kajian wilayah negara maju

advertisement
Kajian Wilayah Negara-Negara Maju
1. Anggota Negara Maju.
Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif
tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP
per kapita tinggi dianggap negara berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP
tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan fosfor dan
Brunei Darussalam melalui pengambilan minyak bumi) tanpa mengembangkan industri yang
beragam, dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'.
Pengamat dan teoritis melihat alasan yang berbeda mengapa beberapa negara (dan
lainnya tidak) menikmati perkembangan ekonomi yang tinggi. Banyak alasan menyatakan
perkembangan ekonomi membutuhkan kombinasi perwakilan pemerintah (atau demokrasi),
sebuah model ekonomi pasar bebas, dan sedikitnya atau ketiadaan korupsi. Beberapa
memandang negara kaya menjadi kaya karena eksploitasi dari negara miskin di masa lalu,
melalui imperialisme dan kolonialisme, atau di masa sekarang, melalui proses globalisasi.
Organisasi seperti Bank Dunia, IMF, dan CIA, biasanya setuju bahwa sekelompok negara
maju termasuk:
Anggota Uni Eropa:

Austria

Jerman

Belanda

Belgia

Yunani

Portugal

Denmark

Irlandia

Spanyol

Finlandia

Italia

Swedia

Perancis

Luxemburg

Britania Raya
Negara non-UE:

Andorra

Norwegia

Islandia

San Marino

Liechtenstein

Swiss

Monako

Vatikan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
1
Negara bukan Eropa:

Australia

Kanada

Korea Selatan

Hong Kong

Israel

Jepang

Selandia Baru

Singapura

Taiwan

Amerika Serikat
Perbedaan antara negara miskin dan negara makmur/kaya adalah bukan karena usia
negara itu. Hal ini dapat dilihat seperti negara India & Mesir yang sudah berusia lebih dari
2000 tahun tapi tetap miskin. Namun sebaliknya, Australia & New Zealand, yang 150 tahun
lalu masih "inexpressive", sekarang sudah menjadi negara yang maju dan makmur/kaya.
Perbedaan antara negara miskin & makmur/kaya bukan juga terletak dari kekayaan sumber
sumber alamnya. Contohnya, Jepang memiliki territory yang terbatas, 80% pegunungan yang
tidak cocok untuk pertanian & peternakan, tetapi menjadi negara ekonomi kedua terbesar
didunia. Negara seperti sebuah pabrik besar yang mengambang, mengimpor bahan baku dari
seluruh dunia dan mengekspornya kembali keseluruh dunia.
Contoh lainnya adalah Switzerland, yang tidak menanam tanaman Coklat akan tetapi
menjadi produsen Coklat terbaik didunia. Di dalam wilayah negaranya yang kecil mereka
berternak dan bercocok tanam selama 4 bulan setiap tahunnya. Tidak cukup itu, mereka
memproduksi "dairy product" juga yang terbaik mutunya didunia. Switzerland sebuah negara
kecil yang mengimpelemntasikan Keamanan, Hukum dan Tenaga Kerja yang membuatnya
negara teraman di dunia
Para Executive dari negara makmur/kaya yang berkomunikasi dengan partner mereka
di negara miskin menunjukkan tidak ada perbedaan "intelektual" yang berarti. Suku bangsa,
warna kulit juga tidak penting ; kaum immigran yang di juluki pemalas di negara asalnya
justru berperan sebagai kekuatan yang productive di negara-negara kaya Eropa
Lalu, apa perbedaannya ?? Perbedaannya adalah dari SIKAP / ATTITUDE
manusianya, yang terbentuk bertahun tahun oleh Pendidikan dan Kebudayaannya masing
masing. Dari analisa perilaku para penduduk di negara makmur/kaya dan sudah maju, kita
bisa temukan umumnya mereka mengikuti beberapa prinsip dalam kehidupan mereka sehari
hari al :
1. Etika, sebagai prinsip dasar
2. Integritas
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
2
3. Tanggung Jawab
4. Menghargai Hukum & Peraturan
5. Menghargai hak hak penduduk lainnya
6. Suka bekerja keras
7. Berusaha keras untuk Menabung
8. Kemauan yang keras
9. Menepati Waktu
Sementara di negara miskin hanya sedikit yang mengikuti prinsip prinsip dasar
tersebut dalam kehidupan mereka sehari hari. Kita tidaklah miskin karena kita kekurangan
sumber sumber alam atau karena alam sangat kejam kepada kita. Kita miskin karena kita
kekurangan SIKAP/ATTITUDE. Kita kekurangan KEINGINAN untuk mengikuti dan
menjadikan pelajaran atas prinsip prinsip dasar ini dari masyarakat negara Kaya/Makmur dan
Maju.
Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional.
Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi out put politik
luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik
dan elemen eksternal.
Jika faktor-faktor domestik itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisi
negara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi memberikan nuansa terhadap
perilakunya di dunia internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam
konteks ekonomi adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Artikel ini akan mengulas pendekatan terhadap studi politik luar negeri negara-negara
berkembang. Namun sebelum sampai pada kajian terhadap kebijakan eksternal negara
berkembang dilakukan terlebih dahulu survai singkat terhadap kerangka teoritis studi politik
luar negeri.
Lima kerangka teoritis
Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima
model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Pertama, model strategis atau rasional.
Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi
politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam
merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil
yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan
adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
3
yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap
rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini
menyandarkan pada intuisi dan observasi.
Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini
adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam
kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan
kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi
manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif.
Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini
menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar
negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partaipartai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan
pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat –
termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri – mampu mempengaruhi pembentukan politik
luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan
pengaruhnya juga.
Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar
negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang
tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam
kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan.
Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena
adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional,
disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar
negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif.
Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebutsebut “kurang berkembang” atau “tidak berkembang”. Namun demikian studi terhadap
negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau
Inggris, tetap menarik untuk disimak.
Studi Polugri Negara Berkembang
Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany, ada tiga
pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara berkembang baik di
Asia, Afrika maupun Amerika Latin.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
4
Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi
impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden
merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera
pribadi dan pilihan individual.
Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang
untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill
tahun 1962 sebagai “bagian dari hubungan masyarakat”. Tujuannya, memperbaiki citra
negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitankesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal.
Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini
membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan irasional, bukan masalah analisis
sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks (domestik, regional dan
global) dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan
seperti ini mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik,
sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap
dominan, perasaan publik dan realitas politik.
Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara
berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan
mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang lainnya. Atau bagaimana
faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik
luar negeri pemimpin lainnya.
Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar realis
seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi
konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang
lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi rangsangan eksternal, mereka bereaksi
terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama
pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri.
Ketiga, pendekatan reduksionis atau model-builders. Pendapatnya, politik luar negeri
negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang
membentuk
politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan
dasarnya
adalah
kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil.
Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini
berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin,
berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
5
Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara
juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri negaranegara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level lebih rendah.
Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan
politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global.
Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan
kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan
sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara berkembang.
Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan
pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri. Pertama, mempertahankan kemerdekaan
bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal
untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan
dengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukungan luar
negeri, memanfaatka legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik dan menciptakan
simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional.
Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan sumbersumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi
perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk
membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah absolut sumber-sumber yang
tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan
menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana
negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan sumbersumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam
bertindak.
Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada
posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung seperti dikutip
Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini.
Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang
terdiri dari negara besar alias “top dog”, negara menengah dan regional serta negara
berkembang atau negara “underdog” yang lebih kecil.
Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang
eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara negara dalam level
pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise.
Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
6
Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi
sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis tentang peranan
Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negaranegara besar.
Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai
terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan
bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan
merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak dapat
dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik.
Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga
perlu membuka “kotak hitam”. Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional.
Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi
dan bahkan didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri.
Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam
melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara
Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan
independensi nasional.
Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang
dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan
mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya.
Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari
debat lama “senjata atau roti”. Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama
merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber
eksternal demi pembangunan masyarakat.
Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri
sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara
berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri
dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi politik luar negeri, proses pengambilan
keputusan dan perilaku politik luar negeri.
Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya
dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur
lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat
dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
7
kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana
elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut
struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat
dukungan publik. Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat
pelaksanaan sebuah politik luar negeri.
Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di
sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah
keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi
proses pengambilan keputusan. Kelembagaan presiden biasanya menikmati kebebasan relatif
karena tiadanya kebebasan pers atau oposisi yang kuat. Di negara-negara seperti ini
hubungan antara kebijakan domestik dan luar negeri lebih langsung daripada negara maju
yakni politik luar negeri dikerahkan untuk mencapai tujuan domestik.
Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar
negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara elit politik
luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya di dunia. Holsti
mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai “sikap umum (sebuah negara) dan komitmen
terhadap lingkungan eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan
tujuan serta aspirasi eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada.” Ia mendefinsikan
tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi. Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan
berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional
dan sistem global.
Llyod S Ethredge seperti dikutip Jensen melihat adanya dua orientasi individual
terhadap sistem politik internasional yakni introvert dan ekstrovert. Kemudian ia membuat
matriks dengan mengkaitkannya dengan unsur dominasi. Ia melukiskannya sebagai berikut :
Dominasi tinggi
Introvert
Ekstrovert
Pemimpin blok
Pemimpin (penyatuan) dunia)
Mempertahankan
Konsiliasi
(pembentukan ulang)
Dominasi rendah
(memelihara)
Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan personalisasi
karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya institusionalisasi di negara-negara
berkembang. Sebenarnya pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
8
mungkin mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus
mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok
domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan
bukanlah presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga.
Perilaku politik luar negeri yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi
tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan dalam
melaksanakan politik luar negeri. Tindak-tanduk politik luar negeri merupakan ekspresi
konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri
dicirikan dengan dukungan dari PBB.
Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia sudah banyak dilakukan
baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo Suryadinata
mengkategorikan kajian politik luar negeri dalam dua pendekatan yakni studi makro dan
mikro. Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak
Agung Gde Agung dan Michael Leifer.
Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie,
David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir bersifat
mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal Sukma.
Studi terhadap politik luar negeri juga biasanya membaginya berdasarkan periode
Sukarno dan Soeharto. Sebagian besar studi politik luar negeri era Soeharto diterbitkan tahun
1970-an dan awal 1980-an. Studi yang dilakukan Rizal selesai dalam bentuk disertasi tahun
1997. Jadi tergolong baru dibandingkan studi terakhir yang dilaksanakan Leo yang terbit
tahun 1996.
Dimensi politik luar negeri negara-negara berkembang lebih kompleks dibandingkan
dengan model untuk studi politik luar negeri negara-negara maju. Lima model yang diajukan
Jensen dalam kajian politik luar negeri, tidak mencukupi untuk menguraikan rangkaian yang
terkait dengan politik luar negeri yang dilakukan negara sedang berkembang.
Unsur-unsur domestik seperti pembangunan ekonomi, politik, struktur sosial serta
instabilitas yang terkandung dalam proses perumusan serta aktualisasi politik luar negeri
sangat besar pengaruhnya. Bahkan dalam skala tertentu, negara berkembang cenderung
memiliki instabilitas tinggi dibandingkan dengan negara maju sehingga polanya tidak ajeg.
Disamping itu faktor sistem internasional dimana hegemoni negara besar juga
berpengaruh, perilaku politik luar negeri juga mengikuti arus internasional. Ketergantungan
ekonomi dan politik negara berkembang terhadap negara besar menyebabkan keterbatasan
dalam melaksanakan politik luar negerinya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
9
Pemerintah Indonesia dan Jepang akan menyampaikan kajian evaluasi kemungkinan
tercapainya Target Bogor (Bogor Goals) bagi negara-negara maju pada 2010 dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura,
14-15 November 2009.
"Seperti kita tahu, negara-negara maju APEC sepakat melakukan perdagangan bebas
pada 2010 dan untuk negara-negara berkembang pada 2020," kata juru bicara Departemen
Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat. Teuku Faizasyah mengatakan bahwa negaranegara APEC memiliki waktu untuk mengaji kesiapan itu sebelum pertemuan APEC
selanjutnya di Jepang pada 2010. Bogor Goals merupakan deklarasi yang dihasilkan dalam
KTT APEC 1994 lalu di Bogor untuk mewujudkan visi kerjasama ekonomi.
Bogor Goals APEC bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dan investasi
yang bebas, terbuka dan adil dikawasan tahun 2010/2020 untuk ekonomi maju dan ekonomi
berkembang, memimpin dalam memperkuat sistem perdagangan multirateral yang terbuka,
meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa.
Kemudian, mengintensifkan kerja sama ekonomi di Asia-Pasifik dan mempercepat
proses liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi yang lebih jauh,
meningkatkan arus barang, jasa, modal secara bebas dan konsisten dengan GATT.
Pendekatan Bogor Goals dilakukan dengan menyepakati pedoman kerja sama APEC
yang dikenal sebagai "Agenda Aksi Osaka (OAA)" yang memuat tiga pilar kerja sama
ekonomi APEC --liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi usaha, dan kerja sama
ekonomi dan teknik--, prinsip umum kerja sama, instrumen pokok kerjasama dan bidangbidang kerjasama APEC.
Tema KTT APEC 2009 adalah "Sustaining Growth, Connecting the Region". Tema
itu merefleksikan adanya proses yang berkelanjutan di APEC untuk memfasilitasi
perdagangan dan investasi di kawasan Asia-Pasifik pada khususnya, dan merespon
tantangan-tantangan dari kondisi perekonomian dunia saat ini pada umumnya.
Dalam rangkaian pertemuan APEC tahun ini, para anggota Ekonomi APEC
membahas langkah-langkah yang diperlukan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang
inklusif dan berkelanjutan mengatasi krisis ekonomi dunia, dukungan terhadap sistem
perdagangan multilateral dan usaha-usaha untuk mempercepat integrasi ekonomi kawasan.
Lebih lanjut Faiza mengatakan bahwa secara khusus Indonesia dapat menggunakan
pertemuan APEC itu untuk menyampaikan kepada pemerintah-pemerintah negara APEC
program dan komitmen dari pemerintahan kabinet baru di Indonesia.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
10
APEC adalah forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik yang terbentuk pada 1989. Pada
awalnya terdapat 12 negara sebagai pendiri yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada,
Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand,
dan Amerika Serikat.
Sejak saat itu telah menjadi wahana utama di kawasan Asia Pasifik dalam
meningkatkan keterbukaan dan praktik kerja sama ekonomi sehingga dapat menarik masukan
beberapa negara yaitu Republik Rakyat China, Hongkong-Cina dan Chinese-Taipe untuk
bergabung pada 1991 yang kemudian disusul masuknya Meksiko dan Papua New Guinea
tahun 1993 serta Chili pada 1994.
Sedangkan tiga ekonomi anggota terakhir yaitu Federasi Rusia, Peru dan Vietnam
bergabung dalam forum APEC tahun 1998 Beranggotakan 21 anggota Ekonomi, APEC
merupakan forum kerja sama ekonomi di wilayah Asia-Pasifik yang bersifat sukarela,
informal dan tidak mengikat.
APEC bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi
kawasan dan memperkuat kerja sama ekonomi Asia-Pasifik melalui peningkatan volume
perdagangan dan investasi. Indonesia mendukung peran penting APEC dalam meningkatkan
kerja sama ekonomi di kawasan dan berperan aktif dalam pengembangan arah kerja sama
APEC kedepan.
Partisipasi Indonesia di APEC dilandaskan pada pentingnya mengantisipasi dan
mengambil keuntungan dan mengamankan kepentingan nasional RI dari era perdagangan dan
investasi yang semakin bebas di Asia Pasifik.
Manfaat lain dari forum APEC bagi Indonesia adalah sebagai tempat melibatkan
komunitas bisnis Indonesia dalam proses pengembangan kebijakan, sarana pengembangan
kapasitas melalui pemanfaatan proyek-proyek APEC.
Selain itu, APEC merupakan forum bertukar pengalaman, serta forum yang
memungkinkan
Indonesia
untuk
memproyeksikan
kepentingan-kepentingannya
dan
mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.
2. Ideologi Sebagai Dasar Perekonomian Dunia
Komunisme kiri maupun otoritarianisme kanan sama-sama gagal mempertahankan
ideologinya. Kelemahan Negara-negara otoritarian kanan terletak pada kegagalan mereka
untuk mengontrol masyarakat sipil. Sementara totalitarianisme kiri menghindari persoalan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
11
tersebut dengan mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di bawah control
mereka, termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir.
Karena kelemahan-kelemahan ‘negara kuat’ (kominisme kiri dan otoritarianisme
kanan) itulah, maka banyak negara-negara yang menerapkan sistem itu mulai membuka jalan
untuk demokrasi. Ini secara politis. Selain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu,
Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Ini misalnya terlihat
dari perkembangan ekonomi yang fenomenal di Asia Timur sejak PD II. Kisah sukses ini
tidak saja terjadi pada Negara-negara modern awal semisal Jepang, tetapi juga semua Negara
Asia
yang
bersedia
mengadopsi
prinsi-prinsip
pasar
dan
mereka
sepenuhnya
mengintegrasikan dengan sistem ekonomi global-kapitalis. Sejak itu, slogan privatisasi dan
perdagangan bebas menggantikan slogan nasionalisasi dan substitusi impor. Di sinilah
tampak bahwa krisis yang terjadi pada otoritarianisme dan sosialisme hanya menyisakan satu
pesaing tangguhnya, yaitu demokrasi liberal.
Liberalisme dan demokrasi sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berbeda
meskipun antara keduanya ada keterkaitan yang erat. Liberalisme politik secara sederhana
dapat didefinisikan sebagai suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu individu
atau kebebasan dari kontrol pemerintah.Sedangkan demokrasi, sebagai mana dalam definisi
Lord Bryce menyebutkan setidaknya tiga elemen mendasar dalam demokrasi, yaitu: hak-hak
sipil hak-hak beragam, dan hak-hak politik. Dengan demikian, untuk menilai Negara
manakah yang layak disebut demokratis, yaitu ketika Negara memberikan kepada rakyatnya
hak untuk memilih pemerintah sendiri melalui pemilihan secara periodik, bebas, dan rahasia,
menggunakan sistem multi partai, atas dasar hak pilih orang dewasa yang sederajat.
Dalam manifestasi ekonominya, liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak
untuk melakukan aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan
pribadi dan pasar. Singkatnya adalah ekonomi pasar bebas, sebagai istilah lain dari
kapitalisme yang belakangan istilah ini dikonotasikan secara pejorative.
Meskipun keduanya (demokrasi dan liberalisme) terkait erat, namun mungkin saja
sebuah Negara itu menjadi liberal tanpa secara parikular menjadi demokratis. Dalam konteks
ini, Inggris pada abad ke-18 dapat dijadikan contoh. Di Inggris saat itu, hak-hak warga
Negara, termasuk hak suara sepenuhnya dilindungi untuk kepentingan sempit para elit.
Begitu pula sebaliknya, mungkin saja Negara menjadi demokratis tanpa harus menjadi
liberal. Negara Republik Islam Iran dapat dikategorikan dalam jenis ini. Republik Islam Iran
ini benar-benar telah menyelenggarakan pemilihan-pemilihan regular yang benar-benar fair
dan membentuk Negara yang demokratis. Namun Negara ini jauh dari kesan liberal karena di
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
12
sana tidak ada jaminan terhadap kebebasan berbicara, pertemuan, apalagi kebebasan
beragama.
Islam, sebagaimana liberalisme dan komunisme, yang juga memiliki ideologi yang
sistematik dan koheren. Dan di sebagian besar dunia Islam, Islam benar-benar telah berhasil
mengalahkan demokrasi liberal dan memposisikan dirinya sebagai ancaman terhadap praktipraktik liberal bahkan di Negara di mana Islam tidak memiliki kekuasaan politik secara
langsung. Paska berakhirnya perang dingin, Islam tampil sebagai tantangan terhadap Barat,
sebuah tesis yang kemudian dikukuhkan oleh Huntington dalam clash of civilization-nya.
Meskipun demikian, dunia Islam akan tampak lebih mudah diserang ide-ide liberal dalam
jangka panjang ketimbang sebaliknya. Karena tampaknya ide-ide liberal lebih memikat para
pengikut Islam sepanjang satu setengah abad yang lalu. Sebagai reaksinya adalah lahirnya
apa yang kemudian disebut fundamentalisme.
Dari pengalaman rezim-rezim pemerintahan dalam perjalanan sejarah manusia, dari
pemerintahan monarki dan aristokrasi, teokrasi religius, hingga pemerintahan diktator fasis
dan komunis abad ini, tampaknya demokrasi liberal merupakan satu-satunya rezim
pemerintahan yang paling bertahan hingga akhir abad ke-20.
3. Perspektif Perekonomian Dunia
Lebih dari sepuluh tahun silam, tepatnya di tahun 1989, masyarakat politik dunia
digemparkan dengan hadirnya satu artikel kontroversial bertajuk The End of History? yang
dikarang oleh Francis Fukuyama. Artikel ini lantas dikembangkan menjadi satu buku utuh
dan komprehensif yang mengelaborasi perkembangan masyarakat dunia dalam kurun waktu
kontemporer melalui pendekatan filsafat sejarah, ia pinjam dari Hegel, yang lantas berujung
pada satu kesimpulan bahwa tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah masyarakat kapitalis
dengan sistem politik demokrasi liberal (Fukuyama, 2004).
Lebih Lanjut, Fukuyama memaparkan bahwa runtuhnya rezim-rezim komunis di
Eropa Timur dan Uni Soviet pada tahun 1989 dan 1990 yang berarti berakhirnya MarxismeLeninisme sebagai ideologi politik tidak menandai apapun kecuali “titik akhir dari evolusi
ideologis umat manusia”. Kondisi terakhir ini disebut Fukuyama sebagai “pertama kali terjadi
dengan kehancuran total alternatif sistematis terhadap demokrasi liberal Barat”. Meski ia
bersepakat dengan gagasan Daniel Bell yang menyatakan bahwa dunia akan mengalami
deideologisasi, namun ia menolak ramalan Bell akan terjadinya korvergensi ideologis antara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
13
liberalisme dan sosialisme. Bagi Fukuyama, “kemenangan telak liberalisme politik dan
ekonomi adalah bentuk final dari pemerintahan umat manusia” (Steger, 2005: 4).
Nuansa kemenangan yang sama juga muncul dalam pendahuluan tiga volume
penelitian yang termasyhur mengenai demokrasi di negara-negara berkembang oleh
Diamond, yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya model pemerintahan
dengan legitimasi ideologis yang luas dan cocok di dunia masa sekarang. (Ia adalah) zetgeist
global baru (Abrahamsen, 2000:110).
Keyakinan Fukuyama merupakan respon yang masuk akal pada penghujung 1980-an
di saat hampir semua kekuatan Marxisme-Leninisme menjemput ajal politiknya dan ia
mengumandangkan gagasan inti tentang meningkatnya kekuatan pasar bebas. Sebagaimana
diungkapkan Fred Dallmayr (Steger, 2005: 6) demokrasi liberal Barat dan liberalisasi
ekonomi telah muncul sebagai panacea ideologis yang meyakinkan dan akan menyebar ke
segala penjuru dunia.
Penguatan teoritik dan supply energi politik di kalangan negara liberal Barat
meneguhkan kebijakan mereka untuk mempercepat laju gelombang demokrasi liberal ke
negara-negara Selatan ataupun negara-negara yang belum menganut paham demokrasi
liberal. Maka, berbagai program pun diluncurkan untuk menyokong perkembangan
demokrasi dan pembentukan sistem politik dan tata pemerintahan di dunia ketiga yang
sejalan dengan garis liberal dalam corak pembangunannya.
Pelacakan Abrahamsen (2000: 56) membuktikan pada tahun 1990 Democracy
Initiative dari US Agency for International Development (USAID) diluncurkan untuk
membantu mendorong dan mengonsolidasikan demokrasi sebagai prinsip pengelolaan sistem
politik yang legitimate di seluruh dunia. Satu tahun sebelumnya, 1989, World Bank
mengintrodusir untuk pertama kali istilah “good governance”, sebagai doktrin pembangunan
baru dan tata kelola pemerintahan yang segaris dengan demokrasi liberal. Doktrin ini
meyakini bahwa demokrasi tidak hanya dikehendaki dari perspektif hak asasi manusia, tetapi
juga dibutuhkan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan berkelanjutan.
Demokrasi liberal dan “anak ideologisnya”, good governance, lantas menjadi tawaran baru
bagi pembangunan negara di berbagai belahan dunia, terutama dunia ketiga.
Setelah didorong secara global oleh Amerika Serikat dengan negara Barat pada
umumnya, Demokrasi dan good governance lantas menjadi buzzword dalam studi politik dan
pembangunan di tahun 1990-an. Di Indonesia, terutama istilah good governance, menjadi
salah satu kosakata paling populer di kalangan petinggi negara dan akademisi, sebagai
tawaran baru dalam pembenahan pemerintahan yang secara sistemik begitu rusak. Keasyikan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
14
melafalkan suatu kosakata baru dengan berbagai “bujuk rayu” yang menggiurkan dari
negara-negara Barat akan pembaharuan tata pemerintahan dan progresifitas pembangunan
menyebabkan kita, masyarakat dunia ketiga, mengesampingkan daya kritis dalam merespons
berbagai tawaran Barat.
4. Perkembangan Perekonomian Dunia
Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di
mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada
generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya
yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of
Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini
dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem
ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun
moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami
krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negaranegara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju.
Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi
kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan
mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk
dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok
orang tertentu.
Globalisasi budaya modernitas
Dalam konteks global saat ini, tampaknya persoalan globalisasi modernitas lebih
penting daripada globalisasi ekonomi dan politik. Leslei Skalair (1991:51) menyatakan
globalisasi ekonomi dan politik adalah fenomena yang ditunjukkan oleh semakin meluasnya
cakupan pengaruh penetrasi sistem organisasi korporasi ekonomi dan politik modern seperti
terdapat dalam perusahaan multinasional dan transnasional dan pengaruh kelas kapitalis
transnasional terhadap sistem ekonomi negara-negara sedang berkembang. Sementara
globaliasi budaya modernitas merupakan globalisasi dalam level budaya yang mengacu pada
prinsip hidup modern sebagaimana tercermin dalam idiologi kultural konsumerisme.
Dalam banyak pembahasan tentang pengaruh globalisasi terhadap perubahanperubahan budaya lokal si negara sedang berkembang dikemukakan bahwa globalisasi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
15
ekonomi dan politik ternyata diakui memiliki kekuatan terbatas dalam mengubah masyarakat
lokal disbanding globalisasi budaya modernitas. Scott Lash & John Urry (1994: 160-167)
menyatakan globalisasi ekonomi dan politik tidak dapat secara bebas menembus masyarakat
lokal karena dibatasi oleh lingkup negara bangsa. salah unsure penting dari pengaruh
globalisasi ekonomi dan politik yaitu sistem kapitalisme, misalnya, ternyata tidak begitu saja
mudah berkembang dan diterima begitu saja kapitalisme sebagaimana yang berkembang di
negara industri maju, tetapi diterima secara berbeda sesuai dengan kepentingan kekuasaan
yang ada. Karena misalnya muncul banyak fenomena kapitalimse ala Jepang, kapitalisme ala
Asia Tenggara, yang berbeda dengan kapitalisme Jerman atau Amerika Serikat.
Menanggapi apa yang dikemukakan Fukuyama tentang globalisasi modernitas ini ia
berusaha untuk memberikan keyakinan terhadap masyarakat dunia bahwa kapitalisme
merupakan sebuah idiologi terkuat di dunia, melalui penyeragaman idiologi dan tidak
mengakui idiologi lainnya. Penulis menanggapi bahwa apa yang diungkapkan Fukuyama
terlalu tergesa-gesa, jika dilihat dari konteks glabalisasi maka alur logika fukuyama sangat
keliru dalam memahami keragaman idiologi. Dalam konteks posmodernisme seyogyanya kita
harus mengakui keragaman yang integrated pluralisme bukan penyeragaman. Hal ini dapat
diperkuat dengan pendapat Pauline Marle (1992: 8) menyatakan bahwa teori postmodern
pada gilirannya menolak adanya proyek global “ perbedaan”, “keunikan dari bagian-bagian”,
daripada kesatuan teori sosial secara keseluruhan.
Kenyataan menunjukkan pada kita bahwa pengaruh globalisasi modernitas telah
mengaburkan batas-batas negara-bangsa. Dalam lingkungan budaya dewasa ini kita telah
memasuki suatu situasi di mana batas-batas negara-bangsa menjadi semakin sulit dikenali.
Hal itu disebabkan karena pengaruh globalisasi budaya sulit dikontrol oleh suatu sistem
politik negara-bangsa.
Mengkaji apa yang disampaikan oleh Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme
dan demikrasi liberal. Dalam hubungan ini Anthony Giddens (1981) dalam pemikirannya
tentang nation-state ia memberikan satu kerangka pikir yang mengkaitkan negara dan
masyarakat dalam satu kesatuan yang mengandaikan. Pemikirannya tentang nation-state
sendiri menempatkan modernitas sebagai titik tolak pemahaman. Bagi Giddens modernitas
ditopang oleh empat dimensi yang sifatnya institusional yaitu monopoli sarana-sarana
kekerasan, kapitalisme, industrialisme Surveillance atau pengawasan.
Modernitas merupakan satu fenomena yang sangat khas Eropa. Secara umum istilah
modernitas merujuk pada bentuk masyarakat yang mulai muncul di Eropa Barat dalam abad
ke tujuh belas dan delapan belas yang tercermin di Amerika Utara dan sejak itu telah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
16
menyebar atau mengenai bagian-bagian dunia lainnya. Reindhard Bendix, misalnya
menyatakan bahwa semua konsepsi mengenai proses modernisasi harus dimulai dari
pengalaman Eropa Barat karena dari sanalah asal mula berkembangnya komersialisasi
industri dan revolusi.
Proses pergulatan ideologi telah mencapai kepada kemenangan kapitalisme dan
demokrasi liberal, mengalahkan ideologi sosialisme dan fasisme. Semua negara akan berjalan
dengan tuntutan kapitalisme dan demokrasi liberal, sehingga pada akhirnya tercipta sebuah
pemerintahan tunggal dunia yang menyatu di bawah pimpinan AS sebagai aktor utama dunia.
Anthony Gidden (1990) menyatakan bahwa kapitalisme global telah merombak tatanan
kehidupan masyarakat.
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila
sejumlah pakar politik dan ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kekuatan
idiologis kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat dunia di muka bumi ini.
Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai
sistem sosial dan model idiologi ekonomi dunia.
Namun demikian, berakhirnya ketegangan idiologis tersebut ternyata tidak lantas
menjadikan dunia lebih aman karena hal tersebut hanya mengurangi ketegangan di tingkat
global, tidak menyelesaikan konflik-konflik di kawasan yang telah memiliki bibit konflik
secara tradisonal. Hal ini terbukti ketika dunia memasuki dekade 1990-an muncul berbagai
konflik bersenjata di dunia. Mulai dari konflik tradisional yang kembali muncul ke
permukaan ; Burundi, Rwanda sampai dengan konflik baru, seperti konflik bersenjata antaretnis dibekas negara Yugoslavia. Ternyata, perubahan yang lebih cepat telah menciptakan
social-political shock, sehingga hal ini membenarkan tesis yang dikemukakan oleh Rosenau
bahwa” semakin cepat tingkat perubahan sosial terjadi, semakin memungkinkan terjadinya
bentuk-bentuk kekerasan intra-sosietal.
Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa Fukuyama telah memberikan kesimpulan
yang terlalu tergesa-gesa, bila kita mencermati kondisi masyarakat masa kini, kapitalisme
telah terindikasi, karena krisis ekonomi masa kini masih tetap terasa mendalam dan
mengkhawatirkan serta telah menimbulkan penderitaan-penderitaan yang memilukan bagi
umat manusia. Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang
mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end
of history”.
Bertolak sejumlah tanggapan atas tesis Fukuyama tentang kemenangan
kapitalisme dan demokrasi liberal dengan logika Fukuyama tentang akhir sejarah. Bagi
Fukuyama ini semua sebagai dampak daripada perkembangan dan kemajuan industri di satu
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
17
pihak dan sistem politik dipihak lain yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat.
Dari paparan di atas, penulis menyatakan bahwa perkembangan kehidupan manusia,
baik di negara-negara Eropa, Amerika Seikat maupun di negara-negara Asia belakangan ini
telah beranjak ke arah globalisasi. Apa yang sebenarnya terjadi adalah faktor-faktor kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi yang hebat maka sekarang batas-batas nasional dari
lingkungan kehidupan manusia makin mengabur. Bahkan seperti diargumentasikan oleh
Kenichi Ohmae (I. Gde Widja, 2002:18) batas-batas negara-bangsa telah berakhir
(Berakhirnya Negara Bangsa, lihat lebih lanjut pada Analisis CSIS, 1996). Sebagai gantinya
mulai lebih menonjol munculnya “negara-negara wilayah” yang arahnya sudah jelas menuju
ke lingkungan yang makin menglobal dan dunia seperti tampa batas lagi (borderless word).
Memang yang dimaksud Ohmae lebih terkait dengan aspek kehidupan ekonomi, namun
dalam kenyataannya ternyata berdampak pada hampir keseluruhan dimensi kehidupan
manusia.
Karena itu, kini telah muncul gelombang kesadaran untuk menemukan dan
menggunakan sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan,
kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi
baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut
dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer
dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar dan komprehensif.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat
dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph
E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary
Economics”. Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku
tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan
pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi
Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil
dan moneter).
Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang
berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk
mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan
berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan
paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan
sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
18
ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa
digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai
negatif, paradigma destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi
konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi.
Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin
merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata
uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi
ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil,
maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman
dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun
negara kaya terhadap negara miskin.
5. PERGESERAN PARADIGMA
Thomas Kuhn, dalam bukunya yang berjudul ‘The Structure of Scientific.
Revolution” yang diterbitkan pada tahun 1970, mengatakan bahwa dunia mengalami
pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-trobosan baru dipelbagai bidang
kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi jika timbul satu krisis
(deadlock) maka akan melahirkan peran baru pula. Dan jika pergeseranpergeseran ini
paradigma ini kita hadapkan kepada tatanan hubungan internasional saat ini, maka pergeseran
usainya Perang Dingin. Globalisasi interdependensi yang terasa sangat kental diantara
masyarakat internasional (dunia).
Konstelasi hubungan internasional telah berubah secara drastis (pasca Perang Dingin)
dunia diwarnai oleh polarisasi yang telah mendorong kawasan Dunia Berkembang dan Dunia
Maju mempertegas kembali keberadaannya. Kecenderungan itu bila dihadapkan dengan
masalah tata ekonomi dunia, ternyata masih tetap tidak dijumpai keadilan. Masalah yang
menyangkut utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, arus modal, seakan-akan tidak berubah
sehingga perkembangan di bidang ini cenderung menunjukkan formatnya yang multipolar.
Pusat-pusat kekuatan ekonomi baru. bermunculan sementara beberapa blok-blok ekonomi
semakin marak dengan cara mengkonsolidasikan dirinya.
Terutama Negara-Negara Dunia Ketiga, yang mungkin terjadi seputar masalah yang
berkaitan dengan posisinya dalam hubungan ini yakni terjadinya blokblok kekuatan ekonomi
baru dalam bentuk regionalisme baru pula. Persoalan inii terletak dalam pencaharian
alternatif ke dalam bentuk kerjasama ekonomi diantara negara-negara anggota dan diantara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
19
mereka dengan negara-negara maju dilihat sebagai suatu langkah dengan formasi "berdiri
kolektif". Kerjasama ekonomi diantara mereka bagaimanapun harus dieksploitasi sebagai
suatu batu loncatan bagi pengintegrasian mereka ke arah perekonomian global sesuai dengan
prioritas dan kepentingan pembangunan masing-masing.
Munculnya suatu prioritas baru (peran dunia) dalam bentuk integrasi regional yang
dijadikan sebagai dasar pada sebuah paradigma, dimana kepentingan kelompok menjadi yang
utama atau dengan perkataan lain, paradigma kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya
akan memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional masing-masing. Paradigma atas
kepentingan
regional
diformulasikan
ke
dalam
kerjasama
regional
di
beberapa
kawasan/wilayah dunia saat ini yang akan mengarah kepada sifat pengelompokan diri ke
dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global. Konstelasi kepentingan ekonomi ini
tampaknya semakin
mempertegas paradigam integrasi regional dalam aspek ekonomi-politik global dengan
terbentuknya misalnya Masyarakat Ekonomi Eropa.
Masyarakat Ekonomi Eropa/Masyarakat Eropa yang melahirkan Pasar Tunggal
Eropa, Amerika Serikat via North American Free Trade Agreement (NAFTA). Kerjasama
Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). telah melahirkan skenario perekonomian global kedalam Tiga
Kelompok Besar. Dan jika skenario ini lebih dipertajam, maka segera muncul format Dua
Kelompok Besar: Eropa (European Union) dan Asia Pasifik (APEC) ke dalam tata hubungan
perekonomian dunia. Eropa Bersatu - Masyarakat Ekonomi Eropa-Pasar Tunggal EropaKawasan perdagangan Bebas Eropa (EFTA), dijadikan sebagai antisipasi dan strategi
Masyarakat Eropa terhadap perkembangan internasional dan regional yang diciptakan
sebagai upaya membentuk integrasi ekonomi yang diwujudkan ke dalam bentuk kerjasama
ekonomi global di atas tataran wilayah perdagangan bebas dan kuota perdagangan diantara
mereka terhadap produk-produk impor dari negaranegara anggotanya. Namun sekali lagi,
dengan terbentuknya kelompok-kelompok ekonomi yang berimplikasi internasional ini
setidak-tidaknya bertujuan untuk memperkuat integrasi ataupun institusi yang dalam
kerangka Uni Eropa atau apapun namanya itu. Kemunculan pengelompokan ini juga
tampaknya bersifat "spilover". Artinya, kawasan ekonomi Eropa merupakan pasar terbesar di
dunia yang menguasai sekitar 40% perdagangan dunia. Daya serap ini selanjutnya akan
meluas ke beberapa-negara Eropa Timur lainnya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
20
6. REGIONALISME EKONOMI
Masyarakat Eropa (EC) dengan dibukus oleh lebel proses intergrasinya itu,
menepatkan posisi negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik yang
diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi kepada kita
bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan mekanisme
pengelompokan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi masyarkat Eropa
untuk meningkatkan ambisi regionalisme di benua Eropa yakni dengan usaha untuk menarik
usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusat pertumbuhan dan perkembangan Internasiinal
berada di Eropa.
Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC (Asia
Pacific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989, merupakan
terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping' EFTA di kawasan Eropa. Ini juga dilihat
sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama ekonomi regional dan pada
gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama ekonomi internasional.
Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat
regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan internasional serta
tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di dalam tatanan hubungan
ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa kehadiran kelompok-kelompok
kekuatan ekonomi baik itu dalam tataran regional maupun yang internasional, misalnya
APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan konflik yang sudah mengarah kepada perang
dagang antara blok-blok dagang terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa).
Jika persoalan ini dilihat ke dalam persfektif yang lebih luas, maka dapatlah dikatakan
ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di atas tataran GATT
(putaran Uruguay) yang terancam menemui jalan buntu yang memang diperlukan suatu
manuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bill Clinton dan dengan mana
pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang mendapat voting dari Kongres 1992,
disubstitusikan diselenggarakannya KTT APEC 1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau
mengultimatumkan Eropa (membuat tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan
persetujuan atas GATT (liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tarif
produk manufakturing) yang sebagian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat.
Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara konglomerat
dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung di atas, maka dunia
ini akan terbagi ke dalam blok-blok ekonomi: European Union, North American' Free Trade
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
21
Agreement (NAFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Dengan APEC,
otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia Timur EAEC (22,6%) akan menguasai
hampir 50% perdagangan global; sedangkan Uni Eropa hanya mampu maksimal mencapai
27% jika hal ini ditambah dengan EFTA (Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia).
7. PERSFEKTIF ANALISIS KONSEPTUAL
Berangkat dari uraian di atas, apa yang sebetulnya hendak dikatakan dalam tulisan ini
adalah sebagai upaya kerangka analisis konsep yang menjelaskan perubahan ekonomi-politik
dihampiri dengan membangun pendekatan ekonomi politik tadi yang menekankan bahwa
pertumbuhan kelompok-kelompok kekuatan ekonomi apakah itu yang berskala regional
maupun internasional dikaitkan dengan peneterasi ekonomi sebagai substansi perubahanperubahan atas konflik-konflik politik; dikonstruksikan ke dalarn teori integrasi regionalisme
di atas kerangka bangunan dari sejumlah analisis konseptual.
Selama antara tahun 1940-an sampai dengan 1950-an, para ilmuan politik dan
hubungan internasional cenderung membangun suatu diskripsi untuk rnenggambarkan politik
internasional (world politics) ke dalam kondisi dimana masing-masing bagian saling kaitrnengkait satu sama lain di atas tataran yang disebut dengan "negara-negara bangsa" (nationstates) yang berdasarkan kepada suasana konflik. Beberapa diantara mereka (pengamat)
aliran pemikiran realist seperti misalnya Hans J.Morgenthau, mengatakan bahwa konflik
internasional, lebih menunjukkan kepada sifatnya (karakter) dasar manusia umumnya (human
nature) sebagai suatu fakta sosial.
Dan disisi lain, yang mengatakan bahwa dalam satu sistem internasional, dilihat
sebagai suatu dataran suasana (kondisi) dengan mana telah terjadi apa yang disebut dengan
istilah: international anarchy. Kondisi tersebut sering diakibatkan oleh keberadaan
kecenderungan yang memperkuat (powerful) dan antagonistik negara-negara yang pada
akhirnya akan menciptakan kondisi "dilema keamanan" yang terformulasikan ke dalam pola
globalisme politik Internasional dalam mana, ada sintesa kondisionalitas antar kekuatan
(power) dengan orientasi keamanan (security oriented) yang dirumuskan sebagai pokok
bahasan dalam analisis politik dan hubungan internasional.
Mengungkit kembali suasana pahit dalam konteks hubungan konflik antara TimurBarat dan hubungan antar-negara-negara di Eropa Barat 'yang ditandai oleh kondisi
kerjasama tidak pernah terjadi sebelumnya. Gerakan pembersatuan kawasan Eropa (1950-an)
yang pertama, yakni European Coal and Steel Community (ECSC), ini jelas-jelas telah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
22
menunjukkan perubahan dalam kaitannya dengan strategi perimbangan kekuatan yang
bersifat bipolar ke dalam persfektif regionalitasnya.
Pentingnya kejadian-kejadian yang timbul di kawasan Eropa ini, menjadi menarik
perhatian bagi para analis politik dan hubungan internasional kontemporer yang telah
memusatkan perhatian para sarjana untuk berupaya menjelaskan fenomenafenomena dengan
berdasarkan pada aspek regionalitasnya.
Dimulai pada pertengahan tahun 1950-an yang dipelopori oleh Karl W.Deutsch
(1957), Ernst .E.Haas (1958) yang memfokuskan perhatiannya kepada kajian regional
integration dijadikan sebagai satu konsep untuk menggambarkan proses. Oleh sebab itu jika
kerangka konsep ini dikaitkan dengan apa yang terjadi di kawasan Eropa seperti dengan
lahirnya European Union (EU) merupakan suatu gambaran/diskripsi tentang pembentukan
suatu aliansi (persekutuan) baru. persekutuan baru senantiasa berkenaan dengan argumentasi
tentang studi integrasi regional.
Studi integrasi regional ditempatkan ke dalam analisis konsep integrasi regionalisme
bagi studi hubungan internasional khususnya, dengan berupaya membangun suatu kerangka
teori integrasi regional. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuat sejumlah analisis konseptual
yang dengan sengaja memfokuskan perhatian kepada kondisi dan proses yang akan menjadi
Denting dalam kerangka determinasi integrasi politik dan ekonomi. Upaya pemahaman ke
arah teori integrasi regional sebagaimana telah dikerjakan oleh dua pakar politik dan
hubungan tersebut di atas, menjelaskan bahwa fenomena integrasi regionalisme (politik dan
ekonomi) kendatipun di dilakukan di Eropa Barat tahun 1950-an lalu, namun relevanlah
kiranya hal ini kembali diterapkan dalam makalah ini.
Jika kita membuat suatu asumsi yang mengatakan bahwa terbentuknya kelompokkelompok kekuatan ekonomi-perdagangan secara global/regional (EU, NAFTA dan APEC)
yang senantiasa cenderung bermuatan aspek ekonomi dan politik.
Dan ini pula yang menjadi karakternya. Karakter inilah pula yang dijadikan sebagai
pokok kajian teori integrasi pada umumnya. Kemudian selanjutnya kedudukan teori dalam
konteks ini adalah untuk memberikan eksplanasi bagi pemahaman kita terhadap pola-pola
politik dan ekonomi dalam hubungan antar negara-negara (negara maju), dengan negaranegara berkembang (negara-negara dunia ketiga).
Dalam kepustakaan studi politik dan hubungan Internasional dijumpai penegasan
pandangan yang berdasarkan pada upaya-upaya menganalisis konsep interdependensi
terhadap aspek ekonomi-politik khususnya dalam hubungannya dengan perkembangan
kelompok-kelompok perdagangan global/regional dengan menempatkannya ke dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
23
kawasan-kawasan tertentu bahwasanya telah terjadi suatu proses penyatuan kelembagaan
(institusional) regionalisme institutionalized regionalism unity). Hal ini juga dapat berarti
menempatkan kedudukan integrasi ke dalam teori interegrasi dan analisis konseptual terhadap
politik Internasional (world politcs). Kontribusi teori integrasi terhadap analisis konseptual
politik internasional dengan mencandra aspek ekonomi-politiknya, terutama terlihat di dalam
hubunganhubungan kekuatan (power relationships) antara negara-negara maju (industri)
dengan negara-negara berkembang (dunia ketiga). Ataupun bisa juga hubungan antara
negara-negara maju dengan negara-negara maju itu sendiri ke dalam wacana sistem
internasional.
Penyatuan berdasarkan kepada sifat kelembagaan regionalisme dalam kepustakaan
studi hubungan internasional yang sering terjadi selisih silang pendapat antar penstudi
hubungan internasional untuk memberikan penjelasan bagi batasan/rumusan kerangka
bangunan teorinya.
Namun jika dilihat dari sisi yang lain. membangun teori integrasi regionalisme
dianggap penting untuk menempatkannya sebagai gagasan/ide, atau setidak-tidaknya. dapat
memberikan rangsangan terhadap studi politik dan hubungan internasional. Hal ini terjadi
jika para penstudi hubungan internasional menjadikan konsep integrasi sangat relevan dengan
sejumlah argumen bagi mereka untuk dapat dijadikan sebagai instrumen dalam kerangka
memahami politik interdependensi di luar konteks regional. Dan sebaliknya, analisis integrasi
politik di dalam terminologi interpendensi dapat membantu untuk dapat menempatkan “teori
integrasi” didalam ranah kontekstualitas. Artinya, bukan sebagai satu pemisahan dan bersifat
kaku (rigid), melainkan ia tetap ditampilkan sebagai suatu. Sifat “notion aplicable" yang
hanya berlaku di kawasan Eropa misalnya. Namun ia berlaku di kawasan-kawasan lainnya
tetap menjadi masalah yang penting di dalam studi kepustakaan politik dan hubungan
internasional. Implikasi dari alur pemikiran seperti ini yakni ditujukan kepada pemakaian
antara konsep integrasi dan interdependensi yang pada gilirannya akan melahirkan berbagai
rumusan, dimensi dan persepsi terhadap penjelasan teori tersebut.
Ketidakseragaman pandangan dan pemikiran para penstudi politik dan hubungan
internasional, terutama dalam rangka penggunaan terminologi/konsep integrasi, sehingga
membingungkan. Mana yang sebenarnya menjadi patokan atau yang dapat dijadikan sebagai
pedoman. Ada beberapa pengamat merumuskan integrasi sebagai suatu proses, yang lainnya
memandang integrasi sebagai "kondisi terminal" atau “condition of being integrated". Namun
dalam prakteknya, para sarjana sering mengunakan secara silih berganti (interchangeably).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
24
Demikian juga dalam kamus, Sering dijumpai rumusan integrasi sebagai "a processor
condition of forming parts into a whole". Bagi pandangan Ernst B.Haas (1971) bahwa yang
diartikan dengan konsep integrasi adalah sebagai "a process for the creation of piolitical
communities defined institutional or attitudinal terms". Ada lain yang mengatakan bahwa
studi integrasi regional berkaitan dengan kajian: bagaimana dan mengapa negara-negara
menyerahkan kedaulatannya kepada para tetangganya sehingga seakan-akan ia kehilangan
sebagian kedaulatannya menyatu ke dalam suatu bentuk kerjasama (organisasi).
Kerjasama regional yang dibentuk dalam organisasi, di jadikan sebagai perwujudan
atas proses dan kondisi lahirnya suatu persekutuan/asosiasi/internasional dalam berbagai
landasan pijaknya (regional/internasional) sekalipun, dilihat dari persfektif tingkat tertinggi
dari perwujudan proses dan kondisi integrasi.
Di samping ada, timbul kecendrungan pandangan bahwa terutama di negaranegara
maju, dalam konstelasi hubungan antar negara senantiasa terkait dengan muatan ekonomipolitik. Saling ketergantungan ke dalam bidang ekonomi, muncul sebagai yang determinan
dalam hubungan tersebut, sehingga penggunaan dengan kekerasan, terasa semakin akan
berkurang.
Maka dengan demikian, teori integrasi yang dihadapkan dengan konsep regional,
tampaknya semakin relevanlah dengan analisis konseptual politik internasional. Dalam mana,
keterkaitan antar dimensi ekonomi dan dimensi politik telah menjadi karakternya. Hal ini
telah diwujudkan dengan berdirinya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), dan seiring dengan
itu pula, akhirnya telah pula menjadi kajian analisa dan penelitian integrasi.
Dengan memusatkan perhatian kita pada konsep integrasi sebagaimana sebagiannya
diusahakan diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling ketergantungan
(interpedensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitankan dengan kecendrungan dari
negara-negara untuk mengelompokan diri kedalam pola regional. Pola regionalisme
didasarkan pada pengelompokan pada kekuatan ekonomi (perdagangan) dan pada gilirannya
akan terbentuk didalam perlembagaan regionalisme. Kajian ini telah menjadi bagian dari
studi politik dan hubungan internasional. Analisis yang dikembangkan oleh studi hubungan
internasional terutama dalam kajian integrasi regionalisme yakni dengan semakin maraknya
pengelompokan kekuatan berdasarkan aspek ekonomi dan politik menjadikan semakin
bertambahnya pula informasi teori-teori dalam kaitannya dengan fenomena itu. Analisis
dengan merujuk kepada teori ini memperlihatkan bahwa pembuatan kebijakan (decision
making) signifikan dengan "issue area".
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
25
Dengan munculnya istilah ini dijadikan sebagai instrumen analisis (analysis tools). Di
sini dicoba untuk memperlihatkan beberapa aspek yang terdapat dalam negara-negara sebagai
factor yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional tadi. Integrasi yang
terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu "issue area" berupa "baja dan besi" yang
terdapat dalam negara-negara Benelux (Belgia, Nederland dan Luxembrug). Maka bagi
seorang analis yang perlu diperhatikan adalah "progress in policy integration" yang
dihadapkan dengan perbedaan atas issue-area" tadi. Misalnya dalam suatu negara bahwa isue
areanya mungkin sector pertanian dan yang mungkin sektor industri atau transportasi. Dari
dua sektor inilah yang dijadikan sebagai "leading sector" bagi kebijakan politik luar
negerinya. Negara yang satu melihat bahwa sektor (X) menjadi kepentingan utama dan bagi
Negara yang lain melihat sector (Y) menjadi kepentingan pokok.
Maka dengan demikian, analisis tentang isuue area tadi bagi studi regionalisme dalam
wacana politik dan hubungan internasional semakin dekat atau dengan kata lain diajukan
konsep "linkage of issue" dijadikan konsepsi untuk menjelaskan bagaimana integrasi regional
berproses menuju integrasi.
8. Plus Minus Globalisasi
Istilah globalisasi selalu berubah-ubah sejak tahun sembilan puluhan. Istilah itu baru
diketahui pada periode baru yang dimulai dengan ditandai runtuhnya benteng Berlin pada
tahun 1989 M dan jatuhnya Uni Soviet, kemudian berakhir setelah aturan ateis berhasil
diruntuhkan oleh sistem kapitalis.
Pada kajian ini, kita akan membicarakan tiga bidang penting terkait globalisasi, yaitu
ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Mari kita lihat sisi baik dan
buruknya tiga bidang tersebut.
Pertama, Bidang Ekonomi
Dalam bidang ini, tatanan perekonomian dunia dibangun atas dasar sistem kapitalis
ribawi. Amerika Serikat (AS) memaksakan sistem kapitalis ini kepada seluruh negara di
dunia melalui lembaga internasional, yaitu World Bank (Bank Dunia) dan International
Monetary Fund (IMF). Adapun bentuk yang lainnya melalui berbagai lembaga dunia atau
dengan melalui kesepakatan dunia yang telah diakui oleh lembaga tersebut dan sebagainya.
Dunia internasional, terutama negara-negara maju telah banyak meraup keuntungan materi,
tetapi di sisi lain telah terjadi kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dengan negara-negara
miskin. Akibatnya, distribusi keuntungan itu tidak terbagi secara merata di berbagai belahan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
26
dunia, dan hanya menguntungkan negara-negara maju.
Ketidakadilan sistem yang sekarang ini berjalan telah menciptakan suasana tidak
kondusif untuk terciptanya perdamaian dunia. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, semakin
hari keamanan dunia semakin terancam. Konflik pun terjadi di mana-mana.
Pada akhirnya, kondisi yang tidak aman itu harus dibayar mahal oleh negara-negara
maju, terutama negara adi daya AS yang sekarang ini menjadi polisi dunia. Bahkan, ongkos
yang mahal itu kini lambat laun mulai dirasakan oleh mereka. Dan, mereka pun kini mulai
mengalami krisis ekonomi akibat sistem yang sekarang ini berjalan.
Para pakar yang pro terhadap sistem kapitalis ribawi kini mulai berpikir ulang tentang
ketangguhan sistem yang selama ini dibanggakannya. Mereka semakin resah ketika bankbank di berbagai negara mulai membuka sistem syariah. Akankah sistem yang berlandaskan
syariat Islam ini akan menggantikan sistem kapitalis ribawi yang makin lama makin ditinggal
oleh para pendukungnya? Kalaupun tidak sekarang, yang jelas proses menuju perubahan itu
kini sedang berlangsung.
Kedua, Bidang Politik
Setelah Unisoviet jatuh, Amerika pun naik ke permukaan. Belum ada negara di dunia
saat ini yang bisa menandingi AS dalam hal kekuatan militer. Oleh karena itu, wajar saja jika
AS kini berhasil mengendalikan dunia (menjadi polisi dunia).
Kesempatan ini dimanfaatkan benar oleh AS. Melalui lembaga perserikatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seluruh negara di dunia diarahkan oleh AS untuk
menjadi negara dengan sistem demokrasi. Setiap negara dibuat sibuk untuk mengurusi
demokrasi. Dengan cara demikian, mereka dengan mudah dapat dikendalikan oleh satu pusat
kekuatan, yaitu AS.
Mereka selalu menggembar-gemborkan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika
di suatu negara terjadi pelanggaran HAM, mereka kemudian menghukumnya dengan sangki
ekonomi atau embargo ekonomi. Namun, yang menarik di sini adalah hal itu tidak berlaku
jika pelanggaran HAM itu terjadi pada kaum muslimin di negeri yang mayoritas berpenduduk
muslim. Ini berarti AS menerapkan standar ganda dalam penegakkan HAM. Dengan
demikian, ini adalah sistem yang tidak adil.
Ketiga, Bidang Teknologi
Umat manusia telah menemukan berbagai penemuan ilmiah, di antaranya penemuan
mesin uap, listrik, dan atom. Adapun penemuan ilmiah yang tergolong mutakhir yang telah
mengejutkan dunia adalah komputer. Dengan komputer, ia dapat menjalankan lebih dari dua
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
27
milyar pekerjaan yang bermacam-macam dalam satu detik. Hal itu pada masa lalu
membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikannya.
Adapun penemuan dalam bidang lain, yaitu penemuan teknologi informatika dan
perhubungan yang dengannya dapat memberi kesempatan bagi setiap orang, masyarakat, dan
negara untuk berhubungan dengan menggunakan berbagai sarana yang tak terhitung lagi
jumlahnya. Melalui teknologi ini, hanya dengan beberapa macam kabel, faks, stasiun radio,
dan televisi, dalam sehari dapat ditayangkan sebanyak 2000-an acara atau lebih.
Apa Sajakah Bahaya Globalisasi?
1. Kemiskinan
Globalisasi hanya akan mempekerjakan seperlima masyarakat, sedang empat perlima
lainnya tidak lagi dibutuhkan karena sudah adanya teknologi baru yang berhubungan dengan
komputer. Sehingga, hanya dengan seperlima tenaga kerja sudah cukup untuk memproduksi
semua barang. Dampaknya, empat per lima masyarakat lainnya akan mengalami kemiskinan
dan kelaparan. Dan, di antara bahaya globalisasi pula, pelaksanaannya ditujukan pada
masyarakat yang sudah baik kehidupannya dan pada masyarakat yang taraf kehidupannya
sudah menengah.
Yang lebih parah lagi adalah globalisasi menyebabkan berbagai kelompok masyarakat
menjadi miskin. Secara angka menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 358
milyader (orang-orang super kaya) yang berada di dunia ini melebihi kekayaan yang dimiliki
oleh 2,5 milyar penduduk dunia. Terdapat 20% dari berbagai negara yang penghasilan
alamnya mencapai 85% dan 84% dari perdagangan. 85% dari hasil pertambangan dilimiliki
oleh para penduduknya. Tingkatan yang terjadi di berbagai negara ini hampir menyamai
tingkatan lain yang terjadi di setiap negara. Sehingga, hanya minoritas saja dari penduduk
negara-negara tersebut yang taraf ekonominya menengah ke atas. Mayoritas di antara mereka
berada pada taraf kemiskinan. Hal itu akan berdampak pada hasil sosial yang berbahaya.
Sebagai contoh, Kalifornia. Negara yang jelas-jelas menerapkan sistem kapitalis ini
terjadi berbagai kejahatan yang semakin menyebar luas. Negara ini tingkat ekonominya
termasuk yang ke tujuh di dunia. Anggaran untuk oprasional penjara di Kalifornia lebih besar
daripada anggaran untuk pendidikan. Di negara ini terdapat 28 juta penduduk Amerika, yakni
lebih dari 1/10 dari warga negara Kalifornia. Mereka berlindung di balik benteng dan tempat
yang dijaga. Dan tidak asing lagi, dana yang dikeluarkan orang-orang Amerika untuk
melindungi dirinya dengan menggaji orang-orang yang bersenjata lebih besar daripada dana
yang dikeluarkan negara untuk menggaji polisi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
28
Bila kita perhatikan pada pembahasan ini, tampak terbuka lebarnya pintu perdagangan
bebas atau sering disebut pasar bebas yang berdampak pada semakin meningkatnya tindakan
kriminal. Para penjual heroin bertambah 20 kali lipat di pasar dunia dibanding sebelumnya,
begitu pula para penjual kokain, bertambah 50 kali lipat.
2. Budaya Amerika
Budaya Amerika merupakan arus globalisasi yang sangat berbahaya. Budaya Amerika
dapat mendorong terjadinya atokrasi beberapa wilayah dengan dunia dan mengatagorikannya
sebagai satu poros yang ruang lingkup politiknya telah berakhir sesudah runtuhnya Unisoviet.
Budaya Amerika ini akan berdampak sangat besar dalam membentuk, mengadili, ataupun
menutup masa depan budaya.
Yang paling berbahaya dengan adanya budaya Amrika adalah karena budaya itu
berbenturan dengan pokok-pokok agama Islam yang bersandar pada dalil-dalil qath’i (dalil
yang pasti). Oleh sebab itu, kita dapati mayoritas pendapat yang diserukan oleh sebagian
penulis kontemporer berakibat perdebatan yang sangat tajam yang hanya berlandaskan pada
iman yang nisbi.
Dasar-dasar agama mencakup dalil-dalil yang qath’i secara penetapannya ataupun
secara pengambilan dalilnya dalam berbagai bidang. Baik dalam bidang akidah, hudud,
warisan, ataupun keluarga. Berdasarkan hal itu, sesungguhnya berbagai peperangan yang
terjadi akhir-akhir ini adalah bentuk penjelmaan terhadap peperangan antara arus globalisasi
dengan dasar-dasar agama Islam kita. Di antara peperangan yang paling nyata adalah
sebagaimana yang dinyatakan oleh Nashr Hamid Abu Zaid mengenai nash-nash yang
qath’iyatuts tsubut dan qath’iyatud dalalah yang mencakup berbagai perkara akidah, seperti
Kursi, ‘arsy, mizan, shirath, malaikat, jin, syaitan, sihir, dan sebagainya. Semua itu oleh
beliau dikatagorikan sebagai lafal-lafal yang berkaitan dengan kondisi kebudayaan tertentu.
Sehingga, kita harus memahaminya sesuai dengan kondisi kebudayaan tersebut. Adapun
keberadaannya dikatagorikan sebagai hal yang bersifat dzhanni (tidak dapat dilihat mata),
tidak harus aini (dapat dilihat mata) sehingga ia memilik landasan sejarah.
Dalam penjelasan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid tersebut menerangkan bahwa nash-nash
yang bersifat religi adalah sama dengan nash-nash secara bahasa yang dinisbatkan kepada
kebudayaan tertentu. Lalu, ia menjadikannya sebagai aturan kebudayaan tersebut dan bahasa
dianggap sebagai sumber dalam mengambil dalil. Ia hanya berlandaskan pada pengamatan
seorang ahli bahasa. Kemudian, Dr. Abu Zaid mengakhiri dengan penjelasan akan pentingnya
mengubah nash-nash yang bersifat diniyah kepada metodologi bahasa sebagaimana telah ia
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
29
jelaskan sebelumnya.
Lembaran ini tidak cukup untuk membantah secara terperinci semua yang dikatakan
oleh Dr. Nashr Abu Zaid. Tapi, mungkin yang perlu dipertanyakan, kenapa Dr. Nashr Abu
Zaid mengatagorikan lafal kursi, ‘arsy, malaikat, jin, syaitan, hasad, dan sihir sebagai lafal
yang memiliki landasan sejarah? Apakah karena tidak mempunyai ilmu akan adanya hal-hal
nyata pada lafal-lafal tersebut sehingga kita mengecualikannya dan mengatagorikannya
sebagai lafal-lafal yang tidak nyata, yang bersifat dzhanni (tidak dapat dilihat mata). Sampai
sekarang kita belum mendengar hal seperti itu.
Lalu, bagaimana kita bisa mengondisikan globalisasi? Kita mengambil faedah dari
sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya. Ada dua hal penting yang paling baik untuk
menghadapi globalisasi, yaitu sebagai berikut.
Pertama, membantu kalangan ekonomi lemah. Hal itu bisa dilakukan dengan
mengaktifkan lembaga-lembaga sosial, dan menjaganya dari satu sisi, serta merencanakan
untuk menghidupkan dan memperluas lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang wakaf
dari sisi yang lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa lembaga yang bergerak dalam bidang
wakaf bermacam-macam, di antara contohnya sekolah, universitas, Puskesmas, rumah sakit,
rumah, kebun, hotel, dan lainnya. Lembaga-lembaga tersebut telah ikut andil dalam
menyebarkan ilmu, menjaga kesehatan, mencukupi orang-orang yang membutuhkan,
menjaga hewan, membantu perekonomian, menutup kekosongan sosial, dan lainnya.
Sehingga, dari wakaf-wakaf tersebut telah memberi gambaran 1/3 kekayaan yang dimiliki
oleh dunia Islam.
Kedua, menjaga masa depan umat. Hal itu dengan membantu persatuan kebudayaan.
Kesatuan kebudayaan merupakan penjelmaan yang terakhir dari kesatuan umat ini setelah
terjadinya kekacauan politik dan ekonomi yang terjadi beberapa abad yang lalu. Tidak
diragukan lagi, bahwa kesatuan kebudayaan ini merupakan bangunan yang paling dasar
dalam menghadapi arus globalisasi. Oleh sebab itu, harus bersemangat untuk mencukupinya
dan berusaha untuk menekuninya. Dan, yang paling nyata dari hal itu ialah pokok-pokok
dasar agama Islam dan hukum-hukumnya yang bersandarkan pada dalil-dalil qath’i, dan
bahasa Arab yang dikatagorikan sebagai perantara untuk menyatukannya. Dan, harus
bersemangat untuk menjauhi segala hal yang dapat mencerai-beraikan kesatuan kebudayaan
dan melemahkan roh kehidupannya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
30
DAFTAR BACAAN
Agung, Ide Anak Agung Gde, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Paris:
Mouton, 1973.
Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis
dalam The Foreign Policies of Arab States, Bouleder, Westview Press, 1991, hal. 8.
Allison. Graham.T. .Essence of Decisions EX-plaining the Cuban Missile Crisis. (Boston:
Little Brown, 1971).
Ake, Claude.A.,A Theory.of Political Integration, Dorsey : Homewood. 1967).
Anderson, Benedict and Audrey Kahin (eds), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Anwar, Dewi Fortuna, Indonesia in Asean: Foreign Policy and Regionalism. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1994.
Bandoro, Bantarto (ed), Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS,
1994.
Baswir, Revrisond, Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberal IMF, dalam I.
Wibowo dan Francis Wahono, (2003) Neoliberalisme, Cindelaras, Yogyakarta
Bendict Anderson, 2002. Image Communities (terjemahan, 2002). Omi Intan. Yogyakarta:
Pustaka Fajar.
Benneett, Bruce. M., International Regionalism and The Internationa System : A Study in
Political Ecology, (Chicago : Rand McNally, 1967).
Brackman, Arnold C., Indonesia: Suharto’s Road. New York: American-Asian Educational
Exchange, 1972.
Brown. Lester.R.. The Interdependence of Nation"s. (New York: Foreign Policy Association.
Headline Series, 1972).
Burton. John .W.. System States, Diplomacy and Rules, (Cambridge: Cambridge University
Press. 1968).
Claude. Inis.L.,Power and International Relations, (New York: Random House. 1962).
Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978
Francis Fukuyama,1999. The End of History and The Last Man (terjemahan) Amrullah.
Yogyakarta: Qalam.
Francis Fukuyama & Samuel P. Huntington, 2003. The Future of Word Order: Masa Depan
Peradaban dalam Cedngkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme (terjemahan)
Ahmad Faridl Ma’ruf. Yogyakarta: Ircisod.
Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From
Sukarno to Soeharto (Ithaca: Cornel University Press, 1976).
Giddens, Anthony, 1981. Power Property and The State. Volume I of A Contemporary
Critique of Historical Materialisme, University of California Press Barkeley dan
Los Angles.
Hadiz, Vedi R. (2003), Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto,
LP3ES, Jakarta
Hill, Hall, Indonesia’s New Order: the Dynamics of Socio-Economic Transformation
Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.
I.Gde Widja, 2002. Menuju wajah Baru Pendidikan sejarah.Yogyakarta: Lappera Pustaka
Utama.
Jurnal, Analisis CSIS.Tahun XXV, No.2. Maret-April 1996.Nasionalisme dan Berakhirnya
Negara-bangsa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
31
Keohane, Robert.O and Joseph S.Nye, Jr.,"International Interdependence and Integration",
Fred I.'Greenstein (ed),International P0litics Handbook of Political Science, Vol. 8,
(California: Addisofi-Wesley Publishing Company, 1975).
Leslei Skalair, 1991. Sociology of the Global System, Social Change in Global Perpektive.
Baltimore: The John Hopkins University Press.
Lasth, Scott & John Urry. 1994. Economies of Signs and Space. London: sage Publications.
Lindbrerg, Leon.N and Stuart A.Scheigold. (ed),Regjonal Integration: Theory and Research.
(Cambridge. Mass : Harvard University Press.1971).
Leifer, Michael, Indonesia’s Foreign Policy. London: George Allen & Unwin, 1983.
Leo Suryadinata, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto. Singapura: Times Academic
Press,1996, hal. 1.
Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy. New jersey, prentice Hall. Inc., 1982, hal. 5-11.
Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World Politics :
An Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd.
New York, The Free Press, 1980, hal. 275.
Mas’oed, Mokhtar (1999), Negara, Kapital, dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Safirani, Amalinda (2004), Local Strongman in New Regional Politic in Indonesia,
thesis, unpublished
McEachern. William A. 2000. Ekonomi Makro (Pendekatan Kontemporer). Terjemahan Sigit
Triandaru, S.E. Salemba Empat. Jakarta
Nicolson, Harold, Diplomacy. Oxford, Oxford University Press, 1969
Pauline Marie Rosenau, 1992. Postmodernisme and the Social Science, Insights, Inroads, and
intrusion. Princenton: University Press.
Prasetiantono, A. Tony. 1995. Agenda Ekonomi Indonesia. STIE ‘YO’
Rizal Sukma, (Disertasi) Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A
Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. Department of
International Relations. The London School of Economics and Political Science,
University of London, United Kingdom, 1997.
Robert D. Kaplan, et.a.l, 2005. Ameican and Word, Debating New Shape of International
Politics (terjemahan) Yusi A. Pareanom. Jakarta: Obor Indonesia.
Samuel P. Huntington, 1996. The Clash of Civilzatations and the Remarking of Word Order
(Terjemahan, 2005) M. Sadat Ismail. Yogyakarta: Qalam.
Sicat. Gerardo P dan H.W. Arndt. 1987. Ilmu Ekonomi Untuk Konteks Indonesia. LP3S.
Jakarta.
Soule, Goerge. 1994. Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka. Kanisius. Yogyakarta.
S.Avenri, 1968. The Social and Political Thought of Karl Marx. Cambridge University Press.
Sukma, Rizal, Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of
Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. London, Department of
International Relations. The London School of Economics and Political Science,
University of London, United Kingdom, 1997.
Suryadinata, Leo, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto: Aspiring to International
Leadership Singapore: Times Academic Press, 1996.
Todaro, Michael P dan Stephen C Smith. 2002. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga.
Erlangga. Jakarta.
Vatikiotis, Michael R.J., Indonesian Politics Under Suharto: Order, Development, and
Pressure for Change London: Routledge, 1993.
Vatikiotis, Michael R.J., Political Change in Southeast Asia: Trimming the Banyan Tree.
London: Routledge, 1996.
Van Der Kroef, J.M., Indonesia After Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia
Press, 1971.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
32
Weinstein, Franklin B., Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From
Sukarno to Soeharto . Ithaca: Cornell University Press, 1976.
Young, Oran. R., “Interdependence in World Politics” dalam Internatioanl Journal, No.24,
(1963). Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project,
1982.
Yustika, Ahmad Erani. Dr. 2007. Perekonomian Indonesia (Satu Dekade Pascakrisis
Ekonomi). BPFE – UNIBRAW.
http://www.bbj-jfx.com/article.asp?kolom123 By:Hadi Soesastro CSIS and ANU
---------, 1990. The Conequences of Modernity, Polity Press, Cambridge.
-------------, 2002. The Greet Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social
Oeder (terjemahan,2004) Ruslani. Jakarta: Triarga Utama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
33
Download