Print version - Journal AMIKOM

advertisement
PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN ANAK
DI DAERAH BENCANA ALAM
Oleh : Ki Supriyoko
A.
PENGANTAR
Setelah terjadi gempa bumi yang berkekuatan 5,9 Skala Richter di
Yogyakarta Bulan Mei 2006 yang lalu, kejadian demi kejadian yang sangat
mengkhawatirkan kehidupan manusia pun terjadi susul menyusul di persada
Indonesia; baik di Jawa maupun di luar Jawa. Gempa yang sesungguhnya
bukan pertama kalinya di Indonesia itu pun kemudian disusul di daerah lain,
bahkan dengan kekuatan yang lebih besar; misalnya terjadi di Nabire Papua
yang berkekuatan 6,9 Skala Richter, di Sumatera Barat yang berkekuatan di
atas 5,9 Skala Richter, dsb. Di Yogyakarta sendiri pasca terjadinya gempa
di Bulan Mei 2006 masih terjadi banyak kali gempa susulan, meski dengan
kekuatan yang lebih rendah namun ternyata cukup membuat kecemasan di
kalangan masyarakat.
Gempa bumi adalah salah satu wujud dari bencana alam; dan wujud
lain yang terjadi di Indonesia antara lain banjir besar yang melanda Jakarta,
banjir dan tanah longsor yang terjadi di Manggarai NTT, Sulawesi Tengah,
dsb, semburan lumpur di Jawa Timur, angin beliung di Yogyakarta dan di
Jawa Tengah, dsb. Bencana alam tersebut tentu saja sangat merugikan
manusia karena bukan saja harta benda yang hilang dan/atau hancur akan
tetapi lingkungan pun menjadi rusak.
2
Permasalahan lain yang muncul dari bencana alam tersebut adalah
masalah pendidikan, terutama menyangkut pemenuhan hak anak untuk
mendapatkan pendidikan. Kalau kita berbicara pendidikan formal misalnya;
banyak gedung sekolah yang hancur dan tidak dapat digunakan untuk melaksanakan proses pembelajaran; atau kalau pun dapat, kondisinya sangat
menghawatirkan. Permasalahannya ialah, bagaimana nasib anak-anak yang
bersekolah di tempat itu? Akankah mereka dibiarkan saja tidak bersekolah
karena kondisinya memang sedang chaos? Permasalahan seperti inilah yang
harus memperoleh solusi terbaik, utamanya bagi anak-anak korban bencana
alam itu sendiri.
B.
HAK PENDIDIKAN ANAK
Apabila dibuka kembali UU No.20 Tahun 2003 atau yang lebih
dikenal dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kita akan
mendapatkan pengertian pendidikan dan pendidikan nasional. Adapun
pengertian pendidikan menurut Pasal 1 Butir 1 adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Sementara itu pengertian pendidikan nasional menurut
Pasal 1 Butir 2 adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman.
3
Selanjutnya pada Pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar supaya
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sementara itu
kalau kita mengacu tulisan peneliti UNESCO, Jacques Delors, cs, dalam
karyanya “Learning : The Treasure Within” (1996), disebutkan tujuan
pendidikan adalah sbb: (1) Belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to
know), (2) Belajar agar dapat berbuat sesuatu (learning to do), (3) belajar
untuk mampu menjadi dirinya sendiri (learning to be), serta (4) belajar
untuk hidup bersama dengan orang lain (learning to live together).
Bagi seorang anak, pendidikan merupakan hak; artinya setiap anak
Indonesia berhak mendapatkan pelayanan pendidikan bagi dirinya. Logika
yuridisnya adalah, apabila anak tidak mendapatkan hak pendidikannya
maka yang bersangkutan bisa menuntut kepada penjamin hak tersebut yang
dalam hal ini adalah pemerintah.
Pada Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan secara eksplisit bahwa
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; sedangkan pada ayat (5) pasal yang sama disebutkan
bahwa setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat. Selanjutnya pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran
guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Jelaslah bahwa pendidikan
bagi anak tidaklah sembarang pendidikan tetapi pendidikan yang bermutu.
4
Jaminan atas hak pendidikan anak sebagaimana disebutkan di dalam
pasal-pasal UU Sisdiknas tersebut juga sejalan dengan ketentuan di dalam
UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 9 ayat (1)
UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa setiap anak (Indonesia)
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya. Ketentuan ini lebih meyakinkan kita bahwa hak pendidikan
memang ada pada setiap anak Indonesia.
Di samping dokumen yang bersifat nasional, berbagai dokumen yang
bersifat internasional pun memberikan jaminan yang sama; misalnya dalam
dokumen Education for All (Thailand, 1990), Convention on The Right of
The Child (AS, 1990), Daccar Declaration (2000), dan sebagainya.
Apabila kita tekuni dokumen “Education for All” yang dapat diakses
dalam situs http://www.puas.or.id/links.htm, di sana jelas-jelas disebutkan
bahwa setiap anak setidak-tidaknya berhak untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan dasar. Karena Indonesia terikat oleh dokumen tersebut maka
implikasinya, kalau pendidikan dasar di Indonesia terdiri dari satuan SD
dan SMP atau yang seterajad maka setiap anak berhak untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan sekolah di SD dan SMP. Pada sisi yang lain kalau
kita baca publikasi Departemen Komunikasi dan Informasi dalam “Anak
Butuh Perlindungan Khusus” edisi 16 Desember 2005 yang dapat diakses
dalam situs http://www.depkominfo.go.id, di sana disebutkan bahwa berdasarkan dokumen Convention on The Right of The Child maka setiap anak
berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan seksual
serta mendapatkan pendidikan.
5
Hal senada juga termuat pada dokumen Daccar Declaration (2000)
sebagaimana disebutkan oleh Ki Supriyoko dalam tulisannya “Memperluas
Bantuan Operasional Sekolah” di Harian Kompas edisi 26 Agt 2006 dan
dapat diakses dalam situs http://www.kompas.com/kompas-cetak. Di dalam
dokumen internasional tersebut dinyatakan perlunya untuk memperluas dan
memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini,
terutama bagi anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. Secara
lengkap disebutkan agar supaya negara-negara peratifikasi memperhatikan
enam aktivitas sbb: (1) Perawatan dan pendidikan anak usia dini, (2) Pendidikan dasar (secara gratis), (3) Pendidikan keaksaraan dan berkelanjutan,
(4) Pendidikan kecakapan hidup, (5) Pendidikan berkeadilan gender, dan
(6) Pengendalian mutu pendidikan.
Sekarang di Indonesia terdapat lebih dari 40 juta anak, dalam hal ini
yang berusia 0 s/d 15 tahun, yang kesemuanya mempunyai hak untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan dan pengajaran yang bermutu. Dari
puluhan juta anak ini ternyata masih banyak anak yang jumlahnya mencapai
jutaan pula, yang belum mendapatkan hak pendidikannya dikarenakan berbagai alasan; baik alasan yang datangnya dari pemerintah, dari anak yang
bersangkutan, maupun dari pihak lain.
Untuk memenuhi hak pendidikan anak tersebut maka Pemerintah dan
/atau pemerintah daerah wajib untuk membuat sistem yang memungkinkan
setiap anak dapat memperoleh pelayanan pendidikan (dan pengajaran). Di
samping sistem, tentu saja pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib
menyediakan sarana pendidikan dan fasilitas belajar; juga guru dan SDM
lain yang diperlukan.
6
C.
PRESTASI ANAK
Data Balitbang Depdiknas dalam “Statistik Persekolahan Indonesia
2003/2004” (2004) menyebutkan di Indonesia terdapat 7,3 juta anak usia
dini yang sebagian besar pendidikannya belum terlayani karena berbagai
alasan; sebanyak 29.050.834 siswa SD dan MI dengan angka partisipasi
113,3 persen; sebanyak 9,9 juta siswa SMP dan MTs dengan angka
partisipasi 77,1 persen; dan sebanyak 5,9 juta siswa SM dan MA dengan
angka partisipasi 46,6 persen. Ternyata masih relatif banyak anak usia dini,
usia SMP, dan SM yang belum terlayani pendidikannya.
Apakah bagi anak yang pendidikannya sudah terlayani memang bisa
menunjukkan prestasinya di tingkat internasional? Kenapa tidak? Secara
individual sesungguhnya anak Indonesia dapat berprestasi di tingkat
internasional apabila memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai.
Hal ini dibuktikan dengan kemenangan siswa Indonesia di berbagai forum
internasional; misalnya di dalam forum Asia Pacific Astronomy Olympiad
(APAO) 2005 yang berlangsung tanggal 4 s/d 15 November 2005 di Siberia
Rusia, International Junior Science Olympiad (IJSO) 2005 yang berlangsung tanggal 5 s/d 13 Desember 2005 di Yogyakarta Indonesia, Primary
Mathematics Worls Contest (PMWC) 2006 yang berlangsung tanggal 17
s/d 20 Juli 2006 di Hong Kong, Asia Physics Olympiad (APhO) 2006 yang
berlangsung tanggal 22 s/d 28 April 2006 di Almaty Kazakhstan, International Physics Olympiad (IPhO) 2006 yang berlangsung tanggal 8 s/d 17
Juli di Singapura, dan International Junior Science Olympiad (IJSO) 2006
yang berlangsung tanggal 3-12 Des 2006 di Sao Paulo Brasilia. Di dalam
berbagai forum ini anak Indonesia mampu menunjukkan kejayaannya.
7
Meskipun secara individual anak Indonesia mampu menunjukkan
prestasi di tingkat internasional namun secara umum, prestasi akademik
anak Indonesia adalah rendah. Dari hasil Ujian Nasional Tahun 2005
diketahui bahwa secara nasional dari 2.322.000 peserta ujian SMP, MTs
dan SMP Terbuka terdapat 6,96 persen yang tidak lulus; di Bengkulu angka
ketidak-lulusannya 35,97 persen. Dari 902.217 peserta ujian SMA dan MA
terdapat 9,22 persen yang tidak lulus atau gagal; di NTT angka ketidaklulusannya mencapai 55,91 persen. Selanjutnya dari dari 524.992 peserta
ujian SMK terdapat 22,58 persen yang tidak lulus alias gagal; di Bengkulu
angka ketidak-lulusannya mencapai 67,48 persen.
Apabila dibandingkan dengan siswa manca, prestasi akademik anak
Indonesia juga rendah. Berdasarkan pada publikasi IEA dalam “Trends in
Mathematic and Science Studies (TIMSS) 2003” (2003), terlihat prestasi
anak Indonesia hanya di ranking ke-35 dari 44 negara di bidang Matematika. Dalam hal ini prestasi anak Indonesia berada di bawah New Zealand
(ke-20), Australia (ke-13), dan Malaysia (ke-10). Untuk bidang Sains,
prestasi anak Indonesia hanya di peringkat ke-37 dari 44 negara. Dalam hal
ini anak Indonesia berada di bawah Malaysia (ke-20), New Zealand (ke-15),
dan Australia (ke-10). Sebagai catatan, dalam studi yang dilakukan oleh
IEA ini sebanyak 5.700 anak tingkat 2 SMP di Indonesia, atau istilahnya
grade 8, telah dilibatkan sebagai responden.
Dengan prestasi kelompok yang rendah tersebut di atas, meski secara
individual siswa Indonesia dapat berprestasi tinggi, maka wajarlah kalau
hanya sedikit sekolah di Indonesia yang diakui bonafiditasnya oleh lembaga
internasional yang kredibel.
8
Kalau kita mengacu dokumen IBO (2005) di dalam “International
Baccalaureate Organization: Discover a World of Education” yang dapat
diakses pada situs http://www.ibo.org/ dapat diketahui betapa tidak mudahnya membuat lembaga pendidikan yang berkualitas dan bonafiditasnya
diakui oleh dunia internasional.
Menurut catatan IBO (2005) hanya 8 SD (setara dengan The Primary
Years Programme), 8 SMP (setara dengan The Middle Years Programme),
dan hanya 7 SMA (setara dengan The Diploma Programme) yang diakui
oleh lembaga pendidikan internasional yang bermarkas di Wina dan di
London tersebut. Hal ini sangat ironis karena dari 169.000-an SD dan MI
hanya 8 sekolah, dari 32.000-an SMP dan MTs hanya 8 sekolah, dan dari
16.000-an SMA dan MA hanya 7 sekolah yang diakui IBO. Sangat sedikitnya sekolah di Indonesia yang masuk dalam daftar IBO menunjukkan relatif
belum tingginya mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya.
D.
DAERAH BENCANA ALAM
Secara individual anak Indonesia memang mampu berprestasi di
tingkat internasional, namun secara umum prestasi internasional tersebut
masih sulit dicapai dikarenakan relatif belum tingginya mutu pendidikan di
Indonesia. Relatif belum tingginya mutu pendidikan ini sudah barang tentu
masih menjadi masalah bagi dunia pendidikan di Indonesia. Masalah ini
menjadi lebih kompleks manakala di tengah-tengah belum tingginya mutu
tersebut terdapat banyak anak korban bencana alam yang harus dipenuhi
hak pendidikannya.
9
Dalam dokumen “Reading; a Human Right and a Human Problem:
Proceedings” yang diedit oleh Ralph C. Staiger dan Oliver Andresen serta
dipublikasi pada tahun 1969 oleh International Reading Association, yang
dapat pula diakses pada situs http://books.google.co.id/books?id dinyatakan
memang banyak hak anak yang masih menjadi permasalahan bagi negara
berkembang pada umumnya, termasuk hak pendidikan.
Dalam dokumen Human Right (New York, 1948) disebutkan bahwa
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu
dalam Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Masih dalam UU Sisdiknas, dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat
yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Dalam konteks pelayanan pendidikan, anak yang menjadi korban
bencana alam dapat dikategori sebagai anak yang memiliki kelainan sosial;
dan oleh karenanya mereka berhak memperoleh pendidikan khusus dari
penyelenggara negara alias pemerintah. Konkretnya, meskipun daerah atau
pemukimannya sedang terkena musibah bencana alam namun demikian
anak-anak yang bermukim di daerah tersebut harus tetap mendapat perhatian atas kelangsungan pendidikannya. Dengan kata lain pendidikan anak di
daerah bencana alam tidak boleh diabaikan.
10
Bagaimana dengan daerah darurat? Daerah darurat dapat diklasifikasi
menjadi dua kategori sbb: yaitu Darurat Tingkat 1 yang terdiri dari Daerah
Konflik Bersenjata, Daerah Kerusuhan, dan Daerah Bencana Alam, serta
Darurat Tingkat 2 yang terdiri dari Daerah Terpencil, Daerah Miskin, dan
Daerah Tak Berkeinginan. Sedangkan anak dalam situasi darurat diklasifikasi menjadi empat kategori sbb: Anak yang menjadi pengungsi, Anak
korban kerusuhan, Anak korban bencana alam, dan Anak dalam situasi
konflik bersenjata.
Jelas sekali bahwa anak-anak korban bencana alam di Indonesia tetap
berhak mendapatkan pendidikan; adalah keliru menganggap anak-anak ini
kehilangan hak pendidikannya gara-gara adanya peristiwa bencana alam
yang memang tidak diinginkan. Masalahnya sekarang adalah strategi pelayanan pendidikan apa yang tepat diterapkan bagi anak-anak di daerah
bencana alam tersebut.
Strategi pelayanan pendidikan di daerah bencana alam yang biasa
diaplikasi adalah sekolah darurat (emergency school). Jenis sekolah ini
merupakan alternatif terbaik di antara yang kurang baik untuk memberikan
pelayanan pendidikan pada anak di daerah bencana alam. Kiranya perlu
diingat bahwa anak-anak di daerah ini umumnya mengalami traumatika
akibat adanya kendala fisik lingkungan, kendala sosiologis, dan kendala
psikologis. Sekolah darurat umumnya memiliki sifat yang sulit dihindarkan
sbb: bangunan sekolah yang tidak permanen, sarana prasarana dan fasilitas
belajar yang tidak lengkap, lokasi belajar yang tidak tetap, siswa yang tidak
homogen tingkatnya, guru yang tidak berijazah formal, dan penyelenggaraan belajar mengajar yang tidak standar.
11
Sekolah darurat umumnya mempunyai bentuk khas. Adapun kekhasan bentuk yang dimaksud adalah sbb: bentuk fisiknya adalah sekolah tenda,
sarana prasarana dan fasilitas belajar seadanya, lokasi belajar dapat saja
berpindah-pindah, siswa bersifat multigrade yaitu beberapa tingkatan
menjadi satu, guru umumnya terdiri dari para sukarelawan dan kurang
selektif, dan penyelenggaraan belajar mengajar amatiran. Ini semua sudah
menjadi risiko dalam menyelenggarakan pendidikan formal alias sekolah
bagi anak-anak korban bencana alam.
Menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak korban bencana alam
di daerah setempat memang tidak layak dibandingkan dengan pendidikan di
daerah yang normal. Kalau perbandingan ini terjadi maka hampir dari
semua sisi, antara lain kenyamanan tempat, kualifikasi guru, kelengkapan
peralatan, dan ketersediaan pustaka akan selalu lebih rendah daripada apa
yang terjadi pada pendidikan dalam keadaan normal.
Penyelenggaraan sekolah darurat memang bukan barang baru bagi
dunia pendidikan di Indonesia. Ketika Aceh menerima musibah bencana
alam berupa tsunami yang menghebohkan masyarakat sedunia beberapa
waktu yang lalu maka sekolah darurat pun segera diselenggarakan bagi
anak-anak di Aceh. Banyak sekolah tenda dibuka dengan pelaksanaan yang
seadanya dan seolah-olah kurang peduli terhadap kualitas; padahal hal itu
semata-mata disebabkan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk
berorientasi pada kualitas. Sekolah darurat yang berupa sekolah-sekolah
tenda itu terkadang harus berpindah-pindah tempat dikarenakan situasi alam
yang berubah-ubah sedemikian cepatnya. Pengalaman ini tentu dapat
dikembangkan di daerah lain yang sedang mengalami bencana alam.
12
E.
KESIMPULAN
Bencana alam merupakan pemberian Allah SWT Tuhan YME yang
tak dapat dihindari, dan hal ini akan menimbulkan permasalahan pendidikan
bagi anak-anak yang bermukim di daerah bencana tersebut. Meskipun
demikian kita harus ingat bahwa anak di daerah bencana alam pun memiliki
hak pendidikan yang tidak boleh diabaikan; oleh karena itu sedapat
mungkin pemerintah dan masyarakat dapat memenuhi hak pendidikan anak
tersebut. Penyelenggaraan sekolah darurat dengan berbagai keterbatasannya
merupakan bentuk nyata atas pemenuhan hak pendidikan anak di daerah
bencana alam yang ada di Indonesia !!!*****
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Prof. Dr. H. Ki Supriyoko, M.Pd. adalah Guru Besar Universitas Sarjanawiyata
Tamansiswa (UST) Yogyakarta, Pengasuh Pesantren “Ar-Raudhah”
Yogyakarta, dan Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private
Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang
KAPASITAS: 2.525 KATA (WORDS)
Download