeksi sistemik yang bisa disebabkan oleh virus atau
bakteri. Adanya gejala pada sistem organ tertentu juga dapat menunjukkan kemungkinan
sumber infeksi fokal pada organ tersebut. Pada pasien ini, terdapat keluhan pada sistem
gastrointestinal berupa mual, muntah, dan sulit buang air besar (konstipasi). Oleh karena
itu, dapat dipikirkan kemungkinan infeksi pada saluran gastrointestinal yang menyebabkan
gangguan konstipasi, misalnya demam tifoid. Pemeriksaan laboratorium pada awal pasien
datang ke IGD juga memeriksa tes Widal dan Tubex untuk tifoid. Namun, tes tersebut
kurang tepat dilakukan karena anamnesis serta pemeriksaan fisik tidak menunnjukkan
adanya gejala yang lebih mengarah pada demam tifoid seperti lidah kotor (coated tongue)
atau bradikardia relatif. Tipe demam pada pasien pun tidak sesuai dengan karakteristik
demam tifoid yang naik secara bertahap semakin tinggi dari hari ke hari selama minggu
pertama, atau bersifat remiten (suhu naik di sore/malam hari). Selain itu, pada pasien yang
mengalami demam tifoid pun sebenarnya tidak tepat menggunakan tes Widal pada hari
keempat demam, karena kadar antibodi baru meningkat setelah lebih dari satu minggu
(aglutinin O mulai muncul pada hari kedelapan dan aglutinin H muncul pada hari
kesepuluh hingga keduabelas). Pada minggu pertama, bakteri salmonella typhi penyebab
demam tifoid dapat ditemukan pada feses atau urin, yang tidak dilakukan pada pasien. Jika
ingin menggunakan tes Widal, untuk menentukan diagnosis demam tifoid maka tes harus
diulang setelah dua minggu dan bermakna jika terjadi peningkatan empat kali lipat. 8,9 Oleh
karena itu, pada pasien ini penggunaan tes Widal kurang sesuai karena diagnosis demam
tifoid bukanlah diagnosis utama yang dipikirkan, dan seandainya demam tifoid menjadi
diagnosis utama pun, penggunaan tes Widal akan memakan waktu lama untuk menegakkan
diagnosis (lebih cocok menggunakan kultur feses pada minggu pertama demam). Tes
Tubex dapat digunakan pada hari keempat demam dan dikatakan memiliki sensitivitas serta
spesifisitas yang lebih tinggi dari tes Widal, namun memiliki sensitivitas paling tinggi pada
minggu kedua demam.8 Penggunaan tes Tubex pada pasien ini juga kurang tepat, dan hasil
negatif dapat diharapkan sedari awal, karena arah diagnosis memang tidak menuju demam
tifoid.
Pasien juga mengalami keluhan pada sistem pernapasan berupa batuk berdahak
purulen dan pilek. Infeksi saluran napas dapat menyebabkan demam, namun pada pasien ini
kemungkinannya kecil, karena jarak dimulainya gejala pernapasan (batuk-pilek) dan
demam cukup lama, yaitu tiga hari. Oleh karena itu, dipikirkan bahwa infeksi saluran napas
dan infeksi penyebab demam merupakan dua penyakit yang berbeda. Untuk membedakan
infeksi saluran napas terjadi pada bagian saluran napas atas atau saluran napas bawah, perlu
ditanyakan keluhan yang menyertai batuk-pilek tersebut. Adanya rhinorrhea, nyeri
tenggorokan serta nyeri menelan lebih mengarah pada infeksi pada saluran napas atas
(rhino-faringitis). Selain itu, tidak adanya keluhan suara serak, sesak napas, nyeri pada
bagian dada, ataupun rhonki pada auskultasi juga menyingkirkan dugaan infeksi pada laring
dan saluran napas bawah. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, infeksi saluran
napas yang terjadi mengarah pada rhinofaringitis, atau common cold. Hal ini juga ditunjang
oleh perjalanan penyakit yang bersifat self-limiting (hanya beberapa hari), dan gejala batuk
berlangsung lebih lama daripada gejala rhinorrhea atau pilek. Keluhan batuk juga telah
membaik dan tidak lagi produktif. Sputum purulen yang awalnya dialami oleh pasien tidak
selalu berarti penyebab rhinofaringitis adalah infeksi bakterial, karena infeksi viral juga
dapat menyebabkan sputum purulen. Hasil pemeriksaan fisik di mana tidak terdapat uvula
yang membesar, bercak putih di tonsil, ataupun bercak keabuan di lidah (gray furry) lebih
mengarah pada rhinofaringitis karena virus, dan secara epidemiologis memang penyebab
virus yang lebih banyak terjadi (seperti rhinovirus, adenovirus, atau influenza virus).10
Pemeriksaan penunjang berupa foto toraks sebenarnya kurang tepat untuk dilakukan pada
pasien karena tidak ada gejala yang mengarah pada infeksi saluran napas bawah. Dari hasil
foto toraks yang dilakukan terdapat sedikit infiltrat di bagian parakardial bilateral. Namun,
hal ini bukan berarti pasien mengalami bronkopneumonia, melainkan karena pada saat
pengambilan foto toraks inspirasi tidak cukup (idealnya inspirasi maksimal hingga tampak
iga posterior kesepuluh di atas diafragma, sedangkan pada pasien hanya tampak sampai iga
posterior kedelapan). Inspirasi yang tidak maksimal menyebabkan jaringan paru tampak
lebih
memadat
sehingga
bisa
menyerupai
gambaran
infiltrat,
seperti
pada
bronkopneumonia. Hal ini juga ditunjang dari pemeriksaan fisik dan anamnesis yang tidak
sesuai dengan infeksi saluran napas bawah
Keluhan sistem traktus urinarius yang dialami oleh pasien berupa BAK yang
berjumlah lebih sedikit dan berwarna kuning tua tidak dipikirkan sebagai penyebab infeksi.
Hal ini disebabkan tidak adanya keluhan yang mengarah pada infeksi traktus urinarius
seperti sistitis (tidak ada nyeri berkemih atau rasa anyang-anyangan) atau pielonefritis
(tidak ada nyeri abdomen atau nyeri ketok ginjal). Urin juga tidak tampak berwarna coklat
seperti teh yang terjadi karena peningkatan bilirubin direk dalam urin seperti pada infeksi
hepatitis, ataupun berbusa yang disebabkan peningkatan protein dalam urin. Oleh karena
itu, keluhan BAK lebih sedikit dan berwarna pekat pada pasien ini lebih disebabkan karena
kurangnya asupan cairan, sehingga produksi urin berkurang dan menjadi lebih pekat.
Karena pada pasien ini tidak didapatkan kemungkinan infeksi fokal yang
menyebabkan demam, maka dipikirkan infeksi sistemik sebagai penyebab demam. Adanya
bintik merah atau ptekiae pasien dan tes Rumpel-Leed positif merupakan manifestasi
perdarahan, sehingga dipikirkan kemungkinan demam dengue. Demam yang dialami pasien
pun cukup cocok dengan karakteristik demam dengue, yaitu kenaikan suhu menjadi tinggi
secara mendadak, sedangkan tipe demam bifasik tidak dapat diketahui karena pasien tidak
mengukur suhu setiap hari dan mendapatkan obat penurun panas. Selain itu, kondisi
lingkungan pasien (pada tempat kerja) dengan sanitasi yang kurang dapat membantu
transmisi virus dengue, yaitu genangan air sebagai tempat berkembang biak vektor penyakit
(aedes aegypti) dan adanya nyamuk dalam tempat kerja yang dapat menularkan virus
Dengue.
Saat pasien masuk IGD, pemeriksaan darah perifer yang menunjukkan
trombositopenia juga menunjang diagnosis. Hasil laboratorium leukositopenia juga
menunjang diagnosis infeksi virus. Pemeriksaan darah perifer lengkap yang dilakukan pada
pasien (di atas hari ketiga demam) juga sudah tepat, karena pada hari ketiga demam dengue
kemungkinan telah terjadi trombositopenia lima kali lipat lebih besar daripada hari pertama
dan kedua (pemeriksaan pada hari pertama-kedua demam kurang tepat karena mungkin
belum memperlihatkan trombositopenia). Pemeriksaan antibodi IgM dan IgG belum dapat
dilakukan, karena pada infeksi baru IgM baru meningkat pada hari kelima demam. Jika
kemudian tes dilakukan pada hari kelima-ketujuh demam, diperkirakan IgM akan positif
dan IgG negatif yang menandakan infeksi baru (sebelumnya pasien tidak pernah
mengalami demam dengue). Jika pada saat pasien datang ke IGD ingin dilakukan
pemeriksaan serologi Dengue, dapat digunakan tes antigen NS-1 yang dapat memberikan
hasil positif pada awal demam (hari pertama hingga hari kedelapan).7,11
Berdasarkan kriteria diagnosis WHO 1997, trombositopenia yang terjadi memiliki
batas di bawah 100.000/mm3, yang belum dipenuhi pada pemeriksaan awal, namun pada
pemeriksaan selanjutnya hingga hari ketujuh demam terjadi penurunan progresif hingga di
bawah 100.000/mm3, sesuai dengan patofisiologi penyakit tersebut. Kriteria diagnosis
WHO 1997 untuk DBD meliputi demam akut, minimal satu manifestasi perdarahan,
trombositopenia, dan minimal satu tanda kebocoran plasma. Pada kasus ini, tidak
didapatkan kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan hematokrit > 20%, tetapi
hal ini kurang dapat diandalkan karena nilai awal hematokrit pada hari pertama/sebelum
demam terjadi tidak diketahui. Jika memang terjadi kebocoran plasma, setelah ditambahkan
cairan maka plasma yang hilang akan tergantikan dan nilai hematokrit akan turun kembali.
Namun, pada pemberian terapi cairan pun nilai hematokrit tidak menunnjukkan penurunan,
yang berarti sejak awal memang tidak terjadi kebocoran plasma. Oleh karena itu, demam
yang terjadi pada pasien lebih mengarah pada demam dengue daripada demam berdarah
dengue. Pada pasien ini, hingga hari ketujuh demam pun, antibodi IgM dan IgG anti dengue
tidak diperiksa. Namun, perjalanan penyakit pada pasien sesuai dengan patofisiologi
demam dengue, di mana pada hari ketujuh terjadi peningkatan kembali trombosit, demam
sudah tidak ada, dan leukosit naik lebih dahulu dibandingkan trombosit.
Hipokalemia yang dialami oleh pasien dapat disebabkan karena kurangnya asupan
sumber makanan yang mengandung kalium akibat penurunan nafsu makan, ditambah
dengan hilangnya kalium melalui saluran gastrointestinal (muntah). Berdasarkan nilai
serum K, maka pasien mengalami hipokalemia ringan, di mana serum kalium masih di atas
3 mEq/L.
Tatalaksana
Pada pasien dengan demam dengue, sesuai dengan protokol untuk maka pasien
dirawat inap karena jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3. Selanjutnya, penatalaksanaan
sesuai protokol untuk hematokrit dan hemoglobin normal, yaitu infus kristaloid dan
pemantauan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam. Pemberian cairan sudah dalam jumlah tepat,
yaitu dengan rumus 1500 + 20 x (BB kg – 20) dengan berat badan + 50 kg, sehingga
jumlah cairan + 2100 ml/hari, yang sama dengan 1 kolf (500 ml)/6 jam.
Pemberian obat antipiretik untuk gejala simptomatik demam juga sudah tepat
menggunakan parasetamol yang tidak menyebabkan efek samping gastrointestinal
(golongan salisilat dan NSAID dapat menimbulkan efek samping seperti mual yang
memperberat keluhan pasien). Dosis yang digunakan pun berada dalam dosis terapeutik dan
tidak melebihi dosis maksimal dalam sehari.
Pemberian ranitidin dan domperidone ditujukan untuk mengatasi gejala mual dan
muntah yang dialami pasien. Ranitidin sebagai antagonis reseptor H2 pada lambung akan
berefek menurunkan produksi asam lambung, sedangkan sebelumnya pasien tidak memiliki
riwayat dispepsia atau ulkus peptikum. Oleh karena itu, gejala mual yang dialami tidak
terlalu berhubungan dengan produksi asam lambung, sehingga kurang tepat untuk
diberikan. Pada pasien ini lebih tepat untuk diberikan domperidone sebagai obat antiemetik
yang bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin di sistem saraf pusat (chemoreceptor
trigger zone) dan mempercepat pasase makanan di saluran cerna (prokinetik).
Pemberian mukolitik berupa asetilsistein (flumucyl) ditujukan untuk membantu
pengeluaran sputum, sehingga membantu clearence tubuh dari mikroorganisme penyebab
infeksi saluran napas. Namun, jika pasien sudah tidak mengalami keluhan batuk pada
perawatan, maka pemberian mukolitik sudah tidak diperlukan.
Pemberian KSR atau suplemen kalium pada pasien ini sudah tepat karena
hipokalemia yang terjadi adalah hipokalemia ringan. Selain itu, dapat pula dianjurkan
makanan yang mengandung kalium seperti pisang.
Pada pemberian farmakoterapi, obat-obatan yang diberikan (asetilsistein, KSR,
parasetamol, ranitidin, domperidone) tidak memiliki interaksi dalam hal farmakokinetik
(absorpsi, distribusi, ekskresi) maupun farmakodinamik.
3.3 Prognosis
Pada pasien tersebut, demam dengue yang dialami sudah mengalami perbaikan dan
tidak ada tanda perdarahan spontan ataupun masif. Oleh karena itu, prognosis “ad vitam”
adalah “bonam”. Demam dengue ataupun rhinofaringitis juga tidak mengakibatkan gejala
sisa ataupun gangguan fungsional setelah infeksi dapat teratasi, sehingga prognosis “ad
fungsionam” adalah “bonam”. Infeksi dengue dapat ditransmisikan dari orang ke orang
melalui vektor nyamuk. Jika tidak dilakukan kontrol lingkungan untuk mengendalikan
transmisi virus dengue, maka penularan dapat terjadi kembali dan tidak tertutup
kemungkinan pasien untuk mengalami demam dengue atau demam berdarah dengue
kembali. Jika terjadi infeksi dengue kembali, maka gejala klinis yang dialami dapat lebih
berat karena antibodi lebih banyak dibentuk. Oleh karena itu, perlu dianjurkan kontrol
lingkungan berupa perbaikan sanitasi atau pemberantasan vektor berupa fogging
(malathion) maupun penggunaan bubuk abate (temefos) pada tempat penampungan air.
Maka, prognosis “ad sanctionam: adalah “dubia ad bonam”.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Longo D, Kasper DL, Jameson JL, Fauci A, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s internal
medicine. 18th ed. 2011. New York: McGraw-Hill. p. 532-5.
2.
Nelwan RHH. Demam: Tipe dan pendekatan. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3. ed 4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. p. 1697-9
3.
Sherwood L. Human physiology from cell to system. 6th ed. Belmont: Thomson
Brooks/Cole. 2007. p. 641-7
4.
Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th ed.
Massachusetts: John Wiley & Sons. 2009. p. 1002-4
5.
Gan S, Wilmana PF. Analgesik-antipiretik, analgesik anti-inflamasi nonsteroid, dan
obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth,
editor. Farmakologi dan terapi. ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. p. 230-46
6.
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
7.
Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. 2nd
Edition.
Geneva:
World
Health
Organization.
Downloaded
from:
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en/. Diakses
pada Oktober 2013.
8.
Olsen SJ, Pruckler J, Bibb W, Thanh NT, Trinh TM, Minh NT, et al. Evaluation of
Rapid Diagnostic Tests for Typhoid Fever. J. Clin. Microbiol. 2004; 42(5): 1885-9.
9.
Olopenia LA, King AL. Widal agglutination test − 100 years later: still plagued by
controversy. Postgrad Med J. 2000; 76:80-4.
10. Arroll B. Common cold. Clinical evidence. 2011; 3: 1510-3.
11. Srichaikul T, Nimmannitya S. Haematology in dengue and dengue haemorrhagic fever.
Baillieres Best Pract Res Clin Haematol. 2000 Jun;13(2):261-76
Download