Pendidikan Alternatif - TIK Madrasah Aliyah BKMU Cikijing

advertisement
PENDIDIKAN ALTERNATIF
Sebuah Agenda Reformasi
Oleh
Prof.Dr.Yusufhadi Miarso,M.Sc.
Pendahuluan
Salah satu tuntutan reformasi di bidang pendidikan adalah diberinya peluang, bahkan
dalam batas tertentu diberinya kebebasan, kepada keluarga dan masyarakat untuk
menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan warga belajar, serta sesuai
dengan kondisi dan tuntutan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa campur tangan pemerintah yang
berlebihan (etatisme) dalam penyelenggaraan pendidikan ditiadakan atau setidak-tidaknya
dikurangi.
Dalam rangka mencapai masyarakat belajar (learning society) perlu diberikan kebebasan
kepada warga masyarakat untuk belajar apa saja yang diminati atau dibutuhkannya, asalkan tidak
bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa. Demikian juga dalam melaksanakan prinsip
belajar seumur hidup, harus diberikan kesempatan dan kebebasan kepada siapa saja warga
masyarakat untuk memperoleh pendidikan apa saja, dari siapa saja, di mana saja, pada jalur dan
jenjang mana saja dan kapan saja, yang sesuai dengan kebutuhan pribadi, serta selaras dengan
kebutuhan pembangunan dan lingkungan.
Selama ini kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan telah dianggap
sebagai suatu keharusan atau amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan karena itu tidak
dianggap sebagai campur tangan berlebihan dari pemerintah. Padahal amanat mencerdaskan
kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan nasional negara dan bangsa, dan karena itu menjadi
tanggung jawab semua warga negara, jadi tidak hanya pemerintah.
Tantangan masadepan yang kita hadapi sekarang ini, menuntut kita untuk berpikir dan
bertindak dalam mempersiapkan sumberdaya manusia kita, baik mereka yang termasuk dalam
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja, agar mampu eksis dan bahkan bersaing dalam pasaran
global. Pendidikan merupakan salah satu usaha terpenting dalam mempersiapkan sumberdaya
manusia yang mampu menghadapi persaingan bebas itu. Untuk itu maka berbagai upaya
pendidikan perlu dikembangkan dan dibina untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang memenuhi
persyaratan global tersebut.
Pengertian Pendidikan Alternatif
Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik yang meliputi sejumlah besar
program atau cara pemberdayaan peserta didik yang dilakukan berbeda dengan cara tradisional.
Secara umum berbagai bentuk pendidikan alternatif itu mempunyai tiga kesamaan yaitu :
pendekatannya yang lebih bersifat individual, memberikan perhatian lebih besar kepada
peserta didik, orangtua/keluarga, dan pendidik, serta yang dikembangkan berdasarkan
minat dan pengalaman. Menurut Jerry Mintz (1994:xi) berbagai ragam pendidikan alternatif itu
dapat dikategorisasikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu : 1) sekolah publik pilihan
(public choice); 2) sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (students at risks);
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
1
3) sekolah/lembaga pendidikan swasta atau independen; dan 4) pendidikan di rumah (home-based
schooling).
Sekolah publik pilihan adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara atau dalam
pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri, yang menyelenggarakan program belajar dan
pembelajaran yang berbeda dengan program regular atau konvensional, namun mengikuti
sejumlah aturan baku yang ditentukan. Perbedaan itu terutama pada komponen masukan, baik
masukan mentah maupun instrumental, dan komponen proses. Sedangkan pada komponen
keluaran biasanya diikuti aturan baku yang ditentukan. Rambu-rambu keluaran diusahakan sama
atau setara dengan rambu-rambu sekolah konvensional. Meskipun demikian terbuka pula
kemungkinan bahwa rambu-rambu keluaran itu diserahkan kepada masyarakat untuk
menentukannya.
Salah satu contoh sekolah publik pilihan adalah sekolah terbuka atau korespondensi (jarak
jauh). Sekolah ini diselenggarakan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak yang karena
mengalami hambatan fisik, sosial-ekonomi, dan geografi tidak dapat mengikuti sekolah
konvensional/regular. Karena adanya hambatan itu maka dikembangkan bahan belajar yang dapat
dikemas dan dikirimkan kepada siswa. Bahan belajar ini dapat berupa cetakan, rekaman suara,
rekaman video, siaran radio, siaran televisi, disket atau bentuk lain. Proses belajar-pembelajaran
juga berbeda dengan sekolah regular, yaitu dengan menerapkan konsep belajar mandiri, belajar
berkelompok sebaya, belajar kooperatif, tutorial serta pada waktu dan tempat yang sesuai dengan
kondisi dan situasi siswa. Namun ada sejumlah aturan baku yang sama atau setara dengan sekolah
regular dan yang harus diikuti, seperti misalnya kenaikan kelas dan ujian akhir.
Contoh lain dari sekolah publik pilihan adalah sekolah unggulan atau bahkan program
unggulan dalam sekolah regular. Bentuk terakhir ini dapat pula dikatakan sebagai sekolah dalam
sekolah. Sekolah/program unggulan ini disebut juga magnet school (sekolah magnit) atau seed
school (sekolah bibit). Disebut sekolah magnet karena sekolah ini menawarkan program unggulan,
seperti misalnya olahraga atau seni pertunjukkan, yang menarik perhatian siswa yang berminat
atau berbakat dalam bidang unggulan tersebut. Disebut sebagai sekolah bibit karena program
pendidikan yang diselenggarakan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai keunggulan dalam
program yang ditekuni.
Sekolah atau lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah juga mempunyai
banyak bentuk. Pengertian “siswa bermasalah” meliputi mereka yang :
• Tinggal kelas karena lambat belajar
• Nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk mereka dalam lembaga pemasyarakatan anak
• Pasangan suami-isteri yang masih berusia sekolah, terutama ibu-ibu belia yang tidak mungkin
mengikuti sekolah regular karena harus mengurus anaknya
• Korban penyalah gunaan obat terlarang atau minuman keras
• Korban trauma dalam keluarga karena perceraian orangtua, kekerasan, atau gelandangan
• Menderita karena masalah kesehatan, ekonomi, etnis atau kebudayaan, termasuk anak-anak
suku terasing dan anak gelandangan.
• Putus sekolah karena berbagai sebab
• Belum pernah mengikuti program pendidikan sebelumnya.
Tidak termasuk dalam kategori siswa bermasalah ini adalah mereka yang menyandang kelainan
fisik dan/atau mental seperti tunarungu, tunanetra, tunadaksa, tunawicara, tunaganda dsb.
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
2
Program pendidikan bagi siswa bermasalah ini sulit, kalau boleh dikatakan tidak mungkin,
untuk mengikuti standar atau berbasis pada sekolah regular/ konvensional. Mereka itu memerlukan
program pendidikan yang bersifat fungsional bagi kehidupan mereka di masyarakat, dan yang
bobotnya dinilai oleh masyarakat .
Sekolah atau lembaga pendidikan swasta mempunyai jenis, bentuk dan program yang
sangat beragam. Termasuk dalam kategori ini lembaga pendidikan yang memberikan program
bercirikan agama, seperti pesantren dan sekolah Minggu; lembaga pendidikan dengan program
bercirikan ketrampilan fungsional, seperti kursus dan magang; lembaga pendidikan dengan
program perawatan atau pendidikan usia dini, seperti penitipan anak, kelompok bermain, dan
taman kanak-kanak; dan lembaga pendidikan swadaya masyarakat dengan program pembinaan
khusus untuk mereka yang bermasalah. Sekolah atau lembaga pendidikan swasta ini jauh lebih
luwes dalam pengelolaan dan penentuan programnya dari pendidikan publik, karena biasanya
mengikuti perkembangan pasar atau permintaan dan tidak harus mempertanggungjawabkan
keuangannya kepada perbendaharaan negara.
Pendidikan di rumah yang termasuk dalam kategori ini adalah pendidikan yang
diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia
sekolah. Ketentuan tentang usia sekolah ini tergantung pada kebijakan negara yang bersangkutan.
Indonesia dengan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas)
menentukan usia sekolah itu antara 6 s/d 17 tahun. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh
orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan seperti misalnya : menjaga anak-anak dari
kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya
pendidikan yang diberikan oleh keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan
tertentu); menjaga anak-anak agar selamat atau aman dari pengaruh negatif dari lingkungan;
menyelamatkan anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya
pendidikan; memberikan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak
secara individual; dan berbagai alasan lainnya.
Dasar Pertimbangan
Pendidikan alternatif merupakan sesuatu yang secara sengaja dan sadar dirancang untuk
berbagai keperluan yang belum terpenuhi oleh pendidikan regular atau konvensional. Tindakan ini
tentu mempunyai pertimbangan yang mendasar. Kalau kita telaah secara mendalam dasar
tindakan itu adalah falsafah dan/atau teori. Tindakan untuk menyelenggarakan pendidikan
alternatif karena itu tentu mempunyai dasar falsafah dan/atau teori.
Setiap pembahasan falsafi atas suatu gejala atau obyek paling sedikit perlu meliputi tiga
pertimbangan, yaitu : 1) apa hakekat gejala/obyek itu (landasan ontologi); 2) bagaimana (asal,
cara, struktur, dsb.) penggarapan gejala/obyek itu (landasan epistemologi); dan 3) apa
manfaat gejala/obyek itu (lndaasan aksiologi).
Pertimbangan ontologis pendidikan alternatif meliputi sejumlah postulat sebagai berikut
: 1) manusia dilahirkan dalam keadaan berbeda; 2) manusia mempunyai kemampuan untuk
belajar dan mengembangkan diri; 3) manusia berkembang sesuai dengan potensi genetika
dan lingkungan yang mempengaruhinya; 4) manusia mempunyai keluwesan dan kemampuan
untuk mengubah serta membentuk kepribadiannya. Postulat ini boleh dikatakan berlaku secara
universal. Dengan serangkaian postulat ini kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu hakekat
pendidikan alternatif adalah memberikan kemungkinan pendidikan yang sesuai dengan perbedaan
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
3
kemampuan dan kondisi manusia yang bersangkutan. Pendidikan yang baku dan sama untuk
semua orang adalah tidak tepat, karena tidak sesuai dengan hakekat manusia yang berbeda.
Dimungkinkannya pendidikan yang sesuai hakekat manusia, yaitu meliputi di antaranya
minat, kebutuhan dan kemampuan masing-masing, tidak lain adalah suatu unsur penting dalam
masyarakat madani atau masyarakat warga (civil society). Dalam masyarakat madani ada
keseimbangan antara prakarsa warga dan masyarakat dengan pemerintah. Jadi campur tangan
pemerintah yang berlebihan dalam mengatur pendidikan atau etatisme di bidang pendidikan, harus
dihapus. Dengan dihapusnya etatisme ini maka lembaga masyarakat dapat hidup dan berkembang
dalam berbagai bentuk, sifat dan besaran (magnitude), namun semuanya tergabung dalam suatu
ikatan kesamaan dan kebersamaan etika.
Pertimbangan epistemologis pendidikan alternatif atau bagaimana pendidikan ini dapat
diselenggarakan, dapat ditelusuri jauh ke belakang pada awal perkembangan kebudayaan
manusia. Pada masa itu orangtua mendidik sendiri anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan hidup
dan lingkungan alam mereka, dengan cara memberikan pengalaman langsung. Menurut Eric
Ashby (Carnegie Comission, 1972:iv) pola pendidikan oleh keluarga dengan memberikan
pengalaman langsung ini mengalami empat revolusi, yaitu pertama dengan adanya tenaga profesi
guru yang mendapat tugas khusus untuk mendidik sekelompok anak secara oral. Revolusi kedua
terjadi dengan ditemukannya tulisan sehingga pendidikan dapat pula disampaikan secara visual
dengan menggunakan lambang tertentu. Revolusi ketiga dan keempat masing-masing terjadi ketika
ditemukan mesin cetak dan kemudian perangkat komunikasi elektronik. Mesin cetak
memungkinkan dibuatnya buku atau bahan belajar dalam jumlah besar dan harga yang ekonomis.
Perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan penyebaran pendidikan lebih luas dan
lengkap karena mengandung unsur oral, visual dan gerak. Pada revolusi kedua ini diduga mulai
diperkenalkan struktur pendidikan standar dengan memakai dasar pertimbangan ekonomi dan
politik (lebih banyak orang yang dapat dididik dengan biaya yang relatif murah dan dengan proses
dan mutu yang dapat dikontrol). Sementara itu pendidikan alternatif memakai dasar pertimbangan
psikologi dan pendidikan, dengan tidak berpegangan pada standar baku, melainkan yang sesuai
dengan kondisi, minat dan kebutuhan peserta didik atau warga belajar.
Menurut Saetler (1969: 11) awal perkembangan adanya pendidik profesional atau guru
adalah pada sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Pada periode itu kaum Sufi menjajakan ilmunya
kepada siapa saja yang tertarik untuk berguru. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Socrates yang
berusaha menemukan prinsip universal mengenai kebenaran, keindahan dan kebaikan, melalui
metode dialog. Plato, yang menganggap bahwa kebenaran dan nilai bersifat abadi, dan hanya
mungkin diperoleh dengan kajian intelektual bukan dengan jalan penginderaan. Aristoteles, yang
mulai mengembangkan mata ajaran seperti fisika, astronomi, zoologi, botani, logika, etika, dan
metafisika. Dalam periode ini para calon siswa dan orangtua mempunyai kebebasan untuk
memilih kepada siapa mereka akan berguru.
Pertimbangan aksiologis atau azas manfaat pendidikan alternatif pertama-tama ditujukan kepada peserta didik/warga belajar, yaitu agar mereka dapat dimungkinkan mengikuti
pendidikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Peserta pendidikan alternatif dapat
memilih program pendidikan yang diminatinya dan yang memberinya kesempatan untuk
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya seoptimal mungkin. Dalam berbagai bentuk
pendidikan alternatif peserta didik dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari demi untuk
kelangsungan
misi kehidupan atau kelembagaan. Para peserta mampu belajar di sela-sela
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
4
kegiatan itu dengan bahan belajar mandiri yang sengaja dikembangkan untuk keperluan itu.
Bilamana ada masalah dalam belajar yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri, mereka dapat
mencari bantuan narasumber yang ada di dekatnya atau yang diberi tugas untuk membimbing.
Bagi lembaga penyelenggara maupun masyarakat, pendidikan alternatif juga membawa manfaat
misalnya : 1) dapat dipercepatnya usaha memenuhi kebutuhan masyarakat dan pasaran kerja; 2)
dapat menarik minat calon peserta yang banyak; 3) tidak terganggunya kegiatan kehidupan
sehari-hari karena pola dan jadwal pembelajaran yang luwes; 4) harapan akan meningkatnya
kerjasama dan dukungan pengguna lulusan atau keluaran.
Pendidikan alternatif juga didasarkan pada pandangan falsafah dan teori pendidikan dari
sejumlah tokoh yang dapat ditelusuri sejak abad ke 16. Di antara tokoh-tokoh filsuf dan
pendidikan itu adalah Jan Amos Komensky, John Locke, Jean Jacques Rousseau, Emmanuel Kant,
Johann Peztalozzi, Maria Motessory, John Dewey, Ki Hajar Dewantara, Mohammad Syafei, Ivan
Illich, dan Paulo Freire.
Komensky, yang dikenal sebagai Comenius, adalah seorang rahib yang berasal dari
Moravia dan bekerja di Polandia kemudian di Belanda. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus
mengikut prinsip-prinsip alamiah karena setiap makhluk hidup mengikuti pola pertumbuhan dan
perkembangan alamiah. Perkembangan manusia dibaginya ke dalam empat periode enam-tahunan,
yaitu : 1) masa bayi (infancy) dimana pendidikan diberikan secara informal di rumah; 2) masa
kanak-kanak ketika belajar dapat mulai dilaksanakan di sekolah; 3) masa adolesen ketika anak
sudah mulai mampu belajar bahasa [Latin]; dan 4) masa dewasa ketika siswa memasuki perguruan
tinggi. Meskipun untuk tiap periode itu diperlukan pendekatan dan metode yang berbeda, namun
tetap harus didasarkan pada minat anak dan rangsangan indera secara aktif (Orstein & Levine,
1981:132-134).
John Locke, seorang cendekiawan Inggris, kita kenal dengan teori tabula rasa, yaitu
bahwa pada saat lahir manusia itu pikirannya kosong. Kita memperoleh pengetahuan dari
lingkungan kita yang kita serap melalui indera. Informasi yang kita serap pada awalnya bersifat
sederhana, tetapi kemudian menjadi kompleks setelah kita perbandingkan, kita olah, dan kita
generalisasikan. Belajar merupakan proses aktif dalam mengkaji dan memperoleh data dari dunia
di sekitar, dan karena itu orang harus mempunyai kebebasan dalam belajar. Menurut Locke
pendidikan yang baik harus dimulai pada awal perkembangan anak. Anak harus diberi kesempatan
untuk menghirup udara segar, cukup istirahat, makan secukupnya dan sederhana, olahraga teratur,
dan mempunyai waktu cukup untuk bermain dan rekreasi. Falsafah pendidikan ini oleh Locke
dikembangkan menjadi falsafat politik yang menentang kewenangan tunggal penguasa terhadap
kehidupan bermasyarakat (Orstein & Levine, 1981:134-135). Falsafah ini menjadi salah satu
dasar dari masyarakat madani atau masyarakat warga, yaitu dimana pribadi dan masyarakat
mempunyai kewenangan yang seimbang dengan penguasa/pemerintah.
Jean Jacques Rousseau, seorang cendekiawan Perancis, berpendapat bahwa manusia pada
awalnya adalah bebas dan tidak bersifat buruk, namun lembaga masyarakat yang artifisial
membuat manusia menjadi buruk. Rousseau memandang sekolah sebagai lembaga doktriner dan
mengabaikan minat dan keinginan alami anak. Seperti halnya Komensky, Rousseau membedakan
periode perkembangan dari masa bayi hingga dewasa. Tiap periode perkembangan memerlukan
pendidikan yang berbeda untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut. Periode
yang sangat penting adalah periode awal atau periode pertumbuhan formatif dimana anak-anak
harus dibebaskan dari pengaruh buruk masyarakat, dengan jalan mendidiknya sendiri. Menurut
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
5
Rousseau belajar harus didasarkan pada pengalaman nyata dan langsung dari lingkungan
sekitarnya, dan bukan dari buku yang merupakan pengalaman tidak langsung. Sekolah merupakan
lembaga yang membelenggu dan memenjarakan anak sehingga anak tidak mampu lagi menyerap
adat-istiadat, kebiasaan dan gagasan yang tumbuh di masyarakat. Rousseau ingin membebaskan
anak dan orang dewasa dari pembatasan sosial yang bersifat artifisial (Orstein & Levine,
1981:136-137).
Emmanuel Kant, seorang filsuf Jerman berpendapat bahwa akal manusia merupakan daya
kreatif yang mempunyai dampak kuat terhadap orang-orang yang hidup pada masanya, dan
mempengaruhi kehidupan intelektual pada generasi berikutnya. Kant sangat menghargai
kewajiban moral dan martabat manusia, dan karena itu manusia harus dihargai sebagai subyek
yang mempunyai nilai moral dan hak untuk berkembang sesuai dengan minat dan
kemampuannya.Tiap pribadi ini akan mengatur dirinya untuk mengikuti kaidah umum yang
merupakan peng-gabungan sistematik dari pemikiran rasional. (Moriss,1961:291-2)
Johann Pestalozzi adalah seorang pendidik Swis yang berpendapat bahwa sekolah
tradisional merupakan suatu lembaga untuk penghafalan dan pengulangan yang membosankan,
dan karena itu perlu direformasi. Sekolah menurut Pestalozzi harus merupakan rumah dimana
terdapat rasa aman dan kasih sayang. Guru, oleh karena itu harus merupakan orang yang memiliki
rasa kasih sayang dan mantap secara emosional, sehingga akan dipercaya dan disayangi oleh
siswa. Pembelajaran harus dilakukan dengan memanfaatkan obyek biasa (bukan obyek buatan)
yang terdapat dalam lingkungan para siswa. Isi pelajaran harus didasarkan pada pengalaman
indrawi yang diperoleh anak di rumah dan di lingkungan keluarga. Anak harus dilatih
menggunakan inderanya secara aktif untuk mengamati dengan cermat gejala alami yang terdapat
dalam lingkungannya. Pestalozzi memberi perhatian khusus kepada anak-anak yang mengalami
hambatan seperti miskin, lapar, dan salahasuh, karena dia berpendapat bahwa kunci keberhasilan
mengajar adalah kecintaan kepada umat manusia.(Orstein & Levine,1981:138-9)
Maria Montessori adalah seorang doktor dalam bidang kesehatan (wanita Italia pertama
yang mendapat gelar Doctor of Medicine), namun terkenal kemudian sebagai seorang pendidik
yang mengembangkan gagasan dan falsafah pendidikannya untuk anak-anak. Ia mendirikan
sekolah Casa dei Bambini, dengan siswa dari daerah kumuh di Roma – yaitu anak-anak yang
menyandang hambatan. Montessori mengembangkan pendidikannya antara lain dengan konsep
“disiplin spontan” dan “aktivitas spontan”. Tiap anak mempunyai kebutuhan untuk berbuat sesuai
dengan yang diminatinya tanpa harus diperintah atau diberitahu oleh guru, serta tidak pula karena
anak merasa akan mendapatkan ganjaran atau hukuman dari luar. Kegiatan spontan ini perlu
dibina dan dikembangkan sebagai dasar untuk belajar membaca dan menulis. Menurut Montessori
ada tiga tipe kegiatan dan pengalaman yang perlu dipelajari anak, yaitu ketrampilan praktikal,
sensori dan formal. Ketrampilan praktikal misalnya mencuci piring, mengatur meja dan
sebagainya, yang merupakan bagian dari tatakrama sosial. Latihan yang diulang-ulang akan
membentuk koordinasi sensori dan otot. Sedangkan ketrampilan formal meliputi membaca,
menulis dan berhitung. Lingkungan belajar harus dibuat sedemikian rupa hingga menarik dan
merangsang anak.(Orstein & Levine,1981:150)
John Dewey adalah seorang gurubesar di Universitas Chicago yang terkenal dengan
sekolah laboratoriumnya. Sekolah ini digunakan untuk menguji dan menerapkan pandangan dan
falsafahnya mengenai pendidikan. Dewey memandang anak sebagai insan sosial yang aktif dan
karena itu si anak akan berusaha menjelajahi lingkungannya untuk dapat mengontrolnya. Dalam
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
6
penjelajahan itu anak akan menghadapi masalah pribadi dan sosial, yang memaksa si anak untuk
menggunakan akal dan kemampuannya. Pendidikan merupakan suatu proses sosial dimana
anggota masyarakat yang belum matang (belum dewasa) diajak berpartisipasi dalam masyarakat.
Sekolah haruslah merupakan lingkungan khusus yang dibentuk oleh masyarakat dengan tujuan
untuk menyederhanakan, memurnikan dan mengintegrasikan pengalaman sosial kelompok,
sehingga pengalaman itu dapat dipahami, dikaji dan digunakan oleh anak-didik. Dewey juga
berpendapat bahwa proses pendidikan berlangsung secara ilmiah atau reflektif, yaitu dengan
mengolah rangsangan yang diperoleh dari lingkungan, mengintegrasikannya dengan informasi
atau pengetahuan yang telah atau dalam proses dimiliki, menjabarkan kemungkinan, dan kemudian
mengambil kesimpulan setelah diuji melalui penerapan.(Dewey,1916:192)
Ki Hajar Dewantara (1889-1959) mengembangkan pendidikan Taman Siswa sebagai suatu
perjuangan menentang penjajahan dalam segala bentuknya. Beberapa azas perjuangan itu adalah :
1) adanya hak seseorang untuk mengatur dirinya sendiri; 2) pengajaran harus mendidik anak
menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga; 3) pengajaran jangan terlampau
mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan
rakyat; dan 4) berkehendak untuk mengusahakan kekuatan diri sendiri. Sistem pendidikan di
Taman Siswa dilakukan dengan sistem among, yaitu yang mendasarkan pada kodrat hidup anak
dan kemerdekaan. Dasar kodrat hidup anak meliputi kodrat Illahi yaitu bahwa kemampuan anak
merupakan anugerah Tuhan, dan kodrat alam yaitu kemampuan yang dimiliki anak sebagaimana
pertumbuhannya. Pedoman yang harus dianut adalah : Tut wuri handayani, ing ngarsa sung
tulada, ing madya mangun karsa. Dewantara mengartikan pendidikan secara luas yang meliputi
tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat. Ke tiga lingkungan itu harus berkembang secara selaras, serasi dan berimbang,
sehingga memungkinkan anak dapat berkembang secara utuh.(Dewantara,1964)
Mohammad Syafei (1896-1969) mengembangkan dan menerapkan gagasan pendidikannya di Kayutanam dengan dasar : 1) berpikir secara logis dan rasional dan meninggalkan cara
berpikir mistik dan takhayul; 2) kebutuhan masyarakat; 3) kegunaan hasil pendidikan untuk
kemajuan masyarakat; dan 4) tertanamnya rasa percaya diri dan berani bertanggung jawab.
Sekolah Kayutanam ini mempunyai dua jenjang, yaitu bawah dan atas. Di kedua jenjang itu
kecuali diberikan pelajaran berupa pengetahuan, juga diberikan pelajaran praktek. Pada jenjang
bawah, pelajaran pengetahuan (teori) sebanyak 75 % dan praktek 25%. Sedangkan pada jenjang
atas 50% pengetahuan dan 50% praktek. Bahan pelajaran diambil dari budaya bangsa Indonesia.
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, karena itu dijalin hubungan erat antara sekolah
dengan penduduk/masyarakat setempat. Pelajaran yang diberikan harus seuai dengan kebutuhan
masyarakat. Salah satu ciri khas pendidikan di Kayutanam ini adalah bahwa lulusannya tidak
diberi ijazah, karena masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan “ijazah” atau pengakuan. (Wasty Soemanto & Soeyarno, 1983:73-6)
Ivan Illich adalah seorang pastor kelahiran Vienna yang mula-mula ditahbiskan sebagai
imam untuk warga Puorto Rico di New York dan kemudian dipindahkan ke Meksiko. Illich
merupakan tokoh radikal dalam bidang pendidikan. Kalau para reformis lain menyarankan
pembaharuan sekolah agar dapat berfungsi lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan, ia bahlkan
menolak pandangan bahwa sekolah diperlukan sebagai agen pendidikan. Pendidikan harus
dipisahkan dari sekolah, dan sebagai gantinya dibentuk jaringan belajar yang terbuka bagi siapa
saja dan merupakan wahana bagi warga masyarakat unuk membebaskan diri dari segala bentuk
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
7
kungkungan. Jaringan belajar terdiri atas empat komponan, yaitu : 1) layanan referensi mengenai
obyek pendidikan; 2) pasangan sebaya; 3) pertukaran ketrampilan; dan 4) jasa referensi mengenai
narasumber pendidikan yang luas.(Illich, 1970:14,113)
Paulo Freire adalah seorang tokoh reformis pendidikan Brazilia yang terpaksa
meninggalkan negaranya pada tahun 1964 karena pandangan falsafah pendidikannya dinilai
sebagai usaha subsersif. Freire prihatin atas dominasi orang miskin, orang bodoh dan orang tak
berdaya oleh mereka yang kaya, berkuasa dan pandai. Kelompok kedua ini menciptakan realitas
sosial melalui demagogi, mitos, indoktrinasi, penyeragaman, dan budaya populer. Kaum tertindas
menganggap versi ini sebagai suatu kebenaran, karena mereka memang tidak mengerti, inferior
dan tidak berdaya. Oleh karena itu kaum tertindas membentuk kepribadian fatalisme dan
kebergantungan. Tugas utama pendidikan oleh karena itu menurut Freire adalah menghapuskan
sikap pasrah dan bergantung tersebut dengan kebebasan yang aktif dan bertanggung jawab. Kaum
tertindas harus diperlakukan sebagai subyek, yaitu insan yang aktif dan mampu memerdekakan
diri. Pendidikan merupakan perjuangan untuk membebaskan diri dari penindasan.
(Freire,1970:52,66)
Perkembangan Pendidikan Alternatif di Indonesia
Awal perkembangan sejarah pendidikan di Indonesia tentunya tidak jauh berbeda dengan
perkembangan pada bangsa atau masyarakat lain, yaitu dimulai dari pendidikan yang
diselenggarakan oleh orangtua sendiri, oleh komunitas tertentu, oleh orang-orang tertentu dalam
komunitas yang diberi tugas dan wewenang khusus, dan kemudian dilembagakan dalam suatu
kegiatan tertentu dengan aturan baku. Pada umumnya disepakati bahwa awal perkembangan
pendidikan dengan aturan baku ini kecuali adanya tenaga “guru”, juga pada saat digunakannya
medium tulisan untuk keperluan pemaparan pesan. Prasasti yang ditemukan pada abad ke 4
menyimpulkan bahwa pada saat itu kerajaan Kutei dengan raja Mulawarman, telah mulai
menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan itu tentunya hanya untuk kalangan terbatas, yaitu
kalangan raja atau penguasa, untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tugas mendidik
diserahkan kepada orang pandai atau orang suci, yaitu kelompok “brahma” atau yang dalam
riwayat kebudayaan berikutnya disebut “empu”. Sejarah mengenal empu Kanwa yang menulis
kitab Arjuna Wiwaha, empu Prapanca yang menulis kitab Negara Kertagama, dan lain sebagainya.
Di samping para cendekiawan yang mendidik kalangan tertentu, diduga ada pula sejumlah praktisi
yang memberikan pengetahuannya tentang cara-cara bertani, berdagang dan berbagai ketrampilan
yang diperlukan dalam masyarakat.
Kalau ditinjau dengan kacamata sekarang, mungkin pada
saat itu sudah berlangsung pendidikan alternatif yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus masyarakat yang bersangkutan.
Bentuk pendidikan alternatif tertua (oleh masyarakat untuk masyarakat) yang sampai
sekarang masih diselenggarakan adalah pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren ini
diperkirakan dimulai pada abad ke 15, yaitu pada awal masuknya agama Islam. Menurut
Wahyutomo (1997:71) tokoh yang dianggap berhasil mengembangkan pesantren adalah Raden
Rahmat atau dikenal sebagai Sunan Ampel. Keberhasilan pensantren di Ampel ini kemudian
disusul dengan munculnya pesantren baru seperti pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak
oleh Raden Fatah, dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Pendidikan di pesantren pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan loyalitas kepada
Islam yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang benar dan penerimaan norma-norma dan
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
8
pola hidup secara Islam, serta loyalitas kepada masyarakat Islam. Tujuan pendidikan ini tidak
semata-mata unuk memperkaya pikiran santri, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan
tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan
bersih hati (Zamakhsyari Dofier,1994:19-21).
Pola pendidikan pesantren dimulai dengan kemampuan membaca Qur’an tanpa harus
memahami maknanya terlebih dahulu. Bagi mereka yang sudah mampu membaca dengan lancar
dan benar, barulah para santri itu dibimbing untuk membaca buku-buku Islam klasik yang
elementer. Bersamaan dengan itu dipelajari juga bahasa Arab untuk lebih mampu mendalami
buku-buku yang lebih berbobot dan yang umumnya sudah menjurus kepada bidang kajian tertentu
seperti hukum, sastra, tauhid, etika dan sebagainya. Tidak semua guru pesantren atau Kyai
mempunyai pengetahuan mendalam tentang berbagai cabang pengetahuan. Oleh karena itu bagi
santri tertentu yang ingin mendalami suatu bidang kajian tertentu, dia akan berguru kepada Kyai di
pesantren lain. Dalam pola pendidikan pesantren tidak dikenal adanya “ijazah”, yang ada adalah
pengakuan dari Kyai mengenai kemampuan santri yang dianggapnya telah menguasi ilmu yang
dituntutnya. Pengakuan tentang mutu lulusan selanjutnya merupakan keputusan masyarakat.
Biasanya para santri yang sudah berguru ke beberapa Kyai dengan keahlian khusus, memperoleh
pengakuan yang tinggi.. Pendidikan Pesantren ini telah menghasilkan guru-guru madrasah, guruguru lembaga pengajin, para khotib Jumat, dan bahkan para ulama yang berkualitas tinggi.
Pendidikan di pesantren tidak hanya ditekankan pada penguasaan atas pengetahuan
keagaman saja, melainkan juga penerapannya dalam berbagai bidang kehidupan terutama yang
sesuai dengan lingkungannya. Cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk mampu berdiri
sendiri dan tidak menggantungkan sesuatu kepada orang atau lembaga lain kecuali Tuhan.
Berdasarkan cita-cita ini ada pesantren yang bercirikan pertanian, dimana para santri dibimbing
secara langsung bekerja sambil belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Para
lulusannya diharapkan untuk menjadi petani terpelajar dan tidak menggantungkan diri pada pola
pertanian tradisional. Ada pula pesantren yang memberikan kesempatan pendidikan ketrampilan
kerajinan, sehingga para lulusannya mampu menguasai bidang kerajinan tertentu untuk
memungkinkan mereka membuka usaha atau berswakarsa menghasilkan produk kerajinan tertentu
tersebut. Ada lagi pesantren yang mengajarkan para santrinya untuk trampil dalam bidang perdagangan dan jasa pelayanan.
Pada dasarnya pendidikan pesantren diselenggarakan dengan cara swadana. Penghasilan
diperoleh dari sumbangan orangtua santri, masyarakat dan produk yang dihasilkan dari pesantren
sendiri. Dalam perkembangan kemudian cukup banyak pesantren yang mendapat bantuan dari
pemerintah atau dari lembaga dari luar (baik lembaga pendanaan maupun lembaga sosial).
Dikhawatirkan bahwa bantuan ini dapat merupakan intervensi terhadap cita-cita dan tujuan
pendidikan di pesantren. Salah satu intervensi itu berupa pembakuan program pendidikan yang
didukung dengan pengakuan berupa ijazah kelulusan. Kalau hal ini terjajdi maka bentuk
pendidikan alternatif yang telah dikembangkan dan dibina di pesantren akan terhapus. Hal ini
berarti pula bahwa prakarsa pribadi dan masyarakat terkekang karena harus tunduk pada putusan
penguasa, dalam hal ini pemerintah.
Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1922 pada awalnya dapat dikategorisasikan
sebagai suatu pendidikan alternatif, yaitu sekolah swasta yang programnya sesuai dengan
kebutuhan yang dirasakan pada waktu itu, yaitu perjuangan melawan penjajahan/penindasan.
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
9
Azas-azas pendidikan di Taman Siswa seperti yang telah disebutkan di muka, dijabarkan menjadi
dasar program yang diberi nama Panca Darma. Panca Darma ini meliputi : kemanusiaan, kodrat
hidup alam dan Illahi, kebudayaan, kebangsaan dan kemerdekaan. Berdasarkan Panca Darma ini
maka pendidikan di Taman Siswa merupakan corak pendidikan nasional yang bermaksud
mendidik anak agar menjadi nasionalis sejati yang mencintai bangsanya, dan selalu berusaha demi
kemajuan bangsa dan negara. (Soemanto & Soeyarno, 1983:64-66). Kurikulum termasuk bahan
pengajarannya dikembangkan berdasarkan kebudayaan nasional, sesuai dengan missi pendidikan
nasional. Pendidikan akhlak (budi pekerti) mendapat perhatian yang besar sebagai dasar
pembentukan kepribadian anak-didik. Pendidikan kesenian juga dikembangkan sebagai salah satu
unsur untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan.
Pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir akan perkembangan pendidikan yang
bercirikan nasionalisme dan yang memperjuangkan kemerdekaan ini. Maka pada tahun 1932
dikeluarkan peraturan yang isinya mengatur pendidikan swasta, yaitu bahwa isi pelajarannya harus
sesuai dengan sekolah negeri (yang dibiayai dan dikelola oleh pemerintahan kolonial), dan para
guru harus memperoleh ijin mengajar dari aparat penguasa. Berkat peprjuangan Ki Hajar
Dewantara dan tokoh-tokoh nasionalis lain, peraturan itu dicabut pada tahun 1933, tetapi tidak
berarti bahwa oleh karena itu diberi kebebasan kepada setiap orang/lembaga untuk
menyelenggarakan pendidikan.
Tokoh pendidikan lain yang mengembangkan pendidikan alternatif pada jaman penjajahan
adalah Mohammad Syafei. Dia membuka sekolah di Kayutanam dengan semboyan “carilah sendiri
dan kerjakanlah sendiri”. Para siswa diberikan ketrampilan praktikal seperti membuat sendiri meja
dan kursi yang digunakannya. Pendidikan yang berorientasi pada perkembangan kepribadian dan
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat ini mengalami masa pasang surut. Pada masa
Perang Dunia II pendidikan ini terhenti karena kampusnya diduduki oleh tentara Hindia Belanda,
dan kemudian diganti dengan masuknya Jepang. Bahkan pada waktu perjuangan kemerdekaan,
tentara Belanda telah membumi hanguskan kampus Kayutanam.
Pada masa awal kemerdekaan banyak sekali diselenggarakan program penddikan
alternatif, yang tujuannya untuk mengisi kekosongan tenaga yang diperlukan untuk
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Sangat disayangkan bahwa sangat sedikit sekali,
kalau boleh dikatakan tidak ada, rekaman dokumenter mengenai hal itu. Kebanyakan merupakan
rekoleksi pengalaman pribadi dari mereka yang terlibat. Pada awal tahun 50 an diselenggarakan
pendidikan melalui radio oleh Djawatan Pendidikan Masyarakat untuk keperluan eks pelajar
pejuang. Program ini yang diprakarsai oleh Sadarjoen Siswomartoyo dan didukung oleh AURI
dibawah kepemimpinan panglima Suryadarma, tidak berlangsung terlalu lama, karena para eks
pelajar pejuang yang semula bertempat tinggal berserak itu diberi kesempatan untuk belajar
dengan beasiswa di SMA Perjuangan di Malang.
Belum pernah ada usaha kita untuk menginventarisasikan pendidikan alternatif (lembaga
dan programnya), yaitu pendidikan yang memenuhi dasar pertimbangan seperti yang telah
dipaparkan di muka. Meskipun demikian diyakini bahwa pendidikan alternatif cukup banyak
terselenggara di Indonesia. Dalam pembahasan ini hanya disajikan beberapa kasus
penyelenggaraan pendidikan alternatif yang sengaja dipilih. Kasus-kasus itu adalah Sekolah
Laboratorium IKIP Malang yang lebih dikenal dengan Sekolah Laboratorium Ibu Pakasi (SLIP),
sekolah dasar PAMONG, Kejar Paket A dan B, SMP Terbuka, dan “Universitas Tikyan”.
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
10
Sekolah Laboratorium IKIP Malang lebih dikenal sebagai Sekolah Laboratorium Ibu
Pakasi (SLIP) karena dipimpin oleh Prof.Dr.Supartinah Pakasi, serta menerapkan konsep-konsep
pendidikan yang dikembangkan oleh pasangan C.A.Pakasi,M.A. dan S.Pakasi. Sekolah didirikan
pada tahun 1967 yang pada awalnya merupakan Taman Kanak-kanak. Pendidikan di sekolah ini
disebut pula SD 8 tahun, karena memberikan pendidikan dasar setingkat SMP dalam waktu
delapan tahun. Tujuan SLIP ini adalah agar tiap murid dapat mencapai pengembangan yang
maksimal. Untuk mencapai tujuan itu semua aktivitas sekolah didasarkan pada azas adanya
perbedaan individual , dan pengakuan hak masing-masing murid untuk memperoleh kesempatan
mengembangkan seluruh potensi yang ada pada dirinya. Program pembelajaran dilakukan antara
lain dengan cara: 1) memperkaya ling-kungan belajar; 2) pengelompokan siswa berdasarkan
prestasi; 3) maju ber-kelanjutan; 4) belajar bebas; 5) kedisiplinan; 6) penggunaan perpustakaan
secara intensif; 7) kenaikan kelas otomatis (automatic promotion); 8) pembinaan ketrampilan
khusus; dan 9) keanggotaan dalam kooperasi yang dikelola siswa sendiri. (Pakasi,tt)
Sekolah ini telah menarik perhatian ahli pendidikan tidak hanya dari dalam negeri
melainkan juga dari luar negeri. Tercatat sekitar 13.000 orang telah tertarik mengunjungi dan
mempelajari apa-apa yang dilakukan di sekolah. Pada tahun 1973 sekolah ini memwisuda
lulusannya yang pertama, yaitu yang telah menyelesaikan pendidikan jenjang Sekolah Dasar hanya
dalam waktu lima tahun dan jenjang SMP dalam waktu delapan tahun, dengan mengikuti ujian
yang sama dengan murid sekolah regular. Namun apa yang telah dilakukan oleh Ibu Pakasi ini
harus dihentikan pada tahun 1974, karena harus mengikuti ketentuan baku yang ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(PPSP), yang menggunakan modul tertulis untuk keperluan belajar-pembelajaran. Padahal modul
itu sendiri belum pernah diuji-cobakan efektivitasnya (Pakasi,1974). Hal ini merupakan intervensi
yang berlebihan dari pemerintah atas prakarsa perorangan dan masyarakat, dan tentu saja sangat
disesalkan karena telah memetikan prakarsa yang telah terbukti berhasil.
Pada tahun 1972 dalam rangka kerjasama SEAMEO INNOTECH Center diselenggarakan
suatu model pendidikan dasar yang disebut IMPACT (Instruction Managed by Parents,
Community and Teacher) yang di Indonesiakan dengan PAMONG (Pendidikan Anak oleh
Masyarakat, Orangtua dan Guru). Proyek ini dilaksanakan di desa Alastuwo dan Kebakramat
kabupaten Sukoharjo, Surakarta, di bawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan (sekarang
menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan), dan pelaksana
lapangan oleh tim IKIP Yogyakarta cabang Surakarta (yang merupakan cikal bakal Universitas
Negeri Sebelas Maret). Program belajar-pembelajaran dilaksanakan dengan prinsip berikut : 1)
belajar mandiri dengan menggunakan bahan belajar terprogram yang disebut modul; 2) belajar
kelompok-sebaya (peer learning) dengan bantuan kakak kelas yang telah menguasai pelajaran
bersangkutan; 3) kompetisi untuk berprestasi dengan tersedianya daftar kemajuan belajar
(penguasaan atas modul) yang diisi sendiri dan diketahui semua siswa; 4) fungsi guru sebagai
pengelola kegiatan belajar yang membantu mengatasi masalah yang tidak terpecahkan oleh siswa
sendiri; 5) menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar; dan 6) meningkatkan partisipasi
masyarakat antara lain dengan melibatkan warga masyarakat sebagai narasumber.
Sistem PAMONG ini telah dinilai berhasil karena siswa-siswanya lulus EBTA sekolah
regular, dan bahkan program itu diikuti oleh dan meluluskan sejumlah orang tua/dewasa yang
belum pernah berkesempatan menamatkan sekolah dasar. Sistem ini bahkan sudah mulai
dideseminasikan ke kecamatan Ubud di Bali dan di kecamatan Tumpang di Malang. Namun
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
11
program ini juga terpaksa dihentikan karena adanya kebijakan pemerintah berupa SD Inpres. Dasar
pertimbangannya adalah bahwa dengan dibangunnya sejumlah besar sekolah dasar melalui SD
Inpres maka tidak diperlukan lagi usaha alternatif untuk memberikan kesempatan belajar kepada
anak-anak. Kecuali itu program PAMONG ini dianggap telah melanggar ketentuan batas usia anak
sekolah dasar 6 s/d 15 tahun, dengan memberikan kesempatan orang dewasa untuk mengikuti
program tersebut. Hal ini merupakan ironi karena tujuan nasional untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dihambat oleh peraturan yang lebih rendah peringkatnya. Hal ini juga merupakan bukti
campur tangan yang berlebihan dari pemerintah, sehingga prakarsa masyarakat dihentikan.
Pada tahun 1974 Direktorat Pendidikan Masyarakat pada Direktorat Jenderal Pendidikan
Luar Sekolah dan Olahraga, mulai mengembangkan paket belajar pendidikan dasar bagi orang
dewasa. Paket ini disebut KEJAR Paket A (yang kemudian disambung dengan Paket B); Istilah
KEJAR merupakan akronim dari Kelompok Belajar atau Bekerja dan Belajar, yang dapat pula
diartikan sebagai uapaya “mengejar” ketinggalan. Paket belajar ini merupakan bahan belajar
fungsional, yaitu yang langsung mempunyai kegunaan dalam kehidupan sehari-hari karena materi
pelajaran diambil dari lingkungan. Maksud dikembangkannya Kejar Paket A adalah untuk
mempersiapkan warga negara agar dapat berpartisipasi aktif dan positif di dalam masyarakat.
(Napitupulu, 1979:6)
Paket A terdiri atas 100 buku modul, yang disusun sebagai berikut : Seri A-1 s/d A-20
merupakan pelajaran dasar membaca, menulis, berhitung dan bahasan Indonesia yang dipadukan;
Seri A-21 s/d A-60 merupakan bacaan lanjutan dengan tambahan pengetahuan dan kecakapan
dasar mengenai berbagai bidang kehidupan; Seri A-61 s/d A-100 merupakan bacaan lebih lanjut
lagi yang berisi perluasan dan pendalaman pengetahuan dan kecakapan mengenai bidang
kehidupanKegiatan belajar dilaksanakan secara berkelompok di lokasi tempat tinggal warga
belajar. Kelompok belajar ini memilih sendiri ketuanya yang akan memimpin perencaan jadwal
belajar sesuai dengan waktu luang para anggota kelompok. Untuk membantu mengatasi kesulitan
belajar diangkat pamong atau tutor yang diambil dari lingkungan masyarakat sendiri yang sudah
melek huruf. Warga belajar yang telah menyelesaikan pelajarannya (telah menyelesaikan ke 100
modul) akan mendapatkan STSB (Surat Tanda Serta Belajar), sesuai dengan pandangan bahwa
proses belajar itu berlangsung seumur hidup dan seseorang tidak pernah tamat belajar.(Napitupulu,
1979:10-13).
Program pendidikan dasar fungsional ini pada awal perkembangan menggunakan
pendekatan kemasyarakatan (community-based approach). Tragisnya dengan adanya kebijakan
pemerintah mengenai Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun)
pada tahun 1994, maka pendekatan kemasyarakatan dengan sifat fungsional ini harus digantikan
dengan program berpola persekolahan (school-based approach). Sifat fungsional semula harus
digantikan dengan kurikulum baku Sekolah Dasar. Kebijakan pemerintah ini jelas lebih
mementingkan pertimbangan politik dengan mengabaikan kegunaan dan kesesuaian bagi
masyarakat. Strategi pembelajaran dalam program Kejar ini masih merupakan suatu strategi
alternatif, namun dasar pertimbangan dan materi pelajaran bukan lagi dapat dikategorisaikan
sebagai suatu alternatif, karena harus mengikuti aturan baku persekolahan, termasuk kewajiban
untuk mengikuti dan lulus EBTA untuk memperoleh ijazah persamaan atau
kesetaraan.(Depdikbud,1994: ii,27)
Pendidikan alternatif untuk menampung lulusan sekolah dasar, mulai digagas pada tahun
1976. Pada waktu itu diperhitungkan bahwa bila diikuti kecenderungan perkembangan SD Inpres,
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
12
maka pada tahun 1980 akan ada lulusan SD sebanyak 1,5 juta orang,. Mereka ini harus dapat
ditampung dalam di SMP atau lembaga pendidikan lain agar tidak menimbulkan keresahan sosial.
Suatu tim dibentuk untuk mengkaji alternatif tindakan yang mungkin dilaksanakan. Tim ini
mengidentifikasi empat kemungkinan alternatif, yaitu : 1) pembangunan gedung baru dan mengangkat guru baru; 2) menambah ruang kelas di sekolah yang sudah ada dan memperbesar rasio
guru : siswa; 3) menyelenggarakan pendidikan ketrampilan ; dan 4) menyelenggarakan pendidikan
terbuka. Alternatif keempat ditugaskan kepada Tim Penyelenggara TKPK (yang kemudian
dilembagakan sebagai Pusat TKPK, sekarang disebut Pustekkom Dikbud) untuk mengkaji lebih
lanjut dan merintisnya.
Perintisan SMP Terbuka (sekarang disebut SLTP Terbuka) mulai dilak-sanakan pada
tahun 1979 di empat lokasi, yaitu Kalianda (Lampung Selatan), Plumbon (Cirebon), Adiwerna
(Tegal), Kalisat (Jember), dan Terara (Lombok Barat). Model sekolah terbuka ini dikembangkan
berdasarkan serangkaian landasan falsafah, teori dan prinsip. Diantaranya adalah : 1) fokus
diberikan pada kepentingan dan karakteristik anak-didik; 2) kondisi lingkungan harus
diperhitungkan; 3) sumber belajar yang ada setempat harus dapat dimanfaatkan secara optimal; 4)
partisipasi orangua dan masyarakat harus ditingkatkan; 5) biaya harus diusahakan seekonomis
mungkin tanpa mengorbankan mutu; 6) sistem tidak boleh menghambat prakarsa
swasta/masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan regular; 7) sistem harus merupakan
pemberian kesempatan yang merata dengan perhatian khusus diberikan kepada anak-anak yang
karena adanya hambatan sosial-ekonomi dan geografi tidak dapat mengikuti pendidikan regular.
Evaluasi yang diselenggarakan pada tahun 1982 dan 1984 menunjukkan bahwa model sekolah
terbuka itu cukup efektif, layak (feasible), dan pantas (acceptable) untuk diselenggarakan dan
dikembangkan. Saat ini SLTP Terbuka telah diselenggarakan di 27 propinsi dengan jumlah lokasi
dan siswa yang senantiasa bertambah (pada tahun ajaran 1998/99 sebanyak 2.356 lokasi dengan
siswa lk.280.000 orang).
“Universitas Tikyan” hanya merupakan salah satu sebutan dari sejumlah program
pendidikan bagi anak-anak yang terabaikan (seringkali kita sebut dengan anak jalanan). Istilah atau
sebutan ini dipopulerkan oleh wartawan Media Indonesia, sebagai sebutan kebanggaan yang
diberikan oleh para pesertanya atas kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di suatu “kampus”
(lokasi) dengan komunitas tertentu di Yogyakarta. Lembaga pendidikan ini memberikan
kesempatan belajar kepada “anak-anak jalanan” dan “girli” (pinggir kali), agar mereka mampu
mandiri, berkarya dan bekerjasama dengan saling menghargai. Istilah Tikyan merupakan singkatan
dari “sitik-sitik lumayan” (meskipun sedikit tetapi lumayan). Anak-anak didik bebas untuk
memilih pelajaran yang ingin diambilnya serta dengan penampilan seadanya. Berbagai macam
ketrampilan usaha diajarkan dalam kampus ini seperti membuat kerajinan tangan, membatik,
membuat kertas daur ulang, kerajinan kayu, melukis dan lain-lain.(Media Indonesia,Minggu,25
Oktober 1998:9). Tentu saja lembaga pendidikan ini tidak menerbitkan ijazah, karena inti penyelenggaraannya adalah agar kehidupan anak jalanan bisa berarti dan diakui sebagai manusia. Dasar
ini tidak lain adalah memberikan penghargaan kepada anak sebagai sesama makhluk Tuhan dan
pengembangan potensi anak sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Pola pembelajaran
dilaksanakan dengan penuh kebebasan untuk pengembangan kreativitas yang bertanggung jawab.
Kampus ini baru mulai beroperasi pada tahun 1996, meskipun kegiatan pendidikan telah dimulai
pada tahun 1988 dan lembaga penyelenggaranya (Yayasan Humana) telah dibentuk pada tahun
1991. Pendidikan alternatif seperti yang diselenggarakan di kampus Tikyan ini tentu banyak
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
13
terdapat di Indonesia, dan karena itu tidak mungkin untuk dipaparkan satu persatu. Kegiatan
kampus Tikyan ini sengaja ditampilkan karena dinilai unik.
Pelajaran yang dapat kita tarik dari beberapa kasus yang telah dipaparkan menunjukkan
bahwa pendidikan alternatif di Indonesia cukup mempunyai akar budaya di Indonesia, namun telah
mengalami masa pasang surut. Ada pendidikan alternatif yang masih dapat bertahan dan bahkan
berkembang seperti halnya pesantren dan SLTP Terbuka; ada yang mengalami perubahan karena
tekanan penguasa (penjajah) serta perubahan kondisi seperti halnya Taman Siswa dan Kayutanam;
ada yang berubah karena adanya intervensi pemerintah yang berlebihan seperti halnya PAMONG
dan Kejar Paket A dan B; dan ada pula yang sedang dikembangkan seperti halnya “Universitas
Tikyan”.
Implikasi Pengembangan
Pendidikan alternatif di Indonesia mempunyai bentuk yang beragam. Kalau kita gunakan
kategorisasi Mintz (1994:iv) maka SLIP dan SLTP Terbuka merupakan sekolah publik pilihan.
Kejar Paket A dan B merupakan lembaga pendidikan publik untuk siswa/warga belajar
bermasalah. Pesantren, Taman Siswa, Kayutanam dan “Universitas Tikyan” merupakan
sekolah/lembaga pendidikan swasta non-konvensional. Mengenai pendidikan di rumah tidak ada
data yang berhasil diperoleh penulis, meskipun penulis yakin bahwa bentuk pendidikan alternatif
ini juga telah ada dan berkembang di Indonesia. Pendidikan di rumah ini menurut Mintz telah
berkembang pesat di Amerika Utara, bahkan ada organisasi yang bersifat nasional maupun lokal.
Organisasi pendidikan di rumah yang bersifat nasional di antaranya adalah: Islamic Home School
Association of North America, Jewish Home Educator’s Network, National Institute for
Christian Home Education.(1994:392)
Analisis terhadap beberapa kasus pendidikan alternatif pada awal penyelenggaraannya
menunjukkan adanya kesamaan atas sejumlah azas dan prinsip yang dianut. Kesamaan itu meliputi
hal-hal berikut :
1. Penghargaan atas martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk kodrat hidup, dan harga diri
2. Pendekatan yang lebih bersifat individual, mengingat perbedaan minat, kemam-puan,
pengalaman, kondisi keluarga dan lingkungan
3. Pengakuan atas perlunya perlakuan yang berbeda berkenaan dengan adanya perbedaanperbedaan individual, kondisi dan karakteristik, dengan memberikan kebebasan memilih dan
berbuat
4. Tujuan yang diarahkan pada terbentuknya watak dan moral yang tinggi serta untuk
berkembangnya potensi optimal masing-masaing peserta didik/warga belajar
5. Perlunya partisipasi masyarakat dan orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk
peluang untuk berprakarsa
6. Penilaian hasil pendidikan yang didasarkan atas azas manfaat dan dampak bagi pribadi yang
bersangkutan maupun bagi masyarakat
7. Perhatian lebih besar terhadap lingkungan, baik sebagai sumber belajar maupun untuk
menjaga kelestariannya.
Hasil analisis empirik ini kalau kita kaitkan dengan pembahasan tentang landasan ontologi
pendidikan alternatif di muka, menunjukkan bahwa pendidikan alternatif memberikan kontribusi
yang bermakna terhadap terbentuknya masyarakat madani. Masyarakat madani atau masyarakat
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
14
warga yang demokratis kecuali ditandai oleh adanya keseimbangan antar pribadi dan masyarakat
dengan pemerintah, pada umumnya juga ditandai oleh :
• Hidup dan berkembangnya lembaga masyarakat dalam berbagai bentuk, sifat dan besaran yang
tergabung dalam suatu ikatan kesamaan dan kebersamaan etika
• Kehidupan moral yang menjunjung tinggi nilai dasar kemanusiaan; manusia sebagai subyek
dan bukan obyek
• Warga masyarakat berperan serta dalam membentuk suatu keluarga besar (global community)
yang dijiwai semangat persaudaraan universal (universal brotherhood)
• Hidup dan suburnya perkembangan semangat etis, yaitu saling menghargai, memperhatikan
dan kerjasama
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan alternatif merupakan unsur imperatif
dalam masyarakat madani, dan karena itu perlu terus dikembangkan dan dibina dalam usaha
reformasi pembangunan pendidikan.
Pasang surutnya perkembangan pendidikan alternatif tidak terlepas dari kebijakan
pembangunan pendidikan. Pembangunan pendidikan yang telah dilangsungkan selama ini tidak
berbeda dengan pembangunan pendidikan yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Menurut
Banathy pembangunan pendidikan itu baru meliputi dua gelombang, yaitu gelombang perluasan
dan gelombang peningkatan efisensi. Gelombang pertama pada dasarnya adalah doing more of the
same, yaitu menambah jumlah sekolah. Sedangkan gelombang kedua dapat dikatakan doing the
same but doing it better, yang intinya adalah peningkatan efisiensi. Padahal yang diperlukan
adalah meninjau kembali seluruh sistem pendidikan, dan mengembangkannya secara sistemik.
(Banathy,1991:7)
Pembangunan pendidikan secara sistemik ini menurut Reigeluth adalah merupakan
perubahan yang bersifat menyeluruh. Perubahan dalam suatu aspek akan mempengaruhi aspek lain
secara berantai. Perubahan itu harus meliputi semua kegiatan pendidikan, mulai dari kelas,
sekolah, wilayah, sampai seluruh negara (Reigeluth,1994:3) Menurut Banathy pembaharuan secara
sistemik dapat disebut dengan berbagai istilah, seperti reformasi, transformasi, restrukturalisasi
dan lain sebagainya. Namun yang penting bukan istilahnya melainkan hakekatnya. Pembaharuan
sistemik itu harus meliputi empat lapis, yaitu: lapis pengalaman belajar, lapis sistem pembelajaran
[yang berusaha mewujutkan pengalaman belajar yang dicitakan], lapis pengelolaan [yang
mendukung sistem pembelajaran], dan lapis pengendalian [yang mengatur kelembagaan dan
seluruh sistem]. (Banathy,1991:87)
Selanjutnya Banathy berpendapat bahwa ke empat lapis kegiatan tersebut harus ditentukan
prioritasnya. Apabila prioritas diletakkan pada lapis pengendalian, maka tujuan nasional
pendidikan lebih diarahkan untuk membudayakan atau mengindoktrinasi peserta didik.
Dampaknya pada lapis pengelolaan adalah ditujukannya kegiatan penyusunan aturan pelaksanaan
yang baku. Pada lapis sistem pembelajaran tujuannya adalah menyelenggarakan pembelajaran
seperti yang telah digariskan, dan pada lapis pengalaman belajar tujuannya adalah merespon
pengajaran dengan tunduk pada guru. Apabila prioritas diletakkan pada lapis pengelolaan maka
tujuan utamanya adalah efektivitas manajemen pelaksanaan pendidikan. Tujuan nasional
pendidikan cenderung diarahkan untuk membentuk peserta didik agar berbudaya. Dampaknya
terhadap lapis sistem pembelajaran adalah ditujukan pada terlaksananya pembelajaran seperti yang
digariskan. Sedang pada lapis pengalaman belajar tujuannya adalah untuk merespons terhadap
pelajaran.
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
15
Apabila prioritas utama diberikan pada sistem pembelajaran, maka dampaknya terhadap
tujuan nasional pendidikan adalah penyediaan sarana dan sumber untuk menunjang terlaksananya
sistem. Pada lapis pengelolaan dampaknya adalah serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk
penyediaan sumber, dan pada lapis pengalaman belajar adalah ditujukan agar pengaturan kegiatan
belajar dapat dioptimalkan. Apabila prioritas diberikan pada lapis pengalaman belajar, tujuannya
cenderung pada penguasaan tugas belajar dan kompetensi peserta didik. Dampaknya terhadap lapis
tujuan nasional adalah tersedianya berbagai sumber dan kegiatan yang menunjang kegiatan
belajar. Pada lapis pengelolaan tujuannya adalah untuk menyediakan informasi tentang
ketersediaan sumber serta persyaratan untuk mendapatkannya. Pada lapis sistem pembelajaran
tujuannya adalah menyediakan sumber yang diperlukan dan mengatur penggunaannya.
(Banathy,1991:90-94)
Pendidikan alternatif
cenderung untuk memberikan prioritas pada lapis sistem
pembelajaran dan lapis pengalaman belajar. Sementara kebijakan pendidikan nasional sekarang
masih memberikan prioritas pada lapis pengendalian. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai
indikator seperti : kurikulum nasional yang kaku dan sarat, pengadaan buku dan bahan belajar lain
yang diselenggarakan oleh pusat, evaluasi hasil belajar secara nasional yang dselenggarakan
serentak dan baku, pemusatan kewenangan dalam hampir segala hal tanpa pendelegasian yang
berarti, dan peranan guru yang dominan sebagai otoritas yang harus diikuti oleh siswa.
Implikasi dari pengembangan pendidikan alternatif yang dilaksanakan dengan pendekatan
sistemik serta dengan prioritas pada lapis sistem pembelajaran dan pengalaman belajar, meliputi
antara lain hal-hal sebagai berikut :
1. Dilakukan inventarisasi atas pendidikan alternatif, baik yang masih berlangsung hingga
sekarang maupun yang telah dihentikan, serta mengkaji pelajaran dan pengalaman yang dapat
diperoleh dari kasus pendidikan alternatif
2. Dikembangkan dan dibinanya berbagai kegiatan inovasi pendidikan pada lapis pengalaman
belajar dan sistem pembelajaran, dengan diberikannya status dan wewenang kepada unit
khusus untuk mengkoordinasikan kegiatan perintisan sampai implementasinya
3. Dikembangkannya kurikulum inti sebagai kurikulum nasional; kurikulum inti ini ditujukan
untuk penguasaan kecakapan dasar dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa
4. Difasilitasikannya pengembangkannya kurikulum lokal secara inovatif, kreatif dan aspiratif
serta yang sesuai kebutuhan lingkungan dan pasaran kerja, dengan porsi yang lebih besar
5. Tujuan dan isi pendidikan difokuskan pada pembentukan dan pembinaan watak, budi pekerti ,
IMTAQ, wawasan ke depan, integritas dan kemandirian peserta didik, dan bukannya beban
mata pelajaran yang harus dihafal
6. Diisusunnya peraturan perundangan yang sesuai dengan dinamika pembangunan, merangsang
prakarsa dan partisipasi masyarakat, namun dengan disertai aturan dan kewenangan
pengawasan oleh pemerintah daerah maupun masya-rakat untuk melindungi kepentingan
peserta didik dan menjaga keutuhan bangsa
7. Desentralisasi pengelolaan pendidikan dengan memberikan wewenang kepada daerah untuk
mengembangkan pendidikan sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan, disertai dengan
penyederhanaan struktur dan peningkatan kemampuan manajemen pendidikan
8. Perhatian lebih besar diberikan kepada pendidikan keluarga sebagai basis untuk pendidikan
selanjutnya, melalui berbagai program pendidikan luar sekolah dan pemberdayaan organisasi
kemasyarakatan.
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
16
9. Ditingkatkannya profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan missi pembaharuan dan
tuntutan perkembangan zaman
10. Diangkat, ditempatkan dan dibinanya karier mereka yang memenuhi syarat profesional untuk
menduduki jabatan jabatan fungsional dan teknis.
Diharapkan dengan diperhatikan dan dilaksanakannya butir-butir pengembangan
pendidikan tersebut maka pendidikan alternatif akan berkembang, dan akan mempercepat
tercapainya masyarakat belajar yang sekaligus merupakan ciri masyarakat madani.
Kepustakaan
Banathy,Bela H. (1991). Systems Design of Education. A Journey to Create the Future.
Englewood Cliffs,NJ: Educational Technology Publications
Carnegie Commission on Higher Education. (1972).The Fourth Revolution: Instructional
Technology in Higher Education. New York: McGraw-Hill Book Co.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah,Pemuda
dan Olahraga, Direktorat Pendidikan Masyarakat.(1995). Petunjuk Teknis Program Kejar
Paket A Setara SD. Jakarta
Dewey,John.(1916). Democracy and Education. New York: Macmillan
Freire,Paulo.(1970). Paedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder
Illich, Ivan.(1970). Deschooling Society. Ney York: Harrow Books
Ki Hadjar Dewantara (1964). Azas-azas dan Dasar-dasar Taman Siswa. Yogyakarta: Majelis
Luhur Persatuan taman Siswa
Media Indonesia. Minggu, 25 Oktober 1998, h.9 Di “Kampus Tikyan”, Anak jalanan Belajar
Mintz,Jerry (editor-in-chief)(1994). The Handbook of Alternative Education. New York:
Macmillan Publishing Company
Moriss,Van Cleve. (1961). Philosophy and the American School. Boston,MA: Houghton Mifflin
Company
Napitupulu,Washington P.(1979). Pelaksanaan Program Kejar Paket A, Tantangan Kini. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Ornstein, Allan C. dan Daniel U.Levine.(1981). Foundations of Education. Second ed.
Bonton,MA: Houghton Mifflin Company
Pakasi,Supartinah (tt). Mengenal Sekolah Laboratorium IKIP Malang. Malang: PKMM
Pakasi,Supartnah. Laporan Penyerahan Pimpinan SD 8 Tahun Laboratorium IKIP Malang Kepada
Pimpinan Baru, Malang 27 Mei 1974
Reigeluth,Charles M. dan Robert J.Garfinkle.(eds.)(1994).. Systemic Change in Education
Englewood Cliffs,NJ: Educational Technology Publications
Saettler,Paul (1968). A History of Instructional Technology. New York: Macgraw-Hill
Wahyoetomo.(1997). Perguruan Tinggi Pesantren. Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakara:
Gema Insani Press
Wasty Soemanto dan F.X.Soeyarno. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya:
Usaha Nasional
Zamakhsyari Dhofier.(1994). Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
17
Pendidikan Alternatif: sebuah agenda reformasi
18
Download